LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

99
LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING PENGARUH SPIRITUAL WELL-BEING BERBASIS ISLAMI DENGAN METODE KONSELING DAN DZIKIR TERHADAP KEBAHAGIAAN LANSIA DI PANTI WERDHA KETUA ANGGOTA : MINARTI, M.Kep, Sp.Kom NIP. 196707301993032004 : KASTUBI, S.Kep,Ns.,M.Kes NIP. 196306071990031002 POLTEKKES KEMENKES SURABAYA TAHUN 2018

Transcript of LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Page 1: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

LAPORAN TENGAH

PENELITIAN HIBAH BERSAING

PENGARUH SPIRITUAL WELL-BEING BERBASIS ISLAMI

DENGAN METODE KONSELING DAN DZIKIR TERHADAP

KEBAHAGIAAN LANSIA DI PANTI WERDHA

KETUA

ANGGOTA

: MINARTI, M.Kep, Sp.Kom

NIP. 196707301993032004

: KASTUBI, S.Kep,Ns.,M.Kes

NIP. 196306071990031002

POLTEKKES KEMENKES SURABAYA

TAHUN 2018

Page 2: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Pengaruh Spiritual well-being berbasis Islami

dengan metode konseling dan dzikir terhadap

Kebahagiaan Lansia di Panti Werdha

Peneliti Utama

Nama Lengkap : Minarti, M.Kep. Sp.Kom

NIP : 196707301993032004

Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

Program Studi : Keperawatan/D III Keperawatan Kampus Sutopo

Nomor HP : 082139493067

Alamat Email : [email protected]

Anggota (1)

Nama Lengkap : Kastubi, Skep,Ns.,M.Kes

NIP : 196306071990031002

Program Studi : Keperawatan/D III Keperawatan Kampus Soetomo

Anggota (2)

Nama Lengkap : Baiq Dewi Harnani R, SST.M.Kes

NIP : 197410252002122002

Program Studi : Keperawatan/D III Keperawatan Kampus Sutopo

Institusi/Industri Mitra : -

Nama Institusi Mitra : -

Alamat : -

Penanggung jawab : -

Tahun Pelaksanaan : 2018

Sumber Dana Penelitian : Poltekkes Kemenkes Surabaya

Besarnya : Rp. 30.000.000

. Surabaya, April 2018

Mengetahui

Pakar Penelitian

Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)

Peneliti Utama

Minarti, M.Kep. Sp.Kom.

NIP.196707301993032004

Kepala Unit PPM

Setiawan, SKM.,M.Psi

NIP. 196304211985031005

Direktur

Poltekkes Kemenkes Surabaya

drg. Bambang Hadi Sugito M.Kes

NIP. 196204291993031002

Page 3: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadlirat Alloh SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat

menyelesaikan penyusunan protokol penelitian tahun 2018. Protokol penelitian

merupakan tahap ke 2 rangkaian penelitian setelah proposal dinyatakan diterima.

Penelitian ini adalah kegiatan sebagai wujud tri dharma perguruan tinggi dosen Prodi

D III Keperawatan Kampus Sutopo Surabaya yang secara terprogram dilaksanakan

setiap tahun dengan biaya dari Poltekkes Kemenkes Surabaya.

Sistematika protokol penelitian ini dibuat berdasarkan pedoman penelitian Politeknik

Kesehatan Kemenkes Surabaya yang disusun oleh Unit Penelitian dan Pengabdian

Masyarakat (UPPM) tahun 2016. Besar harapan kami sebagai tim penyusun agar

dapat melaksanakan salah satu wujud tri darma perguruan tinggi.

Surabaya, April 2018

Ketua

Minarti, M.Kep. Sp.Kom

Page 4: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Abstrak

Pendahuluan: Seseorang yang memasuki usia lanjut akan mengalami perubahan fisik

dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah, penurunan kondisi yang

dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan fisik dan

kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam hidup. Tujuan penelitian

menganalisis spiritual wellbeing melalui metode konseling, dzikir, konseling dan

dzikir terhadap sikap penerimaan, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti

Werdha

Metode: Desain penelitian eksperimen Pretest – Postest with Control Group.

Populasi adalah semua lanjut usia yang sesuai dengan kriteria inklusi berjumlah 76

orang. Besar sampel 45 orang untuk kelompok intervensi, 15 orang untuk kelompok

kontrol. Teknik sampling Simple Random Sampling. Variabel intervensi adalah

konseling, dzikir, konseling dan dzikir pada lansia yang tinggal di Panti Werdha.

Variabel dependen adalah sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan

lansia. Uji statistik untuk mengetahui perbedaan antar variabel adalah uji paired t-test

dan Manova.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan antara pre dan post pada

semua kelompok yang mendapatkan perlakuan dan terdapat peningkatan skor post.

Pada kelompok kontrol ada dua variabel yang tidak berbeda secara signifikan yaitu

sikap penerimaan diri dan regulasi emosi, sedangkan pada kebahagiaan terdapat

perbedaan secara signifikan namun skor post lebih rendah dari pre.

Diskusi: Intervensi konseling dan dzikir dapat melatih kesabaran, menerima segala

ketentuan dengan hati senang membuat seseorang mampu menyadari dan mampu

mengendalikan keinginan negatif, sehingga dapat mencapai kebahagiaan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa intervensi konseling, dzikir dan

kombinasi antara konseling dan dzikir dapat dijadikan sebagai kegiatan yang dilakukan

di Panti Werdha untuk meningkatkan dan menyelesaikan permasalahan spiritual dan

psikologis lansia di Panti Werdha.

Kata Kunci : Spiritual well being, sikap penerimaan diri, regulasi emosi, kebahagiaan

DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………............... i

Page 5: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Lembar Pengesahan ..…………………………...…………………….......

Kata Pengantar .............................................................................................

Daftar Isi ..…………………...………………………………..……………

Daftar Tabel .............................................................................................…

Daftar Gambar ..............................................................................................

Daftar Lampiran ...........................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................

1.1 Latar Belakang Masalah …….................................................................

1.2 Perumusan Masalah ................................................................................

1.3 Tujuan ……………… ............................................................................

1.3.1 Tujuan Umum …………………………………………………....

1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………………………...

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………….

1.5 Urgensi Penelitian ……………………………………………………..

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………

2.1 Konsep Lansia …………………………………………………………

2.1.1 Definisi…………………………………………………………..

2.1.2 Batasan Usia …………………………………………………….

2.1.3 Teori Mengenai Proses Menua …………………………………

2.2.4 Perubahan Pada Lanjut Usia.........................................................

2.2 Konsep Spiritual Well Being ………………………………………….

2.2.1 Pengertian Spiritual……………………………………………..

2.2.2 Karakteristik Spiritual…………………………………………..

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Spiritual…………………………..

2.2.4 Spiritual dalam perspektif Islam. ............................................…

2.3 Konsep Kebahagiaan…………………………………………………..

2.3.1 Pengertian Kebahagiaan ……………………………………….

2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan …………………………..

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan ……………………..

2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan………………………………………

2.4 Penelitian Terkait Sebelumnya………………………………………...

BAB III. KERANGKA KONSEP………………………………………….

BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................

4.1 Desain penelitian ………………………………………………………

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Sampling…………………………..

4.3 Variabel penelitian……………………………………………………..

4.4 Kerangka kerja penelitian……………………………………………...

4.5 Definisi operasional……………………………………………………

4.6 Tehnik Pengumpulan data……………………………………………..

4.7 Analisis Data…………………………………………………………..

BAB V PEMBIAYAAN…………………………………………………...

Daftar Pustaka ..............................................................................................

Lampiran

ii

iii

iv

vi

vii

viii

1

1

4

4

4

5

5

5

6

6

6

6

7

9

14

14

16

20

21

24

24

25

26

29

30

36

38

38

38

39

40

40

42

42

43

45

Page 6: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING
Page 7: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Terkait Sebelumnya ………………………………..

Tabel 3.1 Kerangka kerja Penelitian…………………………………….

Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian……………………

30

40

40

Page 8: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1

Kerangka konsep kebutuhan spiritual well being berbasis

Islami dan kebahagiaan

36

Page 9: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner

BAB 1

PENDAHULUAN

Page 10: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

1.1 Latar Belakang

Lanjut usia atau disebut lansia merupakan tahap perkembangan kehidupan teakhir

setiap manusia. Secara umum individu yang memasuki usia lanjut akan mengalami

perubahan fisik dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah,

penurunan kondisi yang dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan

masalah kesehatan fisik dan kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam

hidup. Pergeseran struktur umur produktif ke umur tua akan berdampak terhadap

persoalan penyantunan penduduk usia lanjut. Bersamaan dengan perubahan sosial

ekonomi, maka dapat diperkirakan akan terjadi pergeseran pola penyantunan usia

lanjut dari keluarga ke pelayanan institusi (Indriana, 2012).

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan angka harapan hidup di Indonesia pada

tahun 2020 akan mencapai usia 71 tahun (BPS, 2014). Angka tersebut tentunya

diiringi dengan kenaikan jumlah penduduk dengan proporsi kenaikan 11,34%.

Populasi lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03 persen dari

seluruh penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah lansia menunjukkan bahwa usia

harapan hidup penduduk di Indonesia semakin tinggi dari tahun ke tahun. Semakin

meningkatnya populasi lansia mencerminkan adanya peningkatan pelayanan

kesehatan, sekaligus dapat menjadi problematika baru bagi Indonesia sendiri. Hasil

proyeksi penduduk 2010-2035, Indonesia akan memasuki periode lansia (ageing),

dimana 10% penduduk akan berusia 60 tahun ke atas, di tahun 2020. Indonesia

termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah lanjut usia terbanyak di dunia

(Depkes, 2015).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulfiana (2014) menyatakan bahwa

lansia dilakukan psikoterapi memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Berdasarkan kajian di UPTD Griya Werdha lansia yang

tinggal di panti memiliki kriteria seperti lansia miskin, pengemis, lansia terlantar,

tidak punya keluarga serta gelandangan. Pelayanan sehari-hari yang dilakukan di

panti berupa pemenuhan kebutuhan nutrisi, pakaian, kebersihan diri dan kebutuhan

spiritual berupa sholawat dan kultum setelah sholat Magrib yang dilakukan oleh

lansia. Data lansia yang tinggal di panti atas kemauan sendiri sebesar 59 % dan karena

1

Page 11: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

terpaksa 41 %. Lansia yang menyatakan sulit tidur dan sering terbangun sebesar 65,

6%, hasil skrining depresi sebesar 56% (Laporan UPTD Griya Werdha, Januari 2018).

hal ini menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti memiliki berbagai

permasalahan baik secara fisik, psikologis maupun spiritual.

Secara demografi dapat diketahui bahwa pada masa lansia seringkali menderita

sedikitnya satu atau lebih penyakit kronis, terjadinya penurunan fungsi tubuh,

peningkatan faktor kerentanan yang memungkinkan resiko terjadinya distres spiritual

pada lansia (Stanley, 2007). Distres spiritual yang berkelanjutan akan mempengaruhi

kesehatan lansia secara menyeluruh dimana terjadi gejala-gejala fisik berupa

penurunan nafsu makan, gangguan tidur, serta peningkatan tekanan darah (Hidayat,

2006). Hal ini terjadi lantaran di masa lansia individu akan mengalami beberapa

perubahan terkait dengan menurunnya beberapa fungsi diantaranya adalah penurunan

fungsi fisik, kognitif, penurunan fungsi dan potensi seksual serta perubahan aspek

psikososial dan spiritual (Urbayanti 2006).

Menurut Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) beberapa penelitian menunjukkan

adanya keragaman kehidupan manusia lansia di Indonesia. Lansia ada yang lebih suka

hidup bahagia di Panti Werdha, ada yang lebih suka mandiri dan tinggal di rumah

sendiri atau hidup bersama anak cucu. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh lansia

menghendaki pemenuhan kebutuhan dari aktivitas, pergaulan dan kemandirian.

Selanjutnya Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) mengatakan bahwa lansia yang

masih aktif di lingkungan sosial dan merasa dibutuhkan oleh keluarga maupun

masyarakat sekitarnya akan menjadi lansia yang mempunyai kepuasan hidup dan

kebahagiaan tersendiri, sedangkan bagi yang kurang seimbang mentalnya, kesendirian

yang dialaminya akan menimbulkan rasa terisolasi dan depresi yang dimanifestasikan

dalam bentuk kecemasan.

Dewasa ini keberadaan Panti Werdha mengambil peran penting di masyarakat. Selain

karena bergesernya nilai dan pandangan masyarakat terkait keberadaan lansia di

dalam rumah, hal ini juga disebabkan karena kebutuhan lansia yang meningkat, guna

menjaga eksistensi lansia di kehidupannya. Lansia akan membutuhkan pelayanan

perawatan seperti kesehatan, fisik, psikologis, spiritual maupun sosial agar dapat

terpenuhi kebahagiaan. Bersamaan dengan bertambahnya usia lansia, semakin banyak

Page 12: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

pula permasalahan yang harus di hadapi, karena lansia merupakan tahapan

perkembangan manusia yang paling banyak dihinggapi permasalahan. Berdasarkan

paparan tersebut peneliti bermaksud melaksanakan penelitian tentang kebutuhan

spiritual well-being berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir, terhadap

sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti Werdha

Surabaya

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh spiritual well-being

berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri,

regulasi emosi dan kebahagiaan lansia?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh spiritual well-being berbasis Islami dengan metode

konseling dan dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan

lansia?

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Menganalisis pengaruh metode konseling terhadap sikap penerimaan diri,

regulasi emosi dan kebahagiaan lansia

b. Menganalisis pengaruh metode dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi

emosi dan kebahagiaan lansia

c. Menganalisis pengaruh metode konseling dan dzikir terhadap penerimaan

diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan pengembangan ilmu

keperawatan khususnya kelompok keilmuan keperawatan gerontik atau keperawatan

komunitas pada kelompok khusus

1.4.2 Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perawat khususnya

perawat yang melaksanakan tugas dan fungsinya di tatanan Panti Werdha dan

Page 13: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

komunitas, untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama yang

menyangkut aspek spiritual.

1.5 Urgensi Penelitian

Penelitian ini dapat menghasilkan intervensi spiritual berbasis Islami yang dapat

diterapkan di bidang keperawatan gerontik. Kesejahteraan spiritual secara Islami

dapat digunakan untuk meningkatkan perasaan bahagia pada lansia yang tinggal di

Panti Werdha. Hasil penelitian yang akan dilakukan ini dapat menjadi acuan dalam

memberikan asuhan keperawatan yang selama ini belum banyak menyentuh aspek

spiritual. Lansia yang dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya diharapkan

mendapatkan rasa kebahagiaan dalam menghadapi kehidupannya. Dampaknya

harapan hidup dan kualitas hidup pada lansia semakin meningkat.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Definisi

Usia lanjut adalah hal yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena

biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan

kematian (Supraba, 2015). Menurut Hawari (2006) usia lanjut merupakan seorang

laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih

berkemampuan (potensial) ataupun karena sesuatu hal tidak mampu lagi berperan

secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Di negara-negara maju seperti

Page 14: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Amerika Serikat usia lanjut sering didefinisikan seseorang yang telah menjalani

siklus kehidupan diatas usia 60 tahun (dalam Juwita, 2013).

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat

menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem

fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian

(Setiati, et.al, 2009). Lansia atau usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus

kehidupan manusia dan hal tersebut merupakan bagian dari proses kehidupan yang

tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu (Prasetya, 2010). Tahap

usia lanjut menurut teori Erik Erikson tahun 1963 merupakan tahap integrity versus

despair, yakni individu yang sukses dalam melampauin tahap ini akan dapat mencapai

integritas diri (integrity), lanjut usia menerima berbagai perubahan yang terjadi

dengan tulus, mampu beradaptasi dengan keterbatasan yang dimilikinya, bertambah

bijak menyikapi proses kehidupan yang dialaminya. Sebaliknya mereka yang gagal

maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair), lanjut usia mengalami

kondisi penuh stres, rasa penolakan, marah dan putus asa terhadap kenyataan yang

dihadapinya (Setiati, et,al, 2009).

2.1.2 Batasan Usia

Penduduk Lansia atau lanjut usia menurut UU kesejahteraan lansia No.13 tahun 1998

adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Umur yang dijadikan

patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :

usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut

usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut

Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan

umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan

keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini

(prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,

kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan resiko

tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut

yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Di

5

Page 15: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam

Undang-Undang Nomor 43 tahun 2004.

2.1.3 Teori Mengenai Proses Menua

Beberapa teori tentang penuaan yang dapat diterima saat ini, antara lain :

1. Teori biologis proses penuaan

a. Teori radikal bebas

Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh Denham Harman pada tahun

1956, yang menyatakan bahwa proses menua adalah proses yang normal, merupakan

akibat kerusakan jaringan oleh radikal bebas (Setiati et al., 2009). Radikal bebas

adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak berpasangan. Karena elektronnya

tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan mencari pasangan elektron lain

dengan bereaksi dengan substansi lain terutama protein dan lemak tidak jenuh.

Sebagai contoh, karena membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi

dengan radikal bebas sehingga membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan

pada struktur membran tersebut membran sel menjadi lebih permeabel terhadap

beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati membran secara

bebas. Struktur didalam sel seperti mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh

membran yang mengandung lemak, sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas

(Setiati et al., 2009). Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas

berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri, namun antioksidan tersebut

tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas tersebut (Setiati et

al., 2009).

B. TEORI IMUNOLOGIS

Menurut Potter dan Perry (2006) penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem

imun berperan dalam penuaan. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan

proteinnya sendiri dengan protein asing sehingga sistem imun menyerang dan

menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat secara bertahap.

Disfungsi sistem imun ini menjadi faktor dalam perkembangan penyakit kronis seperti

kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular, serta infeksi.

c. Teori DNA repair

Page 16: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka menunjukkan bahwa adanya

perbedaan pola laju perbaikan (repair) kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar

ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang

mempunyai umur maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar dan

korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata (Setiati et al, 2009).

d. Teori genetika

Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di pengaruhi oleh

pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut

teori genetika adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan

dari waktu ke waktu mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain,

perubahan rentang hidup dan panjang usia ditentukan sebelumnya (Stanley & Beare,

2006 dalam Putri, 2013).

e. Teori wear-and-tear

Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah

metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintensis DNA, sehingga mendorong

malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami

kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Sebagai contoh adalah radikal bebas, radikal

bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal

(Stanley & Beare, 2006 dalam Putri, 2013).

2. Teori psikososial proses penuaan

a. Teori disengagment

Teori disengagment (teori pemutusan hubungan), menggambarkan proses penarikan

diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri

ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang

tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak

sosial berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi lebih muda (Stanley

& Beare, 2006 dalam Putri, 2013).

b. Teori aktivitas

Teori ini menegaskan bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk

keberhasilan penuaan. Menurut Lemon et al (1972) dalam (Marta, 2012) orang tua

Page 17: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

yang aktif secara sosial lebih cendrung menyesuaikan diri terhadap penuaan dengan

baik.

2.1.4 Perubahan Pada Lanjut Usia

Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari

kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-

perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran,

sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem

respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem

muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental menyangkut

perubahan ingatan atau memori (Setiati et al., 2009).

1. Perubahan pada Sistem Sensoris

Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan

untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki.

Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan

perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori (Maramis, 2009).

2. Perubahan pada Sistem Integumen

Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-

tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki.

Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal

pada sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan

sinar matahari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.

Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan

elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering

karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan

kelenjar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan

cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa lemak bebas

berkurang 6,3% berat badan per dekade dengan penambahan massa lemak 2% per

dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade (Setiati et al., 2009).

3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

Page 18: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan

metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan

pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen

pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi

lebih berongga, mikroarsitektur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan

maupun spontan (Setiati et al., 2009).

4. Perubahan pada Sistem Neurologis

Berat otak menurun 10–20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian

meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai menurun pada

usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan

volume otak berkurang ratarata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung

100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls

listrik dari susunan saraf pusat. Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron per

tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil

per jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antara usia 30-70

tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul

membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi

dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear)

yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria

(Timiras & Maletta, 2007).

5. Perubahan Ingatan (Memory)

Dalam berinteraksi, berkomunikasi maupun dalam melakukan hubungan sosial,

ingatan seseorang memegang peranan penting dalam mempengaruhi persepsi dan

pikiran seseorang. Schlessinger dan Groves (dalam Mujahidullah, Khalid. 2012)

mengatakan bahwa memori atau ingatan adalah suatu sistem yang memungkinkan

seseorang menyimpan suatu fakta atau obyek kedalam diri subyek sehingga membuat

subyek mampu berespon menggunakan kemampuan pengetahuannya dalam

berprilaku. Jika ditilik secara fisiologis tubuh manusia dapat merekam ingatan tertentu

yang berlangsung seketika beberapa detik, beberapa jam, beberapa hari bahkan

bertahun-tahun. Maka dari itu, ingatan (memory) dapat diklasifikasikan menjadi 3

yaitu:

a. Ingatan Jangka Pendek

Page 19: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Ingatan jangka pendek adalah kemampuan mengingat seseorang terhadap sesuatu

hal dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ciri khas ingatan jangka pendek

adalah ketika seseorang dapat mengingat suatu keadaan/ kondisi/ hal/ benda

tertentu dalam rentang waktu detik hingga menit namun cenderung terlupakan

setelahnya apabila tidak terjadi pengulangan memori secara kontinu. Contohnya

adalah ketika seseorang dapat menghafal 7-10 nomor telepon seluler rekannya

dalam rentang waktu beberapa menit, setelah kejadian itu berakhir subyek akan

cenderung lupa atau tidak ingat pada kombinasi angka-angka tersebut apabila

subyek tidak melakukan pengulanganan memory (recall memory) pada angka

tersebut.

Pada seorang lansia, cenderung terjadi penurunan kemampuan mengingat.

Pengkajian memori jangka pendek dapat dilakukan dengan mengajak

menyebutkan beberapa benda setelah beberapa detik kemudian, lansia diminta

mengulang benda-benda yang telah disebutkan sebelumnya. Lalu lakukan

penilaian kemampuan lansia dalam mengingat jangka pendek.

b. Ingatan Jangka Menengah

Ingatan jangka menengah dapat berlangsung dalam hitungan menit hingga

berminggu-minggu. Ingatan jangka menengah terkadang dapat hilang, kecuali jika

terdapat jejak ingatan yang akan membuat ingatan menjadi lebih permanen. Jika

ingatan jangka menengah ini terus menerus diingat, maka ingatan tersebut dapat

diklasifikasikan menjadi ingatan jangka panjang. Pada lansia pengujian

kemampuan mengingat jangka menengah dapat dilakukan dengan meminta lansia

menyebutkan istilah-istilah abstrak atau meminta lansia menyebutkan beberapa

obyek, lalu penguji mengajak lansia berbicara topic lain hingga 5-10 menit.

Setelah 5 sampai 10 menit kemudian, mintalah lansia mengulang istilah-istilah

abstrak tersebut.

c. Ingatan Jangka Panjang

Sebuah memori diklasifikasikan sebagai ingatan jangka panjang apabila ingatan

tersebut masih diingat dalam kurun waktu lebih dari 3 minggu dan dapat diingat

hingga bertahun-tahun lamanya. Contoh ingatan jangka panjang adalah momen-

momen yang berkesan dan memiliki nilai historis dalam hidup seseorang, seperti:

Page 20: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

kejadian membanggakan, kejadian memalukan, kejadian paling menggembirakan

dan lain sebagainya.

6. Perubahan Psikososial

Pensiun adalah nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas

dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pension, ia akan

mengalami kehilangan-kehilangan antara lain :

a. Kehilangan finansial.

b. Kehilangan status.

c. Kehilangan teman / relasi / kenalan.

d. Kehilangan pekerjaan / kegiatan.

e. Merasakan atau sadar akan kematian.

f. Perubahan dalam hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih

sempit.

g. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan.

h. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

i. Gangguan syaraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.

j. Gangguan gizi akibat kehilanan jabatan.

k. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman

dan keluarga besar.

l. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman

dan keluarga besar.

m. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,

perubahan konsep diri (Wahjudi, Nugroho, 2000).

7. Perubahan Kemampuan Mental

Seperti yang terjadi pada penurunan dalam aspek lainnya, penurunan mental untuk

setiap individu juga sangat bebeda. Tidak ada usia tertentu yang diaggap sebagai awal

mula terjadinya penurunan mental dan tidak ada pola khusus dalam penurunan mental

yang berlaku untuk semua orang berusia lanjut. Secara umum, mereka yang

mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi secara relatif, penurunan dalam

efisiensi mental kurang dibanding mereka yang pengalaman intelektualnya redah.

Terdapat perbedaan dalam tingkat penurunan mental di antara individu dalam usia

yang sama, pada individu yang sama juga terjadi perbedaan tingkat penurunan

Page 21: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

kemampuan mental yang berbeda. Bahkan pada waktu elemen kecepatan dibatasi

kemudian diberikan tes sebagai penguji kekuatan untuk mengukur perbedaan

kemampuan mental, ternyata ditemukan tingkat penuruunan mental, ternyata

ditemukan tingkat penurunan mental yang bervariasi. Beberapa faktor yang

mempengaruhi perubahan mental adalah ; perubahan fisik khususnya organ perasa,

kesehatan, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan.

8. Perubahan Spiritual

Ketertarikan orang berusia lanjut terhadap keagamaan biasanya didasarkan pada

persepsi mereka terhadap kematian. Berikut beberapa perubahan spiritual yang umum

terjadi pada lansia (Mujahidullah, Khalid. 2012)

a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.

b. Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam

berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.

c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun adalah universalizing, perkembangan

yag dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara

memberikan contoh cara mencintai dan keadilan

2.2 Konsep Spiritual Well Bieng

2.2.1 Pengertian Spiritual

Kesadaran mengenai kenyataan bahwa individu merupakan makhluk yang sangat

kompleks dan multisistem, serta berkembangnya pemahamanan dan pengakuan

mengenai aspek spiritual dalam perkembangan individu, menjadi pendorong

munculnya berbagai kajiankajian ilmiah mengenai konsep spiritual. Bahkan Jung

(dalam Stanard, Sandhu, & Painter, 2000) menegaskan bahwa individu pada dasarnya

bukan hanya sekedar makhluk psikoseksual dan psikososial saja, akan tetapi individu

juga merupakan makhluk psikospiritual. Konsep spiritual/spiritualitas, secara

etimologis kata spiritual/spiritualitas (spirituality), berasal dari kata Latin spiritus

yang berarti: breath of life (nafas kehidupan), wind (angin), vigor (kekuatan/tenaga),

courage (keberanian/keteguhan hati) (Miller, 2003 dalam Immaduddin, 2011); soul

(roh/sukma), self (diri), truth (kebenaran), God (Tuhan) (Shadu: 1975 dalam

Immaduddin, 2011). Kata spiritus dalam arti nafas kehidupan atau roh adalah lawan

Page 22: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

kata anima.Pengertian tersebut sama artinya dengan kata-kata dalam beberapa bahasa,

antara lain: psykhe sebagai lawan kata pneuma dalam bahasa Yunani; ruach sebagai

lawan kata neshama dalam bahasa Ibrani; espirit dalam bahasa Perancis Kuno (Abad

13); prana dalam bahasa India (Imaddudin, 2011).

Makna spiritual dapat dimaknai sebagai transendensi yang merupakan capaian

tertinggi dalam perkembangan individu, sebagai motivasi yang mendorong individu

dalam mencari makna dan tujuan hidup, sebagai ciri kemanusiaan yang membedakan

individu dengan makhluk yang lainnya, dan sebagai dimensi kemanusiaan yang dapat

menjadi indikator kesehatan individu (Ingersol & Bauer, 2004).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan

istilah spiritual merupakan bagian dari perkembangan individu, aspek spiritual dapat

mendorong individu untuk mencari hakikat mengenai keberadaan diri, yang pada

akhirnya dapat memandu individu dalam mencapai aktualisasi diri sebagai makhluk

ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga individu mampu mengapresiasi keindahan,

kebenaran, kesatuan, dan pengorbanan dalam hidup, serta individu mampu

menghargai individu lain dan makhluk hidup lainnya.

Spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang

diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Spiritualitas dalam konteks

perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat

dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta.

Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin

hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha

Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak

untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan

dengan sesama.

Perkembangan spiritual erat kaitannya dengan perkembangan penghayatan

keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan

lainnya. Hal ini senada dengan penjelasan Abin Syamsuddin (2007) yang menyatakan

bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan

perilaku sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan

Page 23: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan

perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif). Hal ini dimungkinkan

karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan

makhluk beragama.

Perkembangan penghayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin

Syamsuddin, 2007) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great

power) dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang

mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Pendapat tersebut di atas,

menegaskan bahwa perkembangan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan

lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan

keagamaan.

Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan

spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif.

Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan

berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang

menjadi ranah perkembangan kognitif. Boyatzis (Hood, Jr. et.al, 2009) sekalipun teori

perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat,

akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek

lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan

penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif. Artinya

dari pendapat ini, untuk memahami bagaimana perkembangan kesejahteraan spiritual

lansia, maka perlu memahami ragam aspek perkembangan lainnya seperti aspek

perkembangan kognitif, moral, sosial, dan aspek perkembangan penghayatan

keagamaan.

2.2.2 Karakteristik Spiritual

Karakteristik spiritualitas dikenal dengan berbagai dimensi dari spritualitas yang

dapat menggambarkan bagaimana spiritualitas seseorang. Terdapat beberapa

karakteristik spiritualitas (Hamid, 2009), meliputi:

1. Hubungan dengan diri sendiri

Page 24: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu

siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut

kepercayaan pada diri-sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan

pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri

seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya

memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup,

optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais

& Wilkinson, 1995).

a. Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985) kepercayaan bersifat

universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak

dapat dibuktikan dengan pikran yang logis. Kepercayaan dapat memberikan arti hidup

dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai

kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga

dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas.

b. Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan

merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya

dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu

untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih

cenderung terkena penyakit (Grimm, 1991).

c. Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui makna hidup,

yang kadang diidentikan dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan hidup

sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang

nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa

mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004).

2. Hubungan dengan orang lain

Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang

lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber secara

timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta

meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis mencakup

konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan

friksi, serta keterbatasan asosiasi (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

Page 25: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan,

menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan

dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila seseorang

mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat memberi

bantuan psikologis dan sosial (Carm & Carm, 2000).

a. Maaf dan pengampunan (forgiveness). Menyadari kemampuan untuk menggunakan

sumber dan kekuatan dalam diri sendiri seperti marah, mengingkari, rasa bersalah,

malu, bingung, meyakini bahwa Tuhan sedang menghukum serta mengembangkan

arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. Dengan

pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas,

depresi dan tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan

perasaan damai (Puchalski, 2004).

b. Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support). Keinginan untuk

menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui

keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan

bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit. Seseorang yang

mempunyai pengalaman cinta kasih dan dukungan sosial yang kuat cenderung untuk

menentang perilaku tidak sehat dan melindungi individu dari penyakit jantung (Hart,

2002).

3. Hubungan dengan alam

Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi

pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan

alam serta melindungi alam tersebut (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

a. Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam

menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan

rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul

perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan hal-hal yang dianggap penting

dalam hidup seperti nonton televisi, dengar musik, olah raga dan lain-lain (Puchalski,

2004).

Page 26: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

b. Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan.

Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan

status kesehatan (Hamid, 2000).

4. Hubungan dengan Tuhan

Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut sembahyang dan

berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan keagamaan, serta bersatu

dengan alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Hubungan dengan Tuhan dilihat

dari religus atau tidak religiusnya seseorang, seperti melakukan kegiatan do’a atau

meditasi, membaca kitab atau buku keagamaan, dan berpartisipasi dalam kelompok

keagamaan (Hawari 2009). Hubungan dengan Tuhan pada agama Islam terdapat

dimensi kesehatan jiwa. Iman kepada Allah besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa

manusia dimana orang yang beriman itu selalu ingat kepada Allah (dzikrullah/zikir)

sehingga perasaan tenang selalu menyertainya. Pikiran, persaaan dan perilakunya baik

dengan tidak melanggar hukum, norma, moral dan etika kehidupan serta tidak

merugikan orang lain karena orang tersebut tahu benar dan yakin apa yang dilakukan

itu semua dicatat oleh malaikat.

Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila mampu

merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di

dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu

kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina

integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah

terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif

(Hamid, 1999).

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi spiritual

Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2000), faktor

penting yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah :

1. Tahap perkembangan

Anak-anak mempunyai persepsi yang berbeda tentang Tuhan dan bentuk sembahyang

berdasarkan usia, seks, agama dan kepribadian anak. Spiritualitas berhubungan

dengan kekuasaan non material, sehingga seseorang harus memiliki beberapa

Page 27: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

kemampuan berpikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu

hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

2. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu.

Tidak begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan dan agama, tapi individu

belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku keluarganya. Oleh

karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimana

individu mempunyai pandangan, pengalaman tehadap dunia yang diwarnai oleh

pengalaman dengan keluarganya (Taylor, Lillis & LeMone, 1997).

3. Latar belakang etnik dan budaya

Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya.

Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak

belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan

keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan.

4. Pengalaman hidup sebelumnya

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi Spiritual

sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan

secara spiritual pengalaman tersebut (Taylor, Lilis dan Lemon, 1997). Peristiwa

dalam kehidupan seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan

kepada manusia menguji imannya.

5. Krisis dan perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual seseorang. Krisis sering

dialami ketika seseorang menghadi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan

dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan

prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut

merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fiskal dan emosional (Toth, 1992;

dikutip dari Craven & Hirnle, 1996).

6. Terpisah dari ikatan spiritual

Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu merasa

terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan

Page 28: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi,

mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau

teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat diinginkan (Hamid, 2000)

2.2.4. Spiritualitas dalam perspektif Islam

Konsep spiritualitas dalam terminologi Islam, berhubungan langsung dengan Al

Qur’an dan Sunnah Nabi. Nasr (1994) menyatakan bahwa ayat-ayat Al Qur’an dan

perilaku Nabi Muhammad mengandung praktik-praktik serta makna spiritual. Nabi

mengajarkan beragam cara untuk meraih kehidupan spiritual yang tertinggi, yang

dikenal sebagai tasawuf. Tasafuw adalah salah satu cabang ilmu Islam yang

menekankan dimensi atau aspek spiritual. Tasawuf lebih mengarah pada aspek rohani

dari pada aspek jasmani. Tasafuw berasal dari kata shafa yang artinya kesucian jiwa.

Tasawuf merupakan proses penyucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar ke

jalan Allah, maka seseorang harus menempuh tahap-tahap spiritualitas yang dalam

ilmu tasawuf disebut dengan Maqamat (M.Solihin dan Rasihan Anwar, 2002).

Maqamat berarti kedudukan seorang hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa

yang telah diusahakannya. Maqamat bisa berarti jalan panjang yang harus ditempuh

oleh orang spiritual untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Menurut Imam Al

Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah tahapan adab seorang hamba dalam

mendekatkan diri kepada-Nya dengan bermacam-macam upaya yang diwujudkan

dengan suatu tujuan pencapaian dan ukuran tugas serta masing-masing individu

berbeda dalam tahapannya (Samsul Munir Amin, 2012). Berkaitan dengan macam-

macam maqamat yang harus dtempuh oleh seorang hamba untuk sedekat mungkin

dengan Allah terdapat beberapa ahli memiliki pendapatnya. Menurut Al Ghazali

(dalam Hamzah Tulaeka, 2012), menyatakan bahwa maqamat atau tahap spiritual

terdiri dari delapan tingkat yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakkal, mahabbah, ridha dan

ma’rifat. Menurut As Sarraj ath-Thusi maqamat terdiri dari tujuh tingkat yaitu taubat,

wara’ zuhud. Faqr, sabar, ridha dan tawakkal.

Tingkatan spiritual tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Taubat

Taubat adalah memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan

dan dengan bersungguh-sungguh berjanji untuk tidak mengulanginya kembali diiringi

Page 29: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah (Totok Jumantoro dan

Samsul Munir Amin). Pada tingkat terendah, aubat menyangkut dosa yang dilakukan

jasad atau anggota badan. Pada tingkat menengah taubat menyangkut pangkal dosa-

dosa seperti dengki sombong dan riya. Tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut

usaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah.

Pada tingkat akhir penyeleseaian atas kelengkapan pikiran dalam mengingat Allah.

2. Zuhud

Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia. Secara umum zuhud

berarti suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan

duniawi dan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan

yaitu peda tingkatan terendah zuhud berarti menjauhkan dunia ini agar terhindar dari

hukuman di akhirat. Pada tingkatan kedua, menjauhi dunia dengan menimbang

imbalan di akhirat, dan pada tingkat ke tiga, mengucilkan dunia bukan karena takut

atau berharap tetapi karena cinta pada Allah

3. Sabar

Sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.

Sabar terdiri dari tiga tingkatan yaitu tingkat satu sabar untuk Allah yaitu keteguhan

hati dalam melaksanakan keteguhan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Ke dua adalah sabar bersama Allah yaitu keteguhan hati dalam menerima segala

keputusan dan tindakan Allah, serta ketiga adalah sabar atas Allah yaitu keteguhan

hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan-Nya seperti rizki

dan kesulitan hidup.

4. Wara’

Wara’ secara harfiah adalah menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Pengertian

wara’ dalam pandangan kaum sufi adalah meninggalkan sesuatu yang tidak jelas

hukumnya baik menyangkut makanan, pakaian dan lainnya (Revay Siregar, 2000).

Wara’ secara lahiriah tidak menggunakan segala ang masih diragukan dan

meninggalkankemewahan. Sedangkan secara batiniah adalah tidak menempatkan atau

mengisi hati dengan mengingat Allah.

5. Fakir

Page 30: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Fakir mengandung arti bahwa semua manusia secara universal membutuhkan Allah.

Menurut Al Ghazali (dalam Totok dan Samsul), fakir dibagi dua macam, yaitu fakir

secara umum merupakan hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga

eksistensinya. Sikap ini wajib karena menjadi sebagian iman dan buah dari ma’rifat.

Fakir uqayyad (terbatas) adalah kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia

yang dapat dipenuhi oleh selain Allah.

6. Tawakkal

Tawakkal adalah menyerahkan diri, pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah

setelah melakukan rencana atau usaha. Tawakkal; terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu

tawakal atau menyerahkan diri pada Allah seperti seseorang yang menyerahkan

perkaranya keada pengacara, tawakkal atau menyerahkan diri pada Allah seperti

seorang bayi menyerahkan diri pada ibunya dan derajat tawakkal tertinggi adalah

menyerahkan diri kepada Allah seperti jenazah di tengah petugas yang

memandikannya.

7. Ridha

Ridha adalah rela, senang dan suka. Secara umum berarti tidak menentang qadha, dan

qadar nya Allah, menerima qadha, dan qadar dengan hati senang. Tanda-tanda orang

yang telah ridha adala: mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyap

rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang bergelora saat diberi cobaan.

8. Mahabah

Mahabah berasal dari kata bahasa Arab yaitu ahabbah yuhibbu mahabbatan yang

berarti mencintai secara mendalam. Pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu

usaha sungguh-sungguh untuk mencapai tingkatan rohani tertinggi dengan

terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Kecintaan dan kerinduan

kepada Allah adalah salah satu simbol yang disukai sufi untuk menyatakan rasa

kedekatan dengan-Nya. Untuk menjelaskan makna cinta Ilahi ini agak sulit karena

menyankut apa yang dirasakan orang lain.

9. Ma’rifat

Ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan rahasia hakekat agama yaitu ilmu yang lebih

tinggi dari pada ilmu yang didapat pada umumnya dan merupakan pengetahuan yang

Page 31: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

obyeknya bukan hal yang bersifat dhahir, tetapi bersifat batin yaitu pengetahuan

mengenai rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan

Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan - peraturan

Allah tentang segala hal.

2.3 Konsep Kebahagiaan

2.3.1 Pengertian Kebahagiaan

Kebahagiaan menurut Snyder dan Lopez (2007) merupakan emosi positif yang

dirasakan secara subjektif oleh setiap individu. Kebahagiaan dapat mengarahkan pada

perasaan positif yaitu seperti perasaan sukacita, ketenangan dan keadaan positif yang

ditunjukkan dengan level kepuasan hidup dan afek positif yang tinggi dan diikuti

dengan afek negatif yang rendah (Carr, 2004). Kebahagiaan atau happiness menurut

Diener (2011) mempunyai makna yang sama dengan subjective well-being

(kesejahteraan subjektif). Istilah kesejahteraan subjektif mengacu pada evaluasi

individu dalam suatu kehidupan yang meliputi penilaian kognitif, afektif dan

termasuk di dalamnya kepuasan individu terhadap kehidupan. Menurut Seligman

(2005) kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang

dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai. Kebahagiaan ini

biasanya ditandai dengan lebih banyak afek positif yang dirasakan individu dari pada

afek negatif. Kebahagiaan juga sebagai apresiasi keseluruhan hidup seseorang, dan

seberapa banyak individu menyukai dengan kehidupan yang dimiliki.

Berdasarkan definisi para ahli di atas, kebahagiaan dapat disimpulkan sebagai

perasaan positif yang berasal dari kepuasan atas keseluruhan hidup yang ditandai

dengan adanya kesenangan yang dirasakan oleh individu ketika melakukan sesuatu

hal yang disenangi di dalam kehidupan.

2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan

Diener (2011) menyatakan bahwa kebahagiaan atau happiness mempunyai makna

yang sama dengan subjective well-Being. Menurut Diener, Suh, Lucas dan Smith

(1999) terdapat 2 komponen dasar Subjective Well-Being, yaitu kepuasan hidup (life

satisfaction) sebagai komponen kognitif, sedangkan afek positif (pleasant) dan afek

negatif (unpleasant) sebagai komponen afektif. Afek positif adalah emosi positif atau

emosi menyenangkan yang merupakan bagian dari Subjective Well-Being. Seseorang

Page 32: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

dapat dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi jika individu seringkali

merasakan emosi positif (Diener, 2011). Emosi positif tersebut dapat digambarkan

dengan perasaan seseorang yang semangat, aktif dan selalu siap dalam segala hal.

Afek negatif yaitu suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan. Menurut Diener

dan Larsen (1985) seseorang dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi

jika individu jarang sekali mengalami emosi negatif. Keadaan afek negatif yang tinggi

adalah keadaan dimana seseorang merasakan kemarahan, kebencian jijik, rasa

bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa pengalaman

merasakan emosi negatif yang berkepanjangan dapat mengganggu seseorang dalam

bertingkah laku secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat

membuat hidup tidak menyenangkan.

Kepuasan hidup merupakan penilaian individu terhadap kualitas kehidupannya secara

global. Penilaian umum atas kepuasan hidup merepresentasikan evaluasi yang

berdasar kognitif dari sebuah kehidupan seseorang secara. Selain itu Diener, Suh,

Lucas, dan Smith (1999) menambahkan ada 7 domain kepuasan yang

menggambarkan kebahagiaan pada individu seperti diri sendiri, keluarga, teman

sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Andrews dan Mckennell

(1980) juga membagi 2 komponen yang mempengaruhi kebahagiaan yaitu:

1. Komponen afektif adalah afek yang mengacu pada emosional yang

mempengaruhi rasa kebahagiaan, menyenangkan, dan kenikmatan. Komponen

afektif adalah sejauh mana pengalaman menyenangkan mempengaruhi individu

yang disebut juga dengan tingkat hedonis

2. Komponen kognitif, mengacu pada rasional individu yaitu aspek respon

seseorang, didalamnya terdapat kepuasan, kesuksesan, dan bertemu dengan

kebutuhan kebutuhan lainnya. Komponen kognitif adalah sejauh mana individu

merasakan aspirasinya (cita citanya) yang harus dipenuhi dapat juga disebut

dengan kepuasan

2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan di antaranya yaitu:

1. Kekayaan

Menurut Kasser (dalam Polak & McCullough, 2006) kekayaan seperti halnya harta

benda merupakan suatu kebutuhan dasar yang memang diperlukan oleh setiap orang,

Page 33: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

namun apabila seseorang lebih terfokus pada kekayaan maka akan merusak

kebahagiaan dan kepuasan psikologis individu. Sebagaimana Polak & McCullough

(2006) menambahkan seseorang yang sering mengejar tujuan-tujuan kekayaan agar

tercapai suatu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup, namun hal tersebut justru

terlihat individu merasa tidak bahagia dengan kondisi hidupnya.

2. Pernikahan

Seligman (2005) mengungkapkan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan

kebahagiaan. Pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat

membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki

anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan

identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004).

3. Religiusitas

Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang

yang tidak religius (Seligman, 2005). Carr (2004) juga menambahkan keterlibatan

dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang

lebih baik yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak

berlebihan dalam makanan dan minuman, dan bekerja keras. Didukung juga oleh

penelitian yang dilakukan oleh Elfida (2008) menunjukkan bahwa keyakinan religius

memberikan kontribusi yang besar terhadap kebahagiaan individu.

4. Syukur

Berbagai manfaat syukur telah ditemukan kebenarannya, sebagaimana sebuah

penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) terhadap

mahasiswa dengan praktek syukur, hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa

yang melakukan praktek bersyukur dilaporkan setiap minggunya memiliki emosi

positif dan kegiatan positif yang lebih tinggi seperti rutin berolahraga, merasa lebih

baik mengenai kehidupan, lebih optimis, menjadi lebih tinggi tingkat kewaspadaan,

antusias, dan memiliki tekad. Penelitian ketiga dari Emmons dan McCullough (2003)

juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki penyakit neuromuskuler namun

merasa bersyukur dengan kondisi tersebut dapat memberikan dampak yang positif

terhadap kesejahteraan inidvidu.

Page 34: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

5. Kehidupan sosial

Orang yang bahagia biasanya memiliki efek yang positif berkenaan dengan kehidupan

sosial, seperti halnya lebih banyak memiliki teman, memiliki dukungan sosial yang

kuat serta berinteraksi sosial dengan lebih baik (Lyubomirsky, Schkade & Sheldon,

2005).

6. Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi setiap individu. Ketika individu

merasa sakit terkadang kebahagiaan terasa sedikit berkurang. Sebagaimana Okun dkk

(dalam Polak & McCullough, 2006) mengungkapkan ada hubungan kesehatan yang

buruk dengan ketidakbahagiaan dan kesusahan. Kajian Mayo Clinic (dalam Seligman,

2005) juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kebiasaan

yang lebih baik berkenaan dengan kesehatan, memiliki tekanan darah yang lebih

rendah, dan system kekebalan tubuh yang lebih kuat daripada orang yang kurang

bahagia. Sementara itu Aspinwall (dalam Seligman, 2005) juga mengatakan bahwa

orang yang bahagia memiliki kesadaran yang lebih baik mengenai kesehatan, dan

kebahagiaan merupakan salah satu faktor untuk memanjangkan usia dan dapat

meningkatkan kesehatan. Menurut Lyubomirsky, King dan Diener (2005)

kebahagiaan menunjukkan korelasi yang positif dengan indikator kesehatan mental

dan fisik. Kebahagiaan mempengaruhi kesehatan melalui dampaknya pada hubungan

sosial, perilaku sehat, serta kemungkinan berefek pada fungsi kekebalan tubuh

individu. Seligman dkk (dalam Diener & Chan, 2011) juga menambahkan bahwa

kesejahteraan subjektif memiliki manfaat yang positif mengenai kesehatan fisik

seperti lebih cepat dalam penyembuhan luka dan memiliki tekanan darah yang lebih

rendah.

7. Usia dan jenis kelamin

Menurut Freedman (dalam Polak & McCullough, 2006) orang yang berusia lebih tua

kemungkinan bisa menerima dan memiliki kepuasan hidup dibandingkan yang

berusia lebih muda, karena yang berusia lebih tua memiliki makna dan arah hidup

yang lebih pasti dan lebih percaya diri dalam nilai-nilai kemudian juga lebih optimis

daripada yang berusia lebih muda. Berdasarkan tingkat kebahagiaan ditinjau dari jenis

kelamin yaitu antara laki-laki dan perempuan sebetulnya tidak memiliki perbedaan

yang cukup jauh mengenai keadaan emosinya, namun terkadang perempuan

Page 35: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

cenderung dilaporkan lebih memiliki afek negatif dan sekaligus lebih bahagia

dibandingkan laki-laki (Diener, 2011).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kebahagiaan adalah adanya faktor internal, yaitu usia, jenis kelamin,

kesehatan, religiusitas dan syukur sementara itu faktor eksternal yang berpengaruh

diantaranya adalah kehidupan sosial, pernikahan dan kekayaan.

2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan

Penelitian ini akan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Argyle, Martin &

Crossland yaitu menggunakan Oxford Happines Questionnaire (OHQ) yang

mengungkapkan aspek-aspek happiness antara lain : Life satisfaction, Joy, Self

Esteem, Calm, Control dan Efficacy (Liaghatdar, 2008) Adapun skala ini disesuaikan

dengan menerjemahkan bahasanya dan memodifikasi struktur bahasanya supaya item

yang dipergunakan dapat dipahami oleh subyek. Komponen yang dikembangkan oleh

(Hills,P dan Argyle, M.2002) dalam Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) antara

lain :

1. Life Satisfaction : (Kepuasan hidup) mencakup seperti satisfied with life, life is

rewarding, warmth for other, interested in others, interested in others, optimistic,

find beauty in things, in control, life has meaning and purpose

2. Joy : (Kegembiraan) mencakup seperti mentally alert, pleased with self, have fun

with others, wake up rested, laugh a lot, feel happy, make decisions easily

3. Self-esteem : (Harga Diri) mencakup seperti world is good, committed and

involved, look attractive, life is good, feel energetic

4. Calm : (Ketenangan) mencakup seperti find things amusing, can organize time,

happy memories

5. Control : (Kontrol Diri) mencakup seperti joy and elation, cheerful effect on

others, done things wanted, can do most things

6. Efficacy : (Kemudahan) mencakup seperti feel healthy

2.4 Sikap penerimaan diri

Sikap penerimaan diri dapat dimaknai dengan kemampuan individu untuk

menrima keberadaan diri sendiri. Sikap penrimaan diri dapat dilakukan secara

Page 36: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

realistis maupun tidak realistis. Sikap penerimaan diri secara realistis ditandai

dengan kemampuan individu dalam melihat kelemahan maupun kelebihan diri

secara obyektif, sedangankan penerimaan diri tidak realistis terjadi jika seseorang

menilai kelebihan diri sendiri secara berlebihan, menolak kelemahan diri

mengingkari hal-hal buruk pada diri sendiri, seperti mengingkari atau melihat

secara berlebihan pengalaman traumatis masa lalu (Agoes, 2007).

Penerimaan diri dapat ditunjukkan dengan adanya pengakuan seseorang terhadap

kelebihan-kelebihannya sekaligus kelemahan atau kekurangannya tanpa

menyalahkan orang lain. Penerimaan diri merupakan sikap yang positif terhadap

diri sendiri, menerima keadaan diri, dan menghargai diri dan orang lain, serta

menerima keadaan emosionalnya. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan

kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya.

Individu yang memiliki penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan

dapat menerima kelemahannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Hjelle

dan Ziegler (1981 dalam Sari dan Nuryoto 2002) yang menyatakan bahwa

individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi terhadap frustrasi atau

kejadian-kejadian yang menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-

kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat

menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan

kelemahan. Jadi, individu yang mampu menerima dirinya adalah individu yang

dapat menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima

kelebihannya.

Menurut Jersild (1963, dalam Sari dan Nuryoto 2002), beberapa karakteristik

individu dalam penerimaan diri secara baik, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Berpikir lebih

realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan

orang lain adalah salah satu sikap yang ditunjukkan oleh individu yang

memiliki penerimaan diri yang baik. individu tersebut dapat melakukan

sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.

2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. Individu

yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam

dirinya, lebih baik dari pada individu yang tidak memiliki penerimaan diri.

Page 37: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri. Seseorang individu yang

terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan infiority complex

adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal

tersebut akan mengganggu penilaian yang realistis atas dirinya.

4. Respon atas penolakan dan kritikan. Individu yang memiliki penerimaan diri

tidak menyukai kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk

menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut.

5. Keseimbangan antara real self dan ideal self. Individu yang memiliki

penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan

dari dalam dirinya dengan baik yang memungkinkan individu memiliki

ambisi secara benar, namun tidak mungkin mencapainya walaupun dalam

jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu,

dalam mencapai tujuannya individu mempersiapkan hal-hal yang mungkin

dapat dicapai, untuk memastikan agar dirinya tidak ada kecewa di kemudian

hari.

6. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Hal ini berarti apabila seorang

individu menyayangi dirinya, dan mampu menerima segala kekuatan dan

kekurangan diri, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi

orang lain dan menerima orang lain dengan baik.

7. Menuruti kehendak dan menonjolkan diri. Apabila seorang individu

menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu tersebut memanjakan

dirinya, akan tetapi individu akan menerima bahkan menuntut kelayakan

dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya, individu

dengan penerimaan diri menghargai harapan orang lain dan meresponnya

dengan bijak.

8. Spontanitas dan menikmati hidup. Individu dengan penerimaan diri

mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam

hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang

dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari

sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.

9. Aspek moral penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri bukanlah

individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal

moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu

Page 38: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa

nantinya, dan tidak menyukai kepura-puraan.

10. Sikap terhadap penerimaan diri. Individu yang dapat menerima hidupnya

akan menunjukkan sikap menerima apapun kekurangan yang dimilikinya

tanpa harus malu ketika berada di lingkungan sosialnya.

Menurut Bastaman (2007), terdapat beberapa komponen yang menentukan

keberhasilan seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:

1. Pemahaman diri (Self Insight). Yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya

kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke

arah kondisi yang lebih baik.

2. Makna hidup (the meaning of life). Nilai-nilai penting yang bermakna bagi

kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus

dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.

3. Pengubahan sikap (changing attitude). Merubah diri yang bersikap negatif

menjadi positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah.

4. Keikatan diri (self commitment). Merupakan komitmen individu terhadap

makna hidup yang ditetapkan. Komitmen yang kuat akan membawa diri pada

hidup yang lebih bermakna dan mendalam.

5. Kegiatan terarah (directed activities). Suatu upaya-upaya yang dilakukan

secara sadar dan sengaja, berupa pengembangan potensi pribadi yang positif

serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk mencapai tujuan hidup.

6. Dukungan sosial (social support). Yaitu hadirnya seseorang atau sejumlah

orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu sedia memberi bantuan pada

saat-saat diperlukan.

Menurut Germer (2009), proses penerimaan diri sebagai bentuk keadaan

melawan ketidaknyamanan. Tahap awal yang terjadi adalah rasa kebencian,

selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah. Apabila hal itu

berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan merangkul apapun yang terjadi

dalam hidup seorang individu. Penjelasan mengenai tahapan penerimaan diri

adalah sebagai berikut:

1. Aversion (kebencian/keengganan, menghindari, resisten). Reaksi alami pada

perasaan yang membuat tidak nyaman adalah kebencian atau keengganan.

Page 39: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Kebencian/keengganan ini juga dapat membentuk keterikatan mental atau

perenungan, mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk menghilangkan

perasaan tersebut.

2. Curiosity (melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian). Pada tahapan ini

individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu

untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya muncul adalah

"Perasaan apa ini?, Apa artinya perasaan ini?, Kapan perasaan ini terjadi".

3. Tolerance (menanggung derita dengan aman). Toleransi berarti menanggung

rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan

berharap perasaan tersebut akan segera hilang.

4. Allowing (membiarkan perasaan datang dan pergi). Setelah melalui proses

bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai

membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara

terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.

5. Friendship (merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi). Individu

melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya. Hal ini

merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan diri.

Menurut Hurlock (1996 dalam Sari dan Nuryoto 2002), terdapat beberapa faktor

yang mempengaruhi seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:

1. Pemahaman Diri. Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang

ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan,

kebenaran bukan kebohongan, keterus-terangan bukan berbelit-belit.

2. Harapan yang realistis. Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang

akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis, kesempatan untuk

mencapai sukses tersebut akan muncul, sehingga akan terbentuk kepuasan diri

sendiri yang pada akhirnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri

sendiri.

3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan. Ketidakmampuan untuk

mencapai tujuan yang realistis dapat disebabkan oleh ketidakmampuan

individu untuk mengontrol adanya hambatan-hambatan dari lingkungan,

misalnya: diskriminasi, ras, gender, dan kepercayaan.

4. Tidak adanya tekanan emosi yang berat. Tekanan yang berat dan terus

menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja atau rumah, dimana kondisi

Page 40: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

sedang tidak baik, dapat mengakibatkan gangguan yang berat, sehingga

tingkah laku orang tersebut dinilai menyimpang dan orang lain menjadi

terlihat selalu mencela dan menolak orang tersebut.

5. Sukses yang sering terjadi. Kegagalan yang sering menimpa menjadikan

seseorang menolak terhadap diri sendiri, sebaliknya kesuksesan yang sering

terjadi menumbuhkan penerimaan terhadap diri sendiri.

6. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang baik akan menghasilkan penerimaan

diri yang baik namun sebaliknya bila konsep diri yang buruk secara alami

akan menghasilkan penolakan terhadap diri sendiri.

2.5 Regulasi emosi

Gross (2002 dalam Hidayat 2016) mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah

suatu proses individu mempengaruhi emosinya, ketika individu memiliki emosi

tersebut dan bagaimana suatu emosi dialami dan diekspresikan. Tice dan

Bratslavsky (Gallo, Keil, McCulloch, Rockstoh & Gollwitzer, 2009 dalam

Hidayat 2016) menuliskan bahwa regulasi emosi bisa berbentuk penghindaran

respon dengan melakukan sekumpulan tindakan untuk memunculkan emosi yang

berlawanan, seperti bersantai untuk menghilangkan perasaan cemas. Gross dan

Thompson (Lane, Bucknall, Davis, & Beedie, 2012 dalam Hidayat 2016)

mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah strategi yang digunakan dengan

sengaja maupun otomatis untuk memulai, mempertahankan, dan menampilkan

emosi. Gross dan Levenson (1993 dalam Hidayat 2016) mendefinisikan regulasi

emosi sebagai manipulasi yang dilakukan dalam diri untuk mempengaruhi emosi

atau reaksi fisiologis, atau komponen perilaku yang dapat menimbulkan respon

emosional.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah proses yang digunakan oleh individu

untuk mempengaruhi emosinya, serta bagaimana cara menampilkan atau

mengekspresikan emosinya.

2.5.1 Strategi Regulasi Emosi

Gross (2002) dalam penelitiannya menyajikan model strategi regulasi emosi yang

bisa dilakukan, diantaranya adalah antecedent focused strategies dan response

Page 41: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

focused strategies. Antecedent focused strategies adalah hal-hal yang dilakukan

individu sebelum merespon secara penuh suatu tekanan kemudian merubah

perilaku dan emosinya. Response focused strategies merupakan hal hal yang

dilakukan setelah emosi muncul.

Menurut Gross (2002 dalam Hidayat 2016), proses emosi terdiri dari lima tahap

yaitu:

1. Situation selection (pemilihan situasi)

Pemilihan situasi mengacu pada memilih untuk mendekati atau menghindari

orang-orang, tempat, atau hal-hal tertentu untuk mengatur atau meregulasi emosi.

Misalnya, seorang lansia memilih makan malam bersama seorang teman yang

dapat membuat lansia tersebut selalu tertawa, dibandingkan dengan bergabung

dengan lansia yang membuatnya sedih. Pemilihan situasi ini memberikan

dampak untuk jangka pendek dan jangka panjang, misalnya seorang lansia

pemalu berupaya mengurangi kecemasan dengan menghindari situasi sosial yang

dapat membantu dalam waktu jangka pendek, namun tindakan tersebut dalam

jangka panjang akan berdampak pada isolasi sosial.

2. Situation modification (modifikasi situasi)

Merupakan usaha memodifikasi satu keadaan secara langsung untuk

mendatangkan situasi baru. Modifikasi situasi yang dimaksud di sini dapat

dilakukan dengan memodifikasi lingkungan fisik eksternal maupun internal.

Gross (2007 dalam Hidayat 2016) menganggap bahwa upaya memodifikasi

internal lingkungan yaitu pada bagian perubahan kognitif. Misalkan jika salah

satu lansia tampak marah, maka dapat menghentikan interaksi marah kemudian

mengungkapkan dengan keprihatinan, meminta maaf, atau memberikankan

dukungan.

3. Attentional deployment (mengalihkan perhatian)

Attentional deployment dapat dianggap sebagai versi intenal dari seleksi situasi.

Dua strategi attensional yang utama adalah distraksi dan konsentrasi. Distraksi

memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang berbeda dari situasi yang

dihadapi, atau memindahkan perhatian dari situasi itu ke situasi lain, misalnya

ketika seorang lansia mengalihkan pandangannya dari stimulus yang dapat

membangkitkan emosi untuk mengurangi stimulasi. Attentional deployment bisa

memiliki banyak bentuk, termasuk pengalihan perhatian secara fisik (misalnya

Page 42: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

menutup mata atau telinga), pengubahan arah perhatian secara internal (misalnya

melalui distraksi atau konsentrasi), dan merespon pengalihan.

4. Cognitive change (perubahan kognitif)

Perubahan penilaian yang dibuat oleh individu, termasuk pertahanan psikologis

dan pembuatan pembandingan sosial dengan yang ada di bawahnya (keadaannya

lebih buruk daripada saya). Hal ini merupakan transformasi kognisi untuk

mengubah pengaruh kuat emosi dari situasi. Perubahan kognitif mengacu pada

cara individu mengubah dan menilai situasi di mana seseorang terlibat di

dalamnya, seperti mengubah emosionalnya, dengan memikirkan tentang

situasinya atau tentang kapasitas individu tersebut untuk menanganinya.

5. Response modulation (perubahan respon)

Modulasi respon mengacu pada usaha individu untuk mempengaruhi tendensi

respon emosi yang siap untuk dimunculkan. Modulasi respon dipengaruhi oleh

respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku, misalnya lansia melakukan olahraga

dan relaksasi untuk mengurangi aspek fisiologis, pengalaman emosi negatif,

dengan menggunakan obat, rokok dan makanan.

Tahap 1-4 berfokus pada penyebab masalah, sedangkan tahap 5 berfokus pada

respon yang akan dihasilkan. Selain itu, terdapat juga dua konsekuensi dalam

meregulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan suppression. Gross (2002 dalam

Hidayat 2016) cognitive reappraisal merupakan cara mengubah situasi yang

dianggap dapat mengurangi dampak emosional. Suppression adalah cara

menghambat pertanda yang berasal dari luar perasaan. Mcrae, Heller, John, dan

Gross (2011 dalam Hidayat 2016) juga menuliskan bahwa suppression adalah

strategi yang digunakan untuk menghambat penampakan emosi, sedangkan

cognitive reappraisal adalah strategi yang melibatkan pikiran untuk kemudian

mengubah emosi. Keenan (2013 dalam Hidayat 2016) menuliskan bahwa

suppression terlibat secara aktif dalam menghambat pengalaman emosi secara

internal dan eksternal, baik secara verbal (lisan) atau mengontrol ekspresi wajah

sehingga emosi tidak tersampaikan, sedangkan cognitive reappraisal melibatkan

pikiran (kognitif) lebih dulu sebelum proses aktivasi emosi. Hal ini melibatkan

bagaimana merubah pikiran tentang situasi emosi yang tepat (strategi ini secara

rinci berfokus pada tujuan untuk meningkatkan atau mengurangi respon emosi).

Page 43: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Konsekuensi dari regulasi emosi menurut Gross dan John (2004 dalam Hidayat

2016) yaitu:

1. Konsekuensi afektif:

a. Cognitive reappraisal mengurangi pengalaman dan ekspresi perilaku dari

emosi negatif tanpa melibatkan atau meningkatkan aktivasi dari respon

fisiologis.

b. Suppression mengurangi ekspresi perilaku dari emosi negatif tetapi tidak

menurunkan pengalaman subjektif dari emosi.

2. Konsekuensi kognitif:

a. Cognitive Reapraisal tidak membutuhkan regulasi diri yang terus- menerus

atau berkelanjutan.

b. Suppression membutuhkan self-awareness dan regulasi diri selama proses

penekanan dilakukan sehingga mengurangi kemampuan kognitif dalam

mengingat kembali peristiwa yang terjadi ketika dilakukan penekanan.

3. Konsekuensi sosial

a. Cognitive reappraisal memiliki konsekuensi yang lebih positif

dibandingkan dengan suppression karena cognitive reappraisal

mengurangi pengalaman emosi negatif dan ketika meningkatkan emosi

positif

b. Suppression memiliki konsekuensi sosial yang negatif, karena gagal

menyerap informasi yang dibutuhkan, gagal dalam merespon dengan tepat

terhadap orang lain dan juga kelihatan menghindar sehingga mengganggu

interaksi sosial.

Emosi setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan harus mengatur

kondisi emosinya. Faktor tersebut antara lain (Widiyastuti, 2014):

1. Faktor lingkungan. Lingkungan tempat individu berada termasuk lingkungan

keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat yang akan mempengaruhi

perkembangan emosi

2. Faktor pengalaman. Pengalaman yang diperoleh individu selama hidup akan

mempengaruhi perkembangan emosinya. Pengalaman selama hidup dalam

berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan akan menjadi refrensi bagi

individu dalam menampilkan emosinya

Page 44: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

3. Pola asuh orang tua. Pola asuh ada yang otoriter, memanjakan, acuh tak

acuh, dan ada juga yang penuh kasih sayang. Bentuk pola asuh itu akan

mempengaruhi pola emosi yang di kembangan individu.

4. Pengalaman traumatik. Kejadian masa lalu akan memberikan kesan traumatis

akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibat rasa takut dan

juga sikap terlalu waspada yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi

emosionalnya.

5. Jenis kelamin. Keadaan hormonal dan kondisi fisiologis pada laki-laki dan

perempuan menyebabkan perbedaan karakteristik emosi antara keduanya.

Wanita harus mengontrol perilaku agresif dan asertifnya. Hal ini

menyebabkan timbulnya kecemasan kecemasan dalam dirinya. Sehingga

secara otomatis perbedaan emosional antara pria dan wanita berbeda.

Perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan strategi regulasi emosi yang

digunakan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa laki-laki dewasa

muda lebih banyak menyalahkan diri sendiri saat meregulasi emosinya,

sedangkan perempuan dewasa muda lebih sering menyalahkan orang lain.

6. Usia. Kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan

kematangan fisiologis seseorang. Semakin bertambah usia, kadar hormonal

seseorang menurun sehingga menggakibatkan penurunan pengaruh

emosional seseorang. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seiring

berjalannya usia, semakin dewasa individu semakin adaptif strategi regulasi

emosi yang digunakan (Gross, Richard & John, 2004 dalam dalam Hidayat

2016)

7. Perubahan jasmani. Perubahan jasmani adalah perubahan hormon-hormon

yang mulai berfungsi sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing.

8. Perubahan pandangan luar. Perubahan pandangan luar dapat menimbulkan

konflik dalam emosi seseorang.

9. Religiusitas. Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat

mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan

berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan

dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005,

dalam Anggraini, 2015)

2.6 Penelitian Terkait Sebelumnya

Page 45: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Tabel 2.1 Penelitian Terkait Sebelumnya

No Judul Penulis Desain Variabel Hasil-kesimpulan

1 The Relationship

between Spiritual

Well-Being and

Quality of Life

among the Elderly

People Residing in

Zahedan City

(South-East of Iran)

Maryam

Seraji1,

Davood

Shojaezade1

, Fateme

Rakhshani

cross-

sectional and

correlational

study

Spiritual well-

being

Quality of

Life

The mean score of

quality of life was

(58.2 ± 6.25).

Women’s quality

of life was

significantly lower

than men’s (p =

0.04). The mean

score of spiritual

well-being was

(88.98 ± 7.35).

Moreover, there

was a positive

correlation

between quality of

life and both

spiritual (p = 0.04,

r = 0.42) and

religious well-

being (p = 0.043, r

= 0.41).

2 Spiritual well being

of elderly people

resident in nursing

home

Jadidi A,

Farahaninia

M,

Janmohamm

adi S,

Haghani H

cross-

sectional study

Spiritual well

being

The results showed

that the spiritual

well being of the

participants at the

intermediate level

and above, and the

average score of

spiritual well being

was 96/26 ±

17/93. As the

results of ANOVA

and independent t-

test showed that the

spiritual health of

the participants is

not associated with

any of the

demographic

variables

3 Perbedaan

kesejahteraan

Tuti

Anggiani, H

Deskriptif

analitik

Kesejahteraan

spiritual

Ada perbedaan

spiriutual pasien

Page 46: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

No Judul Penulis Desain Variabel Hasil-kesimpulan

spiritual pada pasien

sebelum dan

sesudah operasi

jantung

Iyes Yosep,

Aan Nur’

aeni

komparatif sebelum dan

sesudah

operasi

sebelum dan

sesudah operasi

jantung dengan

peningkatan nilai

77 menjadi 84,65

dengan nilai

p=0.001

4 Hubungan

kesejahteraan

spiritual dengan

tingkat depresi

lansia

Ninda Isfatun

Kasana

Deskriptif

analitik

Kesejahteraan

spiritual dan

tingkat

depresi

Rata – rata lansia

memiliki

kesejahteraan

spiritual baik

63,67% dan lansia

tidak mengalami

depresi 71,2%

dengan p= 0,000

5 Hubungan antara

religiusitas dengan

psychological well-

being pada lansia

Septy Indah

Maulina

Analitik

korelasi

psychological

well-being

religiusitas

Ada hubungan

positif yang sangat

signifikan dengan

korelasi 0.914, nilai

p=0,000

(p ≤ 0,01)

6 Hubungan antara

kesejahteraan

spiritual dengan

kepuasan hidup

Rully Afrita

Anastasia

Ediati

Analitik Kesejahteraan

spiritual

Kepuasan

hidup

tidak ada hubungan

yang signifikan

antara

kesejahteraan

spiritual dengan

kepuasan hidup

dengan nilai (r = -

0,002; p = 0,984).

Page 47: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

7 The impact of

spirituality well

being and coping

strategys on patient

with generalized

anxiety disorder

Faizal Amjad Analitic Spirituality

well being

Coping

strategys

the data were

analyzed by

descriptive

statistics, linear

and stepwise

regression, and

Sobel z-test of

mediation analysis.

The stepwise

regression analysis

showed that out of

13 dimensions of

spiritual wellness,

only three

dimensions (i.e.,

concept of

hereafter, mystery,

and meaning)

significantly

predicted GAD

symptoms in

negative direction.

The mediational

analysis showed

that active

practical and

religious coping

strategies did not

mediate between

the relationship of

spiritual wellness

and symptoms of

GAD.

Page 48: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

8 Gambaran

kebahagiaan lansia

yang tinggal di Panti

Werdha

Cicilia Pali Kualitatif Hal ini dianalisis

berdasarkan teori

kebahagiaan

otentik dari

Seligman. Hasil

penelitian

menunjukkan satu

lansia tidak

menunjukkan

kebahagiaan, satu

lansia relatif

bahagia, dan

lainnya

menunjukkan

sangat bahagia

dalam menilai

keseluruhan

hidupnya

Page 49: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

9 Kebahagiaan lansia

ditinjau dari

dukungan keluarga

Dyah Ayu

Mastuti

Analitik Kebahagiaan

dukungan

keluarga

Berdasarkan hasil

analisis diperoleh

nilai koefisien

korelasi (r) sebesar

0,691 dan sig. (1-

tailed) = 0,000, p <

0,01, artinya ada

hubungan positif

yang sangat

signifikan antara

dukungan keluarga

dengan

kebahagiaan.

Kebahagiaan pada

lanjut usia

tergolong cukup

dilihat dari rerata

empirik (RE) 99,53

dan rerata hipotetik

(RH) 101,5.

Dukungan keluarga

pada lanjut usia

tergolong

cenderung rendah

dilihat dari rerata

empirik (RE) 58,73

dan rerata hipotetik

(RH) 78. Dukungan

yang diberikan

keluarga terhadap

kebahagiaan pada

lanjut usia sebesar

47,78 %, maka

masih ada 52,22%

faktor-faktor lain

yang berpengaruh

terhadap

kebahagiaan pada

lanjut usia selain

faktor dukungan

keluarga

Page 50: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

10 Meningkatkan

kebahagiaan lansia

di panti wreda

melalui psikoterapi

positif dalam

kelompok

Uun Zulfiana Eksperimen kebahagiaan

lansia

psikoterapi

positif

Hasil analisis dari

kelompok

eksperimen

didapatkan z = -

2.803 asymp sig =

0.05 = 0.05,

menggambarkan

adanya perbedaan

signifikan

kebahagiaan pada

kelompok

eksperimen antara

sebelum intervensi

dengan sesudah

intervensi. pada

kelompok kontrol

tidak menunjukkan

adanya perubahan

kebahagiaan

ditunjukkan dengan

z = .647 asymp sig

= .518 > 0.05,

artinya tidak ada

perbedaan

kebahagiaan pada

pre dan post test.

Hasil analisis

didapatkan z = -

3.747 exact sig

.000 < 0.05, artinya

terdapat perbedaan

yang signifikan

antara kelompok

eksperimen dan

kontrol. Kelompok

eksperimen setelah

post test

menunjukkan

kebahagiaan yang

lebih tinggi

dibandingkan

dengan kelompok

kontrol

Page 51: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

11 Makna kebahagiaan

pada lansia muslim

yang tinggal di Panti

Iin Nasri

Impisari

Kualitatif

dengan

pendekatan

fenomenologi

Makna

kebahagiaan

Semua subyek

memaknai

kebahagiaan

sebagai perasaan

senang. Mereka

merasa

bahagia/senang

karena semua

kebutuhan

hidupnya terpenuhi

dan terjamin,

subyek mempunyai

banyak teman dan

subyek juga tidak

perlu memikirkan

biaya hidup, seperti

membayar sewa

tempat tinggal dan

membayar

keperluan lainnya

Page 52: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

12 A. Comparison of

Happiness and

Spiritual Well-

Being among

the Community

Dwelling

Elderly and

those who Lived

in Sanitariums

Mohsen Adib-

Hajbaghery,

and Mona

Faraji

comparative

study

Happiness

Spiritual

Well-Being

From the total

participants, 56%

were CD elderly

and 44% were in

sanitariums.

Among the CD

older adults, no one

was at a high level

of spiritual well-

being while in

sanitariums 24.4%

were at a high level

of spiritual well-

being. Also, 71.2%

of the community

dwelling older

adults were at a

high level of

happiness while

only 3.6% of those

living in

sanitariums

expressed a high

level of happiness.

A significant

association was

found between the

level of spiritual

well-being and

happiness in those

who lived in

sanitariums

(r=0.177,

P<0.021).

BAB 3

Page 53: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka konsep penelitian

Faktor yang

mempengaruhi

kebutuhan spiritual:

1. Tahap perkembangan

2. Peranan keluarga

3. Latar belakang etnik

dan budaya

4. Pengalaman hidup

sebelumnya

5. Krisis perubahan

6. Terpisah dari ikatan

spiritual

e. Zuhud

f. wara’

g. Fakir

h. Mahabah

i. Ma’rifat

Pemenuhan Kebutuhan

Holistik lansia:

1. Fisik

2. Psikologis

3. Social

4. Budaya

5. Spiritual Islami:

a. Taubat

b. Sabar

c. Tawakal

d. Ridho

Konseling Dzikir

Konseling dan dzikir

1. Sikap penerimaan diri

2. Regulasi emosi

3. Bahagia

Proses perubahan pada lansia:

1. Penampilan

2. Fungsi fisiologi

3. Fungsi kognitif

4. Psikososial

5. Kemampuan mental

6. Spiritual

Page 54: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

Bagan 3.1 Kerangka konsep pengaruh spiritual well being dengan metode konseling

dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia

Keterangan:

Perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan

yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-perubahan yaitu

perubahan fisik berupa penampilan, fungsi fisiologi, perubahan mental berupa fungsi

kognitif dan kemampuan mental, perubahan psikologis dan sosial serta spiritual.

Perubahan ini mempunyai efek terhadap pelayanan kesehatan secara holistik pada

lansia yaitu pelayanan secara fisik, psikologis, sosial, budaya dan spiritual. Kebutuhan

spiritual pada lansia saat ini dapat dipengaruhi berbagai hal mulai dari tahap

perkembangan, peranan keluarga, latar belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup

sebelumnya, adanya krisis perubahan dan kemungkinan terpisah dari ikatan spiritual.

Aspek spiritual well being secara Islami dapat terjadi pada seseorang terdapat

tingkatan mulai dari taubat, Taubat, Sabar, Tawakal, Ridho Zuhud, Wara’, Fakir,

Mahabah dan tingkatan tertinggi adalah Ma’rifat. Untuk mencapai spiritual well being

yang berbasis Islami berbagai intervensi dapat dilakukan berupa konseling spiritual

dan dzikir. Intervensi ini diharapkan dapat mempengaruhi terjadinya spiritual well

being melalui mekanisme yang ada di otak manusia melalui sistem limbik sebagai

pusat informasi yang berhubungan langsung dengan amygdala. Proses ini berupa

kognitif yang pemikiran dan afektif yang berbentuk emosi. Seseorang harus

mendorong sikap penerimaan terhadap diri sendiri dan emosinya ke arah yang positif

maka akan terjadi kebahagiaan. Namun pikiran manusia untuk mencapai kebahagiaan

yang terproses di otak hanyalah instrumen yang dikaruniakan oleh Allah SWT untuk

menjalani kehidupannya dengan baik.

44

Page 55: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen Pretest – Postest with Control

Group

Kelompok eksperimen Pre-test perlakuan post-test

01a Xa 02a

01b Xb 02b

01c Xab 02c

Kelompok kontrol 01d 02d

Keterangan:

01a: kelompok konseling

01b: Kelompok dzikir

01c: Kelompok konseling dan dzikir

01d: Kelompok kontrol

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Sampling.

1. Populasi adalah semua lansia yang tinggal di UPTD Griya Werdha Surabaya.

Kriteria populasi adalah lansia yang dapat berkomunikasi dengan baik, tidak

mengalami gangguan pendengaran, tidak mengalami gangguan kognitif, tidak

depresi berjumlah 54 orang. Sedangkan untuk kelompok control adalah lansia

yang tinggal di Panti Werda Hargo Dedali dengan populasi 22 orang. Jumlah

populasi secara keseluruhan 76 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi lansia yang berjumlah 45 lansia untuk

3 kelompok intervensi dan 15 orang untuk kelompok kontrol

3. Besar sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus

(t-1) (r-1) > 15

dimana : t = banyaknya kelompok perlakuan

46

Page 56: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

52

r = jumlah replikasi

jumlah perlakuan ada 3 kelompok, maka besar sampel untuk tiap

perlakuan dapat dihitung:

(3 -1) (r-1) > 15

(r-1) > 15/3

r > 9

Untuk mengantisipasi hilangnya unit ekskperimen maka dilakukan

koreksi dengan 1/(1-f) di mana f adalah proporsi unit eksperimen yang

hilang atau mengundur diri atau drop out, sehingga: n= 9 (1+0,15) =

10,15

Besar sampel pada penelitian ini untuk masing-masing kelompok adalah

15 responden sehingga keseluruhan 60 orang

4. Tehnik sampling.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sederhana atau Simple

Random Sampling. Pengambilan sampel secara acak sederhana adalah

bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan

yang sama untuk diseleksi sebagai sampel.

4.3 Variabel penelitian.

1. Variabel intervensi penelitian ini adalah spiritual well being berbasis Islami

dengan metode konseling dan dzikir

2. Variabel dependen penelitian ini adalah sikap penerimaan diri, regulasi

emosi dan kebahagiaan lansia

4.4 Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja penelitian digambarkan sebagai berikut:

Page 57: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

53

4.5 Definisi Operasional

Definisi operasional penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

No Variabel Definisi Alat ukur Skala

ukur

Hasil

ukur

1 Variabel

Intervensi

Spiritual well

being berbasis

Islami:

1. Taubat

memohon ampunan atas segala

dosa yang disertai dengan

penyesalan dan dengan

bersungguh-sungguh berjanji untuk

Kuesioner

Interval Skor

mean

dan SD

Lansia

Pre tes

Pengukuran spiritual well being berbasis Islami dan

sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan

kebahagiaan

Kelompok konseling

Kelompok dzikir

Kelompok konseling dan dzikir

Kelompok kontrol

Post tes

Pengukuran spiritual well being berbasis Islami dan

sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan

Analisis

Paired t-test dan Manova

Hasil

Intervensi 2 kali seminggu selama 8 minggu

Page 58: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

54

No Variabel Definisi Alat ukur Skala

ukur

Hasil

ukur

2. Sabar

3. Tawakk

al

4. Ridha

tidak mengulanginya kembali

diiringi dengan melakukan

kebajikan yang dianjurkan oleh

Allah

menerima segala keputusan dan

tindakan Allah

menyerahkan diri, pasrah dan

menyerahkan segalanya pada Allah

setelah melakukan rencana atau

usaha

tidak menentang qadha, dan qadar

nya Allah, menerima qadha, dan

qadar dengan hati senang

Konseling proses pemberian bantuan yang

dilakukan kepada lansia yang

mengalami sesuatu masalah yang

bermuara pada teratasinya masalah

yang dihadapi lansia

Panduan

pelaksanaan

konseling

Dzikir aktifitas ibadah dalam umat Muslim

untuk mengingat Allah

Panduan dzikir

Konseling dan

dzikir

Kombinasi antara intervensi

konseling dan dzikir

2 Variabel

dependen

Sikap

penerimaan diri

Kecenderungan perasaan lansia

dalam menerima keadaan dirinya

sendiri, tentang segala kelebihan

dan kekurangan yang dimiliki

Kuesioner

Interval

Skor

mean

dan SD

Regulasi Emosi kemampuan lansia untuk mengatur

perasaan, reaksi fisiologis, kognisi

yang berhubungan dengan emosi,

dan reaksi yang berhubungan

dengan emosi positif

Kuesioner Interval Skor

mean

dan SD

Kebahagiaan Emosi dan pikiran positif yang

secara subyektif dirasakan lansia

dalam menghadapi kehidupan di

panti

Kuesioner

Interval Skor

mean

dan SD

4.6 Tehnik pengumpulan data.

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan ijin penelitian ke

Bakesbangpolinmas, Dinas Sosial dan UPTD Panti Werda. Selanjutnya

Page 59: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

55

peneliti mengajukan laik etik untuk mendapatkan persetujuan etik dengan

nomor 195/S/KEPK/VI/2018. Uji coba kuesioner dilakukan di PSTW

Pasuruan dengan uji validitas dan reliabilitas yaitu dengan membandingkan

nilai r tabel dengan nilai r hitung yaitu dengan menggunakan df=n-2 =20-

2=18. Pada tingkat kemaknaan 5% didapat angka r tabel adalah 0.444.

Menentukan nilai r hasil dapat dilihat pada kolom corrected item total

correlation. Bila r hasil > r tabel, maka pernyataan tersebut valid. Hasil uji

validitas kuesioner spiritual well being beberapa pernyataan dihilangkan yaitu

no 1,2,5,11,20,25 dan 28, uji reliabilitas alpha (0,933) > 0,444. Uji validitas

kebahagiaan pernyataan yang tidak valid dikoreksi dan hasil uji

reliabilitasnya alpha (0,895) > 0,444. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner

sikap penerimaan diri alpha (0,679) > 0,444. Pernyataan yang tidak valid

dikoreksi secara kontens. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner regulasi alpha

(0,620) > 0,444, semua pernyataan dinyatakan valid.

Selanjutnya akan dilakukan pengumpulan data sebelum intervensi,

pelaksanaan intervensi 2 kali dalam seminggu selama 8 minggu, serta akan

dilakukan pengumpulan data setelah intervensi. Selama pengumpulan data

direncanakan melibatkan perawat di Panti Werda namun sebelumnya peneliti

melakukan penjelasan dalam melaksanakan SOP konseling dan dzikir.

4.7 Analisis data

Analisis data pada penelitian adalah analisis univariat, berupa distribusi

frekuensi dan persentase dari masing – masing variabel. Uji statistik yang

digunakan pada analisis bivariat menggunakan uji Paired T-Test dengan

tingkat kemaknaan 95 % (alpha 0,05). Uji beda menggunakan uji Anova

BIAYA PENELITIAN

Page 60: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

56

Pembiayaan yang diajukan pada penelitian ini terdiri dari persiapan, pengumpulan

data, pengolahan data, penulisan laporan penelitian, penggandaan laporan, honor

tim pembantu peneliti dan biaya lain-lain, dijabarkan pada tabel berikut:

No Kegiatan transport/kegiatan (Rp) jumlah kegiatan Jumlah

A Perjalanan (16%)

Transport

Ketua 100,000 24 2,400,000

Peneliti 1 100,000 24 2,400,000

4,800,000

No Kegiatan Jumlah kebutuhan Harga Jumlah

B Bahan (74%)

Modul SOP 27 bj 15,000 405,000

Konsumsi tim peneliti 10 kali x 10 orang 35,000 3,150,000

Snack responden 7 kali x 55 orang 15,000 5,250,000

honor tim pembantu peneliti 8 orang x 8 kali 55,000 7,040,000

biaya analisis data 3 kali 1,500,000 4,500,000

notes 60 bj 14,500 870,000

bolpoint 5 pack 18,000 90,000

penggandaan :

Fc proposal 5 eks x 42 hal 200 43,000

Fc protokol 6 eks x 50 hal 200 60,000

Fc laporan tengah 6 eks x 60 hal 200 66,000

Fc laporan akhir 12 eks x 80 hal 200 192,000

Penjilidan 29 eks 6000 174,000

Fc kuesioner 60 orang x 3 x 10 lbr 200 360,000

22,200,000

C Lain-lain (10%)

suvenir lansia

Kipas batik Jumbo 60 10,000 600,000

sabun mandi cair 60 10,500 630,000

Shampo 60 10,500 630,000

Minyak kayu putih 60 9,500 570,000

Tempat peralatan mandi 60 6,500 390,000

Tasbih 60 3,000 180,000

3,000,000

Jumlah Total

30,000,000

Page 61: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

57

BAB V

HASIL PENELITIAN

Bab ini membahas tentang hasil penelitian yaitu gambaran umum tempat

penelitian, data umum berupa karakteristik responden yang berkaitan dengan data

jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur dan lama tinggal di Panti. Data khusus

dijelaskan tentang hasil uji statistik dari variabel penelitian pada kelompok dzikir,

konseling, dzikir dan konseling serta kontrol.

5.1 Gambaran umum tempat penelitian.

Penelitian dilakukan di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya dan Panti

Werdha Hargodedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya. Jumlah total lanjut usia

yang tinggal di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya sebanyak 125 orang.

Data lanjut usia kelompok perlakuan diambil dari UPTD Panti Werdha

Jambangan sebanyak 45 orang, selanjutnya dikelompokan menjadi 15 orang

sebagai kelompok dzikir, dan 15 orang kelompok konseling, serta 15 orang

kelompok dzikir + Kknseling. Kelompok kontrol diambil dari Panti Werdha

Hargo Dedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya total lanjut usia yang tinggal

sebanyak 50 orang, sedangkan untuk kelompok kontrol sebanyak 15 orang.

5.2 Data Umum

1. Karakteristik Jenis Kelamin

Tabel 5.1. Distribusi karakteristik jenis kelamin lanjut usia di Panti Werdha

Tahun 2018

Jenis kelamin Jumlah Persentase

Kelompok dzikir

Laki 6 40

Perempuan 9 60

Total 15 100

Kelompok konseling

Laki 6 40

perempuan 9 60

Total 15 100

Kelompok dzikir dan

51

Page 62: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

58

Jenis kelamin Jumlah Persentase

konseling

Laki 7 47

perempuan 8 53

Total 15 100

Kelompok kontrol

Laki 0 0

perempuan 15 100

Total 15 100

Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik jenis kelamin lanjut usia sebagian besar

adalah perempuan pada seluruh kelompok, sedangkan pada kelompok kontrol

tidak satupun lansia yang berjenis kelamin laki-laki.

2. Karakteristik Tingkat Pendidikan

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Tingkat Pendidikan Lanjut Usia di Panti

Werdha Tahun 2018

Tingkat pendidikan Jumlah Persentase

Kelompok dzikir

SD 10 67

SMP 3 20

SMA 2 13

PT 0 0

Total 15 100

Kelompok konseling

SD 13 86

SMP 0 0

SMA 1 7

PT 1 7

Total 15 100

Kelompok dzikir dan konseling

SD 11 73

SMP 1 7

SMA 2 13

PT 1 7

Total 15 100

Kelompok kontrol

SD 7 47

SMP 3 20

SMA 5 33

PT 0 0

Total 15 100

Page 63: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

59

Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar lanjut usia yang tinggal di

Panti Werdha berpendidikan SD, namun pada kelompok konseling hampir

seluruhnya berpendidikan SD (86%), sebagian kecil ada yang berpendidikan

perguruan tinggi yaitu pada kelompok konseling dan dzikir + konseling masing-

masing 1 orang (7%).

3. Karakteristik Umur

Tabel 5.3. Distribusi karakteristik umur lanjut usia di Panti Werdha

Tahun 2018

Umur Mean

Median

SD Min - Max 95% CI

Kelompok dzikir 73.73

75

7.869 63 - 88 69.38 – 78.09

Kelompok konseling 71.73

72

4.511 64 - 77 69.24 – 74.23

Kelompok dzikir+konseling 72.60

72

6.833 63 - 85 68.82 – 76.38

Kelompok kontrol 76.40

77

5.527 69 - 87 73.34 – 79.46

Hasil analisis didapatkan rata – rata umur lanjut usia yang tertinggi adalah

kelompok kontrol (76,40 tahun) dan yang paling rendah pada kelompok konseling

(71,73 tahun). Hasil estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa

rata-rata usia lanjut usia pada kelompok kontrol 73,34 tahun sampai dengan 79,46

tahun, sedangkan pada kelompok konseling 69,24 tahun sampai dengan 74,23

tahun. Dilihat dari median yang paling tinggi adalah kelompok kontrol (77 tahun)

dan kelompok dzikir (75 tahun). Dari standar deviasi yang besar secara berturut

turut adalah kelompok dzikir, dzikir+konseling, kontrol dan konseling. Umur

termuda (63 tahun) dan tertua (88 tahun) berada pada kelompok dzikir.

Page 64: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

60

4. Karakteristik Lama tinggal di Panti

Tabel 5.4. Distribusi karakteristik Lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha

Tahun 2018

Lama tinggal Jumlah Persentase

Kelompok dzikir

< 1 tahun 1 7

1-2 tahun 6 40

2-3 tahun 2 13

> 3 tahun 6 40

Total 15 100

Kelompok konseling

< 1 tahun 4 27

1-2 tahun 8 53

2-3 tahun 3 20

> 3 tahun 0 0

Total 15 100

Kelompok dzikir dan

konseling

< 1 tahun 5 33

1-2 tahun 5 33

2-3 tahun 4 27

> 3 tahun 1 7

Total 15 100

Kelompok kontrol

< 1 tahun 7 47

1-2 tahun 3 20

2-3 tahun 3 20

> 3 tahun 2 13

Total 15 100

Berdasarkan lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha yang < 1 tahun paling

banyak pada kelompok kontrol. Pada rentang 1 – 2 tahun sebagian besar pada

kelompok konseling (53%) dan sebagian kecil lama tinggal > 3 tahun pada

kelompok dzikir+konseling serta kontrol

5.2 Data khusus

Data khusus pada penelitian ini disajikan hasil analisis uji beda paired t test, hasil

beda uji anova dan uji multivariat dengan analisis jalur atau path analisis.

Page 65: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

61

1. Hasil Uji Beda Paired t test

Tabel 5.5. Hasil Uji Beda Paired t Test

Kelompok Variabel Pre Post Delta

Post-pre

Uji t

paired Sig.

Konseling

Spiritual wellbeing

Islami.

3.858 3.957 -0.099 -2.213 0.044

Sikap penerimaan 2.697 3.334 -0.637 -10.452 0.000

Regulasi emosi 3.142 3.392 -0.250 -2.739 0.016

Bahagia 2.972 3.276 -0.304 -8.469 0.000

Dzikir

Spiritual wellbeing

Islami.

3.858 4.039 -0.181 -4.253 0.001

Sikap penerimaan 2.719 3.534 -0.815 -11.907 0.000

Regulasi emosi 2.958 3.250 -0.292 -3.845 0.002

Bahagia 2.911 3.264 -0.353 -11.071 0.000

Konseling dan

Dzikir

Spiritual wellbeing

Islami.

3.915 4.231 -0.317 -3.866 0.002

Sikap penerimaan 2.818 3.571 -0.753 -23.409 0.000

Regulasi emosi 3.127 3.577 -0.451 -6.164 0.000

Bahagia 3.017 3.750 -0.733 -11.000 0.000

Kontrol

Spiritual wellbeing

Islami.

3.873 3.159 0.714 13.014 0.000

Sikap penerimaan 2.714 2.717 -0.003 -0.081 0.937

Regulasi emosi 2.977 2.961 0.015 0.401 0.694

Bahagia 2.935 2.706 0.229 7.505 0.000

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan antara pre dan post pada

kelompok yang mendapatkan perlakuan konseling, dzikir, konseling dan dzikir

baik pada variabel spiritual wellbeing Islami, sikap penerimaan, regulasi emosi

dan kebahagiaan. Dan dari hasil dapat dilihat jika terdapat peningkatan skor

responden. Sedangkan pada kelompok kontrol ada dua variabel yang tidak

berbeda signifikan yaitu sikap penerimaan dan regulasi emosi. Sedangkan variabel

spiritual wellbeing Islami dan kebahagiaan berbeda signifikan namun terjadi

penurunan skor spiritual well being dan kebahagiaan, atau dengan kata lain skor

post lebih rendah dari skor pre.

Page 66: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

62

2. Hasil Uji Beda Anova

Tabel 5.6 Hasil Uji Beda Anova

Variabel Kelompok N

Pre Post

Mean SD Uji F

Anova Sig. Mean SD

Uji F

Anova Sig.

SPIRITUAL

WELLBEING

ISLAMI

Konseling 15 3.858 0.113

0.344 0.794

3.957 0.181

52.851 0.000

Dzikir 15 3.858 0.093 4.039 0.160

Konseling

dan dzikir

15 3.915 0.049 4.231 0.296

Kontrol 15 3.873 0.319 3.159 0.328

SIKAP

PENERIMAAN

Konseling 15 2.697 0.078

2.671 0.056

3.334 0.260

52.591 0.000

Dzikir 15 2.719 0.141 3.534 0.222

Konseling

dan dzikir

15 2.818 0.036 3.571 0.114

Kontrol 15 2.714 0.200 2.717 0.221

REGULASI

EMOSI

Konseling 15 3.142 0.295

1.426 0.245

3.392 0.163

16.444 0.000

Dzikir 15 2.958 0.154 3.250 0.222

Konseling

dan dzikir

15 3.127 0.279 3.577 0.205

Kontrol 15 2.977 0.453 2.961 0.358

BAHAGIA Konseling 15 2.972 0.116

1.184 0.324

3.276 0.086

91.043 0.000

Dzikir 15 2.911 0.096 3.264 0.102

Konseling

dan dzikir

15 3.017 0.236 3.750 0.189

Kontrol 15 2.935 0.169 2.706 0.258

Hasil pengujian anova pada pre test menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna

antar kelompok perlakuan konseling, dzikir, konseling + dzikir, kontrol dengan p

> 0,05 pada seluruh variabel. Sedangkan pada post test menunjukkan ada

perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan konseling, dzikir, konseling +

dzikir, kontrol dengan p < 0,05 pada seluruh variabel.

3. Hasil Uji Analisis Jalur atau Path Analysis

a. Asumsi-Asumsi Analisis Jalur

Sebelum dilakukan pengujian path analysis, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi.

Uji asumsi analisis jalur terdiri dari dua yaitu uji outlier dan uji normalitas. Hasil

selengkapnya uji asumsi tersebut adalah :

1) Uji outlier

Uji outlier merupakan uji yang digunakan secara bersamaan untuk mengamati distribusi

normal data. Artinya jika data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan eliminasi data

Page 67: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

63

yang outlier atau ekstrim, sebaliknya jika data sudah berdistribusi normal maka tidak

diperlukan lagi eliminasi data. Pengujian secara multivariate outlier dilakukan dengan

menggunakan nilai Mahalanobis. Pengujian secara multivariate dilakukan dengan

menggunakan software AMOS. Pengamatan multivariate outlier dilakukan pada

Mahalanobis distance, Farthest from the centroid. Data yang berada pada urutan teratas

merupakan data yang paling outlier, kemudian diikuti oleh data dibawahnya sampai

dengan urutan terakhir.

Standar multivariate outlier dari Mahalanobis adalah menggunakan nilai Chi Square

tabel. Jika urutan teratas dari nilai Mahalanobis kurang dari Chi Square tabel maka data

tidak terjadi outlier. Dan sebaliknya jika nilai Mahalanobis lebih dari Chi Square tabel

maka data terjadi outlier. Chi square tabel ditentukan berdasarkan jumlah variabel yang

digunakan dan tingkat kesalahan yang dianjurkan. Menurut Kelloway tingkat kesalahan

yang dianjurkan adalah 0,001. Berdasarkan tabel nilai Chi square pada 0,001 dan pada

jumlah variable 4 adalah 18,51. Pada pengujian tahap outlier multivariate diperoleh nilai

Mahalanobis yang sesuai standar. Berikut hasil uji Mahalanobis dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 5.7 Uji Outlier Data Secara Multivariate

Kategori Observation Data ke - Mahalanobis

d-squared

Maksimum 57 16.305

Tabel menunjukkan bahwa pada pengujian outlier multivariate, nilai tertinggi dari

Mahalanobis D Square adalah 16.305 ada pada data ke 57. Nilai 16.305 tersebut berada

di atas standar 18,51, sehingga data memenuhi asumsi multivariate outlier.

2) Uji normalitas

Uji normalitas yang harus dipenuhi adalah normalitas multivariat. Uji normalitas

menggunakan skewness (kemencengan) dan kurtosis (keruncingan). Data dikatakan

berdistribusi normal jika mempunyai nilai CR skewness dan kurtosis berada pada kisaran

+ 2,58. Berikut adalah hasil pengujian normalitas data secara univariate dan

multivariate.

Tabel. 5.8 Uji Normalitas Data Secara Multivariat

Page 68: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

64

Variable min max skew c.r. kurtosis c.r.

Spiritual WellBeing 2.430 4.620 -.783 -2.475 .400 .633

Regulasi emosi 2.380 3.880 -.564 -1.785 -.322 -.510

Sikap penerimaan 2.210 3.860 -.654 -2.067 -.495 -.782

Bahagia 2.430 4.125 -.248 -.783 -.301 -.476

Multivariate

1.639 .916

Tabel menunjukkan bahwa pengujian normalitas secara univariate maupun

multivariate seluruh variabel mempunyai nilai skewness CR kurang dari + 2,58. Dari hasil

ini maka pengujian normalitas telah memenuhi syarat univariate normal baik secara

kurtosis dan skewness. Kemudian dikatakan memenuhi asumsi multivariate normal jika

nilai CR multivariate kurang dari 2,58. Sedangkan pada pengujian multivariate telah

memenuhi syarat karena diperoleh nilai 0,916 yang lebih rendah dari + 2,58. Dari hasil

pengujian ini maka data penelitian memenuhi syarat uji normalitas.

b. Hasil Pengujian Analisis Jalur atau Path Analysis

1) Koefisien Jalur

Berikut adalah gambar hasil pengujian path analysis dengan nilai koefien jalur

atau standardize pada masing-masing variabel.

Gambar 5.1 Hasil Pengujian Path Analysis

Berikut adalah tabel hasil pengujian analisis jalur berdasarkan nilai koefisien

jalur:

Page 69: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

65

Tabel 5.9 Nilai Koefisien Jalur Pengaruh Antar Variabel

Variabel Nilai Standardized

coefisient

Bahagia <--- Spiritual Wellbeing

Islami. 0.812

Sikap penerimaan <--- Spiritual Wellbeing

Islami. 0.717

Regulasi emosi <--- Spiritual Wellbeing

Islami. 0.698

Dari tabel tersebut diatas, maka diketahui bahwa :

1. Jika variabel spiritual wellbeing Islami berubah maka akan menyebabkan

perubahan kebahagiaan. Tanda positif menunjukkan perubahan yang searah

yaitu jika variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka kebahagiaan

akan meningkat, dan sebaliknya dengan nilai koefisien jalur 0.812.

2. Jika variabel spiritual wellbeing Islami berubah maka akan menyebabkan

perubahan sikap penerimaan. Tanda positif menunjukkan perubahan yang

searah yaitu jika variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka sikap

penerimaan akan meningkat, dan sebaliknya dengan nilai koefisien jalur 0.717.

3. Jika variabel spiritual wellbeing Islami berubah maka akan menyebabkan

perubahan regulasi emosi. Tanda positif menunjukkan perubahan yang searah

yaitu jika variabel spiritual well being Islami meningkat maka regulasi emosi

akan meningkat, dan sebaliknya dengan nilai koefisien jalur 0.698.

Berdasarkan nilai koefisien analisis jalur dapat diketahui bahwa nilai koefisien

jalur paling besar pada jalur spiritual wellbeing Islami terhadap bahagia

2) Pembuktian Hipotesis

Parameter ada tidaknya pengaruh secara parsial dapat diketahui berdasarkan

nilai CR (Critical Rasio). Untuk menentukan ada tidaknya pengaruh variabel

exogen terhadap endogen, digunakan ketentuan melihat dari level of significant

= 0,05. Jika nilai signifikansi < 0.05 maka ada pengaruh variabel eksogen

terhadap endogen ataupun endogen terhadap endogen. Dan sebaliknya jika nilai

Page 70: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

66

signifikansi > 0,05 maka tidak ada pengaruh variabel eksogen terhadap endogen.

Hasil selengkapnya uji hipotesis dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.10 Hasil Pengujian Hipotesis Pengaruh Langsung

Variabel CR

hitung

Tingkat

Sig.

Bahagia <--- Spiritual Wellbeing

Islami 10.680 0,000

Sikap

penerimaan <---

Spiritual Wellbeing

Islami 7.890 0,000

Regulasi emosi <--- Spiritual Wellbeing

Islami 7.481 0,000

Pengujian dengan menggunakan nilai CR diperoleh nilai 10.680 dengan tingkat

signifikansi 0,000. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05. Sehingga ada pengaruh

spiritual wellbeing Islami terhadap kebahagiaan. Pengujian dengan menggunakan

nilai CR diperoleh nilai 7.890 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai signifikansi

ini kurang dari 0,05. Sehingga ada pengaruh spiritual wellbeing Islami terhadap

sikap penerimaan. Pengujian dengan menggunakan nilai CR diperoleh nilai

70,481 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05.

Sehingga ada pengaruh spiritual wellbeing Islami terhadap regulasi emosi.

Page 71: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

77

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Intervensi Konseling

6.1.2 Sikap penerimaan diri

Proses konseling diawali dengan membangun kepercayaan antara konselor dengan

konseli. Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam

proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan proses

konseling. Komalasari,dkk. (2011 dalam Marizka Adi Winarni, 2017)

mengungkapkan konselor harus mampu menunjukan sikap yang selaras dan

keaslian (congruence or genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional

positive regard and acceptance), dan pemahaman empati yang tepat (accurate

emphatic understanding). Apabila dalam proses konseling, kondisi dan peran

konselor dapat dimunculkan, maka konseli pun akan merasa lebih aman

dan nyaman dan konseli akan menjadi lebih terbuka pada saat proses

konseling. Pada awalnya konseli merasa ragu-ragu untuk menceritakan dirinya,

hal ini dapat terjadi karena konseli belum merasa nyaman dan percaya

dengan konselor sehingga untuk mengatasi hal tersebut konseli menggunakan

catatan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi permasalahan lanjut usia.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan yang signifikan terhadap sikap

penerimaan diri lansia setelah dilakukan intervensi konseling. Penerimaan diri

memiliki peranan yang penting dalam interaksi sosial karena penerimaan diri

dapat membantu seseorang dalam bersosialisasi dengan orang lain. Tanpa

penerimaan diri, individu cenderung akan sulit bisa menerima orang lain

sehingga akan berpengaruh pada perkembangan aktualisasi dirinya. Dengan

penerimaan diri yang baik, individu menjadi lebih menyadari siapa

dirinya, apa yang menjadi kekurangannya, apa yang menjadi kelebihannya

yang ini bisa digunakan untuk menghadapi masalah apa yang sedang

dihadapinya, dan tuntutan dalam menjalankan perannya di masyarakat (Marizka

Adi Winarni, 2017).

61

Page 72: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

78

Lanjut usia yang pada awalnya tidak menerima keberadaannya di Panti Werdha

karena ada unsur keterpaksaan, setelah dilakukan konseling pada tahap

mengungkapkan antara ralitas dan opini, akhirnya dapat menyadari dan

mengungkapkan penerimaan terhadap kenyataan yang dialaminya. Penerimaan

diri adalah suatu sikap dimana individu memiliki penghargaan yang tinggi

terhadap segala kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri tanpa menyalahkan

orang lain dan mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri secara terus

menerus. Dalam melakukan konseling individual pendekatan realitas, konselor

sangat memperhatikan aspek-aspek penerimaan diri untuk mengetahui sejauh

mana keberhasilan konselor dalam mengubah penerimaan diri konseli.

6.1.2 Regulasi emosi

Reivich & Shatte (dalam Permana 2018), mendefinisikan regulasi emosi

merupakan kemampuan tetap tenang dalam kondisi dibawah tekanan. Seseorang

yang dapat mengontrol emosinya maka akan terhindar dari gangguan fisik seperti

darah tinggi. Di bidang kesehatan, seseorang yang cepat marah dan mudah meluap

emosinya akan mengidap penyakit tersebut. Dampak secara psikis adalah timbul

gangguan seperti stress, rasa iri dengki, tidak mau menerima masukan dari orang

lain, dan sifat egonya lebih tinggi. Selain itu, seseorang yang tidak mampu

mengontrol emosi akan dijauhi oleh lingkungan sosial.

Berdasarkan regulasi emosi sebelum dilakukan perlakuan lanjut usia banyak

mengalami tekanan baik secara pribadi maupun dengan sesama lanjut usia.

Tekanan yang terjadi dapat berdampak pada emosi lanjut usia, yang diekspresikan

dengan marah kepada teman, memukul benda yang ada di sekitarnya, menangis

dan berontak untuk melarikan diri, namun juga terdapat lanjut usia yang menekan

emosinya sehingga berdampak terhadap konsekuensi sosial menjadi negatif karena

gagal menyerap informasi yang dibutuhkan, gagal dalam merespon dengan tepat

terhadap orang lain dan juga kelihatan menghindar sehingga mengganggu interaksi

sosial (Gross dan John, 2004 dalam Rahmawati 2017).

Page 73: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

79

Setelah dilakukan intervensi konseling, maka regulasi emosi lanjut usia lebih baik.

Regulasi emosi bisa berbentuk penghindaran respon dengan melakukan

sekumpulan tindakan untuk memunculkan emosi yang berlawanan, seperti

bersantai untuk menghilangkan perasaan cemas. Lanjut usia yang pada awalnya

memiliki emosi yang ekspresif pada akhir intervensi menyatakan dapat merespon

secara penuh suatu tekanan kemudian merubah perilaku dan emosinya menjadi

lebih baik karena terjadi proses sesuai dengan tahapan regulasi emosi seperti

memodifikasi situasi, mengalihkan perhatian atau merubah kognisi (Gross dan

John, 2004 dalam Rahmawati 2017).

Intervensi konseling yang dilakukan peneliti dapat meningkatkan kesadaran lanjut

usia tentang ketidakefektifan perilakunya dan kemudian bersedia merubahnya

merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan regulasi diri yang tergolong ke

dalam individual volition strategies (strategi kemauan). Strategi ini dapat

meningkatkan usaha yang dibutuhkan individu dan kemampuan mengelola

hambatan atau rintangan dalam pencapaian tujuan (Boekaerts, dalam Duckworth

dkk, 2009 dalam Susanti, 2015). Kemampuan yang diharapkan adalah mengatur

diri agar lanjut usia senantiasa dapat menjaga fokus dan usaha dalam mengatasi

berbagai masalah yang mungkin terjadi. Hal inilah yang dilakukan dalam

penelitian yaitu diawali dengan mengidentifikasi hambatan dan strategi untuk

mengatasinya setelah lanjut usia menyadari ketidakefektifan perilakunya masing-

masing.

6.1.3 Kebahagiaan

Secara statistik lanjut usia yang dilakukan konseling juga mendapatkan

kebahagiaan. Kebahagiaan lanjut usia secara subyektif menyatakan bahwa

sebagian lanjut usia tidak senang tinggal di Panti karena merasa terkekang dan

tidak bebas untuk keluar. Hal ini dirasakan terutama oleh lanjut usia yang sudah

lama tinggal di Panti. Kegiatan yang ada di Panti seluruhnya ada di dalam gedung.

Selain itu dari aspek komunikasi banyak lanjut usia yang tidak mampu menyatakan

permasalahannya kepada perawat.

Page 74: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

80

Pelaksanaan konseling pada penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yang

didahului dengan mengidentifikasi hubungan kejadian/peristiwa dengan perasaan

yang dirasakan, membuat thermometer perasaan sendiri, membedakan antara fakta

dan opini dalam kehidupannya, mengetahui analisis diri dan mengungkapkan

manfaat analisis diri bagi lanjut usia. Tahapan ini memungkinkan lanjut usia

mampu mengidentifikasi dan akhirnya mampu mengatasi permasalahannya dengan

menghadapkan kepada situasi yang dialami saat ini.

Hasil penelitian Lukmanul Hakim, dan Niken Hartati (2014) menyebutkan bahwa

lanjut usia yang tinggal di dalam Panti Werdha, umumnya bisa menjalani

kehidupannya terbebas dari beban pikiran terutama menyangkut pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari, karena kebutuhan lanjut usia telah diatur dan

disediakan oleh pihak Panti Werdha. Faktor yang berasal dari dalam diri individu

dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menilai kebahagiaannya. Faktor

internal adalah faktor yang berasal dari kepribadian (personal resource) seperti

harga diri, tipe kepribadian, gaya atribusi, intelegensi, gender dan optimism yang

menentukan kepuasan subjektif (subjective satisfaction) dalam memaknai objek-

objek kebahagiaan (Diener, 2009 dalam Lukmanul Hakim, dan Niken Hartati,

2014). Kebahagiaan dipengaruhi bagaimana cara lanjut usia untuk menilai kualitas

yang ada di dalam kehidupannya termasuk di dalamnya bagaimana lanjut usia

mampu untuk menerima keadaan yang telah dialami sehingga bisa memunculkan

ketenangan batin maupun pikiran. Hal ini juga memperlihatkan kemampuan dari

lanjut usia untuk melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan perubahan yang

terjadi di dalam hidupnya.

6.2 Intervensi dzikir

6.2.1 Sikap penerimaan diri

Lanjut usia pada kelompok dzikir secara statistik terdapat perbedaan yang

signifikan, dilihat dari aspek sikap penerimaan diri. Lanjut usia sebagian besar

tinggal di Panti Werdha berada pada rentang dibawah 2 tahun, yang berdampak

terhadap sikap penerimaan diri lanjut usia, namun setelah dilakukan intervensi

dzikir, spiritual wellbeing Islami lanjut usia mengalami perubahan, yang akan

Page 75: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

81

menyebabkan perubahan sikap penerimaan. Tanda positif menunjukkan perubahan

yang searah yaitu apabila variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka sikap

penerimaan akan meningkat. Lanjut usia dapat merefleksikan tentang perhatian

dan keterlibatan dalam hal-hal yang berkaitan dengan spiritual, termasuk perasaan

selama berada di dunia, dan meminta pertolongan Tuhan ketika sedang

menghadapi masalah. Saat lanjut usia sedang dalam masa krisis (berhadapan

dengan masalah), maka lanjut usia akan menjadikan agama sebagai cara untuk

membantunya menyelesaikan masalah. Lanjut usia mampu menghadirkan Tuhan

secara positif di dalam kesehariannya. bahwa segala sesuatunya berasal dari

Tuhan. Merefleksikan bahwa Tuhan merupakan cerminan dalam keyakinan

individu secara aktif dan positif terlibat dalam urusan setiap individu dapat

meningkatkan sikap penerimaan diri (Kendler, 2003 dalam Rahmawati 2017).

Penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk

hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya

diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang

tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak

memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan (Hurlock, 2000 dalam

Rahmawati 2017). Selanjutnya menurut Hurlock, 2000 (dalam Rahmawati 2017)

menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah

agama. Secara spiritual, aspek religiusitas meliputi dimensi jasmani dan rohani,

fikir dan dzikir, aqidah dan ritual, peribadatan, penghayatan dan pengalaman,

akhlak, individu dan sosial kemasyarakatan, masalah duniawi dan akhirat,

sehingga pada dasarnya spiritual Islam meliputi seluruh dimensi dan aspek

kehidupan.

Hasil penelitian Rahmawati (2017) menyatakan ada pengaruh antara dimensi

religiusitas dan penerimaan diri. Menurut Glock & Stark (Ancok & Suroso, 2005

dalam Rahmawati, 2017), religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa

kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah, seberapa dalam penghayatan

agama yang dianut seseorang dan pengalaman individu dalam beribadah Dengan

kata lain, bahwa seseorang yang memiliki religiusitas tinggi atau spiritual yang

Page 76: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

82

tinggi akan ikhlas menerima apapun kondisi yang dihadapi. Penerimaan diri yang

disertai dengan rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan

seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan

potensinya secara efektif. Semakin baik seseorang menerima dirinya, maka

semakin baik penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya. Orang yang memiliki

penyesuaian diri yang baik akan merasa bahagia. Penerimaan diri ini sangat

berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menjalani hidup. Seseorang yang

mampu menerima dirinya dengan baik, maka orang tersebut akan melihat dan

berlaku secara jujur, tanpa harus merekayasa apa yang ada dalam dirinya agar

terlihat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain (Nurhasyanah, 2012).

6.2.2 Regulasi emosi

Regulasi emosi pada kelompok dzikir terdapat perbedaan yang signifikan.

Intervensi dzikir yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilaksanakan setelah

sholat maupun pada situasi kapanpun. Dzikir yang diucapkan lanjut usia adalah

kalimat yang sehari-hari diucapkan ditambah dengan dzikir shalawat. Beragam

respon yang dilakukan oleh lanjut usia ketika awal tinggal di Panti Werda pada

umumnya akan bersedih, tidak percaya diri, dan menolak dan selalu memiliki

keinginan kembali ke keluarga atau saudara. Setiap agama mengajarkan seseorang

diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat

religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila

dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam

Coon, 2005, dalam Anggraini, 2015)

Intervensi dzikir mengajarkan kepada usia lanjut untuk selalu mengingat hubungan

dengan Tuhan, dan juga terkait dengan dimensi kesehatan jiwa. Iman kepada Allah

besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa manusia, dimana orang yang beriman itu

selalu ingat kepada Allah (dzikir) sehingga perasaan menjadi tenang dan jiwa

terkendali. Pikiran, persaaan dan perilakunya baik dengan tidak melanggar hukum,

norma, moral dan etika kehidupan serta tidak merugikan orang lain karena orang

tersebut tahu benar dan yakin apa yang dilakukan itu semua dicatat oleh malaikat.

61

Page 77: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

83

Lanjut usia yang terpenuhi kebutuhan spiritualnya mampu merumuskan arti

personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan,

mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau

penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina integritas

personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah terlihat

melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif

(Hamid, 1999).

Secara biologis dzikir mempunyai dampak terhadap kesehatan. Berdzikir dapat

menembus seluruh bagian tubuh bahkan ke setiap sel-sel dari tubuh itu sendiri. Hal

ini akan berpengaruh terhadap tubuh yaitu dengan merasakan getaran rasa yang

lemas dan menembus serta menelusupnya dzikir ke seluruh tubuh. Pada saat inilah

tubuh manusia merasakan relaksasi atau pengendoran saraf sehingga ketegangan-

ketegangan jiwa akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan baik kebutuhan jasmani

maupun kebutuhan rohani akan terkurang bahkan bisa saja hilang sama sekali.

Menurut Sholeh (2005, dalam Supriyadi 2017) menyatakan bahwa faktor religius

yaitu dengan berdzikir dapat meningkatkan usia harapan hidup, penurunan

pemakaian alkohol, rokok, obat, penurunan kecemasan, depresi, kemarahan,

penurunan tekanan darah, dan perbaikan kualitas hidup. Hal ini mengandung

makna bahwa dengan berdzikir dapat berdampak terhadap regulasi emosi lanjut

usia dalam menghadapi kehidupan di Panti Werdha.

6.2.3 Kebahagiaan

Kebahagiaan lanjut usia pada kelompok dzikir juga menunjukkan signifikan secara

statistik. Sebelum dilakukan perlakuan lanjut usia di Panti Werdha secara spiritual

sudah mendapatkan bimbingan untuk mendapatkan bimbingan terkait ibadah

sholat lima waktu dan sunah Tahajud dan Dhuha dari pembimbing rohani.

Berdasarkan wawancara dengan perawat menyatakan bahwa pembimbing rohani

hanya menyampaikan perintah untuk menjalankan ibadah sholat wajib disertai

dengan dzikir dan sunah tanpa ada bimbingan yang mengarah ke peningkatan

spiritual wellbeing Islami berupa pembimbingan taubat, sabar menghadapi situasi

Page 78: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

84

di panti, tawakal dan ridho. Namun demikian penciptaan kegiatan yang dilakukan

secara rutin dapat berimplikasi terhadap spiritual lanjut usia.

Setelah dilakukan perlakuan spiritual wellbeing Islami menjadi meningkat.

Kesejahteraan spiritual berupa pemahaman mendalam tentang pribadinya,

sosialnya, lingkungan dan pencipta. Kesejahteraan spiritual adalah proses

menguraikan sifat ikatan yang dinamis antara pribadi dan pencipta, hubungannya

cukup harmonis tergantung pada pengembangan diri yang dilakukan secara

sengaja, biasanya datang atas dasar kesesuaian antara pengalaman hidupnya

(Herniawati 2015 dalam Sriyanti, dkk, 2016). Kesejahteraan spiritual yang baik

ditandai dengan seseorang memiliki hubungan yang harmonis dengan diri sendiri,

harmonis dengan komunitas/orang lain, harmonis dengan lingkungan, dan

hubungan yang harmonis dengan Tuhan (Hanie, 2010 dalam Sriyanti, dkk 2016).

Kehidupan yang harmonis dapat meningkatkan kebahagian pada lanjut usia yang

tinggal di Panti Werdha.

6.3 Konseling dan dzikir

6.3.1 Sikap penerimaan diri

Setelah dilakukan perlakuan sikap penerimaan lanjut usia menjadi positif.

penerimaan diri juga didefinisikan sebagai memiliki pandangan yang positif

tentang diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas

baik dan buruk yang ada pada dirinya dan memandang positif terhadap kehidupan

yang telah dijalaninya (Ryff & Keyes, 1995 dalam Rahmawati 2017). Hal ini

diperkuat dengan pernyataan bahwa penerimaan diri secara sederhana diartikan

sebagai menerima sesuatu sebagaimana adanya dan berdamai dengan dirinya.

Ketika individu betul-betul menerima dirinya, kemudian memiliki ruang dan

perspektif untuk memandangnya dan menanganinya dari posisi yang telah

seimbang dan sehat. Ketika individu sudah bisa berdamai dengan suatu keadaan

yang dihadapinya, individu tersebut akan memandang dirinya dengan cara yang

positif dan realistis, sehingga seseorang tersebut akan melihat dirinya secara

konsisten, serta mau mengakui dan menerima kekurangan yang ada di dalam

dirinya, tidak sedih dengan keadaannya dan berusaha untuk merubah keadaannya

Page 79: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

85

sehingga bisa menjadi lebih baik dan menjalani kehidupaan yang sehat (Robbins

(2007 dalam Rahmawati 2017).

Sikap penerimaan pada kelompok kontrol tidak mengalami perbedaan antara pre

dan post. Lanjut usia pada kelompok kontrol yang berada di Panti Werdha berasal

dari situasi yang berbeda. Dukungan keluarga masih tetap dilakukan dengan

mengadakan kunjungan ke Panti werdha atau lanjut usia bisa dijemput oleh

keluarganya untuk tinggal bersama.

6.3.2 Regulasi Emosi

Regulasi emosi pada kelompok kombinasi antara konseling dan dzikir secara

statistik adalah signifikan. Menurut Elkins (1998 dalam Permana 2018), seseorang

dengan spiritualitas yang tinggi (wellbeing) tidak akan menemukan kepuasan

dalam materi tetapi kepuasan diperoleh dari pengalaman spiritual. Spiritualitas

yang dimaksud merupakan hasil dari pengamalan ibadah yang dilakukan oleh para

lanjut usia. Setelah lanjut usia mampu menyucikan hidupnya dengan konsiten

beribadah maka lanjut usia akan menemukan kepuasan spiritual yang

mempengaruhi pengendalian emosi dan keinginan negatif. Ibadah yang dilakukan

dalam bentuk dzikir, sholat dan perbuatan baik membentuk kepribadian sabar dan

ikhlas sehingga manfaat psikologisnya berupa regulasi emosi dan implus control

yang baik (Permana 2018).

Penanganan melalui pendekatan bimbingan dan konseling keagamaan diharapkan

dapat membantu para lansia menajamkan hati nurani, menghidupkan perasaan dan

mengingatkan hati. Dengan demikian pendekatan bimbingan dan konseling

berbasis agama merupakan solusi yang tepat bagi para lanisa untuk menghabiskan

masa tuanya. Dalam konteks bimbingan dan konseling keagamaan, para lansia di

ajak untuk menyadari kembali eksistensi dirinya sebagai hamba Allah SWT.

Layanan konseling yang dilakukan meliputi layanan komunikasi lansia yaitu

membantu lansia untuk mengidentifikasi secara non verbal yaitu melalui diary

untuk melatih lanjut usia mengungkapkan permasalahan yang terjadi selama di

Panti Werdha, memberikan waktu kepada lansia untuk mengungkapkan secara

Page 80: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

86

verbal permasalahan sesuai dengan masalah yang telah diungkapkan di buku diary,

menyusun pokok permasalahan bersama lanjut usia, merumuskan alternatif

penyelesaian masalah secara obyektif, dan bimbingan yang diarahkan kepada

keagamaan maupun sosial sesuai dengan kelompoknya.

Rata-rata lanjut usia yang mendapatkan perlakuan kombinasi dzikir konseling

mengalami kepuasan batin setelah intervensi. Permasalahan yang diselesaikan

membuat lanjut usia mengungkapkan menjadi orang yang dapat mengevaluasi

diri, lebih sabar dan ikhlas sehingga manfaat psikologisnya berupa regulasi emosi

dan implus kontrol yang baik.

Pada kelompok kontrol, saat awal tinggal di Panti lanjut usia mengungkapkan

bahwa merasakan ketidaknyamanan, namun seiring berjalannya waktu lanjut usia

dapat menerima dan secara emosi mampu untuk mengendalikan karena

dukungan keluarga masih dirasakan. Selain itu lanjut usia yang tinggal di Panti ini

memilih sendiri hidup di Panti Werdha dibandingkan dengan tinggal di rumah. Hal

ini disebabkan lanjut usia merasa kesepian, tidak ada teman untuk berkomunikasi

dan jarang bertemu dengan orang yang tinggal dalam satu rumah.

6.3.3 Kebahagiaan

Intervensi kombinasi dzikir dan konseling membawa perubahan yang signifikan

kepada kebahagiaan lanjut usia. Kebahagiaan spiritual memiliki banyak pintu.

Melalui kapasitas intelektualnya, seseorang bisa saja memperbanyak karya

kemanusiaan sebagai rasa syukur pada Tuhan. Melalui kecerdasannya yang

dibimbing oleh jiwa rohani seseorang akan lebih mampu memahami dan

menghayati kebesaran Tuhan sehingga ketika sujud akan lebih khusyuk.

Kesadaran spiritual, dengan bantuan jiwa insani, akan sanggup menatap

keindahan, kehebatan, keunikan semesta yang akan mendatangkan rasa damai,

kagum, optimis, bersyukur, merenung yang membuat hati lega dan bahagia.

Kebahagiaan spiritual mudah ditemukan pada pribadi-pribadi altruistic, yaitu

Page 81: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

87

mereka yang selalu mensyukuri hidupnya dengan cara berbagi kebahagiaan pada

orang lain (Komaruddin Hidayat, 2014).

Kesadaran akan adanya penderitaan merupakan kesadaran yang didasari atas

kebahagiaan akhirat sebagai puncak dari kebahagiaan. Pernyataan tersebut sesuai

dengan definisi zuhud. Zuhud adalah sikap menjauhi dunia dan isolasi terhadap

keramaian duniawi yang merupakan tingkatan dari spiritual wellbeing Islami. Yang

dimaksud dengan menjauhi dunia adalah menjauhi keinginan-keinginan negatif

berdasarkan hawa nafsu semata (implus control). Maka, seseorang yang mampu

menyadari akan adanya penderitaan di dunia mampu mengendalikan keinginan

negatif karena kesadaran akan nilai kebahagiaan materealistik hanya sementara dan

apabila terus-menerus dikejar hanya menimbulkan penderitaan.

Agar lanjut usia dapat mencapai kebahagiaan selama tinggal di Panti Werdha,

maka spiritual wellbeing Islami perlu ditingkatkan melalui proses penyucian jiwa

terhadap kecenderungan materi agar ke jalan Allah yaitu menjalani taubat, sabar,

tawakal, dan ridho. Di Panti Werdha telah dilakukan sholat tahadjud dan taubat

yang diwajibkan untuk diikuti lanjut usia agar memohon ampunan atas segala dosa

yang disertai dengan penyesalan. Melatih kesabaran melalui regulasi emosi jika

ada permasalahan, dengan keteguhan hati dalam menerima segala keputusan dan

tindakan Allah, bertawakal untuk pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah,

menerima qadha, dan qadar dengan hati senang.

Kebutuhan psikologis manusia harus memenuhi kebutuhan non-materil yang

disebut sebagai spiritualitas. Individu dengan spiritualitas yang baik dapat

menghadapi tekanan dan permasalahan karena dengan spiritualitas yang

dimilikinya akan mengaitkan setiap pengalaman hidup dengan sesuatu yang

diyakini dengan cara memaknai setiap pengalaman dalam hidupnya. Seseorang

dengan spiritualitas yang tinggi mampu menyucikan jiwanya agar kehidupannya

tentram dan bahagia, jika seseorang selalu berusaha dalam menyucikan jiwa maka

akan memperoleh suatu kekhidmatan dan kekhusyukan saat berhubungan dengan

sesuatu yang diyakini.

Page 82: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

88

Hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa terdapat signifikansi kelompok

kontrol terhadap spiritual wellbeing Islami dan kebahagiaan. Berkaitan dengan

spiritual wellbeing Islami, terdapat kecenderungan bahwa semakin tua usia

lanjut usia semakin mendekatkan diri pada Tuhan karena usianya yang memasuki

usia kematian, meskipun kegiatan keagamaan yang dilakukan tidak sebanyak

pada masa sebelumnya akibat dari penurunan fungsi fisik (Zulkifli, 2000) dan

individu yang sudah masuk masa lanjut usia memiliki keterbatasan pada motorik

dan sensoriknya. Kesehatan spiritual yang terbangun dengan baik membantu

lanjut usia menghadapi kenyataan, berpartisipasi dalam hidup, merasa memiliki

harga diri dan menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari

(Potter, A & Perry, A. G. 2006). Mengingat usia yang sudah tua semakin dekat

dengan kematian maka para lanjut usia semakin meningkatkan spiritual supaya

diampuni segala dosa, diterima iman dan islam, dan mendapat ridho Allah.

Kebahagiaan lanjut usia kepada kelompok kontrol dapat dilihat dari beberapa

pendekatan, salah satunya adalah pendekatan psikologi positif. Seligman (2004)

sebagai salah seorang pendiri dari psikologi positif menegaskan bahwa

kebahagiaan yang dialami oleh lanjut usia biasanya melibatkan stimulus eksternal.

Sekitar 50% dari kebahagiaan seseorang tergantung pada faktor genetika, seperti

pada kasus kembar identik, sedangkan kebahagiaan yang 50% lagi berkorelasi

dengan kondisi rumah (lingkungan) dimana seseorang tersebut berada. Lanjut

usia pada kelompok kontrol ini tinggal di Panti karena keinginan sendiri, dan

membayar ke pihak panti untuk kebutuhan sehari-harinya. Kondisi berbeda

dengan kelompok intervensi yang yang tinggal di Panti karena lebih banyak faktor

keterpaksaan. Namun demikian menurut Diener (2011) menyatakan bahwa

kebahagiaan mempunyai makna yang sama dengan subjective well-being

(kesejahteraan subjektif). Istilah kesejahteraan subjektif mengacu pada evaluasi

individu dalam suatu kehidupan yang meliputi penilaian kognitif, afektif dan

termasuk di dalamnya kepuasan individu terhadap kehidupan.

Page 83: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

89

Hasil pengujian post test menunjukkan ada perbedaan bermakna antar kelompok

perlakuan konseling, dzikir, konseling + dzikir, dengan kelompok kontrol pada

seluruh variabel. Namun jika dilihat dari perhitungan standar error of

mean/pembagi selisih rata-rata dapat dilihat bahwa pada kelompok kontrol variabel

spiritual wellbeing, regulasi emosi dan kebahagiaan mengalami penurunan skor

dibandingkan dengan kelompok intervensi walaupun secara uji statistik pada

kelompok kontrol ada perbedaan secara bermakna.

Perubahan yang terjadi mengindikasikan bahwa terjadinya perubahan skor

kelompok eksperimen yang lebih tinggi dan signifikan dibandingkan pada

kelompok kontrol dikarenakan adanya proses terapi sehingga berdampak pada

bertambahnya pengetahuan usia lanjut. Dengan bertambahnya pengetahuan dapat

meningkatkan kesadaran seseorang dan berpotensi untuk mengaplikasikannya

dalam kehidupan sehari- hari (Brotto, 2000; Lukens & McFarlane, 2004 dalam

Zulfana 2014).

Lanjut usia pada kelompok kontrol tidak mampu mempertahankan kondisi yang

sudah baik sehingga dapat beresiko terhadap menurunnya spiritual wellbeing, sikap

penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan. Kondisi yang demikian biasanya

berdampak pada kesehatan fisik dan psikis lansia. Dampak psikis yang mungkin

terjadi dengan menurunnya kebahagiaan adalah depresi dan gangguan emosional

(Snyder & Shane, 2002; Suri, 2010; Leggett, Davies, Hiskey & Erskine, 2011,

dalam Zulfana 2014). Oleh karena itu, perlu diberikan intervensi untuk lansia yang

mengalami penurunan berbagai variabel pada penelitian ini. Salah satu bentuk

intervensi yang dapat digunakan adalah dzikir, konseling dan dzikir + konseling.

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Zulfana (2014) yang menyatakan

bahwa kelompok kontrol mengalami perubahan skor kebahagiaan, antara pre test

dan post test. Namun perubahan yang terjadi pada kelompok kontrol tidak

signifikan. Perubahan hanya terlihat dari kenaikan dan penurunan rata-rata skor

sehingga tidak berdampak pada perubahan kategori.

Page 84: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

90

6.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah diusahakan dan dilakukan sesuai dengan prosedur ilmiah proses

penelitian, namun demikian masih terdapat beberapa keterbatasan yang dapat

mempengaruhi hasil penelitian yaitu:

1. Faktor yang mempengaruhi lanjut usia tinggal di Panti Werdha tidak dilakukan

penelitian yang kemungkinan dapat berkontribusi terhadap variabel penelitian

2. Masih ditemukannya jawaban lanjut usia yang tidak konsisten walaupun

didampingi oleh tim peneliti

3. Pada penelitian ini tim peneliti hanya diberikan pembekalan terkait intervensi

konseling dan belum diberi pelatihan dan praktek dengan waktu tertentu,

sehingga diprediksi dapat mempengaruhi pengukuran pre test dan post test.

4. Penghitungan sampel sudah dilakukan secara cermat, namun masih ditemukan

kendala drop out karena lanjut usia meninggal, sakit atau dijemput oleh

keluarga pada saat intervensi dilakukan.

BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Page 85: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

91

1. Usia lanjut yang dilakukan intervensi konseling mengalami perubahan yang

bermakna pada variabel sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan

kebahagiaan.

2. Usia lanjut yang dilakukan intervensi dzikir mengalami perubahan yang

bermakna pada variabel sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan

kebahagiaan

3. Usia lanjut yang dilakukan intervensi kombinasi konseling dan dzikir

mengalami perubahan yang bermakna pada variabel sikap penerimaan diri,

regulasi emosi dan kebahagiaan

4. Spiritual WellBeing Islami lanjut usia menunjukkan perubahan searah yaitu

jika variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka sikap penerimaan

diri, regulasi emosi dan kebahagiaan akan meningkat begitu pula

sebaliknya. Dari hasil uji path analisis nilai koefisien jalur paling besar

adalah jalur spiritual wellbeing Islami terhadap kebahagiaan.

7.2 Saran

1. Bagi Lanjut Usia.

Lanjut usia diharapkan konsisten dalam melaksanakan dzikir dan

mengungkapkan permasalahan selama di panti Werdha kepada perawat

agar regulasi emosi, dan sikap penerimaan diri untuk mencapai

kebahagiaan tinggal di Panti Werdha dapat terwujud.

2. Bagi Pihak Panti Werdha.

Diharapkan semua pihak di Panti Werdha dapat mempertahankan,

meningkatkan dan menerapkan metode dzikir serta mengadakan kegiatan

konseling dalam upaya membantu lanjut usia agar dapat bahagia di hari

tua.

3. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan dapat melakukan intervensi pengabdian masyarakat kepada

lanjut usia di kelompok khusus baik di Panti Werdha maupun di

masyarakat dengan pendekatan spiritual dan psikologis

75

Page 86: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

92

DAFTAR PUSTAKA

Abin, Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Depdiknas

Anggraini, E. (2015). Strategi Regulasi Emosi dan Perilaku Koping Religius

Narapidana Wanita dalam Masa Pembinaan. Diakses dari http ://journal.

Page 87: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

93

walisongo.ac.id /index.php /teologia/article /download/435/398, 14

November 2017

Agoes, D. (2007). Psikologi perkembangan anak usia tiga tahun pertama, Jakarta:

PT Refika Aditama.

BPS (Badan Pusat Statistik). (2014) pemberdayaan lansia

http://data.menkokesra.go.id/content/pember dayaan-lansia, diperoleh

tanggal 14 November 2017

Bastaman. H. D. 2007. Logoterapi, Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup

Dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Carr, A. 2004. Positive Psychology: The Science of Happiness and Human

Strengths. New York: Brunner-Routledge.

Cicilia Pali Gambaran kebahagiaan lansia yang tinggal di Panti Werdha

https://media.neliti.com/media/publications/62712-ID-gambaran-

kebahagiaan-pada-lansia-yang-me.pdf, 14 November 2017

Dyah Ayu Mastuti Kebahagiaan lansia ditinjau dari dukungan keluarga

http://eprints.ums.ac.id/47181/4/02.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf, 14

November 2017

Depkes (2015). Jumlah data lansia tahun 2010-2015. dari http://www.depkes.go.id

Diakses tanggal 14 November 2017

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Pedoman Pembinaan

Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. Dikutip dari

http://ejournal.litbang.depkes.go. Id /index php/HSJI/article/download/419/

pada tanggal 1 Agustus 2017

Diener, E., Lucas, R. E., dan Oishi, S. 2005.Subjective Well Being: TheScience of

Happiness and Life Satisfaction. Handbook of Positive Psychology.NC:

Oxford University Press.

Diener & Chan. (2011). Happy People Live Longer: Subjective Well-Being

Contributes to Health and Longevity. Journal of Applied Psychology: Health

and Well Being, 3 (1), 1-43. doi:10.1111/j.1758- 0854.2010.01045.x, diakses

14 November 2017

Emmons, R. A., & McCullough, M. E., 2003. Counting Blessings Versus. Burdens:

An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-. Being in

Daily Life. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 84, No. 2,

377-389, 14 November 2017

Endang Fourianalistyawati (2017). Kesejahteraan spiritual dan mindfulness pada

majelis sahabat shalawat. Jurnal Psikologi Islami Vol. 3 No. 2 (2017) 79-85

77

Page 88: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

94

jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/psikis/article/download/.../1436/, diakses

21 September 2018

Faizal Amjad The impact of spirituality well being and coping strategys on patient

with generalized anxiety disorder https://quod.lib.umich.edu/cgi/p/pod/dod-

idx/impact-of-spiritual-wellbeing-and-coping-strategies. pdf?c= jmmh;

idno=10381607.0008.102; format=pdf, 14 November 2017

Gudnanto, dkk (2017). Aksiologi spiritualitas dalam konseling. Jurnal Konseling

Gusjigang Vol. 3 No. 1 (Januari-Juni 2017), ISSN 2460-1187, Online ISSN

2503-281X https://www.researchgate.net/.../323605326_ AKSIOLOGI_S

PIRITUALITAS_DALAM_KONSELING, diakses 21 September 2018

Germer, C. K. 2009. The Mindful Path To Self-Compassion. USA: The Guilford

Press.

Iin Nasri Impisari (2017) Makna kebahagiaan pada lansia muslim yang tinggal di

Panti.http://eprints.radenfatah.ac.id/1198/1/IIN%20NASRI%20IMPISARI%2

0%2812350073%29.pdf

Hidayat, M.N (2016). Perbedaan Strategi Regulasi Emosi Pada Perokok Yang

Mengalami Negative Affect eprints. unm.ac.id/4983/1/

Muhammad%20Noor%20Hidayat.pdf, diakses 14 November 2017

Hastono. (2007). Analisa Data Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Hamzah Tulaeka (2012). Akhlak Tasawuf, Surabaya:IAIN Press

Indriana, Y, (2012). Gerontologi dan Progeriatric. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Imaddudin, Aam (2011). Bimbingan dan Konseling Aktualisasi Diri Untuk

Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Siswa Sekolah Dasar. Tesis.

Bandung: SPs UPI. Tidak diterbitkan.

Juwita R. 2013. Hubungan Keluarga dengan Depresi Pada Lansia di UPTD

Rumoh. Sejahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Banda Aceh Tahun 2013

Jadidi A, Farahaninia M, Janmohammadi S, Haghani H (2015) Spiritual well

being of elderly people resident in nursing home

http://jgn.medilam.ac.ir/browse.php?a_id=74&sid=1&slc_lang=en

Komaruddin Hidayat, (2014) Kebahagiaan spiritual,

http://www.tribunnews.com/ramadan/2014/07/25/kebahagiaanspiritual?pag

e=2, diakses 22 September 2018

Liaghatdar, I. J. (2008). Reliability and Validity Of The Oxford Happiness.

Inventory Among University Student in Iran. The Spanish Journal of

Psychology Universidad Complutense de Madrid , Vol.1 / no.001.

Page 89: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

95

Laporan UPTD Griya Werdha, Januari 2018

Lukmanul Hakim & Niken Hartati (2014) sumber-sumber kebahagiaan lansia

ditinjau dari dalam dan luar tempat tinggal Panti Jompo |Jurnal RAP UNP,

Vol. 5 No. 1, Mei 2014, hlm. 32-42 ejournal.

unp.ac.id/index.php/psikologi/article/download/.../5197, diakses 22

September 2018

Mohsen Adib-Hajbaghery, and Mona Faraji Comparison of Happiness and

Spiritual Well-Being among the Community Dwelling Elderly and those who

Lived in Sanitariums

http://ijcbnm.sums.ac.ir/index.php/ijcbnm/article/view/318/85, diakses 11

Pebruari 2018

M Seraji, D Shojaezade, F Rakhshani -, 2016 the relationship between spiritual

well being and quality of life among the elderly people residing in zahedan

(South-East of Iran), Elderly Health Journal http://ehj.ssu.ac.ir/article-1-69-

en.htmlcity. diakses 11 Pebruari 2018

Mujahidullah, Khalid. 2012. Keperawatan Gerontik. Jogjakarta:Pustaka Pelajar.

Marta, O. F. (2012). Determinan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Panti Sosial.

Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta Selatan. Universitas Indonesia

Ninda Isfatun Kasana Hubungan kesejahteraan spiritual dengan tingkat depresi

lansia http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t53540.pdf di akses 11 Pebruari

2018

Nurhasyanah (2012). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Pada

Wanita Infertilitas Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi Vol. 1, No.1,

Oktober 2012 journal. unj.ac.id/unj/index. php/ jppp/ article/ download

/345/293/ diakses 22 September 2018

Potter, A & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,

Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC

Prasetyo, S. N. (2010). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta:

Graha.

Polak, E.L & McCullough, M.E. (2006). Is Gratitude An Alternative To

Materialism?. Journal of Happiness. No. 7, 343-360

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/, diakses 11 Pebruari 2018

Putri, A. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Depresi Pada Lansia Di

Wilayah Puskesmas Kedaton Bandar Lampung. Bandar Lampung:

Universitas Lampung.

Page 90: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

96

Permana. D. (2018). Peran spiritualitas dalam meningkatkan resiliensi pada residen

narkoba Syifa al-Qulub, Vol. 2 No. 2 [2018]

https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/syifa-al-qulub/.../1877, diakses 22

September 2018

Revay Siregar, (2000). Tasawuf dari Sufi Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Raja

Grafindo.

Rully Afrita Anastasia Ediati (2016) Hubungan antara kesejahteraan spiritual

dengan kepuasan hidup pada pasien kanker payudara,. Jurnal empati Vol. 5

(2). 261-266http:// download.portalgaruda.org/article.php? article=

472772&va diakses 11 Pebruari 2018

Rahmawati. S (2017). Pengaruh Religiusitas Terhadap Penerimaan diri Orangtua

Anak Autis di Sekolah Luar Biasa XYZ Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri

Humaniora, Vol. 4, No. 1, Maret 2017

jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/download/248/233, diakses 22

September 2018

Sari.E.P &, Nuryoto. S (2002). Penerimaan Diri Pada Lanjut Usia Ditinjau

Dari Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Vol 29, No 2

(2002) https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/7017, diakses 22

September 2018

Septy Indah Maulina Hubungan antara religiusitas dengan psychological well-

being pada lansia http:// publication. gunadarma.ac.id/ bitstream/

123456789/1228/1/10507221.pdf

Samsul Munir Amin (2012). Akhlak Tasawuf, Jakarta: Amzah

Supraba, (2015) Hubungan aktivitas sosial, interaksi sosialdan fungsi keluarga

dengan kualitas hidup. Lanjut usia di wilayah kerja puskesmas pascasarjana.

Universitas udayana. Denpasar. www .pps.unud.ac.id/ thesis/pdf_thesis/unud.

pdf, diakses 11 Pebruari 2018

Setiati, Harimurti, & Govinda RA, 2009). Proses menua dan implikasinya. Dalam:

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibarata MK, Setiyati S (editor).

Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V, Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia

Snyder, C.R. &.Lopez, Shane J. (Eds.). Handbook of positive psychology (pp.231-

241). New. York: Oxford University Press.

Stanley dan Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta, EGC

Page 91: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

97

Stanard, Rebecca P, Sandhu DS, & Painter Linda C. (2000). Assessment of

Spirituality in Counseling. Journal Of Counseling & Development, Spring

2000, Volume 78. America : American Counseling Association

Seligman, M. E. P. (2005). Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif.

(Authentic Happiness). Bandung : PT. Mizan Pustaka.

Sriyanti, dkk (2016) Hubungan kesejahteraan spiritual dengan kualitas hidup

pasien pasca stroke, journal.stikes suakainsan.ac.id/ index.php/jksi/article/

download/.../25, diakses 21 September 2018

Timiras P and Maletta G. (2007). Physiological Basis of Aging and Geriatrics.

New York: Informa Health

Tuti Anggiani, H Iyes Yosep, Aan Nur’aeni ( Perbedaan kesejahteraan spiritual

pada pasien sebelum dan sesudah operasi jantung

http://repository.unpad.ac.id/21012/1/Perbedaan-Kesejahteraan-Spiritual-

Pasien.pdf, diakses 11 Pebruari 2018

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf

Taufik Pasiak, (2004) Evolusi IQ/EQ/SQ antara Neurosains dan al

Qur’an Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Urbayanti, (2006). Hubungan antara pemenuhan kebutuhan dengan afek positif dan

afek negatif pada lansia Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol.

3 No. 1 Januari 2006 : 63 - 72, diakses 11 Pebruari 2018

Widiyastuti, L. (2014). Regulasi Emosi Pada Guru BK Program Akselerasi SMP

Muhammdiyah 2 Yogyakarta

Zulfiana,U. (2014). Meningkatkan kebahagiaan lansia di panti wreda melalui

psikoterapi positif dalam kelompok. Jurnal Sains Dan Praktik Psikologi ©

2014 Psychology Forum UMM, ISSN: 2303-2936 Volume 2 (3), 256-267

e-journal.umm.ac.id/index.php / jspp/ article/ download/2889/3542,

diakses 11 Pebruari 2018

.

.

Page 92: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

ii

ii

INFORMED CONSENT

(PERNYATAAN PERSETUJUAN IKUT PENELITIAN)

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :……………………………………………

Alamat : …………………………………………..

Telah mendapat keterangan secara terinci dan jelas mengenai:

1. Penelitian yang berjudul: model pemenuhan kebutuhan spiritual well-

being dengan kebahagiaan pada lansia

2. Perlakuan yang akan diterapkan pada subyek.

3. Manfaat ikut sebagai subyek penelitian.

4. Bahaya yang akan timbul.

5. Prosedur Penelitian.

Dan mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang

berhubungan dengan penelitian tersebut. Oleh karena itu saya bersedia/tidak

bersedia *) secara sukarela untuk menjadi subyek penelitian dengan penuh

kesadaran serta tanpa keterpaksaan.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak

manapun.

Surabaya, ……………2018

Peneliti. Responden,

……………………….. …………………

Saksi,

…………………………………

*) Coret salah satu

Page 93: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

iii

iii

KUISIONER PENELITIAN

Biodata

1. Umur :

2. Pendidikan :

3. Agama :

4. Lama di panti :

5. Menjalankan ibadah :

1. Spiritual well being berbasis Islami

Pernyataan dibawah ini menggali tentang pemenuhan kebutuhan

kesejahteraan spiritual bapak/ibu. Bapak/Ibu diminta untuk memberikan

penilaian sesuai dengan apa yang bapak/ibu rasakan, dengan cara mencentang

(√) salah satu dari 5 jawaban yang tersedia pada bagian kanan dari masing-

masing pernyataan. Pilihan jawabannya sebagai berikut:

1 = Sangat tidak setuju (STS)

2 = Tidak setuju (TS)

3 = Ragu –ragu (R)

4= Setuju (S)

5 = Sangat setuju (SS)

No PERNYATAAN STS TS R S SS

1 2 3 4 5

TAUBAT

1 Saya menyadari kesalahan yang saya lakukan pada

masa lalu

2 Saya menjauhi prasangka buruk terhadap orang lain

3 Saya telah mengakui perbuatan dosa dihadapan Allah

4 Saya merasa menyesal telah melakukan kesalahan

5 Saya ingat perintah Allah SWT untuk tidak berbuat

dosa

6 Saya memohon ampun kepada Allah dengan sungguh-

sungguh

7 Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang

sama

SABAR

1 Saya dapat mengendalikan diri jika rasa marah datang

2 Saya menjalankan kehidupan di panti atas kehendak

Allah

3 Saya menjalankan kewajiban saya sebagai umat

muslim

4 Saya menolong teman saya walaupun teman saya

kadang tidak berbuat baik kepada saya

Page 94: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

iv

iv

No PERNYATAAN STS TS R S SS

1 2 3 4 5

5 Jika ada masalah saya berdoa kepada Allah

6 Saya menerima dengan lapang dada atas apa yang

terjadi kepada saya

7 Saya merasakan putus asa apabila saya memikirkan

hidup saya

TAWAKKAL

1 Saya bahagia dengan nikmat yang Allah SWT berikan

2 Saya merasa bahwa Allah itu dekat

3 Semua yang terjadi kepada saya adalah kehendak-Nya

4 Saya percaya bahwa Allah tidak akan memberi ujian

diluar kemampuan saya

5 Saya merasa bahwa Allah melihat saya

6 Saya merasa pesimis terhadap kemampuan saya

7 Saya berpasrah diri karena merasa lemah di hadapan

Allah

RIDHO

1 Saya meyakini bahwa kehidupan saya telah ditentukan

oleh Allah SWT

2 Saya menjalani kehidupan saya dengan senang hati

3 Saya selalu menerima dengan lapang dada atas apa

yang terjadi baik senang atau susah

4 Saya setiap saat berpikir kenapa saya tidak hidup

dengan keluarga saya

5 Saya tetap percaya diri

6 Setiap cobaan yang diberikan oleh Allah pasti ada

jalan keluarnya

7 Saya merasa disisihkan oleh Allah karena cobaan tidak

pernah berhenti

2. Sikap penerimaan diri

Pernyataan di bawah ini tentang sikap penerimaan diri yang Bapak/Ibu

rasakan. Bapak/Ibu diminta untuk memberikan penilaian dengan cepat sesuai

dengan apa yang bapak/ibu rasakan. Jawaban pertama yang bapak ibu pikirkan

mungkin jawaban yang tepat. Pilihlah dengan cara mencentang(√) salah satu

dari 4 angka yang tersedia pada bagian kanan dari masing-masing pernyataan.

Pilihan jawabannya sebagai berikut:

1 = Sangat tidak setuju (STS)

2 = Tidak setuju (TS)

3 = Setuju (S)

4 = Sangat setuju (SS)

Page 95: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

v

v

NO PERNYATAAN PILIHAN

STS TS S SS

1 2 3 4

1 Saya percaya bahwa saya dapat diterima oleh teman-

teman yang tinggal di Panti

2 Tidak ada alasan bagi saya untuk rendah diri dengan

orang lain

3 Saya merasa masa depan saya suram dan tidak beruntung

4 Saya tidak mungkin memiliki kebebasan untuk

melakukan sesuatu

5 Saya ikut menjaga ketertiban dan kegiatan di Panti

6 Saya merasa tinggal di panti karena orang lain

7 Saya tidak membutuhkan waktu lama untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan di panti

8 Saya merasa dikucilkan oleh teman sekamar

9 Saya merasa menjadi orang yang tidak berguna karena

tinggal di Panti

10 Saya tidak suka jika dianggap selalu tergantung dengan

orang lain

11 Saya menyadari bahwa saya mempunyai kekurangan

12 Keterbatasan saya tidak mengganggu hubungan dengan

orang lain

13 Saya tidak ingin merugikan orang lain

14 Saya senang membantu teman saya yang kesulitan

3. Regulasi emosi

Pernyataan di bawah ini tentang regulasi emosi yang Bapak/Ibu rasakan.

Bapak/Ibu diminta untuk memberikan penilaian dengan cepat sesuai dengan

apa yang bapak/ibu rasakan. Jawaban pertama yang bapak ibu pikirkan

mungkin jawaban yang tepat. Pilihlah dengan cara mencentang(√) salah satu

dari 4 angka yang tersedia pada bagian kanan dari masing-masing pernyataan.

Pilihan jawabannya sebagai berikut:

1 = Sangat tidak setuju (STS)

2 = Tidak setuju (TS)

3 = Setuju (S)

4 = Sangat setuju (SS)

NO PERNYATAAN PILIHAN

STS TS S SS

1 2 3 4

1 Saya cenderung menerima apa yang terjadi dalam hidup

saya sebagai takdir dari Tuhan

2 Saya berpikir positif dengan elihat sisi baik dari setiap

masalah

3 Saya berpikir ulang jika ingin marah kepada orang lain S

Page 96: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

vi

vi

NO PERNYATAAN PILIHAN

STS TS S SS

1 2 3 4

4 Saya merubah pikiran saya ketika mengalami masalah

yang membuat stress

5 Saya dapat menekan emosi agar tidak tampak oleh orang

lain

6 Jika emosi, saya melampiaskan dengan menggunakan

benda atau mengikuti kegiatan yang ada di panti

7 Jika saya cemas saya akan mencari cara untuk

meredakannya

8 Ketika bermasalah dengan orang lain saya cenderung

sabar dan mengendalikan emosi

4. Kebahagiaan

Pernyataan di bawah ini tentang kebahagiaan yang Bapak/Ibu rasakan.

Bapak/Ibu diminta untuk memberikan penilaian dengan cepat sesuai dengan

apa yang bapak/ibu rasakan. Jawaban pertama yang bapak ibu pikirkan

mungkin jawaban yang tepat. Pilihlah dengan cara mencentang(√) salah satu

dari 5 angka yang tersedia pada bagian kanan dari masing-masing pernyataan.

Pilihan jawabannya sebagai berikut:

1 = Sangat tidak setuju (STS)

2 = Tidak setuju (TS)

3 = Ragu –ragu (R)

4= Setuju (S)

5 = Sangat setuju (SS)

NO PERNYATAAN PILIHAN

STS TS R S SS

1 2 3 4 5

Kepuasan hidup

1 Saya merasa bahwa hidup itu sangat bermanfaat

2 Saya tidak terlalu optimis tentang masa depan (-)

3 Hidup itu baik

4 Saya tidak berpikir bahwa dunia adalah tempat yang baik

(-).

5 Saya puas dengan segala sesuatu dalam hidup saya

6 Saya tidak memiliki arti dan tujuan dalam hidup saya (-)

Kegembiraan

1 Saya menemukan banyak hal lucu

2 Saya banyak tertawa

3 Saya tidak merasa senang (-).

4 Saya sangat senang

5 Saya sering mengalami kegembiraan

6 Saya tidak bersenang-senang dengan orang lain (-).

Harga diri

Page 97: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

vii

vii

NO PERNYATAAN PILIHAN

STS TS R S SS

1 2 3 4 5

1 Saya memiliki perasaan yang sangat hangat terhadap

semua orang yang tinggal di panti

2 Saya sangat tertarik pada orang lain

3 Saya selalu berkomitmen dan terlibat dalam kegiatan

4 Saya rasa saya tidak terlihat menarik (-).

5 Saya selalu memiliki efek ceria pada orang lain

Ketenangan

1 Saya jarang terbangun dengan perasaan yang lega (-)

2 Saya menemukan keindahan dalam beberapa hal

3 Saya biasanya memiliki pengaruh yang baik terhadap

kejadian di panti

4 Saya merasa tidak sehat (-).

5 Saya tidak memiliki kenangan indah tentang masa lalu

(-)

Kontrol diri

1 Saya merasa bahwa saya tidak terlalu mengendalikan

hidup saya (-)

2 Saya merasa bisa melakukan apapun

3 Saya merasa waspada terhadap semua orang

4 Saya merasa tidak mudah untuk membuat keputusan (-).

Kemudahan

1 Ada hambatan antara apa yang ingin saya lakukan

dengan apa yang telah saya lakukan (-).

2 Saya bisa menyesuaikan diri dengan semua yang

kuinginkan

3 Saya merasa memiliki banyak energi

4 Saya dapat menyelesaikan permasalahan yang saya

hadapi

Page 98: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

viii

viii

Page 99: LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING

ix

ix

45