laporan tutor step 1-7

72
STEP 1 Unfamiliar Terms 1. Evidence Based Medicine Merupakan penjabaran bukti ilmiah lebih lanjut setelah obat dipasarkan dan seiring dengan pengobatan rasional; Menggunakan segala pertimbangan bukti ilmiah (evidence) yang sahih yang diketahui hingga kini untuk menentukan pengobatan pada penderita yang sedang kita hadapi. 2. Medical Record Informasi resmi yang berisi identitas pasien dan riwayat penyakit pasien; Pencatatan riwayat penyakit sekarang dan hasil pemeriksaan; Pencatatan riwayat keluarga dan riwayat penyakit dahulu; Pencatatan pengelolaan, rencana tindakan, dan rencana follow up. 1

description

laporan tutor blok

Transcript of laporan tutor step 1-7

STEP 1

STEP 1Unfamiliar Terms

1. Evidence Based Medicine Merupakan penjabaran bukti ilmiah lebih lanjut setelah obat dipasarkan dan seiring dengan pengobatan rasional; Menggunakan segala pertimbangan bukti ilmiah (evidence) yang sahih yang diketahui hingga kini untuk menentukan pengobatan pada penderita yang sedang kita hadapi.

2. Medical Record Informasi resmi yang berisi identitas pasien dan riwayat penyakit pasien; Pencatatan riwayat penyakit sekarang dan hasil pemeriksaan; Pencatatan riwayat keluarga dan riwayat penyakit dahulu; Pencatatan pengelolaan, rencana tindakan, dan rencana follow up.

STEP 2Rumusan Masalah

1. Apakah prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga dan apa saja jenis pelayanan kesehatan dokter keluarga??2. Bagaimana cara menghitung biaya kapitasi?3. Apa itu medical record?4. Apa saja langkah-langkah Evidence Based Medicine (EBM), jenis-jenis EBM, dan alasan dilakukannya EBM?

STEP 3Brain Storming

1. Apakah prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga?Prinsip Kedokteran Keluarga :a. Continuity of Care (Pelayanan yang berkesinambungan);b. Compherensive of Care (Pelayanan yang menyeluruh);c. Coordination of Care (Pelayanan yang terkoordinasi);d. Community (Masyarakat);e. Prevention (Pencegahan);f. Family (Keluarga).

2. Jelaskan tentang biaya kapitasi ! Bagaimana cara menghitung biaya kapitasi? Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah akurasi prediksi angka utilisasi (penggunaan pelayanan kesehatan) dan penetapan biaya satuan. Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi pelayanan kesehatan dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan serta biaya satuan pelayanan. Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost.

a. Sebagai syarat untuk mendapatkan atau mencapai legalitas menjadi seorang dokter.

3. Bapa itu medical record, dan apa saja jenis pelayanan kesehatan dokter keluarga?a. Pengelolaan yang memfokuskan kegiatannya pada pelayanan kesehatan dan sumber informasi pelayanan kesehatan dengan menjabarkan sifat alami data, struktur dan menerjemahkannya ke berbagai bentuk informasi demi kemajuan kesehatan dan pelayanan kesehatan perorangan, pasien dan masyarakat.b. Bertanggung jawab mengumpulkan, mengintegrasikan dan menganalisis data pelayanan kesehatan primer dan sekunder, mendesiminasi informasi, menata sumber informasi bagi kepentingan penelitian, pendidikan, perencanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terintegrasi.

4. Apa saja langkah-langkah Evidence Based Medicine (EBM), jenis-jenis EBM, dan alasan dilakukannya EBM?Evidence based medicine (EBM), suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada paradigma baru untuk mengambil keputusan medis yang didasarkan pada langkah-langkah berikut:a. Memformulasikan pertanyaan tentang masalah kedokteran yang dihadapi;b. Menelusuri bukti-bukti terbaik yang tersedia untuk mengatasi masalah tersebut;c. Mengkaji bukti, validitas dan keseuaiannya dengan kondisi praktek;d. Menerapkan hasil kajian;e. Mengevaluasi penerapannya (kinerjanya).

STEP 4Penjelasan Lengkap

1. Apakah prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga dan apa saja jenis pelayanan kesehatan dokter keluarga??Prinsip Kedokteran Keluarga :a. Continuity of Care (Pelayanan yang berkesinambungan)Adalah pelayanan kesehatan dimana satu dokter bertemu pasiennya dalam keadaan sakit maupun keadaan sehat, dan mengikuti perjalanan penyakitdari pasiennya hingga ia sembuh. Dengan pelayanan yang berkesinambungan akan terbentuk hubungan yang didasari kepercayaan terhadap dokternya, dan perjalanan waktu akan membentuk kepercayaan ini.

b. Compherensive of Care (Pelayanan yang menyeluruh)Artinya kita memandang pasien tidak hanya dari sisi biologis saja tetapi juga dari sisi sosial dan psikologisnya. Oleh sebab itu, seorang dokter keluarga memandang pasiennya secara keseluruhan, dalam konteks memperhatikan keseluruhan kebutuhan mereka.

c. Coordination of Care (Pelayanan yang terkoordinasi)Dokter keluarga itu seperti orkestrator pelayanan kesehatan bagi pasiennya, yang mengkoordinasi-kan semua pelayanan kesehatan yg dibutuhkan pasien seperti para dokter spesialis, dan pelayanan kesehatan lain diluar praktek dokter keluarga. Dokter keluarga bertanggung jawab dan menjadi guide bagi pasiennya.

d. Community (Masyarakat)Pekerjaan, budaya, dan lingkungan adalah aspek-aspek dalam komunitas (masyarakat) yang dapat mempengaruhi penatalaksanaan seorang pasien. Berbagai pihak dalam masyarakat dapat digunakan oleh dokter keluarga dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yg optimal.

e. Prevention (Pencegahan)Prinsip pencegahan memiliki multi aspek, termasuk mencegah penyakit menjadi lebih berat, mencegah orang lain tertular, pengenalan faktor resiko dari penyakit, dan promosi kesehatan (gaya hidup sehat). Pencegahan juga termasuk mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin mempunyai efek terhadap kesehatan emosional pasien dan keluarganya.

f. Family (Keluarga)Seorang dokter keluarga memandang pasiennya sebagai bagian dari keluarganya dan memahami pengaruh penyakit terhadap keluarga dan pengaruh keluarga terhadap penyakit. Dokter keluarga juga mengenali keluarga yang berfungsi baik dan keluarga yang disfungsi.

Dokter keluargaa. Pengertian Pelayanan Dokter Keluarga :Pelayanan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) bagi peserta Askes yang dilaksanakan pada dokter keluarga (dokter umum dan dokter gigi) yang menjadi provider PT Askes (Persero)b. Jenis Pelayanan Dokter Keluarga : Konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan; Pemeriksaan dan Pengobatan oleh dokter; Tindakan medis kecil (ringan); Pemeriksaan penunjang laboratorium sederhana; Pemeriksaan ibu hamil, nifas dan ibu menyusui, bayi dan anak balita; Upaya penyembuhan terhadap efek samping kontrasepsi; Pemberian obat pelayanan dasar dan pelayanan obat penyakit kronis atas indikasi medis; Pemberian surat rujukan ke Rumah Sakit/Dokter Spesialis untuk kasus yang tidak dapat ditangani Dokter Keluarga.

Prosedur Pelayanan Dokter Keluarga : Peserta bisa mendapatkan pelayanan Dokter Keluarga dengan menunjukkan Kartu Askes atau identitas lain dalam keadaan darurat Peserta mendapatkan pelayanan rawat jalan tingkat pertama di Dokter Keluarga dan peserta menandatangani bukti pelayanan Peserta bisa mendapatkan surat rujukan ke RS/Dokter Spesialis jika diperlukan pemeriksaan atau tindakan lebih lanjut yang tidak dapat ditangani oleh Dokter Keluarga Peserta dengan penyakit kronis bisa mendapatkan pelayanan termasuk resep obat kronis di Dokter Keluarga dengan membawa surat rujukan balik dari RS/Dokter Keluarga

2. Jelaskan tentan biayan kapitasi ! Bagaimana cara menghitung biaya kapitasi?Cara MenghitungKapitasiKapitasi adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana pemberi pelayanan kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu (biasanya bulan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu (biasanya bulan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu.

Pembayaran bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem Kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut, yaitu dengan membayar di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu.

Yang dimaksud dengan Lembaga diatas adalah Badan Penyelenggara JPKM (Bapel). Sedangkan yang dimaksud dengan Satuan Biaya (Unit Cost) adalah harga rata-rata pelayanan kesehatan perkapita (disebut juga Satuan Biaya Kapitasi) yang disepakati kedua belah pihak (PPK dan Lembaga) untuk diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah akurasi prediksi angka utilisasi (penggunaan pelayanan kesehatan) dan penetapan biaya satuan. Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi pelayanan kesehatan dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan serta biaya satuan pelayanan.

Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost

Angka utilisasi dapat diketahui dari berbagai laporan yang ada, umpamanya Susenas, atau dari Dinas Kesehatan setempat.

Angka utilisasi dipengaruhi oleh:a. Karakteristik Populasi;b. Sifat Sistem Pelayanan;c. Manfaat yang ditawarkan;d. Kebijakan asuransi.

Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah klinik/praktik.

Angkanya dinyatakan dalam persen (prosentase). Utilisasi merupakan jumlah kujungan per 100 orang di populasi tertentu (jumlah kunjungan/total populasi x 100%).

Utilisasi dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan dan risiko suatu populasi (angka kesakitan). Apabila utilisasi tinggi berarti menunjukkan kualitas pelayanan burukatau derajat kesehatan peserta buruk.

Unit Cost adalah biaya rata-rata untuk setiap jenis pelayanan rata-rata pada kurun waktu tertentu. Unit Cost hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi (sistematis), sehingga dapat melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan.

Unit cost = Jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk pelayanan tersebut.

Unit cost identik dengan tarif atau harga jual (harga pokok ditambah margin) dapat memberikan gambaran tentang efisiensi pelayanan dan risiko biaya suatu populasi (beban biaya). Angka unit cost yang tinggi menunjukkan pelayanan tidak efisien atau populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif). Hal ini penting untuk menghitung tarif atau kapitasi dan untuk mengontrol biaya dan ketaatan tim terhadap SOP yang telah disepakati.

Satuan biaya kapitasi ditetapkan berdasarkan perkiraan besarnya resiko gangguan kesehatan yang memerlukan pelayanan kesehatan di kalangan anggota lembaga pendanaan kesehatan tersebut dalam waktu tertentu.

Faktor-faktor yang menentukan satuan biaya kapitasi:a. Bentuk-bentuk gangguan/masalah kesehatan yang umumnya dialami anggota beserta prevalensisnya.b. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan kesehatan tersebut beserta tarifnya.c. Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan oleh anggota

Dari setiap pelayanan kesehatan, dihitung angka/biaya kapitasi dengan mengalikan angka utilisasi tersebut dengan satuan biaya riil (real cost). Jumlah dari semua angka kapitasi yang didapat menjadi angka kapitasi rata-rata per peserta per bulan. Secara umum rumus penghitungan kapitasi adalah sebagai berikut :

Angka kapitasi = angka utilisasi tahunan x biaya satuan : 12 bulan= biaya per anggota per bulan (PAPB)

Contoh penetapan angka utilisasi dan angka kapitasi :Dari laporan pemanfaatqn pelayanan kesehatan tahun yang lalu (experienced rate) dapat diketahui jumlah kunjungan rawat jalan peserta asuransi kesehatan ke PPK tingkat I sebanyak 12.443 kunjungan. Jumlah peserta 10.000 orang. Biaya dokter dan obat per kunjungan rata-rata Rp. 15.000,- (jasa dokter Rp.5.000,- dan biaya obat rata-rata Rp. 10.000,-). Maka berdasarkan rumus diatas, maka angka kapitasi per anggota per bulan (PAPB), adalah sebagai berikut :

PAPB = [( 12433 / Rp. 10.000 ) x Rp. 15.000 ] : 12 bulan = Rp. 1554,12

Pembayaran untuk Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) dihitung berdasarkan atas perhitungan biaya per kepala (per kapita) untuk pelayanan yang harus diberikan bagi setiap peserta dalam jangka waktu tertentu (biaya pelayanan kapitasi). Besarnya tarif pelayanan kesehatan disini merupakan hasil kesepakatan antara Bapel JPKM dengan PPK yang bersangkut.

Perhitungan pembayaran kapitasi yaitu : jumlah peserta dan keluarganya yang terdaftar sebagai peserta dikalikan dengan besarnya angka kapitasi untuk jenis pelayanan kesehatan yang diinginkan.

Pembayaran kapitasi = jumlah peserta x angka kapitasi

Contoh perhitungan pembayaran kapitasi :Jumlah peserta 3000 orang dan biaya kapitasi rawat jalan TK I Rp. 1.569,94 Pembayaran kapitasi lewat jalan TK 1 adalah sebagai berikutPembayaran kapitasi = 3000 x Rp. 1.569,94 = Rp. 4.709,820/bulan.

Manfaat system Kapitasi :a. Ada jaminan tersedianya anggaran untuk pelayanan kesehatan yang akan diberikanb. Ada dorongan untuk merangsang perencanaan yang baik dalam pelayanan kesehatan, sehingga dapat dilakukan : Pengendalian biaya pelayanan kesehatan per anggota Pengendalian tingkat penggunaan pelayanan kesehatan Efisiensi biaya dengan penyerasian upaya promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif Rangsangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif & efisien Peningkatan pendapatan untuk PPK yang bermutu Peningkatan kepuasan anggota yang akan menjamin tersedianya kesehatan masyarakat

Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost.Angka utilisasi dapat diketahui dari berbagai laporan yang ada, umpamanya Susenas, atau dari Dinas Kesehatan setempat.Dinyatakan dalam persen (prosentase): jumlah kujungan per 100 orang di populasi tertentu (jumlah kunjungan/total populasi x 100%).Angka utilisasi dipengaruhi oleh:a. Karakteristik populasi;b. Sifat sistem pelayanan;c. Manfaat yang ditawarkan;d. Kebijakan asuransi;Unit Cost adalahbiaya rata-rata untuk setiap jenis pelayanan pada kurun waktu tertentu.Hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi (sistematis), sehingga dapat melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan.Rumus: Jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk pelayanan tersebut.Unit cost identik dengan tarif atau harga jual (harga pokok ditambah margin).Unit cost tinggi menunjukkan pelayanan tidak efisien atau populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif).Satuan biaya kapitasi ditetapkan perkiraan besarnya resiko gangguan kesehatan yang memerlukan pelayanan kesehatan di kalangan anggota lembaga pendanaan kesehatan tersebut dalam waktu tertentu.Faktor-faktor yang menentukan satuan biaya kapitasi:a. Bentuk-bentuk gangguan/masalah kesehatan yang umumnya dialami anggota beserta prevalensisnya;b. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan kesehatan tersebut beserta tarifnya;c. Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan oleh anggota.

3. Apa itu medical record ?Pengertiann Rekam MedisDidalam membahas pengertian rekam medis terlebih dahulu akan dikemukakan arti dari rekam medis itu sendiri. Rekam medis disini diartikan sebagai keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam tentang identitas, anamnese, penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien, dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat. Kalau diartikan secara dangkal, rekam medis seakan-akan hanya merupakan catatan dan dokumen tentang keadaan pasien, namun kalau dikaji lebih dalam rekam medis mempunyai makna yang lebih luas dari pada catatan biasa, sesudah tercermin segala informasi menyangkut seorang pasien yang akan dijadikan dasar didalam menentukan tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan maupun tindakan medis lainnya yang diberikan kepada seseorang pasien yang datang ke rumah sakit. (Protap RM, 1999: 56)

Rekam medis mempunyai pengertian, yang sangat luas tidak hanya sekedar kegiatan pencatatan. Akan tetapi mempunyai pengertian sebagai suatu sistem penyelenggarakan rekam medis. Sedangkan kegiatan pencatatan sendiri hanya merupakan salah satu kegiatan dari pada penyelenggarakan rekam medis. Pengyelenggaraan rekam medis adalah merupakan proses kegiatan yang dimulai pada saat diterimanya pasien di rumah sakit, diteruskan kegiatan pencatatan data medik pasien selama pasien itu mendapat pelayanan medik di rumah sakit. Dan dilangjutkan dengan penanganan berkas rekam medis yang meliputi penyelenggaraan penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani permintaan / peminjaman apabila dari pasien atau untuk keperluan lainnya. (Protap RM, 1999: 56)

Yang bertanggung jawab atas pemilikan dan pemanfaatan Rekam Medis adalah Direkture Rumah Sakit, pihak Direktur bertanggung jawab atas hilang, rusak, atau pemalsuaannya, termasuk penggunaannya oleh badan atau orang yang tidak berhak. Isi rekam medis dimiliki oleh pasien yang wajib dijaga kerahasiaanya, terutama oleh petugas kesehatan yang bertugas diruangan selama pasien dirawat, tidak seorangpun diperbolehkan mengutip sebagian atau seluruh Rekam Medik sebuah Rumah Sakit untuk kepentingan pihak-pihak lain atau perorangan, kecuali yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang yang berlaku. (Protap RM, 1999: 57)

Berkas rekam medik sebuah rumah sakit tidak boleh dikirimkan ke tempat keperawatan lain jika seandainya pasien dirujuk untuk mendapatkan perawatan lanjutan di institusi atau rumah sakit lain, yang dikirimkan cukup resume (kesimpulan) saja. Kelalaian dalam pengelolaan dan pemanfaatan rekam medis dapat dikenankan saksi oleh Dirjen Yanmed atau Direktur Rumah Sakit yang bersangkutan. (Buku Pedoman Catatan Medik seri 7 revisinya dibuat berdasarkan Permenkes No. 749 a / Menkes / Per / XII / 1998).

Rekam Medik dan Kesehatan Sebuah Rumah SakitRekam redik rumah sakit merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatang manajemen rumah sakit, rekam medik rumah sakit harus mampu mengajikan informasi lengkap tentang proses pelayanan medis dan kesehatan di rumah sakit, baik dimasa lalu, masa kini maupun perkiraan masa datang tentang apa yang akan terjadi. Aspek Hukum Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang pengisian rekam medik dapat memberikan sanksi hukum bagi rumah sakit atau petugas kesehatan yang melalaikan dan berbuat khilat dalam pengisian lembar-lembar rekam medik (Permenkes, 1992: 27).

Ada dua kelompok data rekam medik rumah sakit di sebuah rumah sakit yaitu kelompok data medik dan kelompok data umum (Permenkes, 1992: 28)a. Data MedikData medik dihasilkan sebagai kewajiban pihak pelaksana pelayanan medis, paramedik dan ahli kesehatan yang lain (paramedis keperawatan dan para non keperawatan). Mereka akan mendokumentasikan semua hasil pemeriksaan dan pengobatan pasien dengan menggunakan alat perekam tertentu, baik secara manual dengan komputer. Jenis rekamnya disebut dengan rekam medik (Permenkes, 1992: 28)

Petunjuk teknis rekam medik rumah sakit sudah tersusun tahun 1992 dan diedarkan ke seluruh organisasi Rumah Sakit di Indonesia. Ada dua jenis rekam medik rumah sakit (Permenkes, 1992: 28). Rekam medis untuk pasien rawat jalan termasuk pasien gawat darurat yang berisi identitas pasien, hasil anemnesis (keluhan utama, riwayat sekarang, riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturungkan atau yang ditularkan diantara keluarga), hasil pemeriksaan, (fisik laboratorium, pemeriksaan kasus lainnya), diagnostik karja, dan pengobatan atau tindakan, pencatatan data ini harus diisi selambat-lambatnya 1 x 24 jam setelah pasien diperiksa. Rekam medik untuk pasien rawat inap, hampir sama dengan isi rekam medis untuk pasien Rawat jalan, kecuali persetujuan pengobatan atau tindakan, catatan konsultasi, catatan perawatan oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya, catatan observasi klinik, hasil pengobatan, resume akhir, dan evaluasi pengobatan.

b. Data UmumData umum dihasilkan oleh kelompok kegiatan non medik yang akan mendukung kegiatan kelompok data medik di poliklinik. Beberapa contoh kegiatan Poliklinik adalah kegiatan persalinan, kegiatan radiology, kegiatan perawatan, kegiatan pembedahan, kegiatan laboratorium dan sebagainya. Data umum pendukung didapatkan dari kegiatan pemakaian ambulans, kegiatan pemesanan makanan, kegiatan kepegawaian, kegiatan keuangan dan sebagainya (Permenkes, 1992: 28)

Tujuan dan Kegunaan Rekam MedisDi dalam uraian tujuan dan kegunaan rekam medik ini terdapat dua pengertian yang sangat erat kaitannya yaitu tujuan dan kegunaan.a. Tujuan Rekam MedisTujuan rekam medik adalah menunjang tercapainya tertip administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis yang baik dan benar, tidak mungkin tertip administrasi rumah sakit akan berhasil sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan di dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tujuan rekam medis secara rinci akan terlihat dan analog sebab kegunaan Rekam Medis itu sendiri (Dirjen Yankes, 1993: 10)b. Kegunaan Rekam MedisKegunaan rekam medis dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain, (Dirjen Yankes 1993: 10) Aspek AdministrasiSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai administrasi, karena Isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan para medis dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.

Aspek MedisSebagai dasar untuk merencanakan pengobatan / perawatan yang harus diberikan kepada seorang pasien. Aspek HukumSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai hukum, karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, dalam rangka usaha untuk menegakkan hukum serta penyediaan bahan bukti untuk menegakkan keadilan. Aspek KeuanganSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai uang, karena isinya mengandung data/informasi yang dapat dipergunakan sebagai aspek keuangan. Aspek PenelitianSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian, karena isinya menyangkut data/informasi yang dapat dipergunakan sebagai aspek penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan. Aspek PendidikanSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai pendidikan, karena isinya menyangkut data / informasi tentang perkembangan kronologis dan kegiatan pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan atau referensi pengajaran dibidang profesi si pemakai. Aspek DokumentasiSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai dokumentasi, karena isinya menyangkut sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggung jawaban dan laporan rumah sakit.

Dengan melihat beberapa aspek tersebut diatas, rekam medis mempunyai kegunaan yang sangat luas, karena tidak hanya menyangkut antara pasien dengan (Dirjen Yankes, 1993: 12)a. Sebagai alat komunikasi antara dokter dengan tenaga ahli lainnya yang ikut ambil bagian didalam memberikan pelayanan, pengobatan, perawatan kepada pasien.b. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan / perawatan yang harus diberikan kepada seorang pasien.c. Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung / dirawat di rumah sakit.d. Sebagai bahan yang berguna untuk analisa, penelitian dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.e. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun Dokter dan tenaga kesehatan dan lainnya.f. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan.g. Sebagai dasar ingatan perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien.h. Menjadi sumber ingatan yang harus ingatan didokumentasikan.

Sistem Penyimpanan Rekam MedisSebelum menentukan suatu sistem yang akan dipakai perlu terlebih dahulu mengetahui bentuk penyurusan penyimpanan yang ada dalam pengelolaan Rekam Medis. Ada dua cara pengurusan penyimpanan dalam penyelenggaraan Rekam Medis, yaitu (Dirjen Yankes, 1993: 7)a. SentralisasiSentralisasi ini diartikan penyimpanan Rekam Medis seorang pasien dalam satu kesatuan baik catatan kunjungan poliklinik maupun catatan-catatan selama seorang pasien dirawat. Sistem ini disamping banyak kebaikannya juga ada kekurangannya (Dirjen Yankes, 1993: 7)Kebaikannya: Mengurangi terjadinya pengganaan dalam pemeliharaan dan penyimpanan Rekam Medis. Mengurangi jumlah biaya yang dipergunakan untuk peralatan dan ruangan. Tata kerja dan peraturan mengenai kegiatan pencatatan medis mudah distandarisasikan. Memungkinkan peningkatan efisiensi kerja petugas penyimpanan. Mudah menerapkan sistem unit record.

Kekurangannya : Petugas menjadi lebih sibuk, karena harus menangani Unit Rawat Jalan dan Unit Rawat Inap. Tempat penerimaan pasien harus bertugas selama 4 jam

b. DesentralisasiDengan cara desentralisasi terjadi pemisahan antara rekam medis poliklinik dengan rekam medis penderita di rawat. Rekam medis poliklinik disimpan di satu tempat penyimpanan, sedangkan rekam medis penderita di rawat disimpan di bagian pencatatan medis. (Dirjen Yankes, 1993: 8)Kebaikannya: Efisiensi waktu, sehingga pasien mendapat pelayanan lebih cepat. Beban kerja yang dilaksanakan petugas lebih ringan.

Kekurangannya: Terjadi duplikasi dalam pembuatan rekam medis. Biaya yang diperlukan untuk perawatan dan ruangan lebih banyak.

Secara teori cara sistem sentralisasi lebih baik dari pada cara sistem desentralisasi, tetapi pada pelaksananya sangat tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing rumah sakit. Hal-hal yang mempengaruhi yang berkaitan dengan situasi dan kondisi tersebut antara lain (Dirjen Yankes, 1993: 8)a. Karena terbatasnya tenaga yang terampil, khususnya yang menangani pengelolaan rekam medis.b. Kemampuan dana Rumah Sakit yang dikelolah oleh Pemerintah Daerah.

Ketentuan dan prosedur penyimpanan rekam medis lainnya (Dirjen Yankes, 1993: 8)a. Pada saat rekam medis dikembalikan ke bagian rekam medis, harus disortir menurut nomor sebelum disimpan. Hal ini membantu menentukan rekam medis yang diperlukan tetapi tidak ada dalam tempat penyimpanan dan memudahkan pekerjaan penyimpanan.b. Hanya petugas-petugas rekam medis yang dibenarkan menangani rekam medis, pengecualian diberikan kepada pegawai rumah sakit yang bertugas pada sore hari dan malam hari. Dokter-dokter, staf Rumah Sakit, pegawai-pegawai dari bagian lain tidak diperkenankan mengambil berkas rekam medis dari tempat penyimpanan.c. Rekam medis yang sampulnya rusak atau lembarannya lepas, harus segerah diperbaiki untuk mencegah makin rusak atau hilannya lembaran-lembaran yang diperlukan.d. Pengamatan terhadap penyimpanan harus dilakukan secara periodik, untuk menentukan salah simpan dan melihat kartu pinjaman yang rekam medisnya masih belum dikembalikan.e. Rekam medis yang sangat tebal harus dijadikan 2 atau 3 jilid.f. Petugas yang mengepalai kegiatan penyimpanan harus membuat laporan rutin kegiatan yang meliputi: Jumlah rekam medis yang dikeluarkan tiap hari dari rak penyimpanan untuk memenuhi permintaan. Jumlah permintaan darurat Jumlah salah simpan Jumlah rekam medis yang tidak dapat ditemukan

4. Apa saja langkah-langkah Evidence Based Medicine (EBM), jenis-jenis EBM, dan alasan dilakukannya EBM?EBM adalah penggunaan bukti terbaik saat ini dengan hati-hati, jelas, dan bijak, untuk pengambilan keputusan pelayanan individu pasien. EBM memadukan keterampilan klinis dengan bukti klinis eksternal terbaik yang tersedia dari riset.

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien. Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan pengambilankeputusan klinis yang lebih efektif, aman, bisa diandalkan (reliable), efisien, dan cost-effective.

Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM, yaitu :Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar.

Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan (BMJ Evidence Centre, 2010). Dengan menggunakan bukti-bukti yang terbaik dan relevan dengan masalah pasien atau sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik yang berguna, dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat, memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang terbaik untuk mencegah penyakit.

EBM memberikan pendekatan baru dalam praktik kedokteran klinis yang tidak dilakukan sebelumnya. Contoh, EBM mengajarkan bahwa pengambilan keputusan yang lebih baik tentang terapi bukan berbasis opini (opinion-based decision making, OBDM), atau kebijaksanan konvensional (conventional wisdom) yang tidak berbasis bukti, melainkan berbasis bukti (evidence-based decision making, EBDM), yaitu bukti efektivitas intervensi medis dari kajian sistematis (systematic review), atau randomized controlled trial (RCT), dengan double-blinding dan concealment, dengan ukuran sampel besar (Gambar 2).

Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/ keahlian klinis dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatif seorang klinisi melalui pendidikan, pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang tinggi diwujudkan dalam berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih akurat dan efisien, pemilihan terapi yang lebih bijak, yang memperhatikan preferensi pasien. Pengalaman dan keterampilan klinis dokter merupakan komplemen penting bagi bukti-bukti, yang diperlukan untuk menghasilkan pelayanan medis yang efektif. Tetapi penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak menjamin pelayanan medis yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan, pembuatan keputusan klinis yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis yang tidak sistematis, intuisi, maupun alasan patofisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien yang dihadapi kompleks (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992).

Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care).

Ada beberapa alasan perlunya EBM, dua alasan utama sebagai berikut :Pertama, jumlah publikasi medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat dipercaya (Del Mar et al., 2004).

Bukti riset yang dipublikasikan sangat banyak jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran diterbitkan setiap tahun. Padahal, not all evidences are created equal. Tidak semua artikel hasil riset memberikan bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran) yang sama. Suatu intervensi diagnostik maupun terapetik yang efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa pada saat yang sama mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Selain itu tidak semua bukti dibutuhkan untuk pasien dalam praktik klinis. Karena itu para dokter dan tenaga kesehatan profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-bukti terbaik yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara yang efektif, produktif, dan efisien (cepat). Teknologi informasi memberikan kontribusi besar bagi perkembangan EBM (Claridge dan Fabian, 2005).

Komputer dan perangkat lunak database memungkinkan kompilasi sejumlah besar data. Internet memungkinkan akses data dan informasi secara masif dalam waktu singkat. Dalam dua dekade terakhir telah dilakukan upaya untuk mengembangkan, mensintesis, menata bukti-bukti pada berbagai database hasil riset, yang bisa digunakan secara online untuk membantu membuat keputusan klinis. MedLine (PubMed), dan Embase, merupakan contoh database hasil riset primer kedokteran yang telah dipublikasikan. Cochrane Library merupakan contoh database hasil riset sekunder (systematic-review/ meta-analysis) yang mensintesis hasil riset primer dengan topik sama.

Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan strategi untuk menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi lainnya, untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk mendapatkan informasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan sekunder. Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil riset, menganalisis dan menilai bukti, dan menerapkan bukti kepada pasien.

Kedua, melunturnya trust (kepercayaan) masyarakat terhadap integritas pelayanan kedokteran dan praktisi yang memberikan pelayanan medis.

Muncul keprihatinan para stakeholders tentang mutu pelayanan kesehatan. WHO dalam Laporan Tahunan Kesehatan Dunia 2008 - Primary Health Care - Now More Than Ever, mengemukakan lima masalah serius pelayanan kesehatan di dunia: Inverse care; Impoverishing care; Fragmented care; Unsafe care; Misdirected care (WHO, 2008).

Sistem pelayanan kesehatan yangfragmented membawa akibat yang tidak diinginkan, inefisiensi, ketidakefektifan, ketidakadilan, komoditisasi, komersialisasi, deprofesionalisasi, depersonalisasi, dan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan (Stange, 2009).

Berbagai masalah tersebut sebagian besar bisa diatasi jika dokter menerapkan prinsip EBM. EBM merupakan pendekatan baru dalam memberikan pelayanan kesehatan,terdiri atas trilogi :(1) Penggunaan bukti-bukti ilmiah terbaik;(2) Keterampilan klinis, dan(3) Pemenuhan nilai dan ekspektasi pasien.

Langkah-Langkah EBMSebuah strategi yang efisien untuk menerapkan EBM adalah strategi - Push and Pull. DenganPUSH (JUST IN CASE) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik tentang masalah klinis pasien yang sering atau banyak dijumpai di tempat praktik secara proaktif dicari dan dipelajari sebelum pasien mengunjungi praktik klinis, lalu bukti-bukti tersebut disimpan ke dalam file atau memori dokter. Dengan - PULL(JUST IN TIME) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik yang tersimpan dalam file atau memori dokter - ditarik, diambil, dan digunakan ketika pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya, praktik EBM terdiri atas lima langkah (Tabel 1)

Kelima langkah EBM bisa disingkat - 5A: asking, acquiring, appraising, applying, assessing.

Langkah 1: Merumuskan pertanyaan klinisBackground Questions. Ketika seorang dokter memberikan pelayanan medis kepada pasien hampir selalu timbul pertanyaan di dalam benaknya tentang diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan diberikan kepada pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang mudah dijawab, disebut pertanyaan latar belakang (background questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005).Contoh pertanyaan klinis yang mudah dijawab/ background questions :a. Bagaimana cara mendiagnosis tuberkulosis paru?b. Apakah gejala dan tanda yang terbanyak dijumpai tentang malaria? c. Bagaimana cara hiperkolesterolemia meningkatkan risiko pasien untuk mengalami infark otot jantung?d. Apakah penyebab hiperbilirubinemia?e. Apakah kontra-indikasi pemberian kortikosteroid? Pertanyaan latar belakang dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan medis yang bersifat umum yang lazim dikemukakan oleh mahasiswa kedokteran, misalnya fisiologi dan pato-fisiologi penyakit. Bagi kebanyakan dokter praktik, pertanyaan latar belakang mudah dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dokter, pengalaman praktik klinis, mengikuti seminar, continuing medical education (CME), membuka buku teks, ataupun membaca kajian pustaka.

Foreground Questions.Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit dijawab, yang tidak memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku teks, atau mengikuti seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar depan (foreground questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005). Pertanyaan latar depan bertujuan untuk memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan untuk membuat keputusan klinis.Contoh pertanyaan klinis yang sulit dijawab/ foreground questions :a. Apakah vaksin MMR (mumps, measles, rubella) menyebabkan autisme pada anak, sehingga sebaiknya tidak diberikan kepada anak? (Halsey et al., 2001)b. Apakah skrining kanker prostat, baik dengan teknik digital rectal examination (DRE) ataupun tes darah prostate-specific antigen (PSA), berguna untuk menurunkan mortalitas spesifik kanker prostat, menurunkan mortalitas semua kausa, meningkatkan kualitas hidup, sehingga dibenarkan untuk dilakukan? (Ilic et al., 2006; Gjertson dan Albertsen, 2011)c. Manakah yang lebih efektif, penisilin intramuskuler atau penisilin per oral untuk mencegah rekurensi demam rematik dan infeksi streptokokus tenggorok? Manakah yang lebih baik, injeksi penisilin tiap 2-3 minggu atau tiap 4 minggu? (Manyemba dan Mayosi, 2002, diperbarui 2009).d. Manakah yang lebih akurat, magnetic resonance imaging (MRI) atau computed tomography (CT) scan, untuk mengidentifikasi stroke kecil multipel di dalam otak? (Cedars-Sinai, 2010)e. Bagaimana efektivitas antigen H. pylori feses dibandingkan dengan endoskopi untuk mendeteksi infeksi H. pylori?" (Zakowski et al., 2004)

Pembahasan dalam step 1, yaitu dikaji berdasarkan :a. Patient and problem;b. Intervention;c. Comparison;d. Outcome.

Sebagai contoh, seorang dokter menghadapi pasien laki-laki berusia 30 tahun dengan keluhan nyeri abdomen akut. Dokter itu masih ragu tentang kebenaran diagnosis yang dibuat setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dia ingin mengetahui tes diagnostik yang baik yang bisa membantu membuat diagnosis dengan lebih meyakinkan. Pertanyaan klinis yang baik dirumuskan dengan spesifik sebagai berikut, Manakah yang lebih baik, computed tomography (CT) atau ultrasonografi untuk mendiagnosis apendisitis pada laki-laki usia 30 tahun dengan nyeri abdomen akut?

Patient and problemPertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas karakteristik pasien dan masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis. Karakteristik pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar bukti-bukti yang dicari dari database hasil riset relevan dengan masalah pasien dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang berasal dari riset yang menggunakan sampel pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien/ populasi pasien yang datang pada praktik klinik.

Keserupaan antara karakteristik demografis, morbiditas, klinis, dari sampel penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting untuk diperhatikan, karena mempengaruhi kemampuan penerapan bukti-bukti (applicability). Jika karakteristik kedua populasi berbeda, maka bukti-bukti yang dicari tidak dapat diterapkan, atau dapat diterapkan dengan pertimbangan yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious judgment).

Masalah klinis yang dihadapi dokter dan perlu dijawab dengan metode EBM perlu dirumuskan dengan jelas apakah mengenai kausa/ etiologi penyakit pasien, akurasi tes diagnostik, manfaat terapi, kerugian (harm) dari terapi, atau prognosis.

Intervention Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang ingin diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining, tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya.

Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga merupakan paparan (exposure) suatu faktor yang diduga merupakan faktor risiko/etiologi/kausa yang mempengaruhi terjadinya penyakit/masalah kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga merupakan faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti kematian, komplikasi, kecacatan, dan sebagainya (bad outcome) pada pasien.

ComparisonPrinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan tentang manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu dibandingkan dengan keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes diagnostik yang lebih akurat yang disebut rujukan standar (standar emas), atau tes diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan maka dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati keberadaan penyakit yang sesungguhnya, atau mendekati hasil tes diagnostik standar emas, maka tes diagnostik tersebut memiliki akurasi yang baik, sehingga bermanfaat untuk dilakukan.

Demikian pula untuk menarik kesimpulan tentang efektivitas terapi, maka hasil dari pemberian terapi perlu dibandingkan dengan hasil tanpa terapi. Jika terapi memberikan perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien tanpa terapi juga menunjukkan perbaikan klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut efek plasebo, maka terapi tersebut tidak efektif.Pembanding yang digunakan tidak harus tanpa intervensi (do nothing) ataupun plasebo. Pembanding bisa juga merupakan intervensi alternatif atau terapi standar yang digunakan selama ini (status quo). Jenis pembanding yang digunakan sangat penting untuk dicermati karena sangat mempengaruhi kesimpulan dan penerapan temuan. Contoh, sebuah terapi baru mungkin memberikan perbaikan klinis cukup besar dan secara statistik signifikan ketika dibandingkan dengan tanpa terapi. Dinyatakan dalam ukuran efek terapi yang disebut NNT (number needed to treat), terapi baru mungkin memiliki NNT cukup rendah sehingga cukup efektif dibandingkan dengan plasebo. Tetapi terapi baru sesungguhnya tidak memberikan perbaikan inkremental klinis dengan cukup besar dan secara statistik tidak signifikan jika dibandingkan dengan terapi standar. Jika efek terapi dinyatakan dalam NNT, terapi baru mungkin memiliki NNT yang tidak cukup kecil untuk bisa disebut efektif jika dibandingkan dengan terapi lama (standar). Bila dalam aspek kerugian (harm, adverse events) serta biaya yang diakibatkan oleh terapi baru dan terapi standar sama, maka tidak ada alasan untuk menyimpulkan terapi baru lebih baik daripada terapi standar.

OutcomeEfektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis (clinical outcome). Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting hasil akhir yang berorientasi pasien (patient-oriented outcome) dari sebuah intervensi medis (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi - 3D:a. Death;b. Disability; danc. Discomfort.

Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah kematian dini, mencegah kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.

Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika terjadi dini atau tidak tepat waktunya. Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi pasca diare, kematian mendadak (sudden death) yang dialami laki-laki usia 50 tahun pasca serangan jantung, merupakan kematian dini yang seharusnya bisa dicegah.

Disability (kecacatan) adalah ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial, atau melakukan rekreasi. Contoh, kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus, hemiplegi pasca serangan stroke, merupakan kecacatan yang seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi kualitas hidup pasien, diukur dengan QALY (quality-adjusted life year), DALY (disability-adjusted life year), HYE (healthy years equivalent), dan sebagainya.

Discomfort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala seperti nyeri, mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala lainnya yang mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan menyebabkan penderitaan fisik dan/ atau psikis manusia. Contoh, dispnea pada pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan ketidaknyamanan yang menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi daripada gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit itu sendiri. Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup pasien.

Death menentukan kuantitas hidup, sedangkandisability dan discomfort mempengaruhi kualitas hidup (quality of life). Dalam paradigma EBM, manfaat dari intervensi medis dinilai dari kuantitas maupun kualitas hidup pasien. Contoh, terapi paliatif bertujuan mengurangi gejala penyakit dan penderitaan pasien, meningkatkan kualitas hidup pasien dengan masalah penyakit serius dan kompleks, misalnya kanker. Terapi paliatif bukan bertujuan menyetop, menunda, atau membalikkan arah progresi penyakit, atau menyembuhkan (cure) penyakit. Terapi paliatif merupakan contoh pelayanan medis yang menggunakan paradigma EBM, karena hasil yang dinginkan adalah perbaikan yang dirasakan oleh pasien

Langkah 2 : Mencari BuktiSetelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah berikutnya adalah mencari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi sistematis (McQueen dan Anderson 2001). Jadi pendekatan berbasis bukti sangat mengandalkan riset, yaitu data yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan kuat setelah perencanaan riset (Banta 2003). Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri-ciri - EUREKA - Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current and Appraised - yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/ diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian (Mathew, 2010).

Gambar 3 menyajikan algoritme untuk mencari bukti dari artikel riset asli dengan lebih efisien. Pertama, mulailah dengan memperhatikan judul artikel. Meskipun hanya terdiri atas sekitar 10-15 kata, judul artikel sangat penting.

Judul lazimnya mengindikasikan variabel yang diteliti (baik intervensi maupun variabel hasil yang diteliti), populasi sasaran, dan setting/lokasi penelitian. Jadi judul artikel sesungguhnya sudah bisa mengisyaratkan apakah artikel yang bersangkutan relevan dan akan menjawab pertanyaan klinis (PICO). Jika judul tidak relevan dengan praktik klinis, artikel tersebut tidak perlu dibaca, dan klinisi bisa meneruskan pencarian bukti dari artikel lainnya. Sebaliknya jika relevan dengan praktik klinis, klinisi perlu membaca abstrak artikel.

Sumber BuktiKeberhasilan menerapkan EBM sangat tergantung pada ketersediaan bukti terbaik dan terkini. Dokter membutuhkan akses cepat terhadap bukti tentang diagnosis, terapi, dan pencegahan penyakit atau masalah kesehatan pasien. Idealnya bukti tersebut sesuai dengan karakteristik dan konteks individu pasien atau populasi, dan sumberdaya yang ada pada pemberi pelayanan kesehatan. Lalu di mana sebaiknya dokter mencari bukti? Buku teks bukan merupakan sumber bukti yang baik untuk foreground questions, karena umumnya kedaluwarsa dan hanya memadai untuk background questions. Sumber bukti yang dianjurkan untuk foreground questions adalah sumber yang berbasis artikel riset yang dipublikasikan, yang valid (benar) dan aktual (terkini). Bukti yang disediakan lebih mudah untuk digunakan jika secara eksplisit merupakan hasil dari proses penyiapan dan penyajian untuk menjawab masalah klinis pasien, berbasis ringkasan sejumlah artikel dan kajian riset.

Sumber bukti klinis dapat dibagi menjadi dua kategori: sumber primer dan sumber sekunder. Sumber bukti primer adalah bukti dari riset asli. Sumber sekunder adalah bukti dari ringkasan arau sintesis dari sejumlah riset asli. Haynes (2005) mengembangkan modelhirarki organisasi pelayanan informasi klinis yang disebut - 4S(Gambar 4).

Model hirarki bukti - 4S terdiri atas : Studi (riset asli, terletak pada dasar hirarki), Sintesis (kajian sistematis pada level berikutnya),Sinopsis (deskripsi singkat dari artikel dan kajian jurnal EBM), danSistem (sistem pendukung keputusan berbasis komputer yangmenghubungan karakteristik individu pasien dengan bukti yang relevan, terletak pada puncak hirarki). Hirarki tersebut menunjukkan tingkat kesiapan bukti dan kecepatan penggunaan bukti.

Haynes (2001) menyarankan klinisi untuk menggunakan model hirarki - 4S dalam mencari bukti, berturut-turut dimulai darisistem, sinopsis,sintesis, diakhiri dengan studi. Makin tinggi sumber bukti pada hirarki, makin dekat bukti yang dipersiapkan dan disajikan dengan pertanyaan klinis yang dihadapi klinisi pada praktik klinis, makin cepat dan relevan klinisi dalam mendapatkan bukti. Meski demikian penggunaan model 4S perlu dilakukan dengan hati-hati.

Sistem. Dengan sistem dimaksudkan sistem informasi klinis berbasis komputer yang mengintegrasikan dan meringkas semua bukti riset yang penting dan relevan dengan masalah klinis spesifik pasien. Informasi yang tersedia dalam sistem merupakan hasil dari proses kajian yang secara eksplisit dilakukan untuk menyediakan bukti baru yang berasal dari artikel pada jurnal. Sistem diperbarui jika tersedia bukti riset yang baru dan penting.

Sumber bukti sistem meliputi: BMJ Clinical Evidence (http://www.clinicalevidence. com); UpToDate (http://www.uptodate.com); PIER: The Physicians Information and Education Resource (http://pier.acponline.org/index.html); WebMD (http://webmd.com)dengan koneksi ke ACP Medicine (www.acpmedicine.com), dan Bandolier (http:// www.ebandolier.com/).

Sinopsis (abstrak) merupakan ringkasan temuan penting dari sebuah atau sejumlah riset asli dan kajian. Sinopsis merupakan sumber berikutnya jika tidak tersedia sistem.Sinopsis disebut juga Clinically Appraised Topics (CATs), memberikan informasi dengan topik yang dibutuhkan untuk menjawab masalah klinis di tempat praktik. CATs merupakan ringkasan sebuah atau sejumlah studi dan temuan-temuannya yang dapat dikaji dan digunakan oleh klinisi di kemudian hari. Sebuah CATs terdiri atas judul artikel, kesimpulan yang disebut Clinical Bottom Line, pertanyaan klinis, ringkasan hasil, komentar, tanggal publikasi studi, dan sitasi yang relevan (Schranz dan Dunn, 2007).

Sintesis merupakan ringkasan sistematis dan terinci dari hasil sejumlah riset tunggal, sehingga disebut kajian sistematis (systematic review). Kajian sistematis yang dinyatakan dengan ukuran kuantitatif disebut meta-analisis. Kajian sistematis memberikan bukti bernilai paling tinggi dari 4S. Tetapi klinisi tetap perlu melakukan penilaian kritis terhadap bukti-bukti kajian sistematis. Karena kualitas kajian sistematis tergantung dari masing-masing studi primer/asli yang dikaji (Schranz dan Dunn, 2007).

Sumber bukti sintesis meliputi : Cochrane Library; Tetapi kajian sistematis bisa juga diperoleh melalui dabase Medline, Ovid EBMR, Evidence-Based Medicine / ACP Journal Club, dan lain-lain.

Studi. Jika semuaS (sistem, sinopsis, sintesis) tidak tersedia, maka waktunya bagi klinisi untuk menggunakan riset asli, yaitu studi. Bukti dari riset asli bisa diakses melalui beberapa cara: (1) Database on-line; (2) Arsip on-line artikel teks penuh; (3) Penerbit jurnal; (4) Mesin pencari. Sumber bukti database berisistudi yang otoritatif meliputi : MEDLINE/ PubMed (www.pubmed.com/), Embase (www.ovid.com), Trip database (www.tripdatabase.com/).

Langkah 3: Menilai Kritis BuktiEBM merupakan praktik penggunaan bukti riset terbaik yang tersedia (best available evidence). Tetapi not all evidences are created equal tidak semua sumber bukti memberikan kualitas bukti yang sama. Dokter dituntut untuk berpikir kritis dan menilai kritis bukti (critical appraisal). Nilai bukti ditentukan oleh dua hal: (1) Desain riset; dan (2) Kualitas pelaksanaan riset.

Tidak semua desain riset memberikan bukti yang sama kuatnya. Karena itu berdasarkan desain riset, dikenalhirarki bukti desain riset. Sebagai contoh, ada kecenderungan di antara dokter untuk bersikap paternalistik dan mengekor pendapat pakar (expert opinion) ketika membuat keputusan masalah klinis yang cukup kompleks. Apakah pendapat pakar memiliki nilai tinggi sebagai sebuah bukti ilmiah? Tidak. Dalam aspek efektivitas terapi, bukti yang memiliki nilai tertinggi (excellent evidence) berasal dari kajian sistematis (systematic review) dari sejumlah randomized controlled trial (RCT), dan bukti yang buruk (poor evidence) berasal dari pendapat pakar.

Di samping desain riset, kualitas pelaksanaan riset juga menentukan kualitas bukti. Sebagai contoh, jika pengumpulan data pada RCT dilakukan dengan sembrono, tentu bukti yang dihasilkan dari RCT merupakan bukti yang buruk.

Secara formal penilaian kritis (critical appraisal) perlu dilakukan terhadap kualitas buki-bukti yang dilaporkan oleh artikel riset pada jurnal. Intinya, penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang validitas (validity), kepentingan (importance), dan kemampuan penerapan (applicability) bukti-bukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis, pencegahan, kerugian, yang akan digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat VIA.

ValiditySetiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias adalah kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi, akurasi prognosis, maupun kerugian/ etiologi penyakit.

Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung dari cara peneliti memilih subjek/sampel pasien penelitian, cara mengukur variabel, dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor perancu (confounding factor). Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti dalam memilih sampel pasien sehingga sampel kelompok-kelompok yang dibandingkan tidak sebanding dalam distribusi faktor perancu, atau sampel yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran penelitian, sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, efek intervensi, atau kesimpulan tentang faktor risiko/ etiologi/ kausa penyakit atau akibat-akibat penyakit, disebut bias seleksi.

Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti pada berbagai fase pengumpulan data penelitian, sejak mendesain instrumen, mengukur/ mengamati variabel, mencatat dan memasukkan data penelitian, menganalisis data, sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, efektivitas intervensi, atau hubungan antara faktor risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut bias informasi (bias observasi, bias pengukuran).

Kegagalan peneliti dalam mengendalikan faktor ketiga yang memiliki pengaruh independen terhadap variabel hasil yang diteliti, yang disebut faktor perancu (confounding factor), sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, kefektifan intervensi, atau hubungan antara faktor risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut kerancuan (confounding).

Untuk memperoleh hasi riset yang benar (valid), maka sebuah riset perlu menggunakan desain studi yang tepat. Sebagai contoh, jika bukti yang diinginkan menyangkut efektivitas dan keamanan intervensi terapetik, maka bukti yang terbaik berasal dari kajian sistematis/ meta-analisis dari randomized, triple-blind, placebo-controlled trial (RCT), yaitu eksperimen random dengan pembutaan ganda dan pembanding plasebo, dengan penyembunyian (concealment) hasil randomisasi, serta waktu follow-up yang cukup untuk melihat hasil yang diinginkan. Di pihak lain, testimoni (pengakuan) pasien, laporan kasus (case report), bahkan pendapat pakar, memiliki nilai rendah sebagai bukti, karena efek plasebo (yaitu, perbaikan kesehatan yang dapat dihasilkan oleh intervensi medis palsu), bias yang timbul ketika mengamati atau melaporkan kasus, dan kesulitan dalam memastikan siapa yang bisa disebut pakar, dan sebagainya.

Importance Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif.

Applicability Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. Bukti terbaik dari sebuah setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas) kepada setting praktik klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu perlu dipahami perbedaan antara konsep efikasi (efficacy) dan efektivitas (effectiveness). Efikasi (efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang ditunjukkan pada situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi yang sangat terkontrol sering kali tidak sama dengan situasi praktik klinis sehari-hari. Suatu intervensi menunjukkan efikasi jika efek intervensi itu valid secara internal (internal validity), dengan kata lain intervensi itu memberikan efektif ketika diterapkan pada populasi sasaran (target population)

Agar intervensi efektif ketika diterapkan pada populasi yang lebih luas, yang tidak hanya meliputi populasi sasaran tetapi juga populasi eksternal (external population), maka intervensi tersebut harus menunjukkan efektivitas. Efektivitas (effectiveness) adalah bukti tentang kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, sebagaimana ditunjukkan/ diterapkan pada dunia yang nyata (the real world).

Efektivitas menunjukkan manfaat praktis-pragmatis dari sebuah intervensi ketika diterapkan pada lingkungan pelayanan dokter yang sesungguhnya, di mana banyak terdapat ketidakteraturan (irregularity) dan ketidakpastian (uncertainty), meskipun pada lingkungan yang sangat terkontrol alias terkendali intervensi itu mungkin efektif. Kemampuan penerapan intervensi dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya kesesuaian antarakarakteristik populasi pasien dalam riset dan pasien di tempat praktik, kesesuaian antara variabel hasil yang diteliti dalam riset dan hasil yang diinginkan pada pasien (perbaikan klinis), akseptabilitas dan kepatuhan pasien, keamanan (jangka pendek maupun jangka panjang), biaya, cost-effectiveness, fisibilitas (kelayakan), perbandingan dengan alternatif intervensi lainnya, preferensi pasien, akseptabilitas sosial, dan sebagainya. Pertimbangan semua faktor tersebut diperlukan untuk menentukan kemampuan penerapan intervensi.

Dokter bekerja di dunia nyata, bukan dunia maya atau dunia lain. Karena itu keputusan untuk menggunakan/tidak menggunakan intervensi perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas (effectiveness) intervensi. Suatu riset yang menemukan efektivitas intervensi, dengan kata lain intervensi yang efektif ketika diterapkan pada populasi umum (populasi eksternal), maka temuan riset itu dikatakan memiliki validitas eksternal (external validity). Berdasarkan fakta tersebut maka dalam praktik EBM, bukti efektivitas (evidence of effectiveness) lebih bernilai daripada bukti efikasi (evidence of efficacy) (Mathew, 2010).

Langkah 4: Menerapkan BuktiLangkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan struktur PICO, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang memperhatikan aspekPICO Patient, Intervention, Comparison, dan Outcome. Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan kelayakan (feasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis.

PatientTiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan intervensi:a. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang sama dengan pasien di tempat praktik?b. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan maupun kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?c. Bagaimana dampak psikologis-sosial-kutural pada pasien sebelumnya dalam menggunakan intervensi?

Prinsip EBM adalah memberikan pelayanan yang berpusat kepada pasien (patient-centered care). Klinisi perlu memperhatikan kesesuaian karaktersistik pasien yang digunakan dalam riset dan pasien yang dihadapi di tempat praktik klinis (Gambar 1.4). Jika peneliti menggunakan pasien berspektrum luas sehingga memiliki karakteristik yang sama/serupa dengan pasien di tempat praktik, maka bukti riset bisa diterapkan. Tetapi pada banyak kasus tidak seperti itu. Tidak jarang peneliti menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi pada sampel pasien yang diteliti, suatu kebiasaan yang kontra-produktif, sehingga sampel pasien yang diteliti menjadi sangat spesifik dan berspektrum sempit. Jika pasien yang diteliti berspektrum sempit dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasien di tempat praktik, maka klinisi harus melakukan pertimbangan seksama dan terbaik untuk memutuskan apakah bukti riset tersebut bisa diterapkan.

Bagaimana cara menentukan bahwa suatu intervensi bisa/ tidak bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik? Apakah menggunakan rumus statistik? Perlu diingat bahwa banyak orang memiliki pandangan yang salah tentang statistik dan berharap terlalu banyak kepada statistik, seolah semua masalah bisa dan lebih baik jika diselesaikan dengan cara statistik. Cara berpikir sesat dan tolol tersebut menyebabkan sering kali terjadi statistical misuse, yaitu salah penggunaan statistik, ataupun statistical abuse, yaitu sengaja menyalahgunakan statistik untuk suatu niat yang tidak baik, misalnya membohongi pembaca.

Dalam konteksini satu hal pasti bahwa tidak ada resep atau formula statistik yang dapat digunakan untuk menentukan generalizability, yakni kemampuan penerapan bukti riset kepada masalah pasien di tempat praktik. Dokter perlu menggunakan pengetahuan yang ada, pertimbangan klinis (clinical judgment) terbaik dan pemikiran logis (logical thinking) untuk menentukan apakah bukti riset tepat untuk diterapkan pada pasien di tempat praktik (Rothman, 2002).Sebagai contoh, dokter di Indonesia menulis resep ratusan jenis obat yang efektivitasnya diuji dalam riset yang dilakukan di negara maju, seperti AS, Kanada, Eropa Barat, Jepang, Australia, bukan di Indonesia. Hampir tidak ada satupun dari ribuan riset tersebut menggunakan sampel orang Indonesia, sehingga sampel yang digunakan tidak merepresentasikan populasi Indonesia. Tetapi faktanya, semua dokter di Indonesia memberikan obat tersebut untuk pasien Indonesia. Jadi salahkah praktik yang dilakukan semua dokter di Indonesia ketika memberikan obat kepada pasien? Jika efektivitas semua obat tersebut valid secara internal untuk orang Amerika, bisakah kesimpulan tersebut diekstrapolasi kepada orang Indonesia (populasi eksternal)? Tidak ada rumus statistik untuk menentukan generalizability. Tetapi pengetahuan yang ada, pertimbangan klinis dan pemikiran logis bisa mengatakan tidak ada hubungan antara ras dan warna kulit dengan efektivitas obat. Karena itu perbedaan ras dan warna kulit tidak menghalangi perluasan kesimpulan efektivitas obat-obat tersebut ketika digunakan pada pasien orang Indonesia.

Pada awal bab ini disebutkan, praktik EBM menggunakan pendekatan epidemiologi klinik, yaitu mengindividualisasi pelayanan pasien menurut konteks yang melatari pasien. Konteks pasien penting diperhitungkan untuk menghindari contextual error. Contextual error adalah kesalahan dalam menentukan diagnosis, kausa, prognosis, atau terapi kepada pasien karena kegagalan klinisi untuk mengindividualisasi pasien, yaitu pengabaian klinisi terhadap elemen lingkungan, perilaku, dan preferensi pasien yang penting dalam merencanakan pelayanan yang tepat (Scott, 2009; Weiner et al., 2010).

Karena itu dokter harus mempertimbangkan ketepatan (appropriateness) intervensi sebelum menerapkannya kepada individu pasien. Ketepatan (appropriateness) adalah the quality of being specially suitable, atau the extent to which the intended outcomes (or the objectives) for an output are the correct ones; that is, whether they match the real needs of clients and stakeholders. Appropriateness menunjukkan kesesuaian antara hasil intervensi yang akan diberikan dengan keinginan dan kebutuhan pasien. Appropriateness adalah the extent to which a particular procedure, treatment, test, or service is clearly indicated, not excessive, adequate in quantity, and provided in the setting best suited to a patient's or member's needs. Appropriateness menunjukkan sejauh mana suatu prosedur, terapi, tes, atau pelayanan memang diperlukan, tidak berlebihan, dalam jumlah yang cukup, dan diberikan pada setting yang paling cocok bagi kebutuhan pasien. Appropriateness berbeda dengan efikasi. Efikasi merujuk kepada dampak fisiologis dari sebuah intervensi. Sedang appropriateness merujuk kepada konteks dan dampak psikososial- kultural dari sebuah intervensi.

InterventionTiga pertanyaan perlu dijawab terkait intervensi sebelum diberikan kepada pasien:a. Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?b. Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?c. Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?

Efektivitas (effectiveness) adalah the quality of being able to bring about an effect, atau producing a decided or decisive effect. Efektivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Intervensi yang rasional untuk digunakan adalah intervensi yang efektivitasnya didukung oleh bukti yang valid, memberikan perbaikan klinis secara substansial (clinically significant), menunjukkan konsistensi hasil (statistically significant), dan dapat diterapkan (applicable).

Efektivitas berbeda dengan efikasi. Efektivitas lebih realistis daripada efikasi. Intervensi yang menunjukkan efektivitas memiliki kemungkinan lebih besar untuk bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis daripada intervensi yang menunjukkan efikasi.

ComparisonTiga pertanyaan perlu dijawab tentang aspek perbandingan untuk menerapkan bukti:a. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti dan pembanding/alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik?b. Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada mudarat yang diakibatnya?c. Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?

Pertama, penerapan intervensi perlu memperhatikan kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti dan pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik.

Peneliti dalam sebuah riset bisa menggunakan pembanding yang sama sekali tidak mendapatkan intervensi (do nothing), pembanding yang mendapatkan plasebo (menyerupai intervensi tetapi tidak memiliki bahan aktif alias inert), atau pembanding yang mendapatkan intervensi lainnya, misalnya terapi standar. Kesesuaian antara pembanding dalam riset dan pembanding yang dihadapi pada pasien menentukan efikasi dan efektivitas intervensi ketika diterapkan kepada pasien. Sebuah terapi baru yang ditemukan tidak lebih efektif ketika dibandingkan terapi standar tidak berarti tidak efektif untuk diberikan kepada pasien jika dibandingkan dengan tidak memberikan terapi apapun kepada pasien. Terapi baru tersebut bisa saja digunakan sebagai pengganti (substitute) terapi standar dengan efektivitas yang serupa dengan terapi standar.

Kedua, pengambilan keputusan untuk menerapkan intervensi medis perlu membandingkan manfaat dan kerugian dari melakukan intervensi.Sebuah intervensi yang memberikan manfaat (benefit, utility) hampir selalu memberikan kerugian yang tidak diinginkan (harm) dan biaya. Biaya adalah nilai ekonomi dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyediakan dan melakukan intervensi. Kerugian (disutility) akibat intervensi, misalnya depresi akibat penggunaan suatu sitostatika, stigma akibat menjalani suatu tes diagnostik, dapat dipandang dan dinilai oleh pasien secara kuantitatif sebagai suatu biaya, disebut - intangible cost. Baik manfaat maupun kerugian dan biaya secara kuantitatif dan kualitatif perlu diperbandingkan. Besarnya manfaat dan kerugian intervensi bervariasi, mulai dari sangat kecil (negligible) hingga sangat substansial. Prinsip EBM, intervensi yang dapat diterapkan adalah intervensi yang - doing more good than harm.

Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah menentukan pilihan dari berbagai alternatif intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan atau tidak memberikan intervensi, atau memilih sebuah dari beberapa alternatif intervensi.

OutcomeTiga pertanyaan perlu dijawab bertalian dengan hasil :a. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?b. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?c. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting daripada kerugian yang diakibatkannya?

KelayakanLima pertanyaan perlu dijawab berkaitan dengan kelayakan (feasibility) intervensi yang akan diberikan kepada pasien :a. Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/di tempat praktik?b. Apakah tersedia sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasi intervensi dengan berhasil?c. Apakah tersedia klinisi/tenaga kesehatan profesional yang mampu mengimplementasikan intervensi?d. Jika intervensi tersedia di lingkungan pasien/di tempat praktik, apakah intervensi terjangkau secara finansial (affordable)?e. Apakah konteks sosial-kultural pasien menerima penggunaan intervensi yang akan diberikan kepada pasien?

Kelayakan (feasibility) adalah the quality of being doable atau capable of being done with means at hand and circumstances as they are.Kelayakan menunjukkan sejauh mana intervensi bisa dilakukan dengan metode yang ada dan pada lingkungan yang diperlukan. Meskipun sebuah intervensi efektif, tepat (appropriate) untuk diterapkan kepada individu pasien, sesuai dengan kebutuhan pasien, penerapan intervensi tergantung dari kelayakan, yaitu ketersediaan sumber daya di lingkungan praktik klinis.

Langkah 5: Mengevaluasi Kinerja Penerapan EBMMenerapkan EBM ke dalam praktik klinis merupakan proses berdaur ulang, terdiri atas sejumlah langkah EBM (Gambar 11). Penerapan masing-masing langkah EBM membutuhkan berbagai kompetensi yang berbeda, yang menentukan keberhasilan implementasi EBM. Langkah 1 EBM memerlukan pengetahuan untuk merumuskan pertanyaan dengan struktur PICO. Langkah 2 memerlukan pengetahuan dan keterampilan untuk menelusuri literatur pada aneka database hasil-hasil riset pada web. Langkah 3memerlukan pengetahuan dan keterampilan epidemiologi dan biostatistik untuk menilai kritis validitas, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti. Langkah 4 memerlukan pengetahuan dan keterampilan mensintesis bukti-bukti untuk pengambilan keputusan klinis pada pasien. Langkah 5 memerlukan keterampilan untuk mengevaluasi kinerja penerapan bukti pada pasien (Price, 2000; Ilic, 2009).

Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan sebagai berikut (Hollowing dan Jarvik, 2007). Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-langkah EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti dalam waktu cukup singkat tetapi dengan kualitas bukti yang tidak memenuhi VIA(kebenaran, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi implementasi EBM.

Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai dasar praktik klinis. Audit klinis adalah a quality improvement process that seeks to improve patient care and outcomes through systematic review of care against explicit criteria and the implementation of change". Dalam audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang telah diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan harus dilakukan (should be done). Jika belum/tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja yang dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan klinis pasien. Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa mendatang.

STEP 5Learning Objective

1. Jelaskan jenis jenis pembayaran biaya kesehatan dan asuransi kesehatan!2. Bagaimana merencanakan praktek dokter keluarga?3. Jelaskan hal yang berkaitan dengan nilai nilai dalam EBM !

STEP 6Belajar Mandiri

STEP 7Diskusi Panel

1. Bagaimana merencanakan praktek kedokteran keluarga?Unsur dalam manajemen praktek kedokteran keluarga sebenarnya hanya mengelola dan memaksimalkan segala sumber daya yang ada sehingga menjadi lebih produktif, efektif dan efisien. Bila sesuai dengan standar kompetensi dokter keluarga yaitu diantaranya :Manajemen pengelolaan dalam praktek dokter keluarga yang terdiri atas :a. Sumber daya manusiaDalam pelayanan dokter keluarga, selain dokter keluarga, juga terdapat petugas kesehatan dan pegawai lainnya yang sesuai dengan latar belakang pendidikan atau pelatihannya, yaitu : Dokter keluargaDokter keluarga yang bekerja pada pelayanan dokter keluarga adalah dokter yang bersertifikat dokter keluarga dan patut menjadi panutan masyarakat dalam hal perilaku kesehatan. PerawatPerawat yang bekerja pada pelayanan dokter keluarga telah mengikuti pelayanan dengan pendekatan kedokteran keluarga. BidanBidan yang bekerja pada pelayanan dokter keluarga telah mengikuti pelatihan pelayanan dengan pendekatan kedokteran keluarga. Administrasi klinikPegawai administrasi yang bekerja pada pelayanan dokter keluarga, telah mengikuti pelatihan untuk menunjang pelayanan pendekatan kedokteran keluarga.b. Manajemen keuanganPelayanan dokter keluarga mengelola keungannya dengan manajemen keuangan profesional. Terdiri atas : Penataan keuanganKeuangan dalam praktek dokter keluarga tercatat secara seksama dengan cara yang umum dan bersifat transparansi. Jenis sistem pembiayaan praktekManajemen keuangan pelayanan dokter keluarga dikelola sedemikian rupa sehingga dapat mengikuti, baik sistem pembiayaan pra-upaya maupun sistem pembiayaan free-for service.c. Manajemen klinikPelayanan dokter keluarga dilaksanakan pada suatu tempat pelayanan yang disebut klinik dengan manajemen yang profesional. Terdiri atas : Pembagian kerjaSemua personil mengerti dengan jelas pembagiaan kerjanya masing-masing. Program pelatihanUntuk personil yang baru mulai bekerja di klinik diadakan pelatihan kerja (job training) terlebig dahulu. Program kesehatan dan keselamatan kerja (K3)Seluruh personil yang bekerja di klinik mengikuti prosedur K3 (kesehatan dan keselamatan kerja) untuk pusat pelayanan kesehatan. Pembahasan administrasi klinikPimpinan dan staf klinik secara teratur membahas pelaksanaan administrasi klinik.

DAFTAR PUSTAKA

CDK Informatika Kedokteran. 2009. Strategi 4S untuk Pelayanan Medik Berbasis Bukti : Potensi Sumber Ilmiah Online.

Dorland. 1998. Buku Saku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Eka P., Arsita. Kedokteran Keluarga dan Wawasannya. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

http://Cara%20Menghitung%20Kapitasi%20%C2%AB%20AnnisaTridamayanti%27s%20blog.htm

Murti, Bhisma. Pengantar EBM. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Sari W., Arlinda. 2003. Pengantar Dokter Keluarga. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 1