LAPORANPENELITIAN LokalisasidanAdaptasi ...

26
1 LAPORAN PENELITIAN Lokalisasi dan Adaptasi: Membedah Rencana Ratifikasi Konvensi ILO 188 untuk Tata Kelola Pelindungan yang baik (Good Governance) dan HAM pada Pekerja Migran Perikanan Indonesia Tim Peneliti: Dr. Tatok Djoko Sudiarto, MIB Benni Yusriza Hasbiyallah, M.Sc Johnson Montana Mangapul Anugerah Akbar Muhammad Chelsea Muchtar Pingkan Ramadhan Maukar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina Jakarta 2021

Transcript of LAPORANPENELITIAN LokalisasidanAdaptasi ...

1

LAPORAN PENELITIAN

Lokalisasi dan Adaptasi: Membedah Rencana Ratifikasi KonvensiILO 188 untuk Tata Kelola Pelindungan yang baik (Good Governance)

dan HAM pada Pekerja Migran Perikanan Indonesia

Tim Peneliti:Dr. Tatok Djoko Sudiarto, MIBBenni Yusriza Hasbiyallah, M.ScJohnson Montana MangapulAnugerah Akbar Muhammad

Chelsea MuchtarPingkan Ramadhan Maukar

Program Studi Hubungan InternasionalUniversitas Paramadina

Jakarta2021

2

Halaman Pengesahan

Judul : Lokalisasi dan Adaptasi: Membedah Rencana Ratifikasi Konvensi ILO 188untuk Tata Kelola Pelindungan yang baik (Good Governance) dan HAMpada Pekerja Migran Perikanan Indonesia

Penanggungjawab : Dr. Tatok Djoko Sudiarto, MIBKetua Tim Peneliti : Benni Yusriza Hasbiyallah, M.ScAnggota Peneliti : Johnson Montana MangapulAnggota Peneliti : Anugerah Akbar MuhammadAnggota Peneliti : Chelsea MuchtarAnggota Peneliti : Pingkan Ramadhan MaukarTahun Pelaksanaan : 2021Biaya Penelitian : Rp 30.000.000,00 (Tiga Puluh Juta Rupiah)

Program Grant Ford Foundation - Universitas Paramadina No. #130862

Tim Peneliti :

Mengetahui,

Direktur LPPM

Dr. SunaryoNIP: 2180303320

Penanggung Jawab ProgramFord Foundation - Universitas Paramadina

Dr. Dra. Prima Naomi, MTNIP: 207010127

PenanggungJawab

Dr.TatokDjokoSudiarto,MIB

Ketua

BenniYusrizaHasbiyallah,M.Sc

Ang gota

JohnsonMontanaMangapul

Anggota

ChelseaMuchtar

Anggota

PingkanRamadhanMaukar

Anggota

AnugerahAkbarMuhammad

3

Lokalisasi danAdaptasi:MembedahRencanaRatifikasi KonvensiILO188 untukTataKelola Pelindungan yang baik (Good

Governance)danHAMpada PekerjaMigranPerikanan Indonesia

Tatok Djoko Sudiarto, Benni Yusriza, Chelsea Muchtar, Johnson Montana Mangapul,Anugerah Akbar Muhammad, Pingkan Ramadhan Maukar

AbstrakDengan menggunakan konsep Acharya tentang difusi dan lokalisasi norma, penelitian inimenggali rencana pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi Organisasi BuruhInternasional (ILO) 188 (KILO 188) tentang perlindungan anak buah kapal (ABK) perikanan.Penelitian ini berpendapat bahwa pemerintah Indonesia cenderung melokalisasi KILO 188 kedalam peraturan nasional berdasarkan pertimbangan domestik, dari pada langsungmeratifikasi konvensi. Dengan menggunakan wawancara mendalam dan metode FGD,penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, untuk membingkai urgensi ratifikasi,penelitian menemukan bahwa aktor negara dan aktor non-negara menggunakan isupelanggaran HAM Anak Buah Kapal (ABK) migran perikanan Indonesia dan kurangnya tatakelola regulasi untuk melindungi ABK migran. Kedua, kecenderungan pemerintah Indonesiauntuk mencangkok dan melokalisasi konvensi didorong oleh kepentingan untuk melegitimasitindakan politik mereka di dalam negeri dan untuk menghindari tanggung jawab langsungsebagai anggota dari KILO 188.

Kata kunci: Tata Kelola Perlindungan ABK Migran, perbudakan di laut, Ratifikasi KILO 188,Perlindungan HAM, difusi norma, lokalisasi norma

AbstractEmploying Acharya's concept of norm diffusion and localization, this research investigated TheIndonesian government's plan to ratify and localize the ILO Work in Fishing Convention No. 188 (ILOC188). The research argues that the Indonesian government tends to localize the ILO C188 into nationalregulation based on the domestic fit than to ratify the convention. By using in-depth interviews and theFGD method, the research generated two findings. Firstly, to frame the urgency of ratification, theresearch found that state actors and non-state actors used the issue of Indonesian migrant fishers' humanrights violations at sea and the lack of regulatory governance to protect migrant fishers. Secondly, theIndonesian government's tendency to graft and localize the convention was driven by the interest tolegitimate their political action domestically and to avoid direct responsibilities of a convention party.

Keywords: Indonesian migrant fishers' protection governance, slavery at sea, Ratification of ILO C188,Protection of Human Rights, norm diffusion, norm localization

4

Latar BelakangPenelitian ini bertujuan untuk membedah rencana pemerintah Indonesia dalam

meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 188 (KILO 188) tentangperlindungan anak buah kapal (ABK) perikanan. KILO 188 adalah norma internasionaluntuk memastikan bahwa awak kapal perikanan memiliki kondisi kerja yang layak dikapal penangkap ikan dengan memperhatikan persyaratan minimum untuk bekerja diatas kapal; kondisi layanan; akomodasi dan makanan; perlindungan keselamatan dankesehatan kerja; perawatan medis dan jaminan sosial (Lihat, International LabourOrganization, 2007). Dengan membedah rencana tersebut, penelitian ini melihatbagaimana aktor-aktor domestik, terutama pemerintah, berinteraksi untukmempromosikan, melokalisasi dan mengadaptasi norma internasional ke dalambangunan regulasi domestik.

Wacana untuk melakukan ratifikasi KILO 188 muncul kembali di tahun 2020setelah perusahaan penyiaran Munhwa asal Korea Selatan memberitakan pelarunganABK perikanan Indonesia yang bekerja di kapal perikan berbendera Cina (MBCNEWS,2020). Friends of the Earth Asia Pacific (2020) melaporkan bahwa, selain pelarungan,ABK perikanan Indonesia mengalami perbudakan dengan indikasi jam kerja berlebihan,akses terbatas untuk makan layak dan air bersih, kekerasan verbal dan fisik, gaji yangditahan, dipotong dan tidak dibayarkan serta akses sanitasi yang buruk. Kapal-kapalCina yang mempekerjakan ABK Indonesia di perairan Korea Selatan pun terbuktimelakukan praktik penangkapan ikan secara ilegal (illegal, unreported andunregulated/IUU fishing).

Sebagai respons terhadap pelarungan dan perbudakan modern di atas kapaltersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritimandan Investasi (Kemenko Marves) (2020) menyatakan komitmen percepatan ratifikasiKILO 188 sebagai upaya tata kelola pelindungan ABK perikanan Indonesia. Tahun 2021rencana tersebut didengungkan kembali, Basilio Dias Araujo, Deputi BidangKoordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, mengatakan telahmendorong Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker) dankementerian/lembaga terkait lainnya untuk segera melakukan ratifikasi (BiroKomunikasi, 2021). Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu)mengatakan bahwa Indonesia sedang mempersiapkan peta jalan untuk melakukanratifikasi KILO 188 karena pelindungan ABK perikanan Indonesia merupakan prioritaspemerintah (Wahyuni, 2021; International Labour Organization, 2021). Upaya tersebutsejalan dengan dorongan-dorongan yang dilakukan banyak pihak, mulai dariorganisasi masyarakat sipil hingga akademisi, untuk melakukan ratifikasi (GreenpeaceSoutheast Asia and Serikat Buruh Migran Indonesia, 2021; Lihat, Afriansyah, 2020).

Namun, rencana pemerintah untuk melakukan ratifikasi bukan hanya munculdirentang tahun 2020-2021, atau baru-baru ini. Tahun 2017, Hanif Dhakiri, Menteri

5

Ketenagakerjaan periode 2014-2019, mengatakan bersiap untuk melakukan ratifikasisebagai upaya memberikan kepastian hukum yang terjamin secara internasional padasektor perikanan. Dhakiri juga berharap bahwa upaya meratifikasi ILO K-188 dapatmembenahi tumpang tindih regulasi serta tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) antarkementerian dan lembaga terkait (Firman, 2017). Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan danPerikanan periode 2014-2019, juga mendorong dan mendukung rencana pemerintahdalam meratifikasi KILO 188 ditahun 2017. Pudjiastuti menegaskan bahwa keuntungandari ratifikasi adalah adanya kepastian hukum dalam menjamin kondisi kerja yanglayak bagi ABK perikanan Indonesia (Marta, 2017).

Jika melihat rentang tahun 2015-2020, terlihat bahwa ratifikasi KILO 188 masihberwujud wacana, meskipun landasan kasus demi kasus pelanggaran HAM terjadikepada ABK migran perikanan Indonesia dan dorongan untuk mempercepat ratifikasiterus berdatangan dari berbagai pihak non-pemerintah. Hal ini tentu menimbulkanpertanyaan terkait sejauh mana pemerintah Indonesia berniat untuk menjadi negaraanggota KILO 188 dan mengadaptasi norma tersebut ke dalam regulasi nasional.Peneliti berargumen bahwa aktor-aktor pemerintah cenderung memilih untukmelakukan lokalisasi dan adaptasi sesuai dengan kebutuhan domestik, namun masihragu dalam meratifikasi KILO 188. Terdapat dua hal yang melandasi argumen tersebut.Pertama wacana untuk mempercepat ratifikasi yang dilayangkan ke publik bertujuanuntuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan dari masyarakat lokal terkait komitmenpemerintah, bukan terhadap wujud ratifikasinya. Kedua, pemerintah menilaikeuntungan yang diperoleh secara ekonomi dan politik masih kecil jika dibandingkanupaya atau harga yang harus dikeluarkan. Secara pragmatis, pemerintah memandangratifikasi KILO 188 belum mendesak untuk segera dilakukan.

Argumen tersebut akan dibedah menggunakan konsep lokalisasi pokok(constitutive localization) yang dikembangkan oleh Acharya (2009: 9-30) untuk melihatbagaimana peran aktor lokal dalam difusi norma internasional. Namun, sebelummembahas kerangka teori dan eksplorasi argumen, bab kedua terlebih dahulu melihatbagaimana penelitian-penelitian sebelumnya menganalisis rencana ratifikasi KILO 188oleh Indonesia dan negara lain seperti Thailand. Bab ketiga menjelaskan kerangka teoridan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bab keempat membahas pokokargumen terkait kecenderungan pemerintah dalam lokalisasi dan adaptasi KILO 188dibandingkan meratifikasi konvensi tersebut. Bab terakhir membahas kesimpulan dansaran untuk penelitian selanjutnya.

Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, KILO 188, dan Rencana Ratifikasi PemerintahIndonesia

Sektor perikanan sering kali disebut sebagai pekerjaan yang sangat berbahayadan sulit diawasi karena penangkapan ikan dilakukan jauh di tengah laut atau biasadisebut dengan distant-water fisheries (Frantzeskou et al., 2016; Marschke and

6

Vandergeest, 2016; Campling and Colás, 2018; Kaustell et al., 2016; Pauly et al., 2014;Urbina, 2019; Marschke et al., 2021). ILO memperkenalkan KILO 188 tahun 2007 untuksecara spesifik mengatasi natur dari pekerjaan perikanan yang sangat berbahaya.Hingga penelitian ini dituliskan, 18 negara sudah meratifikasi konvensi ini(International Labour Organization, 2007). Posisi KILO 188 menjadi penting dalamdinamika norma internasional karena mendorong negara-negara untuk memberikantata kelola regulasi yang baik (good governance). Dalam konsep good governance, Weiss(2000) melihat konsep tersebut sebagai wujud pengindahan atas HAM dan prinsiphukum dengan memastikan penguatan demokrasi, mendorong transparansi sertakapasitas administrasi publik. Terlebih, pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan(SDG) 8.7 pemerintah negara-negara di dunia diminta untuk turut aktif mengakhiripraktik pekerja anak pada tahun 2025 dan kerja paksa pada tahun 2030. ILO, melaluialiansi 8.7, berkoordinasi secara intensif dengan banyak organisasi untuk memastikantarget tersebut tercapai (LeBaron et al., 2021: 22-23).

Lebih lanjut, KILO 188 secara eksplisit bukan untuk mengatasi perbuatan kerjapaksa, perdagangan manusia atau perbudakan karena ketiga istilah tersebut tidakmuncul dipasal-pasal konvensi ini (Mathew, 2010: 50-53; Wagner, 2017: 4-5). Namun,pembahasan terkait konvensi ini sangat identik dengan isu-isu perbudakan danperdagangan manusia sebagai salah satu norma internasional yang dapat memberikansolusi (Vandergeest, 2018: 10-11). Dalam 10 tahun terakhir, berita-berita media danlaporan-laporan terkait kedua praktik tersebut tersebar di berbagai tempat sepertiThailand, Selandia Baru dan Taiwan. Mayoritas dari pekerja yang mengalamieksploitasi adalah pekerja migran, terutama dari negara-negara di Asia Tenggara(McDowell and Mason, 2015; Environmental Justice Foundation, 2015; Stringer et al.,2016; Greenpeace East Asia, 2020; Marschke and Vandergeest, 2016; Palmer, 2018).

Di Asia Tenggara, Thailand adalah satu-satunya negara yang meratifikasi KILO188 (International Labour Organization, 2007). Vandergeest and Marschke (2019: 10-11)meneliti bahwa keputusan Thailand untuk melakukan ratifikasi di tahun 2019 karenadesakan yang kuat untuk mereformasi regulasi pekerja perikanan setelah terungkapnyaskandal-skandal perbudakan di atas kapal. Skandal-skandal tersebut menghasilkantekanan internasional di mana Amerika Serikat (AS) menempatkan Thailand padatingkat 3 (tingkap paling rendah) di dalam laporan tahunan perdagangan manusiatahun 2016 (US TIP Report) dan Uni Eropa (UE) memberikan “kartu kuning” sebagaiperingatan keras tahun 2015 (European Commission, 2015; the U.S. Department of State,2016). Hasil dari komitmen dan wujud ratifikasi tersebut, selain penguatan regulasipelindungan ABK perikanan di Thailand, adalah perbaikan tingkat menjadi tingkat 2 didalam US TIP Report 2018 dan dicabutnya kartu kuning UE tahun 2019 (the U.S.Deparment of State, 2018: 54; European Commission, 2019).

Di Indonesia, respons aktor-aktor non pemerintah terhadap perlunya melakukanratifikasi KILO 188 juga didasari oleh skandal-skandal perbudakan dan perdagangan

7

manusia yang terjadi pada ABK perikanan, seperti kasus Trinidad dan Tobago 2012,Capetown 2013 dan Benjina 2015 (Lihat, Khalisotussurur, 2015; Syafii, 2015; Noviani,2015). Tahun 2012, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu)merepatriasi 203 ABK asal Indonesia di Port of Spain, Trinidad dan Tobago. PemerintahTrinidad dan Tobago menemukan bahwa ABK asal Indonesia bekerja secara ilegalsetelah perusahaan tempat mereka bekerja berhenti beroperasi karena bangkrut.Namun, fakta menunjukkan bahwa ABK-ABK tersebut merupakan korban kerja paksadan perdagangan manusia karena bekerja dengan buku pelaut dan paspor yangdipalsukan. PT Karlwei Multi Global (Kartigo) dan PT Bahana Samudera Atlantik(Bahana) menempatkan ABK-ABK secara ilegal untuk bekerja di perusahaan Taiwan(Manafe, 2013; Cassidy et al., 2016). Imam Syafi’i, juru bicara Serikat Pekerja IndonesiaLuar Negeri (SPILN), meminta pemerintah untuk segera meratifikasi KILO 188 agarperistiwa Trinidad dan Tobago tidak terulang kembali. KILO 188, menurutnya,memberikan panduan bagi pemerintah untuk memberikan kepastian hukum danmemastikan tata kelola regulasi yang baik bagi ABK (Adzkia, 2015).

Kasus lainnya terjadi tahun 2013, di mana 74 ABK Indonesia terlantar diCapetown dan dipenjara di Johannesburg, Afrika Selatan. ABK Indonesia tersebut jugabekerja secara non-prosedural dan mengalami perbudakan di perusahaan kapal Taiwan(Cassidy et al., 2016; eNCA, 2013). Terkait kasus tersebut, Rizky Oktaviana, salah satukorban, mengatakan KILO 188 bisa menjadi solusi untuk kekosongan regulasipelindungan ABK migran perikanan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harussegera melakukan ratifikasi (DPN SBMI, 2014).

Tahun 2015, kasus perbudakan dan perdagangan manusia terungkap di Benjina,dengan ditemukannya 654 korban ABK perikanan warga negara asing (Lihat,International Organization for Migration Indonesia et al., 2016; Dillon, 2015). Doronganuntuk meratifikasi KILO 188 pun diserukan ketika kasus tersebut dianggap selesai.Marthin Hadiwinata, Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI),mengatakan ratifikasi KILO 188 sangat mendesak untuk melindungi ABK perikananIndonesia dan ABK perikanan asing yang bekerja di Indonesia (Ambari, 2018). Padakasus Benjina, pemerintah mulai merespons seruan ratifikasi KILO 188 dengan lebihserius. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menerbitkan Peraturan MenteriKelautan dan Perikanan Nomor 35/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem dan SertifikasiHak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan (Permen KP No. 35). Peraturan tersebutmewajibkan industri perikanan harus memenuhi kondisi kerja yang adil dan layak bagipekerja, antara lain hak untuk remunerasi dan waktu istirahat yang cukup dan layakdan standar hidup layak. Dengan kata lain, KKP mengadaptasi KILO 188 dan mencobauntuk memberikan kepastian hukum kepada ABK perikanan, meskipun Indonesiabelum melakukan ratifikasi (Marta, 2017).

Lebih lanjut, baik pada konteks penelitian politik-ekonomi yang dilakukanterkait ratifikasi KILO 188 di Thailand (Vandergeest, 2018; Vandergeest and Marschke,

8

2019; Marschke and Vandergeest, 2016) dan Indonesia (Yusriza, 2020), penelitian-penelitian tersebut tidak membahas secara rinci mengapa KILO 188 diperhitungkansebagai norma internasional yang perlu dilokalisasi, diadaptasi dan diratifikasi.Penelitian-penelitian dan beberapa laporan lain pada konteks KILO 188 dan Indonesiajuga lebih banyak terkait analisis ketidaksesuaian (gap analysis) peraturan-peraturankementerian dan lembaga dengan isi dari norma konvensi (Lihat, Zhou et al., 2019;Yuliana, 2021; Pratiwi, 2020; Adam, 2017; Adam, 2016; Bunadi, 2018). Beberapa penelitiandan laporan juga cenderung membahas ratifikasi KILO 188 sebagai rekomendasi tatakelola pelindungan ABK migran Indonesia akibat dari pelanggaran HAM yang terjadi(Lihat, Greenpeace Southeast Asia and Serikat Buruh Migran Indonesia, 2021; Shalihahand Nur, 2021; Indonesia Ocean Justice Initiative, 2020; Afriansyah, 2020), bukan padaproses tarik menarik pemerintah untuk melakukan ratifikasi KILO 188. Oleh karena itu,bab selanjutnya akan fokus melihat proses tersebut dengan terlebih dahulu membahaskerangka konsep atau teori dan metode pengumpulan data.

Lokalisasi Norma dan Peran Aktor Lokal dalam Difusi Norma Internasional terkaitHAM

Penelitian ini menggunakan konsep lokalisasi (constitutive localization) yangmenekankan agensi aktor lokal dalam proses difusi norma internasional. Acharya (2004:245) mendefinisikan lokalisasi sebagai “konstruksi aktif (melalui wacana, pembingkaian,pencangkokan, dan seleksi budaya) ide-ide asing oleh aktor lokal, yang menghasilkankongruen (penyelarasan) signifikan dengan kepercayaan dan praktik lokal.” Aktor-aktor lokal, sebagai promotor norma (norm entrepreuneur), mempunyai posisi sentraldalam menerjemahkan dan merekonstruksi norma asing untuk penyelarasan (ataumenolak penyelarasan) dengan norma-norma dan praktik-praktik lokal yang sudahtertanam (Acharya, 2009: 15). Bab ini terdiri dari dua sub bab. Pertama membahassecara detail konsep lokalisasi Acharya dan kedua memaparkan metode yangdigunakan untuk membantu analisis.

Konsep Lokalisasi dan Peran Aktor-aktor Lokal dalam Difusi NormaDalam beberapa literatur, konsep-konsep difusi norma dapat dilacak melalui

tiga gelombang utama (Cortell and Davis, 2000: 66; Acharya, 2004: 242-243; Groß, 2015:312). Gelombang pertama ditandai dengan semangat kosmopolitan, di mana negara-negara secara kultural melekat pada tatanan dunia modern/liberal untukmempromosikan nilai-nilai universal (Meyer et al., 1997: 156-158; Boli and Thomas,1997: 173). Aktor-aktor yang menjadi promotor norma utama adalah aktor-aktortransnasional, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional, jejaringadvokasi internasional, komunitas epistemik (Finnemore and Sikkink, 1998; Lindvall,2009; True and Mintrom, 2001). Mereka mempunyai daya tawar yang tinggi untukmemaksa dan menekan aktor lokal untuk menerima norma universal (Dobbin et al.,

9

2007: 454; Sharman, 2008: 636-637). Namun, Acharya (2009: 10-11) memandang bahwapendekatan ini sangat top-down, di mana aktor transnasional seolah menjadi satu-satunya sumber kebenaran dalam dinamika difusi norma, mengesampingkan peranaktor lokal dalam interaksi tersebut. Pendekatan pada gelombang ini juga cenderungmenghasilkan dikotomi baik dan buruk antara norma universal dan lokal.

Gelombang kedua mulai menekankan peran aktor-aktor domestik, organisasidan variabel kultural dalam menentukan tingkat penerimaan norma global. Digelombang ini, konsep kongruen norma (domestic fit) muncul untuk melihat bagaimanafitur-fitur norma lokal – seperti kultur organisasi dan kecocokan kultur - dapatmendorong keselarasan dengan norma internasional (Acharya, 2004: 243). Konseppembingkaian (framing) dan pencangkokan (grafting) juga mengemuka untuk melihatproses penyelarasan norma lokal dan global. Pembingkaian penting untuk memberikanruang bagi promotor-promotor norma untuk mewacanakan secara aktif ataumendramatisasi norma yang sedang didorong (Acharya, 2009: 12; McAdam et al., 1996:6). Promotor-promotor norma akan menggunakan pencangkokan untuk menyelaraskannorma baru dan norma lokal. Pencangkokan dilakukan agar norma baru lebih mudahmendapatkan tempat dalam bangunan norma lokal atau tata kelola regulasi domestik(Acharya, 2009: 13; Price, 1998: 617). Pada gelombang kedua ini, Acharya (2009: 12-13)menilai konsep-konsep tersebut lebih banyak berdiri sendiri untuk menjelaskanfenomena-fenomena difusi norma. Oleh karena itu, konsep lokalisasi muncul untukmelihat keseluruhan konsep digelombang kedua ini dalam satu rangkaian proses.Lokalisasi, menurut Acharya (2004: 244), melangkah lebih jauh dengan melihatbagaimana aktor-aktor lokal “melakukan reinterpretasi dan re-representasi norma luar,termasuk pembingkaian dan pencangkokan, tetapi dapat meluas ke proses rekonstitusiyang lebih kompleks untuk membuat norma luar kongruen dengan tatanan normatiflokal yang sudah ada sebelumnya.”

Acharya (2004: 251; 2009: 18) memaparkan empat lintasan lokalisasi dan kondisi-kondisi yang dapat dianalisis di setiap lintasannya. Lintasan lokalisasi dimulai denganadanya perlawanan dan/atau pengabaian, di mana mayoritas aktor-aktor lokal melihatnorma asing sebagai ancaman. Peneliti dapat memperhatikan tatanan norma-normalokal yang masih dipegang teguh oleh para aktor meski norma tersebut tidak secarapenuh mampu mengantisipasi isu-isu yang berkembang. Lintasan selanjutnya adalahinisiatif lokal dan pra-lokalisasi, di mana beberapa promotor-promotor norma mulaimelihat potensi dari norma asing untuk memperkuat legitimasi politik dan efektivitasnorma lokal. Promotor-promotor norma mulai melakukan proses pembingkaian normadan pencangkokan norma dengan norma lokal guna mendapatkan dukungan publik.Lokalisasi sendiri berada pada lintasan ketiga. Promotor norma meyakinkan publikuntuk menerima argumen lokalisasi di mana norma internasional sudah dipangkas dandisesuaikan dengan norma lokal yang mempunyai konsekuensi legalitas, misalnyadiadopsi sebagai undanga-undanga atau peraturan pemerintah. Lintasan terakhir

10

adalah pelembagaan dan amplifikasi untuk melihat bagaimana lokalisasidikembangkan menjadi tataran praktis dengan nuansa norma lokal yang kuat. Lintasanterakhir memberikan aktor-aktor lokal legitimasi yang kuat baik pada level domestikdan internasional.

Meskipun menekankan pada dinamika aktor lokal untuk melakukan lokalisasi,beberapa penelitian yang menggunakan konsep ini berfokus norma internasional yangsudah berhasil dilokalisasi atau sampai pada tahap pelembagaan – seperti ratifikasinorma internasional dan adaptasi regulasi nasional, serta kritik pada implementasinorma yang sudah dilokalisasi (Lihat, Auethavornpipat, 2017; Eimer et al., 2016;Arimadonna, 2019; Yunazwardi and Nabila, 2021). Penelitian ini sendiri berfokus padarencana pemerintah dalam meratifikasi KILO 188 sehingga lintasan yang dapat dilacakhanya sampai lintasan ketiga. Pada tahap awal analisis, penelitian dimulai denganidentifikasi bagaimana aktor lokal, baik negara dan non-negara, melakukanpembingkaian terhadap isu-isu perdagangan manusia dan perbudakan di atas kapalikan serta melihat tingkat penerimaan pemerintah terhadap wacana KILO 188.Selanjutnya, elaborasi mendalam dilakukan untuk melihat proses pembingkaian danpencangkokan norma KILO 188 ke dalam bangunan regulasi domestik sertamengidentifikasi proses lokalisasi yang sudah terjadi.

Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara

mendalam untuk menggali proses lokalisasi KILO 188. Penelitian ini jugamenggunakan data sekunder dengan melihat bagaimana narasi terbangun melaluimedia publik. FGD dengan perwakilan dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu)(Informan A), Organisasi Buruh Internasional (ILO) (Informan B), Serikat BuruhMigran Indonesia (SBMI) (Informan C) dan Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untukHAM (AICHR) (Informan D) untuk memetakan pandangan aktor lokal terhadap isudan melihat perkembangan rencana pemerintah dalam meratifikasi KILO 188.Kemudian proses wawancara dilakukan untuk lebih mendalami proses lokalisasi KILO188 pada bangunan regulasi pelindungan ABK migran Indonesia yang sudah ada.Penelitian ini mewawancarai perwakilan dari Badan Pelindungan Pekerja MigranIndonesia (BP2MI) (Informan E) untuk melihat skala prioritas dalam pelindunganABK migran Indonesia serta kepentingan nasional dalam meratifikasi ILO K 188. Daripihak Organisasi Masyarakat, wawancara telaku dilakukan kepada, Asosiasi PekerjaPerikanan Indonesia (AP2I) (Informan F) dan Greenpeace Indonesia(Informan G).Wawancara dengan perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia(Kemnaker) (Informan H) diganti dengan komunikasi personal melalui pesanWhatsApp. Komunikasi personal dilakukan karena perwakilan Kemnaker lebihnyaman untuk mendapatkan pertanyaan penelitian terlebih dahulu, dan memberikantanggapan setelah melakukan diskusi internal. Seluruh wawancara sudah melalui

11

tahap persetujuan untuk menggunakan informasi yang diperoleh untuk tujuanpenelitian. Seluruh nama narasumber juga disamarkan sebagai bagian dari persetujuanriset.Lokalisasi KILO 188: Jalan Tengah Bagi Pemerintah Indonesia

Dorongan untuk meratifikasi KILO 188 datang dari keinginan untukmemberikan pelindungan menyeluruh dan perbaikan tata kelola regulasi pelindungan.Dengan kata lain, pada proses pembingkaian, aktor-aktor lokal berupaya untukmempromosikan narasi kerentanan ABK seperti proses perekrutan bermasalah, kondisikerja tidak layak di atas kapal dan proses penuntutan hak-hak yang tidak dipenuhi.Dalam konsep lokalisasi, inisiatif lokal untuk melakukan pembingkaian urgensi daripenyelarasan norma internasional dan pencangkokan norma tersebut ke dalam regulasinasional adalah proses yang harus diteliti terlebih dahulu. Dengan melihat keduaproses tersebut, diharapkan bisa mendapatkan pola-pola diskursif yang dapatmembuktikan proposisi argumen yang dibangun oleh penelitian ini. Bab ini akandibagi menjadi dua sub bab. Diskusi terlebih dahulu membahas mengenai bingkai yangdigunakan untuk menaikkan wacana ratifikasi KILO 188. Kemudian, prosespencangkokan norma KILO 188 dan penafsiran ulang terhadap komitmen ratifikasiKILO 188 menjadi bahasan kedua dalam bab ini.

Pelanggaran HAM ABKMigran Perikanan Indonesia dan Masalah Tata KelolaPelindunganSecara tren kasus, praktik-praktik perbudakan modern dan perdagangan

manusia terhadap ABK migran perikanan Indonesia cenderung meningkat dari tahunke tahun. Sebagai contoh, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 338 aduanterkait praktik perbudakan modern di laut dari September 2014 – 2020. Tahun 2020SBMI menerima aduan tertinggi yang berjumlah 104 aduan, di mana pada tahun 2019terdapat 86 aduan (Yuniar, 2021). Dengan menggunakan data SBMI, Greenpeace AsiaTenggara menganalisis 62 kasus, dari total 118 dokumen aduan, pada periode Mei 2019-Juni 2020. Analisis tersebut mengidentifikasi praktik kerja paksa terhadap ABK denganmenggunakan 11 indikator kerja paksa Organisasi Buruh Internasional (ILO)1, denganpenahanan upah (87%), kondisi kerja dan hidup yang kejam (82%), danpenyalahgunaan kerentanan menduduki tiga teratas jumlah aduan. Greenpeace jugamenemukan bahwa 45 kapal yang bermasalah berasal dari perusahaan Cina, HongKong, Taiwan, Pantai Gading, dan Nauru (Greenpeace Southeast Asia and SerikatBuruh Migran Indonesia, 2021). Temuan yang serupa, terkait eksploitasi dan

1 11 indikator tersebut adalah: penyalahgunaan kerentanan, penipuan, pembatasan gerak, pengisolasian,kekerasan fisik dan seksual, intimidasi dan ancaman, penyimpanan dokumen identitas, penahanan upah, jeratanhutang, kondisi kerja dan hidup yang kejam, dan jam kerja berlebihan. International Labour Organization (2017)Guidelines on flag State inspection of working and living conditions on board fishing vessels. Geneva: InternationalLabour Organization, Greenpeace Southeast Asia and Serikat Buruh Migran Indonesia (2021) Forced Labour at Sea:The case of Indonesian Migrant Fishers. Report,

12

pelanggaran HAM yang terjadi kepada ABK, juga dipaparkan oleh Indonesia OceanJustice Initiative (IOJI) dalam laporannya. IOJI (2021; 2020) menemukan pelanggaranseperti perjanjian kerja laut yang dipaksakan kepada ABK, biaya administrasi yangmemotong gaji, pemalsuan dokumen kerja, penahanan dokumen pribadi oleh agenpenempatan, eksploitasi pekerja di atas kapal, penahanan gaji dan lemahnya penegakanhukum bagi ABK korban yang menuntut hak-haknya.

Ketiga aktor non negara tersebut melihat pangkal dari masalah adalahlemahnya tata kelola pelindungan ABK perikanan Indonesia dan mendorong Indonesiaserius untuk meratifikasi KILO 188 sebagai salah satu solusi (Greenpeace SoutheastAsia and Serikat Buruh Migran Indonesia, 2021: 34; Indonesia Ocean Justice Initiative,2020: 21). Merujuk pada konsep lokalisasi, hal ini menandakan bahwa aktor-aktor nonnegara membingkai urgensi ratifikasi KILO 188 dengan isu pelanggaran HAM dancarut marut tata kelola pelindungan ABK perikanan.

SBMI, AP2I dan Greenpeace Indonesia mengatakan ego sektoral darikementerian dan lembaga membuat tata kelola pelindungan ABK perikanan menjadisangat lemah. Hal tersebut merujuk pada dua hal. Pertama, pengabaian pemerintahdalam memberikan kepastian hukum kepada ABK perikanan meski sudahdimandatkan oleh undang-undang. Selanjutnya adalah dualisme atau tumpang tindihkewenangan dalam penerbitan izin agen perekrutan (manning agency) dan penempatanawak kapal ikan (Informan C, FGD, 27 April 2021; Informan D, FGD, 27 April 2021;Informan F, wawancara, 13 Juni 2021; Informan G, wawancara, 14 Juni 2021;). InformanF (wawancara, 13 Juni 2021) mengatakan bahwa kekosongan hukum yang terjadi akibatkelalaian pemerintah dan tumpang tindih kewenangan antar kementerian.

Akibatnya tidak ada jaminan hukum dan kepastian. Kalau UU itu kan hanya mengatur yangumum saja. Kalau teknisnya tidak diatur, maka niscaya pelindungan [akan] berat untukdiakomodasi (Informan F, wawancara, 13 Juni 2021).

Informan C dan F (FGD, 27 April 2021; wawancara, 13 Juni 2021) menyiratkanbahwa peraturan pelaksana yakni peraturan menteri ketenagakerjaan mengenaipenempatan dan pelindungan ABK Indonesia di kapal kan asing seharusnya sudahkeluar sejak tahun 2004.2 Namun, hingga UU No. 39 Tahun 2004 digantikan denganUndang-undang (UU) No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja MigranIndonesia (PPMI), peraturan menteri tidak pernah ada.

Pasal 28 bunyinya penempatan TKI pada pekerjaan atau jabatan tertentu diatur denganperaturan Menteri. Nah Menterinya ini Menaker. Bunyi pasal 28 bunyinya yang disebut TKIpada pekerjaan atau jabatan tertentu antara lain pelaut. Nah 2 kali di mention ini, disuruh keluar

2 Pada pasal 28 UU No. 39 Tahun 2004 Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri (Lihathttps://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40786/uu-no-39-tahun-2004).

13

peraturan Menteri ... Amanah pasal 28 UU 39 2004 tidak dilaksanakan, hingga terjadikekosongan hukum dan menjadi gunung es (Informan F, wawancara, 13 Juni 2021).Terus kami mencoba melihat lagi apakah iya Undang-undang 39 tahun 2004 tentang

Penempatan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri (UU P3MLN) yang dulukita sangat tidak tau kami semua tidak tau bahwa seolah-olah kemudian di sektor sea-based initidak terakomodasi diundang-undang tersebut. Ternyata tidak. Di pasal 28 di pasal penjelasanitu sangat jelas dibidang tertentu itu diatur oleh Peraturan Menteri, dalam hal ini adalahMenteri Ketenagakerjaan kemudian akhirnya Undang-undang 18 tahun 2017 jugamemandatkan - ditingkatkan lagi menjadi Peraturan Pemerintah yang leading sectornya adalahKementerian Tenaga Kerja (Informan C, FGD, 27 April 2021).

UUPPMI memandatkan pemerintah untuk mengeluarkan peraturanpemerintah (PP) mengenai penempatan dan pelindungan pelaut awak kapal dan pelautperikanan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan pelindungan.Seharusnya, PP muncul dua tahun setelah UUPPMI terbit – namun tidak ada PPtersebut hingga tenggat waktu yang diberikan.3 Pangkal masalah yang diangkatmenjadi bingkai oleh para aktor, baik non negara dan negara, adalah tumpang tindihkewenangan antara kementerian dan lembaga terkait tata kelola pelindungan agenpenempatan ABK migran perikanan Indonesia (Informan A, FGD, 27 April2021;Informan B, FGD, 27 April 2021;Informan C, FGD, 27 April 2021; Informan E,wawancara, 8 Juni 2021; Informan G, wawancara, 14 Juni 2021; Informan H, komunikasipersonal, 21 Juni 2021). Hal ini menjadi persoalan karena agen-agen penempatanbanyak dilaporkan sebagai penyebab dari kasus-kasus yang terjadi pada ABK, sepertigaji yang tidak dibayarkan, jeratan hutang dan kontrak kerja yang merugikan ABK(Indonesia Ocean Justice Initiative, 2020: 11; Greenpeace Southeast Asia and SerikatBuruh Migran Indonesia, 2021: 24-25; International Organization for MigrationIndonesia et al., 2016: 95).

IOJI (2020: 12) menjelaskan terdapat tiga jenis izin penempatan ABK. Pertamayang dikeluarkan oleh Kemenhub melalui Surat Izin Usaha Perekrutan danPenempatan Awak Kapal (SIUPPAK). Kedua Surat Izin Perusahaan PenempatanPekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dari Kemnaker dan Surat Izin Perekrutan PekerjaMigran Indonesia (SIP2MI) dari BP2MI. Terakhir, Kementerian Perdagangan atau DinasPerdagangan daerah juga dapat mengeluarkan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)kepada agen penempatan. Menurut Informan E (wawancara, 8 Juni 2021), Kemenhubmengambil kekosongan peraturan agen penempatan karena Kemnaker tidak jugamembuat peraturan sesuai dengan mandat UU No. 39 Tahun 2004. Implikasi dariinisiatif Kemenhub ini adalah Kemnaker tidak mempunyai cukup kekuatan ketikaberhadapan dengan persoalan isu ABK. Agen penempatan cenderung menggunakanperaturan Kemenhub karena ada terlebih dahulu sebelum Kemnaker. Informan Emenambahkan bahwa jika agen penempatan berada di bawah payung Kemnaker dan

3 Lihat https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/175351/UU%20Nomor%2018%20Tahun%202017.pdf

14

BP2MI, proses pengawasan dan pencabutan izin bisa segera dilakukan jika terdapatpelanggaran. Pada akhirnya, tata kelola itu urusan membenahi siapa yang memilikiwewenang.

Nah kami itu memonitor mereka. Kalo ada P3MI yang offside lah dalam melakukan tindakanatau di sanksi, itu rekomendasinya dari kami - kemudian disampaikan pada KementerianTenaga Kerja untuk suspensi atau pencabutan izinnya. Nah, kami bisa melakukan tindakanuntuk melakukan tunda layan, dalam pengertian kita kunci akses untuk perekrutannya ... Jadisebenarnya bagi kami di BP2MI tidak mempersoalkan izin-izin. Tapi harus punya siapa sihyang punya kewenangan kan begitu (Informan E, wawancara, 8 Juni 2021).

Ida Fauziyah, Menteri Ketenagakerjaan, menyampaikan Rancangan PeraturanPemerintah (RPP) terkait penempatan dan pelindungan awak kapal yang dimandatkanoleh UU No. 18 Tahun 2017 tersebut telah selesai diharmonisasi dan telah diajukan keSekretariat Negara. Fauziyah juga mengatakan kalau RPP tersebut salah satunyamerujuk pada KILO 188 (Yuniartha, 2021). Dengan demikian, pernyataan Fauziyahmemperkuat bahwa, baik aktor negara dan non-negara, membingkai isu yang tidakjauh berbeda yakni carut marut tata kelola pelindungan dan penempatan ABKperikanan. Pemerintah dan aktor non-negara juga menggunakan KILO 188 sebagairujukan, meski pun belum ada pemberitaan media atau pernyataan resmi pemerintahyang menyatakan siap dalam melakukan ratifikasi KILO 188. Namun, doronganwacana tersebut memperlihatkan kelemahannya ketika dihadapkan pada urgensipemerintah untuk meratifikasi KILO 188. Pertimbangan pemerintah dalam meratifikasimelihat pada dua persepsi utama yaitu biaya dan manfaat yang diperoleh. Selama ini,bingkai pelanggaran HAM lebih banyak terjadi di luar yurisdiksi Indonesia, ataudilakukan oleh kapal ikan berbendera asing. Sementara, aktor-aktor lokal menganggapisu utama ada pada dualisme penempatan. Jika Indonesia menjadi anggota KILO 188,pemerintah harus menaati bukan hanya isu penempatan, tapi semua isi yang ada padanorma tersebut. Sehingga, beban atau biaya yang harus ditempuh menjadi lebih berat.

Sub bab selanjutnya membahas lebih rinci terkait bagaimana pemerintahmenyikapi dorongan percepatan ratifikasi dan kecenderungan pencangkokan sertalokalisasi dari pada segera meratifikasi. Sub bab selanjutnya juga mengidentifikasiresistensi-resistensi yang muncul terhadap KILO 188 yang tidak tersirkulasi secarapublik, terutama melihat pertimbangan keuntungan dan kerugian jika Indonesiameratifikasi.

Lokalisasi Norma: Ratifikasi KILO 188 Bukan Satu-satunya SolusiPencangkokan dan lokalisasi norma terjadi ketika aktor-aktor lokal melihat

norma internasional yang dapat memberikan legitimasi politik dan memperkuat normalokal. Lokalisasi mempunyai dampak legislasi, sehingga negara yang melakukan prosesini akan menyelaraskan regulasi nasional dengan norma internasional. Dalam konteksratifikasi, Juwana (2019: 28-29) menjelaskan dua kewajiban negara sebelum

15

memutuskan untuk melakukan ratifikasi. Pertama pemerintah harus memastikankeselarasan perjanjian internasional atau norma konvensi dengan UUD 1945. Padakewajiban pertama, penting untuk melihat kesamaan persepsi pemerintah dan persepsipublik sebelum melakukan ratifikasi. Pemerintah juga harus memastikan normainternasional selaras dengan kepentingan nasional Indonesia, bukan hanya menjadianggota dari kepentingan terselubung negara lain. Kedua, pemerintah wajib untukmentransformasikan perjanjian internasional atau konvensi internasional ke dalamhukum nasional. Transformasi ini dilakukan pada konvensi yang menyaratkanimplementasi norma internasional dilegislasi nasional.

Dengan kata lain, ratifikasi KILO 188 adalah keputusan politik pemerintah.Merujuk pada konsep lokalisasi Acharya (2009: 18), pemerintah mempunyai kekuatanpolitik untuk menjadi anggota dari KILO 188 atau hanya menyelaraskan terhadapregulasi nasional. Pilihan tersebut, lebih lanjut, dapat dilihat dari bagaimanapemerintah memandang potensi membingkai KILO 188 untuk keperluan domestik danpersepsi terhadap keuntungan dan kerugian jika menjadi anggota dari konvensi.

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, penelusuran data terbuka dimedia-media daring memperlihatkan bahwa pemerintah menanggapi dorongan aktor-aktor non-negara untuk meratifikasi KILO 188 pada tahun 2017. Dhakiri dan Pudjiastutimenilai Indonesia perlu mempertimbangkan untuk segera meratifikasi KILO 188 untukmelindungi ABK migran Indonesia dan memperbaiki tata kelola regulasi ABK migranperikanan (Marta, 2017; Firman, 2017). KKP, dengan menggunakan Permen KP No. 35,mencoba untuk mencangkok norma-norma ILO dan melokalisasinya menjadi sebuahkebijakan. Adam (2017) melakukan komparasi terhadap 14 norma yang dibahas dalamKILO 188 terhadap Permen KP tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan terdapat duaisu yang belum tersentuh oleh Permen KP No. 35, termasuk isu regulasi agenpenempatan yang menjadi pokok bingkai permasalahan tata kelola regulasi ABKmigran perikanan Indonesia (Lihat tabel 1).

Permen KP No. 35, secara prinsip, menyasar pelaku bisnis perikanan dalamnegeri untuk mengajukan sertifikasi HAM perikanan untuk dinilai oleh Tim HAMperikanan KKP (Simanjuntak, 2019). Permen tersebut juga merupakan responsIndonesia untuk kasus perbudakan di Benjina dan Ambon (Lihat, Mendoza et al., 2016).Secara internasional, dengan menerbitkan Permen tersebut, Indonesia bisa dianggapserius dalam mendorong HAM perikanan dan mendapatkan reputasi lebih baik darinegara-negara importir, tidak seperti Thailand. Motivasi KKP, lagi-lagi, dalammengadopsi norma KILO 188 lebih kepada faktor ekonomi-politik dibanding untuklebih serius mendorong ratifikasi konvensi 188 (Lihat, Yusriza, 2020). Hal tersebutmenunjukkan bahwa KKP tidak mendorong ratifikasi KILO 188 sebagai kepentinganutama, namun lebih kepada menggunakan KILO 188 untuk mendapatkan legitimasidalam negeri untuk menerbitkan Permen KP dan reputasi internasional.

16

Tabel 1. Keselarasan Norma KILO 188 dan Permen KP No. 35 (Adam, 2016: 330)

No. Isu KILO 188 Permen KP No. 35

1Tanggung jawab pemilik kapal penangkapan ikan dannakhoda bagi keselamatan pelaut dan kapalnya

V

2 Usia minimum untuk bekerja di kapal penangkap ikan V

3Pemeriksaan medis berkala untuk bekerja di kapalpenangkap ikan

V

4

Diawaki dengan cukup dan efisien dan di bawahkendali yang terus-menerus dari nakhoda yangberkompeten

V

5 Waktu istirahat yang cukup V

6Memiliki daftar awak kapal dan harus memilikiperjanjian kerja laut yang sudah ditandatangani V

7 Hak untuk dipulangkan saat perjanjian kerja berakhir V

8

Melarang untuk membayar apa pun demimengamankan pekerjaan mereka atau daridimasukkannya ke dalam daftar hitam untuk alasanapa pun

9

Mengharuskan setiap perusahaan jasa perekrutan danpenempatan swasta dan agen tenaga kerja swastauntuk diatur dan dikendalikan dengan benar

10 Membahas bagaimana nelayan dibayar V

11Menetapkan standar minimum rinci untuk akomodasidan makanan di kapal V

12Menetapkan persyaratan minimum untuk keselamatandan kesehatan kerja

V

13Menekankan kebutuhan perawatan medis di kapalpenangkap ikan V

14 Mendapatkan manfaat dari ketentuan sosial VPola yang serupa juga terlihat dari wacana ratifikasi KILO 188 yang dilakukan

tahun-tahun setelahnya, terutama kecenderungan melakukan lokalisasi dibandingratifikasi. Dalam wawancara dan diskusi dengan perwakilan kementerian dan lembaga,persepsi terhadap beban dan manfaat (cost and benefit) yang diperoleh Indonesiamenjadi faktor penentu keputusan ratifikasi (Lihat tabel 2). Pada segi beban,harmonisasi regulasi domestik dan komunikasi lintas sektoral masih menjadi faktoryang sangat diperhitungkan sebelum mengambil langkah ratifikasi Informan H,komunikasi personal, 21 Juni 2021).

Tabel 2. Biaya dan Manfaat dari Ratifikasi KILO 188 (Informan H, komunikasi personal, 21 Juni 2021)No. Biaya Manfaat1 Kepatuhan dan kewajiban pelaporan

implementasiPenguatan citra Indonesia sebagai negaramaritim, khususnya di ILO, IMO, dan FAO

17

2 Potensi adanya pengaduan ke ILOmengingat masih terdapat kejadianyang terkait dengan pekerja sektorperikanan

Perluasan kesempatan kerja bagi AwakKapal Perikanan, khususnya di negara yangtelah meratifikasi C.188

3 KILO 188 juga berlaku untuk tata kelolapekerja perikanan dalam negeri

Peningkatan nilai jual produk perikananIndonesia di dunia internasional

4 Perlu penguatan koordinasi dalampemantauan dan penegakkan aturan,terutama dalam hal inspeksi langsungdi pelabuhan dan kapal perikanan

Percepatan sinkronisasi regulasi dansoliditas koordinasi antar pemangkukepentingan di sektor perikanan Indonesia

5 Sinkronisasi antara regulasiketenagakerjaan dengan regulasi KKPdan praktik ketenagakerjaan di sektorperikanan – seperti aspek perekrutan,penempatan, hubungan kerja, jaminansosial dan lainnya.Selaras dengan pendapat Informan H, Informan A (FGD, 27 April 2021)

mengatakan harmonisasi KILO 188 dan bangunan regulasi nasional merupakanlangkah awal yang penting sebelum melakukan ratifikasi. Jika merujuk pada gapanalysis yang dilakukan oleh ILO (lihat tabel 2), Informan A menilai kementerian danlembaga harus mempunyai visi yang sama untuk menyelaraskan area-area yangambigu dan belum sesuai. Baik Informan A dan H (FGD, 27 April 2021; komunikasipersonal, 21 Juni 2021) sepakat bahwa cara terbaik adalah menyiapkan peta jalan danrencana aksi yang terukur agar mendapatkan keuntungan maksimal jika memutuskanuntuk meratifikasi KILO 188.

Tabel 3: Kesesuaian regulasi domestik Indonesia dengan KILO 188 (Lihat, Zhou et al., 2019)Area Substansial yang

sesuaiArea ambigu Area yang tidak sesuai

Legislasi mengandungdasar-dasar dariregulasi-regulasi yangsesuai dengan K 188.

Keharusan agar semuapekerja laut memilikiPerjanjian Kerja Laut(PKL) sertifikatkesehatan dan jugapenyediaan P3K padakapal.

Beberapa definisi utama. Otoritas yang kompeten. Penetapan usia

minimum. Tidak ada persyaratan

standarisasi keamananbagi pekerja laut.

Daftar kru. Persyaratan Bahasa

untuk Perjanjian KerjaLaut (PKL).

Regulasi KementerianKelautan dan Perikananmengenai PerjanjianKerja Laut (PKL)menyebutkan bahwaseluruh pemilik kapalpenangkap ikanmerupakan kaptenkapal, tanpamemandang ukurandari kapal itu sendiri.

18

Pembayaran parapekerja laut.

Pengakuan hak pekerjalaut termasuk hak untukmendapatkanakomodasi yang layak,makanan dan minumandi kapal, serta“penempatan kerja yanglayak”.

Hak atas kesehatan dankeselamatan kerja (K3)serta pencegahankecelakaan.

Keamanan sosial.

Pembayaran parapekerja laut.

Repatriasi Perekrutan dan

penempatan. Kurangnya spesifikasi

secara rinci terkaitdengan desain dankonstruksi ruangakomodasi untuk kapalbaru.

Kurangnya spesifikasisecara rinci terkaitdengan desain dankonstruksi ruangakomodasi untuk kapalbaru.

Kurangnya ketentuanmengenai hak pekerjalaut atas perawatanmedis dan pengobatan,baik ketika berada didarat maupun di atasKapal.

Perlindungan dalam halsakit, cedera, ataukematian dikarenakanpekerjaan.

Agen perekrut pekerjalaut, pemilik/operatorkapal, dan nakhodatidak memiliki tanggungjawab secara tertulisyang jelas.

Jam istirahat untukkapal yang berlayar dilaut selama lebih daritiga hari berada dibawah standar C188.

Kurang ketatnyaperaturan pada kapaldengan panjangkeseluruhan 24 Metermengenai area-areapenting, termasukperawatan medis sertakeselamatan dankesehatan kerja.

Kurangnya otoritasyang kompeten terkaitpengaturan layananrekrutmen danpenempatan.

Pada segi manfaat melakukan ratifikasi (tabel 2), reputasi internasional dankesempatan lebih untuk mengakses pasar perikanan internasional menjadi titik tekandari Kemnaker dan aktor-aktor kementerian dan lembaga lainnya, baik dalamwawancara dan wacana publik. Sebagai contoh, Informan dari Kemenlu (InformanA,FGD, 27 April 2021) mengatakan ratifikasi KILO 188 dapat meningkatkan daya tawarIndonesia ketika melakukan perjanjian dengan negara lain: “... [Ketika] kami sudahratifikasi, kami comply dengan norma standar perlindungan internasional - bukanhanya bagi ABK kita yang ada di luar, namun juga ABK kapal asing yang ada didalam.” Namun, kedua manfaat tersebut sepertinya tidak sebanding dengan bebanyang harus dilakukan oleh pemerintah. Informan E (wawancara, 8 Juni 2021)

19

mengatakan mayoritas ABK migran perikanan Indonesia bekerja di negara-negara flagstate seperti Cina. Jadi untuk mendapatkan keuntungan dari KILO 188, negara-negarabendera kapal (flag state) yang menguasai pasar perikanan global harus terlebih dahulumeratifikasi dan menyelaraskannya dalam regulasi nasional masing-masing.

... ketika tahun 2018 saya mulai ikut ke dalam forum yang digagas oleh ILO ... dariKemnaker sempat ngomong gini - ya agak ada benar juga: “Ngapain kita meratifikasi itu?Karena ABK perikanan kita ini mayoritas itu bekerja di kapal-kapal berbendera negara yangbukan anggota C188.” ... Karena kepentingan nasional kan diukur dengan kewajiban kitasebagai party. Ada konsekuensi harus siap di review, report, kan gitu kan (Informan E,wawancara, 8 Juni 2021).

Informan E (wawancara, 8 Juni 2021) menambahkan, lebih baik kementeriandan lembaga fokus untuk menyelesaikan dan mendorong RPP penempatan danpelindungan awak kapal untuk segera ditandatangani. RPP akan menjadi tolok ukurpublik terhadap political will dari kementerian dan lembaga yang memiliki dualisme.Fauziyah, Menaker, mengatakan bahwa RPP tersebut sudah selesai diharmonisasi dansudah diajukan ke Sekretariat Negara (Setneg). RPP, menurut Informan H (komunikasipersonal, 21 Juni 2021), telah mengadopsi KILO 188: “Selain itu, dapat kami sampaikanbahwa RPP Penempatan Awak Kapal yang telah disusun oleh Kemnaker bersama K/L[Kementerian/Lembaga] terkait, juga telah mengadopsi isi dari Konvensi ILO No. 188.Hal ini juga merupakan suatu upaya dari Kemnaker bersama K/L terkait untuk complyterhadap Konvensi ILO No. 188.”

Pernyataan Kemnaker tersebut menyiratkan pola yang serupa dengan PP No.35 Tahun 2015, di mana kecenderungan untuk mencangkok isi dari KILO 188. Jikanantinya RPP ini ditandatangani presiden, maka lokalisasi terjadi tanpa harusmelakukan ratifikasi. Informan H (komunikasi personal, 21 Juni 2021) memperkuatkecenderungan tersebut dengan mengatakan bahwa KILO 188 “bukan merupakantujuan utama ataupun satu-satunya cara”melakukan pelindungan ABK.

Kesimpulan: Jalan Panjang Ratifikasi KILO 188“Dalam meratifikasi Konvensi ILO, Indonesia mengambil langkah untuk melakukanpenyesuaian regulasi dan praktik Nasional sesuai dengan isi konvensi, agar ketika Indonesiaakanmeratifikasi telah siap kondisi nasional.”(Informan H, komunikasi personal, 2021)

Penelitian ini berargumen bahwa aktor-aktor pemerintah memilikikecenderungan untuk melakukan pencangkokan dan lokalisasi norma KILO 188, tanpaharus segera melakukan ratifikasi. Dengan menggunakan konsep lokalisasi dariAcharya (2004; 2009), penelitian menemukan sedikitnya dua hal. Pertama, aktor-aktornegara dan non-negara secara selaras membingkai urgensi ratifikasi KILO 188 melaluiwacana pelanggaran HAM ABK migran perikanan Indonesia dan lemahnya tata kelola

20

regulasi pelindungan ABK perikanan Indonesia dan regulasi agen penempatan ABKmigran perikanan Indonesia. Dualisme wewenang antara Kemenhub dan Kemnakerjuga menjadi sorotan utama untuk memperlihatkan urgensi meratifikasi KILO 188.Namun, kedua bingkai tersebut tidak begitu kuat untuk memaksa pemerintah segeramelakukan ratifikasi KILO 188. Hal tersebut dikarenakan beban yang ditanggung jauhlebih besar dari pada manfaat ratifikasi, menurut persepsi pemerintah. Kedua,pemerintah Indonesia lebih cenderung mengambil langkah pencangkokan norma danlokalisasi norma, dibanding segera melakukan ratifikasi. Kedua hal tersebut didasarioleh posisi aktor negara dalam melihat kegunaan dari mengangkat komitmen ratifikasiKILO 188. Misalnya, dalam kasus Permen KP No. 35, norma KILO 188 dapatmeningkatkan reputasi internasional dan memberikan legitimasi terhadap urgensiHAM perikanan di dalam negeri. Namun, pada praktiknya, KKP dan kementerianterkait tetap tidak melakukan ratifikasi. Kemudian, pada kasus RPP penempatan danpelindungan awak kapal juga berpola sama. Pemerintah lebih cenderung mencangkoknorma KILO 188 untuk mendapatkan legitimasi publik terhadap keseriusan pemerintahdalam tata kelola regulasi agen penempatan. Ratifikasi KILO 188 sendiri, pada titik ini,masih dianggap jalan yang panjang karena sasaran selanjutnya adalah membentuk petajalan untuk memastikan kesiapan regulasi nasional.

Temuan dalam penelitian ini secara normatif memperlihatkan bahwa komitmenratifikasi masih sangat bergantung pada persepsi pemerintah dalam melihat untungrugi menjadi anggota KILO 188. Namun, secara praktis, dapat menjadi masukan bagiaktor-aktor yang masih menganggap penting segera ratifikasi KILO 188 untukmengubah strateginya. Misalnya, aktor-aktor lokal harus mencari bingkai baru untukmemaksa negara secara cepat melakukan ratifikasi. Berkaca pada kasus Thailand, salahsatu dorongan utama kepada Thailand adalah cap pelanggar HAM berat dankehilangan akses pasar internasional. Pada kasus Indonesia, terlihat bahwa pemerintahtidak merasa sebagai pelanggar HAM berat dan belum secara signifikan mendapatkanmanfaat dari rantai nilai perikanan global.

Daftar PustakaAcharya A (2004) How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and

Institutional Change in Asian Regionalism. International Organization 58(2): 239-275.

Acharya A (2009)Whose Ideas Matter? Agency and Power in Asian Regionalism. CornellUniversity Press.

Adam L (2016) Telaah Kebijakan Perlindungan Nelayan Dan Pembudi Daya Ikan DiIndonesia. Kajian 20(2): 145-162.

Adam L (2017) Kebijakan Perlindungan Pekerja Perikanan Tangkap Indonesia. Kajian21(4): 321-338.

21

Adzkia A (2015) ABK Korban Kekerasan, Pemerintah Didesak Teken Konvensi ILO.cnnindonesia.com. Tersedia di:https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150409015134-20-45274/abk-korban-kekerasan-pemerintah-didesak-teken-konvensi-ilo (diakses 13 Juli).

Afriansyah A (2020) Indonesia: Legal Protection for Indonesian Fishing Crews BeingAbused at Sea. Asia-Pacific Journal of Ocean Law and Policy 5(2): 398-402.

Ambari M (2018) Sepenting Apakah Perlindungan Internasional untuk ABK Indonesia di LuarNegeri?mongabay.co.id. Tersedia di:https://www.mongabay.co.id/2018/01/08/sepenting-apakah-perlindungan-internasional-untuk-abk-indonesia-di-luar-negeri/ (diakses 13 Juli).

Arimadonna (2019) RPOA Norm Localization for Indonesia in Handling IUU Fishing.Indonesian J. Int'l L. 17: 211.

Auethavornpipat R (2017) Assessing regional cooperation: ASEAN states, migrantworker rights and norm socialization in Southeast Asia. Global Change, Peace &Security 29(2): 129-143.

Biro Komunikasi (2020) Kemenko Marves Tekankan Komitmen Percepat Ratifikasi KonvensiILO No. 188 Guna Lindungi Awak Kapal Perikanan. Kementerian KoordinatorBidang Kemaritiman dan Investasi. Tersedia di: https://maritim.go.id/kemenko-marves-tekankan-komitmen-percepat-ratifikasi-konvensi-ilo/.

Biro Komunikasi (2021) Indonesia Jadi Pemasok Terbesar Ketiga di Dunia, Pemerintah TerusPerhatikan Aspek Keselamatan dan Kesejahteraan Pelaut. Kementerian KoordinatorBidang Kamaritiman dan Investasi. Tersedia di: https://maritim.go.id/indonesia-jadi-pemasok-terbesar-ketiga-dunia-pemerintah-terus/ (diakses 31 May).

Boli J and Thomas GM (1997) World Culture in the World Polity: A Century ofInternational Non-Governmental Organization. American Sociological Review 62(2):171-190.

Bunadi CF (2018) Urgensi ratifikasi International Labour Organization (ILO) Work in FishingConvention Nomor 188 Tahun 2007. Skripsi, Universitas Katolik Parahyangan,Bandung.

Campling L and Colás A (2018) Capitalism and the sea: Sovereignty, territory andappropriation in the global ocean. Environment and Planning D: Society and Space36(4): 776-794.

Cassidy F, Samosir P, Roedyati J, et al. (2016) Strategi Perlindungan dan Penanganan KasusAnak Buah Kapal (ABK) Sektor Perikanan Indonesia yang Bekerja di Luar Negeri.Jakarta: Badang Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian LuarNegeri.

Cortell AP and Davis JW (2000) Understanding the Domestic Impact of InternationalNorms: A Research Agenda. International Studies Review 2(1): 65-87.

Dillon P (2015) Over 500 New Human Trafficking Victims Identified in Indonesia sinceBenjina ‘Slave Fisheries’ Exposed. Tersedia di: http://indonesia.iom.int/over-500-

22

new-human-trafficking-victims-identified-indonesia-benjina-%E2%80%98slave-fisheries%E2%80%99-exposed (diakses 15 May 2016).

Dobbin F, Simmons B and Garrett G (2007) The Global Diffusion of Public Policies:Social Construction, Coercion, Competition, or Learning? Annual Review ofSociology 33(1): 449-472.

DPN SBMI (2014) Sukuran BMI ABK Afsel: Thanks To Itf No Thanks To Goverment.SBMI.or.id. Tersedia di: https://sbmi.or.id/?p=1452 (diakses 13 Juli).

Eimer TR, Lütz S and Schüren V (2016) Varieties of localization: international normsand the commodification of knowledge in India and Brazil. Review of internationalpolitical economy 23(3): 450-479.

eNCA (2013) Victims of high sea slavery find themselves stranded in Cape Town's harbour.Tersedia di:https://www.youtube.com/watch?v=L4tyNVDOkdc&ab_channel=eNCA.

Environmental Justice Foundation (2015) Thailand's Seafood Slaves: Human Trafficking,Slaver and Murder in Kantang's Fishing Industry. Report, Environmental JusticeFoundation, London, 30 November 2015.

European Commission (2015) EU acts on illegal fishing: Yellow card issued to Thailand whileSouth Korea & Philippines are cleared. Tersedia di: https://europa.eu/rapid/press-release_IP-15-4806_en.htm (diakses 17 November 2019).

European Commission (2019) Commission lifts “yellow card” from Thailand for its actionsagainst illegal fishing. European Commission. Tersedia di:https://europa.eu/rapid/press-release_IP-19-61_en.htm (diakses 17 November2019).

Finnemore M and Sikkink K (1998) International Norm Dynamics and Political Change.International Organization 52(4): 887-917.

Firman M (2017) Pemerintah Segera Ratifikasi Konvensi ILO Untuk Lindungi Nelayan.Katadata.com. Tersedia di:https://katadata.co.id/pingitaria/berita/5e9a56795c139/pemerintah-segera-ratifikasi-konvensi-ilo-untuk-lindungi-nelayan (diakses 3 Juni).

Frantzeskou E, Jensen OC and Linos A (2016) Health status and occupational riskfactors in Greek small fisheries workers. International maritime health 67(3): 137-143.

Friends of the Earth Asia Pacific (2020) A Briefing on Longxing 629: A case of illegal,unreported and unregulated (IUU) fishing activities and related human rights abuses ona tuna longliner. Friends of the Earth Asia Pacific. Tersedia di:https://foeasiapacific.org/2020/07/23/a-briefing-on-longxing-629/ (diakses 3 June).

Greenpeace East Asia (2020) Choppy waters: Forced Labour and Illegal Fishing inTaiwan’s Distant Water Fisheries. Report,

Greenpeace Southeast Asia and Serikat Buruh Migran Indonesia (2021) Forced Labourat Sea: The case of Indonesian Migrant Fishers. Report,

23

Groß L (2015) The journey from global to local: norm promotion, contestation andlocalisation in post-war Kosovo. Journal of International Relations and Development18(3): 311-336.

Indonesia Ocean Justice Initiative (2020) Perbaikan Tata Kelola Pelindungan ABKIndonesia di Kapal Ikan Asing. Report, Indonesia Ocean Justice Initiative, Jakarta,

Indonesia Ocean Justice Initiative (2021) Seminar Mempertanyakan Komitmen Multi-Pihakdalam Melindungi ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing. Tersedia di:https://www.youtube.com/watch?v=4VMumhHZzZw&t=5684s&ab_channel=IndonesiaOceanJusticeInitiative.

International Labour Organization (2007) C188 - Work in Fishing Convention, 2007 (No.188). International Labour Organization. Tersedia di:https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C188 (diakses 3 Juni).

International Labour Organization (2017) Guidelines on flag State inspection of working andliving conditions on board fishing vessels. Geneva: International LabourOrganization.

International Labour Organization (2021) Peta jalan menuju ratifikasi Konvensi ILO No.188 untuk melindungi nelayan Indonesia. International Labour Organization.Tersedia di: https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_777047/lang--en/index.htm (diakses 3 Juni).

International Organization for Migration Indonesia, Kementerian Kelautan danPerikanan and Conventry University (2016) Report on Human Trafficking,Forced Labour and Fisheries Crime in the Indonesian Fishing Industry. Report,IOM-Indonesia, Jakarta, NA.

Juwana H (2019) Kewajiban Negara dalam Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional:Memastikan Keselarasan dengan Konstitusi dan Mentransformasikan ke HukumNasional. Undang: Jurnal Hukum 2(1): 1-32.

Kaustell KO, Mattila TE and Rautiainen RH (2016) Occupational injuries and diseasesamong commercial fishers in Finland 1996–2015. International maritime health67(3): 163-170.

Khalisotussurur L (2015) Indonesia Didesak Ratifikasi Konvensi ILO, Cegah PerbudakanPekerja Kapal Ikan. GRESNEWS.com. Tersedia di:https://www.gresnews.com/berita/hukum/1330104-indonesia-didesak-ratifikasi-konvensi-ilo-cegah-perbudakan-pekerja-kapal-ikan/#sthash.JBV7V69M.uxfs(diakses 4 Juli).

LeBaron G, Pliley JR and Blight DW (2021) Fighting modern slavery and human trafficking:History and contemporary policy. Cambridge University Press.

Lindvall J (2009) The Real but Limited Influence of Expert Ideas.World Politics 61(4):703-730.

24

Manafe IN (2013) Kemlu Pulangkan 31 ABK WNI dari Trinidad dan Tobago.Tribunnews.com. Tersedia di:https://www.tribunnews.com/internasional/2013/02/02/kemlu-pulangkan-31-abk-wni-dari-trinidad-dan-tobago (diakses 03 June).

Marschke M and Vandergeest P (2016) Slavery scandals: Unpacking labour challengesand policy responses within the off-shore fisheries sector.Marine policy 68: 39-46.

Marschke M, Vandergeest P, Havice E, et al. (2021) COVID-19, instability and migrantfish workers in Asia.Maritime Studies 20(1): 87-99.

Marta MF (2017) Konvensi ILO soal Penangkapan Ikan. kompas.id. Tersedia di:https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2017/11/29/lindungi-abk-susi-dorong-ratifikasi-konvensi-ilo-soal-penangkapan-ikan?status=sukses_login&status_login=login (diakses 3 Juni).

Mathew S (2010) From Informal 'Co-adventurers' to Formal Workers? ILO's Work inFishing Convention, 2007. Economic and Political Weekly 45(5): 49-55.

MBCNEWS (2020) [단독] "하루 18시간노역…병들어숨지면바다에버려". Tersedia di:https://www.youtube.com/watch?v=3QIEmJ1mCZY&ab_channel=MBCNEWS(diakses 3 June).

McAdam D, McCarthy JD and Zald MN (1996) Introduction: Opportunities, mobilizingstructures, and framing processes – toward a synthetic, comparative perspectiveon social movements. In: McAdam D, McCarthy JD and Zald MN (eds)Comparative Perspectives on Social Movements: Political Opportunities, MobilizingStructures, and Cultural Framings. Cambridge: Cambridge University Press, pp.1-20.

McDowell R and Mason M (2015) Over 300 Slaves Rescued From Indonesia Island After ApInvestigation Into Forced Labor. The Associated Press. Tersedia di:http://www.ap.org/explore/seafood-from-slaves/over-300-slaves-rescued-from-Indonesia-island-after-ap-investigation.html (diakses 15 May 2016).

Mendoza M, McDowell R, Mason M, et al. (2016) Fishermen Slaves: Human Traffickingand The Seafood We Eat. Miami, FL: Mango Media Inc. in collaboration with theAssociated Press,.

Meyer JW, Boli J, Thomas GM, et al. (1997) World Society and the Nation‐State.American Journal of Sociology 103(1): 144-181.

Noviani A (2015) ILO Soroti Praktik Perbudakan di Kapal Ikan Asean". ekonomi.bisnis.com.Tersedia di: https://ekonomi.bisnis.com/read/20150427/12/427417/ilo-soroti-praktik-perbudakan-di-kapal-ikan-asean (diakses 4 Juli).

Palmer W (2018) Back Pay for Trafficked Migrant Workers: An Indonesian Case Study.International Migration 56(2): 56-67.

Pauly D, Belhabib D, Blomeyer R, et al. (2014) China's distant-water fisheries in the 21stcentury. Fish and Fisheries 15(3): 474-488.

25

Pratiwi R (2020) Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Perikanan Menurut HukumInternasional. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.

Price R (1998) Reversing the Gun Sights: Transnational Civil Society Targets LandMines. International Organization 52(3): 613-644.

Shalihah F and Nur M (2021) HUMAN RIGHTS VIOLATION AGAINST THEINDONESIANMIGRANT FISHERIES CREW IN CHINESE-FLAGGED LONGXING VESSEL. Yustisia Jurnal Hukum 10(1): 67-83.

Sharman JC (2008) Power and Discourse in Policy Diffusion: Anti-Money Laundering inDeveloping States. International Studies Quarterly 52(3): 635-656.

Simanjuntak D (2019) KKP Dorong Pelaku Usaha Terapkan HAM Perikanan. Tersedia di:https://investor.id/business/kkp-dorong-pelaku-usaha-terapkan-ham-perikanan(diakses 12 Juli).

Stringer C, Whittaker DH and Simmons G (2016) New Zealand's turbulent waters: theuse of forced labour in the fishing industry. Global Networks 16(1): 3-24.

Syafii I (2015) Kenapa Indonesia Tidak Segera Meratifikasi Konvensi ILO 188/2007?kompasian.com. Tersedia di:https://www.kompasiana.com/fspiln/55a8ed86537a61260e9429a2/kenapa-indonesia-tidak-segera-meratifikasi-konvensi-ilo-1882007?page=all (diakses 4Juli).

the U.S. Deparment of State (2018) Trafficking in Persons Report. Report, Department ofState, Washington, June 2018.

the U.S. Department of State (2016) Trafficking in Persons Report. Report, Departmentof State, Washington, June 2016.

True J and Mintrom M (2001) Transnational Networks and Policy Diffusion: The Case ofGender Mainstreaming. International Studies Quarterly 45(1): 27-57.

Urbina I (2019) The Outlaw Ocean: Journeys across the last untamed frontier. Vintage.Vandergeest P (2018) Law and lawlessness in industrial fishing: frontiers in regulating

labour relations in Asia. International Social Science Journal 68(229-230): 325-341.Vandergeest P and Marschke M (2019) Modern Slavery and Freedom: Exploring

Contradictions through Labour Scandals in the Thai Fisheries. Antipode.Wagner B (2017) ILO C188: a milestone reached. Samudra Report.(75): 4-6.Wahyuni NC (2021) Perkuat Perlindungan Awak Kapal Ikan, Indonesia Bersiap Ratifikasi

C188. Beritasatu.com. Tersedia di:https://www.beritasatu.com/dunia/742211/perkuat-perlindungan-awak-kapal-ikan-indonesia-bersiap-ratifikasi-c188 (diakses 3 Juni).

Weiss TG (2000) Governance, Good Governance and Global Governance: Conceptualand Actual Challenges. Third World Quarterly 21(5): 795-814.

Yuliana B (2021) Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Fisher (Awak Kapal BerdasarkanWork In Fishing Convention, 2007 (No. 188). Skripsi, Universitas Sriwijaya,Palembang.

26

Yunazwardi MI and Nabila A (2021) 2021 6(1).Yuniar RW (2021) Indonesian workers still face abuse at sea, despite efforts to end modern

slavery: report. South China Morning Post. Tersedia di:https://www.scmp.com/week-asia/health-environment/article/3135673/indonesian-workers-still-face-abuse-sea-despite-bids (diakses 3 June).

Yuniartha L (2021)Menaker: RPP soal penempatan dan perlindungan awak kapal telah selesaidiharmonisasi. Kontan.co.id. Tersedia di:https://nasional.kontan.co.id/news/menaker-rpp-soal-penempatan-dan-pelindungan-awak-kapal-telah-selesai-diharmonisasi (diakses 11 Juli).

Yusriza B (2020) The political economy of unfree labor and the state: An Indonesiancase study. Asian and Pacific Migration Journal 29(1): 55-78.

Zhou M, Hantyanto A and Irvandi J (2019) Indonesia and the Work in FishingConvention, 2007 (No. 188) a comparative analysis. Report, International LabourOrganization,