lapstragkurev
-
Upload
srie-maryati -
Category
Documents
-
view
111 -
download
1
Transcript of lapstragkurev
Bab i
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berbagai upaya dan kebijakan untuk pengentasan kemiskinan telah dilakukan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia, akan tetapi tetap saja
masih ada rumah tangga di Indonesia yang berada dalam kemiskinan dari waktu
kewaktu. Kemiskinan yang bersifat kronis di Indonesia saat ini berkisar antara 5-
7%. Sementara itu, 10-15% penduduk lainnya mengalami kemiskinan transien,
yaitu keluar-masuk dari status miskin. (Jossy Moeis,2008)
Jika dilihat dari tingkat dan jumlah orang miskin dari tahun ke tahun
terlihat bahwa usaha mengatasi kemiskinan di Indonesia sepertinya telah
mengalami kejenuhan. Tingkat head count poverty sepertinya tidak dapat
dikurangi lagi dari kisaran 15-17% dan jumlah orang miskin masih akan berkisar
antara 35-38 juta jiwa. Kondisi ini diantaranya disebabkan oleh kecenderungan
program atau kebijakan yang diterapkan seragam atau homogen, dan kurang
memperhatikan karakteristik dan potensi individu miskin itu sendiri.
Disisi lain, Usaha Mikro dan Kecil (UMK), yang menjadi lahan berusaha
para penduduk miskin ternyata masih tergolong pada usaha marginal, hal ini
ditandai dengan penggunaan teknologi yang relatif sederhana, tingkat modal dan
akses terhadap kredit yang rendah, serta cenderung berorientasi pada pasar lokal.
Namun demikian, sejumlah kajian yang telah dilakukan di beberapa negara
menunjukkan bahwa usaha ini merupakan komponen utama pengembangan
ekonomi lokal dan berpotensi untuk dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining
position) perempuan dalam keluarga. (ADB Report dalam Semeru, 2003)
Jumlah penduduk miskin Indonesia hingga tahun 2007 tercatat 37,2 juta
jiwa dan pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin diharapkan akan dapat ditekan
hingga 18,8 juta. Suatu target penurunan yang fantastis dan tentunya perlu upaya
yang tepat untuk dapat mencapainya.
1.2. Urgensi Penelitian
Partisipasi kaum perempuan dalam aktivitas ekonomi khususnya dan
pembangunan ekonomi pada umumnya mempunyai peran yang sangat penting,
karena lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan. Jika kuantitas
dan kualitas partisipasi kaum perempuan dapat ditingkatkan maka tujuan
pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat juga akan
dapat diwujudkan dengan lebih baik.
Di sisi lain, ternyata sebahagian besar penduduk miskin di Indonesia
adalah perempuan, dan tidak kurang dari 6 juta diantaranya adalah sebagai kepala
rumah tangga miskin dengan pendapatan rata-rata di bawah Rp 10.000,- perhari.
Untuk menjaga kelansungan hidup diri dan keluarga mereka, pada umumnya
mereka bekerja di sektor informal (terutama perdagangan dan jasa), sektor
pertanian sebagai buruh tani dan buruh pabrik. Mereka menghadapi kesulitan
untuk mendapatkan akses sumber daya ekonomi, terutama sumberdaya keuangan.
2
Hal ini diantaranya disebakan oleh alasan bahwa mereka dianggap tidak layak
untuk mendapatkan pembiayaan, ketiadaan jaminan, lokasi yang terpencil, dan
tidak jarang pula kondisi ini terkait dengan issu gender. (Nani, 2004).
Persoalan kemiskinan perempuan menjadi semakin rumit, karena ternyata
kemiskinan perempuan bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan akses pada
sumber daya ekonomi, akan tetapi juga merupakan persoalan struktural dengan
faktor penyebab dan kendala yang tidak tunggal, cenderung beragam sesuai
kondisi sosial, ekonomi dan politik di lingkungan mereka. Adanya ketimpangan
gender dalam berb agai asspek kehidupan juga semakin memperburuk kondisi
kemiskinan pada kaum perempuan.
Fakta bahwa beban perempuan miskin lebih besar ditemukan oleh
Birdshall & McGreevey, 1983 (dalam Rasita, 2007). Hal ini disebabkan karena
peran ganda yang harus mereka jalankan, di satu sisi sebagai pengurus rumah
tangga dan sisi lain sebagai pencari nafkah keluarga. Sebagai pengurus rumah
tangga perempuan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak-anak,
menyiapkan makanan untuk semua anggota keluarga, mengambil air, mencari
kayu bakar, membersihkan rumah, dan mengatur keuangan rumah tangga, dimana
semua aktivitas ini dianggap bukanlah sebuah ”pekerjaan”, sehingga tidak pernah
diperhitungkan sebagai hasil ”produksi” dalam suatu rumah tangga. Sebagai
pekerja yang mencari nafkah untuk keluarganya, seringkali pendapatan yang
diperoleh kaum perempuan dianggap hanya sebagai ”tambahan” bagi pendapatan
suami.
3
Kaum perempuan dihadapkan pada kendala ”triple burden women” dalam
kehidupannya, yakni tuntutan untuk mampu melaksanakan fungsi reproduksi,
fungsi produksi dan fungsi sosial kemasyarakatan dalam waktu yang bersamaan.
Oleh sebab itu, upaya pengembangan usaha kaum perempuan menjadi semakin
penting artinya untuk tidak hanya membantu kaum perempuan melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan tetapi juga mendorong tercapainya kesejahteraan
keluarga yang pada muaranya akan menjadi mesin bagi tercapainya kesejahteraan
masyarakat.
Selanjutnya, jika dilihat dari tingkat dan jumlah orang miskin dari tahun
ke tahun di Indonesia ternayta semenjak tahun 1998, pasca krisis ekonomi jumlah
penduduk miskin Indonesia cenderung tidak berkurang, hal ini menunjukkan
indikasi gagalnya berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan. Untuk itu, studi ini diharapkan akan dapat melahirkan
model yang tepat untuk pengentasan kemiskinan khususnya bagi kaum
perempuan, terutama perempuan muda yang nantinya diharapkan tidak akan
melahirkan generasi baru dalam kemiskinan, dan kemiskinan struktural.
1.3. Perumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam studi ini adalah:
a) Bagaimanakah karakteristik perempuan muda dalam rumah tangga miskin
yang ada di Sumatera Barat ?
b) Bagaimana potensi enterprneur perempuan muda dalam rumah tangga miskin
yang ada di Sumatera Barat ?
4
c) Bagaimanakah model pengembangan enterprneur untuk perempuan muda
dalam rumah tangga miskin di Sumatera Barat?
1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian ini merupakan tahap awal dari penelitian yang direncanakan
akan dilakukan selama tiga tahun untuk dapat menemukan model yang sudah
teruji untuk dapat diterapkan. Pada tahap awal ini, penelitian terfokus pada kajian
identifikasi untuk melakukan pengembangan potensi entrepreneur perempuan
muda pada rumah tangga miskin, yaitu kaum perempuan yang berumur antara 15
tahun sampai dengan 30 tahun dan berasal dari rumah tangga miskin.
Rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang masuk dalam kategori
miskin sesuai defenisi dan indikator kemiskinan dan certatat dalam database BPS
Sumatera Barat, tahun 2006. Adapun wilayah penelitian adalah Provinsi
Sumatera Barat, dengan memilih satu kota dan satu kabupaten termiskin
berdasarkan data BPS Sumatera Barat, tahun 2008, sebagai daerah yang
mewakili kondisi Sumatera Barat, yakni Kota Pariaman dan Kabupaten Pasaman.
Identifikasi pada tahap awal ini meliputi identifikasi karakteristik dan
potensi entreprneur perampuan muda dari RT miskin di Sumatera Barat, dan
karakteristik daerah tempat tinggal responden yang bersangkutan.
5
Bab iI
KERANGKA TEORI
2.1. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Ciri-ciri Entrepeneur
Enterprneur adalah orang yang memiliki keberanian untuk ” berdiri di
atas kaki sendiri”, dengan keyakinan dan kemampuan sendiri melahirkan suatu
karya dan usaha untuk kemajuan diri sendir dan lingkungannya dengan tetap
berlandaskan pada kebenaran dan kebajikan. (Sumahamijaya, 1971)
Adapun ciri-ciri enterprneur menurut Anggadireja dan Djajamiharja
(1991) adalah:
1) Mempunyai emosi untuk membayangkan keberhasilan atau takut
akan kegagagalan dalam mencapai tujuannya
2) Berani menanggung resiko
3) Gigih dan bekerja keras
4) Semangat dan gesit
5) Membutuhkan umpan balik untuk mengetahui keberhasilan usaha
6) Bertanggung jawab
7) Percaya diri
8) Memiliki pengetahuan luas
9) Memiliki kemampuan menghimbau dn komunikatif
10) Memiliki kecakapan memimpin
11) Kreatif dan inovatif
6
12) Pemburu keberhasilan atau kesuksesan
Meskipun pada dasarnya enterprenurship adalah karakter yang melekat
pada diri sesorang, akan tetapi karakter ini dapat dibina dan
ditumbuhkembangkan baik secara individu maupun oleh orang lain melalui
proses pendidikan dan pelatihan ataupun melalui pemahaman dan
pembelajaran dari pengalaman dan keberhasilan orang lain.
Tom Byres, dkk (1997), menjelaskan bahwa penumbuhan karakter
enterprenuer bukanlah bersifat individual akan tetapi merupakan social
creatures yang dibangun oleh kondisi dan sistem sosial dimana individu
tersebut berada. Adapun ciri umum seorang enterpreneur adalah:
1) Memiliki komitment dan ketetapan hati untuk maju
2) Memiliki kemampuan memimpin
3) Berusaha meraih kesempatan
4) Berani menghadapi resiko dan ketidakpastian
5) Kreatif, percaya diri dan mampu beradaptasi
6) Memiliki motivasi untuk maju
Steve, J. Lichter, dkk (1983) mengidentifikasikan karakteristik
entrepreneur berdasarkan hasil eksperimen yang mereka lakukan, yaitu:
1) Memiliki energi atau semangat yang tinggi
2) Memiliki rasa percaya diri yang tinggi
3) Memiliki pandangan bahwa uang adalah jalan atau alat untuk mencapai
tujuan
4) Memiliki keinginan besar atas umpan balik yang positif
7
5) Mampu memanfaat kegagalan masa lalu sebagai suatu benefit
6) Memiliki komitmen dan kemampuan untuk mencapai tujuan
7) Tidak pernah merasa puas dengan prestasi yang telah diraih
8) Memiliki keyakinan diri untuk mampu mengontrol takdir
9) Memiliki inisiatif dan bertanggung jawab
10) Memiliki kemampuan memperhitungkan resiko
11) Memiliki kemampuan mengatasi masalah
12) Memiliki ketetapan hati dalam menyelesaikan pekerjaan
13) Mengetahui kapan, dimana dan bagaimana untuk mencari atau memberi
pertolongan/dukungan
2.1.2.Kemiskinan dan Peran Kaum Perempuan;Konsep dan Studi Terdahulu
Ada banyak defenisi dan konsep tentang kemiskinan, hal ini
dikarenakan masalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat
multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World
Bank selaku lembaga internasional yang sangat memperhatikan masalah
kemiskinan di dunia membagi dimensi kemiskinan menjadi empat hal pokok;
yaitu: lack of opportunity, lack of capabelities, loe leve security, dan low
capacity. Lebih jauh lagi, kemiskinan juga dikaitkan dengan keterbatasan
hak-hak sosial, ekonomi, dan politik yang dapat menyebabkan kerentanan,
keterpurukan dan ketidakberdayaan masyarakat.
Kemiskinan tidak dapat didefenisikan dengan sederhana, karena
masalah kemiskinan tidak hanya terkait dengan kemampuan memenuhi
8
kebutuhan material, akan tetapi juga sangat terkait dengan dimensi kehidupan
yang lain, yakni: (Dewi M.S , 2005)
1) Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan
2) Terbatasnya akses dan mutu layananan kesehatan
3) Terbatasnya akses dan mutu layananan pendidikan
4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha serta lemahnya perlindungan
terhadap aset usaha
5) Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi
6) Terbatasnya akses terhadap air bersih
7) Lemahnya kepastian hak kepemilikan dan penguasaan tanah
8) Lemahnya jaminan rasa aman
9) Lemahnya partisipasi
10) Nesarnya beban kependudukan
Tampak bahwa masalah kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan
dimensi ekonomi, akan tetapi sampai saat ini masalah kemiskinan masih lebih
sering dikonsepsikan dalam konteks ekonomi, yakni terkait dengan
ketidakmampuan pendapatan dan harta yang dimiliki untuk memenuhi
kebutuhan dasar (lack of income and asset), seperti; pangan, pakaian,
perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesai telah dilakukan semenjak
tahun 1984, dimana pada saat itu BPS telah mempublikasikan data
kemiskinan Indonesia selama kurun waktu tahun 1976- 1981, dan sejak saat
itu pula BPS melakukan perhitungan terhadap persentase penduduk miskin di
9
Indonesia. Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan, dimana berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun
1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat jika mampu memenuhi
kebutuhan energi minimal sebesar 2100 kalori perhari, mengacu pada ukuran
ini maka seseorang akan dapat terlepas dari batas kemiskinan jika
pendapatannya sudah mampu memenuhi kebutuhan kalori minimal perhari,
dan sebaliknya jika pendapatan individu belum mampu memenuhi kebutuhan
kalori minimum ini, maka orang tersebut akan berada di bawah garis
kemiskinan. Indikator kemiskinan menurut BPS dapat dilihat pada tabel di
bawah ini;
Tabel 2.1.Indikator Kemiskinan menurut BPS
No Indikator Keterangan
1. Luas Lantai Luas < 8 m2
2. Jenis Lantai Tanah atau semen
3. Jenis Dinding Rumbia/Bambu atau tembok
4. Fasilitas Buang Air Besar Bersama atau sendiri
5. Sumber air minum Sumur, atau ledeng, pompa, sumur
terlindung
6. Sumber Penerangan Bukan Listrik atau Listrik
7. Jenis Bahan Bakar Kayu, atau minyak tanah, atau gas
8. Berapa kali makan daging// ayam/ susu dalam satu minggu
Tidak pernah, atau satu kali atau dua kali
9. Erapa kali makan sehari Satu, dua, atau tiga kali
10. Berapa kali beli pakaian baru selama satu tahun
Tidak pernah, satu atau dua kali
11. Apakah mampu berobat ke puskesmas/poliklinik?
Ya atau Tidak
12. Lapangan Pekerjaan Kepala Banyak Pilihan
10
RT
13. Pendidikan Kepala RT SD, SMP atau SMA
14. Apakah memiliki harta yang bernilai > Rp 500.000,- ( minimal punya satu)
Tabungan, emas, TV warna, Ternak, Sepeda Motor.
Sumber: TKPK Sumbar, 2009
Berikut ini adalah kriteria kemiskinan menurut berbagai lembaga yang
digunakan sebagai indikator kemiskinan di Sumatera Barat (TKPK Sumbar, 2009):
1. Bank Dunia: Penghasilan < $ 1 perhari
2. BPS s/d 2004:
a. Sangat Miskin : < 1900 kal/org/hari + Rp 120.000/bulan
b. Miskin : 1900-2100 kal/org/hari + Rp 120.000/bulan
c. Hampir Miskin : 2100-2300 kal/org/hari + Rp 175.000/bulan
3. BKKN
a. Pra Sejahtera:
i. Ekonomi : makan < 2x perhari: tidak ada pakaian ganti,
sebahagian besar berlantai tanah
ii. Non ekonomi : berobat tidak ke sarana kesehatan.
b. Pra-Sejatera I:
i. Ekonomi : Tidak Makan daging > 1 minggu; luas
lantai < 8 m2 per jiwa
ii. Non Ekonomi : sakit 3 bulan terakhir dan tidak ke sarana
kesehatan
Selanjutnya, ketidak adilan gender juga dapat memicu munculnya
masalah kemiskinan bagi kaum perempuan, adapun bentuk-bentuk ketidak adilan
11
gender yang mendorong terjadi kemiskinan pada kaum perempuan adalah (Rasita,
2007) :
1) Marginalisasi ekonomi, diantaranya lemah dan terbatasnya akses
perempuan terhadap sumberdaya ekonomi, seperti tanah, permodalan
danpemasaran
2) Suborninasi terhadap perempuan, bermakna pada keterbatasan akses kaum
perempuan dalam pengambilan keputusan bahkan untuk keputusan yang
menyangkut dirinya sendiri.
3) Kelebihan beban kerja, dimana perempuan dituntut untuk menjalankan
peran produksi, reproduksi dan sosial kemasyarakatan yang lebih dikenal
dengan istilah “triple burden women”.
4) Nilai negatif (Streotipe) terhadap perempuan, dimana perempuan seringkali
digambarkan sebagai individu yang emosional, lemah, tidak mampu
memimpin dan tidak rasional, akibatnya menutup kesempatan kaum
perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang aktivitas ekonomi,
sosial dan politik.
5) Tindak kekerasan terhadap kaum perempuan, baik fisik maupun mental
psikologis.
Diakui atau tidak, kiprah perempuan dalam perekonomian keluarga dan
nasional merupakan bagian yang penting dalam proses dan upaya pembangunan
ekonomi khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya. Seiring dengan
12
adanya peningkatan pendapatan perempuan dan akses terhadap sumber daya
ekonomi lainnya, maka kemampuan dan kesempatan kaum perempuan untuk
bernegosiasi dalam rumah tangga juga akan meningkat, karena dengan
peningkatan pendapatan ini gagasan dan pendapat kaum perempuan akan
diperhitungkan pula dalam proses pengambilan keputusan di dalam rumah tangga.
Lebih jauh lagi, keberadaan perempuan pengusaha dalam aktivitas
ekonomi dewasa ini telah menampakan peran dan spektrum yang luas di tengah-
tengah masyarakat, karena ternyata tidak hanya mampu memberikan kontribusi
bagi peningkatan pendapatan keluarga tetapi juga bagi peningkatan terhadap
aktivitas ekonomi dan pendapatan nasional. Hal ini dapat dilihat dari proporsi
kaum perempuan dalam UMKM adalah sebesar 40%.(Tamim S, 2008):
Ada 3 alasan utama yang menjadi latar belakang kaum perempuan
memasuki dunia kerja maupun dunis bisnis , yaitu:
1) Menurunnya pendapatan keluarga, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
masalah diantaranya adalah karena suami terkena PHK, , pendapatan
suami rendah, suami meninggal dunia, suami merantau, suami menikah
lagi, suami tidak mampu bekerja karena sakit dan lain sebagainya.
2) Terjadinya peningkatan pengeluaran keluarga, hal ini dapat disebabkan
oleh; anak-anak memasuki usia sekolah, bertambahnya jumlah anak atau
tanggungan keluarga, adanya anggota keluarga yang sakit, dll.
3) Keinginan untuk memiliki uang atau pendapatan sendiri, sehingga
memiliki kebebasan untuk menggunakan uang, karena jika tergantung
13
pada pendapatan suami seringkali kaumperempuan merasa kurang
memiliki kebebasan untuk dapat memenuhi kebutuhan, terutama
kebutuhan ”pribadi”.
Sehubungan dengan usaha kaum perempuan dalam meningkatkan
pendapatan keluarga, ada beberapa kendala umum yang dihadapi ketika mereka
mengelola usahanya, yakni masalah kualitas SDM, keterbatasan permodalan,
kemampuan teknologi, bahan baku, distribusi dan pemasaran serta kelemahan
pengetahuan dan kemampuan dalam manajemen usaha.
Disisi lain, dengan adanya kemajuan teknologi ternyata juga memberikan
dampak positif bagi perempuan pekerja dimana dengan adanya kemajuan
teknologi ini telah terjadi perubahan karakteristik pada bidang pekerjaan tertentu
yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh kaum pria saat ini telah bisa dimasuki
dan dikerjakan oleh kaum perempauan. Dengan demikian kaum perempuan
memiliki kesempatan yang semakin besar untuk memasuki dunia kerja dan
berpartisipasi dalam berbagai aspek perekonomian, tentunya dengan tetap
memperhatikan karakteristik perempuan sebagai makhluk Tuhan yang diberi
tanggungjawab lebih besar untuk mendukung kesejahteraan dan keberhasilan
keluarga. Hal ini memperlihatkan posisi strategis kaum perempuan dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Salah satu karakteristik kaum perempuan yang sekaligus merupakan
keunggulannya yang perlu terus ditumbuh kembangkan terutama bagi upaya
peningkatan pendapatan masyarakat miskin dan UMK adalah kesabaran dan
ketelitian dalam melakukan pekerjaan. Karakter ini mendorong untuk semakin
14
luasnya cakupan aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan
dan mungkin kurang diminati oleh kaum pria. Dan bagi UKM sendiri, ketelitian
dalam pengelolaan keuangan merupakan hal yang sangat penting untuk dapat
mendorong keberhasilan usaha ini mengingat masalah permodalan merupakan
kendala yang cukup besar dalam mengembangkan usaha ini. (Teuku Syarif, 2007).
Wamuyu, dkk (2005), melakukan studi terhadap perempuan muda dengan
kasus perempuan di wilayah pedesaan Malaysia, dan menggunakan pendekatan
ekonomi, sosial, psikologi, manajemen bisnis dan gender menemukan bahwa
scaling-up model dapat digunakan untuk mendorong peningkatan ekonomi
perempuan pedesaan. Hal ini didorong oleh kenyataan dimana secara tradisonal
kaum perempuan telah terlibat di dalam bisnis berskal mikro yang dilakukan
secara individu maupun bersama suami. Sehingga sangatlah beralasan jika
menjadikan usaha mikro ini sebagai basis bagi pengembangan entrepreneur
perempuan dalam rangka kesinambungan ekonomi keluarga.
Micro entreprise (usaha mikro) dapat dikategorikan menjadi; usaha baru,
usaha lama yang tidak berkembang, usaha lama yang bertumbuh lamban, dengan
kata lain secara umum dapat diklasifikasikan menjadi usaha untuk bertahan hidup
dan usaha yang berkembang.
Selanjutnya, ada lima aspek penting yang harus mendapat perhatian serius
dalam melakukan upaya pemberdayaan kaum perempuan yaitu aspek-aspek
kesejahteraan, akses sumber daya, partisipasi, kesadaran kritis dan kontrol.
Dalam bidang apapun bentuk upaya pemberdayaan kaum perempuan yang akan
dilakukan harus memperhatikan kelima aspek penting ini, dengan demikian kelima
15
aspek ini dapat dijadikan indikator keberhasilan upaya pemberdayaan perempuan.
(Nani, 2004)
Di dalam agenda MDGs ( Millenium Development Goals), ada tiga
dimensi yang harus diperhatikan dalam pemberdayaan perempuan untuk
pengentasan kemiskinan ”berwajah” perempuan yaitu:
1) Human capability; yaitu kemampuan dalam hal pendidikan, kesehatan dan
gizi dengan menghilangkan gap antara kaum perempuan dengan kaum pria
hingga tingkat pendidikan menengah
2) Acces to resources and opportunity,yaitu keterbukaan akses terhadap
sumberdaya ekonomi dan partisipasi politik baik kaum perempuan
3) Security, yakni jaminan keamanan bagi kaumperempuan terhadap tindak
kekerasan secara phisik maupun psikologis.
Empat langkah penting yang perlu diperhatikan dalam upaya
pengembangan kemampuan berwirausaha dan kegiatan ekonomi kaum perempuan
adalah (IMF, 2002):
a) Membantu dan mendorong kaum perempaun untuk membangun dan
mengembangkan pengetahuan serta kompetensi diri mereka, melalui
berbagai program pelatihan..
b) Membantu kaum perempuan dalam strategi usaha dan pemasaran
produk
c) Memberikan pemahaman terhadap regulasi dan peraturan pemerintah
terkait dengan legalitas dunia usaha
16
d) Mendorong dan membantu kaum perempuan untuk mampu
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal.
e) Membuat Usaha Mikro/Jaringan Usaha Mikro Perempuan/Forum
Pelatihan Usaha
2.2. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Model Penelitian
Secara teoritis, studi ini akan menggunakan tiga pendekatan sebagai
landasan teori dalam mencapai tujuan penelitian, pendekatan pertama adalah teori
dasar yang melandasi konsep dasar penelitian, yang terdiri dari teori ekonomi
pembangunan, dimana dari dasar teori digunakan untuk mendasari teori tentang
kemiskinan, yang mencakup defenisi dan penyebab kemiskinan. Sedangkan pada
bagian kedua digunakan aplikasikasi teori yang akan menjadi panduan bagi upaya
menjawab masalah penelitian dan pada bagian ketiga yang merupakan bagian
terakhir merupakan implementasi model sebagai dasar bagi pengembangan model
pengembangan entrepreneur perempuan muda dari rumah tangga miskin di
Sumatera Barat, yaitu merupakan implikasi model scaling up di Sumatera Barat,
seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1. Kerangka Teoritis Pengembangan Model
17
Penyebab KemiskinanKarakteristik EntrepreneurStudi empiris terhadap perempuan
Scaling-up Model sesuai Karakteristik Individu, Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat Sumatera Barat
Aplikasi Teori Aplikasi Model
Adapun gambaran dari model scaling up yang akan digunakan untuk
mengembangkan entreprenuer perempuan dari RT miskin di Sumatera Barat
diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Wamuyu, dkk, (2005) di Malaysia,
dimana proses peningkatan skala usaha tersebut dapat dilihat di bawah ini;
Gambar 2. 2. Scaling Up Model untuk Pengembangan Entrepreneur Perempuan
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa model pengembangan
entrepreneur bagi perempuan muda dalam rumah tangga miskin ini diawali dengan
upaya mendorong kemampuan mereka untuk mempunyai pendapatan sendiri agar
Konsep Dasar
Ekonomi Pembangunan
Teori Kemiskinan
Entrepreneur
IncomeGenerating Program
SelfEmploymentProgram
Women/FamilyEntrepreneurProgram
CommunityEnterprise
survival
Micro Entreprise
Small Entreparise
Poor
Low IncomeGroup
Midle Income Group
High Midle Income
18
mereka dapat keluar dari kemiskinan dan membantu keluarga untuk keluar dari
kemiskinan dan secara bertahap mereka akan tumbuh menjadi pekerja mandiri,
pengusaha wanita dan terus dikembangkan untuk memasuki komunitas bisnis yang
lebih besar dan kompetetif.
BAB III
19
TUJUAN DAN MANFAAT
PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan model
pengembangan entrepreneur yang sesuai dengan karakteristik inidvidu, kondisi
dan potensi ekonomi, sosial dan budaya perempuan muda dari rumah tangga
miskin di Sumatera Barat.
Secara keseluruhan , dengan tiga tahun kegiatan maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan mendapatkan peta tentang karakteristik perempuan muda dari
rumah tangga miskin di Sumatera Barat.
2. Mengidentifikasikan potensi enterprneur perempuan muda dalam rumah
tangga miskin yang ada di Sumatera Barat.
3. Membangun model pengembangan enterprneur yang sesuai denganj
karakteristik dan kondisi potensi sosial ekonomi serta budaya perempuan
muda dari rumah tangga miskin di Sumatera Barat.
Pada tahun pertama ini, sebagai penelitian awal maka tujuan yang akan
dicapai adalah:
1. Pendataan perempuan muda dari RT Miskin di Sumatera Barat yang akan
diwakili oleh sampel terpilih
20
2. Identifikasi karakterisitk & potensi perempuan muda dari RT miskin di
Sumatera Barat.
3. Penyusunan profil & peta potensi perempuan RT miskin di Sumatera Barat.
4. Menyusun persiapan model pengembangan entrepreneur untuk perempuan
muda dari RT miskin di Sumatera Barat.
3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian yang merupakan penelitian awal
dari rangkaian tiga tahun penelitian adalah:
1. Mengetahui karakterisitk sosial dan ekonomi perempuan muda dari RT
miskin di Sumatera Barat.
2. Mendapatkan peta potensi perempuan muda dari RT miskin di Sumatera
Barat yang nantinya akan dikembangkan untuk mendorong upaya
peningkatan pendapatan dan pengentasan kemiskinan di daerah ini.
3. Mendapatkan informasi dan gambaran untuk kegiatan pengembangan pada
tahun kedua yang merupakan kelanjutan dari kegiatan penelitian ini.
21
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif, yaitu penelitian yang
memberikan penggambaran tentang objek penelitian dengan mennggunakan data
primer maupun sekunder untuk menjelaskan tentang hasil kajian yang ditemukan
dalam studi ini.
Penelitian pada tahun pertama ini merupakan tahap pemetaan profil dan
potensi entrepreneur , untuk mendapatkan peta profil, potensi dan karakterisitk
perempuan dari rumah tangga miskin di Sumatera Barat akan dilakukan studi
lapangan guna mendapatkan data primer, dengan memilih sampel wilayah yang
akan mewakili karakteristik geografis dan ekonomi, sedangkan responden akan
dipilih dari wilayah sampel. Jadi penelitian ini adalah penelitian lapangan yang
menggali informasi dari kondisi yang ada di daerah penelitian.
4.2. Data dan Sumber Data
Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh dari penelitian lapangan dengan menggunaan kuisioner atau daftar
pertanyaan yang diajukan kepada responden terpilih dari RT miskin di daerah
penelitian. Data primer yang dikumpulkan mencakup: karakterisitk RT Miskin,
karakteristik individu perempuan muda dari RT miskin, karakterisitk lingkungan
22
tempat tinggal RT miskin, karakteristik potensi entrepreneur perempuan muda
dari RT miskin di Sumatera Barat.
Untuk mendukung kajian, diperlukan data sekunder sebagai data awal
yang diperoleh dari lembaga terkait, seperti BPS, Pemda Provinsi, Pemda
Kabupaten/Kota dan publikasi lainnya.
4.3. Pemilihan Daerah dan Sampel Penelitian.
Untuk mewakili provinsi Sumatera Barat dipilih dua daerah yang terdiri
dari satu daerah kota dan satu daerah kabupaten. Daerah yang dipilih adalah
daerah yang memiliki penduduk miskin paling banyak yang dinyatakan dalam
bentuk persentase dari jumlah penduduk.
Adapun daerah yang dipilih untuk mewakili dari perkotaan adalah kota
Pariaman sebagai daerah yang mewakili dataran rendah dan pesisir pantai
dengan jumlah penduduk miskin 7,86% dari jumlah penduduk, merupakan
kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk miskin terbesar. Sedangkan untuk
daerah kabupaten yang juga mewakili kawasan dataran tinggi dipilih kabupaten
Pasaman yang memiliki jumlah penduduk miskin 18,34% dari penduduknya
yang merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin terbesar di
Sumatera Barat.
Untuk penentuan jumlah sampel penelitian digunakan formula yang
dikekmukakan oleh Rao (1996), dimana formula ini digunakan karena jumlah
perempuan muda yaitu perempuan berumur 15 tahun sampai dengan 30 tahun dari
RT miskin di Sumatera Barat tidak diketahui, dengan formula sebagai berikut:
23
Z2
N = 4(MOE)2
Dimana:
N = jumlah sampel
Z = tingkat kepercayaan
MOE = Margin of Error
Dengan tingkat kepercayaan 90%, maka MOE adalah 10%, nilai Z tabel
adalah 1,96, sehingga diperoleh nilai N sebagai berikut:
1,962
N = = 96,045 4(0,1)2
Berdasarkan perhitungan ini maka sampel ditentukan sebanyak 100 orang
untuk masing-masing daerah penelitian, sehingga total sampel adalah 200 orang
peremuan muda dari RT miskin di Sumatera Barat.
4.4. Variabel Penelitian dan Pengukurannya
Variabel utama yang akan diamati dalam penelitian ini adalah:
1) Karakterisitk individu dan rumah tangga mencakup: umur, status
perkawinan, status kepala keluarga, status ekonomi, pendidikan, dan
jumlah anggota dalam rumah tangga.
2) Karakterisitk geografis; kawasan perkotaan atau pedesaan, daerah dataran
tinggi atau dataran rendah, infrasturktur ekonomi dan sosial yang tersedia
di daerah, seperti adanya pasar, listrik, air bersih, telepon, kondisi jalan,
daerah wisata, sekolah, dan fasilitas kesehatan.
24
3) Karakteristik potensi ekonomi dan entrepeneur di lihat dari minat dan
keberanian untuk melakukan usaha sesuai dengan menyusun daftar
pertanyaan untuk menditeksi potensi karakteristik entrepeneur sesuai
dengan konsep teoritis.
4.5. Teknik Analisa Data
Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa studi ini merupakan penelitian
deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengidentifikasi profil dan potensi
responden untuk pengembangan model entrepreneur bagi perempuan muda dari
RT miskin di Sumatera Barat, mekanismenya dapat lilihat pada gambar 3 berikut:
25
Gambar 4.1. Kerangka Model Identifikasi Entreprenurhip Perempuan Muda dalam RT Miskin
.
Identifikasi Karakteristik dan Potensi Entreprneur Perampuan muda dari RT miskin di Sumatera Barat
Karakteristik Daerah Kota/desa Dataran tinggi/dataran
rendah
Karakterisitk/Kriteria Dasar Entrepeneur:
Individu Keluarga Lingkungan
/Masyarakat
Tidak MemilikiPotensi
MemilikiPotensi
Implementasi Model Scalling –Up
Belum ada usaha
Sudah ada usaha
26
Untuk mendapatkan profil dan peta potensi perempuan muda dari rumah
tangga miskin yang terpilih sebagai responden dalam penelitian ini akan
digunakan teknis analisa statistik deskriptif kuantitatif dimana dari hasil data
lapangan yang menggunakan kuiseioner akan diidentifikasikan karakteristik
responden, individu maupun rumah tangga dari mana responden berada,
selanjutnya berdasarkan tingkat entrepreneurship dan minat usaha yang mereka
miliki, responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu mereka yang memiliki
potensi untuk pengembangan usaha dan kelompok yang tidak memiliki potensi
untuk dikembangkan
Dari kelompok responden yang memiliki entrepreneurship dan minat
usaha atau kelompok yang berpotensi untuk dikembangkan selanjutnya akan
dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang sudah memiliki usaha
dan kelompok yang belum memiliki usaha. Pengamatan lebih mendalam akan
dilakukan kepada mereka yang memiliki jiwa entrepreneur dan minat untuk
melakukan usaha. Kegiatan ini akan dilakukan pada tahun kedua dari penelitian ini
Adapun peralatan statistik yang digunakan untuk mendeskripsikan hasil
studi lapangan ini adalah distribusi frekuensi dan cross tabulasi. Dari pengolahan
data ini akan terlihat karakteristik individu, daerah maupun potensi entrepreneur
perempuan muda dari RT miskin di Sumatera Barat.
27
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian.
Gambaran umum daerah penelitian dalam hal ini adalah provinsi
Sumatera Barat, gambaran umum akan dilihat dari kondisi ekonomi dan penduduk.
5.1.1. Gambaran Umum Kondisi Ekonomi
Gambaran umum kondisi ekonomi provinsi Sumatera Barat dilihat dari
perkembangan PDRB, pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian.
a) Perkembangan PDRB Sumatera Barat
PDRB Sumatera Barat selama lima tahun terakhir yakni tahun 2003-
2007 menunjukkan perkembangan yang positif, baik dilihat berdasarkan harga
berlaku maupun berdasarkan harga konstan. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan ekonomi di wilayah ini juga berkembang dengan baik. Tabel 5.1.
berikut ini memperlihatkan perkembangan PDRB Sumatera Barat selama lima
tahun terakhir, yang disajikan berdasarkan harga berlaku dan harga konstan
tahun 2000.
Tabel 5.1.PDRB Provinsi Sumatera Barat Tahun 2003-2007
28
Keterangan 2003 2004 2005 2006 2007PDRB ADHB(Rp. Juta)
33.130.682,95 37.358.645,93
44.674.569,24 53.029.588,10 59.799.045,30
PDRB ADHK 2000(Rp. Juta)
26.146.781,64 27.578.136,56
29.159.480,53 30.949.945,10 32.912.298,59
PDRB PERKAPITA ADHB (Rp)
7.486.417,27 8.237.013,65 9.783.910,75 11.448.153,71 12.729.267,84
PDRB PERKAPITA ADHK 2000 (Rp)
5.908.291,05 6.080.559,98 6.386.043.,78 6.681.547,82 7.006.098,35
Sumber: Sumatera Barat Dalam Angka 2007/2008
Pada dasarnya kondisi dan perkembangan ekonomi suatu provinsi
tidak dapat dilepaskan dari kondisi dan perkembangan ekonomi daerah kota dan
kabupaten di wilayah tersebut, demikian juga halnya dengan provinsi Sumatera
Barat. Peran perekonomi daerah terhadap perekonomian provinsi dapat dilihat
dari kontribusi PDRB daerah kota dan Kabupaten terhadap PDRB Provinsi.
Untuk Sumatera Barat, kota Padang sebagai ibu kota Provinsi dan pusat
perdagangan memperlihatkan peran yang dominan dalam perkembangan
perekonomian Sumatera Barat dibandingkan dengan 18 kota dan kabupaten
lainnya di Sumatera Barat.
Tabel. 5.2.Kontribusi PDRB Kabupaten Kota Menurut Harga Berlaku
di Sumatera Barat Tahun 2006-2007 (%)Peringka
t
Kabupaten/Kota 2006 2007
1. Kota Padang 29,78 29,57
2. Kabupaten Agam 7,64 7,60
3. Kabupaten Padang Pariaman 7,58 7,46
4. Kabupaten 50 Kota 7,11 7,15
5. Kabupaten Pasaman Barat 6,83 7,01
29
6. Kabupaten Tanah Datar 6,61 6,49
7. Kabupaten Solok 5,63 5,82
8. Kabupaten Pesisir Selatan 5,17 5,25
9. Kabupaten Pasaman 3,66 3,80
10. Kabupaten Sijunjung 3,54 3,51
11. Kabupaten Damasraya 2,95 3,04
12. Kota Bukittinggi 2,47 2,44
13. Kota Payakumbuh 2,21 2,18
14. Kota Pariaman 1,99 1,92
15. Kabupaten Solok Selatan 1,59 1,57
16. Kabupaten Kepulauan Mentawai 1,55 1,55
17. Kota Solok 1,32 1,29
18. Kota Sawah Lunto 1,32 1,27
19. Kota Padang Panjang 1,07 1,06
Sumber: PDRB Sumatera Barat, BPS, 2003-2007
Dari tabel di atas dapat lihat bahwa kabupaten dan kota yang mampu
meningkatkan perannya terhadap perekonomian provinsi pada tahun 2007
dibandingkan tahun 2006 adalah Kabupaten Solok, Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Damasraya.
b) Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat
Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat selama
lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, dimana
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2003 adalah 5,26% dan pada tahun 2007
adalah 6,34%.
Tabel 5.3.
30
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota dan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota ADHB Tahun 2007
Kabupaten/Kota Laju Pertummbuhan Ekonomi
(%)
PRDB Perkapita ADHB(Rp juta)
Kabupaten1. Kepulauan Mentawai2. Pesisir Selatan3. Solok 4. Sijunjung5. Tanah Datar6. Padang Pariaman7. Agam8. 50 Kota9. Pasaman10. Solok Selatan11. Dharmasraya12. Pasaman Barat
4,415,316,245,616,056,116,376,365,926,086,476,41
13,587,079,7310,4311,3811,4010,4212,748,837,0710,1812,56
Kota1. Padang2. Solok3. Sawah Lunto4. Padang Panjang5. Bukittinggi6. Payakumbuh7. Pariaman
6,146,352,016,386,496,375,36
20,7213,2513,8911,9713,7712,1915,97
Provinsi Sumatera Barat 6,34 12,73Sumber: PDRB Sumatera Barat, BPS, 2003-2007
Pada tahun 2007 daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi paling
tinggi adalah kota Bukittinggi dengan angka pertumbuhan 6,47% sedangkan
daerah dengan pertumbuhan ekonomi paling rendah adalah kota Sawah Lunto
yaitu sebesar 2,01%. Kondisi ini memperlihatkan adanya perbedaan potensi
ekonomi yang dimiliki oleh setiap daerah.
Selanjutnya jika dilihat dari angka PDRB perkapita berdasarkan harga
berlaku pada tahun 2007, maka daerah yang memiliki PDRB perkapita paling
31
tinggi adalah kota Pariaman yakni Rp 15,97 juta dan yang paling rendah
adalah kabupaten Pesisir Selatan dan kabupaten Solok Selatan yang memiliki
angka PDRB perkapita sama yaitu Rp 7,07 juta, sedangkan PDRB perkapita
Provinsi pada tahun yang sama adalah Rp 12,73 juta. Disini tampak suatu
kondisi yang kontradiktif, di satu sisi kota Pariaman yang mempunyai PDRB
perkapita paling tinggi dan si sisi lain kota Pariaman juga mempunyai
persentase penduduk miskin terbesar di kawasan perkotaan di wilayah
propinsi Sumatera Barat.
Tabel 5.4.Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita ADHB
Kabupaten/Kota terhadap Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007Indikator
PerbandinganLaju Pertumbuhan Ekonomi
Lebih Tinggi Laju Pertumbuhan
Ekonomi Lebih RendahPDRB Perkapita
Lebih Tinggi Kab. Lima Puluh KotaKab. Pasaman BaratKota SolokKota Bukittinggi
Kab. Kepulauan MentawaiKota PadangKota Sawah LuntoKota Pariaman
PDRB Perkapita Lebih Rendah
Kab AgamKab DharmasrayaKota Padang PanjangKota Payakumbuh
Kab Pesisir SelatanKab SolokKab SijunjungKab Tanah DatarKab Padang PariamanKab PasamanKab Solok Selatan
Sumber: PDRB Sumatera Barat, BPS, 2003-2007
Laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita merupakan indikator
pembangunan ekonomi suatu daerah, dimana kedua indikator ini memberikan
gambaran peningkatan kapasitas produksi daerah dan kondisi rata-rata
ekonomi masyarakat setempat. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada
daerah yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi diatas pertumbuhan
32
ekonomi Provinsi tetapi PDRB perkapitanya ternyata lebih rendah dari pada
PDRB perkapita propinsi, hal ini menginsyaratkan besarnya jumlah penduduk
daerah yang bersangkutan, dengan produktivitas yang masih relatif rendah.
Sebaliknya ada daerah yang memiliki PDRB perkapita lebih rendah dari pada
provinsi tapi mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pada
provinsi, hal ini menggambarkan peningkatan kapasitas ekonomi daerah yang
bersangkutan.
c) Struktur Perekonomian Sumatera Barat
Struktur perekonomian Sumatera Barat sampai dengan tahun 2007
masih didominasi oleh lapangan usaha pertanian, dengan kontribusi sebesar
24,67%, di urutan kedua adalah lapangan usaha perdagangan, hotel dan
restoran dengan nilai konbtribusi sebesar 17,43% yang diikuti oleh lapangan
usaha Jasa-jasa dan Pengangkutan & komunikasi dimana nilai kontribusi
masing-masing adalah 15,64% dan 15,07%.
Lapangan usaha industry pengolahan menempati urutan ke lima
dengan nilai kontribusi adalah 12,01%. Sedangkan lapangan usaha ekonomi
yang yang memiliki kontribusi paling rendah adalah pertambangan &
penggalian dan Bank & lembaga Keuangan Lain dimana nilai kontribusi
masing-masing adalah 3,44% dan 4,96%.
Tabel 5.5.Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat menurut Kelompok Kontribusi
Lapangan Usaha Pertanian Tahun 2007
33
Nilai Kontribusi
(%)Kabupaten/Kota Jumlah
0,00-9,99 Kota Padang, Kota Solok, Kota Sawah Lunto, Kota Bukittinggi
4
10,00-29,99 Kab Sijunjung, Kab Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh, dan Kota Pariaman
5
30,00-39,99 Kab Pesisir Selatan, Kab Tanah Datar, Kab 50 Kota, Kab Solok Selatan, Kab Dharmasraya dan Kab Pasaman Barat
6
> 40 Kab Kepulauan Mentawai, Kab Solok, Kab Agam, dan Kab Pasaman
4
Jumlah Daerah Kab/Kota 19Sumber: PDRB Sumatera Barat, BPS, 2003-2007.
Jika dilihat dari PDRB Kabupaten/Kota, tampak dengan jelas bahwa
ketergantungan pada lapangan usaha pertanian mendominasi perekonomian di
seluruh kabupaten dengan kontribusi berkisar antara 25%-55%. Sedangkan
untuk daerah Kota, peran sektor pertanian sangat bervariasi, antara 2% -
28,51%. Ada 3 daerah kota yang mempunyai kontribusi pertanian di atas 10%
yakni; Kota Padang Panjang sebesar 10,45%, kota Payakumbuh 10,64% dan
kota Pariaman sebesar 28,51%. Sedangkan kota-kota lainnya memiliki
kontribusi lapangan usaha pertanian kurang dari 10%.
5.1.2. Gambaran Umum Kondisi Penduduk
a) Jumlah dan Penyebaran Penduduk.
Jumlah penduduk Sumatera Barat pada tahun 2007 berdasarkan data
BPS adalah 4,69 juta jiwa, dengan rasio jenis kelamin 96,9, nilai ini
memperlihatkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dari pada
penduduk laki-laki. Jumlah penduduk terbanyak ada di kota Padang yaitu
sebesar 838.190 jiwa sedangkan daerah yang memiliki tingkat kepadatan
34
penduduk tertinggi adalah kota Bukittinggi dengan tingkat kepadatan 4.132,33
jiwa/km2. Tabel di bawah ini memperlihatkan jumlah penduduk, tingkat
kepadatan dan rasio jenis kelamin di seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Barat pada tahun 2007.
Tabel 5.6.Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007
Kabupaten/KotaJumlah
Penduduk(000 orang)
Kepadatan Penduduk (Org/Km2)
Rasio Jenis Kelamin
Kabupaten1. Kepulauan Mentawai2. Pesisir Selatan3. Solok 4. Sijunjung5. Tanah Datar6. Padang Pariaman7. Agam8. 50 Kota9. Pasaman10. Solok Selatan11. Dharmasraya12. Pasaman Barat
67,22435,96351,52197,61335,54384,54428,35329,52253,15130,36175,57327,79
117594632512891929857395997
111,497,0100,997,691,986,899,499,296,698,6103,5102,7
Kota1. Padang2. Solok3. Sawah Lunto4. Padang Panjang5. Bukittinggi6. Payakumbuh7. Pariaman
838,1957,1253,9152,02104,28105,0570,50
1206991197
2.2624.1311.306961
94,1104,196,190,897,0107,990,7
Total/Provinsi 4.697,76 111 96,9Sumber: Sumbar Dalam Angka 2007/2008.
b) Kondisi Angkatan Kerja dan Lapangan Usaha
35
Jumlah angkatan kerja Sumatera Barat pada tahun 2007 adalah 2,11
juta jiwa, mencapai 44,84% dari seluruh penduduk, dimana 1,89 juta atau
58,57% diantaranya adalah bekerja, sedangkan sisanya merupakan
pengangguran, yakni sebesar 6,74%.
Tabel 5.7Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan
Dan Jenis Kelamin Tahun 2007
Jenis Kegiatan Seminggu yang Lalu
Jenis Kelamin
Jumlah %Laki-Laki Perempuan
Jumlah % Jumlah %
1. Angkatan Kerja a. Bekerjab. Pengang-
guran
1.277.3091.161.310115.999
81,6674,257,42
829.402728.096101.306
49,9243,826,10
2.106.7111.889.406217.305
65,3158,576,74
2. Bukan Angkatan Kerja a. Sekolahb. Mengurus RTc. Lainnya
268.823
160.88022.164103.779
18,34
10,291,426,63
832,222
199.746544.96687.510
50,08
12,0232,805,27
1.119.045
360.626567.130191.289
34,69
11,1817,585,93
3. Jumlah 1.564.132 100,00 1.661.624 100,00 3.225.756 100,00Sumber: Sumbar Dalam Angka 2007/2008.
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, maka tampak bahwa angkatan
kerja laki-laki yang bekerja jumlahnya lebih besar dari pada angkatan kerja
perempuan yang bekerja, dengan jumlah masing-masingnya adalah 1.161.310
jiwa (74,25%) dan 728.095 jiwa (43,82%). Hal ini memperlihatkan bahwa
tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan juga lebih rendah dari pada
penduduk laki-laki, dimana TPAK penduduk laki-laki adalah 90,92%
sedangkan penduduk perempuan adalah 87,79%. nilai TPAK total untuk
provinsi pada tahun 2007 ini adalah 89,69%.
36
Selanjutnya, dari penduduk yang tergolong bukan angkatan kerja
karena masih sekolah dapat dilihat bahwa jumlah penduduk laki-laki yang
bersekolah lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan
yang bersekolah dimana jumlah penduduk laki-laki bersekolah adalah 160.880
orang (10,29%), sedangkan penduduk perempuan yang bersekolah adalah
199.746 orang (12,02%). Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerintah
perlu mempertimbangkan peningkatan lapangan usaha dan kesempatan usaha
bagi kaum perempuan Sumatera Barat karena jumlahnya yang lebih besar dan
angka partisipasi sekolah yang juga tinggi.
Tabel 5.8Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Tingkat
Pendidikan yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin Tahun 2007Tingkat
PendidikanLaki-Laki Perempuan Jumlah %
Jumlah % Jumlah %1. Tidak/Belum
Pernah Sekolah10.801 0,93 17.272 2,37 28.073 1,49
2. Tidak/Belum Tamat SD
203.852 17,56 150.204 20,63 354.056 18,74
3. Sekolah Dasar 326.619 28,13 195.391 26,84 522.010 27,634. SMTP Umum 261.164 22,47 139.996 19,23 401.160 21,235. SMTP
Kejuruan24.982 2,15 8.957 1,23 33.939 1,80
6. SMTA Umum 188.806 16,26 102.172 14,03 290.978 15,407. SMTA
Kejuruan83.050 7,15 43.274 5,94 126.324 6,69
8. Diploma I/II 8.955 0,77 18.641 2,56 27.596 1,469. Diploma III 16.361 1,41 19.535 2,68 35.896 1,9010. Universitas
(S1)36.720 3,16 32.654 4,48 69.374 3,67
Jumlah 1.161.310 100,00 728.096 100,00 1.889.406 100,00Sumber: Sumbar Dalam Angka 2007/2008.
Dari tabel 5.8 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk perempuan yang
tidak sekolah lebih besar dari pada penduduk laki-laki tetapi di sisi lain
37
ternyata penduduk perempuan yang memiliki pendidikan diploma jumlahnya
lebih besar dari pada jumlah penduduk laki-laki, sedangkan untuk tingkat
pendidikan Universitas perbedaan jumlah berdasarkan jenis kelamin ini tidak
terlalu besar
Jika dilihat berdasarkan lapangan usaha yang ditekuni dalam bekerja
maka tampak bahwa lapangan usaha pertanian masih mendominasi
penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat, dengan angka 47,93% dari jumlah
penduduk bekerja.
Tabel 5.9Jumlah dan Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2007Lapangan Usaha Jumlah %
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan, Perikanan
905.575 47,92908
2. Pertambangan 15.303 0,8099373. Industri Pengolahan 139.972 7,4082544. Listrik, Gas dan Air 564 0,0298515. Bangunan 78.358 4,1472296. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan 384.094 20,328827. Angkutan, Pergudangan, Komunikasi 122.053 6,4598618. Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan,
Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan18.895 1,00005
9. Jasa Kemasyarakatan 224.592 11,88691Jumlah 1.889.406 100
Sumber: Sumbar Dalam Angka 2007/2008.
Lapangan usaha lain yang menyerap tenaga kerja cukup tinggi di
Sumatera Barat adalah lapangan usaha perdagangan besar, eceran, rumah
makan, dan hotel yakni sebesar 20,33% dan diikuti oleh lapangan usaha jasa
kemasyarakatan dengantingkat penyerapan 11,89%. Informasi selengkapnya
38
tentang jumlah dan persentase penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan
usaha utamanya, dapat dilihat pada tabel 5.9.
5.1.3. Kondisi Kemiskinan Penduduk
Kondisi umum kemiskinan penduduk Sumatera Barat dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.10Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Propinsi Sumatera Barat
Tahun 2005-2007
TahunJumlah Penduduk
Miskin (000 jiwa)
Persentase Penduduk Miskin
(%)
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln)
2005 482,8 10,89 140.9622006 578,7 12,51 184.2662007 529,2 11,90 180.669
Sumber: SBDA, 2007.
Secara umum, jumlah dan persentase penduduk miskin di Sumatera
Barat telah mengalami peningkatan dari tahun 2006 dibandingkan dengan
tahun 2005, dan mengalami penurunan pada tahun 2007 dibandingkan dengan
tahun 2006, tetapi dengan garis kemiskinan yang juga menurun. Hal ini berarti
bahwa penurunan kemiskinan lebih disebabkan oleh adanya penurunan garis
kemiskinan, bukan karena adanya peningkatan pendapatan penduduk miskin.
Data kemiskinan terakhir menurut “Berita Resmi Statistik” tahun 2008
dapat dilihat pada tabel 5.11 di bawah ini.
39
Tabel 5.11Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
pada Maret 2007- Maret 2008
Menurut Daerah
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln)Jumlah
penduduk miskin
%
penduduk miskinMakanan Non Makanan Total
Daerah Perkotaan
Maret 2007 154 574 59 369 213 942 149 200 9,78
Maret 2008 164 181 62 161 226 343 127 300 8,30
Daerah Pedesaan
Maret 2007 133 893 29 408 163 301 380 100 13,01
Maret 2008 146 484 33 271 179 755 349 900 11,91
Daerah Kota + Desa
Maret 2007 140 986 39 683 180 669 529 300 11,90
Maret 2008 152 554 43 179 195 733 477 200 10,67
Sumber : Diolah dari data Susenas, BRS 2008.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi penurunan dalam
jumlah dan persentase penduduk miskin di Sumatera Barat dalam kurun
waktu Maret 2007-Maret 2008, dimana jumlah penduduk miskin lebih banyak
di daerah pedesaan dari pada perkotaan.
Selama periode Maret 2007 ke Maret 2008 garis kemiskinan naik
sebesar 8,34 % yaitu dari Rp. 180 669,- per kapita per bulan menjadi Rp. 195
733,- per kapita per bulan. Jika dilihat menurut komponen pembentuk Garis
Kemiskinan (GK) maka tampak bahwa garis kemiskinan makanan (GKM)
memiliki kontribusi yang jauh lebih besar dibandingkan garis kemiskinan non
makanan (GKNM). Pada Maret 2007 kontribusi GKM untuk membentuk GK
sebesar 78% dan angka tersebut relatif stabil pada kondisi Maret 2008.
40
Jika dilihat menurut daerah perkotaan dan pedesaan maka GK daerah
perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. GK daerah perkotaan
pada Maret 2008 sebesar Rp. 226 343,- per kapita per bulan sedangkan GK
pedesaan sebesar Rp. 179 755,- per kapita per bulan. Namun jika diperhatikan
persentase peningkatannya maka GK pedesaan meningkat lebih besar
dibandingkan perkotaan. Selama satu tahun pada periode Maret 2007 – Maret
2008 GK daerah pedesaan meningkat sekitar 10 persen sedangkan GK
perkotaan hanya meningkat 5,80 persen.
Untuk jumlah penduduk miskin berdasarkan Kabupaten/Kota dapat
dilihat pada tabel 5.12 di bawah ini. Jumlah penduduk miskin terbanyak untuk
daerah kabupaten adalah di daerah Padang Pariaman yaitu sebanyak 181.897
orang, sedangkan jika dilihat dari persentase penduduk miskin maka daerah
yang memiliki persentase penduduk miskin paling tinggi adalah kabupaten
Pasaman. Sedangkan untuk kawasan perkotaan daerah yang mempunyai
jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Padang yaitu sebanyak 289.273
jiwa. Adapun daerah yang memiliki persentase penduduk miskin tertinggi
adalah kota Pariaman dengan nilai 7,86%.
41
Tabel 5.12.Jumlah Penduduk Miskin Sumatera Barat Menurut Kabupaten/Kota
Tahun 2006
Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk
Miskin (000)
% Penduduk Miskin
P1 P2 Garis Kemiskinan
(Rp/Kap/Bln)
KABUPATEN
1. MENTAWAI11,1 16,87
2,68
0,56 117995
2. PESISIR SELATAN63,3 14,76
1,86
0,88 163190
3. SOLOK62,3 17,98
3,01
0,75 168466
4. SAWAH LUNTO SJJG30,7 15,96
2,61
0,71 169586
5. TANAH DATAR25,4 7,61
1,16
0,29 172040
6. PADANG PARIAMAN66,5 17,45
2,80
0,75 181897
7. AGAM59,4 13,98
2,62
0,74 179987
8. LIMA PULUH KOTA52,9 16,19
2,63
0,72 181008
9. PASAMAN45,6 18,34
2,94
0,87 178484
10. SOLOK SELATAN22,7 17,69
2,61
0,60 168465
11. DAMASRAYA25,4 14,95
2,67
0,74 169588
12. PASAMAN BARAT45,5 14,12
1,99
0,45 178484
KOTA
1. PADANG43,1 5,15
0,69
0,16 289273
2. SOLOK2,7 4,85
0,81
0,22 168735
42
3. SAWAH LUNTO2,5 2,86
0,40
0,11 146858
4. PADANG PANJANG2,9 4,94
0,68
0,15 213032
5. BUKITTINGGI5,9 5,12
0,81
0,21 208161
6. PAYAKUMBUH5,3 7,83
1,08
0,22 229508
7. PARIAMAN5,5 7,86
1,42
0,26 164263
SUMATERA BARAT578,7 12,91
2,04
0,54 184266
Sumber: BRS, BPS, 2008.
Selanjutnya, pada tabel 5.13. dapat dilihat Indeks Kedalaman Kemiskinan
(P1), dimana ternyata telah terjadi penurunan dari 1,84 pada tahun 2007
menjadi 1,60 pada tahun 2008. Penurunan P1 berarti terjadi perbaikan secara
rata-rata pada kesenjangan antara standar hidup penduduk miskin dibandingkan
dengan garis kemiskinan. Dilihat secara wilayah, maka penurunan Indeks
Kedalaman Kemiskinan tersebut hanya terjadi pada wilayah pedesaan,
sedangkan pada wilayah perkotaan Indeks Kedalaman Kemiskinan lebih besar
dibandingkan tahun 2007.
Tabel 5.13.Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Maret 2007 – Maret 2008
Tahun Kota Desa Kota + Desa
P1 Maret 2007 1.35 2.10 1.84 Maret 2008 1.46 1.68 1.60 P2 Maret 2007 0.30 0.52 0.44 Maret 2008 0.32 0.43 0.39
43
Sumber: BRS, BPS, 2008.
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada tahun 2008 adalah 0,39, turun
sebesar 0,05 dari tahun 2007 yakni sebesar 0,44. Hal ini berarti secara umum
terjadi penurunan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin. Sedangkan jika
dilihat menurut wilayah perkotaan / pedesaan, ketimpangan tersebut hanya turun
di daerah pedesaan, sedangkan pada daerah perkotaan ketimpangan tersebut lebih
besar pada tahun 2008.
Penurunan baik pada P1 maupun P2 pada tingkat provinsi adalah hasil dari
penurunan P1 dan P2 di wilayah pedesaan, sedangkan di perkotaan P1 dan P2
mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan
kemiskinan memberikan hasil yang lebih baik seraca relatif di kawasan pedesaan
dibandingkan dengan kawasan perkotaan.
Selanjutnya, jika dilihat dari kondisi masalah kesejahteraan sosial
masyarakat, tampak bahwa potensi terjadinya kemiskinan masih cukup besar di
provinsi Sumatera Barat, sebagaimana terlihat pada tabel 5.14 berikut;
Tabel 5.14Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Sumatera Barat Tahun 2005-2007
(orang)
TahunAnak
Terlantar
Wanita Rawan Sosial
Penyandang Cacat
Lanjut Usia
Keluarga Fakir Miskin
Total
2005(%)
55.848(16,74)
30.359(9,10)
13.716(4,11)
22.859(6,85)
210.808(63,19)
333.590(100)
2006(%)
44.311(11,91)
28.995(7,79)
16.322(4,39)
74.304(19,96)
208.250(55,95)
372.182(100)
2007 80.765 29.386 17.687 45.408 181.359 354.605
44
(%) (22,77) (8,29) (4,99) (12,81) (51,14) (100)Sumber: SBDA 2007, diolah.
Wanita rawan sosial menenpati urutan ketiga penyandang masalah
kesejahteraan sosial masyarakat, hal ini memperlihatkan bahwa kaum
perempuan rentan untuk menderita masalah sosial kemasyarakatan, oleh sebab
itu perlu diupayakan agar kaum perempuan ini memiliki kemampuan untuk
mandiri baik secara ekonomi maupun sosial. Masalah jumlah keluarga fakir
miskin dan anak terlantar merupakan penyandang masalah kesejahteraan
sosial masyarakat yang berada pada peringkat pertama dan kedua, dimana
keduanya juga tidak bisa terlepas dari kondisi kaum perempuan sebagai ibu
dan anggota keluarga miskin yang bersangkutan.
5.2. Profil Kepala RT Miskin
Profil Kepala RT Miskin dilihat dari dimensi umur, jenis kelamin,
pendidikan dan pendapatan serta jumlah anggota rumah tangga yang menjadi
tanggungjawabnya.
Tabel 5.15Profil Kepala RT Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Umur Kepala RT
Jenis Kelamin Kepala RTTotal %
Pria % Wanita %
< 30 Tahun34 17,00 1 0,50 35 17,50
30 - 39 Tahun 39 19,50 7 3,50 46 23,0040 - 49 Tahun 36 18,00 10 5,00 46 23,0050 - 59 Tahun 38 19,00 15 7,50 53 26,50
> 60 Tahun 18 9,00 2 1,0 20 10,00Total 165 82,50 35 17,50 200 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
45
Dari tabel di atas tampak bahwa 82,50% kepala RT miskin adalah pria
dan 17,50% kepala RT miskin adalah wanita. Jika dilihat dari umur maka
tampak bahwa mayoritas umur kepala RT miskin adalah dibawah 60 tahun,
yaitu sebanyak 90%. Hal ini memperlihatkan bahwa secara ekonomi kepala RT
miskin masih tergolong usia produktif yang memiliki potensi untuk
memperoleh pendapatan.
Tabel 5.16 memperlihatkan kondisi kepala RT miskin berdasarkan
kelaompok umur dan tingkat pendapatan/bulan yang diperoleh dari pekerjaan
yang mereka tekuni. Dari tabel tersebut tampak bahwa 83,50% kepala RT
miskin hanya mempunyai pendapatan kurang dari Rp 1.000.000,-/bulan. Hanya
2% saja yang memiliki pendapatan lebih dari Rp2.000.000,-/bulan. Kondisi ini
jelas sangat menyulitkan mereka untuk mampu memenuhi kebutuhan keluarga,
hal ini dapat dilihat pada jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan
mereka.
Tabel 5.16Profil Kepala RT Berdasarkan Kelompok Umur dan Pendapatan (%)
Umur Kepala RT
Pendapatan/bulan Kepala RT (Rp)
Total < 500.000
500.000 - . 1.000.000
1.000.000- 1.500.000
1. 500.000 -. 2.000.000 > 2. 000.000
< 30 Tahun 7,00 8,50 0,50 1,00 0,50 17,5030 - 39 Tahun 11,50 6,50 2,50 2,50 0,00 23,0040 - 49 Tahun 9,00 10,00 1,50 2,00 0,50 23,0050 - 59 Tahun 12,00 11,00 2,00 1,50 0,00 26,50
> 60 Tahun 5,00 3,00 0,50 0,50 1,00 10,00Total (%) 44,50 39,00 7,00 7,50 2,00 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Jika diperhatikan umur kepala RT miskin yang berusia kurang dari 60
tahun maka tampak bahwa 39,50% mempunyai pendapatan kurang dari Rp
46
500.000,- kondisi ini menunjukan bahwa meskipun usia produktif tetapi mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup secara baik.
Tabel 5.17Profil Kepala RT Berdasarkan Pekerjaan Utama dan Pendapatan (%)Jenis
Pekerjaan Utama Kepala
RT
Pendapatan/bulan Kepala RT
Total
<. 500.000
. 500.000 -. 1.000.000
1.000.000 - 1.500.000
1.500.000 - 2.000.000 > 2. 000.000
Pertanian 33,00 18,50 1,00 1,50 0,50 54,50Peternakan 2,00 0,50 0,00 0,00 0,00 2,50Perikanan 1,00 0,50 0,00 0,00 0,00 1,50Kerajinan 1,50 1,00 0,50 0,00 0,00 3,00Industri Kecil 1,50 3,00 0,50 0,50 0,00 5,50Perdagangan 1,50 7,00 1,50 1,50 1,50 13,00Lainnya 4,00 8,50 3,50 4,00 0,00 20,00Total (%) 44,50 39,00 7,00 7,50 2,00 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Jika dilihat dari lapangan usaha atau jenis pekerjaan kepala RT miskin,
terlihat bahwa 58,50% RTM miskin menggantungkan hidup pada lapangan
usaha pertanian (pertanian, peternakan, perikanan). Kondisi ini memperlihatkan
bahwa kemiskinan lebih banyak terjadi di kawasan pedesaan, hal ini sesuai
dengan data awal tentang kemiskinan Sumatera Barat yang telah disajikan pada
bagaian terdahulu.
Berdasarkan jumlah anggota Rumah Tangga Miskin (RTM), tampak
bahwa 52% memili jumlah anggota keluarga kurang dari 5 (lima) orang, dan
47% mempunyai anggota keluarga 5-10 orang, hanya 1% yang memiliki
anggota keluarga lebih dari 10 orang. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
tanggungan keluarga kepala RTM masih besar, karena dengan konsep KB
(Keluarga Berencana), jumlah keluarga ideal adalah 4 orang.
Tabel 5.18
47
Profil Kepala RT Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah Anggota RT (%)
Jenis Kelamin Kepala RT
Jumlah Anggota RT (Orang)Total
%
< 5 % 5 - 10 % > 10 %
Pria 80 40 83 41,5 2 1 165 82,5Wanita 24 12 11 5,5 0 0 35 17,5Total 104 52 94 47 2 1 200 100
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Dari tabel 5.18 tampak bahwa 26,5% kepala RTM yang berpendapatan
kurang dari Rp 500.00,- mempunyai jumlah anggota keluarga kurang dari lima
orang dan 18% mempunyai tanggungan keluarga 5-10 orang. Hal ini
memperlihatkan beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung oleh kepala
RTM miskin. Selanjutnya, ada 1% yang memiliki pendapatan lebih besar dari
Rp 2 juta, hal ini memperlihatkan disamping masalah kemiskinan juga ada
masalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan dikalangan RT miskin di
wilayah Sumatera Barat.
Tabel 5.19Profil Kepala RT Berdasarkan Pendapatan dan Jumlah Anggota RT (%)
Pendapatan/bulan Kepala RT (Rp) Jumlah Anggota RT (Orang) Total < 5 5 - 10 > 10
< Rp. 500.000 26,50 18,00 0,00 44,50Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 18,00 21,00 0,00 39,00Rp. 1.000.000 - Rp. 1.500.000 2,50 4,50 0,00 7,0Rp. 1. 500.000 - Rp. 2.000.000 4,00 2,50 1,00 7,50> Rp. 2. 000.000 1,00 1,00 0,00 2,00Total (%) 52,00 47,00 1,00 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Besarnya tanggungan anggota keluarga yang dihadapi oleh kepala
RTM akan dapat diatasi dengan memberdayakan anggota keluarga untuk
melakukan aktivitas ekonomi produktif, terutama bagi anggota keluarga yang
tergolong perempuan muda, hal ini akan sangat membantu dalam upaya
48
pengentasan kemiskinan RTM yang bersangkutan, yang pada gilirannya akan
memdorong upaya pengentasan kemiskinan di Sumatera Barat.
5.3. Profil Individu Perempuan Muda dari RT Miskin
Bagian ini merupakan bagian terpenting dari studi ini, karena pada
bagian inilah profil dan potensi perempuan muda dari RTM akan diketahui.
a) Status Keluarga dan Perkawinan
Dari hasil studi diperoleh bahwa ada 39% perempuan muda yang
berstatus istri, bahkan 1 % telah menjadi kepala RT, hal ini memperlihatkan
bahwa masih adanya perempuan yang kawin dalam usia muda di wilayah
Sumatera Barat. Selanjutnya 57% dari perempuan muda merupakan anak dari
RTM dan sisanya adalah menantu dan family.
Tabel 5.20Profil Perempuan Muda Berdasarkan Status Dalam Keluarga
dan Kelompok Umur (%)Status Dalam
Keluarga
Umur Responden (Tahun)Total
15 - 20 21 - 25 26 - 30 Kepala rumah tangga 0 0 1,0 1,0Istri 1,5 12 25,5 39Anak 30,5 18 8,5 57Menantu 0 0,5 0 0,5Famili 1,5 0,5 0 2,0Lainnya 0,5 0 0 0,5Total (%) 34 31 35 100
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Berdasarkan status perkawinan tampak bahwa 53% belum kawin, 44%
sudah kawin sedangkan 3% berstatus janda, kondisi ini mendukung fakta
bahwa masih terjadi perkawinan dalam usia muda di Sumatera Barat. Fakta ini
49
didukung juga oleh data dimana hanya 5,5% perempuan muda dari RTM yang
belum menikah pada usia 26-30 tahun.
Tabel 5.21Profil Perempuan Muda Berdasarkan Status Perkawinan
dan Kelompok Umur (%)Kelompok Umur
Responden(Tahun)
Status PerkawinanTotal
Kawin Belum Kawin Janda
15 - 20 2,0 31,5 0,5 3421 - 25 14,5 16,0 0,5 3126 - 30 27,5 5,5 2,0 35
Total (%) 44 53 3 100Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
b) Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan variabel sosial yang sangat erat kaitannya
dengan aktivitas ekonomi. Dari sisi pandang ekonomi pendidikan adalah
investasi sumber daya manusia yang hasilnya sangat beragam, sangat
tergantung kepada individu yang bersangkkutan dan dipengaruhi pula oleh
lingkungan dimana individu berada.
Tabel 5.22Profil Perempuan Muda Berdasarkan Status Perkawinan
dan Tingkat Pendidikan (%)
Tingkat Pendidikan Status Perkawinan Total Kawin Belum Kawin Janda
Tdk pernah sekolah 0 0,5 0,5 1Tdk tamat SD 1,0 4,0 0 5Tamat SD 12,0 7,5 1,0 20,5Tamat SLTP 17,5 16,5 0,5 34,5Tamat SLTA 13,0 23,5 1,0 37,5Tamat Akd/Diploma 0,5 0,5 0 1Tamat S1 0 0,5 0 0,5Total (%) 44 53 3 100
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
50
Dari tabel 5.20 dapat dilihat bahwa 6% perempuan muda dari RTM
tidak tamat SD, 55% berpendidikan SLTP ke bawah, 37,5% berpendidikan
SLTA, dan hanya 1,5% yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa secara umum pendidikan perempuan muda dari RTM
masih relatif rendah. Hal ini dapat dipahami karena mereka memiliki
keterbatasan untuk membiayai pendidikan terutama ke perguruan tinggi.
Tetapi wajib belajar 9 tahun sudah mencapai 55% pada kalangan RTM
Sumatera Barat.
Jika dilihat dari kelompok umur, tampak bahwa 3% perempuan muda
dari RTM yang tidak tamat SD berumur 15-20 tahun. Usia ini masih tergolong
usia untuk bersekolah di tingkat SMU dan Perguruan Tinggi, tapi karena
kondisi ekonomi mereka tidak mampu bersekolah, bahkan di tingkat SD
sekalipun.
Tabel 5.23Profil Perempuan Muda Berdasarkan Kelompok Umur
dan Tingkat Pendidikan (%)
Tingkat Pendidikan Kelompok Umur (Tahun) Total 15 – 20 21 – 25 26 - 30
Tdk pernah sekolah 0,5 0 0,5 1,0Tdk tamat SD 2,5 1,5 1,0 5,0Tamat SD 6,0 6,5 8,0 20,5Tamat SLTP 12,5 8,5 13,5 34,5Tamat SLTA 12,5 14 11,0 37,5Tamat Akd/Diploma 0 0,5 0,5 1,0Tamat S1 0 0 0,5 0,5Total (%) 34 31 35 100
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Selanjutnya, 1,5% perempuan muda yang mencapai pendidikan
sampai Perguruan tinggi adalah mereka yang berumur 21-30 tahun. Dari
51
kelompok umur 15-20 tahun, mayoritas perempuan muda dari RTM
berpendidikan SLTP dan SLTA, untuk kelompok umur 21-25 tahun paling
banyak berpendidikan SLTA, sedangkan dari kelompok umur 26-30 tahun
paling banyak berpendidikan SLTP
c) Status Pekerjaan dan Pendapatan
Berdasarkan status pekerjaan dapat dilihat bahwa hanya 26% yang
bekerja dan 74% tidak bekerja, hal ini dapat dilihat pada tabel 5.22 berikut.
Tabel 5.24Profil Perempuan Muda Berdasarkan Kelompok Umur
dan Status Pekerjaan (%)Kelompok Umur
Responden(Tahun)
Status PekerjaanTotal
Bekerja Tidak Bekerja15 - 20 6,5 27,5 3421 - 25 6,5 24,5 3126 - 30 13,0 22,0 35
Total (%) 26 74 100Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Perempuan muda dari RTM yang bekerja paling besar berpendidikan
SLTA , sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya 0,5% yang bekerja.
Kondisi ini menggambarkan bahwa perempuan muda dari RTM yang bekerja
adalah pendidikan menengah.
Tabel 5.25Profil Perempuan Muda Berdasarkan Tingkat Pendidikan
dan Status Pekerjaan (%)Tingkat
PendidikanStatus Pekerjaan Total
Bekerja Tidak Bekerja
Tdk pernah sekolah 0,00 1,00 1,00Tdk tamat SD 2,00 3,00 5,00Tamat SD 5,00 15,50 20,50Tamat SLTP 8,00 26,50 34,50Tamat SLTA 10,50 27,00 37,50Tamat Akd/Diploma 0,50 0,50 1,00
52
Tamat S1 0,00 0,50 0,50Total (%) 26,00 74,00 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Jika dilihat berdasarkan kelompok umur tampak bahwa 25% berada
pada kelompok umur 15-20 tahun, 25% pada kelompok umur 21-26 tahun dan
50% berada di kelompok umur 26-30 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa
jumlah yang bekerja paling banyak pada usia 26-30 tahun, dan ini sejalan
dengan data bahwa mereka yang bekerja 10,5% dari total responden adalah
berpendidikan SLTA.
Berdasarkan lapangan pekerjaan, tampak bahwa perempuan muda dari
RTM paling banyak bekerja di lapangan usaha perdagangan, yaitu sebanyak
32,6% dari jumlah yang bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tingkat
pendidikan menengah dan keterbatasan keterampilan dan keahlian, maka
lapangan usaha ini merupakan pilihan yang terbaik yang bias mereka lakukan.
Tabel 5.26Profil Perempuan Muda Berdasarkan Jenis Pekerjaan
dan Kelompok Umur (%)Jenis
PekerjaanKelompok Umur (Tahun)
Total 15 – 20 21 – 25 26 – 30
Pertanian 1,92 1,92 5,77 9,62Peternakan 0,00 1,92 0,00 1,92Kerajinan 7,69 5,77 5,77 19,23Industri Kecil 3,85 0,00 9,62 13,46Perdagangan 0,00 9,62 23,08 32,69Lainnya 11,54 5,77 5,77 23,08Total (%) 25,00 25,00 50,00 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Pada kelompok umur 15-20 tahun, lebih bayak bekerja dibidang
kerajinan dan bekerja sebagai pekerja/buruh, pada kelompok umur 21-25 dan
53
kelompok 26-30 tahun lebih banyak di bidang perdagangan. Bidang pekerjaan
ini relatif mudah dikerjakan secara mandiri.
Tabel 5.27Profil Perempuan Muda Berdasarkan Jenis Pekerjaan
dan Tingkat Pendidikan (%)
Jenis Pekerjaan
Tingkat Pendidikan TerakhirTotal
Tdk tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat PT
Pertanian 0,00 1,92 7,69 0,00 0,00 9,62Peternakan 0,00 0,00 0,00 1,92 0,00 1,92Kerajinan 0,00 7,69 1,92 9,62 0,00 19,23Industri Kecil 1,92 0,00 3,85 7,69 0,00 13,46Perdagangan 0,00 5,77 15,38 11,54 0,00 32,69Lainnya 5,77 3,85 1,92 9,62 1,92 23,08Total (%) 7,69 19,23 30,77 40,38 1,92 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Berdasarkan tingkat pendidikan, mereka yang tidak tamat SD lebih
banyak bekerja sebagai buruh/pekerja dengan orang lain, sedangkan yang
berpendidikan SD paling banyak bekerja di bidang kerajinan, dan tamata SLTP dan
SLTA bekerja di bidang perdagangan. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi kemampuan individu untuk memilih dan melakukan
pekerjaan. Dari data di atas tampak bahwa perempuan muda dengan tingkat
pendidikan menengah cenderung untuk memilih bekerja mandiri dengan pilihan
usaha perdagangan yang memang sudah menjadi cirri khas penduduk Sumatera Barat
yang memiki jiwa berdagang.
Tabel 5.28Profil Perempuan Muda Berdasarkan Tingkat Pendapatan
dan Tingkat Pendidikan (%)
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendapatan (Rp)Total
< 500.000
500.000–
1.000.000
1.000.000 –
1.500.000
1. 500.000 –
2.000.000> 2. 000.000
54
Tdk pernah sekolah 0,00 2,86 0,00 0,00 0,00 2,86Tamat SD 14,29 2,86 0,00 2,86 2,86 22,86Tamat SLTP 14,29 8,57 2,86 2,86 2,86 31,43Tamat SLTA 5,71 20,00 11,43 0,00 2,86 40,00Tamat PT 0,00 0,00 0,00 0,00 2,86 2,86Total (%) 34,29 34,29 14,29 5,71 11,43 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Dari segi pendapatan yang diperoleh , tampak bahwa mayoritas
memiliki pendapatan kurang dari Rp1.500.000,- perbulan, yaitu sebanyak 82,86%.
Berdasarkan tingkat pendidikan, mereka yang tamata SD dan SLTP lebih banyak
berada pada tingkat pendapatan kurang dari Rp 500.000,-/bulan, sedangkan tamat
SLTA memiliki pendapatan Rp 500.000-Rp 1.500.000,-/bulan dan yang
berpendidikan tinggi mampu memiliki pendapatan lebih dari Rp 2.000.000,-/bulan.
Secara umum dapat dilihat bahwa pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap
kemampuan individu untuk mendapatkan pekerjaan dan income yang lebih baik.
Tabel 5.29Profil Perempuan Muda Berdasarkan Tingkat Pendapatan
dan Jenis Pekerjaan (%)
Jenis Pekerjaan
Tingkat Pendapatan (Rp)Total
< 500.000
500.000–
1.000.000
1.000.000 –
1.500.000
1. 500.000 –
2.000.000> 2. 000.000
Pertanian 11,43 17,14 2,86 0,00 0,00 31,43Peternakan 2,86 5,71 2,86 0,00 0,00 11,43Kerajinan 2,86 2,86 2,86 2,86 2,86 14,29Industri Kecil 0,00 2,86 2,86 2,86 2,86 11,43Perdagangan 8,57 5,71 2,86 0,00 5,71 22,86Lainnya 8,57 0,00 0,00 0,00 0,00 8,57Total (%) 34,29 34,29 14,29 5,71 11,43 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Berdasarkan jenis pekerjaan, pendapatan paling kecil yakni kurang
dari Rp 1.000.000,- berasal dari mereka yang bekerja di bidang pertanian, untuk
55
bidang kerajinan dan industry kecil pendapatan yang diterima terdistribusi dengan
persentase yang sama untuk setiap kelompok pendapatan, sedangkan pada bidang
usaha perdagangan terjadi ketimpangan, dimana terdapat 8,57% berpendapatan
kurang dari Rp 500.000,0/bulan dan 5,71% berpendapatan di atas Rp 2.000.000,-
perbulan.
d) Keinginan Bekerja
Dari kelompok perempuan muda yang tidak bekerja yaitu 74% dari
total responden, mayoritas memiliki keinginan untuk bekerja yakni 96,10%
dari mereka menyatakan keinginan untuk bekerja, hanya 3,9% saja yang tidak
berkeinginan untuk bekerja. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan muda
dari RTM ini memiliki keinginan untuk keluar dari linngkaran kemiskinan.
Salah satu upaya mereka adalah dengan mencari pekerjaan.
Tabel 5.30Profil Perempuan Muda Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Keinginan Bekerja TotalYa Tidak
Tdk pernah sekolah 1,30 0,00 1,30Tdk tamat SD 3,90 0,00 3,90Tamat SD 20,78 0,65 21,43Tamat SLTP 33,12 3,25 36,36Tamat SLTA 35,71 0,00 35,71Tamat Akd/Diploma 0,65 0,00 0,65Tamat S1 0,65 0,00 0,65
Total (%) 96,10 3,90 100,00 Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Berdasarkan tingkat pendidikan, mereka yang ingin bekerja mayoritas
berpendidikan menengah yaitu SLTP dan SLTA, kemudian diikuti oleh
tingkat pendidikan SD. Tampak bahwa perempuan muda yang belum bekerja
ini cukup berpendidikan, sehingga ada potensi untuk dikembangkan agar
56
mampu bekerja mandiri agar mereka memiliki pendapatan dan membantu
keluarga mereka keluar dari garis kemiskinan.
Tabel 5.31Profil Perempuan Muda Berdasarkan Tingkat Pendidikan
dan Bidang Pekerjaan yang Diinginkan (%)
Tingkat Pendidikan
Bidang Pekerjaan Yang DinginkanTotal
Pertanian Peternakan KerajinanIndustri
Kecil Perdagangan Lainnya
Tdk pernah sekolah 0,00 0,00 0,63 0,00 0,63 0,00 1,25Tdk tamat SD 0,00 0,63 1,25 0,63 1,25 0,00 3,75Tamat SD 0,00 1,88 4,38 0,00 14,38 0,00 20,63Tamat SLTP 0,63 0,63 10,00 1,25 22,50 0,63 35,63Tamat SLTA 0,00 2,50 6,88 6,25 20,00 1,25 36,88Tamat Akd/Diploma 0,00 0,00 0,00 0,00 1,25 0,00 1,25Tamat S1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,63 0,63Total (%) 0,63 5,63 23,13 8,13 60,00 2,50 100,00
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Jika dilihat dari bidang pekerjaan yang diinginkan tampak bahwa 60%
perempuan muda dari RTM ini memilih untuk bekerja di bidang perdagangan.
Hal ini dapat dipahami karena mereka hanya berpendidikan menengah ke
bawah, bidang pekerjaan ini lebih mudah memperhitungkan kemungkinan
pendapatan yang akan diterima dan dapat dilakukan secara mandiri.
Tabel 5.32Profil Perempuan Muda Berdasarkan Tingkat Pendidikan
dan Kepemilikan Modal Untuk Usaha (%)Tingkat
PendidikanKepemilikan Modal Usaha TotalAda Tidak ada
Tdk pernah sekolah 0,52 0,52 1,04Tdk tamat SD 0,00 5,21 5,21TamatSD 2,08 19,27 21,35Tamat SLTP 4,69 28,65 33,33Tamat SLTA 7,29 30,73 38,02Tamat PT 0,00 1,04 1,04
Total (%) 14,58 85,42 100,00
57
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, perempuan muda dari RTM
cenderung untuk bekerja mandiri dengan bidang usaha yang paling diminati
adalah bidang perdagangan. Berdasarkan kepemilikan modal, hanya 14,58%
yang memiliki modal untuk berusaha itupun belum mencukupi, dan asset yang
dimilikipun sangat terbatas untuk dapat dijadikan modal usaha. 85,42% dari
perempuan muda ini menyatakan tidak mempunyai modal untuk memulai
usahanya.
Diantara para perempuan muda ini ternyata ada yang pernah menerima
bantuan dana untuk modal yaitu sebanyak 6,35% dari mereka yang saat ini
tidak bekerja. Sedangkan 93,65% menyatakan belum pernah mendapat bantuan
untuk modal usaha.
Tabel 5.33Profil Perempuan Muda Berdasarkan Tingkat Pendidikan
dan Bantuan Modal Untuk Usaha (%)Tingkat
PendidikanMenerima Bantuan Modal Usaha Total
Sudah Pernah Belum Pernah
Tdk pernah sekolah 0,00 1,06 1,06Tdk tamat SD 0,00 5,29 5,29Tamat SD 1,06 20,11 21,16Tamat SLTP 2,12 31,75 33,86Tamat SLTA 3,17 34,39 37,57Tamat PT 0,00 1,06 1,06
Total (%) 6,35 93,65 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Berdasarkan kelompok umur tampak bahwa perempuan muda yang
belum bekerja terdistrbusi merata untuk semua kelompok umur dan jika dilihat
dari kebutuhan mereka terhadap besarnya modal untuk usaha, 62,63%
58
membutuhkan modal sebesar Rp 2.500.000,- Rp 5.000.000,-. Besaran modal
yang cukup untuk memulai usaha perdagangan kecil dimana 60% dari para
perempuan muda ini berkeinginan bekerja di bidang perdagangan. Hanya 7,9%
yang memmbutuhkan modal lebih dari Rp 5.000.000,-.
Tabel 5.34Profil Perempuan Muda Berdasarkan Kelompok Umur
dan Kebutuhan Modal Untuk Usaha (%)Kelompok Umur
Responden(Tahun)
Kebutuhan Modal Usaha (Rp Juta)Total
<2,5 2,5-5,0 5,0-10,0 10,0-50,0
15 - 20 7,37 23,68 1,58 1,58 34,2121 - 25 7,37 21,05 1,58 1,58 31,5826 - 30 14,74 17,89 1,58 0,00 34,21
Total (%) 29,47 62,63 4,74 3,16 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
e) Bantuan yang Dibutuhkan dan Sumbernya
Untuk dapat memulai suatu usaha, perempuan moda dari RTM di
Sumatera Barat sangat membutuhkan bantuan permodalan hal ini dapat dilihat
dari tabel di bawah ini, dimana 91,71% menyatakan membutuhkan bantuan
permodalan, 4,66% membutuhkan bantuan teknis untuk meningkatkan
keterampilan dan 3,11% membutuhkan bantuan manajerial. Kondisi ini
sejalan dengan bidang usaha yang diminati yakni bidang usaha perdagangan,
dimana untuk bidang usaha ini tidak banyak membutuhkan aspek teknis
dalam hal keterampilan.
Tabel 5.35Profil Perempuan Muda Berdasarkan Kelompok Umur
dan Bantuan yang Dibutuhkan Untuk Usaha (%)Kelompok Umur
Responden(Tahun)
Bantuan yang Paling DibutuhkanTotal
Permodalan Manajerial Teknis Lainnya15 – 20 31,09 1,04 1,55 0,00 33,68
59
21 – 25 28,50 1,04 1,55 0,00 31,0926 – 30 32,12 1,04 1,55 0,52 35,23
Total (%) 91,71 3,11 4,66 0,52 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Selanjutnya, jika dilihat dari sumber bantuan maka tampak bahwa
mayoritas mereka (80%) mengharapkan bantuan dari pemerintah.
Tabel 5.36Profil Perempuan Muda Berdasarkan Kelompok Umur
dan Sumber Bantuan Untuk Usaha (%)Kelompok Umur
Responden(Tahun)
Bantuan yang Paling Dibutuhkan
TotalLembaga pemerintah
Lembaga swasta Keluarga Lainnya
15 - 20 29,00 3,00 3,00 0,00 35,0021 - 25 26,50 2,50 1,50 0,00 30,5026 - 30 26,50 4,50 3,00 0,50 34,50
Total (%) 82,00 10,00 7,50 0,50 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Peran lembaga swasta diharapkan oleh 10% dari perempuan muda ini,
terutama perusahaan yang beroperasi di wilayah meraka, hal ini sejalan
dengan diterapkannya program CSR ( Corporation Social Responsibility) di
Indonesia. Disamping itu mereka juga mengharapakan dukungan dan bantuan
dari keluarga atau sanak family yang memiliki kemampuan lebih secara
ekonomi dan sosial.
Kondisi di atas menggambarkan bahwa untuk upaya mendorong
pengentasan kemiskinan di wilayah Sumatera Barat, bantuan dan dukungan
pemerintah masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya oleh RT
miskin di wilayah ini, tetapi dukungan pihak swasta dan masyarakat yang
memiliki kemampuan ekonomi juga dibuthkan agar upaya pengentasan
kemiskinan ini dapat berhasil dengan baik.
60
5.4. Profil Daerah
Gambaran umum daerah Sumatera Barat telah dibahas pada bagian
terdahulu, pada bagian ini profil daerah lebih difokuskan pada kondisi dan
ketersediaan infrastruktur serta fasilitas pendukung di daerah tempat tinggal
Rumah Tangga Miskin (RTM).
a) Kondisi Tanah dan Mata Pencaharian Utama
Dari mata pencaharian utama masyarakat tampak bahwa mayoritas
RTM memiliki mata pencaharian di bidang pertanian dalam arti luas (pertanian,
peternakan dan perikanan), yaitu 50,50%. RTM yang berusaha pada lapangan
usaha jasa hanya 0,50%, sehingga tidaklah mengherankan jika pilihan
perempuan muda untuk berusaha mandiri adalah di bidang perdagangan.
Tabel 5.37Profil Daerah Berdasarkan Mata Pencaharian Utama
dan Kondisi Umum Tanah (%)Mata
Pencaharian Utama
Masyarakat
Kondisi Tanah
TotalSangat subur Subur Gersang
Pertanian 13,50 37,00 0,00 50,50Industri 7,00 36,00 6,00 49,00Jasa 0,00 0,50 0,00 0,50
Total (%) 20,50 73,50 6,00 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Dilihat dari kondisi tanah secara umum, tanah di wilayah Sumatera Barat
menurut RTM adalah tanah yang bagus, dimana 20,50% menyatakan lahan
sangat subur dan 73,50% menyatakan tanah subur. Hal ini mencerminkan
bahwa kondisi tanah di Sumatera Barat memang sangat mendukung untuk
61
usaha pertanian dalam arti luas, sehingga mata pencaharian penduduk masih
paling panyak di sektor pertanian ini.
b) Keberadaan Infrasturktur
Aktivitas sosial dan ekonomi suatu daerah tidak dapat terlepas dari
kondisi infrastruktur yang ada di daerah tersebut. Pada tabel di bawah ini dapat
dilihat bahwa mayoritas daerah tempat tinggal RTM di wilayah Sumatera Barat
berjarak kurang dari 5 (lima) Km dari ibukota nagari/kecamatan. Hal ini
memperlihatkan bahwa pemerintah khususnya di level nagari dan kecamatan
dapat memantau secara lansung kondisi RTM, sehingga upaya pengentasan
kemiskinan berbasis nagari yang dilaksanakan sejak tahun 2007 di Sumatera
Barat merupakan kebijakan yang cukup potensial untuk menanggulangi
masalah kemiskinan di wilayah ini.
Tabel 5.38Profil Daerah Berdasarkan Mata Pencaharian Utama
dan Jarak dari Ibu Kota Nagari/Kecamatan (%)Mata
Pencaharian Utama
Masyarakat
Jarak ke Ibu Kota Nagari/Kec
Total< 1 km 1 - 5 km > 5 Km
Pertanian 11,50 23,50 15,50 50,50Industri 21,50 23,00 4,50 49,00Jasa 0,00 0,50 0,00 0,50
Total (%) 33,00 47,00 20,00 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Berdasarkan lapangan usaha dan jarak ke aparat pemerintah terdekat,
tampak bahwa masyarakat yang berbasis pertanian yang paling banyak
berdomisili jauh dari ibukota nagari/kecamatan, hal ini dapat dipahami karena
lokasi ibukota nagari/kecamatan biasanya berada di pusat keramain sedangkan
62
lahan pertanian berada di kawasan perbukitan atau dataran tinggi, bahkan di
pinggiran hutan.
Pasar mempunyai peran penting dalam aktivitas ekonomi, keberadaan
pasar akan sangat menentukan pergerakan ekonomi masyarakat di suatu daerah.
Jika dilihat dari lokasi pasar terdekat, ternyata 56% RTM berdomisili dekat
dengan pasar dimana jaraknya kurang dari 1 (satu) Km, akan tetapi pasar ini
belum beroperasi setiap hari, melainkan hanya pada hari tertentu yang di
wilayah Sumatera Barat lebih dikenal dengan istilah hari “Pakan” , 80% dari
pasar yang ada hanya beroperasi 1- 2 kali dalam satu minggu, hanya 20% yang
sudah beroperasi setiap hari, yakni pasar yang berada di perkotaan.
Tabel 5.39Profil Daerah Berdasarkan Mata Pencaharian Utama
dan Jarak dari Rumah ke Pasar Terdekat (%)Mata
Pencaharian Utama
Masyarakat
Jarak dari Rumah ke Pasar Terdekat
Total< 1 km 1 - 5 km > 5 Km
Pertanian 22,00 26,50 2,00 50,50Industri 34,00 14,50 0,50 49,00Jasa 0,00 0,50 0,00 0,50
Total (%) 56,00 41,50 2,50 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Selanjutnya dari ketersediaan infrastruktur tampak bahwa secara
umum wilayah domisili RTM sudah relative baik, dimana 88% sudah ada aliran
listrik, 83% ada fasilitas kesehatan masyarakat, dan 70% sudah ada alat
komunikasi telepon baik telepon jalur maupun seluler. Sedangkan untuk air
bersih terutama dari PDAM baru menjangkau 40%, sehingga masyarakat masih
63
banyak yang memanfaatkan air sumur atau mata air bahkan sungai untuk
kebutuhan air bersih dan MCK mereka.
Tabel 5.40Profil Daerah Berdasarkan Ketersediaan Infrasturktur (%)
Ket Listrik PDAM Telepon SekolahKawasan
wisataLembaga keuangan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Ada 88 40 70 50 35 47 83Tidak ada
12 60 30 50 65 53 17
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Dari sisi ekonomi peran lembaga keuangan juga sangat penting untuk
dapat mendorong aktivitas ekonomi di suatu wilayah, dimana salah satu
fungsi lembaga keuangan dalam perekonomian adalah melakukan
intermediasi keuangan dari masyarakat surplus dana ke masyarakat yang
mengalami defisit dana, dari tabel di atas dapat dilihat bahwa lembaga
keuangan telah ada di wilayah domisili RTM, walaupun yang menjadi
nasabah baru 6,02%.
Keberadaan sekolah sangat penting untuk meningkatkan keterampilan
dan kemampuan daya pikir masyarakat, di wilayah domisili RTM sudah
tersedai fasilitas sekolah terutama tingkat dasar dan SLTP. Sehingga untuk
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi mereka harus keluar dari daerah
mereka.
Keberadaaan kawasan wisata akan dapat mendorong tumbuh dan
berkembangnya usaha kecil di sekitar kawasan, sehingga akan dapat
mendorong aktivitas ekonomi masyarakat sekitar kawasan wisata.
c) Fasilitas Pendukung
64
Keberadaan jalan menjadi urat nadi dalam perkonomian, tanpa adanya
jalan penghubung antar daerah sangat sulit untuk melakukan mobilitas dan
distribusi komoditas, baik barang maupun jasa. Sedangkan kondisi jalan
merupakan fasilitas pendukung aktivitas ekonomi, semakin baik kondisi jalan
akan semakin dinamis pula aktivitas dan mobilitas ekonomi yang dapat
dilakukan oleh masyarakat di kawasan berangkutan.
Tabel 5.41Profil Daerah Berdasarkan Mata Pencaharian Utama
dan Kondisi Jalan (%)Mata
Pencaharian Utama
Masyarakat
Kondisi Jalan
TotalTanah Aspal Semen/cor
Pertanian 13,50 29,00 8,00 50,50Industri 10,50 36,00 2,50 49,00Jasa 0,50 0,00 0,00 0,50
Total (%) 24,50 65,00 10,50 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Jika dilihat dari kondisi jalan tampak bhawa 75,5% kondisi jalan di
wilayah domisili RTM sudah baik, terbukti dengan data yang memperlihatkan
jalan sudah diaspal dan dicor/semen, masih ada 24,5% dalam kondisi jalan
tanah yang jelas masih akan sangat bermasalah terutama ketika musim hujan
datang. Jalan ini berada di kawasan pedesaan teruatama daerah dataran tinggi.
Selanjutnya jika dilihat dari keberadaan alat transportasi tampak bahwa
82% wilayah sudah ada alat transportasi baik yang resmi maupun yang belum
seperti ojek, becak, dan mobil angkutan pedesaan tanpa izin. Sedangkan jika
dilihat dari biaya transportasi satu kali perjalanan berkisar antara Rp 1000,- s/d
Rp 8.000,-, dengan rata-rata biaya satu kali perjalanan adalah Rp 2,700,-
65
Untuk waktu tempuh yang dibutuhkan menuju pasar terdekat secara rata-rata
adalah 8,5 menit.
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, hanya 6,02% dari RTM yang
menjadi nasabah lembaga keuangan, sisanya sebesar 93,98% masih belum
menjadi nasabah lembaga keungan. Secara ekonomi faktor penentu menabung
adalah pendapatan, semakin tinggi tingkat pendapatan akan semakin tinggi pula
kemampuan masyarakat untuk menabung dan akan semakin besar pula
kebutuhan mereka terhadap lembaga keuangan untuk menitipkan dana.
Sebaliknya semakin rendah pendapatan masayarakat kebutuhan akan lembaga
keuangan adalah untuk peminjaman dana kan tetapi faktanya akses masyarakat
miskin ke lembaga keuangan masih sangat terbatas.
Disamping alasan ekonomi, yaitu pendapatan yang rendah, alasan lain
masyarakat khususnya RTM tidak menjadi nasabah lembaga keuangan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.42Faktor Penyebab Tidak Menjadi Nasabah Lembaga Keuangan
Berdasarkan Kelompok Umur(%)Kelompok
UmurResponden
(Tahun)
Faktor Penyebab Tidak Menjadi Nasabah Lembaga Keuangan
TotalTdk tahu caranya
Lokasiterlalujauh
Tidakberminat
TakutTidak
membu-tuhkan
Lainnya
15 – 20 10,65 14,79 2,37 2,37 1,78 0,59 32,5421 – 25 7,10 14,20 1,18 3,55 2,96 1,78 30,7726 – 30 5,92 18,93 2,37 3,55 2,96 2,96 36,69
Total (%) 23,67 47,93 5,92 9,47 7,69 5,33 100,00Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
Lokasi yang terlalu jauh merupakan penyebab utama masyarakat RTM
tidak menjadi nasabah lembaga keuangan di wilayah mereka, selanjutnya
66
diikuti oleh masalah masih belum tahunya mereka bagaimana cara berhubungan
dengan lembaga keuangan baik sebagai penyimpan maupun peminjam. Masih
ada ada RTM yang merasa takut untuk berhubungan dengan lembaga keuangan
terutana bank. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat miskin masih sangat
terbatas kemampuan dan pengetahuan mereka terhadap apa dan bagaimana
memanfaatkan lembaga keuangan.
Selanjutnya, faktor pendukung lain adalah tingkat keterampilan yang
dimiliki, dari semua responden yang mewakili perempuan muda dari RTM
hanya 8,5% yang pernah mengikuti pelatihan dan kursus secara formal, dengan
jangka waktu kurang dari 1(satu) tahun dan biaya sendiri, dan mereka yang
mengikuti pelatihan ini di luar daerah dari tempat domisili mereka. Adapun
bidang keterampilan yang dimiliki adalah bahasa asing khususnya Inggeris dan
komputer.
Secara umum fasiltas dan infrastuktur daerah sudah cukup memadai
untuk mendorong aktivitas ekonomi masyarakat di wilayah Sumateraa Barat,
khususnya bagi kelompok RTM. Untuk dapat memafaatkan fasilitas ini secara
optimal diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik dari
masyarakat agar fasilitas ini dapat memberikan hasil yang optimal.
5.5. Profil Potensi Entrepreneur (Herry)
5.6. Potensi Pengembangan Entrepreneur (Herry)
5.7. Peta Kondisi dan Potensi Perempuan Muda dari RTM
Tabel 5.43
67
Peta Kondisi dan Potensi Perempuan Muda dari RTM di Sumatera BaratIndikator Potensi
Kelompok UmurKeterangan15 – 20 21 – 25 26 – 30
Pendidikan menengah
menengah menengah
SLTP , SLTA
Keterampilan rendah rendah rendah Mayoritas belum pernah mengikuti pelatihan keterampilan formal
Keinginan Berusaha tinggi tinggi tinggi
Mayoritas ingin bekerja mandiri di bidang perdagangan berskala kecil
Kemampuan permodalan rendah rendah rendah
Mayoritas membutuhkan bantuan permodalan kurang dari Rp 5 juta
Entrepreneur ?????
Pak Herry
Sumber: Data Lapangan, diolah, 2009
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari studi lapangan yang merupakan tahap awal dari rangkaian penelitian
“Implementasi Model Pengembangan Entrepreneur Perempuan Muda Pada Rumah
Tangga Miskin (RTM) di Sumatera Barat”, dapat disimpulkan bahwa:
a. Kepala RTM mayoritas adalah pria dengan jumlah tanggungan keluargga
antara 0-10 orang, dan memiliki lapangan usaha utama di sektor pertanian.
68
b. Terdapat 44% perempuan muda berstatus kawin, dimana 16,5% berumur
antara 15-25 tahun, hal ini memperlihatkan masih adanya perkawinan
pada usia muda di Sumateraa Barat, terutama di kawasan pedesaan.
c. Perempuan muda dari RTM memiliki pendidikan cukup baik, dimana
mayoritas sudah berpendidikan SLTP dan SLTA.
d. Perempuan muda dari RTM memiliki keterampilan yang rendah tampak
dari belum adanya pendidikan keterampilan formal yang pernah diikuiti.
e. Perempuan muda dari RTM memiliki keinginan untuk berusaha masndiri
terutama di bidang perdagangan
f. Perempuan muda dari RTM sangat membutuhkan bantuan permodalan
dari pemerintah untuk dapat memulai usaha
g. Kondisi daerah dan infrasturktur yang ada sudah cukup memadai untuk
mendorong aktivitas ekonomi masyarakat, khususnya kaum perempuan
muda dari RTS.
h. Perempuan muda dari RTM memiliki potensi untuk mengentaskan diri
dari kemiskinan jika diberi bantuan untuk berusaha.
6.2. Saran
Untuk dapat mengembangkan potensi perempuan muda RTM agar dapat
mengentaskan diri mereka dan bahkan keluarganya dari kemiskinan maka sangat
dibutuhkan dukungan dari pemerintah, lembaga swasta dan masyarakat. Untuk itu
diharapkan kepada semua pihak untuk peduli pada masalah kemiskinan ini dan
membantu dalam upaya pengentasannya.
69
a. Pada pemerintah daerah diharapkan agar dapat mensingkronisasikan
berbagai program pengentasan kemiskinan baik dari tingkat pusat maupun
provinsi dengan program daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih
dan penumpukkan yang berakibat pada semakin “manjanya” masyarakat
miskin.
b. Program KMN yang saat ini dikembangkan oleh pemerintah daerah di
Sumatera Barat, sebaiknya difokuskan pada perempuan muda yang
potensial untuk berusaha sehingga dapat memberikan hasil yang optimal
bagi pengentasan kemiskinan di wilayah ini.
c. Parisipasi perusahaan milik daerah dan swasta sangat dibutuhkan untuk
membantu penanggulangan masalah kemiskinan, untuk itu diharapkan
progra CSR juga diberikan kepada perempuan muda dari RTM ini.
d. Masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi, baik yang berada di
wilayah Sumatera Barat maupun yang merantau diharapkan partisipasinya
untuk turut membantu perempuan muda dari RTM ini keluar dari
lingkaran kemiskinan.
e. Perlu dikembangkan penyaluran zakat produktif bagi perempuan muda
dari RTM ini agar mereka dapat berusaha dan keluar dari kemiskinan.
70
DAFTAR PUSTAKA
Amidi, 2005, Mengeliminir Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Desa dan Peningkatan Kualitas SDM, Jurnal Pembangunan Manusia, 2005.
BAPPEDA & BPS Sumbar, 2008, Sumatera Barat Dalam Angka, Padang.
BPS PROVINSI SUBAR, 2007, Produk Domestik Regional Bruto Sumatera Barat Menurut Kabupaten/Kota, Padang.
Criswardani Suryati, 2005, Memahami Kemiskinan Secara Multi Dimensional”, JMPK Vol 8/No. 03/September 2005.
Chinese Taipei, 2002, Women Entrepreneur, IMF Country Report No.01/51.IMF.
Dewi Mayavanie S, (2005), Peranan Perempuan Dalam Upaya Penanggulangan
71
Kemiskinan), Work Paper.
Jhon, C, Allan, (2007), Morphing Rural Community Development Models: the Nexsus Between The pass and The Next”, Comunity Investment, Spring Edition.
Jossy Moeis, 2008, Perubahan Cara Pandang Terhadap Kemiskinan sebagai Basis Penanggulangan Kemiskinan, Makalah Seminar Sehari: “ Menaggulangi Kemiskinan dengan Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Daerah di Era Krisis Global”, FEUA, 6 November 2008, Padang.
Khofifah Indar Parawansa, 2003, Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan Berkelan jutan; Makalah Semiloka, 15 Juli 2003, Denpasar Bali.
Pacific Women’s Resource Bureau , 1999, Gender and Entrepreneurial Development for Women: A Sitution Analysis Fiji, Papua New Guinea, Samoa, Tonga, Vanuatu), New Caledonia.Lembaga Penelitian SMERU & Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2003, Upaya Penguatan Usaha Mikro Dalam Rangka Peningkatan Ekonomi Perempuan, Laporan Penelitian.
Nani Zulminanrni, 2004, Lembaga Keuangan Mikro Dalam Kerangka Pemberdayaan Perempuan Miskin, Makalah Workshop “ Berbagi Pengetahuan dan Sumberdaya Keuangan Mikro di Indoensia, 27 Agustus 2004, Jakarta.
Noer Sutrisno, 2001, Pengembangan UKM, Ekonomi Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan, Makalah.
Rasita Ekawati P, 2007, Pentingnya GPI (Gender and Poverty Inclusive), Senior Project Officer Monev , ACCESS.
Saikou. E. Sanyang & Wen Chi Huang, 2008, Green Cooperative: A Strategic Aproach Women’s Entrepreneurship in Asian and Pasific Region, World Jornal of Agricultural Sciences 4, page 674-683
Steve, J, Liscter, dkk, (1983), Entrepeneur Potensial: An experimental Exercise in Self Analysis and Group Assesment, Journal of Developments in Bussiness Simulation& Experiential Exercises, Vol 10.
Syahyuti, 2002, Berbagai Pola Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Makalah Sarasehan Nasional “ Microfinance dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan, 27 Agustus 2002, IPB Bogor.
Tamim Saefuddin, 2008, Program. Perempuan Keluarga Sehat & Sejahtera (PERKASSA) Melalui Perkuatan Permodalan Koperasi Wanita, makalah.
72
Teuku Syarif, 2007, Koperasi Sebagai Bankeer Kaum Perempuan, Makalah.
TKPK Provinsi Sumatera Barat, 2009, Petunjuk Teknis KMN Sumatera Barat, Padang.
Todaro, Michael dan Stephen Smith, 2008. Economic Development, Longman: New York, USA.
Tom Byers, dkk, 1997, Characteristics of Entrepreneur: Social Creatures, Not Solo Heroes”, Work paper.
Uma Sakaran, 2000, Research Methode for Business, Third edition, John Wilwy & Son, USA.
Wamuyu Gikonyo, dkk, 2005, Empowering Young Women through Micro-Enterprise Scaling-Up: A Case of Malaysian Rural Women (A concept paper).
73