Lapsus Apendisitis Mulia
-
Upload
yulianti-maulana -
Category
Documents
-
view
606 -
download
4
Transcript of Lapsus Apendisitis Mulia
Bagian Ilmu Bedah LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
APPENDISITIS AKUT
DENGAN MIKRO-PERFORASI
Disusun oleh:
Mulia Noviarti, S.Ked NIM. 04.45408.00198.09
Ririn Megawati, S.Ked NIM. 04.4540.0020.09
Pembimbing:
dr. Anthony Simangunsong, SpB.
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2010
0
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi.................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 21.2 Tujuan ...................................................................................................... 3
BAB II LAPORAN KASUS .......................................................................... 4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi .................................................................................................. 123.2 Anatomi dan Embriologi Appendiks Vermiformis ................................ 123.3 Etiologi dan Faktor Resiko ..................................................................... 163.4 Patofisiologi ............................................................................................ 173.5 Klasifikasi .............................................................................................. 223.6 Diagnosis ............................................................................................... 243.7 Diagnosis Banding .................................................................................. 363.8 Penatalaksanaan ...................................................................................... 363.9 Komplikasi dan Penyulit ........................................................................ 39
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Anamnesis .............................................................................................. 414.2 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 424.3 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 444.4 Penatalaksanaan ...................................................................................... 45
BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis.
Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan
pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Appendisitis
akut memiliki manifestasi klinis yang beragam, terkadang menyerupai sindroma
klinis lainnya, dan berkaitan dengan morbiditas signifikan yang meningkat dengan
penundaan diagnosis. Jika telah terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi
seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan
infeksi luka operasi.
Appendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Insidensinya meningkat
pada pubertas dan mencapai puncaknya pada usia remaja dan pada usia 20 tahun.
Insiden terbanyak appendisitis akut berada pada kelompok usia 20-40 tahun.
Namun angka kejadian perforasi dari kasus apendisitis justru lebih sering terjadi
pada kelompok usia <12 tahun dan > 65 tahun. Diagnosis appendisitis akut pada
anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini
menghasilkan angka appendektomi negatif sebesar 20 % dan angka perforasi
sebesar 20-30 %.
Di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah kasus appendisitis dari 100
kasus menjadi 52 kasus setiap 100.000 penduduk dari tahun 1975 - 1991.
Terdapat 15 - 30 % gambaran histopatologi yang normal pada hasil appendektomi
dan 30 - 45% di antaranya terjadi pada wanita. Keadaan ini menambah komplikasi
pascaoperasi, seperti adhesi, konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan
jumlah hari kerja, dan produktivitas. Berdasarkan US Census Bureau,
International Data Base tahun 2004, di benua Asia negara Cina dan India masih
menempati urutan pertama dan kedua insidensi terbanyak kasus appendisitis akut,
sedangkan Indonesia menempati urutan ketiga. Insiden appendisitis akut di
Indonesia masih sangat tinggi. Pada Tahun 2004 terdapat 596.132 insiden dari
283.452.952 populasi masyarakat Indonesia.
2
Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian
laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan),
merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis appendisitis akut.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak digunakan dalam
diagnosis penunjang appendisitis akut. C-reactive protein (CRP), jumlah sel
leukosit, dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah penanda yang
sensitif bagi proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah
untuk Rumah Sakit di daerah.
Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat
mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus. Telah
banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, salah
satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring
sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak invasif . Alfredo
Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga
tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan
praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan appendisitis. Instrumen lain yang
sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah klasifikasi klinikopatologi dari
Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante
operasi. Semua upaya ini dilakukan untuk meminimalisir angka kejadian
appendektomi negatif tanpa meningkatkan insiden perforasi.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang appendisitis termasuk definisi, patofisiologi,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.
2. Mendapatkan keterampilan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan menggunakan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegakan
diagnosis appendisitis.
3. Mengkaji ketepatan dan kesesuaian kasus yang dilaporkan dengan teori
berdasarkan literatur.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
ANAMNESIS (Autoanamnesa pada tanggal 12 November 2010)
Identitas :
Nama : Tn. Barry
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Sindang Sari RT. 2
Pekerjaan : Pegawai swasta
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Status Kawin : Belum Kawin
Masuk Rumah Sakit : 12 November 2010
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri perut kanan bawah dialami pasien sejak 3 hari sebelum MRS,
awalnya nyeri dirasakan di ulu hati pada pagi hari pertama, seperti melilit dan
dirasakan terus-menerus, kadang-kadang terasa kram pada perut, oleh pasien
diberi obat maag tetapi nyeri tidak berkurang. Pada malam hari nyeri berpindah ke
perut kanan bawah, nyeri dirasakan terus-menerus, seperti ditusuk-tusuk. Demam
(+) sumer-sumer. Nafsu makan menurun tetapi tidak ada mual maupun muntah.
Buang air besar (+) 1 kali selama 3 hari terakhir, agak keras. Buang air kecil
lancar, nyeri (-), warna agak kemerahan seperti teh, berpasir (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Konstipasi (+). BAB tidak rutin setiap hari dan kadang-kadang agak
keras.
4
Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan makan makanan rendah serat (jarang makan sayur
dan buah-buahan).
PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 12 November 2010)
1. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Keadaan sakit : Sakit sedang
Tanda Vital :
Frekuensi Nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Pernafasan : 20 x/menit,.
Suhu : 37,10C, aksiler
2. Kepala dan Leher
a. Umum
Ekspresi : Tampak kesakitan
b. Mata
Konjunktiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : bulat, isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)
c. Mulut
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
d. Leher
Umum : simetris
Kelenjar limfe : membesar (-)
3. Thorax
a. Paru
I Bentuk : simetris
Pergerakan : simetris, retraksi ICS (-/-)
5
Pa ICS melebar : (-/-)
Fremitus raba : Simetris (D=S)
Pe Suara ketok : sonor (+/+)
Batas paru-hepar: ICS V dekstra
A Suara nafas : vesikuler
Suara tambahan: ronki (-/-), wheezing (-/-)
b. Jantung
I Ictus cordis tidak tampak
Pa Ictus cordis teraba pada ICS V MCL Sinistra
Pe Batas kanan : parasternal line ICS III Dextra
Batas kiri : ICS V MCL Sinistra
A S1 S2 tunggal, reguler, gallop (-), murmur (-).
4. Abdomen
I Bentuk : flat, distensi (-)
Kulit : normal
Pa Soepel, defans muskuler lokal di titik Mc Burney (+)
Turgor : normal
Nyeri tekan : Mc. Burney (+), Psoas Sign (+), Rovsing sign (+)
Pembesaran : hepar (-), ginjal (-), spleen (-)
Massa : (-)
Pe Timpani, Shifting dullness (-)
A Peristaltik usus : Bising usus (+) normal
5. Inguinal
Pembesaran kel. Limfe : (-/-)
Massa atau benjolan : (-/-)
6. Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edema (-/-)
Bawah : Akral hangat, edema (-/-)
6
7. Rectal Toucher : Tonus spinchter ani menjepit kuat, mukosa licin, sulkus
mediana teraba, massa (-), Nyeri tekan arah jam 11 dan 12
Handscoen : feces (+), warna kuning, lendir (-), darah (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 12-11-2010
Darah lengkap
Hb 16,0 gr/dl
Hct 49,3 %
Leukosit 11.300
Trombosit 270.000
Kimia darah
GDS 63 mg/dl
Ureum 29,4 mg/dl
Kreatinin 0,8 mg/dl
Urine
Warna Kuning
Kekeruhan Jernih
Berat Jenis 1,020
pH 6,0
Ketone +2
Protein +1
Urobilinogen +2
Epitel +
Leukosit 4-6
Eritrosit 1-2
7
DIAGNOSIS KERJA SEMENTARA
Appendisitis Akut
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Batu Saluran Kemih
Infeksi Saluran Kemih
Divertikulitis
PENATALAKSANAAN :
Farmakologi
IVFD RL 20 tpm
Cefotaxime injeksi 3 x 1 gram IV
Surgical
Appendektomi terbuka
DIAGNOSIS POST-OPERASI
Appendisitis Perforasi
LAPORAN OPERASI
Operasi dilakukan tanggal 13 November 2010.
Desinfeksi medan operasi dengan alkohol 70% kemudian povidone iodine
l0%. Pasang doek steril kecuali daerah tindakan, pasang doek klem, kemudian
pasang doek lubang
Dilakukan Insisi Mc.Burney pada kulit dengan mess kira-kira 6 cm, kontrol
perdarahan. Insisi diperdalam lapis demi lapis dengan cauter sampai tampak
aponeurosis MOE. Aponeurosis MOE dibuka dengan mess searah seratnya,
diperlebar ke kraniolateral dan kaudomedial dengan pertolongan pinset
anatomis.
Wondhaak tumpul dipasang dibawah MOE, sampai tampak MOI yang
seratnya transversal. MOI dan m.Transversus abdominis dibuka secara tumpul
dengan bantuan pinset anatomis searah seratnya, kemudian diperlebar dengan
8
langenback sampai tampak peritoneum warna putih mengkilat, haak dipasang
dibawah m. Transversus abdominis.
Dengan pinset chirurgis 2 buah peritoneum diangkat dan digunting diantara
kedua pinset, peritoneum dijepit dengan kocher sonde 2 buah, pinset dilepas.
Insisi peritoneum diperluas kearah kranial dan kaudal dengan gunting dan
tuntunan pinset untuk melindungi usus atau organ lain, kemudian pasang
langenback 2 buah.
Dicari caecum dengan tanda-tanda berwarna putih, memiliki taenia coli,
berdinding tebal, dan didapatkan appendices epiploica. Disusuri tempat
pertemuan ketiga taenia coli pada caecum yang merupakan base dari
appendiks. Didapatkan letak appendiks retrosekal dengan ukuran panjang ± 2
cm, terdapat adhesi dan mikroperforasi pada appendiks.
Mesoappendiks di basis appendiks dibuka kemudian pangkal Appendiks
diklem dan diligasi dengan zide 2.0. Dipotong antara klem dan ikatan.
Mesoappendiks diklem atau dipotong secara retrograde dan diligasi dengan
zide 2.0.
Dilakukan pembersihan dengan povidone iodine dan NaCl, kemudian insisi
abdomen dijahit lapis demi lapis.
PROGNOSIS
Bonam
9
FOLLOW UP
Pera
Watan
S O A P
Hari I
Tgl
12/11/10
Nyeri perut
kanan bawah
(+), mual (-),
muntah (-),
demam (-)
CM, N = 82x/i,
TD = 120/80
mmHg, RR =
22x/i, Nyeri
tekan Mc
Burney (+),
Rovsing Sign
(+), Psoas Sign
(+), Defans
muskuler lokal
di titik Mc
Burney (+)
Appendicitis
Akut
IVFD RL 20 tpm
Cefotaxim 3 x 1 gr (iv)
Rencana operasi besok
pagi
Hari II
Tgl
13/11/10
Nyeri luka
operasi (+), kaki
agak kram
CM, N=80x/i,
TD = 120/80
mmHg, RR =
22x/i, Nyeri
tekan Mc
Burney (+),
Rovsing Sign
(+), Psoas Sign
(+), Defans
muskuler lokal
di titik Mc
Burney (+)
Post
appendektomi
a/i appendicitis
perforasi
Operasi appendiktomi
appendicitis perforasi
IVFD RL:D5 = 2:2 = 20
tpm
Stabactam inj 3 x 1 gr
Antrain 3 x 1 amp
Metronidazole inf 3 x
500mg
Ranitidin inj 3 x 1 amp
18.30 Tidak bisa BAK,
nyeri luka
operasi (+)
CM, N = 102x/i,
TD
120/80mmHg
RR = 22x/i,
T=36,3C
Post
appendektomi
a/i appendicitis
perforasi
Lapor dr.jaga
Advise pasang
kateter
Hari IV
Tgl
15/11/10
Nyeri luka
operasi (+)
terutama jika
CM, N = 80x/i,
TD 130/90
mmHg, RR =
Post
appendektomi
hari ke-1 a/i
IVFD RL:D5 = 2:2 = 20
tpm
Stabactam inj 3 x 1 gr
10
bersin. Flatus
(+), BAB (-)
20x/i, nyeri
tekan abdomen
(+)
UT 1150 cc/20
jam
appendicitis
perforasi
Antrain 3 x 1 amp
Metronidazole inf 3 x
500mg
Ranitidin inj 3 x 1 amp
Hari V
Tgl
16/11/10
Nyeri perut
bekas operasi
(+) terutama jika
bersin. Flatus
(+), BAB (-)
CM, N = 80x/i,
TD 130/90
mmHg, RR =
20x/i, nyeri
tekan abdomen
(+)
Post
appendektomi
hari ke-2 a/i
appendicitis
perforasi
IVFD RL:D5 = 2:2 = 20
tpm
Stabactam inj 3x1gr
Antrain 3x1amp
Metronidazole inf
3x500mg
Ranitidin inj x1amp
16.00 demam (+) T : 40,00 C Post
appendektomi
hari ke-2 a/i
appendicitis
perforasi
PCT tablet 500mg
ekstra.
Hari VI
Tgl
17/11/10
Demam (+),
Mual (-),
muntah (-), BAB
(+) lancar, Nyeri
sekitar luka (+)
CM, N = 100x/i,
TD = 110/70
mmHg
RR = 20 x/i, T =
40C,
Post
appendektomi
hari ke-3 a/i
appendicitis
perforasi
Xillodela 1:1
PCT tab 3x500mg
Terapi lain lanjut
Aff kateter
Hari VII
Tgl
18/11/10
Demam (-),
mual (-), muntah
(-), BAB
normal, BAK
lancer
CM, N=82x/i,
TD=100/70
mmHg,
RR=22x/i,
T=37,0C
Post
appendektomi
hari ke-4 a/i
appendicitis
perforasi
Aff infus
Boleh pulang
Cefadroxil 3x500mg
As. Mefenamat
3x500mg
Ranitidin 2x1tab
Metronidazole tab
3x500mg
11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Appendisitis akut adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis.
Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan
pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah
terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses,
dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.
2.2 Anatomi dan Embriologi
Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi
duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon
asendens, dan ½ sampai ¾ bagian oral kolon transversum. Premordium sekum
dan appendiks vermiformis (caecal diverticulum) mulai tumbuh pada umur 6
minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi antimesenterium lengkung midgut
bagian kaudal. Selama perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan
pertumbuhan sekum melebihi kecepatan perturnbuhan appendiks, sehingga
menggeser apendiks ke arah medial di depan katup ileosekal. Appendiks
mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama kehamilan. Selama
masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanan-depan sekum,
akibatnya appendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada
posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal appendiks
di sisi medial. Organ ini merupakan organ yang tidak mempunyai kedudukan
yang tetap didalam rongga abdomen. Hubungan pangkal appendiks ke sekum
relatif konstan, sedangkan ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi
retrosekal, pelvikal, subsekal, preileal atau parakolika kanan. Posisi apendiks
retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus.
Secara histologi, struktur appendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
13
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Pada tunika Muskularis terdapat stratum
sirkularis (dalam) dan stratum longitudinale (luar), stratum longitunale merupakan
gabungan ke-3 taenia coli. Bagian paling luar appendiks ditutupi oleh lamina
serosa yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak appendiks retrosekal
maka tidak tertutup oleh peritoneum visceral. Menurut Wakeley (1997) lokasi
appendiks adalah sebagai berikut: retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%),
subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika kanan (0,4%).
Gambar 1. Lokasi appendiks
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan appendiks
memungkinkannya bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada panjangnya
mesoapendiks. Pada kasus selebihnya appendiks terletak retroperitoneal yaitu di
belakang sekum, dibelakang kolon asenden atau tepi lateral kolon asenden. Gejala
klinis appendisitis ditentukan oleh letak dari apendiks. Pada posisi retrosekal,
terkadang appendiks menjulang kekranial ke arah ren dekster, sehingga keluhan
penderita adalah nyeri di regio flank kanan. Terkadang diperlukan palpasi yang
agak dalam pada keadaan tertentu karena appendiks yang mengalami inflamasi ini
secara kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi.
14
Letak appendiks mungkin juga di regio kiri bawah, hal ini dipakai untuk penanda
kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks sampai
melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang
mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi usus,
appendiks bisa sampai diregio epigastrum, berdekatan dengan gaster atau hepar
lobus kanan.
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi
berkisar antara 2-22 cm. Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum
pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga
taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk
mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila
diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan bawah yang disebut
dengan titik Mc Burney.
Kira-kira 5% penderita mempunyai appendiks yang melingkar ke belakang
sekum dan naik (ke arah kranial) pada posisi retroperitoneal di belakang kolon
asenden. Apabila sekum gagal mengalami rotasi normal, mungkin appendiks bisa
terletak di mana saja di dalam kavum abdomen. Pada anak-anak appendiks lebih
panjang dan lebih tipis daripada dewasa. Oleh karena itu, pada peradangan akan
lebih mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum
mayus masih tipis, pendek dan lembut serta belum mampu membentuk
pertahanan atau pendindingan (walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis
umum karena appendisitis akut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada
dewasa. Appendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal,
mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut.
Lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini kemungkinan
menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut.
Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan
apeksnya menempel pada sekum. Diameter lumen appendiks antara 0,5 - 15 mm.
Lapisan epitel lumen appendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar
intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Appendiks mempunyai lapisan muskulus
dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari
15
lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal
yang dibentuk oleh fusi dari 3 taenia koli diperbatasan antara sekum dan
appendiks. Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak
caecum ,pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu:
Taenia libra
Taenia omentalis
Taenia mesokolika
Pangkalnya terletak pada posteromedial sekum. Pada Ileocaecal junction
terdapat Valvula Ileocaecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat
valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-l4 cm, diameter 0,7 cm.
Lumen bagian proksimalnya menyempit, sedangkan bagian distal melebar. Hal ini
berlawanan pada bayi, sehingga menyebabkan rendahnya insidens appendisitis
pada usia tersebut.
Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2
minggu setelah kelahiran. Pada masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih
ada. Folikel ini jumlahnya terus meningkat sampai puncaknya berjumlah sekitar
200 pada usia pubertas (12 - 20 tahun), dan menetap dalam waktu l0 tahun
berikutnya, kemudian mulai menurun dengan pertambahan usia. Setelah usia 30
tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai setengahnya, dan berangsur
menghilang pada usia 60 tahun. Mesoapendiks terletak dibelakang ileum terminal
yang bergabung dengan mesenterium intestinal.
Vaskularisasi apendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika, yang
merupakan cabang a. mesenterika superior, yaitu a. apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral, sehingga apabila terjadi trombus pada apendisitis akut akan
berakibat terbentuknya gangren, dan bahkan perforasi dari apendiks tersebut.
Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada
ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang inkomplet,
arteri ini terletak pada dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek dapat
berakibat apendiks yang terfiksir (immobile).
Vena apendiks bermuara di vena ileokolika yang melanjutkan diri ke vena
mesenterika superior. Sedangkan sistim limfatiknya mengalir ke limfonodi
16
ileosekal. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua noduli
limfatik yang terletak pada mesoapendiks. Dari sini cairan limfe berjalan melalui
sejumlah noduli lirnfatik mesenterika untuk mencapai noduli limfatik mesenterika
superior.
Persarafan apendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus
vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut saraf aferen yang
menghantarkan rasa nyeri viseral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatis
dan masuk ke medula spinalis setinggi segmen torakal X karena itu nyeri visceral
pada apendiks bermula disekitar umbilikus.
Malrotasi atau maldesensus dari sekum akan mengakibatkan kelainan letak
dari apendiks sehingga mungkin saja apendiks terletak disepanjang daerah fossa
iliaka kanan dan area infrasplenik kiri. Jika terdapat transposisi dari visera maka
apendiks dapat terletak di kuadran kiri bawah. Adanya benda-benda asing yang
terperangkap dalam lumen apendiks, posisinya yang mobile, adanya kinking,
band, adhesi dan keadaan-keadaan yang menyebabkan angulasi dari apendiks,
maka keadaan akan semakin buruk. Banyaknya jaringan limfoid pada dindingnya
juga akan mempermudah terjadinya infeksi pada apendiks.
Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila terjadi
peradangan apendiks adalah omentum, yang merupakan salah satu alat pertahanan
tubuh apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk apendiks. Pada umur
dibawah 10 tahun pertumbuhan omentum ini pada umumnya belum sempurna,
masih tipis dan pendek, sehingga belum dapat mencapai apendiks apabila terjadi
apendisitis. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab lebih mudahnya
terjadi perforasi dan peritonitis umum pada apendisitis anak.
2.3 Etiologi & Faktor Resiko
Penyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi :
2.3.1 Obstruksi
Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
Fekalit (35%), masa feses yang membatu
17
Corpus alienum (4%), biji - bijian
Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.
2.3.2 Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia,
tonsillitis, dsb. Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli dan
Streptococcus.
Ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya apendisitis, antara lain:
Adanya isi lumen
Derajat sumbatan yang terus menerus
Sekresi mukus yang terus menerus
Sifat inelastis atau tak lentur dari mukosa apendiks
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya
apendisitis akut diantaranya obstruksi lumen apendiks, obstruksi bagian distal
kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat. Pada keadaan klinis, faktor
obstruksi ditemukan dalam 60 - 70% kasus, 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit, dan 5%
disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.
Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan faktor
resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah pembengkakan sistim
limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan konsentrasi
flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis
Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu. Pada
keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 - 25 cmH2O dan
meningkat menjadi 30 - 50 cmH2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal
tekanan pada lumen sekum antara3 – 4 cmH2O, sehingga terjadi perbedaan
tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum.
Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal.
Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues
18
(GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol
proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan
antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks sebagai sistem imun tidak begitu
penting. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak terjadi efek
pada sistem imunologi.
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan
peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap
apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak
ditemukan. Ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus,
Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar
penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi ditemukan bakteri
anaerobik terutama Bacteroides fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa,
submukosa, dan muskularis, yang menyebabkan oedem, hiperemis dan kongesti
lokal vaskuler, dan hiperplasi kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis
pada vasa dengan nekrosis dan perforasi.
Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu:
akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi
sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, efusi, obstruksi
arteri dan hipoksia, serta terjadinya infeksi anaerob. Keadaan obstruksi berakibat
terjadinya proses inflamasi. Obstruksi pada bagian distal kolon akan
meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan
terhambat keluar, sehingga tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan
gangguan drainage pada:
Limfe
Terjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi ulserasi
mukosa mengakibatkan terjadinya apendisitis akut.
Vena
Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat mengakibatkan
timbulnya pus hingga menjadi apendisitis supuratif.
19
Arteri
Terjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan
terjadinya apendisitis gangrenosa ataupun perforasi yang
mengakibatkan terjadinya peritonitis umum.
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis dapat menyebabkan erosi
membran mukosa apendiks dan perdarahan. Pada kasus infiltrasi bakteri, dapat
menyebabkan apendisitis akut dan abses. Pada awalnya Entamoeba histolytica
berkembang di kripta glandula intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa,
parasit ini memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sebagai
pencetus terjadinya ulkus. Keadaan berikutnya adalah bakteri yang menginvasi
dan berkembang pada ulkus, dan memprovokasi proses inflamasi yang dimulai
dengan infiltrasi sel radang akut.
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum,
yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah
serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses memadat, lebih lengket dan
makin membesar, sehingga membutuhkan proses transit dalam kolon yang lebih
lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek waktu transit feses dalam
kolon, tetapi juga dapat mengubah kandungan bakteri.
Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Karena apendiks
merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang sempit dan secara
normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks yang terinfeksi selalu ada.
Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya suatu mekanisme valvula pada
pangkal apendiks yang dikenal dengan valvula Gerlach.
Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina
muskularis dan lamina serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12 - 24 jam
pertama.
20
Obstruksi pada bagian yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan
stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus yang terbentuk secara terus menerus
akan terakumulasi. Selanjutnya akan menyebabkan tekanan intraluminer
meningkat, kondisi ini akan memacu proses translokasi kuman dan terjadi
peningkatan jumlah kuman di dalam lumen apendiks secara cepat. Selanjutnya
terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan oedem. Kondisi yang kurang
baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa
dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks, maka terjadilah keadaan yang
disebut apendisitis fokal , atau apendisitis simpel.
Apendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi :
Sembuh
Kronik
Perforasi
Infiltrat atau abses. Ini terjadi bila proses berjalan lambat, ileum
terminal, sekum dan omentum akan membentuk barier dalam
bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana omentum pendek dan
orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit terbentuk
infiltrat, sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.
Obstruksi yang berkelanjutan menyebabkan tekanan intraluminer semakin
tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular
akan mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan
menyebabkan oedem bertambah berat, terjadi iskemi, dan invasi bakteri semakin
berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding apendiks, terjadilah keadaan yang
disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut, tekanan
intraluminer yang semakin tinggi dan oedem yang lebih hebat mengakibatkan
gangguan sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadinya gangren pada dinding
apendiks terutama pada daerah antimesenterial yang relatif miskin vaskularisasi.
Gangren biasanya di tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid.
Keadaan ini disebut apendisitis gangrenosa. Apabila tekanan intraluminer semakin
meningkat, akan terjadi perforasi pada daerah yang mengalami gangren tersebut.
21
Material intraluminer yang infeksius akan tercurah ke dalam rongga peritoneum
dan terjadilah peritonitis lokal maupun general tergantung keadaan umum
penderita dan fungsi pertahanan omentum. Apabila fungsi omentum baik, tempat
yang mengalami perforasi akan ditutup oleh omentum, terjadilah infitrat
periapendikular. Apabila kemudian terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu
rongga yang berisi nanah di sekitar apendiks, terjadilah keadaan yang disebut
abses periapendikular.
Apabila omentum belum berfungsi baik, material infeksius dari lumen
apendiks tersebut akan menyebar di sekitar apendiks dan terjadi peritonitis lokal.
Selanjutnya apabila keadaan umum tubuh cukup baik, proses akan terlokalisir,
tetapi apabila keadaan umunnya kurang baik maka akan terjadi peritonitis general.
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut
sehingga dapat terjadi keadaan-keadaan seperti apendisitis rekurens dan
apendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah apendisitis yang secara klinis
memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks terdapat
peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda peradangan
akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai apendisitis yang secara
klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun
pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi kronis, dan serangan
menghilang setelah dilakukan apendektomi.
Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana
apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan-perlekatan yang banyak. Dan kadang-
kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke
peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi kinking, kadang-
kadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang mengalami distensi dan
berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari apendiks
yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut.
Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu apendisitis kronik.
Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali
adanya sumbatan dari lumen apendiks. Apendisitis yang berhubungan dengan
obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan
22
lebih banyak terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena fekalit atau
benda asing lebih banyak ditemukan pada orang dewasa. Adanya fekalit
dihubungkan dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat fekalit
(apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah
mengalami komplikasi yaitu gangren.
Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada
penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi
reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi sehingga
mengakibatkan penyumbatan lumen apendiks.
Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya
telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadinya
peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain yang
menyokong teori infeksi enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri
dari suatu fokus di hidung atau tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses
peradangan pada apendiks. Secara hematogen dikatakan mungkin saja dapat
terjadi karena apendiks dianggap tonsil abdomen.
Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab
dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan yang berlebihan
dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian
karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan
terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan permulaan dari proses
inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan apendisitis maka pemberian
purgative akan merangsang peristaltik yang merupakan predisposisi untuk
terjadinya perforasi dan peritonitis.
2.5 Klasifikasi Apendisitis
2.5.1 Apendisitis akut tanpa komplikasi (cataral appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa saja. Appendiks
kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendiks tersebut
dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan kemerahan.
Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limfoid ke dalam dinding
23
appendiks. Karena lumen appendiks tak tersumbat, maka hal ini hanya
menyebabkan peradangan biasa (simple appendicitis) ataupun dapat menjadi
appendisitis supuratif jikaterjadi infeksi dari bakteri piogenik .
Bila jaringan limfoid di dinding apendiks mengalami oedema, maka akan
mengakibatkan obstruksi lumen apendiks, yang akan mempengaruhi vaskularisasi
sehingga terjadi gangren, atau hanya mengalami perforasi (mikroskopis), dalam
hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin post apendisitis akut,
kadang-kadang terbentuk adesi yang mengakibatkan kinking, dan kejadian ini bisa
membentuk sumbatan pula.
2.5.2 Appendisitis akut dengan komplikasi
Komplikasi dapat berupa peritonitis, infiltrat, atau abses periapendikular.
Merupakan apendisitis yang berbahaya, karena appendiks menjadi lingkaran
tertutup yang berisi fecal material, yang telah mengalami dekomposisi. Perubahan
setelah terjadinya surnbatan lumen appendiks tergantung dari isi sumbatan. Bila
lumen appendiks kosong, appendiks hanya mengalami distensi yang berisi cairan
mukus dan terbentuklah mucocele. Sedangkan bakteria penyebab biasanya
merupakan flora normal lumen usus berupa bakteri aerob (gram positif dan atau
gram negatif) dan anaerob.
Appendiks yang telah menjadi gangren dapat mengalami perforasi ataupun
ruptur. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan dikompensasi
dengan proses pembentukan dinding oleh jaringan sekitar, misal omentum dan
jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat (mass), atau proses pustulasi yang
mengakibatkan abses periapendiks.
2.5.3 Klasifikasi Klinikopatologi Cloud
Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud,
klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
24
Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan
apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak
adatya eksudat serosa.
Apendisitis Supurativa (grade Il): Sering didapatkan adanya obstruksi,
apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,
mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen
pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini
mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan
mesenterium didekatnya.
Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi
didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,
kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah
terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen
dengan bau busuk.
Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur
apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak
obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.
Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,
abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka
kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis
bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.
Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II
belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III,
IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi menjadikan
presentasi klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten. Gejala utama
25
appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu
nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik dengan sifat nyeri ringan sampai
berat, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Hal tersebut timbul oleh
karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri
visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal.
Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya hiperperistaltik untuk
mengatasi obstruksi, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding
appendiks yang mengalami peradangan. Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam),
nyeri akan beralih dan menetap di kuadran kanan bawah. Pada keadaan tersebut
sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum
parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir, serta nyeri akan lebih
hebat bila batuk ataupun berjalan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine
dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan nyeri.
Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia,
nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan
dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada
pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis
appendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan
vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya
sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan appendiks
dekat dengan vesika urinaria. Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi
sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal
tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah
rektum. Obstipasi dapat pula terjadi karena penderita takut mengejan.
Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan ujung yang
mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila appendiks yang
meradang terletak di anterior, appendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri
flank area atau punggung, appendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada
suprapubik dan appendiks retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin
26
karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. Urutan kejadian gejala
mempunyai kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% appendisitis
akut, anoreksia merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdomen dan baru
diikuti oleh vomitus.
Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperatur jarang lebih dari
1oC, yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi.
Adanya perubahan atau peninggian yang besar menunjukkan telah terjadi
komplikasi seperti perforasi atau diagnosis lain yang perlu diperhatikan.
Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10, T11,
Tl2, meskipun bukan penyerta yang konstan tetapi sering didapatkan pada
appendisitis akut.
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada
tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.
2.6.2.1 Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit.
Perut kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada
appendikuler abses. Pasien tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi
pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.
2.6.2.2 Palpasi
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri, kemudian secara
perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Status lokalis abdomen
kuadran kanan bawah, antara lain:
Nyeri tekan Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada kuadran kanan
bawah atau titik Mc.Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Oleh
Mc.Burney titik ini dinyatakan terletak antara 1,5 - 2 inchi dari spina iliaca
anterior superior (SIAS) pada garis lurus yang ditarik dari SIAS ke umbilikus.
Rebound tenderness
27
Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang
perlahan dan dalam di titik Mc. Burney karena rangsangan atau iritasi peritoneum.
Defans muskuler
Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale pada m.Rektus abdominis.
Tahanan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses
peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunter seiring dengan
peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot, sehingga kemudian
terjadi secara involunter.
Rovsing sign
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal ini dikarenakan
tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan
peritoneum sekitar appendik yang meradang (iritasi peritoneal).
Psoas sign
Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign.
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan
yang terjadi pada apendiks letak retrocaecal.
Ada 2 cara pemeriksaan :
o Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien diminta memfleksikan articulatio coxae kanan, dikatakan positif
jika menimbulkan nyeri perut kanan bawah.
o Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan oleh
pemeriksa, dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan bawah.
Obturator Sign
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.
Dunphy’s sign
28
Nyeri tajam pada kuadaran kanan bawah yang dicetuskan dengan batuk
yang disengaja. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
klinis dari peritonitis yang terlokalisir.
Markle sign
Nyeri timbul pada area tertentu di abdomen ketika pasien yang berdiri
dengan jempol kaki tiba-tiba dijatuhkan dengan posisi berdiri pada tumit.
Sensitivitas pada pemeriksaan ini yaitu 74%.
2.6.2.3 Perkusi
Nyeri ketok positif
2.6.2.4 Auskultasi
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis.
Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.
2.6.2.5 Rectal Toucher
Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12
2.6.2.6 Gejala dan tanda pada komplikasi appendisitis
Untuk apendisitis akut yang telah mengalami kornplikasi, misalnya
perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya yaitu sebagai berikut:
Perforasi
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi apendiks paling
sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium.
Oleh sebab itu pada perforasi appendiks jarang didapatkan gambaran udara bebas
ekstralumen pada pemeriksaan foto polos abdomen. Appendiks yang mengalami
gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejaladan tanda sebagai berikut:
Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri
bertambah hebat dan mulai dirasakan menyebar.
Demam tinggi > 38,50C
29
Leukositosis (leukosit > 14.000)
Dehidrasi dan asidosis
Distensi
Menghilangnya bising usus
Nyeri tekan kuadran kanan bawah
Rebound tenderness sign
Rovsing sign
Peritonitis
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis yang
telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum merupakan kelanjutan dari
peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas,
distensi abdomen, bahkan ileus paralitik merupakan gejala-gejala peritonitis
umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis menunjukkan
peritonitis yang makin berat.
Abses atau Infiltrat
Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan
bawah, karena perforasi menyebabkan walling off (pembentukan dinding) oleh
omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio
abdomen kanan bawah tersebut. Massa mula-mula bisa berupa plegmon,
kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa
dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat, beberapa ahli
menganjurkan antibiotika terlebih dahulu, setelah 6 minggu kemudiun dilakukan
appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi.
Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di
kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan inflamasi
abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi.
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
2.6.3.1 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting dalam
menegakkan diagnosis appendisitis akut. Pada pasien dengan appendisitis akut,
30
70-90% menunjukkan peningkatan jumlah leukosit terutama neutrofil (shift to the
left), walaupun hal ini tidak spesifik untuk appendisitis. Penyakit infeksi pada
pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang
terkadang sulit dibedakan dengan appendisitis akut.
Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup
terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral
dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk
pertahanan tubuh ke bagian tubuh yang mengalami injuri dengan cara:
1. Mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (leukosit polimorfonuklear,
makrofag) pada tempat tersebut.
2. Pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.
3. Menetralisir dan mencairkan iritan.
4. Membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya
dinding jaringan granulasi.
Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
appendisitis akut, akan ditemukan adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3. Jika
jumlah leukosit >18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan
peritonitis. Namun beberapa penderita dengan apendisitis akut terkadang memiliki
jumlah leukosit dan granulosit normal.
Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis appendisitis
akut adalah CRP. Penanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan
menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. CRP adalah salah
satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4 - 6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, yang dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 – 90% dan lebih dari
90%. Pemeriksaan CRP mudah, tidak memerlukan waktu yang lama (5-10 menit),
dan murah.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa
sangat penting pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan
31
atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendisitis yang
menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis dapat
ditemukan jumlah sel leukosit 10-15 sel/lapangan pandang.
2.6.3.2 Foto Polos Abdomen
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak
membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit yaitu kotoran yang mengeras dan
terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat muara apendiks
(appendikolit). Gambaran appendikolit ini hanya ditemukan <10% kasus, tetapi
jika ada merupakan patognomonik appendisitis.
Jika peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian
kanan bawah akan kolaps dan dinding usus edematosa, sehingga akan tampak
abdomen kanan bawah kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong
ke bagian lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada
penderita apendisitis akut.
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak
udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga
perlu foto khusus untuk melihatnya. Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya
disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak
merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas,
gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengaburan psoas shadow. Foto polos
abdomen supine pada abses apendiks kadang-kadang memberi pola bercak udara
dan air fluid level pada posisi berdiri atau left lateral decubitus (LLD), kalsifikasi
bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan
pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai appendisitis. Barium enema adalah
suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk
memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar
appendik. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema, infiltrasi sehubungan
32
dengan gagalnya barium memasuki appendik (filling defect). Terisinya sebagian
dengan distorsi bentuk kalibernya merupakan tanda appendisitis akut, terutama
bila ada impresi sekum. Sebaliknya, lumen appendiks yang paten menyingkirkan
diagnosis appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan
ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak
terisinya appendik merupakan tanda abses appendik. Barium enema juga dapat
menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks,
misalnya penyakit Chron, inverted appendiceal stump, intususepsi, neoplasma
benigna atau maligna. Gambaran Appendicogram pada appendisitis dapat berupa
filling defect, non filling defect, parsial, irreguler, dan tail mouse.
2.6.3.3 Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut
maupun apendisitis dengan abses. Apendiks yang normal jarang tampak dengan
pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler,
diameter > 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan
gambaran target pada penampakan transversal. Keadaan awal apendisitis akut
ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh,
ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm,
penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal.
Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh
cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan
apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan
bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel.
Akurasi USG antara 90 – 94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas
yaitu 85% dan 92%. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50%
pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya
apendiks saat USG tidak menyingkirkan adanya appendisitis. USG juga berguna
pada wanita untuk menyingkirkan diagnosis banding lain yang melibatkan organ
genitalia interna seperti ovarium, tuba falopi dan uterus.
33
Hasil USG dapat dikategorikan menjadi normal, non spesifik,
kemungkinan penyakit lain, atau kemungkinan apendiks. Hasil USG yang tidak
spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil USG
dikatakan kemungkinan appendiks jika ditemukan dilatasi appendik di daerah
fossa iliaka kanan, dan dikonfirmasikan dengan gejala klinik yang mengarah pada
appendisitis.
2.6.3.4 Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
Pada keadaan normal apendiks jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan ini.
Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat
mendukung kecurigaan apendisitis. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90 - 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 - 100%.
CT-Scan sangat baik antuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.
Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat
berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses peri-appendikular sekaligus
menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga abdomen dan pelvis yang
menyerupai appendisitis.
2.6.3.5 Magnetic resonance imaging (MRI)
Penggunaan MRI cukup terbatas karena biaya yang cukup mahal, waktu sken
yang cukup panjang, dan tidak selalu tersedia. Meskipun demikian, rendahnya
radiasi ionisasi membuat MRI menjadi modalitas utama pemeriksaan pada wanita
hamil. MRI juga lebih superior dibandingkan USG transabdominal dalam evaluasi
pasien hamil yang diduga mengalami apendisitis. Jadi jika tidak terdiagnosis
dengan USG, seharusnya dilakukan pemeriksaan MRI abdomen dan pelvis.
2.6.3.6 Laparoskopi
Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi
juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini
sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi
diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.
34
2.6.3.7 Sistem skor Alvarado
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang
bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun
1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua
temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan
untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem
skor Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan
pemeriksaan laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor
Alvarado akan semakin mendekati 10, dan ini mengarahkan kepada apendisitis
akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak
lengkap maka skor Alvarado semakin mendekati 1, ini mengarahkan kepada
apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Alvarado merekomendasikan untuk
melakukan operasi pada semua pasien dengan skor ≥ 7 dan melakukan observasi
untuk pasien dengan skor 5 atau 6.
Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:
Gejala dan tanda Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Rebound tenderness 1
Peningkatan suhu tubuh 1
Leukositosis > 10.000 sel/mm3 2
Shift to the left (persentase neutrofil > 75%) 1
2.6.3.8 Histopatologi
35
Pemeriksaan histopatologi adalah gold standard untuk diagnosis
appendisitis akut.
Tabel 2. Definisi histopatologi apendisitis akut
1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3 Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.
4 Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukosa.
5 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan keterlibatan lapisan
mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.
2.7 Diagnosis Banding
Pelvic inflammatory disease (PID) atau tubo-ovarian abscess (TOA)
Endometriosis
Torsi kista ovarium
Kehamilan Ektopik Terganggu
Leiomioma uteri
Ureterolithiasis dan kolik renal
Divertikulitis
36
Gambar 3. Algoritma klinis untuk evaluasi nyeri pada kuadran kanan bawah.
Crohn disease
Karsinoma kolon
Hematoma rectus sheath
Kolesistitis
Enteritis bakterial
Adenitis mesenterium
Torsi omentum
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Tindakan Umum
Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi
menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan pasien sudah
sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam
rongga abdomen dan febris. Pasien memerlukan perawatan intensif sekurang-
kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang
untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah
muntah dan pasien dipuasakan.
Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun
sepsis maka diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena,
kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah
pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan
kekurangan cairan, serta pantau output urin.
Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas 380C
pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk
mengontrol demam. Berikan pula analgesik dan antiemetik parenteral untuk
kenyamanan pasien. Tetapi tidak dianjurkan pemberian analgetik pada pasien
dengan akut abdomen yang penyebabnya belum diketahui karena dapat
mengaburkan penegakkan diagnosis. Berikan pula antibiotik intravena pada
pasien yang menunjukkan tanda-tanda sepsis dan pada pasien yang akan
menjalani prosedur pembedahan laparotomi.
37
2.8.2 Appendektomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan
pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang
dicapai melalui laparotomi. Pembedahan darurat (cito), dilakukan pada kasus
apendisitis akut, abses, dan perforasi, sedangkan pembedahan elektif dilakukan
pada apendisitis kronik.
Indikasi dari apendektomi antara lain:
1. Appendisitis akut (apendektomi Chaud)
2. Appendisitis kronis (apendektomi Froid)
3. Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
4. Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu
5. Appendisitis perforasi
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1. Kutis
2. Subkutis
3. Fascia Scarfa
4. Fascia Camfer
5. Aponeurosis M. Obliqus Eksternus
6. M. Obliqus Internus
7. M. Transversus
8. Fascia Transversalis
9. Pre-peritoneum
10. Peritoneum
Macam insisi pada appendektomi:
38
1. Insisi Gridiron (Mc Burney), yaitu insisi tegak lurus garis Mc Burney.
Keuntungannya adalah caecum lebih mudah dipegang dan kontaminasi
kuman minimal.
2. Incisi Paramedian kanan, terutama digunakan pada wanita, karena dapat
sekaligus melakukan eksplorasi adneksa, genitalia interna, khususnya pada
kasus-kasus yang meragukan. Kerugiannya yaitu caecum lebih sukar
dipegang dan kontaminasi lebih besar.
Padaappendisitis infiltrat, dilakukan konservatif terlebih dahulu kemudian
operasi elekfif dalam masa tenang, terapi konservatifnya antara lain:
Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg)
Diet rendah serat
Antibiotika spektrum luas
Metronidazol
Monitor tanda - tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED,
leukosit. Bila keadaan membaik dianjurkan untuk mobilisasi dan
selanjutnya dipulangkan.
2.8.3 Terapi medikamentosa
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan
apendisitis. Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi
apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan.
Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman.
Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus
perforasi apendisitis. Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau
melihat kondisi klinis penderita.
Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob
spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100 mg/kgBB), gentamisin (7,5 mg/kgBB) dan klindamisin (40 mg/kgBB) dalam
dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan
menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidazol aktif terhadap
39
bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan.
Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin.
2.9 Komplikasi dan Penyulit
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami
perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang
paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling off)
sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks,
sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler.
Terjadinya massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada
massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum saat terjadi perforasi, akibatnya
akan terjadi peritonitis umum.
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu
trombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses
hepatik.
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya
adalah infeksi. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis
perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi,
infeksi yang terletak di lokasi pembedahan adalah yang paling sering, yaitu pada
luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi ini
bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi fisiologis
dan tipe penutupan luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada
kasus apendisitis, hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau
adhesi. Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan apendisitis perforasi.
Komplikasi lain, di antaranya:
Nekrosis dinding appendiks
Perforasi dinding appendiks dan pus masuk ke kavum peritonii
40
General peritonitis
Periappendikular infiltrat atau Phlegmon atau Periappendicular
abses
Sepsis
Appendisitis kronis
Penyulit Appendektomi :
1. Durante Operasi
Perdarahan dari a. mesenterium atau omentum
Robekan sekum atau usus lain
2. Pasca Operasi
Perdarahan
Infeksi
Hematom
Paralitik ileus
Peritonitis
Fistel usus
Streng Ileus karena band
Hernia sikatrik
41
BAB IV
TEORI DAN ANALISA KASUS
Diagnosis pre-operasi: Appendisitis akut
Diagnosis post-operasi: Appendisitis perforasi
Tabel 1 Anamnesis
Fakta Teori
Gejala:
Nyeri perut kanan bawah
sejak 3 hari sebelum MRS,
dirasakan terus-menerus,
seperti ditusuk-tusuk.
Nyeri diawali dengan nyeri
ulu hati pada pagi hari
kemudian berpindah ke perut
kanan bawah pada malam
harinya. Kadang-kadang
terasa kram pada perut.
Demam (+) sumer-sumer.
Anoreksia (+)
Tidak ada mual maupun
muntah.
Buang air besar (+) 1 kali
selama 3 hari terakhir, agak
keras.
Buang air kecil lancar, nyeri
(-), warna agak kemerahan
seperti teh, frekuensi normal
seperti biasa, tidak berpasir.
Etiologi
Gejala:
Nyeri abdomen, pada mulanya terjadi
nyeri visceral yaitu nyeri kolik ringan
sampai berat dirasakan mula-mula di
daerah epigastrium dan periumbilikal,
kadang-kadang disertai dengan kram
intermiten fase obstruksi
Nyeri akan beralih dan menetap di
kuadran kanan bawah setelah 6 jam,
berupa nyeri somatik yang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum
parietal, dengan sifat nyeri yang lebih
tajam, terlokalisir, dan bertambah bila
batuk ataupun berjalan fase inflamasi.
Anoreksia, nausea dan vomitus
merupakan rangsangan viseral akibat
aktivasi n.vagus.
Obstipasi atau Diare
Gejala yang timbul bervariasi tergantung
variasi lokasi anatomi appendiks, usia
pasien, derajat inflamasi appendiks, dan
komplikasi yang menyertai.
Demam tidak terlalu tinggi
Etiologi
42
Riwayat Konstipasi (+).
Pasien memiliki kebiasaan
makan makanan rendah serat
(jarang makan sayur dan
buah-buahan)
Mesoappendiks pendek,
appendiks hanya berukuran 2
cm.
Obstruksi lumen appendiks oleh karena:
Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
Fekalit (35%), masa feses yang membatu
Corpus alienum (4%), biji - bijian
Striktur lumen (1%), kinking, karena
mesoappendiks pendek, adesi.
Parasit
obstruksi kolon distal dari apendiks
erosi mukosa
konstipasi dan diet rendah serat
Infeksi biasanya secara hematogen dari
tempat lain, misalnya pneumonia, tonsillitis,
dsb.
Tabel 2 Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Tanda Vital
Frekuensi nadi: 88 x/menit
TD : 130/80 mmHg
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37,10C, aksiler
Abdomen:
Inspeksi:
Bentuk flat, simetris, distensi (-)
Palpasi :
Soepel, defans muskuler lokal
dititik Mc Burney (+),Massa (-)
Nyeri tekan Mc. Burney (+),
Psoas Sign (+), Rovsing sign (+),
Tanda Vital
Tanda vital tidak berubah banyak.
Peninggian temperatur jarang lebih dari 1oC,
yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi
normal atau sedikit meninggi.
Inspeksi:
Perut kembung bila terjadi perforasi,
penonjolan perut kanan bawah terlihat pada
appendikuler abses. Pasien tidur miring ke
sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada
sendi paha, karena setiap ekstensi
meningkatkan nyeri.
Palpasi:
Nyeri tekan Mc. Burney atau nyeri tekan
43
Blumberg sign (+), obturator sign
(-), Dunphy’s sign (+)
Perkusi: Nyeri ketok (+)
Auskultasi: Bising usus (+)
normal
Rectal Toucher : Tonus
spinchter ani menjepit kuat,
mukosa licin, sulkus mediana
teraba, massa (-), Nyeri tekan
arah jam 11 dan 12
Handscoen : feces (+), warna
kuning, lendir (-), darah (-)
kuadran kanan bawah
Nyeri tekan kuadran kiri bawah pada
pasien dengan situs inversus atau pasien
dengan appendiks panjang yang meluas
hingga ke kuadran kiri bawah.
Rebound tenderness atau Blumberg sign
Defans muskuler
Rovsing sign
Psoas sign
Obturator Sign
Dunphy’s sign
Markle sign
Guarding sign
Tanda-tanda tersebut tidak selalu ditemukan
pada pasien dengan appendicitis akut,
sehingga jika tidak ditemukan belum bisa
menyingkirkan kecurigaan inflamasi
appendiks. Tanda-tanda tersebut juga
dipengaruhi oleh lokasi anatomi appendiks.
Perkusi Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltik biasanya normal, tetapi jika
sudah terjadi peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata maka tidak terdengar
bunyi peristaltik usus.
Rectal Toucher
Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12
Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
44
Laboratorium
Leukosit 11.300
Granulosit 75%
CRP tidak diperiksa
Pemeriksaan urinalisis dalam batas
normal
Modalitas pemeriksaan yang lain
tidak dilakukan.
Laboratorium
Leukositosis
Shift to the left
Peningkatan CRP
Urinalisis untuk menyingkirkan
adanya etiologi dari saluran kemih
Foto polos abdomen
Appendikogram
Ultrasonografi
CT scan
MRI
Laparoskopi
Histopatologi
Sistem skor Alvarado
Pada pasien didapatkan gejala migrasi dari nyeri yang awalnya timbul di
epigastrium dan berpindah ke kuadran kanan bawah disertai dengan anoreksia.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada kuadaran kanan bawah
dengan titik nyeri maksimal pada titik Mc Burney, nyeri tekan lepas, tetapi suhu
45
tubuh dalam batas normal. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis
dengan dominasi sel polimorfonuklear (shift to the left). Sehingga didapatkan skor
Alvarado pasien ini yaitu 8, dan dipertimbangkan untuk melakukan tindakan
pembedahan.
Setelah dilakukan tindakan pembedahan didapatkan mikro-perforasi pada
appendiks. Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi
dengan gejala dan tanda sebagai berikut:
Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri bertambah
hebat dan mulai dirasakan menyebar.
Demam tinggi > 38,50C
Leukositosis (leukosit > 14.000)
Dehidrasi dan asidosis
Distensi
Menghilangnya bising usus
Nyeri tekan kuadran kanan bawah
Rebound tenderness sign
Rovsing sign
Pada pasien ini, gambaran gejala dan tanda tersebut tidak begitu jelas. Hal
ini kemungkinan diakibatkan perforasi yang terjadi berdiameter kecil dan letak
appendiks yang retrosekal sehingga terlindungi oleh sekum, sehingga proses
inflamasi terlokalisir dan tidak meluas.
Tabel 4 Penatalaksanaan
Fakta Teori
Tatalaksana Kuratif:
Appendektomi terbuka
Tatalaksana Suportif:
Pre-operasi:
Pasien dipuasakan
IVFD RL 20 tpm (kebutuhan
Tatalaksana Kuratif:
Appendektomi secara terbuka atau
dengan laparoskopi
Tatalaksana Suportif:
Pre-operasi:
Pasang NGT bila abdomen distensi
dan membutuhkan dekompresi
46
maintenance)
Post operasi:
IVFD RL : D5% = 2 : 2, 20 tpm
(maintenance)
Diet lunak setelah flatus (+) dan
peristaltik usus membaik.
Perawatan luka operasi
Tatalaksana Simtomatis
Pre operasi: Tidak diberikan
Post operasi:
Analgesik Antrain inj 3 x 1 amp
Medikamentosa
Pre-operasi:
Cefotaxime inj 3 x 1 gr IV
Post operasi:
Stabactam inj 3 x 1 gr
Metronidazole infus 3 x 500
mg
lambung.
Pasien dipuasakan.
Pemberian cairan intravena
Post operasi:
o Resusitasi / Maintenance cairan
yang adekuat cairan , elektrolit
o Dukungan nutrisi awal oral
feeding jika:
Flatus (+), peristaltik usus pulih
Produksi NGT minimal
Distensi abdomen (-)
o Perawatan luka operasi
Tatalaksana Simtomatis
Antipiretik
Analgesik
Antiemetik
Medikamentosa
Antibiotik intravena untuk pasien yang
menunjukkan tanda-tanda sepsis atau
pasien yang akan menjalani prosedur
pembedahan.
Pada kasus dengan perforasi diberikan
kombinasi terapi antibiotik yang efektif
untuk bakteri gram negatif dan bakteri
anaerob sesuai dengan jenis bakteri
komensal pada sekum dan appendiks.
BAB V
KESIMPULAN
47
Telah dilaporkan seorang pria berusia 24 tahun dengan keluhan nyeri perut
yang tajam di perut kanan bawah. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
hingga pemeriksaan laboratorium ditegakkan diagnosis kerja appendisitis akut.
Pasien dirawat sejak tanggal 12 – 18 November 2010. Penatalaksanaan pada
pasien ini berupa terapi bedah dengan appendektomi terbuka. Diagnosis post-
operatif adalah appendisitis perforasi. Prognosis pada pasien ini bonam karena
diameter perforasi kecil (mikro-perforasi) dan inflamasi terlokalisir oleh karena
letak appendiks yang retrosekal. Selain itu perbaikan klinis pasien cukup baik dan
tidak ditemukan komplikasi pasca bedah.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis
apendisitis akut. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila ada keraguan atau
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Variasi pada posisi appendiks, usia
pasien, dan derajat inflamasi menjadikan presentasi klinis dari appendisitis
menjadi bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
48
1. Yeh B. Evidence-based emergency medicine/rational clinical examination abstract. Does this adult patient have appendicitis?. Ann Emerg Med. Sep 2008;52(3):301-3.
2. Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK. Is there still a role for rectal examination in suspected appendicitis in adults?. Am J Emerg Med. Mar 2008;26(3):359-60.
3. Shakhatreh HS. The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of acute appendicitis compared with that of clinical diagnosis. Med Arh. 2000;54(2):109-10.
4. Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen RJ. Laboratory tests in patients with acute appendicitis. ANZ J Surg. Jan-Feb 2006;76(1-2):71-4.
5. Tundidor Bermudez AM, Amado Dieguez JA, Montes de Oca Mastrapa JL. Urological manifestations of acute appendicitis. Arch Esp Urol. Apr 2005;58(3):207-12.
6. Harswick C, Uyenishi AA, Kordick MF, Chan SB. Clinical guidelines, computed tomography scan, and negative appendectomies: a case series. Am J Emerg Med. Jan 2006;24(1):68-72
7. Malone AJ Jr, Wolf CR, Malmed AS, Melliere BF. Diagnosis of acute appendicitis: value of unenhanced CT. AJR Am J Roentgenol. Apr 1993;160(4):763-6.
8. Poortman P, Oostvogel HJ, Bosma E, Lohle PN, Cuesta MA, de Lange-de Klerk ES, et al. Improving diagnosis of acute appendicitis: results of a diagnostic pathway with standard use of ultrasonography followed by selective use of CT. J Am Coll Surg. Mar 2009;208(3):434-41.
9. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, et al. A new approach to accurate diagnosis of acute appendicitis. World J Surg. Sep 2005;29(9):1151-6, discussion 1157.
10. Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg Med. May 1986;15(5):557-64.
11. Eriksson S, Granstrom L. Randomized controlled trial of appendicectomy versus antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J Surg. Feb 1995;82(2):166-9.
12. Bickell NA, Aufses AH, Rojas M. How time affects the risk of rupture in appendicitis. J Am Coll Surg. Mar 2006;202(3):401-6.
49
13. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, et al. Effects of delaying appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours. Arch Surg. May 2006;141(5):504-6; discussioin 506-7.
14. Liang MK, Lo HG, Marks JL. Stump appendicitis: a comprehensive review of literature. Am Surg. Feb 2006;72(2):162-6.
15. Bresciani C, Perez RO, Habr-Gama A, et al. Laparoscopic versus standard appendectomy outcomes and cost comparisons in the private sector. J Gastrointest Surg. Nov 2005;9(8):1174-80; discussion 1180-1.
16. Liberman MA, Greason KL, Frame S, et al. Single-dose cefotetan or cefoxitin versus multiple-dose cefoxitin as prophylaxis in patients undergoing appendectomy for acute nonperforated appendicitis. J Am Coll Surg. Jan 1995;180(1):77-80.
17. Lin HF, Wu JM, Tseng LM, et al. Laparoscopic versus open appendectomy for perforated appendicitis. J Gastrointest Surg. Jun 2006;10(6):906-10.
18. Orr RK, Porter D, Hartman D. Ultrasonography to evaluate adults for appendicitis: decision making based on meta-analysis and probabilistic reasoning. Acad Emerg Med. Jul 1995;2(7):644-50.
19. Rao PM, Rhea JT, Rao JA, et al. Plain abdominal radiography in clinically suspected appendicitis: diagnostic yield, resource use, and comparison with CT. Am J Emerg Med. Jul 1999;17(4):325-8.
20. Schwerk WB, Wichtrup B, Rothmund M, et al. Ultrasonography in the diagnosis of acute appendicitis: a prospective study. Gastroenterology. Sep 1989;97(3):630-9.
21. Thomas SH, Silen W. Effect on diagnostic efficiency of analgesia for undifferentiated abdominal pain. Br J Surg. Jan 2003;90(1):5-9.
22. Webster DP, Schneider CN, Cheche S, et al. Differentiating acute appendicitis from pelvic inflammatory disease in women of childbearing age. Am J Emerg Med. Nov 1993;11(6):569-72.
50