Laporan Tutorial Sken 3 Blok Gastro
-
Upload
rindy-bukand-rindi -
Category
Documents
-
view
102 -
download
3
description
Transcript of Laporan Tutorial Sken 3 Blok Gastro
- Fisio hepar tlg ditambah ya ber
- Fisio vesica fellea : widya
- anat hepar: tian, berli
- histo hepar: aji
- hub demam dgn ikterik: novi, rindy
- sklera kuning: widya
- proses urin jd coklat: berli
- nyeri perut kanan atas: daniel, aji
- mekanisme sludge + : gea
- interpretasi px penunjang & px fisik:berli, rindy
- DD: daniel
- Gejala klinis & px utk cholelitiasis: novi
- komplikasi: widya
- tatalaksana: daniel, novi, rindy
rumusan mslh, tujuan penulisan, manfaat penulisan nmr 8 sama 10 itu urutannya mending di nmr brp ya?
LAPORAN DISKUSI TUTORIALBLOK GASTROINTESTINAL
SKENARIO 3: “KENAPA BADANKU MENGUNING?”
Disusun Oleh:Kelompok A2
Aisah Kusumaning A (G0011009)Alvian Oscar Irawan (G0011015)Berlian Permata S (G0011053)Daniel Satyo Nurcahyo (G0011061)Eva Karina Puspasari (G0011087)Gefaritza Rabbani (G0011099)Novy Wahyunengsi L (G0011155)Priaji Setiadani (G0011159)Rindy Saputri (G0011175)Septian Sugiarto (G0011195)Widya Wira Utami S (G0011209)
dr. Isdaryanto., PHK, MARS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Warna kekuningan pada tubuh merupakan suatu presentasi keabnormalan tubuh
yang dapat dilihat. Ikterus merupakan warna kekuningan yang biasanya mudah dilihat di
sklera. Ikterus akan mudah terlihat dibawah sinar matahari. Ada bermacam-macam
ikterus, misalnya kuning seperti jerami (pada ikterus hemolitik, anemia pernisiosa);
kuning kehijauan (pada ikterus obstruktif ); kuning keabu-abuan (pada sirosis hepatitis);
kuning agak jingga (pada penyakit Weil) (Lesmana, 2010).
Salah satu penyakit yang berperan pada ikterus obstruktif adalah penyakit batu
empedu. Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara
publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Lesmana, 2010).
Di negara Barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai batu
saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di
dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu
saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia
dibandingkan dengan pasien di negara Barat (Lesmana, 2010).
Untuk membahas lebih lanjut mengenai ikterik maka pada skenario 3 dari blok
gastrointestinal diberikan skenario dengan judul “Kenapa badanku menguning??”
“Seorang laki-laki, usia 38 tahun, datang berobat ke Rumah Sakit (Poliklinik
Penyakit Dalam) dengan keluhan badan dan matanya berwarna kekuningan,
dikeluhkan sejak 3 bulan yang lalu, disertai dengan nyeri di perut kanan atas yang
dirasakan hilang timbul, nyeri terutama dirasakan setelah makan makanan
berlemak. Pasien tidak mengeluh adanya demam sebelum badan dan matanya
menjadi menguning. Kadang-kadang warna kekuningan di badan dan matanya
dirasakan sedikit berkurang. Buang air kecil kecoklatan seperti air teh (+)
Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik (+), nyeri di hypocondrium
dekstrum (-) , teraba massa kistik di hipocondrium dextrum. Hasil laboratorium:
SGOT 38U/L; SGPT 42U/L; Bilirubin Total 12,5 mg/Dl; Bilirubin Direk 11,4 mg/Dl;
Bilirubin Indirek 1,1 mg/Dl. Dilakukan pemeriksaan penunjang Ultrasonografi
abdomen; didapatkan hidrops vesica fellea dengan sludge (+), pelebaran duktus
choledocus dengan bau di distal duktus choledocus ukuran 8 mm.
Dokter menyarankan pasien untuk rawat inap untuk penatalaksanaan lebih
lanjut.“
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi hepar dan vesica fellea?
2. Bagaimana mekanisme metabolisme bilirubin?
3. Mengapa sklera pasien berwarna kuning dan bagaimana patofisiologi ikterik?
4. Adakah hubungan demam dengan timbulnya ikterik?
5. Bagaimana proses terjadinya air urin menjadi coklat?
6. Mengapa warna kekuningan tiba-tiba berkurang?
7. Adakah hubungan antara nyeri perut kanan atas dengan konsumsi lemak?
8. Apa hubungan jenis kelamin dan umur pada keluhan?
9. Apa saja DD yang mungkin?
10. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan fisik?
11. Bagaimana etiologi batu empedu?
12. Bagaimana patofisiologi terbentuknya batu empedu?
13. Bagaimana mekanisme hidrops vesica fellea dan sludge positif?
14. Bagaimana penatalaksanaannya?
15. Bagaimana prognosis dan komplikasinya?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui anatomi, fisiologi, dan histologi hepar dan vesica fellea
2. Mengetahui mekanisme metabolisme bilirubin
3. Mengetahui mekanisme sklera pasien berwarna kuning dan mengetahui patofisiologi
ikterik
4. Mengetahui ada tidaknya hubungan demam dengan timbulnya ikterik
5. Mengetahui proses terjadinya air urin menjadi coklat
6. Mengetahui penyebab warna kekuningan pada tubuh tiba-tiba berkurang
7. Mengetahui hubungan antara nyeri perut kanan atas dengan konsumsi lemak
8. Mengetahui hubungan jenis kelamin dan umur pada keluhan epidemiologi ditaruh
di setelah DD ga sih?
9. Mengetahui DD yang mungkin pada kasus
10. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan fisik
11. Mengetahui etiologi batu empedu
12. Mengetahui patofisiologi terbentuknya batu empedu
13. Mengetahui mekanisme hidrops vesica fellea dan sludge positif
14. Mengetahui penatalaksanaannya
15. Mengetahui prognosis dan komplikasinya
D. MANFAAT PENULISAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi, fisiologi, dan histologi hepar dan vesica
fellea
2. Mahasiswa mampu mengetahui mekanisme metabolisme bilirubin
3. Mahasiswa mampu mengetahui mekanisme sklera pasien berwarna kuning dan
mengetahui patofisiologi ikterik
4. Mahasiswa mampu mengetahui ada tidaknya hubungan demam dengan timbulnya
ikterik
5. Mahasiswa mampu mengetahui proses terjadinya air urin menjadi coklat
6. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab warna kekuningan pada tubuh yang tiba-
tiba berkurang
7. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan antara nyeri perut kanan atas dengan
konsumsi lemak
8. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan jenis kelamin dan umur pada keluhan
9. Mahasiswa mampu mengetahui DD yang mungkin pada kasus
10. Mahasiswa mampu mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan penunjang dan
pemeriksaan fisik
11. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi batu empedu
12. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi terbentuknya batu empedu
13. Mahasiswa mampu mengetahui mekanisme hidrops vesica fellea dan sludge positif
14. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaannya
15. Mahasiswa mampu mengetahui prognosis dan komplikasinya
E. HIPOTESIS
Pasien diindikasikan mengalami batu empedu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Hepar dan Vesica Fellea
Anatomi
Hepar
(Sumber: Netter, 2011)
Vesica Fellea
(sumber: Stranding, 2005)
Bagian-bagian:
1. Fundus: berbentuk bulat dan menonjol di bawah margo inferior hepar. Proyeksi
fundus ke dinding anterior abdomen adalah setinggi ujung cartiolago costae IX
dextra.
2. Corpus: berhubungan dengan facies viceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang,
dan kiri.
3. Infundibulum
4. Collum: bagian yang sempit dan melanjutkan diri sebagai ductus cysticus, yang
berbelok ke dalam omentum minus dan bergabung dengan ductus hepaticus
communis membentuk ductus choledocus.
Fisiologi
Hepar
Salah satu dari fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya 600-1000
ml/hari. Empedu melakukan 2 fungsi penting: Pertama, empedu berperan dalam
pencernaan dan absorbsi lemak, bukan karena enzim empedu yang menyebabkan
pencernaan lemak, tetapi karena asam empedu dalam empedu melakukan 2 hal: (1) asam
empedu membantu mengemulsikan partikel lemak yang besar dalam makanan menjadi
banyak partikel kecil, permukaan partikel tersebut dapat diserang oleh enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, dan (2) asam empedu membantu absorbsi produk
akhir lemak yang telah dicerna melalui membran mukosa intestinal. Kedua, empedu
bekerja sebagai alat untuk mengeluarkan produk buangan dari darah. Hal ini terutama
meliputi bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan
kolesterol. (Guyton, 2008)
Empedu disekresikan dalam 2 tahap oleh hati: (1) Bagian awal disekresikan oleh sel
hepatosit; sekresi awal ini mengandung sejumlah besar asam empedu, kolesterol, dan zat-
zat organik lainnya. Kemudian empedu disekresikan ke dalam kanalikuli biliaris di antara
sel hati. (2) Kemudian, empedu mengalir di dalam kanalikuli menuju septa interlobularis,
tempat kanalikuli mengeluarkan empedu ke dalam duktus biliaris terminal dan kemudian
secara progresif ke dalam duktus yang lebih besar, akhirnya mencapai duktus duktus
hepatikus dan duktus biliaris komunis. Dari sini empedu langsung dikeluarkan ke dalam
duodenum atau dialihkan melalui duktus sistikus ke dalam kandung empedu. (Guyton,
2008)
Empedu disekresi terus menerus oleh sel hati, namun sebagian besar normalnya
disimpan dalam kandung empedu sampai diperlukan di dalam duodenum. Volume
maksimal yang dapat ditampung kandung empedu hanya 30-60 ml. Meskipun demikian,
sekresi empedu selama 12 jam (450 ml) dapat disimpan dalam kandung empedu karena
air, natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terus menerus
diabsorbsi melalui mukosa kandung empedu, memekatkan sisa zat-zat empedu yang
mengandung garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin. Kebanyakan absorbsi ini
disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini
diikuti oleh absorbsi sekunder ion klorida, dan kebanyakan zat-zat terdifusi lainnya.
(Guyton, 2008)
Mekanisme pengosongan kandung empedu adalah kontraksi ritmis dinding kandung
empedu, tetapi pengosongan yang efektif juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan
dari sfingter Oddi, yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis ke dalam
duodenum. Rangsangan paling poten yang menyebabkan kontraksi kandung empedu
adalah hormon kolesistokinin. Hormon ini menyebabkan peningkatan sekresi enzim
pencernaan oleh sel asiner pankreas. Rangsangan untuk memasukkan kolesistokinin ke
dalam darah dari mukosa duodenum teutama adalah kehadiran makanan berlemak dalam
duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang secara kurang kuat
oleh serabut saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik usus.
Keduanya adalah saraf yang meningkatkan motilitas dan sekresi dalam bagian lain traktus
gastrointestinal bagian atas. (Guyton, 2008)
Vesica Fellea
Histologi
Hepar
Vesica Fellea
Empedu yang dihasilkan hepatosit mengalir melalui kanalikuli biliaris, duktulus
biliaris, dan duktus biliaris. Struktur ini secara berangsur bergabung, membentuk
anyaman yang berkonvergensi membentuk duktus hepatik. Duktus hepatik, setelah
bergabung dengan duktus sistikus dari kandung empedu, berlanjut ke duodenum sebagai
duktus koledokus (Mescher, 2011).
Gbr. 1 Saluran empedu dan kandung empedu (Mescher, 2011).
Duktus hepatikus, duktus sistikus, dan duktus koledokus dilapisi membran mukosa
dengan epitel selapis silindris kolangiosit. Lamina propia dan submukosanya relatif tipis,
dengan kelenjar mukosa di sejumlah area duktus sistikus, dan dikelilingi muskularis yang
tipis. Lapisan otot ini bertambah tebal dekat duodenum dan akhirnya, pada bagian
intramural, membentuk sfingter yang mengatur aliran empedu.
Kandung empedu adalah organ berongga berbentuk buah pir, yang melekat pada
permukaan bawah hati, dan mampu menyimpan 30-50 mL empedu. Dinding kandung
empedu terdiri atas mukosa yang terdiri atas epitel selapis silindris, dan lamina propia,
muscularis tipis dengan berkas serabut otot yang tersusun dalam beberapa arah, dan
lapisan adventisia eksternal atau serosa. Mukosa memiliki banyak sekali lipatan yang
sangat jelas ketika kandung empedu kosong (Mescher, 2011).
Gbr. 2 Kandung empedu. Dindingnya terutama terdiri atas lipatan mukosa, dengan epitel kolumnar selapis (panah) yang berada di atas lamina propia (LP) yang khas; suatu muskularis (M) dengan berkas serabut otot yang terorientasi
dalam segala arah untuk mempermudah pengosongan organ; suatu adventisia eksternal (A) yang menghadap hati dan serosa yang terpajan (Mescher, 2011).
Sel epitel pelapis memiliki banyak mitokondria, mikrovili, dan ruang antarsel, yang
kesemuanya mengindikasikan sel absorptif aktif. Fungsi utama kandung empedu adalah
menyimpan empedu, memekatkan dengan menyerap airnya dan melepaskan bila
diperlukan ke dalam saluran cerna. Proses tersebut bergantung pada mekanisme transpor
aktif natrium pada epitel kandung empedu dengan penyerapan air dari empedu, suatu
konsekuensi osmotik pompa natrium. Kontraksi otot polos kandung empedu diinduksi
oleh kolesistokinin (CCK) yang dilepaskan dari sel enteroendokrin usus halus. Pelepasan
CCK selanjutnya dirangsang oleh keberadaan lemak dalam diet di usus halus.
Pengangkatan kandung empedu akibat obstruksi atau peradangan kronis menyebabkan
aliran langsung empedu dari hati ke usus, dengan sedikit pengaruh bermakna dalam
pencernaan (Mescher, 2011).
B. Mekanisme Metabolisme Bilirubin
Sekitar 80-85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem
monosit-makrofag. Sedangkan 15-20% bilirubin berasal dari destruksi sel eritrosit matur
dalam sumsum tulang dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati. (Price, 2006)
Pada katabolisme hemoglobin (terutama dalam limpa), globin mula-mula dipisahkan
dari heme, setelah itu heme diubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi
kemudian dibentuk dari biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak, tidak
larut dalam air, dan tidak dapat diekskresi dalam empedu atau urine. Bilirubin tak
terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut air, kemudian
diangkut oleh darah ke sel hati. Metabolisme di dalam hati berlangsung dalam 3 langkah:
(1) Ambilan, ambilan oleh sel hati memerlukan 2 protein hati, yaitu protein Y dan Z. (2)
Konjugasi, konjugasi bilirubin dengan asam glukoronat dikatalisis oleh enzim glukoronil
transferase dalam retikulum endoplasma. (3) Ekskresi, bilirubin terkonjugasi tidak larut
dalam lemak tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urine.
Transpor bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu
proses aktif. (Price, 2006)
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang
disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna coklat.
Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil
diekskresi dalam empedu. (Price, 2006)
C. Mekanisme Sklera Pasien Berwarna Kuning dan Patofisiologi Ikterik
Mekanisme patofisiologi ikterik:
1. Pembentukan bilirubin berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab
tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering
disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung
normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Bilirubin
tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat diekskresi dalam urin dan
tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian, terjadi peningkatan pembentukan
urobilinogen (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan
konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan urin. Urin dan feses berwarna lebih gelap.
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
Ambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel hati dilakukan
dengan memisahkan dan mengikatkan bilirubin dengan terhadap protein penerima.
Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh
hati: asam flavaspidat, novosbiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat
pencetus dihentikan.
3. Gangguan konjugasi oleh bilirubin
Gangguan konjugasi bilirubin disebabkan olah defisiensi enzim glukoronil
transferase, sehingga bilirubin tak terkonjugasi tidak bisa diubah menjadi bilirubin
terkonjugasi yang kemudian menyebabkan peningkatan kadar bilirubin tak
terkonjugasi dan menimbulkan ikterus.
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik
dan ekstrehepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanis
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional
maupun obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine dan
menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen feses dan
urobilinogen urine sering menurun sehingga feses terlihat pucat. Perubahan warna
berkisar dari oranye-kuning muda atau tua sampai kuning-hijau muda atau tua bila
terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus
kolestatik atau ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar
hati).
(Price, 2006)
Gambaran khas ikterus hemolitik, hepatoselular, dan obstruksi
Gambaran Hemolitik Hepatoselular Obstruksi
Warna kulit Kuning pucat Orange-kuning
muda/tua
Kuning-hijau
muda/tua
Warna urine Normal/gelap karena
urobilin
Gelap karena bilirubin
direk
Gelap karena
bilirubin direk
Warna feses Normal/gelap karena
sterkobilin
Pucat karena sedikit
sterkobilin
Pucat karena
sedikit sterkobilin
Bilirubin
serum indirek
Meningkat Meningkat Meningkat
Bilirubin
serum direk
Normal Meningkat Meningkat
Bilirubin urine Tidak ada Meningkat Meningkat
Sumber: Price, 2006
D. Hubungan Demam dengan Timbulnya Ikterik
E. Proses Terjadinya Air Urin Menjadi Coklat
F. Penyebab Warna Kekuningan pada Tubuh yang Tiba-Tiba Berkurang
G. Hubungan antara Nyeri Perut Kanan Atas dengan Konsumsi Lemak
Karena mengonsumsi lemak, maka mukosa duodenum terangsang untuk
mengeluarkan hormon kolesistokinin dimana hormon ini akan merangsang vesica fellea
untuk kontraksi dan mengeluarkan getah empedu yang berguna untuk memetabolisme
lemak di duodenum. Apabila terjadi obstruksi pada saluran empedu, maka hal ini dapa
menyebabkan kolik sehingga terasa nyeri pada perut kanan atas.
H. Hubungan jenis kelamin dan umur pada keluhan
I. DD
1. Cholangiocarcinoma
Gejala cholangiocarcinoma antara lain ikterik, tinja berwarna tanah liat,
bilirubinuria (urin gelap), pruritus, penurunan berat badan, dan sakit perut. Penyakit
kuning adalah manifestasi paling umum dari kanker saluran empedu dan dapat
dideteksi di bawah sinar matahari langsung. Obstruksi dan kolestasis cenderung
terjadi lebih awal jika tumor ini terletak di duktus empedu atau saluran hepatik.
Kelebihan bilirubin terkonjugasi dikaitkan dengan bilirubinuria dan tinja acholic.
Pruritus biasanya didahului oleh ikterik, tapi rasa gatal mungkin gejala awal
cholangiocarcinoma. Pruritus mungkin terkait dengan beredar asam empedu. Berat
badan adalah temuan variabel dan dapat hadir dalam sepertiga pasien pada saat
diagnosis. Nyeri perut relatif umum pada penyakit lanjut dan sering digambarkan
sebagai rasa nyeri di kuadran kanan atas.
J. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Penunjang dan Pemeriksaan Fisik
Uji fungsi empedu
Uji Nilai normal Makna klinis
Bilirudin serum
direk
0,1-0,3 mg/dl Meningkat bila terjadi gangguan ekskresi bilirubin
terkonjugasi
Bilirubin serum
indirek
0,2-0,7 mg/dl Meningkat bila terjadi hemolitik dan sindrom
Gilbert
Bilirubin serum
total
0.3-1 mg/dl Meningkat pada hepatoselular
Bilirubin urine 0 Bilirubin terkonjugasi akan diekskresikan dalam
urin bila kadarnya meningkat dalam serum,
mengesankan pada obstruksi pada sel hati atau
saluran empedu
Sumber: Price, 2006
K. Etiologi Batu Empedu
Batu empedu kolesterol, batu empedu pigmen hitam, dan batu empedu pigmen
coklat memiliki patogenesis berbeda dan faktor risiko yang berbeda.
1. Batu empedu kolesterol
Batu empedu kolesterol berhubungan dengan jenis kelamin perempuan, keturunan
Eropa atau penduduk asli Amerika, dan bertambahnya usia. Faktor risiko lain
meliputi:
a. Kegemukan
b. Kehamilan
c. Kandung empedu stasis
d. obat-obatan
e. keturunan(Heuman, 2013).
Sindrom metabolik, resistensi insulin, diabetes melitus tipe II, hipertensi, dan
hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hati dan
merupakan faktor risiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol
(Heuman, 2013).
Batu empedu kolesterol lebih sering terjadi pada wanita yang telah mengalami
banyak kehamilan. Hal ini terjadi karena tingkat progesteron yang tinggi selama
kehamilan. Progesteron mengurangi kontraktilitas kandung empedu, menyebabkan
retensi getah empedu yang berkepanjangan dan konsentrasinya secara otomatis
menjadi lebih pekat (Heuman, 2013).
Sejumlah obat juga berhubungan dengan pembentukan batu empedu kolesterol.
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat,
dapat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol dengan cara meningkatkan sekresi
kolesterol empedu. Obat clofibrate dan hipolipidemik fibrat meningkatkan
pembuangan kolesterol hepatik melalui sekresi empedu dan tampaknya meningkatkan
risiko batu empedu kolesterol. Analog dengan somatostatin, yang merupakan
predisposisi batu empedu dengan mengurangi kemampuan pengosongan kandung
empedu (Heuman, 2013).
Sekitar 25% kasus batu empedu kolesterol tampaknya turun-temurun. Setidaknya
selusin gen mungkin berkontribusi terhadap peningkatan risiko. Sebuah sindrom
langka cholelithiasis terkait fosfolipid yang rendah, terjadi pada individu dengan
defisiensi herediter dari protein transportasi empedu yang diperlukan untuk sekresi
lesitin(Heuman, 2013).
2. Batu empedu pigmen hitam dan coklat
Batu empedu pigmen hitam terjadi pada individu dengan pergantian atau sirkulasi
heme yang tinggi. Gangguan hemolisis yang berhubungan dengan batu empedu
pigmen antara lain anemia sel sabit, sferositosis herediter, dan beta-thalassemia. Pada
sirosis dan hipertensi portal menyebabkan splenomegali. Hal ini menyebabkan
penyerapan sel darah merah meningkat, yang mengarah ke peningkatan omset
hemoglobin. Sekitar setengah dari semua pasien sirosis memiliki batu empedu pigmen
(Heuman, 2013).
Syarat untuk terjadinya pembentukan batu empedu pigmen coklat antara lain
stasis intraduktal dan kolonisasi kronis empedu oleh bakteri. Di Amerika Serikat,
kombinasi ini paling sering ditemui pada pasien dengan pascaoperasi penyempitan
empedu atau kista choledochal (Heuman, 2013).
Daerah persawahan di Asia Timur, infestasi cacing pada tubuh dapat
menghasilkan penyempitan empedu dan predisposisi pembentukan batu pigmen
coklat sepanjang saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik. Kondisi ini
(hepatolithiasis) menyebabkan kolangitis berulang dan predisposisi sirosis bilier dan
cholangiocarcinoma (Heuman, 2013).
3. Komorbiditas lain
Penyakit Crohn, reseksi ileum, atau penyakit lain dari ileum menurunkan
reabsorpsi garam empedu dan meningkatkan risiko pembentukan batu empedu
(Heuman, 2013).
L. Patofisiologi Terbentuknya Batu Empedu
Pembentukan batu empedu terjadi karena zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutannya. Empedu yang terkonsentrasi di kantong
empedu dapat menjadi jenuh dengan zat ini, yang kemudian mengendap sebagai larutan
kristal mikroskopis. Kristal terjebak dalam lendir kandung empedu sehingga terbentuk
lumpur/sludge kantong empedu. Seiring waktu, kristal tumbuh, beragregat, dan
bergabung membentuk batu makroskopik. Oklusi saluran oleh lumpur dan / atau batu
menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu. Dua zat utama yang terlibat dalam
pembentukan batu empedu adalah kolesterol dan kalsium bilirubinate (Heuman, 2013).
Pada batu empedu kolesterol, faktor utama yang menentukan apakah batu empedu
kolesterol akan membentuk adalah (1) jumlah kolesterol yang disekresikan oleh sel-sel
hati, relatif terhadap lesitin dan garam empedu, dan (2) tingkat konsentrasi dan tingkat
stasis empedu di kandung empedu (Heuman, 2013).
Pada batu kalsium, bilirubin, dan batu empedu pigmen, bilirubin (pigmen kuning
yang berasal dari pemecahan heme) secara aktif disekresikan ke dalam empedu oleh sel-
sel hati. Sebagian besar bilirubin dalam empedu dalam bentuk konjugat glukuronat, yang
cukup larut dalam air dan stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari unconjugated bilirubin.
Unconjugated bilirubin, seperti asam lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya,
cenderung membentuk endapan tidak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu
secara pasif bersama dengan elektrolit lain (Heuman, 2013).
Dalam sirkulasi heme yang tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, unconjugated
bilirubin dapat hadir dalam empedu dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari
konsentrasi normal. Kalsium bilirubinate kemudian dapat mengkristal dari larutan dan
akhirnya membentuk batu. Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan endapan
bilirubin menjadi warna hitam pekat dan batu yang terbentuk dengan cara ini disebut
batu empedu pigmen hitam. Batu pigmen hitam mewakili 10-20% dari batu empedu di
Amerika Serikat (Heuman, 2013).
Empedu biasanya steril, namun dalam beberapa situasi yang tidak biasa (misalnya
pada striktur bilier), mungkin akan menjadi tempat tinggal bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dan menyebabkan kenaikan unconjugated bilirubin
sehingga menyebabkan pengendapan kristal kalsium bilirubinate(Heuman, 2013).
Bakteri juga menghidrolisis lesitin untuk melepaskan asam lemak, dimana asam
lemak juga dapat mengikat kalsium dan mengendap. Endapan yang dihasilkan memiliki
konsistensi seperti tanah liat dan disebut batu pigmen coklat. Tidak seperti kolesterol
atau batu empedu pigmen hitam, yang membentuk hampir secara eksklusif di kantong
empedu, batu empedu pigmen coklat sering membentuk de novo pada saluran empedu.
Batu empedu pigmen coklat yang tidak biasa di Amerika Serikat tetapi cukup umum di
beberapa bagian Asia Tenggara, kemungkinan berhubungan dengan infestasi cacing hati
(Heuman, 2013).
Pada batu empedu kolesterol, daerah kantung empedu bisa diserang oleh bakteri dan
dapat menimbulkan peradangan mukosa kandung empedu. Enzim litik dari bakteri dan
leukosit menghidrolisis bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya batu kolesterol
dapat terakumulasi dengan kalsium bilirubinate dan garam kalsium lainnya yang
menghasilkan batu empedu campuran (Heuman, 2013).
M. Mekanisme Hidrops Vesica Fellea dan Sludge Positif
Pembentukan batu empedu terjadi karena zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutannya. Empedu yang terkonsentrasi di kantong
empedu dapat menjadi jenuh dengan zat ini, yang kemudian mengendap sebagai larutan
kristal mikroskopis. Kristal terjebak dalam lendir kandung empedu sehingga terbentuk
lumpur/sludge kantong empedu. Seiring waktu, kristal tumbuh, beragregat, dan
bergabung membentuk batu makroskopik. Oklusi saluran oleh lumpur dan / atau batu
menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu. Dua zat utama yang terlibat dalam
pembentukan batu empedu adalah kolesterol dan kalsium bilirubinate (Heuman, 2013).
N. Penatalaksanaan
O. Prognosis dan Komplikasi
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
B. SARAN
Kami masih ingin mempelajari hal-hal lain seperti sirosis hepar, hepatitis, gastritis dan lain-lain karena memiliki tingkat kompetensi yang tinggi. Namun waktu yang diberikan begitu sedikit sehingga kami hanya membahas mengenai scenario-skenario yang ada. Oleh karena itu, kami member saran agar waktu untuk blok Gastrointestinal diperpanjang agar kami dapat mengenal lebih dalam mengenai penyakit penting lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta:
EGC
Heuman, DM et al. 2013. Cholelithiasis. New York: Medscape
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview#a0104
tanggal 13 Mei 2013.
Lesmana, LA. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Penyakit Batu Empedu. Jakarta:
Interna Publishing.
Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junqueira: Teks dan Atlas Edisi 12. Jakarta:
EGC
Netter, FH et al. 2011. Atlas of Human Anatomy Fifth Edition. Philadelphia: Elsevier Inc
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC
Stranding, S et al. 2005. Gray’s Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice Thirty-
Ninth Edition. London: Elsevier Ltd