Laporan Tutorial Blok 11 Skenario 1
-
Upload
eddie-wyatt -
Category
Documents
-
view
280 -
download
24
description
Transcript of Laporan Tutorial Blok 11 Skenario 1
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 1
Seorang laki-laki berusia 56 tahun datang ke poliklinik Paru ke RS Dr.
Moewardi dengan keluhan utama batuk berdahak bercampur darah. Keluhan batuk
berdahak sejak lebih dari 2 minggu yang lalu, batuk darah terjadi dua hari sebelum
datang ke poliklinik. Pasien juga mengeluh sering masuk angin, demam sumer-sumer,
nyeri tulang, dan sendi, mudah capek dan lelah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 110/80 mmHg, RR: 26x/menit, suhu
37,6°C, dan denyut nadi 88 kali/menit. Pada auskultasi kedua lapang paru, didapatkan
suara ronkhi di lapang paru kanan. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan
radiologis thorax PA, didapatkan gambaran garis-garis fibrotic dan perselubungan
seperti awan di lapangan paru atas kanan. Kemudian oleh dokter pasien direncanakan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan.
1
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah 1 : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario
a. Demam sumer-sumer adalah suhu tubuh meningkat tapi tidak terlalu
tinggi
b. Dahak adalah sputum, merupakan hipersekresi mukus yang menjadi tanda
adanya suatu infeksi; Dahak atau sputum merupakan sekresi bronkus yang
berlebihan dan merupakan manifestasi perdarahan dan infeksi. Umumnya
warnanya putih atau abu-abu.
c. Ronkhi adalah bunyi tambahan pernafasan seperti bunyi gaduh yang
sangat dalam, biasanya terjadi saat fase ekspirasi. Bunyi ini terjadi karena
adanya udara yang melewati saluran nafas yang menyempit.
d. Hemoptisis adalah batuk dengan sputum yang diekspektorasikan
bercampur dengan darah. Darah yang dikeluarkan berasal dari saluran
nafas, dan bukan berasal dari hidung, mulut, atau dimuntahkan.
2. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan
a. Bagaimanakah patogenesis dari batuk, batuk berdahak dan batuk
berdarah?
b. Bagaimana klasifikasi dari jenis-jenis batuk dan penyebabnya?
c. Apakah ada hubungan antara keluhan utama dengan keluhan penyerta?
d. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien?
e. Apa saja pembagian suara nafas tambahan dan apa penyebabnya?
f. Bagaimana suara nafas dasar?
2
g. Apa saja pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis pada kasus tersebut?
h. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi dari sistem pernafasan
manusia?
i. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan radiologis dan apa saja kelainan
yang terkait?
j. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus di atas?
k. Bagaimana klasifikasi dari sputum?
l. Apa saja diagnosis banding dari kasus tersebut?
3. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2)
a. Setiap batuk terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks. Hal ini
diprakarsai oleh iritasi reseptor batuk yang berada pada trakea, carina, titik
percabangan saluran udara besar, dan saluran udata yang lebih kecil di
bagian distal.
Reseptor juga terdapat di faring. Reseptor laring dan tracheobronchial
berespon baik terhadap rangsangan mekanik dan kimia. Reseptor kimia
peka terhadap asam, panas, dan senyawa capsaicin seperti memicu refleks
batuk melalui reseptor aktivasi tipe 1 vanilloid (capsaicin). Selain itu,
reseptor saluran napas yang lebih dalam ada di kanal eksternal auditori,
gendang telinga, sinus paranasal, faring, diafragma, pleura, perikardium,
dan perut. ini merupakan reseptor mekanik saja yang dapat diranngsang
oleh pemicu sepert sentuhan atau perpindahan.
Anatomi refleks batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk terletak
dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan
sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya di gaster.
Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada faring, laring, trakea, karina,
dan bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang
3
telinga tengah, pleura, dan gaster. Ujung saraf aferen batuk tidak
ditemukan di bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru
tidak mempunyai resptor batuk. Reseptor ini dapat terangsang secara
mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas yang merangsang), atau secara
termal (udara dingin). Mereka juga bisa terangsang oleh mediator lokal
seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan lain-lain, juga oleh
bronkokonstriksi.
b. Klasifikasi batuk
1) Batu berdahak (productive cough) adalah batuk yang menghasilkan
dahak atau lender baik yang mudah atau sulit dikeluarkan. Penyebab
batuk berdah antara lain: penyakit akibat virus, infeksi, penyakit paru-
paru kronis, asam lambung naik, nasal discharge, merokok atau
penggunaan tembakau lainnya.
2) Batuk kering (non-productive cough) merupakan batuk yang tidak
menghasilkan dahak atau lendir. Ada banyak penyebab batuk kering,
antara lain: penyakit virus, bronkospasme, alergi, obat darah tinggi,
asma, paparan debu atau bahan kimia, penyumbatan jalan napas oleh
suatu benda yang dihirup.
c. Dijadikan LO
d. Dijadikan LO
e. Suara nafas tambahan
1) Ronki Basah (crackles atau rales)
Berupa suara napas diskontinyu, nonmusikal, dan pendek. Bisa
dijumpai pada awal inspirasi, akhir inspirasi, dan pertengahan inspirasi
dan ekspirasi. Ronki basah terjadi karena abnormalitas pada jaringan
paru (peneumonia, fibrosis) atau pada jalan napas (bronkitis,
4
bronkiektasis). Adanya ronki menandakan adanya peningkatan sekresi
di saluran napas besar.
Ronki basah halus mempunyai intensitas lembut, nada tinggi
dengan durasi sangat singkat. Sementara itu, ronki basah kasar
intensitasnya lebih keras, nada lebih rendah dengan durasi sedikit lebih
lama, ronki basah kasar biasanya pada asma dan bronkitis kronis.
2) Wheezing (Mengi)
Merupakan suara napas tambahan yang bersifat kontinyu,
musikal, nada tinggi dengan durasi panjang. Terjadi bila aliran udara
secara cepat melewati saluran napas yang mendatar atau menyempit.
Wheezing dapat terdengar di seluruh lapang paru disebabkan oleh
asma, PPOK, dan penyakit jantung kongestif. Pada asma, wheezing
terdengar saat ekspirasi atau diantara dua siklus napas. Wheezing yang
terdengar hanya pada lokasi tertentu menandakan adanya obstruksi
parsial bronkus, misalnya ada benda asing atau tumor
3) Stridor
Wheezing yang terdengar saat inspirasi dan menyeluruh disebut
stridor. Umumnya terdengar lebih keras di leher dibandingkan di
dinding dada. Stridor ini menandakan adanya obstruksi parsial pada
laring atau trakea.
4) Pleural Friction Rub
Timbul akibat permukaan pleura yang mengalami inflamasi dan
kasar saling bergesekan satu sama lain. Gesekan biasanya terjadi pada
sebagian kecil area dinding dada saat fase inspirasi maupun ekspirasi.
Ketika permukaan pleura terendam cairan, suara gesekan tadi akan
menghilang.
5
5) Suara napas transmisi
Apabila terdengar suara bronkial atau bronkovesikular yang
tidak pada tempatnya, maka harus dinilai suara yang ditransmisikan.
Bronkofoni, pasien diminta mengatakan “tujuh-tujuh” berulang-
ulang. Normalnya, bunyi yang ditransmisikan melalui dinding dada
tidak terdengar jelas. Jika terdengar lebih keras atau lebih jelas maka
disebut bronkofoni.
Egofoni, pasien diminta mengatakan “ee”. Apabila yang
terdengar adalah ‘ay’’ bukan “ee”, atau terdapat perubahan bunyi E
menjadi A maka disebut egofoni. Biasanya dijumpai pada pasien
pneumonia.
Whispered Pectoriloquy, pasien diminta membisiskkan
“sembilanpuluh sembilan” atau “satu dua tiga” berulang-ulang.
Normalnya suara yang ditransmisikan melalui dinding dada tidak jelas
terdengar, bahkan tidak terdengar sama sekali. Bila suara bisikan yang
ditransmisikan terdengar lebih jelas, maka disebut whispered
pectoriloquy.
f. Suara nafas dasar
6
g. Dijadikan LO
h. Anatomi, histologi, dan fisiologi sistem pernafasan
Anatomi dari system pernafasan terdiri dari: nasus, larynx, trachea,
bronchi, pulmo, pleura, otot pernafasan. Sistem pernapasan manusia
dewasa terbagi menjadi beberapa organ besar yaitu:
1. Hidung (nasi)
2. Tenggorok (larynx)
3. Trachea
4. Bronchus
5. Paru (pulmo)
Selain itu juga terdapat organ-organ lain yang akan dijelaskan lebih lanjut
di bawah ini .
1. NASI
Nasi (hidung) dibentuk oleh os nasale dan tulang rawan. Pada nasi,
terdapat:
a. Nares anterior, menghubungkan rongga hidung atau cavum nasi
dengan dunia luar. Nares ini akan bermuara menuju vestibulum nasi.
b. Cavum nasi, dilapisi selaput lendir yang sangat kaya pembuluh darah
dan selaput lendir pada sinus yang mempunyai lubang yang
berhubungan dengan rongga hidung.
c. Septum nasi, memisahkan cavum nasi menjadi dua. Struktur tipis ini
terdiri dari tulang keras dan tulang rawan, dapat membengkok ke satu
sisi lain, dan kedua sisinya dilapisi oleh membran mukosa. Di bagian
posterior septum nasi, terdapat os ethmoidale di superior dan vomer di
inferiornya.
d. Sinus paranasalis, ruang dalam tengkorak yang berhubungan melalui
lubang kedalam cavum nasi. Sinus ini dilapisi oleh membrana mukosa
yang bersambungan dengan cavum nasi. Lubang yang membuka ke
dalam cavum nasi : (1) nares anterior (2) sinus sphenoidalis, diatas
7
concha superior (3) sinus ethmoidalis, oleh beberapa lubang diantara
concha superior dan media dan diantara concha media dan inferior (4)
sinus frontalis, diantara concha media dan superior (5) ductus
nasolacrimalis, dibawah concha inferior
2. PHARYNX
Pharynx adalah saluran berotot yang berjalan dari dasar tengkorak
sampai persambungannya dengan oesophagus sebatas tulang rawan
cricoid. Terletak di belakang larynx (laryngopharyngeal). Oropharynx
adalah bagian dari pharynx dan merupakan gabungan sistem respirasi
dan pencernaan.
3. LARYNX
Terletak pada garis tengah bagian depan leher (sebelah dalam dari
kulit, glandula thyroidea, dan beberapa otot kecil), di depan
larynxopharynx dan bagian atas oesophagus. Membrana mukosa
larynx sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri dari sel-
sel silinder yang bersilia. Larynx merupakan struktur yang lengkap
terdiri atas:
a. Cartilago, yaitu cartilago thyroidea, epiglottis, cartilago cricoidea,
dan dua cartilago arytenoidea.
b. Membrana, menghubungkan cartilago satu sama lain dan
menghubungkan kartilago dengan os hyoideum, membrana
mukosa, plika vocalis, dan otot yang bekerja pada plica vocalis.
4. TRACHEA
Trachea adalah tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10
cm dengan lebar 2,5 cm. Trachea berjalan dari cartilago cricoidea ke
bawah pada bagian depan leher dan di belakang manubrium sterni,
berakhir setinggi angulus sternalis (taut manubrium dengan corpus
sterni) atau sampai kira-kira ketinggian vertebrata thoracicae V dan
bercabang menjadi dua bronchus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 -
8
20 cincin terbuka yang terbentuk dari tulang rawan hyalin yang
berbentuk setengah lingkaran pada bagian antero lateralnya. Tulang
rawan ini diikat bersama oleh jaringan elastis yang melengkapi
lingkarannya di sebelah belakang trachea yang selain itu juga memuat
beberapa jaringan otot. Kedua jaringan ini membentuk pars
membranasea yang akan menyebabkan lumen trachea menyempit saat
ekspirasi dalam ataupun batuk. Pada bagian dalam lapisan otot dan
tulang rawan ini didapatkan suatu jaringan ikat yang mengandung
serabut saraf dan kelenjar mukus. Di membran mukosanya dapat
ditemukan sel-sel goblet, sel-sel bersilia dan sel-sel epitel.
5. BRONCHUS-ALVEOLI
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada
ketinggian kira-kira vertebrae thoracica V, mempunyai struktur serupa
dengan trachea dan mukosanya dilapisi oleh jenis sel yang sama. Di
bagian dalam dapat ditemukan tulang rawan, jaringan elastis, jaringan
retikuler, otot polos kapiler, jaringan limfatik dan serabut saraf.
Antara jaringan itu dapat ditemukan PMN, sel limfosit dan sel mast.
Semakin kecil bronki, tulang rawannya semakin berbentuk lempeng
kecil hingga akhirnya hilang pada bronkiolus. Jumlah sel goblet juga
menurun dengan semakin kecilnya bronki hingga hilang pada
bronkiolus respiratorius. Sekret mukus yang dihasilkan oleh sel goblet
dan kelenjar mukus melapisi bagian luar sel silia.
Bronchi (jamak) berjalan ke bawah dan menyamping, ke arah
hilus pulmonalis. Bronchus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan lebih
vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis
dan mengeluarkan sebuah cabang utama di bawah arteri yang disebut
bronchus lobus inferior. Bronchus kiri lebih panjang dan lebih
langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis
9
sebelum di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan ke lobus
pulmo atas dan bawah.
Tempat pertukaran gas asinus dimulai dari bronchiolus
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli
pada dindingnya. Lalu bronchiolus respiratorius melanjutkan diri
menjadi ductus alveolaris yang berujung pada sakus alveolaris
terminalis yang merupakan akhir pulmo dan berisi alveolus. Dinding
alveolus (alveolar-capillary membrane) berperan dalam pertukaran gas
dari/ke udara/darah. Permukaan alveoli merupakan tempat sintesis
bahan surfaktan dan terdapat pula sel histiosit dan makrofag yang
bersifat fagositosis. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan
pori-pori kohn. Terdapat sekitar 27 kali percabangan mulai dari
trachea sampai saccus alveolaris. Lapisan alveolus dan endotel kapiler
dihubungkan oleh jaringan interstisiil yang terdiri dari jaringan elastis,
retikuler, dan kolagen. Jaringan ini berfungsu untuk mencegah
terjadinya perluasan yang berlebihan dari alveoli serta memberi sifat
elastis pada paru.
6. PULMO
Pulmo terdapat dalam rongga thorax kiri dan kanan. Pulmo
memilki :
a. Apex, apex pulmo meluas ke dalam leher sekitar 2,5 cm diatas
clavicula.
b. Permukaan costo vertebra, menempel pada bagian dalam dinding
dada
c. Permukaan mediastinal, menempel pada perikardium dan jantung
d. Basis, berhadapan dengan diafragma
Pulmo dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral
pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang
berfungsi untuk lubrikasi dan mencegah uap-uap H2O yang ada di
10
alveolus saling tarik-menarik. Pulmo kanan dibagi atas tiga lobus yaitu
lobus superior, medius dan inferior sedangkan pulmo kiri dibagi dua
lobus yaitu lobus superior dan inferior dan satu lingula pulmo sebagai
bakal lobus media yang tidak sempurna. Tiap lobus dibungkus oleh
jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula,
bronchial venula, ductus alveolar, saccus alveolar dan alveoli. Lobus
paru terdiri dari primary lobules (asini/ terminal respiratory unit) dan
secondary lobules yang merupakan gabungan dari 5-10 asini.
Diperkirakan bahwa stiap pulmo mengandung 150 juta alveoli,
sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat
permukaan/pertukaran gas.
Pulmo mendapat suplai darah dari arteri pulmonalis
(pertukaran gas) dan arteri bronchialis (nutrisi) yang bercabang-cabang
sesuai segmennya, serta diinnervasi oleh saraf parasimpatis melalui
nervus vagus dan simpatis melalui truncus simpaticus. Impulas dari
saraf parasimpatis akan menyebabkan kontraksi otot polos bronkial,
meningkatkan pengeluaran sekresi kelenjar, dan dilatasi pembuluh
darah. Impul dari simpatis kebalikannya.
a. Fisiologi sistem pernapasan
MEKANISME VENTILASI PULMONAL
Paru dapat berekspansi dan berkontraksi dalam 2 cara, yaitu:
1. Dengan pergerakan ke atas dan ke bawah dari diafragma untuk
memperpanjang atau memperpendek rongga dada
2. Dengan elevasi dan depresi tulang rusuk untuk meningkatkan dan
menurunkan diameter anteroposterior dari rongga dada
Pernapasan normal terjadi hampir seluruhnya karena mekanisme yang
pertama, yaitu dengan pergerakan diafragma. Selama inspirasi, kontraksi
11
diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian,
selama ekspirasi, diafragma berelaksasi dan elastic recoil paru. Dinding
dada, dan struktur abdomen menekan paru.
Metode kedua untuk membuat paru berekspansi adalah untuk
menaikkan sangkar rusuk. Ekspansi paru ini karena, pada posisi istirahat
natural, rusuk condong ke bawah. Oleh karena itu membuat sternum jatuh
ke belakang menuju kolumna vertebral. Akan tetapi saat sangkar rusuk
naik, rusuk diproyeksikan ke depan sehingga sternum juga bergerak ke
depan, menjauhi tulang belakang, membuat ketebalan anteroposterior
dada lebih besar 20% selama inspirasi maksimum dibandingkan selama
ekspirasi. Oleh karena itu, semua otot yang mengelevasi sangkar dada
diklasifikasikan sebagai otot inspirasi dan otot yang menekan sangkar
dada diklasifikasikan sebagai otot ekspirasi.
Pergerakan udara masuk dan keluar paru dan tekanan yang
menyebabkan pergerakan
Paru adalah struktur elastis yang kolaps seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea kapanpun tidak ada tekanan
untuk menjaganya tetap mengembang.
Tekanan pleural adalah tekanan dari cairan di ruang sempit antara pleura
paru dan pleura dinding dada. Tekanan pleura normal pada awal inspirasi
adalah sekitar -5 cmH20. Kemudian selama inspirasi normal, ekspansi
rongga dada menarik keluar paru dengan kekuatan lebih besar dan
membuat tekanan negatif sekitar -7,5 cmH20. Terdapat peningkatan
negativitas tekanan pleura dari -5 sampai -7,5 selama inspirasi sementara
volume paru meningkat 0,5 liter. Kemudian selama ekspirasi, kejadian
yang berlangsung adalah kebalikannya.
Tekanan alveolar (intraalveolus) adalah tekanan dari udara di dalam
alveoli paru. Saat glotis terbuka dan tidak ada udara mengalir masuk atau
12
keluar paru, tekanan di semua pohon respiratorik, semua jalan menuju
alveoli , adalah setara dengan tekanan atmosfer, yang dianggap ‘zero
reference pressure’ saluran napas, yaitu 0 cmH2O. Untuk menyebabkan
aliran udara masuk ke alveoli selama inspirasi, tekanan di dalam alveoli
mencapai nilai di bawah tekanan atmosfer (di bawah 0). Selama inspirasi
normal, tekanan alveolar turun sekitar -1 cmH2O. Tekanan negatif yang
kecil ini cukup untuk menarik 0,5 liter udara ke dalam paru dalam 2 detik
yang dibutuhkan untuk inspirasi normal. Selama ekspirasi, perubahan
yang berkebalikan terjadi. Tekanan alveolar naik sekitar +1 cmH2O dan
hal ini mendorong 0,5 liter udara yang diinsiprasi untuk keluar dari patu
selama 2-3 detik ekspirasi.
Terdapat perbedaan antara tekanan alveolar dan tekanan pulmonal. Hal
ini disebut sebagaitranspulmonary pressure. Ini adalah perbedaan
tekanan antara yang ada di dalam alveoli dan di permukaan luar paru, dan
ini mengukur elastic force paru yang menyebabkan kolapsnya paru
selama respirasi, disebut tekanan recoil. Setiap transpulmonary
pressure meningkat 1 cmH2O, volume paru bertambah 200 milimeter.
Perubahan yang terjadi selama satu siklus pernapasan, yaitu satu
tarikan napas (inspirasi) dan satu pengeluaran napas (ekspirasi) adalah
sebagai berikut.
Sebelum inspirasi dimulai, otot-otot pernapasan melemas, tidak ada
udara yang mengalur dan tekanan intraalveolus setara dengan tekanan
atmosfer. Pada awitan inspirasi, otot-otot inspirasi, diafragma dan otot
antariga eksternal, terangsang untuk berkontraksi, sehingga terjadi
pembesaran rongga toraks. Otot inspirasi utama adalah diafragma, suatu
lembaran otot rangka yang membentuk dasar rongga toraks dan
dipersarafi oleh saraf frenikus. Otot antariga diaftifkan oleh saraf
interkostalis. Diafragma yang melemas berbentuk kubah yang menonjol
ke atas ke dalam rongga toraks. Sewaktu berkontraksi karena stimulasi
13
saraf frenikus, diafragma bergerak ke bawah dan memperbesar volume
rongga toraks dengan menambah panjang vertikalnya.
Pada saat rongga toraks mengembang, paru juga dipaksa mengembang
untuk mengisi rongga toraks yang membesar. Sewaktu paru
mengembang, tekanan intraalveolus menurun karena molekul dalam
jumlah yang sama kini menepati volume ruang yang lebih besar. Pada
inspirasi biasa, tekanan intraalveolus menjadi 759 cmHg. Karena tekanan
intraalveolus sekarang lebih rendah dari tekanan atmosfer, udara mengalir
masuk ke paru mengikuti penurunan gradient tekanan dari tekanan tinggi
ke rendah. Udara terus mengalir ke dalam paru sampai tidak lagi terdapat
gradient. Dengan demikian, pengembangan paru bukan disebabkan oleh
perpindahan udara ke dalam paru, melainkan udara mengalir ke dalam
paru karena turunnya tekanan intraalveolus akibat paru yang
mengembang. Selama inspirasi, tekanan intrapleura turun ke 754 mmHg
akibat pengembangan toraks.
Pada akhir inspirasi, otot-otot inspirasi melemas. Saat melemas,
diafragma kembali ke bentukny seperti kubah. Sewaktu otot antariga
eksternal melemas, sangkar rusukyang terangkat turun karena adanya
gravitasi, dan dinding dada dan paru yang teregang kembali menciut ke
ukuran prainspirasi karena adanya sifat elastik, seperti membuka balon
yang sebelumnya sudah ditiup. Sewaktu paru menciut dan berkurang
volumenya, tekanan intraalveolus meningkat, karena jumlah molekul
udara yang lebih besar yang terkandung di dalam volume paru yang besar
pada akhir inspirasi sekarang terkompresi ke dalam volume yang lebih
kecil. Pada ekspirasi istirahat, tekanan intraalveolus meningkat menjadi
761 mmHg. Udara sekarang keluar paru mengikuti penurunan gradien
tekanan dari tekanan intraalveolus yang tinggi ke tekanan atmosfer yang
lebih rendah. Aliran keluar udara berhenti jika tekanan intraalveolus
14
menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan tidak lagi terdapat gradien
tekanan.
Dalam keadaan normal, ekspirasi adalah suatu proses pasif karena
terjadi akibat penciutan elastik paru saat otot-otot inspirasi melemas tanpa
memerlukan kontraksi otot atau pengeluaran energi. Sebaliknya inspirasi
selalu aktif karena hanya ditimbulkan oleh kontraksi otot inspirasi dan
menggunakan energi.
VENTILASI ALVEOLAR
Hal yang sangat penting dari sistem ventilasi pulmonal adalah untuk
memperbarui udara di arkade pertukaran di paru secara kontinu. Area ini
termasuk alveoli, alveolar sacs, duktus alveolar, dan bronkiolus
respiratorik. Ukuran dimana udara baru mencapai area ini dinamakan
ventilasi alveolar. Anehnya, selama respirasi normal, volume udara di
udara tidal hanya cukup untuk mengisi jalur turun respiratorik sampai
bronkiolus terminal, dengan hanya porsi kecil dari udara inspirasi yang
benar-benar mengalir ke alveoli. Meskipun demikian, bagaimana udara
bergerak melewati jarak kecil dari bronkiolus terminal ke dalam alveoli?
Jawabannya adalah dengan difusi. Difusi disebabkan oleh pergerakan
kinetik molekul, setiap molekul gas bergerak pada kecepatan tinggi
diantara molekul lain. Kecepatan pergerakan molekul pada udara
respiratorik sangat hebat dan jaraknya sanagt pendek dari bronkiolus
terminal ke alveoli dimana gas bergerak melewati jarak ini hanya dalam
hitungan fraksi detik.
KONTROL PERNAPASAN
Pusat pernapasan di batang otak menentukan pola bernapas ritmis
Bernapas harus berlangsung dalam pola siklik dan kontinu. Pola ritmis
bernapas diciptakan oleh aktivitas saraf siklis ke otot-otot pernapasan.
15
Dengan kata lain, aktivitas pemacu yang menciptakan ritmisitas bernapas
terletak di pusat kontrol pernapasan di otak. Persarafan ke sistem
pernapasan merupakan kebutuhan mutlak untuk mempertahankan
pernapasan dan untuk secara refleks menyesuaikan tingkat ventilasi untuk
memenuhi kebutuhan penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 yang terus
berubah-ubah. Aktivitas pernapasan juga dapat dimodifikasi secara
sengaja untuk berbicara, bernyanyi, bersiul, memainkan instrumen tiup,
atau menahan napas ketika berenang.
Kontrol saraf atas pernapasan melibatkan 3 komponen terpisah, yaitu:
1. Faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk menghasilkan irama
inspirasi/ekspirasi bergantian
2. Faktor-faktor yang mengatur kekuatan ventilasi (kecepatan dan
kedalaman bernapas) agar sesuai dengan kebutuhan tubuh
3. Faktor-faktor yang memodifikasi aktivitas pernapasan untuk
memenuhi tujuan lain. Modifikasi ini dapat bersifat volunter,
misalnya kontrol pernapasan saat berbicara, atau involunter, misalnya
manuver pernapasan yang terjadi pada saat batuk atau bersin.
Pusat kontrol pernapasan yang terletak di batang otak bertanggung
jawab untuk menghasilkan pola bernapas yang berirama. Pusat kontrol
pernapasan primer, pusat pernapasan medulla (medullary respiratory
center), terdiri dari beberapa agregat badan sel saraf di dalam medulla
yang menghasilkan keluaran ke otot pernapasan. Selain itu, terdapat dua
pusat pernapasan lain yang lebih tinggi di batang otak, di pons,
yaitu pusat apnustik dan pusat pneumotaksik. Pusat-pusat di pons ini
mempengaruhi keluaran dari pusat pernapasan medula. Bagaimana
pastinya berbagai daerah ini berinteraksi untuk menciptakan ritmisitas
bernapas masih belum jelas, tetapi faktor-faktor berikut diduga berperan.
1. Neuron inspirasi dan ekspirasi di pusat medulla
16
Kita bernapas secara berirama karena kontraksi dan relaksasi
berganti-ganti otot-otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot antariga
eksternal, yang masing-masing dipersarafi oleh saraf frenikus dan
saraf interkostalis. Badan sel dari serat-serat saraf yang membentuk
saraf-saraf tersebut terletak di korda spinalis. Impuls yang berasal
dari pusat medulla berakhir di badan sel neuron motorik ini. Pada
saat diaktifkan, neuron-neuron motorik ini kemudian merangsang
otot-otot pernapasan, sehingga terjadi inspirasi; sewaktu neuron-
neuron ini tidak aktif, otot-otot inspirasi melemas dan terjadi
ekspirasi. Pusat pernapasan medulla terdiri dari dua kelompok neuron
yang dikenal sebagai kelompok pernapasan dorsal dan kelompok
pernapasan ventral.
Kelompok respirasi dorsal (dorsal respiratory group, DRG)
terutama terdiri dari neuron inspirasi yang serat-serat desendensnya
berakhir di neuron motorik yang mempersarafi otot-otot inspirasi.
Saat neuron-neuron inspirasi DRG membentuk potensial aksi, terjadi
inspirasi; ketika mereka berhenti melepaskan muatan, terjadi
ekspirasi. Ekspirasi berakhir saat neuron-neuron inspirasi kembali
mencapai ambang dan melepaskan muatan. Dengan demikian, DRG
pada umumnya dianggap sebagai penentu irama dasar ventilasi.
DRG memiliki interkoneksi penting dengan kelompok respirasi
ventral (ventral respiratory group,VRG). VRG terdiri dari neuron
inspirasi dan neuron ekspirasi, yang keduanya tetap inaktif selama
bernapas tenang. Daerah ini diaktifkan oleh DRG sebagai
mekanisme overdrive (penambah kecepatan) selama periode pada
saat kebutuhan akan ventilasi meningkat. Selama bernapas tenang,
tidak ada impuls yang dihasilkan di jalur-jalur desendens dari neuron
ekspirasi. Hanya selama ekspirasi aktif, neuron-neuron ekspirasi
merangsang neuron motorik yang mempersarafi otot ekspirasi. Selain
17
itu, neuron inspirasi VRG, apabila dirangsang oleh DRG, memacu
aktivitas inspirasi saat kebutuhan akan ventilasi meningkat.
Pengaruh pusat pneumatik dan apnustik
Pusat pneumotaksik mengirim impuls ke DRG yang membantu
‘mematikan’/swith off neuron inspirasi, sehingga durasi inspirasi
dibatasi. Sebaliknya, pusat apnustik mencegah neuron inspirasi dari
proses switch off, sehingga menambah dorongan inspirasi. Pusat
pneumotaksik lebih dominan daripada pusat apnustik.
Refleks Hering-Breuer
Apabila tidal volume besar (lebih dari 1 liter), misalnya ketika
berolahraga, refleks Hering-Breuerdipicu untuk mencegah
pengembangan paru berlebihan. Reseptor regang paru (pulmonary
stretch reflex) yang terletak di dalam lapisan otot polos saluran
pernapasan diaktifkan oleh peregangan paru jika tidal volume besar.
2. Pengatur besarnya ventilasi
Seberapapun banyaknya O2 yang diesktraksi dari darah atau
CO2 yang ditambahkan ke dalamnya di tingkat jaringan, PO2 dan
PCO2 darah arteri sistemik yang meninggalkan paru tetap konstan,
yang menunjukkan bahwa kandungan gas darah arteri diatur secara
ketat. Gas-gas darah arteri dipertahankan dalam rentang normal
secara eksklusif dengan mengubah-ubah kekuatan ventilasi untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan penyerapan O2 dan pengeluaran
CO2.
Pusat pernapasan medula menerima masukan yang memberi
informasi mengenai kebutuhan tubuh akan pertukaran gas. Kemudian
pusat ini berespons dengan mengirim sinyal-sinyal yang sesuai ke
neuron motorik yang mempersarafi otot-otot pernapasan untuk
menyesuaikan kecepatan dan kedalaman ventilasi untuk memenuhi
18
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dua sinyal yang paling jelas untuk
meningkatkan ventilasi adalah penurunan PO2 arteri dan pengikatan
PCO2 arteri. Kedua faktor ini memang mempengaruhi tingkat ventilasi,
tetapi tidak dengan derajat yang sama dan melalui jalur yang sama.
Juga terdapat faktor ketiga, H+, yang berpengaruh besar pada tingkat
aktivitas pernapasan.
3. Ventilasi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak
berkaitan dengan kebutuhan pasokan O2 atau pengeluaran CO2
Kecepatan dan kedalaman bernapas dapat dimodifikasi oleh
sebab-sebab di luar kebutuhan akan pasokan O2 atau pengeluaran
CO2. Refleks-refleks protektif, misalnya bersin dan batuk, secara
temporer mengatur aktivitas pernapasan sebagai usaha untuk
mengeluarkan bahan-bahan iritan dari saluran pernapasan. Inhalasi
bahan iritan tertentu sering memicu penghentian ventilasi. Nyeri yang
berasal dari bagian lain tubuh secara refleks merangsang pusat
pernapasan (sebagai contoh, seseorang ‘megap-megap’ jika merasa
nyeri). Modifikasi bernapas secara involunter juga terjadi selama
ekspresi berbagai keadaan emosional, misalnya tertawa, menangis,
bernapas panjang, dan mengerang.
Modifikasi yang dicetuskan oleh emosi ini diperantarai oleh
hubungan-hubungan antara sistem limbik otak (yang bertanggung
jawab untuk emosi) dan pusat pernapasan. Selain itu, pusat
pernapasan secara refleks dihambat selama proses menelan, pada saat
saluran pernapasan ditutup untuk mencegah makanan masuk ke
paru.
Manusia juga memiliki kontrol volunter yang cukup besar
terhadap ventilasi. Kontrol bernapas secara volunter dilakukan oleh
korteks serebrum, yang tidak bekerja pada pusat pernapasan di otak,
19
tetapi melalui impuls yang dikirim secara langsung ke neuron-neuron
motorik di korda spinalis yang mempersarafi otot pernapasan. Kita
dapat secara sengaja melakukan hiperventilasi atau pada keadaan
ekstrim yang lain, menahan napas kita, tetapi hanya untuk jangka
waktu yang singkat. Perubahan-perubahan kimiawi yang kemudian
terjadi di darah arteri secara langsung dan secara refleks
mempengaruhi pusat pernapasan yang kemudian mengalahkan
masukan volunter ke neuron motorik otot pernapasan. Selain bentuk-
bentuk ekstrim pengontrolan pernapasan tadi, kita juga mengontrol
pernapasan untuk melakukan berbagai tindakan volunter, misalnya
berbicara, bernyanyi, dan bersiul.
i. Dijadikan LO
j. Dijadikan LO
k. Klasifikasi dari sputum
Warna abu-abu Perokok
Warna kuning Infeksi (akibat banyaknya leukosit)
Warna hijau Biasanya karena infeksi Pseudomonas
Merah muda berbusa Edema Paru, berasal dari saluran napas bawah
Kental dan berwarna seperti ‘karat’ Pneumonia lobaris
Berbau, purulent, berdahak Abses paru, bronkiektasis
l. Dijadikan LO
3) Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan
20
Kasus Batuk Darah
Struktur anatomi, histologi, fisiologi saluran pernafasan
Anamnesis masalah batuk
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis banding
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan foto thorax
Pemeriksaan sputum
Diagnosis
Penatalaksanaan
Preventif Promotif Kuratif
4)
5) Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
21
a. Mengetahui hubungan antara keluhan utama dan keluhan penyerta
b. Mengetahui interpretasi dari pemeriksaan fisik pasien tersebut
c. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis pada kasus skenario 1
d. Mengetahui interpretasi dari pemeriksaan radiologi dan kelainan yang
terkait
e. Mengetahui penatalaksanaan pada kasus skenario 1
f. Mengetahui diagnosis banding dari kasus skenario 1
6) Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru
Dari tujuan pembelajaran pada langkah ke-5, kemudian dicari jawabannya
dari sumber pustaka. Sumber pustaka yang digunakan berasal dari jurnal
ilmiah (internet), textbook, bahan kuliah, dan pakar.
7) Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi
baru yang diperoleh
a. Diagnosis kerja dan diagnosis banding (pathogenesis, patofisiologi,
prognosis)
1. Tuberculosis
Penyakit tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis dan dapat menular secara langsung. Cara
penularan:
Pada saat penderita TB BTA positif batuk atau bersin, kuman
menyebar ke udara dalam bentuk percikan dahak atau droplet. Pada
suhu kamar, droplet bertahan selama beberapa jam. Apabila droplet
terhirup orang lain, maka orang tersebut sangat beresiko tertular Tb.
Setelah kuman tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas,
kuman dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui system pembuluh
darah.
22
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan
menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia
tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 pendduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap
hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004
menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di
Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup
tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Factor resiko :
1. Usia
Factor resiko terbesar terinfeksi Tb ialah pada usia
produktif antara 15- 50 tahun
2. Jenis kelamin
Umumnya laki- laki memiliki factor resiko lebih besar
dari wanita.
3. Pekerjaan
23
Orang yang bekerja pada lingkungan yang sering
terpapar debu atau polusi udara sangat rentan terhadap
infeksi kuman Tb.
4. Kebiasaan
Kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, dll
juga turut andil dalam masuknya penyakit Tb ke dalam
tubuh.
Gejala respiratorik
batuk > 2 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada
gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila
bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar.
Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia
dan berat badan menurun
Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening,
pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara
24
pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis Tb paru, pemeriksaan yang biasa
digunakan adalah pemeriksaan dahak mikroskopis.
S ( sewaktu ) : dahak dikumpulkan pada saat suspek datang pertama
kali kepada petugas kesehatan. Saat pasien pulang
dibawakan pot untuk mengumpulkan dhak pada pagi
hari ke 2.
P ( pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada saat suspek bangun
tidur, kemudian dahak di bawa untuk diserahkan
kepada petugas.
S ( sewaktu) : dahak dikumpulkan pada hari ke 2 saat menyerahkan
dahak pagi.
Pemeriksaan penunjang:
1) Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura
perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit
dominan dan glukosa rendah
2) Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi atau otopsi, yaitu :
25
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah
bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum
abram, Cope dan Veen Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB)
dengan bronkoskopi, trans thoracal needle
aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka).
Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan,
satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan
dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta
sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam
pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4) Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang
tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang
berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila
didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang
didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
2. Bronkitis
26
Bronkitis menurut onsetnya dibedakan menjadi akut dan
kronik. Bronkitis akut terjadi karena adanya inflamasi pada bronkus
yang disebabkan oleh banyak faktor, terutama adalah polutan seperti
asap rokok, debu, asap pabrik. Pasien dengan bronkitis akut memiliki
gejala antara lain batuk berdahak kurang dari 14 hari dengan sputum
berwarna keabu – abuan. Keluhan biasanya disertai dengan sesak
nafas. Pasien akan membaik dalam beberapa hari bila dengan
didukung pengobatan dengan mukolitik dan ekspektoran untuk
mengeluarkan dahak, serta menghindarkan dari faktor – faktor
penyebab.
Bronkitis kronik termasuk salah satu penyebab penyakit paru
obstruktif menahun. Faktor seperti asap rokok adalah kontributor
terbesar terjadinya bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan
batuk berdahak selama 3 bulan berturut – turut dalam satu tahun
minimal terjadi dua tahun. Gejala yang dirasakan pasien antara lain
adalah batuk berdahak, sesak nafas, dahak berwarna keabu – abuan,
nyeri dada, bahkan bisa didapati batuk darah. Penyakit ini berkembang
menjadi penyakit paru obstruktif apabila mukus yang dihasilkan
menyumbat saluran nafas. Pemberian ventilator sangat tidak
dianjurkan karena dapat membuat pasien tidak bisa lepas darinya
selamanya serta apabila diberikan terapi oksigen, harus dalam kadar
yang rendah seperti 2-3 L perjamnya karena apabila diberikan oksigen
dalam jumlah besar justru akan menambah sesak nafas pasien.
Bronkitis kronik dapat diobati , tetapi tidak dapat disembuhkan.
Menghindari faktor risiko seperti merokok dan paparan polutan gas
lainnya sangat disarankan agar dapat terhindar dari kemungkinan
terkena bronkitis kronik.
3. Abses paru
27
Gambaran klinis
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut.
Disebut akut apabila terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya
pasien memiliki riwayat prognosis 1-3 minggu dengan gejala awal
adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai
menggigil dengan suhu tubuh bisa mencapai 39,40C atau lebih. Setelah
beberapa hari dahak menjadi purulen dan bisa mengandung darah.
Pada beberapa kasus penyakit yang berjalan sangat akut
dengan mengeluarkan sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi
abses biasanya di segmen apical lobus atas. Seringkali ditemukan
adanya faktor predisposisi seperti yang disebutkan di atas. Sedangkan
abses paru sekunder seperti yang disebabkan oleh septic emboli paru
dengan infark, abses sudah bisa timbul hanya dalam waktu 2-3 hari.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
Suhu badan meningkat, bahkan sampai 400C
Nyeri tekan lokal pada paru
Pada daerah terbatas perkusi terdengar redup dengan suara napas
bronchial
Bila abses luas dan dekat dinding dada kadang terdengar suara
amforik dan ronkhi
Adanya jari tabuh
Bila abses letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piothoraks
sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding
dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vocal menghilang,
perkusi redup/pekak, bunyi napas menghilang, dan terdapat tanda
pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung kea rah
kontra lateral tempat lesi.
28
b. Penatalaksanaan penyakit yang terkait
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
1. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
a) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
• Rifampisin
• INH
• Pirazinamid
• Streptomisin
• Etambutol
b) Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi
dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu
rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan
etambutol 275 mg dan tiga obat antituberkulosis dalam satu
tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan
pirazinamid. 400 mg
c) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
• Kanamisin
• Kuinolon
• Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin
+ asam klavulanat
• Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
• Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau
29
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
• INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X
seminggu, 15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk
dewasa. lntermiten : 600 mg / kali
• Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X
semingggu,
50 mg /kg BB 2 X semingggu atau : BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB< 40 kg : 750 mg
• Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg
BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB<40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
• Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
• Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap,
penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif,
sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2
obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan
sesuai dengan pedoman pengobatan.
30
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap
tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke
rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.
Efek Samping OAT :
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan
tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda
keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki
dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra)
Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis
imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai
dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
• Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya
memerlukan pengobatan simtomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
31
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu
makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
• Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal
tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal
ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin
harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan
kepada penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat
terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan
arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,
mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis
32
yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek
samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis
yang digunakan dan umur penderita.
Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat
ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang
timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit.
Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan
sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi
0,25gr
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
Penanganan efek samping obat:
33
• Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat
diatasi secara simptomatik
• Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan
pemberian salisilat / allopurinol
• Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan
seperti tertulis di atas
• Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada
kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat
dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan
pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan
pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan
terhadap obat lainnya
• Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah
trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin,
gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis
karena thiacetazon
• Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
2. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2RHZE / 4 RH
Alternatf : 2RHZE / 4R3H3
atau
(program P2TB)
34
2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan,
dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti
pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi
minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4
macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil
uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi).
Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang
diberikan : 3 RHZE / 6 RH
35
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5
R3H3E3 (Program P2TB)
TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi,
dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2
OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap
diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2
tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2
RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3
(Program P2TB)
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk
mendapatkan hasil yang optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
• TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai
pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu,
pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual
- Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu
1) Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik,
radiologik negatif, pengobatan OAT STOP
2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
36
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama
4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1
bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan
atau radiologik positif : pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang sama
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti
berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan
kembali sesuai jadual.
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji
resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal
terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap
diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
- Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Program P2 TB → Evaluasi/ Follow -up → sepenuhnya Program
- Paduan obat: Program/ WHO
- Obat gratis
(+)Evaluasi Lab., foto toraks,
penderita bayar sendiri
37
Pengobatan Individual, disertai evaluasi / follow-up
• Paduan Obat , Pedoman PDPI (rekomendasi WHO)
• Obat & Evaluasi bayar sendiri
3. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu
diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada
indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan
daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
a) Penderita rawat jalan
• Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu
dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya
tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
• Bila demam dapat diberikan obat penurun
panas/demam
• Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala
batuk, sesak napas atau keluhan lain.
b) Penderita rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
• Batuk darah (profus)
• Keadaan umum buruk
• Pneumotoraks
• Empiema
• Efusi pleura masif / bilateral
38
• Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat
4. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
a) Indikasi mutlak
• Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat
tetapi dahak tetap positif
• Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi
dengan cara konservatif
• Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema
yang tidak dapat diatasi secara konservatif
b) lndikasi relatif
• Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah
berulang
• Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c) Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
• Bronkoskopi
• Punksi pleura
• Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
• BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
• Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
39
• Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
5. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,
radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
a) Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
b) Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
c) Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan
fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)
• Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
• Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
• Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)
Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
• Sebelum pengobatan
• Setelah 2 bulan pengobatan
• Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi
ginjal dan darah lengkap
40
• Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit
penyerta atau efek samping pengobatan
• Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
• Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol
• Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji
keseimbangan dan audiometri
• Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah
evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila
pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan
penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Evaluasi keteraturan berobat
• Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang
digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya
obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan
atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat
yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan
• Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya
masalah resistensi.
Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui
terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
41
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh
c. TB Anak
Diagnosis
Diagnosis paling tepat adalah ditemukannya basil TB dari bahan yang
diambil dari pasien misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dll. Tetapi
pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar
diagnosis TB anak didasarkan gambaran klinis, gambaran radiologis, dan
uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya TB pada anak kalau
terdapat keadaan atau tanda-tanda yang mencurigakan seperti dibawah
ini:
1. Pada anak harus dicurigai menderita TB apabila:
a. Kontak erat (serumah) dengan penderita TB dengan sputum BTA
(+)
b. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG dalam
3-7 hari.
c. Terdapat gejala umum
2. Gejala-gejala yang harus dicurigai TB
a. Gejala umum/tidak spesifik
1) Berat badan turun atau malnutrisi tanpa sebab yang jelas atau
tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.
2) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan
berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
3) Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus,
malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat
malam.
42
4) Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit,
biasanya multiple, paling sering di daerah leher, axilla dan
inguinal.
5) Gejala-gejala respiratorik :
- batuk lama lebih dari 3 minggu
- tanda cairan di dada, nyeri dada
6) Gejala gastrointestinal
- diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan
diare
- benjolan/massa di abdomen
- tanda-tanda cairan dalam abdomen
b. Gejala Spesifik
1) TB kulit/skrofuloderma
2) TB tulang dan sendi
o Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
o Tulang panggul (koksitis) : pincang
o Tulang lutut : pincang dan/atau
bengkak
o Tulang kaki dan tangan
3) TB Otak dan Saraf
o Meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-
muntah dan kesadaran menurun
4) Gejala mata : Conjungtivitis phlyctenularis, Tuberkel koroid
(hanya terlihat dengan funduskopi)
3. Uji tuberculin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan
intrakutan). Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23
kekuatan 2 TU atau PPD-S kekuatan 5 TU. Pembacaan dilakukan 48-
43
72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter tranversal dari indurasi
yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam mm, dikatakan positif bila
indurasi : > 10 mm.
4. Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
5. Foto Rontgen Paru : seringkali tidak khas
Pembacaan sulit, hati-hati kemungkinan overdiagnosis atau
underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan
pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal.
Gambaran rontgen paru pada TB dapat berupa : Milier, Atelektasis,
Infiltrat, pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi
(lobus), reaksi pleura dan/atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis,
kavitas, destroyed lung.
6. Pemeriksaan mikrobiologi : pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis)
dan kultur dari sputum (pada anak bilasan lambung karena sputum
sulit didapat ).
7. Pemeriksaan serologi (ELISA, PAP, Mycodot, dll) masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
8. Pemeriksaan patologi anatomi.
9. Respon terhadap pengobatan OAT. Kalau dalam 2 bulan terdapat
perbaikan klinis nyata, akan menunjang atau memperkuat diagnosis
TBC.
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, Kavitas (+), BTA BTA (+)
44
BTA (-) atau
tidak tahu
tidak jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif ( ≥ 10
mm atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ keadaan
gizi
BB/TB < 90%
atau BB/U < 80%
Klinis gizi buruk
atau BB/TB< 70%
atau BB/U < 60%
Demam tanpa sebab
jelas
≥ 2 minggu
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran kelenjar
limfe kolli, aksila,
inguinal
≥ 1cm, jumlah >1,
tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi panggul,
lutut, falang
Ada
pembengkakan
Foto Rontgen toraks Normal/
tidak jelas
· Infiltrat
· Pembesaran
kelenjar
· Konsolidasi
segmental/ lobar
· kalsifikasi +
infiltrat
· pembesaran
kelenjar + infiltrat
45
·atelektasis
Tabel 1. Sistem skoring diagnosis tuberkulosis anak
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis
Berat badan dinilai saat datang (moment opname)
Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan
sistem skoring TB anak
Didiagnosis TB jika skor ≥ 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini
masih bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil
penelitian yang sedang dilaksanakan.
46
Tabel 2. Alur deteksi dini dan rujukan TB anak
Tatalaksana
Obat harus diminum teratur, setiap hari, dan dalam waktu yang cukup
lama. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan.
Secara garis besar dapat dibagi menjadi tata laksana untuk :
1. TBC paru tidak berat
2. TBC paru berat atau TBC ekstrapulmonal
47
Pada TBC paru yang tidak berat cukup diberikan 3 jenis obat anti
tuberkulosis (OAT) dengan jangka waktu terapi 6 bulan. Tahap intensif
terdiri dari isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pyraninamid (Z) selama 2
bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Pada TBC berat (TBC milier, meningitis, dan TBC tulang) maka juga
diberikan Streptomisin atau Etambutol pada permulaan pengobatan. Jadi
pada TBC berat biasanya pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5 obat
selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan Isoniazid dan Rifampisin
selama 10 bulan lagi atau lebih, sesuai dengan perkembangan klinisnya.
Kalau ada kegagalan karena resistensi obat, maka obat diganti sesuai
dengan hasil uji resistensi, atau tambah dan ubah kombinasi OAT.
Kortikosteroid diberikan pada keadaan khusus seperti : TB milier,
meningitis TB, endobronkial TB, pleuritis TB, perikarditis TB,
peritonitis TB.
Boleh diberikan prednison 1-2 mg/kg BB/hari selama 1-2 bulan
Penghentian pengobatan dapat dilakukan dengan syarat :
1. Bila setelah 6 bulan evaluasi membaik, batuk menghilang, klinis
membaik, anak menjadi lebih aktif, berat badan meningkat, foto thorax
membaik, penurunan LED.
2. Bila setelah 6 bulan tidak ada perbaikan, kemungkinan :
- Kepatuhan minum obat yang kurang
- MDR (Multi Drug Resisten)
- Diagnosis bukan TBC
Obat pencegahan dengan INH : 5-10 mg/kg BB/hari diberikan pada:
1. Profilaksis primer : anak yang kontak erat dengan penderita TB
menular (BTA positip, tetapi belum terinfeksi).
48
2. Profilaksis sekunder : anak dengan infeksi TB yaitu tuberkulin positip
dan klinis baik, dengan faktor resiko yang memungkinkan menjadi TB
aktif.
umur dibawah 5 tahun
menderita penyakit infeksi (morbili, varicella)
mendapat obat imunosupresif (sitostatik, steroid, dll)
umur akil balik
kalau ada infeksi HIV
Komplikasi
Pada anak komplikasi biasanya terjadi pada 5 tahun pertama setelah
infeksi terutama 1 tahun pertama. Penyebaran limfohematogen menjadi
TB milier atau meningitis TB atau efusi pleura biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. TB tulang dan sendi terbanyak terjadi dalam 3
tahun pertama, dan TB ginjal dan kulit terbanyak setelah 5 tahun dari
infeksi primer.
2 Bronkhitis
1. Definisi
Bronkitis merupakan suatu bentuk peradangan satu atau lebih
bronkus . dapat bersifat akut dan kronik.
2. Klasifikasi
Bronkitis dapat bersifat akut atau kronis dan dapat terjadi pada segala
usia.
a. Bronkitis akut
Etiologi
Infeksi virus (rhinovirus, coronavirus, virus influenza A virus
parainfluenza, adenovirus dan respiratory syncytial virus)
49
merupakan penyebab utama (95%) kasus bronchitis akut. Infeksi
bakteri (Chlamydia psittaci, Chlamydia pneumoniae, mycoplasma
pneumoniae dan bordatella pertussis) menyebabkan 5-20 % kasus
ini. Bakteri pathogen seperti staphylococcus, streptococcus
pneumoniae, haemophillus influenzae dan moraxella catarrhalis
juga sering dijumpai.
Patofisiologi
Karakter bronchitis akut adalah adanya infeksi pada cabang trakeobronkial.
Infeksi tersebut menyebabkan hyperemia dan edema pada membrane mukosa,
yang menyebabkan peningkatan sekresi dahak bronchial. Adanya perubahan
pada membrane mukosa ini menyebabkan berkurangnya fungsi pembersihan
mukosiliar. Selain itu, peningkatan sekresi dahak bronchial yang dapat
menjadi kental dan liat, semakin memperparahgangguan pembersian
mukosiliar. Pada umumnya perubahan ini bersifat sementara dan akan
kembali normal bila infeksi sembuh.
Manifestasi klinis
Diawali dengan manifestasi infeksi saluran pernafasan atas : hidung berair,
tidak enak badan, menggigil, pegal-pegal, sakit kepalam dan sakit
tenggorokan. Jika terdapat demam, jarang mecapai 39 0C dan berakhir dalam
waktu 3-5 hari. Tanda utama bronchitis akut adalah batuk yang awalnya
kering dan tidak produktif, namun berubah menjadi produktif makin kerap
dan berdahak selama 7-10 hari
Diagnosis
Pada pemeriksaan paru-paru mungkin akan dijumpai tanda-tanda rhonchi dan
wheezing (yang menunjukkan adanya sumbatan pada saluran pernafasan dan
bronkiolus dan merupakan karakteristik asma dan bronchitis). Hasil rontgen
dada tidak menunjukkan adanya penyakit. Uji kultur biasanya tidak banyak
berguna karena penyebab sebagian besar bronchitis adalah virus dan hasil
50
kultur biasanya negative atau menunjukkan flora nasofaring normal. Hasil tes
laboratorium umunya normal atau ada peningkatan sedikit jumlah leukosit.
Penatalaksanaan
Tujuan pemberian terapi adalah memberikan rasa nyaman kepada pasien dan
pada kasus berat terapi bertujuan untuk mengobati terjadinya dehidrasi dan
gangguan pernafasan. Secara umum, terapi bersifat simtomatik dan suportif.
Untuk mngatasi pegal, demam, atau sakit kepala dapat digunakan analgetik-
antipiretik seperti parasetamol. Digunakan obat flu dan batuk bersifat
simptomatik yang mengandung antihistamin, simpatomimetik dan antitusif.
Obat-obatan tersebut dapat menyebabkan dehidrasi pada mucus sehingga
dahak menjadi kental dan sulit dieluarkan. Untuk itu disarankan agar pasien
banyak minum air putih agar viskositas mukus menurun dan mencegah
dehidrasi.
b. Bronkitis kronis
Brokitis kronis merupakan salah satu komponen dari penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK). Deskripsi standar mengenai bronchitis kronis adalah batuk
berdahak yang terjadi selama 3 bulan dalam setahun tuntuk 2 tahun berturut-
turut. Eksaserbasi akut bronchitis kronis diartikan sebagai memburuknya gejala
respirasi seperti batuk, sekresi dahak yang berlebihan dan sulit bernafas.
Etiologi
Faktor utama adalah merokok. Debu, bau-bauan dan polusi lingkungan juga
dapat menimbulkan terjadinya bronchitis kronis. Cuaca dingin, perubahan
iklim yang drastis dan hipersekresi mukus pada penderita asma juga dapat
memicu terjadinya bronchitis kronis. Faktor predisposisi berupa infeksi
saluran nafas kambuhan. Infeksi virus (influenza A atau B, parainfluenzae,
coronavirus, rhinovirus) berperan dalam 7-64% kejadian eksaserbasi akut
bronchitis kronis. Sedangkan bakteri sering dijumpai pada eksaserbasi akut
51
adalah S. pneumoniae, S. aureus, H. influenzae, M. caterrhalis, spesies
Neisseria dan pseudomonas.
Patogenesis
Abnormalitas fisiologi mukosa bronkus dapat menyebabkan bronchitis kronis.
Penderita lebih sering mengalami infeksi saluran nafas karena terjadinya
kegagalan pembersihan mukosiliar terhadap inhalasi kronis berbagai senyawa
iritan. Faktor yang mengakibatkan gagalnya pembersihan mukosiliar tersebut
adalah proliferasi goblet sel (memproduksi mukus) dan pergantia epitel yang
bersilia dengan yang tidak bersilia, sehingga menyebabkan ketidakmampuan
bronkus untuk membersihkan dahak yang kental dan lengket. Perubahan
mukosa lainnya yang mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi kelenjar penghasil
mukus. Selain itu, inhalasi iritan toksik dapat mengakibatkan obstruksi
vronkus karena terjadi stimulasi aktivitas kolinergik dan peningkatan tonus
bronkomotor. Bakteri yang hidup di epitel bronkus (flora nasofaring)
cenderung menyebabkan pasien mengalami eksaserbasi akut bronchitis
kronis. Bakteri tersebtu akan menjadi pathogen bila daya tahan tubuh pasien
melemah, yaitu jika kemampuan fagositosis bakteri oleh neutrofil,
bakterisidal, jumlah makrofag atau kadar immunoglobulin A berkurang.
Manifestasi klinis
Gejala utama berupa batuk bias ringan atau berat dengan dahak yang purulen.
Dahak umumnya putih atau kuning dan liat. Tanda awal eksaserbasi akut
bronchitis kronis adalah meningkatnya frekwensi dan keparahan batuk. Gejala
lainnya berupa produksi dahak meningkat, dahak purulen, hemoptisi, dada
sesak, sesak nafas dan mengi. Tidak enak badan, kehilangan selera makan,
menggigil dan demam dapat terjadi.
Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik terutama auskultasi dada menunjukkan adanya rales
(keadaan basah, terdengar suara bising di paru-paru saat bernafas yang
mengindikasikan adanya cairan pada pundit=pundit paru-paru) pada inspirasi
52
dan ekspirasi, rhonchi (kekeringan yang abnormal, mengindikasikan kongesti
dan mukus pada saluran bronchial) dan mengi/wheezing, Uji fungsi paru
menunjukkan penurunan kapasitas vital paru dan perpanjangan aliran
ekspirasi. Nilai FEV1, FVC dan rasio FEV1/FVC menrun. Volume residu
(RV) dan kapasitas residu fungsional (RFC) naik yang mengindikasikan
adanya udara yang terperangkap dalam paru-paru akibat obstruksi jalan nafas.
Kultur sputum diperlukan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab. Untuk
emmastikan adanya infeksi, maka harus menunjukkan dua criteria :
Pengecatan gram : menunjukkan peningkatan jumlah bakter secara
signifikan
Peningkatan jumlah bakteri tersebut disertai peningkatan signifikan jumlah
neutrofil dalam sputumnya.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi keparahan gejala kronis, menurunkan
eksaserbasi akut dan mencapai interval bebas infeksi lebih lama. Pemberian
terapi nonfarmakologi berupa berhenti merokok, hindari inhalasi polusi udara,
meningkatkan asupan cairan, dan kelembaban udara. Terapi farmakologi
berupa penggunaan antibiotika, ekspektoran seperti guanifenesin, dan
bronkodilator. Perlu evaluasi keparahan penyakit (terutama pemeriksaan
sputum akan adanya bakteri pathogen). untuk menentukan kebutuhan
antibiotika pada eksaserbasi akut bronchitis kronis.
BAB III
53
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari diskusi tutorial ini kelompok kami menyimpulkan bahwa pasien
tersebut dicurigai terinfeksi TB. Namun, masih diperlukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan sputum dan kultur untuk menegakkan diagnosis
yang selanjutnya dapat membantu dalam penentuan penatalaksanaan yang tepat.
Sedangkan saran dari kelompok kami antara lain pada tutorial hari pertama,
diskusi berjalan sangat terbuka, dan terjadi interaksi yang baik antar-mahasiswa.
Tetapi, perlu diperhatikan dari segi waktu agar pembahasan dapat dilakukan
lebih maksimal dan menyeluruh. Penyusunan laporan juga hendaknya dilakukan
oleh seluruh anggota secara tepat waktu agar tidak merugikan orang lain. Dari
segi tutor, tutor sudah memberikan bimbingan kepada mahasiswa untuk fokus
pada tujuan/LO dari blok. Serta memberi masukan agar diskusi selanjutnya bisa
lebih baik.
54
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hoood. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : UNAIR
Press
Chung KF. The clinical and pathophysiological chal-70 Sari Pediatri, Vol. 6,
No. 2, September 2004 lenge of cough. Dalam: Chung KF, Widdicombe J,
Boushey H, Penyunting. Cough. Massachusetts: Blackwell Publishing,
2003. h. 3-10.
Cloutier MM. Cough. Dalam: Loughlin GM, Eigen H. Penyuntings.
Respiratory disease in children. Baltimore. Williams & Wilkins 1994.
IPD 2007 jilid I, ilmu penyakit paru airlangga, patofisiologi price-wilson 2006
jilid II, patologi Robbins 2007 jilid II.
Irwin RS, Boulet LP, 7tier MM. Managing cough as a defense mechanism
and as a symptom. A consensus panel report of the American College of
Chest Physicians. Chest 1998; 114:133S-181S.
Jeremy PT. 2008. The Respiratory System at a Glance. Blackwell publishing.
Kiyatno. 2009. Fisiologi Respirasi. Surakarta: UNS Press.
Perhimpunan dokter paru Indonesia (2006). Tuberkulosis pedoman diagnosis
& penatalaksanaan di Indonesia
Sylvia A Price, Lorraine M Wilson(2003).Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit edisi 6 volume 1. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran
EGC.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL (2007).Buku ajar patologi Robbins. Edisi
ke 7. Jakarta: EGC, p: 520
55