Laporan_2 inri

12
PENYAKIT NEONATAL PADA ANJING DISTEMPER ANJING, PARVOVIRUS, PARAINFLUENZA Inriyani Sari 1 , Chandra Arsandi 2 , Try agustianingsih 3 , Janne Lorens 4 , Andi Husnul Khatimah 5 Bagian Bedah & Radiologi. Departemen Klinik, Reproduksi & Patologi Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Universitas Hasanuddin (UNHAS) Korespondensi penulis: [email protected] Abstrak Tujuan praktikum ini adalah memaparkan kasus penyakit neonatal pada Anjing, yaitu Distemper Anjing, Parvovirus, dan Parainfluenza. Namun pada saat praktikum Anjing yang digunakan tidak memiliki gejala yang merujuk pada salah satu dari ketiga penyakit neonatal tersebut. Seekor hewan dengan anamneses temperatur tubuhnya 38,7º C, frekuensi nafas 112 x/menit, frekuensi nadi 108 x/menit, frekuensi jantung 152 x/menit. Hasil pemeriksaan klinis, Anjing tidak memiliki kelainan yang serius, Posisi tegak telinga asimetris, Posisi kepala selalu disandarkan dimeja, pertumbuhan badannya termasuk kategori sedang, sikap berdiri normal, kedua palpebrae dan membrane nictitans terlihat normal, pada bagian mulut dan rongga mulut semua terlihat normal, bau dan posisi telinga normal, pada permukaan daun telinga sebelah kiri dan kanan terlihat kotor, pemeriksaan pada leher yang meliputi perototan, trachea dan esophagus normal pada saat inspeksi sistem pernafasan didapatkan hasil bahwa intensitas pernafasannya normal, pada saat palpasi intercostalis tidak didapatkan sesuatu yang tidak normal pada bagian intercostalis, pada saat auskultasi didapatkan suara pernafasan normal, pada saat dicoba untuk auskultasi jantung dapat didengarkan suara detak jantungnya, dan pada saat palpasi lymphonodus tidak ditemukan lymphonodus yang membengkak ataupun asimetris. Tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan (lab) karena Anjing terlihat sehat dan tidak ada gejala yang mengarah ke penyakit yang serius. Terapi yang dilakukan yaitu hanya pemberian Vitamin. Kesimpulan, Anjing

description

nbjhgzjcgsjdghadjha

Transcript of Laporan_2 inri

Page 1: Laporan_2 inri

PENYAKIT NEONATAL PADA ANJING

DISTEMPER ANJING, PARVOVIRUS, PARAINFLUENZA

Inriyani Sari 1, Chandra Arsandi2, Try agustianingsih3, Janne Lorens4, Andi Husnul Khatimah5

Bagian Bedah & Radiologi. Departemen Klinik, Reproduksi & PatologiProgram Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Universitas Hasanuddin

(UNHAS)

Korespondensi penulis: [email protected]

Abstrak

Tujuan praktikum ini adalah memaparkan kasus penyakit neonatal pada Anjing, yaitu Distemper Anjing, Parvovirus, dan Parainfluenza. Namun pada saat praktikum Anjing yang digunakan tidak memiliki gejala yang merujuk pada salah satu dari ketiga penyakit neonatal tersebut. Seekor hewan dengan anamneses temperatur tubuhnya 38,7º C, frekuensi nafas 112 x/menit, frekuensi nadi 108 x/menit, frekuensi jantung 152 x/menit. Hasil pemeriksaan klinis, Anjing tidak memiliki kelainan yang serius, Posisi tegak telinga asimetris, Posisi kepala selalu disandarkan dimeja, pertumbuhan badannya termasuk kategori sedang, sikap berdiri normal, kedua palpebrae dan membrane nictitans terlihat normal, pada bagian mulut dan rongga mulut semua terlihat normal, bau dan posisi telinga normal, pada permukaan daun telinga sebelah kiri dan kanan terlihat kotor, pemeriksaan pada leher yang meliputi perototan, trachea dan esophagus normal pada saat inspeksi sistem pernafasan didapatkan hasil bahwa intensitas pernafasannya normal, pada saat palpasi intercostalis tidak didapatkan sesuatu yang tidak normal pada bagian intercostalis, pada saat auskultasi didapatkan suara pernafasan normal, pada saat dicoba untuk auskultasi jantung dapat didengarkan suara detak jantungnya, dan pada saat palpasi lymphonodus tidak ditemukan lymphonodus yang membengkak ataupun asimetris. Tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan (lab) karena Anjing terlihat sehat dan tidak ada gejala yang mengarah ke penyakit yang serius. Terapi yang dilakukan yaitu hanya pemberian Vitamin. Kesimpulan, Anjing tersebut tidak memiliki penyakit neonatal, baik penyakit Distemper Anjing, Parvovirus, Maupun Parainfluenza.

Kata kunci: anjing, Distemper, Parvovirus, Parainfluenza, penyakit neonatal, vitamin

Pendahuluan

Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit

tersebut disebabkan oleh virus dalam genus Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae dan

Page 2: Laporan_2 inri

mempunyai hubungan dekat dengan virus measles dan rinderpest (Frisk et al., 1999; Mochizuki et al., 1999; Rudd et al., 2006). Virus distemper dapat menyerang famili Canidae, Mustelidae, dan Procyonidae (Headley dan Graca, 2000). Kasus distemper pada anjing telah menurun secara signifikan sejak dilancarkan upaya vaksinasi dengan menggunakan vaksin hidup (modified live vaccine) sejak tahun 1960 (Dharmojono, 2001). Infeksi Canine Parvovirus (CPV), atau yang dikenal dengan penyakit Muntaber pada anjing, mulai mencuat sekitar tahun 1980-an di mana kasus muntah dan mencret berdarah banyak dijumpai di kalangan praktisi dunia kedokteran hewan di Indonesia. Di Indonesia, kasus infeksi CPV dapat terjadipada segala umur, terutama anjing muda. Penyakit muntaber pada anjing disebabkan oleh virus canine parvovirus (CPV). Virus ini termasuk dalam famili Parvoviridae (MATTHEWS, 1979). Parainfluenza adalah virus yang menyerang saluran pernapasan. CPIV menyebar dengan cepat tampak dari presentase anjing yang terinfeksi tinggi dalam waktu yang singkat. Pada tahun 1960, era sebelum adanya vaksinasi CPIV. Penelitian yang dilakukan oleh Binn, dan Lazar, prevalensi antibody CPIV anjing militer yang baru didatangkan dan dimasukkan ke dalam kandang adalah 3%, 6 minggu kemudian meningkat menjadi 72%. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa CPIV umumnya menyerang anjing muda dengan infeksi 3 minggu

atau 10 minggu (Jhon.A.Ellis, 2012).

Tinjauan Pustaka

A. Distemper

Etiologi. Disebabkan oleh virus dalam genus Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae dan mempunyai hubungan dekat dengan virus measles dan rinderpest (Frisk et al., 1999; Mochizuki et al., 1999; Rudd et al., 2006). Virus distemper dapat menyerang famili Canidae, Mustelidae, dan Procyonidae (Headley dan Graca, 2000).

Gejala Klinis. Pada temuan pemeriksaan klinis biasanya terdapat gejala-gejala seperti berikut :

1. Demam2. Lemah3. Tremor4. Nasal discharge5. Diare berdarah6. Feses berwarna gelap7. Keratinasi pada foot pad8. Lethargi9. Anoreksia10. Pustula dibagian inguinal11. Dehidrasi

Diagnosa. Diagnosa didasarkan pada anamnesa, gejala klinis yang ditemukan dan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah, PCR, immunofluororesensi, isolasi virus, analisa ciran serebrospinal, serologi dan tes ELISA untuk antibodi spesifik distemper. Diagnosa Banding. Caninde parvovirus memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan beberapa penyakit seperti parvovirus, parainfluenza, dan

Page 3: Laporan_2 inri

penyakit helmeintiasis, salah satu contohnya ialah ancylostomiasis. Pemeriksaan Lanjutan. Penyakit canine distemper dapat di diagnosa dengan pemeriksaan laboratorium (cek darah dan test kit distemper).  Juga dapat dianalisa berdasarkan gejala klinis, isolasi dan identifikasi etiologinya. Dengan pemeriksaan laboratorium atas spesimen hewan yang menderita yaitu dengan pemeriksaan umum didapatkan gejala klinisnya, pemeriksaan fisik yaitu contohnya ditemukan muntah dan diare, Pengambilan spesimen seperti cotton swab dimasukkan kedalam anus untuk mendapatkan fesesnya lalu spesimen tersebut ditanam pada media selama 24 jam dan diperiksa dibawah mikroskop. (Race, 2015) Pencegahan dan Pengobatan. Tidak ada obat spesifik yang dapat digunakan untuk menyembuhkan hewan yang terserang virus distemper yang sudah menginfeksi salah satu contohnya ialah anjing. Tindakan yang dapat dilakukan ialah untuk mencegah infeksi sekunder, mengendalikan muntah, diare dan gejala syaraf yang muncul, menangani kondis dehidrasi dengan memberikan cairan infus. Anjing yang terinfeksi distemper harus dijaga supaya tetap hangat, mendapatkan nutrisi yang cukup serta dipisahkan dari anjing-anjing lainnya. Vaksinasi dan menghindari kontak (karantina) dengan hewan terinfeksi distemper adalah satu-satunya cara untuk mencegah tertularnya seekor anjing terhadap virus ini. Vaksinasi sangat penting. Anak-anak anjing sangat rentan terinfeksi virus distemper, terutama jika kekebalan alami yang diperolehnya dari induk sudah

menghilang sebelum anak anjing tersebut mampu membentuk kekebalan tubuhnya sendiri. Untuk melindungi anjing dewasa, pemilik hewan harus memberikan vaksin secara berkala sehingga anjing tersebut mempunyai titer antibodi yg cukup untuk melawan virus tersebut. Pencegahan merupakan tindakan terpenting dalam penanganan kasus ini.

B. Parvovirus Etiologi. Penyakit muntaber pada anjing disebabkan oleh virus canine parvovirus (CPV). Virus ini termasuk dalam famili Parvoviridae (M ATTHEWS , 1979). Diameter virus CPV berkisar 20 nm, termasuk virus single stranded DNA, dan virionnya berbentuk partikel ikosahedral serta tidak beramplop, dan perkembang- biakan virus ini sangat tergantung pada sel inang yang sedang aktif membelah (MC. CARTHY , 1980). Dalam gradien CsCl, CPV mempunyai kepadatan gradien 1,43 g/ml. CPV terdiri dari 3 protein virus yaitu VP1, VP2, dan VP3 dengan berat molekul 82.500 sampai 63.500. Gejala Klinis. Pada temuan pemeriksaan klinis biasanya terdapat gejala-gejala seperti berikut :12. Demam13. Depresi14. Tremor15. Nasal discharge16. Diare berdarah17. Feses bau menyengat

(anyir)18. Anoreksia19. Lethargi20. Dehidrasi berat Prognosa. Pada anjing dengan infeksi ringan, terutama

Page 4: Laporan_2 inri

pada anjing yang telah divaksin, progonosanya buruk tetapi bila anjing tidak memiliki antibodi yang baik serta belum pernah divaksin maka prognosanya buruk sampai infausta. Diagnosa. Diagnosis infeksi CPV ditegakkan berdasarkan sejarah penyakit, gejala klinis, perubahan PA/HP, dan pemeriksaan laboratorium termasuk uji serologis dan isolasi virus. Leukopenia umumnya terjadi pada awal infeksi (APPEL et al., 1978). Pemeriksaan serologis meliputi uji single radial haemolysis, ELISA, uji HI, dan uji serum netralisasi (FASTIER, 1981). Akhir-akhir ini uji ELISA untuk mendeteksi antibodi mulai diterapkan terutama menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik terhadap CPV, sehingga hasil yang diperoleh lebih sensitif dan spesifik (MATHYS et al., 1983). Pemeriksaan virologis meliputi isolasi virus, dan deteksi antigen/partikel CPV seperti uji ELISA, Fluoresence antibodi teknik (FAT), atau elektron mikroskop yang merupakan teknik diagnosis yang paling baik untuk diterapkan (EUGSTER et al., 1978). Meskipun CPV belum tentu dapat diisolasi dari kasus CPV yang klasik, isolasi dapat dilakukan dan diinokulasikan dalam biakan jaringan. Tetapi tidak jarang virus berbiak pada biakan jaringan tanpa disertai CPE. Untuk kasus tersebut, deteksi virus pada biakan tersebut perlu dilengkapi misalnya dengan uji HA, HI atau FAT (CARMICHAEL et al., 1980).

Diagnosa Banding. Canine parvovirus memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan beberapa penyakit seperti feline panleukopenia, minute virus enteritis, canine distemper, koksidiosis, ancylostomiasis. Pencegahan dan Pengobatan. Penanganan secara spesifik untuk menghilangkan virusnya seperti penggunaan obat antiviral belum tersedia. Penanganan suportif dilakukan untuk membantu menjaga kondisi umum anjing. Penanganan meliputi pemberian terapi cairan (infus) baik melalui subcutan (dibawah kulit) ataupun melalui intravena (melalui pembuluh darah) untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit yang hilang karena muntah dan diare. Penanganan lainnya melalui pemberian antimuntah, antibiotik dan pemberian injeksi suplemen protein dan nutrisi. Perawatan rata-rata membutuhkan waktu 1-2 minggu. Pencegahan dilakukan melalui tindakan vaksinasi yang teratur dan melakukan karantina pada hewan yang dicurigai terpapar parvovirus. Peralatan dan lingkungan yang tercemar virus parvo didesinfeksi menggunakan larutan pemutih pakaian yang di encerkan dengan air dengan perbandingan 1:30 karena virus ini cukup tahan di lingkungan dan cairan desinfeksi lainnya. Anjing yang telah sembuh dari parvo harus tetap diisolasikan sekitar 1-2 minggu dan dimandikan dahulu sebelum digabung dengan anjing lainnya untuk mencegah penularan virus.

C. Parainfluenza

Page 5: Laporan_2 inri

Etiologi. Canine parainfluenza virus (CPIV) merupakan virus respiratori yang penularannya sangat tinggi dan merupakan satu dari pathogen paling umum dari infeksi tracheobronchitis, yang disebut juga canine cough. Canine parainfluenza virus (CPIV) diekskresi dari saluran respirasi dari hewan terinfeksi sampai 2 minggu setelah infeksi dan biasanya ditransmisikan melalui udara. Virus menyebar dengan cepat pada kennel atau shelter dimana anjing dalam jumlah bersar berkumpul. Penyakit parainfluenza tipe 3 (PI-3) disebabkan oleh virus PI-3, yang termasuk dalam kelompok paramyxo, dari famili paramyxoviridae. Hingga saat ini ada 4 serotipe virus parainfluenza telah diidentifikasi. Namun virus parainfluenza tipe 3 (PI-3) merupakan yang paling patogen dapat menimbulkan penyakit sehingga merugikan. Penyakit ini termasuk zoonosis karena manusia dapat terinfeksi oleh virus PI-3. Selain itu, kera, rusa, anjing, kucing, guinea-pig dan tikus dapat juga terinfeksi oleh virus PI-3.

Gejala Klinis

21. Anoreksia22. Lemah23. Demam24. Nafsu makan berkurang25. Nasal discharge26. Tremor Diagnosa. Diagnosa didasarkan pada anamnesa,gejala klinis yang ditemukan dan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah PCR, immunofluororesensi, isolasi virus, analisa ciran serebrospinal, serologi dan tes ELISA. Diagnosa banding. Diagnosa banding dari penyakit parainfluenza yaitu Bronchitis dan Pneumonia. Pencegahan dan Pengobatan. Pilihan pengobatan untuk virus parainfluenza berbeda didasarkan pada sejumlah pilihan. Salah satu faktor yang

paling penting adalah mengandung virus dan mengobatinya sebelum dapat menyebar ke anjing lain. Banyak anjing dapat pulih dari virus ini secara alami, tetapi mereka tetap menular dan virus dapat dengan mudah menyebar melalui sekresi pernapasan dan melalui udara. Untuk alasan ini, virus ini biasanya diobati secara agresif dengan antibiotik dan obat antivirus. Jika perlu, penekan batuk dapat digunakan. Cairan intravena dapat membantu untuk menjaga anjing terhidrasi dan memperkuat sistem kekebalan tubuh, mencegah infeksi bakteri sekunder atau komplikasi lain. Ini tidak dianjurkan untuk mengobati virus parainfluenza pada anjing, tetapi tips berikut dapat membantu. Anda dapat menemukan informasi ini bermanfaat bagi perawatan dan pengobatan untuk virus: Batasi latihan anjing dan bermain atau beristirahat dengan tenang. Jauhkan anjing dari anjing lain selama pengobatan dan selama setidaknya satu minggu berikutnya. Makan makanan lunak jika iritasi tenggorokan hadir. Mendorong asupan cairan yang cukup dengan menyediakan air yang cukup setiap saat. Hindari paparan suara keras, polusi atau peristiwa lain yang dapat menyebabkan stres yang tidak semestinya.

Hasil Praktikum

Data dalam bentuk tabel rekam medis pasien (Dilampirkan)

Diskusi

Distemper adalah salah satu penyakit menular yang menyerang anjing. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus dalam genus Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae (Erawan, 2009).

Penyakit distemper pada anjing merupakan penyakit viral yang bersifat multisistemik diantaranya sistem pernafasan, pencernaan, urinaria, saraf pusat dan sistem lainnya. Penyakit distemper memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada

Page 6: Laporan_2 inri

populasi anjing yang tidak divaksinasi. Anjing yang terserang penyakit distemper biasanya yang berumur muda, terutama anak anjing yang tidak divaksin secara lengkap. Anjing yang diserang umumnya berumur kurang dari satu tahun (Sitepu, 2013).

Anjing terinfeksi distemper dapat mengeluarkan virus dalam beberapa bulan. Virus distemper menyerang dan menimbulkan gejala ataulesi pada mata, saluran respirasi, gastrointestinal, urogenital, sistem saraf, dan kulit. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi. Gejala dapat terjadi beratatau ringan, tanpa atau dengan memperlihatkan gejala-gejala saraf. Diagnosis tentatif untuk penyakit distemper umumnya dilakukan dengan melihat gejala klinis yang muncul pada penderita. Pencegahan penyakit distemper dapat dilakukan dengan vaksinasi (Erawan, 2009).

Penyakit muntaber pada anjing disebabkan oleh Canine Parvovirus (CPV) termasuk family Parvoviridae. Di Indonesia, kasus infeksi CPV dapat terjadi pada semua umur terutama anjing muda. Vaksinasi dapat dilakukan sebagai langkah pencegahan penyakit. Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan, infeksi CPV terbagi menjadi dua tipe, yaitu tipe miokarditis dan tipe enteritis (Sendow, 2003).

Kasus CPV pada tipe miokarditis lebih banyak ditemukan pada anak anjing berumur di bawah 4 minggu, yang ditandai dengan kematian anak anjing mendadak, tanpa menimbulkan gejala klinis muntaber. Anak anjing tumbuh normal dan pada pemeriksaan umum, anjing tidak menunjukkan adanya kelainan pada jantung dan paru-paru, tetapi beberapa jam sebelum mati anak anjing tersebut terlihat lemas, sesak napas, menangis,kadang-kadang muntah dan selaput lendir pucat. Mortalitas tipe miokarditis berkisar antara 20hingga 100%. Pada tipe miokarditis yang akut, umumnya anak anjing tersebut tidak mempunyai kekebalan bawaan dari induk, sehingga vaksinasi induk yang akan

dikawinkan sangat dianjurkan. Pada anak anjing berumur lebih dari 5 bulan, gejala klinis yang tampak tidak nyata, tetapi padainfeksi yang akut, ritme puls femoral iregular, jantung terdengar murmur dan aritmia (Sendow, 2003).

Tipe enteritis, sering juga disebut Canine parvovirus enteritis, infectious hemorrhagic enteritis, epidemic gastroenteritis atau canine panleucopenia. Di Indonesia tipe ini dikenal dengan istilah muntaber. Tipe enteritis merupakan tipe CPV yang paling sering ditemukan dan menyerang semua usia dengan gejala klinis yang khas yaitu muntah dan diare berdarah, dengan aroma yang sangat khas. Masa inkubasi tipe enteritis 7–14 hari dengan gejala awal adalah muntah yang diikuti demam, tidak napsu makan, lesu dan diare mulai dari mencret berwarna kekuningan, abu-abu dengan bau yang khas hingga berdarah berwarna kehitaman seperti warna aspal. Pada anak anjing, apabila diare berdarah telah terjadi umumnya hanya bertahan 1–3 hari. Sejalan dengan terjadi. Morbiditas CPV tipeenteritis berkisar antara 20% hingga 100% dan mortalitasnya mencapai 50%, sedangkan pada anak anjing yang masih muda dan belum divaksinasi,mortalitasnya dapat mencapai 100%(Sendow, 2003).

Penyakit infeksi oleh virus Parainfluenza biasanya hanya berupa sebagai gangguan pernafasan ringan, yang meskipun tidak mematikan secara langsung, akan tetapi cukup menggangu penderita, dan lama-lama menyebabkan penurunan kondisi umum. Virus Parainfluenza yang biasa menyerang anjing adalah Simian Virus 5 (SV-5), yang termasuk virus Paramyxo.Virus seringkali diisolasi dari penyakit saluran pernafasan, disebarkan secara aerogen dari anjing penderita ke anjing lainnya.Virus menyerang epitel permukaan saluran pernafasan atas dan bawah. Adanya makrofag di paru-paru dapat mencegah penyebaran virus ke organ lainnya. Anjing yang tertular selama 8-9 hari akan menjadi penyebar virus, dan setelah itu aan bersifat

Page 7: Laporan_2 inri

laten. Penderita biasanya memperlihatkan gejala ringan dari gangguan pernafasan (Subronto, 2010). Kesimpulan Distemper merupakan penyakit pada anjing yang disebabkan oleh Canine Distemper Virus dari genus Morbillivirus dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi tergantung organ yang diserang. Penceghannya dengan vaksinasi dan pengobatannya dengan fluid terapi, antibiotik dan pemberian vitamin. Parvo merupakan penyakit pada anjing yang disebabkan oleh virus yang dinamakan Canine Parvovirus atau Parvoviral Enteritis sangat rentang terhadap anjing yang masih mudah, Pengobatannya yaitu dengan fluid terapi, antibiotik untuk infeksi sekunder seperti gentamicin, antiemetik dan terapi suporatif. Sedangkan Parainfluenza adalah virus yang menyerang saluran pernapasan. Pengobatannya dengan pemberian vitamin, antibiotik untuk infeksi sekunder, terapi suportif. Berdasarkan hasil praktikum, puppies yang diperiksa tidak mengidap penyakit yang spesifik (sehat).

Pustaka Acuan

APPEL , M. and C.R. P ARRISH . 1987. Canine parvovirus type 2. In: Virus infections of carnivores”. M. A PPEL . (Ed.) Elseviers, Science Publisher. Pp. 69–92.

APPEL , M.J.G., B.J. C OOPER , H.H. G REISEN and L.E.C ARMICHAEL . 1978. Status report: Canine viral enteritis. J. Am. Vet. Med. Ass. 173: 1516–1518.

Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I, Pustaka Popular Obor, Jakarta, hal 16-20.

EUGSTER , A.K., R.A. B ANDELE and L.P. JONES. 1978. Parvovirus infection in dog. J. Am. Vet. Med.. Ass.173:1340–1341.

FASTIER , L.B. 1981. A single radial haemolysis test for measuring canine parvovirus antibody. Vet. Rec. 108: 299–301.

Frisk AL, Konig M, Moritz A, Baumgartner W. 1999. Detection of canine distemper virus nucleoprotein RNA by reverse transcription-PCR using serum, whole blood, and cerebrospinal fluid from dogs with distemper. J Clin Micro 37: 3634- 3643.

Headley SA, Graca DL. 2000. Canine distemper: epidemiological finding of 250 cases. Brazilian J Vet Res Anim Sci 37.

MATTHEWS , R.E.F. 1979. Classification and nomenclature of viruses. 3 rd report of the International Committee on Taxonomy of viruses. Ed. S. Karger. Basel, London. Pp. 189–190.

Mochizuki M, Hashimoto M, Hagiwara S, Ishiguro S. 1999. Genotypes of canine distemper virus determined by an hemagglutinin genes of recent isolates from dogs in Japan. J Clin Microbiol 37: 2936-2942

Sendow, Indrawati. 2003. Canine Parvovirus pada Anjing.WARTAZOA Vol. 13 No. 2.

Sitepu, Y.V., et al. 2013. Gambaran Histopatologi Penyakit Distemper pada Anjing Umur 2 sampai 12 Bulan. Indonesia Medicus Veterinus, 2 (5) : 528-537. ISSN : 2301-7848.

Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Page 8: Laporan_2 inri