Lapsus Apendisitis Mulia

78
Bagian Ilmu Bedah LAPORAN KASUS Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman APPENDISITIS AKUT DENGAN MIKRO-PERFORASI Disusun oleh: Mulia Noviarti, S.Ked NIM. 04.45408.00198.09 Ririn Megawati, S.Ked NIM. 04.4540.0020.09 Pembimbing: dr. Anthony Simangunsong, SpB. 0

Transcript of Lapsus Apendisitis Mulia

Page 1: Lapsus Apendisitis Mulia

Bagian Ilmu Bedah LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

APPENDISITIS AKUT

DENGAN MIKRO-PERFORASI

Disusun oleh:

Mulia Noviarti, S.Ked NIM. 04.45408.00198.09

Ririn Megawati, S.Ked NIM. 04.4540.0020.09

Pembimbing:

dr. Anthony Simangunsong, SpB.

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

2010

0

Page 2: Lapsus Apendisitis Mulia

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi.................................................................................................. 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 21.2 Tujuan ...................................................................................................... 3

BAB II LAPORAN KASUS .......................................................................... 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi .................................................................................................. 123.2 Anatomi dan Embriologi Appendiks Vermiformis ................................ 123.3 Etiologi dan Faktor Resiko ..................................................................... 163.4 Patofisiologi ............................................................................................ 173.5 Klasifikasi .............................................................................................. 223.6 Diagnosis ............................................................................................... 243.7 Diagnosis Banding .................................................................................. 363.8 Penatalaksanaan ...................................................................................... 363.9 Komplikasi dan Penyulit ........................................................................ 39

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Anamnesis .............................................................................................. 414.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 424.3 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 444.4 Penatalaksanaan ...................................................................................... 45

BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48

1

Page 3: Lapsus Apendisitis Mulia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis.

Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan

pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Appendisitis

akut memiliki manifestasi klinis yang beragam, terkadang menyerupai sindroma

klinis lainnya, dan berkaitan dengan morbiditas signifikan yang meningkat dengan

penundaan diagnosis. Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi

seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan

infeksi luka operasi.

Appendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Insidensinya meningkat

pada pubertas dan mencapai puncaknya pada usia remaja dan pada usia 20 tahun.

Insiden terbanyak appendisitis akut berada pada kelompok usia 20-40 tahun.

Namun angka kejadian perforasi dari kasus apendisitis justru lebih sering terjadi

pada kelompok usia <12 tahun dan > 65 tahun. Diagnosis appendisitis akut pada

anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini

menghasilkan angka appendektomi negatif sebesar 20 % dan angka perforasi

sebesar 20-30 %.

Di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah kasus appendisitis dari 100

kasus menjadi 52 kasus setiap 100.000 penduduk dari tahun 1975 - 1991.

Terdapat 15 - 30 % gambaran histopatologi yang normal pada hasil appendektomi

dan 30 - 45% di antaranya terjadi pada wanita. Keadaan ini menambah komplikasi

pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan

jumlah hari kerja, dan produktivitas. Berdasarkan US Census Bureau,

International Data Base tahun 2004, di benua Asia negara Cina dan India masih

menempati urutan pertama dan kedua insidensi terbanyak kasus appendisitis akut,

sedangkan Indonesia menempati urutan ketiga. Insiden appendisitis akut di

Indonesia masih sangat tinggi. Pada Tahun 2004 terdapat 596.132 insiden dari

283.452.952 populasi masyarakat Indonesia.

2

Page 4: Lapsus Apendisitis Mulia

Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian

laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan),

merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis appendisitis akut.

Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak digunakan dalam

diagnosis penunjang appendisitis akut. C-reactive protein (CRP), jumlah sel

leukosit, dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah penanda yang

sensitif bagi proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah

untuk Rumah Sakit di daerah.

Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat

mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus. Telah

banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, salah

satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring

sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak invasif . Alfredo

Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga

tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan

praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan appendisitis. Instrumen lain yang

sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah klasifikasi klinikopatologi dari

Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante

operasi. Semua upaya ini dilakukan untuk meminimalisir angka kejadian

appendektomi negatif tanpa meningkatkan insiden perforasi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang appendisitis termasuk definisi, patofisiologi,

diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.

2. Mendapatkan keterampilan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan menggunakan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegakan

diagnosis appendisitis.

3. Mengkaji ketepatan dan kesesuaian kasus yang dilaporkan dengan teori

berdasarkan literatur.

3

Page 5: Lapsus Apendisitis Mulia

BAB II

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS (Autoanamnesa pada tanggal 12 November 2010)

Identitas :

Nama : Tn. Barry

Umur : 24 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Sindang Sari RT. 2

Pekerjaan : Pegawai swasta

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : SMA

Status Kawin : Belum Kawin

Masuk Rumah Sakit : 12 November 2010

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang

Nyeri perut kanan bawah dialami pasien sejak 3 hari sebelum MRS,

awalnya nyeri dirasakan di ulu hati pada pagi hari pertama, seperti melilit dan

dirasakan terus-menerus, kadang-kadang terasa kram pada perut, oleh pasien

diberi obat maag tetapi nyeri tidak berkurang. Pada malam hari nyeri berpindah ke

perut kanan bawah, nyeri dirasakan terus-menerus, seperti ditusuk-tusuk. Demam

(+) sumer-sumer. Nafsu makan menurun tetapi tidak ada mual maupun muntah.

Buang air besar (+) 1 kali selama 3 hari terakhir, agak keras. Buang air kecil

lancar, nyeri (-), warna agak kemerahan seperti teh, berpasir (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Konstipasi (+). BAB tidak rutin setiap hari dan kadang-kadang agak

keras.

4

Page 6: Lapsus Apendisitis Mulia

Riwayat Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan makan makanan rendah serat (jarang makan sayur

dan buah-buahan).

PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 12 November 2010)

1. Keadaan Umum

Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6

Keadaan sakit : Sakit sedang

Tanda Vital :

Frekuensi Nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Pernafasan : 20 x/menit,.

Suhu : 37,10C, aksiler

2. Kepala dan Leher

a. Umum

Ekspresi : Tampak kesakitan

b. Mata

Konjunktiva : anemis (-/-)

Sklera : ikterik (-/-)

Pupil : bulat, isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)

c. Mulut

Bibir : pucat (-), sianosis (-)

d. Leher

Umum : simetris

Kelenjar limfe : membesar (-)

3. Thorax

a. Paru

I Bentuk : simetris

Pergerakan : simetris, retraksi ICS (-/-)

5

Page 7: Lapsus Apendisitis Mulia

Pa ICS melebar : (-/-)

Fremitus raba : Simetris (D=S)

Pe Suara ketok : sonor (+/+)

Batas paru-hepar: ICS V dekstra

A Suara nafas : vesikuler

Suara tambahan: ronki (-/-), wheezing (-/-)

b. Jantung

I Ictus cordis tidak tampak

Pa Ictus cordis teraba pada ICS V MCL Sinistra

Pe Batas kanan : parasternal line ICS III Dextra

Batas kiri : ICS V MCL Sinistra

A S1 S2 tunggal, reguler, gallop (-), murmur (-).

4. Abdomen

I Bentuk : flat, distensi (-)

Kulit : normal

Pa Soepel, defans muskuler lokal di titik Mc Burney (+)

Turgor : normal

Nyeri tekan : Mc. Burney (+), Psoas Sign (+), Rovsing sign (+)

Pembesaran : hepar (-), ginjal (-), spleen (-)

Massa : (-)

Pe Timpani, Shifting dullness (-)

A Peristaltik usus : Bising usus (+) normal

5. Inguinal

Pembesaran kel. Limfe : (-/-)

Massa atau benjolan : (-/-)

6. Ekstremitas

Atas : Akral hangat, edema (-/-)

Bawah : Akral hangat, edema (-/-)

6

Page 8: Lapsus Apendisitis Mulia

7. Rectal Toucher : Tonus spinchter ani menjepit kuat, mukosa licin, sulkus

mediana teraba, massa (-), Nyeri tekan arah jam 11 dan 12

Handscoen : feces (+), warna kuning, lendir (-), darah (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal 12-11-2010

Darah lengkap

Hb 16,0 gr/dl

Hct 49,3 %

Leukosit 11.300

Trombosit 270.000

Kimia darah

GDS 63 mg/dl

Ureum 29,4 mg/dl

Kreatinin 0,8 mg/dl

Urine

Warna Kuning

Kekeruhan Jernih

Berat Jenis 1,020

pH 6,0

Ketone +2

Protein +1

Urobilinogen +2

Epitel +

Leukosit 4-6

Eritrosit 1-2

7

Page 9: Lapsus Apendisitis Mulia

DIAGNOSIS KERJA SEMENTARA

Appendisitis Akut

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Batu Saluran Kemih

Infeksi Saluran Kemih

Divertikulitis

PENATALAKSANAAN :

Farmakologi

IVFD RL 20 tpm

Cefotaxime injeksi 3 x 1 gram IV

Surgical

Appendektomi terbuka

DIAGNOSIS POST-OPERASI

Appendisitis Perforasi

LAPORAN OPERASI

Operasi dilakukan tanggal 13 November 2010.

Desinfeksi medan operasi dengan alkohol 70% kemudian povidone iodine

l0%. Pasang doek steril kecuali daerah tindakan, pasang doek klem, kemudian

pasang doek lubang

Dilakukan Insisi Mc.Burney pada kulit dengan mess kira-kira 6 cm, kontrol

perdarahan. Insisi diperdalam lapis demi lapis dengan cauter sampai tampak

aponeurosis MOE. Aponeurosis MOE dibuka dengan mess searah seratnya,

diperlebar ke kraniolateral dan kaudomedial dengan pertolongan pinset

anatomis.

Wondhaak tumpul dipasang dibawah MOE, sampai tampak MOI yang

seratnya transversal. MOI dan m.Transversus abdominis dibuka secara tumpul

dengan bantuan pinset anatomis searah seratnya, kemudian diperlebar dengan

8

Page 10: Lapsus Apendisitis Mulia

langenback sampai tampak peritoneum warna putih mengkilat, haak dipasang

dibawah m. Transversus abdominis.

Dengan pinset chirurgis 2 buah peritoneum diangkat dan digunting diantara

kedua pinset, peritoneum dijepit dengan kocher sonde 2 buah, pinset dilepas.

Insisi peritoneum diperluas kearah kranial dan kaudal dengan gunting dan

tuntunan pinset untuk melindungi usus atau organ lain, kemudian pasang

langenback 2 buah.

Dicari caecum dengan tanda-tanda berwarna putih, memiliki taenia coli,

berdinding tebal, dan didapatkan appendices epiploica. Disusuri tempat

pertemuan ketiga taenia coli pada caecum yang merupakan base dari

appendiks. Didapatkan letak appendiks retrosekal dengan ukuran panjang ± 2

cm, terdapat adhesi dan mikroperforasi pada appendiks.

Mesoappendiks di basis appendiks dibuka kemudian pangkal Appendiks

diklem dan diligasi dengan zide 2.0. Dipotong antara klem dan ikatan.

Mesoappendiks diklem atau dipotong secara retrograde dan diligasi dengan

zide 2.0.

Dilakukan pembersihan dengan povidone iodine dan NaCl, kemudian insisi

abdomen dijahit lapis demi lapis.

PROGNOSIS

Bonam

9

Page 11: Lapsus Apendisitis Mulia

FOLLOW UP

Pera

Watan

S O A P

Hari I

Tgl

12/11/10

Nyeri perut

kanan bawah

(+), mual (-),

muntah (-),

demam (-)

CM, N = 82x/i,

TD = 120/80

mmHg, RR =

22x/i, Nyeri

tekan Mc

Burney (+),

Rovsing Sign

(+), Psoas Sign

(+), Defans

muskuler lokal

di titik Mc

Burney (+)

Appendicitis

Akut

IVFD RL 20 tpm

Cefotaxim 3 x 1 gr (iv)

Rencana operasi besok

pagi

Hari II

Tgl

13/11/10

Nyeri luka

operasi (+), kaki

agak kram

CM, N=80x/i,

TD = 120/80

mmHg, RR =

22x/i, Nyeri

tekan Mc

Burney (+),

Rovsing Sign

(+), Psoas Sign

(+), Defans

muskuler lokal

di titik Mc

Burney (+)

Post

appendektomi

a/i appendicitis

perforasi

Operasi appendiktomi

appendicitis perforasi

IVFD RL:D5 = 2:2 = 20

tpm

Stabactam inj 3 x 1 gr

Antrain 3 x 1 amp

Metronidazole inf 3 x

500mg

Ranitidin inj 3 x 1 amp

18.30 Tidak bisa BAK,

nyeri luka

operasi (+)

CM, N = 102x/i,

TD

120/80mmHg

RR = 22x/i,

T=36,3C

Post

appendektomi

a/i appendicitis

perforasi

Lapor dr.jaga

Advise pasang

kateter

Hari IV

Tgl

15/11/10

Nyeri luka

operasi (+)

terutama jika

CM, N = 80x/i,

TD 130/90

mmHg, RR =

Post

appendektomi

hari ke-1 a/i

IVFD RL:D5 = 2:2 = 20

tpm

Stabactam inj 3 x 1 gr

10

Page 12: Lapsus Apendisitis Mulia

bersin. Flatus

(+), BAB (-)

20x/i, nyeri

tekan abdomen

(+)

UT 1150 cc/20

jam

appendicitis

perforasi

Antrain 3 x 1 amp

Metronidazole inf 3 x

500mg

Ranitidin inj 3 x 1 amp

Hari V

Tgl

16/11/10

Nyeri perut

bekas operasi

(+) terutama jika

bersin. Flatus

(+), BAB (-)

CM, N = 80x/i,

TD 130/90

mmHg, RR =

20x/i, nyeri

tekan abdomen

(+)

Post

appendektomi

hari ke-2 a/i

appendicitis

perforasi

IVFD RL:D5 = 2:2 = 20

tpm

Stabactam inj 3x1gr

Antrain 3x1amp

Metronidazole inf

3x500mg

Ranitidin inj x1amp

16.00 demam (+) T : 40,00 C Post

appendektomi

hari ke-2 a/i

appendicitis

perforasi

PCT tablet 500mg

ekstra.

Hari VI

Tgl

17/11/10

Demam (+),

Mual (-),

muntah (-), BAB

(+) lancar, Nyeri

sekitar luka (+)

CM, N = 100x/i,

TD = 110/70

mmHg

RR = 20 x/i, T =

40C,

Post

appendektomi

hari ke-3 a/i

appendicitis

perforasi

Xillodela 1:1

PCT tab 3x500mg

Terapi lain lanjut

Aff kateter

Hari VII

Tgl

18/11/10

Demam (-),

mual (-), muntah

(-), BAB

normal, BAK

lancer

CM, N=82x/i,

TD=100/70

mmHg,

RR=22x/i,

T=37,0C

Post

appendektomi

hari ke-4 a/i

appendicitis

perforasi

Aff infus

Boleh pulang

Cefadroxil 3x500mg

As. Mefenamat

3x500mg

Ranitidin 2x1tab

Metronidazole tab

3x500mg

11

Page 13: Lapsus Apendisitis Mulia

12

Page 14: Lapsus Apendisitis Mulia

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Appendisitis akut adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis.

Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan

pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah

terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses,

dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.

2.2 Anatomi dan Embriologi

Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi

duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon

asendens, dan ½ sampai ¾ bagian oral kolon transversum. Premordium sekum

dan appendiks vermiformis (caecal diverticulum) mulai tumbuh pada umur 6

minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi antimesenterium lengkung midgut

bagian kaudal. Selama perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan

pertumbuhan sekum melebihi kecepatan perturnbuhan appendiks, sehingga

menggeser apendiks ke arah medial di depan katup ileosekal. Appendiks

mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama kehamilan. Selama

masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanan-depan sekum,

akibatnya appendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada

posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal appendiks

di sisi medial. Organ ini merupakan organ yang tidak mempunyai kedudukan

yang tetap didalam rongga abdomen. Hubungan pangkal appendiks ke sekum

relatif konstan, sedangkan ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi

retrosekal, pelvikal, subsekal, preileal atau parakolika kanan. Posisi apendiks

retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus.

Secara histologi, struktur appendiks sama dengan usus besar. Kelenjar

submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan

13

Page 15: Lapsus Apendisitis Mulia

pembuluh darah dan kelenjar limfe. Pada tunika Muskularis terdapat stratum

sirkularis (dalam) dan stratum longitudinale (luar), stratum longitunale merupakan

gabungan ke-3 taenia coli. Bagian paling luar appendiks ditutupi oleh lamina

serosa yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak appendiks retrosekal

maka tidak tertutup oleh peritoneum visceral. Menurut Wakeley (1997) lokasi

appendiks adalah sebagai berikut: retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%),

subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika kanan (0,4%).

Gambar 1. Lokasi appendiks

Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan appendiks

memungkinkannya bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada panjangnya

mesoapendiks. Pada kasus selebihnya appendiks terletak retroperitoneal yaitu di

belakang sekum, dibelakang kolon asenden atau tepi lateral kolon asenden. Gejala

klinis appendisitis ditentukan oleh letak dari apendiks. Pada posisi retrosekal,

terkadang appendiks menjulang kekranial ke arah ren dekster, sehingga keluhan

penderita adalah nyeri di regio flank kanan. Terkadang diperlukan palpasi yang

agak dalam pada keadaan tertentu karena appendiks yang mengalami inflamasi ini

secara kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi.

14

Page 16: Lapsus Apendisitis Mulia

Letak appendiks mungkin juga di regio kiri bawah, hal ini dipakai untuk penanda

kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks sampai

melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang

mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi usus,

appendiks bisa sampai diregio epigastrum, berdekatan dengan gaster atau hepar

lobus kanan.

Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi

berkisar antara 2-22 cm. Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum

pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga

taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk

mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila

diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan bawah yang disebut

dengan titik Mc Burney.

Kira-kira 5% penderita mempunyai appendiks yang melingkar ke belakang

sekum dan naik (ke arah kranial) pada posisi retroperitoneal di belakang kolon

asenden. Apabila sekum gagal mengalami rotasi normal, mungkin appendiks bisa

terletak di mana saja di dalam kavum abdomen. Pada anak-anak appendiks lebih

panjang dan lebih tipis daripada dewasa. Oleh karena itu, pada peradangan akan

lebih mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum

mayus masih tipis, pendek dan lembut serta belum mampu membentuk

pertahanan atau pendindingan (walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis

umum karena appendisitis akut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada

dewasa. Appendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal,

mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut.

Lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini kemungkinan

menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut.

Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan

apeksnya menempel pada sekum. Diameter lumen appendiks antara 0,5 - 15 mm.

Lapisan epitel lumen appendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar

intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Appendiks mempunyai lapisan muskulus

dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari

15

Page 17: Lapsus Apendisitis Mulia

lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal

yang dibentuk oleh fusi dari 3 taenia koli diperbatasan antara sekum dan

appendiks. Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak

caecum ,pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu:

Taenia libra

Taenia omentalis

Taenia mesokolika

Pangkalnya terletak pada posteromedial sekum. Pada Ileocaecal junction

terdapat Valvula Ileocaecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat

valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-l4 cm, diameter 0,7 cm.

Lumen bagian proksimalnya menyempit, sedangkan bagian distal melebar. Hal ini

berlawanan pada bayi, sehingga menyebabkan rendahnya insidens appendisitis

pada usia tersebut.

Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2

minggu setelah kelahiran. Pada masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih

ada. Folikel ini jumlahnya terus meningkat sampai puncaknya berjumlah sekitar

200 pada usia pubertas (12 - 20 tahun), dan menetap dalam waktu l0 tahun

berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan usia. Setelah usia 30

tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai setengahnya, dan berangsur

menghilang pada usia 60 tahun. Mesoapendiks terletak dibelakang ileum terminal

yang bergabung dengan mesenterium intestinal.

Vaskularisasi apendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika, yang

merupakan cabang a. mesenterika superior, yaitu a. apendikularis yang merupakan

arteri tanpa kolateral, sehingga apabila terjadi trombus pada apendisitis akut akan

berakibat terbentuknya gangren, dan bahkan perforasi dari apendiks tersebut.

Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada

ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang inkomplet,

arteri ini terletak pada dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek dapat

berakibat apendiks yang terfiksir (immobile).

Vena apendiks bermuara di vena ileokolika yang melanjutkan diri ke vena

mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya mengalir ke limfonodi

16

Page 18: Lapsus Apendisitis Mulia

ileosekal. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua noduli

limfatik yang terletak pada mesoapendiks. Dari sini cairan limfe berjalan melalui

sejumlah noduli lirnfatik mesenterika untuk mencapai noduli limfatik mesenterika

superior.

Persarafan apendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus

vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut saraf aferen yang

menghantarkan rasa nyeri viseral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatis

dan masuk ke medula spinalis setinggi segmen torakal X karena itu nyeri visceral

pada apendiks bermula disekitar umbilikus.

Malrotasi atau maldesensus dari sekum akan mengakibatkan kelainan letak

dari apendiks sehingga mungkin saja apendiks terletak disepanjang daerah fossa

iliaka kanan dan area infrasplenik kiri. Jika terdapat transposisi dari visera maka

apendiks dapat terletak di kuadran kiri bawah. Adanya benda-benda asing yang

terperangkap dalam lumen apendiks, posisinya yang mobile, adanya kinking,

band, adhesi dan keadaan-keadaan yang menyebabkan angulasi dari apendiks,

maka keadaan akan semakin buruk. Banyaknya jaringan limfoid pada dindingnya

juga akan mempermudah terjadinya infeksi pada apendiks.

Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila terjadi

peradangan apendiks adalah omentum, yang merupakan salah satu alat pertahanan

tubuh apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk apendiks. Pada umur

dibawah 10 tahun pertumbuhan omentum ini pada umumnya belum sempurna,

masih tipis dan pendek, sehingga belum dapat mencapai apendiks apabila terjadi

apendisitis. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab lebih mudahnya

terjadi perforasi dan peritonitis umum pada apendisitis anak.

2.3 Etiologi & Faktor Resiko

Penyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-faktor

yang mempengaruhi :

2.3.1 Obstruksi

Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)

Fekalit (35%), masa feses yang membatu

17

Page 19: Lapsus Apendisitis Mulia

Corpus alienum (4%), biji - bijian

Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.

2.3.2 Infeksi

Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia,

tonsillitis, dsb. Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli dan

Streptococcus.

Ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya apendisitis, antara lain:

Adanya isi lumen

Derajat sumbatan yang terus menerus

Sekresi mukus yang terus menerus

Sifat inelastis atau tak lentur dari mukosa apendiks

Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya

apendisitis akut diantaranya obstruksi lumen apendiks, obstruksi bagian distal

kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat. Pada keadaan klinis, faktor

obstruksi ditemukan dalam 60 - 70% kasus, 60% obstruksi disebabkan oleh

hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5%

disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.

Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan faktor

resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah pembengkakan sistim

limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan konsentrasi

flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu. Pada

keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 - 25 cmH2O dan

meningkat menjadi 30 - 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal

tekanan pada lumen sekum antara3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan

tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum.

Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal.

Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues

18

Page 20: Lapsus Apendisitis Mulia

(GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol

proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan

antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks sebagai sistem imun tidak begitu

penting. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek

pada sistem imunologi.

Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya

beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam

apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan

peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap

apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak

ditemukan. Ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus,

Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar

penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi ditemukan bakteri

anaerobik terutama Bacteroides fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa,

submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan oedem, hiperemis dan kongesti

lokal vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis

pada vasa dengan nekrosis dan perforasi.

Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu:

akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi

sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi

arteri dan hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob. Keadaan obstruksi berakibat

terjadinya proses inflamasi. Obstruksi pada bagian distal kolon akan

meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan

terhambat keluar, sehingga tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan

gangguan drainage pada:

Limfe

Terjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi ulserasi

mukosa mengakibatkan terjadinya apendisitis akut.

Vena

Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat mengakibatkan

timbulnya pus hingga menjadi apendisitis supuratif.

19

Page 21: Lapsus Apendisitis Mulia

Arteri

Terjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan

terjadinya apendisitis gangrenosa ataupun perforasi yang

mengakibatkan terjadinya peritonitis umum.

Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica,

Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi

membran mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat

menyebabkan apendisitis akut dan abses. Pada awalnya Entamoeba histolytica

berkembang di kripta glandula intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa,

parasit ini memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai

pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi

dan berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses inflamasi yang dimulai

dengan infiltrasi sel radang akut.

Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum,

yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan meningkatnya

pertumbuhan flora normal kolon. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah

serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses memadat, lebih lengket dan

makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lebih

lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam

kolon, tetapi juga dapat mengubah kandungan bakteri.

Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara normal

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Karena apendiks

merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang sempit dan secara

normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada.

Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya suatu mekanisme valvula pada

pangkal apendiks yang dikenal dengan valvula Gerlach.

Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian

melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina

muskularis dan lamina serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 - 24 jam

pertama.

20

Page 22: Lapsus Apendisitis Mulia

Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan

stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus menerus

akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer

meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi

peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks secara cepat. Selanjutnya

terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan oedem. Kondisi yang kurang

baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa

dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang

disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simpel.

Apendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi :

Sembuh

Kronik

Perforasi

Infiltrat atau abses. Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum

terminal, sekum dan omentum akan membentuk barier dalam

bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana omentum pendek dan

orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk

infiltrat, sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.

Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin

tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular

akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan

menyebabkan oedem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin

berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang

disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut, tekanan

intraluminer yang semakin tinggi dan oedem yang lebih hebat mengakibatkan

gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding

apendiks terutama pada daerah antimesenterial yang relatif miskin vaskularisasi.

Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid.

Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin

meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang mengalami gangren tersebut.

21

Page 23: Lapsus Apendisitis Mulia

Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum

dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum

penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila fungsi omentum baik, tempat

yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat

periapendikular. Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu

rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks, terjadilah keadaan yang disebut

abses periapendikular.

Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen

apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal.

Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir,

tetapi apabila keadaan umunnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general.

Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut

sehingga dapat terjadi keadaan-keadaan seperti apendisitis rekurens dan

apendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah apendisitis yang secara klinis

memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat

peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan

akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara

klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun

pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi kronis, dan serangan

menghilang setelah dilakukan apendektomi.

Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana

apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan-perlekatan yang banyak. Dan kadang-

kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke

peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-

kadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang mengalami distensi dan

berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks

yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut.

Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu apendisitis kronik.

Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali

adanya sumbatan dari lumen apendiks. Apendisitis yang berhubungan dengan

obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan

22

Page 24: Lapsus Apendisitis Mulia

lebih banyak terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit atau

benda asing lebih banyak ditemukan pada orang dewasa. Adanya fekalit

dihubungkan dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat fekalit

(apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah

mengalami komplikasi yaitu gangren.

Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada

penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi

reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi sehingga

mengakibatkan penyumbatan lumen apendiks.

Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya

telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadinya

peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain yang

menyokong teori infeksi enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri

dari suatu fokus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses

peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan mungkin saja dapat

terjadi karena apendiks dianggap tonsil abdomen.

Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab

dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan yang berlebihan

dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian

karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan

terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan permulaan dari proses

inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberian

purgative akan merangsang peristaltik yang merupakan predisposisi untuk

terjadinya perforasi dan peritonitis.

2.5 Klasifikasi Apendisitis

2.5.1 Apendisitis akut tanpa komplikasi (cataral appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa saja. Appendiks

kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendiks tersebut

dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan.

Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limfoid ke dalam dinding

23

Page 25: Lapsus Apendisitis Mulia

appendiks. Karena lumen appendiks tak tersumbat, maka hal ini hanya

menyebabkan peradangan biasa (simple appendicitis) ataupun dapat menjadi

appendisitis supuratif jikaterjadi infeksi dari bakteri piogenik .

Bila jaringan limfoid di dinding apendiks mengalami oedema, maka akan

mengakibatkan obstruksi lumen apendiks, yang akan mempengaruhi vaskularisasi

sehingga terjadi gangren, atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam

hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin post apendisitis akut,

kadang-kadang terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa

membentuk sumbatan pula.

2.5.2 Appendisitis akut dengan komplikasi

Komplikasi dapat berupa peritonitis, infiltrat, atau abses periapendikular.

Merupakan apendisitis yang berbahaya, karena appendiks menjadi lingkaran

tertutup yang berisi fecal material, yang telah mengalami dekomposisi. Perubahan

setelah terjadinya surnbatan lumen appendiks tergantung dari isi sumbatan. Bila

lumen appendiks kosong, appendiks hanya mengalami distensi yang berisi cairan

mukus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab biasanya

merupakan flora normal lumen usus berupa bakteri aerob (gram positif dan atau

gram negatif) dan anaerob.

Appendiks yang telah menjadi gangren dapat mengalami perforasi ataupun

ruptur. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensasi

dengan proses pembentukan dinding oleh jaringan sekitar, misal omentum dan

jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat (mass), atau proses pustulasi yang

mengakibatkan abses periapendiks.

2.5.3 Klasifikasi Klinikopatologi Cloud

Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut

adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud,

klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

24

Page 26: Lapsus Apendisitis Mulia

Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan

apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak

adatya eksudat serosa.

Apendisitis Supurativa (grade Il): Sering didapatkan adanya obstruksi,

apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,

mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen

pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini

mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan

mesenterium didekatnya.

Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi

didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,

kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah

terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen

dengan bau busuk.

Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur

apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak

obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.

Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,

abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka

kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis

bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II

belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III,

IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi menjadikan

presentasi klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten. Gejala utama

25

Page 27: Lapsus Apendisitis Mulia

appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu

nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik dengan sifat nyeri ringan sampai

berat, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Hal tersebut timbul oleh

karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri

visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal.

Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya hiperperistaltik untuk

mengatasi obstruksi, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding

appendiks yang mengalami peradangan. Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam),

nyeri akan beralih dan menetap di kuadran kanan bawah. Pada keadaan tersebut

sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum

parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir, serta nyeri akan lebih

hebat bila batuk ataupun berjalan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine

dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri.

Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia,

nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan

dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada

pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis

appendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan

vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya

sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan appendiks

dekat dengan vesika urinaria. Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi

sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal

tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah

rektum. Obstipasi dapat pula terjadi karena penderita takut mengejan.

Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik

yang beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan ujung yang

mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah

tersebut, nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila appendiks yang

meradang terletak di anterior, appendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri

flank area atau punggung, appendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada

suprapubik dan appendiks retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin

26

Page 28: Lapsus Apendisitis Mulia

karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. Urutan kejadian gejala

mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% appendisitis

akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdomen dan baru

diikuti oleh vomitus.

Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperatur jarang lebih dari

1oC, yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi.

Adanya perubahan atau peninggian yang besar menunjukkan telah terjadi

komplikasi seperti perforasi atau diagnosis lain yang perlu diperhatikan.

Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11,

Tl2, meskipun bukan penyerta yang konstan tetapi sering didapatkan pada

appendisitis akut.

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada

tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.

2.6.2.1 Inspeksi

Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit.

Perut kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada

appendikuler abses. Pasien tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi

pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.

2.6.2.2 Palpasi

Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit

tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri, kemudian secara

perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Status lokalis abdomen

kuadran kanan bawah, antara lain:

Nyeri tekan Mc. Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada kuadran kanan

bawah atau titik Mc.Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Oleh

Mc.Burney titik ini dinyatakan terletak antara 1,5 - 2 inchi dari spina iliaca

anterior superior (SIAS) pada garis lurus yang ditarik dari SIAS ke umbilikus.

Rebound tenderness

27

Page 29: Lapsus Apendisitis Mulia

Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat

tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang

perlahan dan dalam di titik Mc. Burney karena rangsangan atau iritasi peritoneum.

Defans muskuler

Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale pada m.Rektus abdominis.

Tahanan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses

peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunter seiring dengan

peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian

terjadi secara involunter.

Rovsing sign

Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila

dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal ini dikarenakan

tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan

peritoneum sekitar appendik yang meradang (iritasi peritoneal).

Psoas sign

Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign.

Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan

yang terjadi pada apendiks letak retrocaecal.

Ada 2 cara pemeriksaan :

o Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,

pasien diminta memfleksikan articulatio coxae kanan, dikatakan positif

jika menimbulkan nyeri perut kanan bawah.

o Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan oleh

pemeriksa, dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan bawah.

Obturator Sign

Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut

difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut

menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

Dunphy’s sign

28

Page 30: Lapsus Apendisitis Mulia

Nyeri tajam pada kuadaran kanan bawah yang dicetuskan dengan batuk

yang disengaja. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis

klinis dari peritonitis yang terlokalisir.

Markle sign

Nyeri timbul pada area tertentu di abdomen ketika pasien yang berdiri

dengan jempol kaki tiba-tiba dijatuhkan dengan posisi berdiri pada tumit.

Sensitivitas pada pemeriksaan ini yaitu 74%.

2.6.2.3 Perkusi

Nyeri ketok positif

2.6.2.4 Auskultasi

Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis.

Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata akibat

appendisitis perforata maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

2.6.2.5 Rectal Toucher

Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

2.6.2.6 Gejala dan tanda pada komplikasi appendisitis

Untuk apendisitis akut yang telah mengalami kornplikasi, misalnya

perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya yaitu sebagai berikut:

Perforasi

Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi apendiks paling

sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium.

Oleh sebab itu pada perforasi appendiks jarang didapatkan gambaran udara bebas

ekstralumen pada pemeriksaan foto polos abdomen. Appendiks yang mengalami

gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejaladan tanda sebagai berikut:

Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri

bertambah hebat dan mulai dirasakan menyebar.

Demam tinggi > 38,50C

29

Page 31: Lapsus Apendisitis Mulia

Leukositosis (leukosit > 14.000)

Dehidrasi dan asidosis

Distensi

Menghilangnya bising usus

Nyeri tekan kuadran kanan bawah

Rebound tenderness sign

Rovsing sign

Peritonitis

Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis yang

telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum merupakan kelanjutan dari

peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas,

distensi abdomen, bahkan ileus paralitik merupakan gejala-gejala peritonitis

umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis menunjukkan

peritonitis yang makin berat.

Abses atau Infiltrat

Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan

bawah, karena perforasi menyebabkan walling off (pembentukan dinding) oleh

omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio

abdomen kanan bawah tersebut. Massa mula-mula bisa berupa plegmon,

kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa

dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat, beberapa ahli

menganjurkan antibiotika terlebih dahulu, setelah 6 minggu kemudiun dilakukan

appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi.

Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di

kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan inflamasi

abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

2.6.3.1 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting dalam

menegakkan diagnosis appendisitis akut. Pada pasien dengan appendisitis akut,

30

Page 32: Lapsus Apendisitis Mulia

70-90% menunjukkan peningkatan jumlah leukosit terutama neutrofil (shift to the

left), walaupun hal ini tidak spesifik untuk appendisitis. Penyakit infeksi pada

pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang

terkadang sulit dibedakan dengan appendisitis akut.

Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup

terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral

dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk

pertahanan tubuh ke bagian tubuh yang mengalami injuri dengan cara:

1. Mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (leukosit polimorfonuklear,

makrofag) pada tempat tersebut.

2. Pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.

3. Menetralisir dan mencairkan iritan.

4. Membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya

dinding jaringan granulasi.

Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik

appendisitis akut, akan ditemukan adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3. Jika

jumlah leukosit >18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan

peritonitis. Namun beberapa penderita dengan apendisitis akut terkadang memiliki

jumlah leukosit dan granulosit normal.

Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis appendisitis

akut adalah CRP. Penanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan

menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. CRP adalah salah

satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4 - 6 jam setelah terjadinya

proses inflamasi, yang dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.

Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 – 90% dan lebih dari

90%. Pemeriksaan CRP mudah, tidak memerlukan waktu yang lama (5-10 menit),

dan murah.

Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan

menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa

sangat penting pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan

31

Page 33: Lapsus Apendisitis Mulia

atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendisitis yang

menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis dapat

ditemukan jumlah sel leukosit 10-15 sel/lapangan pandang.

2.6.3.2 Foto Polos Abdomen

Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak

membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit yaitu kotoran yang mengeras dan

terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat muara apendiks

(appendikolit). Gambaran appendikolit ini hanya ditemukan <10% kasus, tetapi

jika ada merupakan patognomonik appendisitis.

Jika peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian

kanan bawah akan kolaps dan dinding usus edematosa, sehingga akan tampak

abdomen kanan bawah kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong

ke bagian lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan

kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada

penderita apendisitis akut.

Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak

udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga

perlu foto khusus untuk melihatnya. Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya

disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak

merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas,

gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengaburan psoas shadow. Foto polos

abdomen supine pada abses apendiks kadang-kadang memberi pola bercak udara

dan air fluid level pada posisi berdiri atau left lateral decubitus (LLD), kalsifikasi

bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.

Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan

pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat

menentukan penyakit lain yang menyertai appendisitis. Barium enema adalah

suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk

memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar

appendik. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema, infiltrasi sehubungan

32

Page 34: Lapsus Apendisitis Mulia

dengan gagalnya barium memasuki appendik (filling defect). Terisinya sebagian

dengan distorsi bentuk kalibernya merupakan tanda appendisitis akut, terutama

bila ada impresi sekum. Sebaliknya, lumen appendiks yang paten menyingkirkan

diagnosis appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan

ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak

terisinya appendik merupakan tanda abses appendik. Barium enema juga dapat

menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks,

misalnya penyakit Chron, inverted appendiceal stump, intususepsi, neoplasma

benigna atau maligna. Gambaran Appendicogram pada appendisitis dapat berupa

filling defect, non filling defect, parsial, irreguler, dan tail mouse.

2.6.3.3 Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut

maupun apendisitis dengan abses. Apendiks yang normal jarang tampak dengan

pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler,

diameter > 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan

gambaran target pada penampakan transversal. Keadaan awal apendisitis akut

ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh,

ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm,

penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal.

Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh

cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan

apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan

bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel.

Akurasi USG antara 90 – 94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas

yaitu 85% dan 92%. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50%

pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya

apendiks saat USG tidak menyingkirkan adanya appendisitis. USG juga berguna

pada wanita untuk menyingkirkan diagnosis banding lain yang melibatkan organ

genitalia interna seperti ovarium, tuba falopi dan uterus.

33

Page 35: Lapsus Apendisitis Mulia

Hasil USG dapat dikategorikan menjadi normal, non spesifik,

kemungkinan penyakit lain, atau kemungkinan apendiks. Hasil USG yang tidak

spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil USG

dikatakan kemungkinan appendiks jika ditemukan dilatasi appendik di daerah

fossa iliaka kanan, dan dikonfirmasikan dengan gejala klinik yang mengarah pada

appendisitis.

2.6.3.4 Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Pada keadaan normal apendiks jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan ini.

Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat

mendukung kecurigaan apendisitis. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi yaitu 90 - 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 - 100%.

CT-Scan sangat baik antuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat

berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses peri-appendikular sekaligus

menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga abdomen dan pelvis yang

menyerupai appendisitis.

2.6.3.5 Magnetic resonance imaging (MRI)

Penggunaan MRI cukup terbatas karena biaya yang cukup mahal, waktu sken

yang cukup panjang, dan tidak selalu tersedia. Meskipun demikian, rendahnya

radiasi ionisasi membuat MRI menjadi modalitas utama pemeriksaan pada wanita

hamil. MRI juga lebih superior dibandingkan USG transabdominal dalam evaluasi

pasien hamil yang diduga mengalami apendisitis. Jadi jika tidak terdiagnosis

dengan USG, seharusnya dilakukan pemeriksaan MRI abdomen dan pelvis.

2.6.3.6 Laparoskopi

Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi

juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini

sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi

diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.

34

Page 36: Lapsus Apendisitis Mulia

2.6.3.7 Sistem skor Alvarado

Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis

ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk

menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan

instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang

bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun

1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua

temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan

untuk menilai derajat keparahan apendisitis.

Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem

skor Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan

pemeriksaan laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor

Alvarado akan semakin mendekati 10, dan ini mengarahkan kepada apendisitis

akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak

lengkap maka skor Alvarado semakin mendekati 1, ini mengarahkan kepada

apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Alvarado merekomendasikan untuk

melakukan operasi pada semua pasien dengan skor ≥ 7 dan melakukan observasi

untuk pasien dengan skor 5 atau 6.

Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:

Gejala dan tanda Skor

Nyeri berpindah 1

Anoreksia 1

Mual-muntah 1

Nyeri fossa iliaka kanan 2

Rebound tenderness 1

Peningkatan suhu tubuh 1

Leukositosis > 10.000 sel/mm3 2

Shift to the left (persentase neutrofil > 75%) 1

2.6.3.8 Histopatologi

35

Page 37: Lapsus Apendisitis Mulia

Pemeriksaan histopatologi adalah gold standard untuk diagnosis

appendisitis akut.

Tabel 2. Definisi histopatologi apendisitis akut

1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.

2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.

4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,

dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukosa.

5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan keterlibatan lapisan

mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

2.7 Diagnosis Banding

Pelvic inflammatory disease (PID) atau tubo-ovarian abscess (TOA)

Endometriosis

Torsi kista ovarium

Kehamilan Ektopik Terganggu

Leiomioma uteri

Ureterolithiasis dan kolik renal

Divertikulitis

36

Gambar 3. Algoritma klinis untuk evaluasi nyeri pada kuadran kanan bawah.

Page 38: Lapsus Apendisitis Mulia

Crohn disease

Karsinoma kolon

Hematoma rectus sheath

Kolesistitis

Enteritis bakterial

Adenitis mesenterium

Torsi omentum

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Tindakan Umum

Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi

menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan pasien sudah

sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam

rongga abdomen dan febris. Pasien memerlukan perawatan intensif sekurang-

kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang

untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah

muntah dan pasien dipuasakan.

Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun

sepsis maka diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena,

kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah

pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan

kekurangan cairan, serta pantau output urin.

Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas 380C

pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk

mengontrol demam. Berikan pula analgesik dan antiemetik parenteral untuk

kenyamanan pasien. Tetapi tidak dianjurkan pemberian analgetik pada pasien

dengan akut abdomen yang penyebabnya belum diketahui karena dapat

mengaburkan penegakkan diagnosis. Berikan pula antibiotik intravena pada

pasien yang menunjukkan tanda-tanda sepsis dan pada pasien yang akan

menjalani prosedur pembedahan laparotomi.

37

Page 39: Lapsus Apendisitis Mulia

2.8.2 Appendektomi

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah

apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan terbaik. Penundaan

apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau

perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.

Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan

pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang

dicapai melalui laparotomi. Pembedahan darurat (cito), dilakukan pada kasus

apendisitis akut, abses, dan perforasi, sedangkan pembedahan elektif dilakukan

pada apendisitis kronik.

Indikasi dari apendektomi antara lain:

1. Appendisitis akut (apendektomi Chaud)

2. Appendisitis kronis (apendektomi Froid)

3. Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)

4. Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu

5. Appendisitis perforasi

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :

1. Kutis

2. Subkutis

3. Fascia Scarfa

4. Fascia Camfer

5. Aponeurosis M. Obliqus Eksternus

6. M. Obliqus Internus

7. M. Transversus

8. Fascia Transversalis

9. Pre-peritoneum

10. Peritoneum

Macam insisi pada appendektomi:

38

Page 40: Lapsus Apendisitis Mulia

1. Insisi Gridiron (Mc Burney), yaitu insisi tegak lurus garis Mc Burney.

Keuntungannya adalah caecum lebih mudah dipegang dan kontaminasi

kuman minimal.

2. Incisi Paramedian kanan, terutama digunakan pada wanita, karena dapat

sekaligus melakukan eksplorasi adneksa, genitalia interna, khususnya pada

kasus-kasus yang meragukan. Kerugiannya yaitu caecum lebih sukar

dipegang dan kontaminasi lebih besar.

Padaappendisitis infiltrat, dilakukan konservatif terlebih dahulu kemudian

operasi elekfif dalam masa tenang, terapi konservatifnya antara lain:

Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg)

Diet rendah serat

Antibiotika spektrum luas

Metronidazol

Monitor tanda - tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED,

leukosit. Bila keadaan membaik dianjurkan untuk mobilisasi dan

selanjutnya dipulangkan.

2.8.3 Terapi medikamentosa

Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan

apendisitis. Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi

apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan.

Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman.

Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus

perforasi apendisitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau

melihat kondisi klinis penderita.

Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob

spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin

(100 mg/kgBB), gentamisin (7,5 mg/kgBB) dan klindamisin (40 mg/kgBB) dalam

dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan

menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidazol aktif terhadap

39

Page 41: Lapsus Apendisitis Mulia

bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan.

Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin.

2.9 Komplikasi dan Penyulit

Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami

perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang

paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun

perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling off)

sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks,

sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler.

Terjadinya massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau

mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada

massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi

penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum saat terjadi perforasi, akibatnya

akan terjadi peritonitis umum.

Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu

trombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi

apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses

hepatik.

Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya

adalah infeksi. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis

perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi,

infeksi yang terletak di lokasi pembedahan adalah yang paling sering, yaitu pada

luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi ini

bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi fisiologis

dan tipe penutupan luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada

kasus apendisitis, hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau

adhesi. Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan apendisitis perforasi.

Komplikasi lain, di antaranya:

Nekrosis dinding appendiks

Perforasi dinding appendiks dan pus masuk ke kavum peritonii

40

Page 42: Lapsus Apendisitis Mulia

General peritonitis

Periappendikular infiltrat atau Phlegmon atau Periappendicular

abses

Sepsis

Appendisitis kronis

Penyulit Appendektomi :

1. Durante Operasi

Perdarahan dari a. mesenterium atau omentum

Robekan sekum atau usus lain

2. Pasca Operasi

Perdarahan

Infeksi

Hematom

Paralitik ileus

Peritonitis

Fistel usus

Streng Ileus karena band

Hernia sikatrik

41

Page 43: Lapsus Apendisitis Mulia

BAB IV

TEORI DAN ANALISA KASUS

Diagnosis pre-operasi: Appendisitis akut

Diagnosis post-operasi: Appendisitis perforasi

Tabel 1 Anamnesis

Fakta Teori

Gejala:

Nyeri perut kanan bawah

sejak 3 hari sebelum MRS,

dirasakan terus-menerus,

seperti ditusuk-tusuk.

Nyeri diawali dengan nyeri

ulu hati pada pagi hari

kemudian berpindah ke perut

kanan bawah pada malam

harinya. Kadang-kadang

terasa kram pada perut.

Demam (+) sumer-sumer.

Anoreksia (+)

Tidak ada mual maupun

muntah.

Buang air besar (+) 1 kali

selama 3 hari terakhir, agak

keras.

Buang air kecil lancar, nyeri

(-), warna agak kemerahan

seperti teh, frekuensi normal

seperti biasa, tidak berpasir.

Etiologi

Gejala:

Nyeri abdomen, pada mulanya terjadi

nyeri visceral yaitu nyeri kolik ringan

sampai berat dirasakan mula-mula di

daerah epigastrium dan periumbilikal,

kadang-kadang disertai dengan kram

intermiten fase obstruksi

Nyeri akan beralih dan menetap di

kuadran kanan bawah setelah 6 jam,

berupa nyeri somatik yang berarti sudah

terjadi rangsangan pada peritoneum

parietal, dengan sifat nyeri yang lebih

tajam, terlokalisir, dan bertambah bila

batuk ataupun berjalan fase inflamasi.

Anoreksia, nausea dan vomitus

merupakan rangsangan viseral akibat

aktivasi n.vagus.

Obstipasi atau Diare

Gejala yang timbul bervariasi tergantung

variasi lokasi anatomi appendiks, usia

pasien, derajat inflamasi appendiks, dan

komplikasi yang menyertai.

Demam tidak terlalu tinggi

Etiologi

42

Page 44: Lapsus Apendisitis Mulia

Riwayat Konstipasi (+).

Pasien memiliki kebiasaan

makan makanan rendah serat

(jarang makan sayur dan

buah-buahan)

Mesoappendiks pendek,

appendiks hanya berukuran 2

cm.

Obstruksi lumen appendiks oleh karena:

Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)

Fekalit (35%), masa feses yang membatu

Corpus alienum (4%), biji - bijian

Striktur lumen (1%), kinking, karena

mesoappendiks pendek, adesi.

Parasit

obstruksi kolon distal dari apendiks

erosi mukosa

konstipasi dan diet rendah serat

Infeksi biasanya secara hematogen dari

tempat lain, misalnya pneumonia, tonsillitis,

dsb.

Tabel 2 Pemeriksaan Fisik

Fakta Teori

Tanda Vital

Frekuensi nadi: 88 x/menit

TD : 130/80 mmHg

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 37,10C, aksiler

Abdomen:

Inspeksi:

Bentuk flat, simetris, distensi (-)

Palpasi :

Soepel, defans muskuler lokal

dititik Mc Burney (+),Massa (-)

Nyeri tekan Mc. Burney (+),

Psoas Sign (+), Rovsing sign (+),

Tanda Vital

Tanda vital tidak berubah banyak.

Peninggian temperatur jarang lebih dari 1oC,

yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi

normal atau sedikit meninggi.

Inspeksi:

Perut kembung bila terjadi perforasi,

penonjolan perut kanan bawah terlihat pada

appendikuler abses. Pasien tidur miring ke

sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada

sendi paha, karena setiap ekstensi

meningkatkan nyeri.

Palpasi:

Nyeri tekan Mc. Burney atau nyeri tekan

43

Page 45: Lapsus Apendisitis Mulia

Blumberg sign (+), obturator sign

(-), Dunphy’s sign (+)

Perkusi: Nyeri ketok (+)

Auskultasi: Bising usus (+)

normal

Rectal Toucher : Tonus

spinchter ani menjepit kuat,

mukosa licin, sulkus mediana

teraba, massa (-), Nyeri tekan

arah jam 11 dan 12

Handscoen : feces (+), warna

kuning, lendir (-), darah (-)

kuadran kanan bawah

Nyeri tekan kuadran kiri bawah pada

pasien dengan situs inversus atau pasien

dengan appendiks panjang yang meluas

hingga ke kuadran kiri bawah.

Rebound tenderness atau Blumberg sign

Defans muskuler

Rovsing sign

Psoas sign

Obturator Sign

Dunphy’s sign

Markle sign

Guarding sign

Tanda-tanda tersebut tidak selalu ditemukan

pada pasien dengan appendicitis akut,

sehingga jika tidak ditemukan belum bisa

menyingkirkan kecurigaan inflamasi

appendiks. Tanda-tanda tersebut juga

dipengaruhi oleh lokasi anatomi appendiks.

Perkusi Nyeri ketok (+)

Auskultasi

Peristaltik biasanya normal, tetapi jika

sudah terjadi peritonitis generalisata akibat

appendisitis perforata maka tidak terdengar

bunyi peristaltik usus.

Rectal Toucher

Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang

Fakta Teori

44

Page 46: Lapsus Apendisitis Mulia

Laboratorium

Leukosit 11.300

Granulosit 75%

CRP tidak diperiksa

Pemeriksaan urinalisis dalam batas

normal

Modalitas pemeriksaan yang lain

tidak dilakukan.

Laboratorium

Leukositosis

Shift to the left

Peningkatan CRP

Urinalisis untuk menyingkirkan

adanya etiologi dari saluran kemih

Foto polos abdomen

Appendikogram

Ultrasonografi

CT scan

MRI

Laparoskopi

Histopatologi

Sistem skor Alvarado

Pada pasien didapatkan gejala migrasi dari nyeri yang awalnya timbul di

epigastrium dan berpindah ke kuadran kanan bawah disertai dengan anoreksia.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada kuadaran kanan bawah

dengan titik nyeri maksimal pada titik Mc Burney, nyeri tekan lepas, tetapi suhu

45

Page 47: Lapsus Apendisitis Mulia

tubuh dalam batas normal. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis

dengan dominasi sel polimorfonuklear (shift to the left). Sehingga didapatkan skor

Alvarado pasien ini yaitu 8, dan dipertimbangkan untuk melakukan tindakan

pembedahan.

Setelah dilakukan tindakan pembedahan didapatkan mikro-perforasi pada

appendiks. Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi

dengan gejala dan tanda sebagai berikut:

Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri bertambah

hebat dan mulai dirasakan menyebar.

Demam tinggi > 38,50C

Leukositosis (leukosit > 14.000)

Dehidrasi dan asidosis

Distensi

Menghilangnya bising usus

Nyeri tekan kuadran kanan bawah

Rebound tenderness sign

Rovsing sign

Pada pasien ini, gambaran gejala dan tanda tersebut tidak begitu jelas. Hal

ini kemungkinan diakibatkan perforasi yang terjadi berdiameter kecil dan letak

appendiks yang retrosekal sehingga terlindungi oleh sekum, sehingga proses

inflamasi terlokalisir dan tidak meluas.

Tabel 4 Penatalaksanaan

Fakta Teori

Tatalaksana Kuratif:

Appendektomi terbuka

Tatalaksana Suportif:

Pre-operasi:

Pasien dipuasakan

IVFD RL 20 tpm (kebutuhan

Tatalaksana Kuratif:

Appendektomi secara terbuka atau

dengan laparoskopi

Tatalaksana Suportif:

Pre-operasi:

Pasang NGT bila abdomen distensi

dan membutuhkan dekompresi

46

Page 48: Lapsus Apendisitis Mulia

maintenance)

Post operasi:

IVFD RL : D5% = 2 : 2, 20 tpm

(maintenance)

Diet lunak setelah flatus (+) dan

peristaltik usus membaik.

Perawatan luka operasi

Tatalaksana Simtomatis

Pre operasi: Tidak diberikan

Post operasi:

Analgesik Antrain inj 3 x 1 amp

Medikamentosa

Pre-operasi:

Cefotaxime inj 3 x 1 gr IV

Post operasi:

Stabactam inj 3 x 1 gr

Metronidazole infus 3 x 500

mg

lambung.

Pasien dipuasakan.

Pemberian cairan intravena

Post operasi:

o Resusitasi / Maintenance cairan

yang adekuat cairan , elektrolit

o Dukungan nutrisi awal oral

feeding jika:

Flatus (+), peristaltik usus pulih

Produksi NGT minimal

Distensi abdomen (-)

o Perawatan luka operasi

Tatalaksana Simtomatis

Antipiretik

Analgesik

Antiemetik

Medikamentosa

Antibiotik intravena untuk pasien yang

menunjukkan tanda-tanda sepsis atau

pasien yang akan menjalani prosedur

pembedahan.

Pada kasus dengan perforasi diberikan

kombinasi terapi antibiotik yang efektif

untuk bakteri gram negatif dan bakteri

anaerob sesuai dengan jenis bakteri

komensal pada sekum dan appendiks.

BAB V

KESIMPULAN

47

Page 49: Lapsus Apendisitis Mulia

Telah dilaporkan seorang pria berusia 24 tahun dengan keluhan nyeri perut

yang tajam di perut kanan bawah. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

hingga pemeriksaan laboratorium ditegakkan diagnosis kerja appendisitis akut.

Pasien dirawat sejak tanggal 12 – 18 November 2010. Penatalaksanaan pada

pasien ini berupa terapi bedah dengan appendektomi terbuka. Diagnosis post-

operatif adalah appendisitis perforasi. Prognosis pada pasien ini bonam karena

diameter perforasi kecil (mikro-perforasi) dan inflamasi terlokalisir oleh karena

letak appendiks yang retrosekal. Selain itu perbaikan klinis pasien cukup baik dan

tidak ditemukan komplikasi pasca bedah.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis

apendisitis akut. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila ada keraguan atau

untuk menyingkirkan diagnosis banding. Variasi pada posisi appendiks, usia

pasien, dan derajat inflamasi menjadikan presentasi klinis dari appendisitis

menjadi bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

48

Page 50: Lapsus Apendisitis Mulia

1. Yeh B. Evidence-based emergency medicine/rational clinical examination abstract. Does this adult patient have appendicitis?. Ann Emerg Med. Sep 2008;52(3):301-3.

2. Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK. Is there still a role for rectal examination in suspected appendicitis in adults?. Am J Emerg Med. Mar 2008;26(3):359-60. 

3. Shakhatreh HS. The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of acute appendicitis compared with that of clinical diagnosis. Med Arh. 2000;54(2):109-10.

4. Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen RJ. Laboratory tests in patients with acute appendicitis. ANZ J Surg. Jan-Feb 2006;76(1-2):71-4. 

5. Tundidor Bermudez AM, Amado Dieguez JA, Montes de Oca Mastrapa JL. Urological manifestations of acute appendicitis. Arch Esp Urol. Apr 2005;58(3):207-12.

6. Harswick C, Uyenishi AA, Kordick MF, Chan SB. Clinical guidelines, computed tomography scan, and negative appendectomies: a case series. Am J Emerg Med. Jan 2006;24(1):68-72

7. Malone AJ Jr, Wolf CR, Malmed AS, Melliere BF. Diagnosis of acute appendicitis: value of unenhanced CT. AJR Am J Roentgenol. Apr 1993;160(4):763-6. 

8. Poortman P, Oostvogel HJ, Bosma E, Lohle PN, Cuesta MA, de Lange-de Klerk ES, et al. Improving diagnosis of acute appendicitis: results of a diagnostic pathway with standard use of ultrasonography followed by selective use of CT. J Am Coll Surg. Mar 2009;208(3):434-41. 

9. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, et al. A new approach to accurate diagnosis of acute appendicitis. World J Surg. Sep 2005;29(9):1151-6, discussion 1157. 

10. Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg Med. May 1986;15(5):557-64. 

11. Eriksson S, Granstrom L. Randomized controlled trial of appendicectomy versus antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J Surg. Feb 1995;82(2):166-9. 

12. Bickell NA, Aufses AH, Rojas M. How time affects the risk of rupture in appendicitis. J Am Coll Surg. Mar 2006;202(3):401-6.

49

Page 51: Lapsus Apendisitis Mulia

13. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, et al. Effects of delaying appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours. Arch Surg. May 2006;141(5):504-6; discussioin 506-7. 

14. Liang MK, Lo HG, Marks JL. Stump appendicitis: a comprehensive review of literature. Am Surg. Feb 2006;72(2):162-6.

15. Bresciani C, Perez RO, Habr-Gama A, et al. Laparoscopic versus standard appendectomy outcomes and cost comparisons in the private sector. J Gastrointest Surg. Nov 2005;9(8):1174-80; discussion 1180-1. 

16. Liberman MA, Greason KL, Frame S, et al. Single-dose cefotetan or cefoxitin versus multiple-dose cefoxitin as prophylaxis in patients undergoing appendectomy for acute nonperforated appendicitis. J Am Coll Surg. Jan 1995;180(1):77-80. 

17. Lin HF, Wu JM, Tseng LM, et al. Laparoscopic versus open appendectomy for perforated appendicitis. J Gastrointest Surg. Jun 2006;10(6):906-10.

18. Orr RK, Porter D, Hartman D. Ultrasonography to evaluate adults for appendicitis: decision making based on meta-analysis and probabilistic reasoning. Acad Emerg Med. Jul 1995;2(7):644-50. 

19. Rao PM, Rhea JT, Rao JA, et al. Plain abdominal radiography in clinically suspected appendicitis: diagnostic yield, resource use, and comparison with CT. Am J Emerg Med. Jul 1999;17(4):325-8. 

20. Schwerk WB, Wichtrup B, Rothmund M, et al. Ultrasonography in the diagnosis of acute appendicitis: a prospective study. Gastroenterology. Sep 1989;97(3):630-9. 

21. Thomas SH, Silen W. Effect on diagnostic efficiency of analgesia for undifferentiated abdominal pain. Br J Surg. Jan 2003;90(1):5-9.

22. Webster DP, Schneider CN, Cheche S, et al. Differentiating acute appendicitis from pelvic inflammatory disease in women of childbearing age. Am J Emerg Med. Nov 1993;11(6):569-72. 

50