laporan UJI DIFUSI IN VITRO bio dan kintik.docx

23
UJI DIFUSI IN VITRO I. Tujuan Percobaan Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk : 1. Mengetahui prinsip dan cara pengujian difusi suatu zat dari sediaan transdermal 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui kulit II. Teori Dasar a. Anatomi dan fisiologis kulit Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar baik fisik ataupun kimia. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya subtansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan untuk mencegah masuknya subtansi-subtansi asing yang berasal dari luar tubuh untuk masuk ke dalam tubuh. Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-bahan yang diaplikasikan ke permukaanya. Secara mikroskopik kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda-

Transcript of laporan UJI DIFUSI IN VITRO bio dan kintik.docx

UJI DIFUSI IN VITRO

I. Tujuan PercobaanSetelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :1. Mengetahui prinsip dan cara pengujian difusi suatu zat dari sediaan transdermal2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui kulit

II. Teori Dasara. Anatomi dan fisiologis kulitKulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar baik fisik ataupun kimia. Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya subtansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan untuk mencegah masuknya subtansi-subtansi asing yang berasal dari luar tubuh untuk masuk ke dalam tubuh. Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan-bahan yang diaplikasikan ke permukaanya. Secara mikroskopik kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda-beda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan lapisan jaringan di bawah kulit berlemak atau yang disebut lapisan hipodermis (Aiache, 1993 dan Chein, 1987). Gambar 1.1: anatomi lapisan kulitb. Absorpsi perkutanPenggunaam obat dengan mengaplikasikannya pada kulit disebut dengan pemberian obat secara perkutan. Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari kulit ke dalam jaringan di bawah kulit, kemudian masuk kedalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif. Mengacu pada Rothaman, penyerapan perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan senyawa dari lingkungan luar ke bagian dalam kulit dalam peredaran darah dan kelenjar getah bening. Istilah perkutan menunjukan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda. Absorbsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum yang terdiri dari kurang lebih 40% protein (pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak. Stratum korneum adalah lapisan terluar dari kulit yang terpapar ke permukaan yang masuk ke dalam bagian epidermis kulit. Stratum komeum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat.

c. Aspek teori perlintasan membranMembran dalam kajian formulasi dan biofarmasi merupakan suatu fase padat setengah padat, atau cair dengan ukuran tertentu, tidak larut atau tidak tercampurkan dengan lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu dan lainnya, umumnya oleh fase cair. Dalam biofarmasi, membran padat digunakan sebagai model untuk mempelajari kompleks atau interaksi antara zat aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan dan pelarutan. Perlintasan dalam membran sintesis pada umumnya berlangsung dalam dua tahap (Aiache, 1993) : Tahap awal adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran Tahap kedua adalah pengangkutanProses masuknya obat ke dalam kulit secara umum terjadi melalui proses difusi pasif. Difusi tersebut secara umum terjadi melalui stratum korneum (jalur transepidermal), tetapi dapat juga terjadi melalui kelenjar keringat, minyak atau folikel rambut (jalur transpendagel/transfolikular) penetrasi traspendagel ini sangat sedikit digunakan untuk transport molekul obat, karena hanya mempunyai daerah yang kecil (< 0,1% dari total permukaan kulit), akan tetapi, penetrasi ini berperan penting pada beberapa senyawa polar dan molekul ion yang hampir tidak berpenetrasi melalui stratum korneum (Moghimi, et al, 1999 dan Swarbrick, 1995).Difusi pasif yaitu proses di mana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien diikuti bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat rendah.

Keterangan :

dQ/dt = laju difusiD = Koefisien difusi obatK = Koefisien partisi obat dalam membran dan pembawaA = Luas permukaan membranh = Tebal membranCs = Konsentrasi obat dalam pembawa C = Konsentrasi obat dalam medium reseptor

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat. Kemampuan berdifusi suatu zat melalui kulit dipengaruhi oleh sifat fisikokimia dari zat aktif (bobot molekul, kelarutan, koefisien partisi) ataupun juga dipengaruhi oleh karakteristik sediaan, basis dan zat-zat tambahan dalam sediaan. d. Peningkat Penetrasi Perkutan (Penetration Enhancers)Bahan tambahan yang dapat berfungsi untuk meningkatkan penembusan zat aktif (penetrant enhancer) terkadang perlu ditambahkan. zat yang dapat meningkatkan permeabilitas obat menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan permanen struktur permukaan kulit. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain air, sulfoksida, senyawa-senyawa azone, pyrollidones, asam-asam lemak, alkohol danglikol, surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid. Air dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi karena air akan meningkatkan hidrasi pada jaringan kulit sehingga akan meningkatkan penghantaran obat baik untuk obat-obat yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Adanya air juga akan mempengaruhi kelarutan obat dalam stratum korneum dan mempengaruhi partisi pembawa ke dalam membran (Williams dan Barry, 2004). Pada asam lemak, semakin panjangnya rantai pada asam lemak maka akan meningkatan penetrasi perkutan. Asam lemak yang biasa digunakan adalah asam oleat, asam linoleat, dan asam laurat. Asam laurat dapat meningkatkan penetrasi senyawa yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Mekanismenya dengan cara berinteraksi dengan lipid pada stratum korneum menggunakan konfigurasi cis (Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry, 2004). Etanol dapat meningkatkan penetrasi dari levonorgestrel, estradiol, dan hidrokortison. Efek peningkatan penetrasi etanol tergantung dari konsentrasi yang digunakan. Fatty alcohol seperti propilen glikol dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi pada konsentrasi 1-10% (Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry, 2004).Persyaratan bahan yang digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain (Williams dan Barry, 2004) : Tidak toksis, tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan alergi Inert, tidak memiliki sifat farmakologi Dapat mencegah hilangnya substansi endogen dari dalam tubuh Dapat bercampur dengan bahan aktif dan bahan pembawa dalam sediaan Dapat diterima oleh tubuh dan dengan segera dapat mengembalikan fungsi kulit ketika dihilangkan dari sediaan Tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan relatif murah

e. Uji difusi in-vitroSuatu uji perlu dilakukan untuk memperkirakan jumlah obat yang mampu berdifusi menembus kulit. Uji tersebut dilakukan secara in-vitro menggunakan bahan dan alat yang mewakili proses difusi obat melewati stratum korneum. Salah satu metode yang digunakan dalam uji difusi adalah metode flow through. Adapun prinsip kerjanya yaitu pompa peristaltik menghisap cairan reseptor dari gelas kimia kemudian dipompa ke sel difusi melewati penghilang gelembung sehingga aliran terjadi secara hidrodinamis, kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor. Cuplikan diambil dari cairan reseptor dalam gelas kimia dengan rentang waktu tertentu dan diencerkan dengan pelarut campur. Kemudian diukur absorbannya dan konsentrasinya pada panjang gelombang maksimum, sehingga laju difusi dapat dihitung berdasarkan hukum Fick di atas. Membrane difusi dapat menggunakan membran sintesis yang menyerupai stuktur stratum korneum ataupun bisa menggunakan bagian kulit dari hewan uji (membran stratum korneum ular) (Gummer, 1989).f. PiroksikamPiroksikam digunakan sebagai model dalam penelitian ini merupakan salah satu obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID) yang memiliki 2 nilai pKa (1.8 dan 5.2) tergantung dari gugus pyridil dan enol yang menyusunnya. Pada kondisi pH tertentu piroksikam dapat berbentuk kationik, netral, dan anionik, pada kondisi pH psikologis piroksikam berbentuk anionik, sehingga piroksikam cocok dengan metoda katoda iontoforesis yaitu menghantarkan anionnya mengalir dari katoda ke anoda (Doliwa, 2001).Piroksikam menyebabkan efek samping di saluran cerna, dan ulkus peptic bila diberikan per oral. Sediaan piroksikam transdermal dibuat untuk menghindari efek samping di saluran cerna. piroksikam berpotensi untuk dikembangkan menjadi sediaan transdermal karena merupakan senyawa yang poten dengan dosis 20 mg sehari dan mempunyai berat molekul 353.

III. Alat dan Bahan Alat Satu set sel difusi Alat-alat gelas. pH meter Spektrofotometer UV Bahan Membran (kulit ular) Larutan piroksikam Dapar fosfat pH 7,4

IV. Prosedur

Buat larutan piroksikam dengan konsetrasi 5 ppm dalam dapar fosfat pH 7,4. Kemudian tentukan panjang gelombang maksimum

Buatlah kurva kalibrasi piroksikam dengan larutan konsentrasi 2-14 ppm

Ukur serapan pada panjang gelombang maksimum yang telah ditentukan

Pasang semua komponen alat uji difusi

0,5 gram gel piroksikam dioleskan secara merata pada membran difusi uji (kulit ular) Letakkan pada lubang alat uji, kemudian dilakukan pengujian selama 2 jam

Cuplikan diambil dengan menggunakan spuit 2 ml, setiap pengambilan selalu diganti dengan dapar fosfat pH 7,4 dengan selang waktu 15, 30, 60, 90, dan 120 menit

Sampel diukur serapannya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 254nm

Tentukan kadar zat terdifusi setiap interval waktu pengujian

Lakukan perhitungan faktor koreksi

Buat grafik difusi piroksikam gel yang menghubungkan antara berat piroksikam terdifusi perluas membran dengan waktu

V. Hasil Pengamatan Berat gel Piroksikam: 0,6 gr Panjang Gelombang: 354 nm

WaktuAbsorbansi

150,076

300,074

600,066

900,062

1200,066

VI. Perhitungan dan Grafik

PERHITUNGAN PEMBUATAN DAPAR POSFAT pH = 7,4M = KH2PO4 = 0,2Mr = 136,08 50 mlNaOH= 0,2 NMr= 40 KH2PO4= 1000 mlm= NaOH= 0,20,2= = 8 gr ad 1L

PERSAMAAN REGRESI LINEAR DARI KURVA BAKUy = 0,0494x + 0,0438R2 = 0,9935

PENENTUAN KADAR T15 0,076= 0,0494x + 0,0438= = = 0,651 g/ml 10 ml= 6,52 g T30 0,074= 0,0494x + 0,0438= = = 0,611 /ml 10 ml= 6,11 g T60 0,066= 0,0494x + 0,0438= = = 0,449 g/ml 10 ml= 4,49 g T90 0,062= 0,0494x + 0,0438= = = 0,368 g/ml 10 ml= 3,68 g T120 0,066= 0,0494x + 0,0438= = = 0,449 g/ml 10 ml= 4,49 g

FAKTOR KOREKSI X15 6,52 g X30 6,11 g + ( X60 4,49 g + (7,02 g X90 3,68 g + X120 4,49 g +

GRAFIK SUMBU Y Y15 Y30 /cm Y60 Y90 Y120

VII. Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai uji difusi in vitro, prinsipnya berdasarkan proses difusi pasif yang bertujuan melihat obat dapat menembus ke dalam stratum korneum atau tidak dan mengetahui seberapa banyak kadar obat yang masuk dalam selang waktu yang telah ditentukan. Uji in vitro adalah prosedur yang menggunakan peralatan dan perlengkapan uji tanpa melibatkan binatang laboratorium atau manusia (Shargel, L., et al., 2012:2). Alat yang digunakan yaitu alat uji difusi dan bahan yang digunakan yaitu dtrstum korneum ular serta gel piroksikam dengan formula 1 yang memiliki indikasi nyeri pasca trauma atau ganggan otot rangka akut meliputi tendinitis, tenosinovitis, periartritis, keseleo, otot tertarik atau nyeri pinggang (Medidata Indonesia, 2011:145), yang digunakan adalah bahan aktif piroksikam karena memiliki BM lebih kecil dan sifatnya yang lebih nonpolar daripada turunan oksikam lainnya, sehingga piroksikam memiliki kemampuan membus kulit ular lebih besar dibandingkan turunan okskam lainya (Soebagio, Boesro dkk, 2011), selain itu tingkat difusi piroksikam ke dalam membran absorbsinya lebih besar jika dalam bentuk gel (mudah berpenetrasi kedalam membran atau sel target) (FI IV, 1995). Mula-mula ditentukan dahulu panjang gelombang maksimal dari piroksikam dengan konsentrasi 5 ppm dalam dapar fosfat pH 7,4 sebagai medium reseptornya dan diperoleh panjang gelombang maksimumnya sebesar 354 nm untuk memperoleh hasil nilai absorbansi yang baik dan sesuai. Setelah itu dibuat kurva baku kalibrasi piroksikam untuk mendapatkan nilai konsentrasi obat pada tiap selang waktu yang telah ditentukan, diperoleh persamaan regresi liniernya y= 0,0494x + 0,0438 dan R2= 0,9935.Alat uji difusi dipasang dan diatur pada suhu 37 C yang sesuai dengan kondisi suhu tubuh pada manusia. Selagi menunggu suhu mencapai 37 C, stratum korneum ular yang sudah mengelupas dipotong secukupnya sesuai diameter alat uji difusi lalu direndam dalam dapar fosfat. Ular merupakan hewan spesies reptil dari ordo squamata, memiliki tubuh yang ditutupi sisik epidermis bertanduk yang secara periodik mengelupas sebagian atau keseluruhan (Webb, J.E., et al., 1981). Stratum korneum ular digunakan sebagai membran difusi agar dapat mengetahui bagaimana proses difusi obat melalui stratum korneum. Membran merupakan struktur utama dalam sel, mengelilingi keseluruhan sel (membran plasma) dan bertindak sebagai pembatas antara sel dan cairan interstisial (Shargel, L., et al., 2012:373).

Gambar. Pengujian Difusi Membran Stratum Korneum UlarPengujian difusi in vitro hanya dilakukan selama 2 jam karena waktu yang kurang memadai. Sediaan obat diberikan dengan rute pemberian secara perkutan (transdermal), yang dioleskan pada stratum korneum ular yang sudah terpasang pada alat uji difusi. Karakterisitik dari pemberian perkutan adalah memiliki bioavailabilitas dengan absorpsi lambat, laju dapat beda, serta absorpsi obat meningkat pada balutan oklusif. Keuntungan pemberian ini adalah sistem pelepasan transdermal (patch), mudah digunakan, dapat digunakan untuk obat larut lemak dengan dosis dan BM rendah. Sedangkan kerugiannya beberapa iritasi oleh patch atau obat, penembusan kulit beda sesuai kondisi, site anatomi, usia & gender,tipe dasar krim atau salap mempengaruhi pelepasan dan absorpsi obat (Shargel, L., 2012:372). Cuplikan diambil 2 ml dan setiap pengambilan selalu diganti dengan dapar fosfat pH 7,4 sebanyak jumlah yang sama juga yang ekivalen dengan cairan fisiologis tubuh manusia, agar kadar obat di dalam cairan tetap sama. Setelah itu dilakukan perhitungan kadar zat terdifusi setiap interval waktu dan diperoleh kadar sebesar t15= 6,52 g, t30= 6,11 g, t60= 4,49 g, t90= 3,68 g, dan t120= 4,49g. Perhitungan faktor koreksi dilakukan agar memiliki nilai konsentrasi sebenarnya, karena pada saat pengambilan sample sebanyak 2 ml di setiap selang waktu dapat saja terjadi kesalahan. Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh dari grafik menunjukkan adanya ketidakstabilan garis yang menunjukkan kadar obat yang berpenetrasi dari membran kulit ular, seharusnya data yang baik akan menunjukkan semakin besar kadar obat yang dapat menembus selama selang waktu yang lama. Akan tetapi, hasil tidak diperoleh dengan cukup baik dikarenakan terdapat kesalahan-kesalahan dalam pengambilan sampel, bentuk sediaan gel karena obat larut lemak cenderung untuk penetrasi ke membran sel lebih mudah daripada molekul polar dan gel mengandung banyak molekul yang polar karena gel piroksikam mengandung komposisi asam oleat dimana asam oleat kurang mampu untuk berpenetrasi ke dalam membran difusi (stratum corneum) atau pun dari faktor-faktor lainnya. Absorpsi sistemik suatu obat bergantung pada 3 hal, yaitu sifat fisiko-kimia obat, sifat produk obat, serta anatomi dan fisiologi site absorpsi obat. Pergerakan transmembran obat dipengaruhi oleh kompisisi dan struktur membran plasma (Shargel, L., 2012:371, 373).Pada umumnya membran sel tipis, tebal kira-kira 70-100 A, membran sel terutama tersusun dari fosfolipid dalam bentuk dua lapis yang terpisahkan dengan gugus karbohidrat dan protein (Shargel, L., 2012:373). Dalam hal ini stratum korneum ular yang dipakai memiliki ketebalan berbeda dengan ketebalan stratum korneum manusia dan setiap bagian-bagian pada tubuh ular memiliki ketebalan stratum korneum yang berbeda-beda sehingga dapat mempengaruhi proses penembusan obat.

VIII. Kesimpulan dan SaranBerdasarkan hasil percobaan yang telah diakukan didapat : 1. Piroksikam adalah obat yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sediaan transdermal,walaupun pada penelitian ini diperoleh bahwa permeabilitas piroksikam adalah kecil dan proses permeasinya perlu dibantu dengan enhancer agar berlangsung lebih cepat.2. Berat piroksikam gel yang terdifusi perluas membran yang didapat dari hasil uji difusi tidak berbanding lurus dengan waktu.3. Ketebalan stratum korneum ular yang digunakan telah menghambat difusi piroksikam.

DAFTAR PUSTAKA

Junqueira, L.C., and J. Cameiro. 1981. Basic Histology, 3rd edition. Lange Medical Publication, Drawer Los Altos, California.

Medidata Indonesia. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 11 2011/2012. Penerbit BIP Kelompok Gramedia, Jakarta.

Said, M.I. 2000. Isolasi dan Identifikasi Kapang serta Pengaruhnya terhadap Sifat Fisik dan Struktur Jaringan Kulit Kambing Pickle serta Wet Blue dengan Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan [Tesis], Progam Studi Ilmu Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Shargel, L.,Wu, S., dan Yu, Andrew B.C. 2012. Biofarmasetika & Farmakokinetika Terapan, Edisi kelima. Airlangga University Press, Surabaya.

Webb, J.E., J.A Walwork and J.H. Elgord. 1981. Guide to Living Reptilians, The Mc Millan Press Ltd., New Delhi.