LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING
of 99
/99
Embed Size (px)
Transcript of LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING
DENGAN METODE KONSELING DAN DZIKIR TERHADAP
KEBAHAGIAAN LANSIA DI PANTI WERDHA
KETUA
ANGGOTA
Kebahagiaan Lansia di Panti Werdha
Peneliti Utama
NIP : 196707301993032004
Nomor HP : 082139493067
Alamat Email : [email protected]
Anggota (2)
NIP : 197410252002122002
Institusi/Industri Mitra : -
Besarnya : Rp. 30.000.000
. Surabaya, April 2018
Peneliti Utama
NIP. 196204291993031002
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadlirat Alloh SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan protokol penelitian tahun 2018. Protokol penelitian
merupakan tahap ke 2 rangkaian penelitian setelah proposal dinyatakan diterima.
Penelitian ini adalah kegiatan sebagai wujud tri dharma perguruan tinggi dosen Prodi
D III Keperawatan Kampus Sutopo Surabaya yang secara terprogram dilaksanakan
setiap tahun dengan biaya dari Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Sistematika protokol penelitian ini dibuat berdasarkan pedoman penelitian Politeknik
Kesehatan Kemenkes Surabaya yang disusun oleh Unit Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (UPPM) tahun 2016. Besar harapan kami sebagai tim penyusun agar
dapat melaksanakan salah satu wujud tri darma perguruan tinggi.
Surabaya, April 2018
Pendahuluan: Seseorang yang memasuki usia lanjut akan mengalami perubahan fisik
dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah, penurunan kondisi yang
dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan fisik dan
kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam hidup. Tujuan penelitian
menganalisis spiritual wellbeing melalui metode konseling, dzikir, konseling dan
dzikir terhadap sikap penerimaan, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti
Werdha
Metode: Desain penelitian eksperimen Pretest – Postest with Control Group.
Populasi adalah semua lanjut usia yang sesuai dengan kriteria inklusi berjumlah 76
orang. Besar sampel 45 orang untuk kelompok intervensi, 15 orang untuk kelompok
kontrol. Teknik sampling Simple Random Sampling. Variabel intervensi adalah
konseling, dzikir, konseling dan dzikir pada lansia yang tinggal di Panti Werdha.
Variabel dependen adalah sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan
lansia. Uji statistik untuk mengetahui perbedaan antar variabel adalah uji paired t-test
dan Manova.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan antara pre dan post pada
semua kelompok yang mendapatkan perlakuan dan terdapat peningkatan skor post.
Pada kelompok kontrol ada dua variabel yang tidak berbeda secara signifikan yaitu
sikap penerimaan diri dan regulasi emosi, sedangkan pada kebahagiaan terdapat
perbedaan secara signifikan namun skor post lebih rendah dari pre.
Diskusi: Intervensi konseling dan dzikir dapat melatih kesabaran, menerima segala
ketentuan dengan hati senang membuat seseorang mampu menyadari dan mampu
mengendalikan keinginan negatif, sehingga dapat mencapai kebahagiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa intervensi konseling, dzikir dan
kombinasi antara konseling dan dzikir dapat dijadikan sebagai kegiatan yang dilakukan
di Panti Werdha untuk meningkatkan dan menyelesaikan permasalahan spiritual dan
psikologis lansia di Panti Werdha.
Kata Kunci : Spiritual well being, sikap penerimaan diri, regulasi emosi, kebahagiaan
DAFTAR ISI
2.2.4 Perubahan Pada Lanjut Usia.........................................................
2.2.1 Pengertian Spiritual……………………………………………..
2.2.2 Karakteristik Spiritual…………………………………………..
2.3 Konsep Kebahagiaan…………………………………………………..
2.3.1 Pengertian Kebahagiaan ……………………………………….
2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan …………………………..
2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan………………………………………
4.3 Variabel penelitian……………………………………………………..
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian……………………
30
40
40
Islami dan kebahagiaan
Lanjut usia atau disebut lansia merupakan tahap perkembangan kehidupan teakhir
setiap manusia. Secara umum individu yang memasuki usia lanjut akan mengalami
perubahan fisik dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah,
penurunan kondisi yang dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan
masalah kesehatan fisik dan kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam
hidup. Pergeseran struktur umur produktif ke umur tua akan berdampak terhadap
persoalan penyantunan penduduk usia lanjut. Bersamaan dengan perubahan sosial
ekonomi, maka dapat diperkirakan akan terjadi pergeseran pola penyantunan usia
lanjut dari keluarga ke pelayanan institusi (Indriana, 2012).
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan angka harapan hidup di Indonesia pada
tahun 2020 akan mencapai usia 71 tahun (BPS, 2014). Angka tersebut tentunya
diiringi dengan kenaikan jumlah penduduk dengan proporsi kenaikan 11,34%.
Populasi lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03 persen dari
seluruh penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah lansia menunjukkan bahwa usia
harapan hidup penduduk di Indonesia semakin tinggi dari tahun ke tahun. Semakin
meningkatnya populasi lansia mencerminkan adanya peningkatan pelayanan
kesehatan, sekaligus dapat menjadi problematika baru bagi Indonesia sendiri. Hasil
proyeksi penduduk 2010-2035, Indonesia akan memasuki periode lansia (ageing),
dimana 10% penduduk akan berusia 60 tahun ke atas, di tahun 2020. Indonesia
termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah lanjut usia terbanyak di dunia
(Depkes, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulfiana (2014) menyatakan bahwa
lansia dilakukan psikoterapi memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Berdasarkan kajian di UPTD Griya Werdha lansia yang
tinggal di panti memiliki kriteria seperti lansia miskin, pengemis, lansia terlantar,
tidak punya keluarga serta gelandangan. Pelayanan sehari-hari yang dilakukan di
panti berupa pemenuhan kebutuhan nutrisi, pakaian, kebersihan diri dan kebutuhan
spiritual berupa sholawat dan kultum setelah sholat Magrib yang dilakukan oleh
lansia. Data lansia yang tinggal di panti atas kemauan sendiri sebesar 59 % dan karena
1
terpaksa 41 %. Lansia yang menyatakan sulit tidur dan sering terbangun sebesar 65,
6%, hasil skrining depresi sebesar 56% (Laporan UPTD Griya Werdha, Januari 2018).
hal ini menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti memiliki berbagai
permasalahan baik secara fisik, psikologis maupun spiritual.
Secara demografi dapat diketahui bahwa pada masa lansia seringkali menderita
sedikitnya satu atau lebih penyakit kronis, terjadinya penurunan fungsi tubuh,
peningkatan faktor kerentanan yang memungkinkan resiko terjadinya distres spiritual
pada lansia (Stanley, 2007). Distres spiritual yang berkelanjutan akan mempengaruhi
kesehatan lansia secara menyeluruh dimana terjadi gejala-gejala fisik berupa
penurunan nafsu makan, gangguan tidur, serta peningkatan tekanan darah (Hidayat,
2006). Hal ini terjadi lantaran di masa lansia individu akan mengalami beberapa
perubahan terkait dengan menurunnya beberapa fungsi diantaranya adalah penurunan
fungsi fisik, kognitif, penurunan fungsi dan potensi seksual serta perubahan aspek
psikososial dan spiritual (Urbayanti 2006).
Menurut Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) beberapa penelitian menunjukkan
adanya keragaman kehidupan manusia lansia di Indonesia. Lansia ada yang lebih suka
hidup bahagia di Panti Werdha, ada yang lebih suka mandiri dan tinggal di rumah
sendiri atau hidup bersama anak cucu. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh lansia
menghendaki pemenuhan kebutuhan dari aktivitas, pergaulan dan kemandirian.
Selanjutnya Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) mengatakan bahwa lansia yang
masih aktif di lingkungan sosial dan merasa dibutuhkan oleh keluarga maupun
masyarakat sekitarnya akan menjadi lansia yang mempunyai kepuasan hidup dan
kebahagiaan tersendiri, sedangkan bagi yang kurang seimbang mentalnya, kesendirian
yang dialaminya akan menimbulkan rasa terisolasi dan depresi yang dimanifestasikan
dalam bentuk kecemasan.
Dewasa ini keberadaan Panti Werdha mengambil peran penting di masyarakat. Selain
karena bergesernya nilai dan pandangan masyarakat terkait keberadaan lansia di
dalam rumah, hal ini juga disebabkan karena kebutuhan lansia yang meningkat, guna
menjaga eksistensi lansia di kehidupannya. Lansia akan membutuhkan pelayanan
perawatan seperti kesehatan, fisik, psikologis, spiritual maupun sosial agar dapat
terpenuhi kebahagiaan. Bersamaan dengan bertambahnya usia lansia, semakin banyak
pula permasalahan yang harus di hadapi, karena lansia merupakan tahapan
perkembangan manusia yang paling banyak dihinggapi permasalahan. Berdasarkan
paparan tersebut peneliti bermaksud melaksanakan penelitian tentang kebutuhan
spiritual well-being berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir, terhadap
sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti Werdha
Surabaya
berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri,
regulasi emosi dan kebahagiaan lansia?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
konseling dan dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan
lansia?
regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
b. Menganalisis pengaruh metode dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi
emosi dan kebahagiaan lansia
diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
1.4 Manfaat Penelitian
keperawatan khususnya kelompok keilmuan keperawatan gerontik atau keperawatan
komunitas pada kelompok khusus
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perawat khususnya
perawat yang melaksanakan tugas dan fungsinya di tatanan Panti Werdha dan
komunitas, untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama yang
menyangkut aspek spiritual.
1.5 Urgensi Penelitian
Penelitian ini dapat menghasilkan intervensi spiritual berbasis Islami yang dapat
diterapkan di bidang keperawatan gerontik. Kesejahteraan spiritual secara Islami
dapat digunakan untuk meningkatkan perasaan bahagia pada lansia yang tinggal di
Panti Werdha. Hasil penelitian yang akan dilakukan ini dapat menjadi acuan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang selama ini belum banyak menyentuh aspek
spiritual. Lansia yang dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya diharapkan
mendapatkan rasa kebahagiaan dalam menghadapi kehidupannya. Dampaknya
harapan hidup dan kualitas hidup pada lansia semakin meningkat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Usia lanjut adalah hal yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena
biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan
kematian (Supraba, 2015). Menurut Hawari (2006) usia lanjut merupakan seorang
laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih
berkemampuan (potensial) ataupun karena sesuatu hal tidak mampu lagi berperan
secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat usia lanjut sering didefinisikan seseorang yang telah menjalani
siklus kehidupan diatas usia 60 tahun (dalam Juwita, 2013).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian
(Setiati, et.al, 2009). Lansia atau usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus
kehidupan manusia dan hal tersebut merupakan bagian dari proses kehidupan yang
tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu (Prasetya, 2010). Tahap
usia lanjut menurut teori Erik Erikson tahun 1963 merupakan tahap integrity versus
despair, yakni individu yang sukses dalam melampauin tahap ini akan dapat mencapai
integritas diri (integrity), lanjut usia menerima berbagai perubahan yang terjadi
dengan tulus, mampu beradaptasi dengan keterbatasan yang dimilikinya, bertambah
bijak menyikapi proses kehidupan yang dialaminya. Sebaliknya mereka yang gagal
maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair), lanjut usia mengalami
kondisi penuh stres, rasa penolakan, marah dan putus asa terhadap kenyataan yang
dihadapinya (Setiati, et,al, 2009).
2.1.2 Batasan Usia
Penduduk Lansia atau lanjut usia menurut UU kesejahteraan lansia No.13 tahun 1998
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Umur yang dijadikan
patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut
usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut
Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan
umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini
(prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan resiko
tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Di
5
Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2004.
2.1.3 Teori Mengenai Proses Menua
Beberapa teori tentang penuaan yang dapat diterima saat ini, antara lain :
1. Teori biologis proses penuaan
a. Teori radikal bebas
Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh Denham Harman pada tahun
1956, yang menyatakan bahwa proses menua adalah proses yang normal, merupakan
akibat kerusakan jaringan oleh radikal bebas (Setiati et al., 2009). Radikal bebas
adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak berpasangan. Karena elektronnya
tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan mencari pasangan elektron lain
dengan bereaksi dengan substansi lain terutama protein dan lemak tidak jenuh.
Sebagai contoh, karena membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi
dengan radikal bebas sehingga membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan
pada struktur membran tersebut membran sel menjadi lebih permeabel terhadap
beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati membran secara
bebas. Struktur didalam sel seperti mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh
membran yang mengandung lemak, sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas
(Setiati et al., 2009). Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas
berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri, namun antioksidan tersebut
tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas tersebut (Setiati et
al., 2009).
Menurut Potter dan Perry (2006) penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem
imun berperan dalam penuaan. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
proteinnya sendiri dengan protein asing sehingga sistem imun menyerang dan
menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat secara bertahap.
Disfungsi sistem imun ini menjadi faktor dalam perkembangan penyakit kronis seperti
kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular, serta infeksi.
c. Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka menunjukkan bahwa adanya
perbedaan pola laju perbaikan (repair) kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar
ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang
mempunyai umur maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar dan
korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata (Setiati et al, 2009).
d. Teori genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di pengaruhi oleh
pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut
teori genetika adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan
dari waktu ke waktu mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain,
perubahan rentang hidup dan panjang usia ditentukan sebelumnya (Stanley & Beare,
2006 dalam Putri, 2013).
Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah
metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintensis DNA, sehingga mendorong
malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami
kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Sebagai contoh adalah radikal bebas, radikal
bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal
(Stanley & Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
2. Teori psikososial proses penuaan
a. Teori disengagment
Teori disengagment (teori pemutusan hubungan), menggambarkan proses penarikan
diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri
ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang
tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak
sosial berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi lebih muda (Stanley
& Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
b. Teori aktivitas
Teori ini menegaskan bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk
keberhasilan penuaan. Menurut Lemon et al (1972) dalam (Marta, 2012) orang tua
yang aktif secara sosial lebih cendrung menyesuaikan diri terhadap penuaan dengan
baik.
Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari
kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-
perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran,
sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem
respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem
muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental menyangkut
perubahan ingatan atau memori (Setiati et al., 2009).
1. Perubahan pada Sistem Sensoris
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan
untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki.
Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan
perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori (Maramis, 2009).
2. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-
tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki.
Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal
pada sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan
sinar matahari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan
elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering
karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan
kelenjar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan
cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa lemak bebas
berkurang 6,3% berat badan per dekade dengan penambahan massa lemak 2% per
dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade (Setiati et al., 2009).
3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan
metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan
pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen
pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi
lebih berongga, mikroarsitektur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan
maupun spontan (Setiati et al., 2009).
4. Perubahan pada Sistem Neurologis
Berat otak menurun 10–20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian
meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai menurun pada
usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan
volume otak berkurang ratarata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung
100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls
listrik dari susunan saraf pusat. Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron per
tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil
per jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antara usia 30-70
tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi
dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear)
yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria
(Timiras & Maletta, 2007).
ingatan seseorang memegang peranan penting dalam mempengaruhi persepsi dan
pikiran seseorang. Schlessinger dan Groves (dalam Mujahidullah, Khalid. 2012)
mengatakan bahwa memori atau ingatan adalah suatu sistem yang memungkinkan
seseorang menyimpan suatu fakta atau obyek kedalam diri subyek sehingga membuat
subyek mampu berespon menggunakan kemampuan pengetahuannya dalam
berprilaku. Jika ditilik secara fisiologis tubuh manusia dapat merekam ingatan tertentu
yang berlangsung seketika beberapa detik, beberapa jam, beberapa hari bahkan
bertahun-tahun. Maka dari itu, ingatan (memory) dapat diklasifikasikan menjadi 3
yaitu:
Ingatan jangka pendek adalah kemampuan mengingat seseorang terhadap sesuatu
hal dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ciri khas ingatan jangka pendek
adalah ketika seseorang dapat mengingat suatu keadaan/ kondisi/ hal/ benda
tertentu dalam rentang waktu detik hingga menit namun cenderung terlupakan
setelahnya apabila tidak terjadi pengulangan memori secara kontinu. Contohnya
adalah ketika seseorang dapat menghafal 7-10 nomor telepon seluler rekannya
dalam rentang waktu beberapa menit, setelah kejadian itu berakhir subyek akan
cenderung lupa atau tidak ingat pada kombinasi angka-angka tersebut apabila
subyek tidak melakukan pengulanganan memory (recall memory) pada angka
tersebut.
menyebutkan beberapa benda setelah beberapa detik kemudian, lansia diminta
mengulang benda-benda yang telah disebutkan sebelumnya. Lalu lakukan
penilaian kemampuan lansia dalam mengingat jangka pendek.
b. Ingatan Jangka Menengah
Ingatan jangka menengah dapat berlangsung dalam hitungan menit hingga
berminggu-minggu. Ingatan jangka menengah terkadang dapat hilang, kecuali jika
terdapat jejak ingatan yang akan membuat ingatan menjadi lebih permanen. Jika
ingatan jangka menengah ini terus menerus diingat, maka ingatan tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi ingatan jangka panjang. Pada lansia pengujian
kemampuan mengingat jangka menengah dapat dilakukan dengan meminta lansia
menyebutkan istilah-istilah abstrak atau meminta lansia menyebutkan beberapa
obyek, lalu penguji mengajak lansia berbicara topic lain hingga 5-10 menit.
Setelah 5 sampai 10 menit kemudian, mintalah lansia mengulang istilah-istilah
abstrak tersebut.
Sebuah memori diklasifikasikan sebagai ingatan jangka panjang apabila ingatan
tersebut masih diingat dalam kurun waktu lebih dari 3 minggu dan dapat diingat
hingga bertahun-tahun lamanya. Contoh ingatan jangka panjang adalah momen-
momen yang berkesan dan memiliki nilai historis dalam hidup seseorang, seperti:
kejadian membanggakan, kejadian memalukan, kejadian paling menggembirakan
dan lain sebagainya.
6. Perubahan Psikososial
Pensiun adalah nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pension, ia akan
mengalami kehilangan-kehilangan antara lain :
d. Kehilangan pekerjaan / kegiatan.
f. Perubahan dalam hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih
sempit.
h. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
i. Gangguan syaraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.
j. Gangguan gizi akibat kehilanan jabatan.
k. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman
dan keluarga besar.
dan keluarga besar.
m. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri (Wahjudi, Nugroho, 2000).
7. Perubahan Kemampuan Mental
Seperti yang terjadi pada penurunan dalam aspek lainnya, penurunan mental untuk
setiap individu juga sangat bebeda. Tidak ada usia tertentu yang diaggap sebagai awal
mula terjadinya penurunan mental dan tidak ada pola khusus dalam penurunan mental
yang berlaku untuk semua orang berusia lanjut. Secara umum, mereka yang
mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi secara relatif, penurunan dalam
efisiensi mental kurang dibanding mereka yang pengalaman intelektualnya redah.
Terdapat perbedaan dalam tingkat penurunan mental di antara individu dalam usia
yang sama, pada individu yang sama juga terjadi perbedaan tingkat penurunan
kemampuan mental yang berbeda. Bahkan pada waktu elemen kecepatan dibatasi
kemudian diberikan tes sebagai penguji kekuatan untuk mengukur perbedaan
kemampuan mental, ternyata ditemukan tingkat penuruunan mental, ternyata
ditemukan tingkat penurunan mental yang bervariasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan mental adalah ; perubahan fisik khususnya organ perasa,
kesehatan, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan.
8. Perubahan Spiritual
terjadi pada lansia (Mujahidullah, Khalid. 2012)
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
b. Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam
berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun adalah universalizing, perkembangan
yag dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai dan keadilan
2.2 Konsep Spiritual Well Bieng
2.2.1 Pengertian Spiritual
kompleks dan multisistem, serta berkembangnya pemahamanan dan pengakuan
mengenai aspek spiritual dalam perkembangan individu, menjadi pendorong
munculnya berbagai kajiankajian ilmiah mengenai konsep spiritual. Bahkan Jung
(dalam Stanard, Sandhu, & Painter, 2000) menegaskan bahwa individu pada dasarnya
bukan hanya sekedar makhluk psikoseksual dan psikososial saja, akan tetapi individu
juga merupakan makhluk psikospiritual. Konsep spiritual/spiritualitas, secara
etimologis kata spiritual/spiritualitas (spirituality), berasal dari kata Latin spiritus
yang berarti: breath of life (nafas kehidupan), wind (angin), vigor (kekuatan/tenaga),
courage (keberanian/keteguhan hati) (Miller, 2003 dalam Immaduddin, 2011); soul
(roh/sukma), self (diri), truth (kebenaran), God (Tuhan) (Shadu: 1975 dalam
Immaduddin, 2011). Kata spiritus dalam arti nafas kehidupan atau roh adalah lawan
kata anima.Pengertian tersebut sama artinya dengan kata-kata dalam beberapa bahasa,
antara lain: psykhe sebagai lawan kata pneuma dalam bahasa Yunani; ruach sebagai
lawan kata neshama dalam bahasa Ibrani; espirit dalam bahasa Perancis Kuno (Abad
13); prana dalam bahasa India (Imaddudin, 2011).
Makna spiritual dapat dimaknai sebagai transendensi yang merupakan capaian
tertinggi dalam perkembangan individu, sebagai motivasi yang mendorong individu
dalam mencari makna dan tujuan hidup, sebagai ciri kemanusiaan yang membedakan
individu dengan makhluk yang lainnya, dan sebagai dimensi kemanusiaan yang dapat
menjadi indikator kesehatan individu (Ingersol & Bauer, 2004).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
istilah spiritual merupakan bagian dari perkembangan individu, aspek spiritual dapat
mendorong individu untuk mencari hakikat mengenai keberadaan diri, yang pada
akhirnya dapat memandu individu dalam mencapai aktualisasi diri sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga individu mampu mengapresiasi keindahan,
kebenaran, kesatuan, dan pengorbanan dalam hidup, serta individu mampu
menghargai individu lain dan makhluk hidup lainnya.
Spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang
diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Spiritualitas dalam konteks
perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat
dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta.
Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin
hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak
untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan
dengan sesama.
keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan
lainnya. Hal ini senada dengan penjelasan Abin Syamsuddin (2007) yang menyatakan
bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan
perilaku sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan
keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan
perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif). Hal ini dimungkinkan
karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan
makhluk beragama.
Syamsuddin, 2007) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great
power) dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang
mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Pendapat tersebut di atas,
menegaskan bahwa perkembangan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan
lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan
keagamaan.
Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan
spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif.
Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan
berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang
menjadi ranah perkembangan kognitif. Boyatzis (Hood, Jr. et.al, 2009) sekalipun teori
perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat,
akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek
lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan
penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif. Artinya
dari pendapat ini, untuk memahami bagaimana perkembangan kesejahteraan spiritual
lansia, maka perlu memahami ragam aspek perkembangan lainnya seperti aspek
perkembangan kognitif, moral, sosial, dan aspek perkembangan penghayatan
keagamaan.
dapat menggambarkan bagaimana spiritualitas seseorang. Terdapat beberapa
karakteristik spiritualitas (Hamid, 2009), meliputi:
1. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu
siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut
kepercayaan pada diri-sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan
pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri
seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya
memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup,
optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais
& Wilkinson, 1995).
a. Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985) kepercayaan bersifat
universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak
dapat dibuktikan dengan pikran yang logis. Kepercayaan dapat memberikan arti hidup
dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai
kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga
dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas.
b. Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan
merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya
dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu
untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih
cenderung terkena penyakit (Grimm, 1991).
c. Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui makna hidup,
yang kadang diidentikan dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan hidup
sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang
nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa
mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004).
2. Hubungan dengan orang lain
Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang
lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber secara
timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis mencakup
konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan
friksi, serta keterbatasan asosiasi (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan,
menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan
dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila seseorang
mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat memberi
bantuan psikologis dan sosial (Carm & Carm, 2000).
a. Maaf dan pengampunan (forgiveness). Menyadari kemampuan untuk menggunakan
sumber dan kekuatan dalam diri sendiri seperti marah, mengingkari, rasa bersalah,
malu, bingung, meyakini bahwa Tuhan sedang menghukum serta mengembangkan
arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. Dengan
pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas,
depresi dan tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan
perasaan damai (Puchalski, 2004).
b. Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support). Keinginan untuk
menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui
keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan
bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit. Seseorang yang
mempunyai pengalaman cinta kasih dan dukungan sosial yang kuat cenderung untuk
menentang perilaku tidak sehat dan melindungi individu dari penyakit jantung (Hart,
2002).
alam serta melindungi alam tersebut (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
a. Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam
menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan
rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul
perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan hal-hal yang dianggap penting
dalam hidup seperti nonton televisi, dengar musik, olah raga dan lain-lain (Puchalski,
2004).
b. Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan.
Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan
status kesehatan (Hamid, 2000).
4. Hubungan dengan Tuhan
Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut sembahyang dan
berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan keagamaan, serta bersatu
dengan alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Hubungan dengan Tuhan dilihat
dari religus atau tidak religiusnya seseorang, seperti melakukan kegiatan do’a atau
meditasi, membaca kitab atau buku keagamaan, dan berpartisipasi dalam kelompok
keagamaan (Hawari 2009). Hubungan dengan Tuhan pada agama Islam terdapat
dimensi kesehatan jiwa. Iman kepada Allah besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa
manusia dimana orang yang beriman itu selalu ingat kepada Allah (dzikrullah/zikir)
sehingga perasaan tenang selalu menyertainya. Pikiran, persaaan dan perilakunya baik
dengan tidak melanggar hukum, norma, moral dan etika kehidupan serta tidak
merugikan orang lain karena orang tersebut tahu benar dan yakin apa yang dilakukan
itu semua dicatat oleh malaikat.
Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila mampu
merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di
dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu
kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina
integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah
terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif
(Hamid, 1999).
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi spiritual
Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2000), faktor
penting yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah :
1. Tahap perkembangan
Anak-anak mempunyai persepsi yang berbeda tentang Tuhan dan bentuk sembahyang
berdasarkan usia, seks, agama dan kepribadian anak. Spiritualitas berhubungan
dengan kekuasaan non material, sehingga seseorang harus memiliki beberapa
kemampuan berpikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu.
Tidak begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan dan agama, tapi individu
belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku keluarganya. Oleh
karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimana
individu mempunyai pandangan, pengalaman tehadap dunia yang diwarnai oleh
pengalaman dengan keluarganya (Taylor, Lillis & LeMone, 1997).
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya.
Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak
belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan
keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi Spiritual
sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan
secara spiritual pengalaman tersebut (Taylor, Lilis dan Lemon, 1997). Peristiwa
dalam kehidupan seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan
kepada manusia menguji imannya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual seseorang. Krisis sering
dialami ketika seseorang menghadi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan
dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan
prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fiskal dan emosional (Toth, 1992;
dikutip dari Craven & Hirnle, 1996).
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu merasa
terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan
hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi,
mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau
teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat diinginkan (Hamid, 2000)
2.2.4. Spiritualitas dalam perspektif Islam
Konsep spiritualitas dalam terminologi Islam, berhubungan langsung dengan Al
Qur’an dan Sunnah Nabi. Nasr (1994) menyatakan bahwa ayat-ayat Al Qur’an dan
perilaku Nabi Muhammad mengandung praktik-praktik serta makna spiritual. Nabi
mengajarkan beragam cara untuk meraih kehidupan spiritual yang tertinggi, yang
dikenal sebagai tasawuf. Tasafuw adalah salah satu cabang ilmu Islam yang
menekankan dimensi atau aspek spiritual. Tasawuf lebih mengarah pada aspek rohani
dari pada aspek jasmani. Tasafuw berasal dari kata shafa yang artinya kesucian jiwa.
Tasawuf merupakan proses penyucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar ke
jalan Allah, maka seseorang harus menempuh tahap-tahap spiritualitas yang dalam
ilmu tasawuf disebut dengan Maqamat (M.Solihin dan Rasihan Anwar, 2002).
Maqamat berarti kedudukan seorang hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakannya. Maqamat bisa berarti jalan panjang yang harus ditempuh
oleh orang spiritual untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Menurut Imam Al
Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah tahapan adab seorang hamba dalam
mendekatkan diri kepada-Nya dengan bermacam-macam upaya yang diwujudkan
dengan suatu tujuan pencapaian dan ukuran tugas serta masing-masing individu
berbeda dalam tahapannya (Samsul Munir Amin, 2012). Berkaitan dengan macam-
macam maqamat yang harus dtempuh oleh seorang hamba untuk sedekat mungkin
dengan Allah terdapat beberapa ahli memiliki pendapatnya. Menurut Al Ghazali
(dalam Hamzah Tulaeka, 2012), menyatakan bahwa maqamat atau tahap spiritual
terdiri dari delapan tingkat yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakkal, mahabbah, ridha dan
ma’rifat. Menurut As Sarraj ath-Thusi maqamat terdiri dari tujuh tingkat yaitu taubat,
wara’ zuhud. Faqr, sabar, ridha dan tawakkal.
Tingkatan spiritual tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat adalah memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan
dan dengan bersungguh-sungguh berjanji untuk tidak mengulanginya kembali diiringi
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah (Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin). Pada tingkat terendah, aubat menyangkut dosa yang dilakukan
jasad atau anggota badan. Pada tingkat menengah taubat menyangkut pangkal dosa-
dosa seperti dengki sombong dan riya. Tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut
usaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah.
Pada tingkat akhir penyeleseaian atas kelengkapan pikiran dalam mengingat Allah.
2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia. Secara umum zuhud
berarti suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan
yaitu peda tingkatan terendah zuhud berarti menjauhkan dunia ini agar terhindar dari
hukuman di akhirat. Pada tingkatan kedua, menjauhi dunia dengan menimbang
imbalan di akhirat, dan pada tingkat ke tiga, mengucilkan dunia bukan karena takut
atau berharap tetapi karena cinta pada Allah
3. Sabar
Sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sabar terdiri dari tiga tingkatan yaitu tingkat satu sabar untuk Allah yaitu keteguhan
hati dalam melaksanakan keteguhan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Ke dua adalah sabar bersama Allah yaitu keteguhan hati dalam menerima segala
keputusan dan tindakan Allah, serta ketiga adalah sabar atas Allah yaitu keteguhan
hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan-Nya seperti rizki
dan kesulitan hidup.
Wara’ secara harfiah adalah menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Pengertian
wara’ dalam pandangan kaum sufi adalah meninggalkan sesuatu yang tidak jelas
hukumnya baik menyangkut makanan, pakaian dan lainnya (Revay Siregar, 2000).
Wara’ secara lahiriah tidak menggunakan segala ang masih diragukan dan
meninggalkankemewahan. Sedangkan secara batiniah adalah tidak menempatkan atau
mengisi hati dengan mengingat Allah.
5. Fakir
Fakir mengandung arti bahwa semua manusia secara universal membutuhkan Allah.
Menurut Al Ghazali (dalam Totok dan Samsul), fakir dibagi dua macam, yaitu fakir
secara umum merupakan hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga
eksistensinya. Sikap ini wajib karena menjadi sebagian iman dan buah dari ma’rifat.
Fakir uqayyad (terbatas) adalah kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia
yang dapat dipenuhi oleh selain Allah.
6. Tawakkal
Tawakkal adalah menyerahkan diri, pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah
setelah melakukan rencana atau usaha. Tawakkal; terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu
tawakal atau menyerahkan diri pada Allah seperti seseorang yang menyerahkan
perkaranya keada pengacara, tawakkal atau menyerahkan diri pada Allah seperti
seorang bayi menyerahkan diri pada ibunya dan derajat tawakkal tertinggi adalah
menyerahkan diri kepada Allah seperti jenazah di tengah petugas yang
memandikannya.
7. Ridha
Ridha adalah rela, senang dan suka. Secara umum berarti tidak menentang qadha, dan
qadar nya Allah, menerima qadha, dan qadar dengan hati senang. Tanda-tanda orang
yang telah ridha adala: mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyap
rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang bergelora saat diberi cobaan.
8. Mahabah
Mahabah berasal dari kata bahasa Arab yaitu ahabbah yuhibbu mahabbatan yang
berarti mencintai secara mendalam. Pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu
usaha sungguh-sungguh untuk mencapai tingkatan rohani tertinggi dengan
terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Kecintaan dan kerinduan
kepada Allah adalah salah satu simbol yang disukai sufi untuk menyatakan rasa
kedekatan dengan-Nya. Untuk menjelaskan makna cinta Ilahi ini agak sulit karena
menyankut apa yang dirasakan orang lain.
9. Ma’rifat
Ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan rahasia hakekat agama yaitu ilmu yang lebih
tinggi dari pada ilmu yang didapat pada umumnya dan merupakan pengetahuan yang
obyeknya bukan hal yang bersifat dhahir, tetapi bersifat batin yaitu pengetahuan
mengenai rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan
Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan - peraturan
Allah tentang segala hal.
Kebahagiaan menurut Snyder dan Lopez (2007) merupakan emosi positif yang
dirasakan secara subjektif oleh setiap individu. Kebahagiaan dapat mengarahkan pada
perasaan positif yaitu seperti perasaan sukacita, ketenangan dan keadaan positif yang
ditunjukkan dengan level kepuasan hidup dan afek positif yang tinggi dan diikuti
dengan afek negatif yang rendah (Carr, 2004). Kebahagiaan atau happiness menurut
Diener (2011) mempunyai makna yang sama dengan subjective well-being
(kesejahteraan subjektif). Istilah kesejahteraan subjektif mengacu pada evaluasi
individu dalam suatu kehidupan yang meliputi penilaian kognitif, afektif dan
termasuk di dalamnya kepuasan individu terhadap kehidupan. Menurut Seligman
(2005) kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang
dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai. Kebahagiaan ini
biasanya ditandai dengan lebih banyak afek positif yang dirasakan individu dari pada
afek negatif. Kebahagiaan juga sebagai apresiasi keseluruhan hidup seseorang, dan
seberapa banyak individu menyukai dengan kehidupan yang dimiliki.
Berdasarkan definisi para ahli di atas, kebahagiaan dapat disimpulkan sebagai
perasaan positif yang berasal dari kepuasan atas keseluruhan hidup yang ditandai
dengan adanya kesenangan yang dirasakan oleh individu ketika melakukan sesuatu
hal yang disenangi di dalam kehidupan.
2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan
Diener (2011) menyatakan bahwa kebahagiaan atau happiness mempunyai makna
yang sama dengan subjective well-Being. Menurut Diener, Suh, Lucas dan Smith
(1999) terdapat 2 komponen dasar Subjective Well-Being, yaitu kepuasan hidup (life
satisfaction) sebagai komponen kognitif, sedangkan afek positif (pleasant) dan afek
negatif (unpleasant) sebagai komponen afektif. Afek positif adalah emosi positif atau
emosi menyenangkan yang merupakan bagian dari Subjective Well-Being. Seseorang
dapat dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi jika individu seringkali
merasakan emosi positif (Diener, 2011). Emosi positif tersebut dapat digambarkan
dengan perasaan seseorang yang semangat, aktif dan selalu siap dalam segala hal.
Afek negatif yaitu suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan. Menurut Diener
dan Larsen (1985) seseorang dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi
jika individu jarang sekali mengalami emosi negatif. Keadaan afek negatif yang tinggi
adalah keadaan dimana seseorang merasakan kemarahan, kebencian jijik, rasa
bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa pengalaman
merasakan emosi negatif yang berkepanjangan dapat mengganggu seseorang dalam
bertingkah laku secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat
membuat hidup tidak menyenangkan.
global. Penilaian umum atas kepuasan hidup merepresentasikan evaluasi yang
berdasar kognitif dari sebuah kehidupan seseorang secara. Selain itu Diener, Suh,
Lucas, dan Smith (1999) menambahkan ada 7 domain kepuasan yang
menggambarkan kebahagiaan pada individu seperti diri sendiri, keluarga, teman
sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Andrews dan Mckennell
(1980) juga membagi 2 komponen yang mempengaruhi kebahagiaan yaitu:
1. Komponen afektif adalah afek yang mengacu pada emosional yang
mempengaruhi rasa kebahagiaan, menyenangkan, dan kenikmatan. Komponen
afektif adalah sejauh mana pengalaman menyenangkan mempengaruhi individu
yang disebut juga dengan tingkat hedonis
2. Komponen kognitif, mengacu pada rasional individu yaitu aspek respon
seseorang, didalamnya terdapat kepuasan, kesuksesan, dan bertemu dengan
kebutuhan kebutuhan lainnya. Komponen kognitif adalah sejauh mana individu
merasakan aspirasinya (cita citanya) yang harus dipenuhi dapat juga disebut
dengan kepuasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan di antaranya yaitu:
1. Kekayaan
Menurut Kasser (dalam Polak & McCullough, 2006) kekayaan seperti halnya harta
benda merupakan suatu kebutuhan dasar yang memang diperlukan oleh setiap orang,
namun apabila seseorang lebih terfokus pada kekayaan maka akan merusak
kebahagiaan dan kepuasan psikologis individu. Sebagaimana Polak & McCullough
(2006) menambahkan seseorang yang sering mengejar tujuan-tujuan kekayaan agar
tercapai suatu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup, namun hal tersebut justru
terlihat individu merasa tidak bahagia dengan kondisi hidupnya.
2. Pernikahan
kebahagiaan. Pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat
membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki
anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan
identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004).
3. Religiusitas
Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang
yang tidak religius (Seligman, 2005). Carr (2004) juga menambahkan keterlibatan
dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang
lebih baik yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak
berlebihan dalam makanan dan minuman, dan bekerja keras. Didukung juga oleh
penelitian yang dilakukan oleh Elfida (2008) menunjukkan bahwa keyakinan religius
memberikan kontribusi yang besar terhadap kebahagiaan individu.
4. Syukur
penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) terhadap
mahasiswa dengan praktek syukur, hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa
yang melakukan praktek bersyukur dilaporkan setiap minggunya memiliki emosi
positif dan kegiatan positif yang lebih tinggi seperti rutin berolahraga, merasa lebih
baik mengenai kehidupan, lebih optimis, menjadi lebih tinggi tingkat kewaspadaan,
antusias, dan memiliki tekad. Penelitian ketiga dari Emmons dan McCullough (2003)
juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki penyakit neuromuskuler namun
merasa bersyukur dengan kondisi tersebut dapat memberikan dampak yang positif
terhadap kesejahteraan inidvidu.
5. Kehidupan sosial
Orang yang bahagia biasanya memiliki efek yang positif berkenaan dengan kehidupan
sosial, seperti halnya lebih banyak memiliki teman, memiliki dukungan sosial yang
kuat serta berinteraksi sosial dengan lebih baik (Lyubomirsky, Schkade & Sheldon,
2005).
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi setiap individu. Ketika individu
merasa sakit terkadang kebahagiaan terasa sedikit berkurang. Sebagaimana Okun dkk
(dalam Polak & McCullough, 2006) mengungkapkan ada hubungan kesehatan yang
buruk dengan ketidakbahagiaan dan kesusahan. Kajian Mayo Clinic (dalam Seligman,
2005) juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kebiasaan
yang lebih baik berkenaan dengan kesehatan, memiliki tekanan darah yang lebih
rendah, dan system kekebalan tubuh yang lebih kuat daripada orang yang kurang
bahagia. Sementara itu Aspinwall (dalam Seligman, 2005) juga mengatakan bahwa
orang yang bahagia memiliki kesadaran yang lebih baik mengenai kesehatan, dan
kebahagiaan merupakan salah satu faktor untuk memanjangkan usia dan dapat
meningkatkan kesehatan. Menurut Lyubomirsky, King dan Diener (2005)
kebahagiaan menunjukkan korelasi yang positif dengan indikator kesehatan mental
dan fisik. Kebahagiaan mempengaruhi kesehatan melalui dampaknya pada hubungan
sosial, perilaku sehat, serta kemungkinan berefek pada fungsi kekebalan tubuh
individu. Seligman dkk (dalam Diener & Chan, 2011) juga menambahkan bahwa
kesejahteraan subjektif memiliki manfaat yang positif mengenai kesehatan fisik
seperti lebih cepat dalam penyembuhan luka dan memiliki tekanan darah yang lebih
rendah.
7. Usia dan jenis kelamin
Menurut Freedman (dalam Polak & McCullough, 2006) orang yang berusia lebih tua
kemungkinan bisa menerima dan memiliki kepuasan hidup dibandingkan yang
berusia lebih muda, karena yang berusia lebih tua memiliki makna dan arah hidup
yang lebih pasti dan lebih percaya diri dalam nilai-nilai kemudian juga lebih optimis
daripada yang berusia lebih muda. Berdasarkan tingkat kebahagiaan ditinjau dari jenis
kelamin yaitu antara laki-laki dan perempuan sebetulnya tidak memiliki perbedaan
yang cukup jauh mengenai keadaan emosinya, namun terkadang perempuan
cenderung dilaporkan lebih memiliki afek negatif dan sekaligus lebih bahagia
dibandingkan laki-laki (Diener, 2011).
diantaranya adalah kehidupan sosial, pernikahan dan kekayaan.
2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan
Penelitian ini akan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Argyle, Martin &
Crossland yaitu menggunakan Oxford Happines Questionnaire (OHQ) yang
mengungkapkan aspek-aspek happiness antara lain : Life satisfaction, Joy, Self
Esteem, Calm, Control dan Efficacy (Liaghatdar, 2008) Adapun skala ini disesuaikan
dengan menerjemahkan bahasanya dan memodifikasi struktur bahasanya supaya item
yang dipergunakan dapat dipahami oleh subyek. Komponen yang dikembangkan oleh
(Hills,P dan Argyle, M.2002) dalam Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) antara
lain :
1. Life Satisfaction : (Kepuasan hidup) mencakup seperti satisfied with life, life is
rewarding, warmth for other, interested in others, interested in others, optimistic,
find beauty in things, in control, life has meaning and purpose
2. Joy : (Kegembiraan) mencakup seperti mentally alert, pleased with self, have fun
with others, wake up rested, laugh a lot, feel happy, make decisions easily
3. Self-esteem : (Harga Diri) mencakup seperti world is good, committed and
involved, look attractive, life is good, feel energetic
4. Calm : (Ketenangan) mencakup seperti find things amusing, can organize time,
happy memories
5. Control : (Kontrol Diri) mencakup seperti joy and elation, cheerful effect on
others, done things wanted, can do most things
6. Efficacy : (Kemudahan) mencakup seperti feel healthy
2.4 Sikap penerimaan diri
menrima keberadaan diri sendiri. Sikap penrimaan diri dapat dilakukan secara
realistis maupun tidak realistis. Sikap penerimaan diri secara realistis ditandai
dengan kemampuan individu dalam melihat kelemahan maupun kelebihan diri
secara obyektif, sedangankan penerimaan diri tidak realistis terjadi jika seseorang
menilai kelebihan diri sendiri secara berlebihan, menolak kelemahan diri
mengingkari hal-hal buruk pada diri sendiri, seperti mengingkari atau melihat
secara berlebihan pengalaman traumatis masa lalu (Agoes, 2007).
Penerimaan diri dapat ditunjukkan dengan adanya pengakuan seseorang terhadap
kelebihan-kelebihannya sekaligus kelemahan atau kekurangannya tanpa
menyalahkan orang lain. Penerimaan diri merupakan sikap yang positif terhadap
diri sendiri, menerima keadaan diri, dan menghargai diri dan orang lain, serta
menerima keadaan emosionalnya. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan
kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya.
Individu yang memiliki penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan
dapat menerima kelemahannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Hjelle
dan Ziegler (1981 dalam Sari dan Nuryoto 2002) yang menyatakan bahwa
individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi terhadap frustrasi atau
kejadian-kejadian yang menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-
kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat
menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan
kelemahan. Jadi, individu yang mampu menerima dirinya adalah individu yang
dapat menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima
kelebihannya.
Menurut Jersild (1963, dalam Sari dan Nuryoto 2002), beberapa karakteristik
individu dalam penerimaan diri secara baik, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Berpikir lebih
realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan
orang lain adalah salah satu sikap yang ditunjukkan oleh individu yang
memiliki penerimaan diri yang baik. individu tersebut dapat melakukan
sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.
2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. Individu
yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam
dirinya, lebih baik dari pada individu yang tidak memiliki penerimaan diri.
3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri. Seseorang individu yang
terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan infiority complex
adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal
tersebut akan mengganggu penilaian yang realistis atas dirinya.
4. Respon atas penolakan dan kritikan. Individu yang memiliki penerimaan diri
tidak menyukai kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk
menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut.
5. Keseimbangan antara real self dan ideal self. Individu yang memiliki
penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan
dari dalam dirinya dengan baik yang memungkinkan individu memiliki
ambisi secara benar, namun tidak mungkin mencapainya walaupun dalam
jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu,
dalam mencapai tujuannya individu mempersiapkan hal-hal yang mungkin
dapat dicapai, untuk memastikan agar dirinya tidak ada kecewa di kemudian
hari.
6. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Hal ini berarti apabila seorang
individu menyayangi dirinya, dan mampu menerima segala kekuatan dan
kekurangan diri, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi
orang lain dan menerima orang lain dengan baik.
7. Menuruti kehendak dan menonjolkan diri. Apabila seorang individu
menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu tersebut memanjakan
dirinya, akan tetapi individu akan menerima bahkan menuntut kelayakan
dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya, individu
dengan penerimaan diri menghargai harapan orang lain dan meresponnya
dengan bijak.
mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam
hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang
dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari
sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
9. Aspek moral penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri bukanlah
individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal
moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu
memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa
nantinya, dan tidak menyukai kepura-puraan.
10. Sikap terhadap penerimaan diri. Individu yang dapat menerima hidupnya
akan menunjukkan sikap menerima apapun kekurangan yang dimilikinya
tanpa harus malu ketika berada di lingkungan sosialnya.
Menurut Bastaman (2007), terdapat beberapa komponen yang menentukan
keberhasilan seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:
1. Pemahaman diri (Self Insight). Yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya
kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke
arah kondisi yang lebih baik.
2. Makna hidup (the meaning of life). Nilai-nilai penting yang bermakna bagi
kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus
dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.
3. Pengubahan sikap (changing attitude). Merubah diri yang bersikap negatif
menjadi positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah.
4. Keikatan diri (self commitment). Merupakan komitmen individu terhadap
makna hidup yang ditetapkan. Komitmen yang kuat akan membawa diri pada
hidup yang lebih bermakna dan mendalam.
5. Kegiatan terarah (directed activities). Suatu upaya-upaya yang dilakukan
secara sadar dan sengaja, berupa pengembangan potensi pribadi yang positif
serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk mencapai tujuan hidup.
6. Dukungan sosial (social support). Yaitu hadirnya seseorang atau sejumlah
orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu sedia memberi bantuan pada
saat-saat diperlukan.
selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah. Apabila hal itu
berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan merangkul apapun yang terjadi
dalam hidup seorang individu. Penjelasan mengenai tahapan penerimaan diri
adalah sebagai berikut:
perasaan yang membuat tidak nyaman adalah kebencian atau keengganan.
Kebencian/keengganan ini juga dapat membentuk keterikatan mental atau
perenungan, mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk menghilangkan
perasaan tersebut.
2. Curiosity (melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian). Pada tahapan ini
individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu
untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya muncul adalah
"Perasaan apa ini?, Apa artinya perasaan ini?, Kapan perasaan ini terjadi".
3. Tolerance (menanggung derita dengan aman). Toleransi berarti menanggung
rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan
berharap perasaan tersebut akan segera hilang.
4. Allowing (membiarkan perasaan datang dan pergi). Setelah melalui proses
bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai
membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara
terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
5. Friendship (merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi). Individu
melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya. Hal ini
merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan diri.
Menurut Hurlock (1996 dalam Sari dan Nuryoto 2002), terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:
1. Pemahaman Diri. Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang
ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan,
kebenaran bukan kebohongan, keterus-terangan bukan berbelit-belit.
2. Harapan yang realistis. Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang
akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis, kesempatan untuk
mencapai sukses tersebut akan muncul, sehingga akan terbentuk kepuasan diri
sendiri yang pada akhirnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri
sendiri.
individu untuk mengontrol adanya hambatan-hambatan dari lingkungan,
misalnya: diskriminasi, ras, gender, dan kepercayaan.
4. Tidak adanya tekanan emosi yang berat. Tekanan yang berat dan terus
menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja atau rumah, dimana kondisi
sedang tidak baik, dapat mengakibatkan gangguan yang berat, sehingga
tingkah laku orang tersebut dinilai menyimpang dan orang lain menjadi
terlihat selalu mencela dan menolak orang tersebut.
5. Sukses yang sering terjadi. Kegagalan yang sering menimpa menjadikan
seseorang menolak terhadap diri sendiri, sebaliknya kesuksesan yang sering
terjadi menumbuhkan penerimaan terhadap diri sendiri.
6. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang baik akan menghasilkan penerimaan
diri yang baik namun sebaliknya bila konsep diri yang buruk secara alami
akan menghasilkan penolakan terhadap diri sendiri.
2.5 Regulasi emosi
Gross (2002 dalam Hidayat 2016) mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah
suatu proses individu mempengaruhi emosinya, ketika individu memiliki emosi
tersebut dan bagaimana suatu emosi dialami dan diekspresikan. Tice dan
Bratslavsky (Gallo, Keil, McCulloch, Rockstoh & Gollwitzer, 2009 dalam
Hidayat 2016) menuliskan bahwa regulasi emosi bisa berbentuk penghindaran
respon dengan melakukan sekumpulan tindakan untuk memunculkan emosi yang
berlawanan, seperti bersantai untuk menghilangkan perasaan cemas. Gross dan
Thompson (Lane, Bucknall, Davis, & Beedie, 2012 dalam Hidayat 2016)
mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah strategi yang digunakan dengan
sengaja maupun otomatis untuk memulai, mempertahankan, dan menampilkan
emosi. Gross dan Levenson (1993 dalam Hidayat 2016) mendefinisikan regulasi
emosi sebagai manipulasi yang dilakukan dalam diri untuk mempengaruhi emosi
atau reaksi fisiologis, atau komponen perilaku yang dapat menimbulkan respon
emosional.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah proses yang digunakan oleh individu
untuk mempengaruhi emosinya, serta bagaimana cara menampilkan atau
mengekspresikan emosinya.
Gross (2002) dalam penelitiannya menyajikan model strategi regulasi emosi yang
bisa dilakukan, diantaranya adalah antecedent focused strategies dan response
focused strategies. Antecedent focused strategies adalah hal-hal yang dilakukan
individu sebelum merespon secara penuh suatu tekanan kemudian merubah
perilaku dan emosinya. Response focused strategies merupakan hal hal yang
dilakukan setelah emosi muncul.
Menurut Gross (2002 dalam Hidayat 2016), proses emosi terdiri dari lima tahap
yaitu:
Pemilihan situasi mengacu pada memilih untuk mendekati atau menghindari
orang-orang, tempat, atau hal-hal tertentu untuk mengatur atau meregulasi emosi.
Misalnya, seorang lansia memilih makan malam bersama seorang teman yang
dapat membuat lansia tersebut selalu tertawa, dibandingkan dengan bergabung
dengan lansia yang membuatnya sedih. Pemilihan situasi ini memberikan
dampak untuk jangka pendek dan jangka panjang, misalnya seorang lansia
pemalu berupaya mengurangi kecemasan dengan menghindari situasi sosial yang
dapat membantu dalam waktu jangka pendek, namun tindakan tersebut dalam
jangka panjang akan berdampak pada isolasi sosial.
2. Situation modification (modifikasi situasi)
Merupakan usaha memodifikasi satu keadaan secara langsung untuk
mendatangkan situasi baru. Modifikasi situasi yang dimaksud di sini dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan fisik eksternal maupun internal.
Gross (2007 dalam Hidayat 2016) menganggap bahwa upaya memodifikasi
internal lingkungan yaitu pada bagian perubahan kognitif. Misalkan jika salah
satu lansia tampak marah, maka dapat menghentikan interaksi marah kemudian
mengungkapkan dengan keprihatinan, meminta maaf, atau memberikankan
dukungan.
Attentional deployment dapat dianggap sebagai versi intenal dari seleksi situasi.
Dua strategi attensional yang utama adalah distraksi dan konsentrasi. Distraksi
memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang berbeda dari situasi yang
dihadapi, atau memindahkan perhatian dari situasi itu ke situasi lain, misalnya
ketika seorang lansia mengalihkan pandangannya dari stimulus yang dapat
membangkitkan emosi untuk mengurangi stimulasi. Attentional deployment bisa
memiliki banyak bentuk, termasuk pengalihan perhatian secara fisik (misalnya
menutup mata atau telinga), pengubahan arah perhatian secara internal (misalnya
melalui distraksi atau konsentrasi), dan merespon pengalihan.
4. Cognitive change (perubahan kognitif)
Perubahan penilaian yang dibuat oleh individu, termasuk pertahanan psikologis
dan pembuatan pembandingan sosial dengan yang ada di bawahnya (keadaannya
lebih buruk daripada saya). Hal ini merupakan transformasi kognisi untuk
mengubah pengaruh kuat emosi dari situasi. Perubahan kognitif mengacu pada
cara individu mengubah dan menilai situasi di mana seseorang terlibat di
dalamnya, seperti mengubah emosionalnya, dengan memikirkan tentang
situasinya atau tentang kapasitas individu tersebut untuk menanganinya.
5. Response modulation (perubahan respon)
Modulasi respon mengacu pada usaha individu untuk mempengaruhi tendensi
respon emosi yang siap untuk dimunculkan. Modulasi respon dipengaruhi oleh
respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku, misalnya lansia melakukan olahraga
dan relaksasi untuk mengurangi aspek fisiologis, pengalaman emosi negatif,
dengan menggunakan obat, rokok dan makanan.
Tahap 1-4 berfokus pada penyebab masalah, sedangkan tahap 5 berfokus pada
respon yang akan dihasilkan. Selain itu, terdapat juga dua konsekuensi dalam
meregulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan suppression. Gross (2002 dalam
Hidayat 2016) cognitive reappraisal merupakan cara mengubah situasi yang
dianggap dapat mengurangi dampak emosional. Suppression adalah cara
menghambat pertanda yang berasal dari luar perasaan. Mcrae, Heller, John, dan
Gross (2011 dalam Hidayat 2016) juga menuliskan bahwa suppression adalah
strategi yang digunakan untuk menghambat penampakan emosi, sedangkan
cognitive reappraisal adalah strategi yang melibatkan pikiran untuk kemudian
mengubah emosi. Keenan (2013 dalam Hidayat 2016) menuliskan bahwa
suppression terlibat secara aktif dalam menghambat pengalaman emosi secara
internal dan eksternal, baik secara verbal (lisan) atau mengontrol ekspresi wajah
sehingga emosi tidak tersampaikan, sedangkan cognitive reappraisal melibatkan
pikiran (kognitif) lebih dulu sebelum proses aktivasi emosi. Hal ini melibatkan
bagaimana merubah pikiran tentang situasi emosi yang tepat (strategi ini secara
rinci berfokus pada tujuan untuk meningkatkan atau mengurangi respon emosi).
Konsekuensi dari regulasi emosi menurut Gross dan John (2004 dalam Hidayat
2016) yaitu:
fisiologis.
b. Suppression mengurangi ekspresi perilaku dari emosi negatif tetapi tidak
menurunkan pengalaman subjektif dari emosi.
2. Konsekuensi kognitif:
a. Cognitive Reapraisal tidak membutuhkan regulasi diri yang terus- menerus
atau berkelanjutan.
penekanan dilakukan sehingga mengurangi kemampuan kognitif dalam
mengingat kembali peristiwa yang terjadi ketika dilakukan penekanan.
3. Konsekuensi sosial
dibandingkan dengan suppression karena cognitive reappraisal
mengurangi pengalaman emosi negatif dan ketika meningkatkan emosi
positif
interaksi sosial.
Emosi setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan harus mengatur
kondisi emosinya. Faktor tersebut antara lain (Widiyastuti, 2014):
1. Faktor lingkungan. Lingkungan tempat individu berada termasuk lingkungan
keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat yang akan mempengaruhi
perkembangan emosi
2. Faktor pengalaman. Pengalaman yang diperoleh individu selama hidup akan
mempengaruhi perkembangan emosinya. Pengalaman selama hidup dalam
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan akan menjadi refrensi bagi
individu dalam menampilkan emosinya
3. Pola asuh orang tua. Pola asuh ada yang otoriter, memanjakan, acuh tak
acuh, dan ada juga yang penuh kasih sayang. Bentuk pola asuh itu akan
mempengaruhi pola emosi yang di kembangan individu.
4. Pengalaman traumatik. Kejadian masa lalu akan memberikan kesan traumatis
akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibat rasa takut dan
juga sikap terlalu waspada yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi
emosionalnya.
5. Jenis kelamin. Keadaan hormonal dan kondisi fisiologis pada laki-laki dan
perempuan menyebabkan perbedaan karakteristik emosi antara keduanya.
Wanita harus mengontrol perilaku agresif dan asertifnya. Hal ini
menyebabkan timbulnya kecemasan kecemasan dalam dirinya. Sehingga
secara otomatis perbedaan emosional antara pria dan wanita berbeda.
Perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan strategi regulasi emosi yang
digunakan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa laki-laki dewasa
muda lebih banyak menyalahkan diri sendiri saat meregulasi emosinya,
sedangkan perempuan dewasa muda lebih sering menyalahkan orang lain.
6. Usia. Kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
kematangan fisiologis seseorang. Semakin bertambah usia, kadar hormonal
seseorang menurun sehingga menggakibatkan penurunan pengaruh
emosional seseorang. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seiring
berjalannya usia, semakin dewasa individu semakin adaptif strategi regulasi
emosi yang digunakan (Gross, Richard & John, 2004 dalam dalam Hidayat
2016)
8. Perubahan pandangan luar. Perubahan pandangan luar dapat menimbulkan
konflik dalam emosi seseorang.
mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan
berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan
dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005,
dalam Anggraini, 2015)
No Judul Penulis Desain Variabel Hasil-kesimpulan
1 The Relationship
spiritual pada pasien
berdasarkan teori
of spiritual well-
being while in
of spiritual well-
being. Also, 71.2%
of the community
6. Spiritual
Bagan 3.1 Kerangka konsep pengaruh spiritual well being dengan metode konseling
dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
Keterangan:
Perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan
yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-perubahan yaitu
perubahan fisik berupa penampilan, fungsi fisiologi, perubahan mental berupa fungsi
kognitif dan kemampuan mental, perubahan psikologis dan sosial serta spiritual.
Perubahan ini mempunyai efek terhadap pelayanan kesehatan secara holistik pada
lansia yaitu pelayanan secara fisik, psikologis, sosial, budaya dan spiritual. Kebutuhan
spiritual pada lansia saat ini dapat dipengaruhi berbagai hal mulai dari tahap
perkembangan, peranan keluarga, latar belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup
sebelumnya, adanya krisis perubahan dan kemungkinan terpisah dari ikatan spiritual.
Aspek spiritual well being secara Islami dapat terjadi pada seseorang terdapat
tingkatan mulai dari taubat, Taubat, Sabar, Tawakal, Ridho Zuhud, Wara’, Fakir,
Mahabah dan tingkatan tertinggi adalah Ma’rifat. Untuk mencapai spiritual well being
yang berbasis Islami berbagai intervensi dapat dilakukan berupa konseling spiritual
dan dzikir. Intervensi ini diharapkan dapat mempengaruhi terjadinya spiritual well
being melalui mekanisme yang ada di otak manusia melalui sistem limbik sebagai
pusat informasi yang berhubungan langsung dengan amygdala. Proses ini berupa
kognitif yang pemikiran dan afektif yang berbentuk emosi. Seseorang harus
mendorong sikap penerimaan terhadap diri sendiri dan emosinya ke arah yang positif
maka akan terjadi kebahagiaan. Namun pikiran manusia untuk mencapai kebahagiaan
yang terproses di otak hanyalah instrumen yang dikaruniakan oleh Allah SWT untuk
menjalani kehidupannya dengan baik.
Group
01a Xa 02a
01b Xb 02b
01c Xab 02c
01d: Kelompok kontrol
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Sampling.
1. Populasi adalah semua lansia yang tinggal di UPTD Griya Werdha Surabaya.
Kriteria populasi adalah lansia yang dapat berkomunikasi dengan baik, tidak
mengalami gangguan pendengaran, tidak mengalami gangguan kognitif, tidak
depresi berjumlah 54 orang. Sedangkan untuk kelompok control adalah lansia
yang tinggal di Panti Werda Hargo Dedali dengan populasi 22 orang. Jumlah
populasi secara keseluruhan 76 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi lansia yang berjumlah 45 lansia untuk
3 kelompok intervensi dan 15 orang untuk kelompok kontrol
3. Besar sampel
(t-1) (r-1) > 15
46
52
jumlah perlakuan ada 3 kelompok, maka besar sampel untuk tiap
perlakuan dapat dihitung:
Untuk mengantisipasi hilangnya unit ekskperimen maka dilakukan
koreksi dengan 1/(1-f) di mana f adalah proporsi unit eksperimen yang
hilang atau mengundur diri atau drop out, sehingga: n= 9 (1+0,15) =
10,15
15 responden sehingga keseluruhan 60 orang
4. Tehnik sampling.
Random Sampling. Pengambilan sampel secara acak sederhana adalah
bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk diseleksi sebagai sampel.
4.3 Variabel penelitian.
1. Variabel intervensi penelitian ini adalah spiritual well being berbasis Islami
dengan metode konseling dan dzikir
2. Variabel dependen penelitian ini adalah sikap penerimaan diri, regulasi
emosi dan kebahagiaan lansia
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
53
No Variabel Definisi Alat ukur Skala
ukur
Hasil
ukur
sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan
kebahagiaan
Analisis
54
ukur
Hasil
ukur
qadar dengan hati senang
dilakukan kepada lansia yang
mengalami sesuatu masalah yang
bermuara pada teratasinya masalah
untuk mengingat Allah
perasaan, reaksi fisiologis, kognisi
yang berhubungan dengan emosi,
dan reaksi yang berhubungan
secara subyektif dirasakan lansia
dalam menghadapi kehidupan di
55
nomor 195/S/KEPK/VI/2018. Uji coba kuesioner dilakukan di PSTW
Pasuruan dengan uji validitas dan reliabilitas yaitu dengan membandingkan
nilai r tabel dengan nilai r hitung yaitu dengan menggunakan df=n-2 =20-
2=18. Pada tingkat kemaknaan 5% didapat angka r tabel adalah 0.444.
Menentukan nilai r hasil dapat dilihat pada kolom corrected item total
correlation. Bila r hasil > r tabel, maka pernyataan tersebut valid. Hasil uji
validitas kuesioner spiritual well being beberapa pernyataan dihilangkan yaitu
no 1,2,5,11,20,25 dan 28, uji reliabilitas alpha (0,933) > 0,444. Uji validitas
kebahagiaan pernyataan yang tidak valid dikoreksi dan hasil uji
reliabilitasnya alpha (0,895) > 0,444. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner
sikap penerimaan diri alpha (0,679) > 0,444. Pernyataan yang tidak valid
dikoreksi secara kontens. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner regulasi alpha
(0,620) > 0,444, semua pernyataan dinyatakan valid.
Selanjutnya akan dilakukan pengumpulan data sebelum intervensi,
pelaksanaan intervensi 2 kali dalam seminggu selama 8 minggu, serta akan
dilakukan pengumpulan data setelah intervensi. Selama pengumpulan data
direncanakan melibatkan perawat di Panti Werda namun sebelumnya peneliti
melakukan penjelasan dalam melaksanakan SOP konseling dan dzikir.
4.7 Analisis data
frekuensi dan persentase dari masing – masing variabel. Uji statistik yang
digunakan pada analisis bivariat menggunakan uji Paired T-Test dengan
tingkat kemaknaan 95 % (alpha 0,05). Uji beda menggunakan uji Anova
BIAYA PENELITIAN
Pembiayaan yang diajukan pada penelitian ini terdiri dari persiapan, pengumpulan
data, pengolahan data, penulisan laporan penelitian, penggandaan laporan, honor
tim pembantu peneliti dan biaya lain-lain, dijabarkan pada tabel berikut:
No Kegiatan transport/kegiatan (Rp) jumlah kegiatan Jumlah
A Perjalanan (16%)
4,800,000
B Bahan (74%)
Konsumsi tim peneliti 10 kali x 10 orang 35,000 3,150,000
Snack responden 7 kali x 55 orang 15,000 5,250,000
honor tim pembantu peneliti 8 orang x 8 kali 55,000 7,040,000
biaya analisis data 3 kali 1,500,000 4,500,000
notes 60 bj 14,500 870,000
bolpoint 5 pack 18,000 90,000
penggandaan :
Fc laporan tengah 6 eks x 60 hal 200 66,000
Fc laporan akhir 12 eks x 80 hal 200 192,000
Penjilidan 29 eks 6000 174,000
Fc kuesioner 60 orang x 3 x 10 lbr 200 360,000
22,200,000
Shampo 60 10,500 630,000
Tasbih 60 3,000 180,000
Bab ini membahas tentang hasil penelitian yaitu gambaran umum tempat
penelitian, data umum berupa karakteristik responden yang berkaitan dengan data
jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur dan lama tinggal di Panti. Data khusus
dijelaskan tentang hasil uji statistik dari variabel penelitian pada kelompok dzikir,
konseling, dzikir dan konseling serta kontrol.
5.1 Gambaran umum tempat penelitian.
Penelitian dilakukan di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya dan Panti
Werdha Hargodedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya. Jumlah total lanjut usia
yang tinggal di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya sebanyak 125 orang.
Data lanjut usia kelompok perlakuan diambil dari UPTD Panti Werdha
Jambangan sebanyak 45 orang, selanjutnya dikelompokan menjadi 15 orang
sebagai kelompok dzikir, dan 15 orang kelompok konseling, serta 15 orang
kelompok dzikir + Kknseling. Kelompok kontrol diambil dari Panti Werdha
Hargo Dedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya total lanjut usia yang tinggal
sebanyak 50 orang, sedangkan untuk kelompok kontrol sebanyak 15 orang.
5.2 Data Umum
1. Karakteristik Jenis Kelamin
Tabel 5.1. Distribusi karakteristik jenis kelamin lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik jenis kelamin lanjut usia sebagian besar
adalah perempuan pada seluruh kelompok, sedangkan pada kelompok kontrol
tidak satupun lansia yang berjenis kelamin laki-laki.
2. Karakteristik Tingkat Pendidikan
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Tingkat Pendidikan Lanjut Usia di Panti
Werdha Tahun 2018
59
Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar lanjut usia yang tinggal di
Panti Werdha berpendidikan SD, namun pada kelompok konseling hampir
seluruhnya berpendidikan SD (86%), sebagian kecil ada yang berpendidikan
perguruan tinggi yaitu pada kelompok konseling dan dzikir + konseling masing-
masing 1 orang (7%).
Tabel 5.3. Distribusi karakteristik umur lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Umur Mean
Kelompok dzikir 73.73
Kelompok konseling 71.73
Kelompok dzikir+konseling 72.60
Kelompok kontrol 76.40
5.527 69 - 87 73.34 – 79.46
Hasil analisis didapatkan rata – rata umur lanjut usia yang tertinggi adalah
kelompok kontrol (76,40 tahun) dan yang paling rendah pada kelompok konseling
(71,73 tahun). Hasil estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa
rata-rata usia lanjut usia pada kelompok kontrol 73,34 tahun sampai dengan 79,46
tahun, sedangkan pada kelompok konseling 69,24 tahun sampai dengan 74,23
tahun. Dilihat dari median yang paling tinggi adalah kelompok kontrol (77 tahun)
dan kelompok dzikir (75 tahun). Dari standar deviasi yang besar secara berturut
turut adalah kelompok dzikir, dzikir+konseling, kontrol dan konseling. Umur
termuda (63 tahun) dan tertua (88 tahun) berada pada kelompok dzikir.
60
4. Karakteristik Lama tinggal di Panti
Tabel 5.4. Distribusi karakteristik Lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Total 15 100
Berdasarkan lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha yang < 1 tahun paling
banyak pada kelompok kontrol. Pada rentang 1 – 2 tahun sebagian besar pada
kelompok konseling (53%) dan sebagian kecil lama tinggal > 3 tahun pada
kelompok dzikir+konseling serta kontrol
5.2 Data khusus
Data khusus pada penelitian ini disajikan hasil analisis uji beda paired t test, hasil
beda uji anova dan uji multivariat dengan analisis jalur atau path analisis.
61
Tabel 5.5. Hasil Uji Beda Paired t Test
Kelompok Variabel Pre Post Delta
Post-pre
Sikap penerimaan 2.697 3.334 -0.637 -10.452 0.000
Regulasi emosi 3.142 3.392 -0.250 -2.739 0.016
Bahagia 2.972 3.276 -0.304 -8.469 0.000
Dzikir
Sikap penerimaan 2.719 3.534 -0.815 -11.907 0.000
Regulasi emosi 2.958 3.250 -0.292 -3.845 0.002
Bahagia 2.911 3.264 -0.353 -11.071 0.000
Konseling dan
Sikap penerimaan 2.818 3.571 -0.753 -23.409 0.000
Regulasi emosi 3.127 3.577 -0.4
KEBAHAGIAAN LANSIA DI PANTI WERDHA
KETUA
ANGGOTA
Kebahagiaan Lansia di Panti Werdha
Peneliti Utama
NIP : 196707301993032004
Nomor HP : 082139493067
Alamat Email : [email protected]
Anggota (2)
NIP : 197410252002122002
Institusi/Industri Mitra : -
Besarnya : Rp. 30.000.000
. Surabaya, April 2018
Peneliti Utama
NIP. 196204291993031002
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadlirat Alloh SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan protokol penelitian tahun 2018. Protokol penelitian
merupakan tahap ke 2 rangkaian penelitian setelah proposal dinyatakan diterima.
Penelitian ini adalah kegiatan sebagai wujud tri dharma perguruan tinggi dosen Prodi
D III Keperawatan Kampus Sutopo Surabaya yang secara terprogram dilaksanakan
setiap tahun dengan biaya dari Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Sistematika protokol penelitian ini dibuat berdasarkan pedoman penelitian Politeknik
Kesehatan Kemenkes Surabaya yang disusun oleh Unit Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (UPPM) tahun 2016. Besar harapan kami sebagai tim penyusun agar
dapat melaksanakan salah satu wujud tri darma perguruan tinggi.
Surabaya, April 2018
Pendahuluan: Seseorang yang memasuki usia lanjut akan mengalami perubahan fisik
dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah, penurunan kondisi yang
dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan fisik dan
kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam hidup. Tujuan penelitian
menganalisis spiritual wellbeing melalui metode konseling, dzikir, konseling dan
dzikir terhadap sikap penerimaan, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti
Werdha
Metode: Desain penelitian eksperimen Pretest – Postest with Control Group.
Populasi adalah semua lanjut usia yang sesuai dengan kriteria inklusi berjumlah 76
orang. Besar sampel 45 orang untuk kelompok intervensi, 15 orang untuk kelompok
kontrol. Teknik sampling Simple Random Sampling. Variabel intervensi adalah
konseling, dzikir, konseling dan dzikir pada lansia yang tinggal di Panti Werdha.
Variabel dependen adalah sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan
lansia. Uji statistik untuk mengetahui perbedaan antar variabel adalah uji paired t-test
dan Manova.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan antara pre dan post pada
semua kelompok yang mendapatkan perlakuan dan terdapat peningkatan skor post.
Pada kelompok kontrol ada dua variabel yang tidak berbeda secara signifikan yaitu
sikap penerimaan diri dan regulasi emosi, sedangkan pada kebahagiaan terdapat
perbedaan secara signifikan namun skor post lebih rendah dari pre.
Diskusi: Intervensi konseling dan dzikir dapat melatih kesabaran, menerima segala
ketentuan dengan hati senang membuat seseorang mampu menyadari dan mampu
mengendalikan keinginan negatif, sehingga dapat mencapai kebahagiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa intervensi konseling, dzikir dan
kombinasi antara konseling dan dzikir dapat dijadikan sebagai kegiatan yang dilakukan
di Panti Werdha untuk meningkatkan dan menyelesaikan permasalahan spiritual dan
psikologis lansia di Panti Werdha.
Kata Kunci : Spiritual well being, sikap penerimaan diri, regulasi emosi, kebahagiaan
DAFTAR ISI
2.2.4 Perubahan Pada Lanjut Usia.........................................................
2.2.1 Pengertian Spiritual……………………………………………..
2.2.2 Karakteristik Spiritual…………………………………………..
2.3 Konsep Kebahagiaan…………………………………………………..
2.3.1 Pengertian Kebahagiaan ……………………………………….
2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan …………………………..
2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan………………………………………
4.3 Variabel penelitian……………………………………………………..
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian……………………
30
40
40
Islami dan kebahagiaan
Lanjut usia atau disebut lansia merupakan tahap perkembangan kehidupan teakhir
setiap manusia. Secara umum individu yang memasuki usia lanjut akan mengalami
perubahan fisik dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah,
penurunan kondisi yang dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan
masalah kesehatan fisik dan kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam
hidup. Pergeseran struktur umur produktif ke umur tua akan berdampak terhadap
persoalan penyantunan penduduk usia lanjut. Bersamaan dengan perubahan sosial
ekonomi, maka dapat diperkirakan akan terjadi pergeseran pola penyantunan usia
lanjut dari keluarga ke pelayanan institusi (Indriana, 2012).
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan angka harapan hidup di Indonesia pada
tahun 2020 akan mencapai usia 71 tahun (BPS, 2014). Angka tersebut tentunya
diiringi dengan kenaikan jumlah penduduk dengan proporsi kenaikan 11,34%.
Populasi lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03 persen dari
seluruh penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah lansia menunjukkan bahwa usia
harapan hidup penduduk di Indonesia semakin tinggi dari tahun ke tahun. Semakin
meningkatnya populasi lansia mencerminkan adanya peningkatan pelayanan
kesehatan, sekaligus dapat menjadi problematika baru bagi Indonesia sendiri. Hasil
proyeksi penduduk 2010-2035, Indonesia akan memasuki periode lansia (ageing),
dimana 10% penduduk akan berusia 60 tahun ke atas, di tahun 2020. Indonesia
termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah lanjut usia terbanyak di dunia
(Depkes, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulfiana (2014) menyatakan bahwa
lansia dilakukan psikoterapi memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Berdasarkan kajian di UPTD Griya Werdha lansia yang
tinggal di panti memiliki kriteria seperti lansia miskin, pengemis, lansia terlantar,
tidak punya keluarga serta gelandangan. Pelayanan sehari-hari yang dilakukan di
panti berupa pemenuhan kebutuhan nutrisi, pakaian, kebersihan diri dan kebutuhan
spiritual berupa sholawat dan kultum setelah sholat Magrib yang dilakukan oleh
lansia. Data lansia yang tinggal di panti atas kemauan sendiri sebesar 59 % dan karena
1
terpaksa 41 %. Lansia yang menyatakan sulit tidur dan sering terbangun sebesar 65,
6%, hasil skrining depresi sebesar 56% (Laporan UPTD Griya Werdha, Januari 2018).
hal ini menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti memiliki berbagai
permasalahan baik secara fisik, psikologis maupun spiritual.
Secara demografi dapat diketahui bahwa pada masa lansia seringkali menderita
sedikitnya satu atau lebih penyakit kronis, terjadinya penurunan fungsi tubuh,
peningkatan faktor kerentanan yang memungkinkan resiko terjadinya distres spiritual
pada lansia (Stanley, 2007). Distres spiritual yang berkelanjutan akan mempengaruhi
kesehatan lansia secara menyeluruh dimana terjadi gejala-gejala fisik berupa
penurunan nafsu makan, gangguan tidur, serta peningkatan tekanan darah (Hidayat,
2006). Hal ini terjadi lantaran di masa lansia individu akan mengalami beberapa
perubahan terkait dengan menurunnya beberapa fungsi diantaranya adalah penurunan
fungsi fisik, kognitif, penurunan fungsi dan potensi seksual serta perubahan aspek
psikososial dan spiritual (Urbayanti 2006).
Menurut Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) beberapa penelitian menunjukkan
adanya keragaman kehidupan manusia lansia di Indonesia. Lansia ada yang lebih suka
hidup bahagia di Panti Werdha, ada yang lebih suka mandiri dan tinggal di rumah
sendiri atau hidup bersama anak cucu. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh lansia
menghendaki pemenuhan kebutuhan dari aktivitas, pergaulan dan kemandirian.
Selanjutnya Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) mengatakan bahwa lansia yang
masih aktif di lingkungan sosial dan merasa dibutuhkan oleh keluarga maupun
masyarakat sekitarnya akan menjadi lansia yang mempunyai kepuasan hidup dan
kebahagiaan tersendiri, sedangkan bagi yang kurang seimbang mentalnya, kesendirian
yang dialaminya akan menimbulkan rasa terisolasi dan depresi yang dimanifestasikan
dalam bentuk kecemasan.
Dewasa ini keberadaan Panti Werdha mengambil peran penting di masyarakat. Selain
karena bergesernya nilai dan pandangan masyarakat terkait keberadaan lansia di
dalam rumah, hal ini juga disebabkan karena kebutuhan lansia yang meningkat, guna
menjaga eksistensi lansia di kehidupannya. Lansia akan membutuhkan pelayanan
perawatan seperti kesehatan, fisik, psikologis, spiritual maupun sosial agar dapat
terpenuhi kebahagiaan. Bersamaan dengan bertambahnya usia lansia, semakin banyak
pula permasalahan yang harus di hadapi, karena lansia merupakan tahapan
perkembangan manusia yang paling banyak dihinggapi permasalahan. Berdasarkan
paparan tersebut peneliti bermaksud melaksanakan penelitian tentang kebutuhan
spiritual well-being berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir, terhadap
sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti Werdha
Surabaya
berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri,
regulasi emosi dan kebahagiaan lansia?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
konseling dan dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan
lansia?
regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
b. Menganalisis pengaruh metode dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi
emosi dan kebahagiaan lansia
diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
1.4 Manfaat Penelitian
keperawatan khususnya kelompok keilmuan keperawatan gerontik atau keperawatan
komunitas pada kelompok khusus
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perawat khususnya
perawat yang melaksanakan tugas dan fungsinya di tatanan Panti Werdha dan
komunitas, untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama yang
menyangkut aspek spiritual.
1.5 Urgensi Penelitian
Penelitian ini dapat menghasilkan intervensi spiritual berbasis Islami yang dapat
diterapkan di bidang keperawatan gerontik. Kesejahteraan spiritual secara Islami
dapat digunakan untuk meningkatkan perasaan bahagia pada lansia yang tinggal di
Panti Werdha. Hasil penelitian yang akan dilakukan ini dapat menjadi acuan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang selama ini belum banyak menyentuh aspek
spiritual. Lansia yang dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya diharapkan
mendapatkan rasa kebahagiaan dalam menghadapi kehidupannya. Dampaknya
harapan hidup dan kualitas hidup pada lansia semakin meningkat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Usia lanjut adalah hal yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena
biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan
kematian (Supraba, 2015). Menurut Hawari (2006) usia lanjut merupakan seorang
laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih
berkemampuan (potensial) ataupun karena sesuatu hal tidak mampu lagi berperan
secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat usia lanjut sering didefinisikan seseorang yang telah menjalani
siklus kehidupan diatas usia 60 tahun (dalam Juwita, 2013).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian
(Setiati, et.al, 2009). Lansia atau usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus
kehidupan manusia dan hal tersebut merupakan bagian dari proses kehidupan yang
tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu (Prasetya, 2010). Tahap
usia lanjut menurut teori Erik Erikson tahun 1963 merupakan tahap integrity versus
despair, yakni individu yang sukses dalam melampauin tahap ini akan dapat mencapai
integritas diri (integrity), lanjut usia menerima berbagai perubahan yang terjadi
dengan tulus, mampu beradaptasi dengan keterbatasan yang dimilikinya, bertambah
bijak menyikapi proses kehidupan yang dialaminya. Sebaliknya mereka yang gagal
maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair), lanjut usia mengalami
kondisi penuh stres, rasa penolakan, marah dan putus asa terhadap kenyataan yang
dihadapinya (Setiati, et,al, 2009).
2.1.2 Batasan Usia
Penduduk Lansia atau lanjut usia menurut UU kesejahteraan lansia No.13 tahun 1998
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Umur yang dijadikan
patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut
usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut
Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan
umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini
(prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan resiko
tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Di
5
Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2004.
2.1.3 Teori Mengenai Proses Menua
Beberapa teori tentang penuaan yang dapat diterima saat ini, antara lain :
1. Teori biologis proses penuaan
a. Teori radikal bebas
Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh Denham Harman pada tahun
1956, yang menyatakan bahwa proses menua adalah proses yang normal, merupakan
akibat kerusakan jaringan oleh radikal bebas (Setiati et al., 2009). Radikal bebas
adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak berpasangan. Karena elektronnya
tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan mencari pasangan elektron lain
dengan bereaksi dengan substansi lain terutama protein dan lemak tidak jenuh.
Sebagai contoh, karena membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi
dengan radikal bebas sehingga membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan
pada struktur membran tersebut membran sel menjadi lebih permeabel terhadap
beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati membran secara
bebas. Struktur didalam sel seperti mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh
membran yang mengandung lemak, sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas
(Setiati et al., 2009). Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas
berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri, namun antioksidan tersebut
tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas tersebut (Setiati et
al., 2009).
Menurut Potter dan Perry (2006) penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem
imun berperan dalam penuaan. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
proteinnya sendiri dengan protein asing sehingga sistem imun menyerang dan
menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat secara bertahap.
Disfungsi sistem imun ini menjadi faktor dalam perkembangan penyakit kronis seperti
kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular, serta infeksi.
c. Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka menunjukkan bahwa adanya
perbedaan pola laju perbaikan (repair) kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar
ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang
mempunyai umur maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar dan
korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata (Setiati et al, 2009).
d. Teori genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di pengaruhi oleh
pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut
teori genetika adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan
dari waktu ke waktu mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain,
perubahan rentang hidup dan panjang usia ditentukan sebelumnya (Stanley & Beare,
2006 dalam Putri, 2013).
Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah
metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintensis DNA, sehingga mendorong
malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami
kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Sebagai contoh adalah radikal bebas, radikal
bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal
(Stanley & Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
2. Teori psikososial proses penuaan
a. Teori disengagment
Teori disengagment (teori pemutusan hubungan), menggambarkan proses penarikan
diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri
ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang
tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak
sosial berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi lebih muda (Stanley
& Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
b. Teori aktivitas
Teori ini menegaskan bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk
keberhasilan penuaan. Menurut Lemon et al (1972) dalam (Marta, 2012) orang tua
yang aktif secara sosial lebih cendrung menyesuaikan diri terhadap penuaan dengan
baik.
Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari
kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-
perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran,
sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem
respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem
muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental menyangkut
perubahan ingatan atau memori (Setiati et al., 2009).
1. Perubahan pada Sistem Sensoris
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan
untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki.
Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan
perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori (Maramis, 2009).
2. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-
tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki.
Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal
pada sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan
sinar matahari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan
elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering
karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan
kelenjar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan
cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa lemak bebas
berkurang 6,3% berat badan per dekade dengan penambahan massa lemak 2% per
dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade (Setiati et al., 2009).
3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan
metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan
pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen
pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi
lebih berongga, mikroarsitektur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan
maupun spontan (Setiati et al., 2009).
4. Perubahan pada Sistem Neurologis
Berat otak menurun 10–20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian
meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai menurun pada
usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan
volume otak berkurang ratarata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung
100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls
listrik dari susunan saraf pusat. Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron per
tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil
per jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antara usia 30-70
tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi
dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear)
yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria
(Timiras & Maletta, 2007).
ingatan seseorang memegang peranan penting dalam mempengaruhi persepsi dan
pikiran seseorang. Schlessinger dan Groves (dalam Mujahidullah, Khalid. 2012)
mengatakan bahwa memori atau ingatan adalah suatu sistem yang memungkinkan
seseorang menyimpan suatu fakta atau obyek kedalam diri subyek sehingga membuat
subyek mampu berespon menggunakan kemampuan pengetahuannya dalam
berprilaku. Jika ditilik secara fisiologis tubuh manusia dapat merekam ingatan tertentu
yang berlangsung seketika beberapa detik, beberapa jam, beberapa hari bahkan
bertahun-tahun. Maka dari itu, ingatan (memory) dapat diklasifikasikan menjadi 3
yaitu:
Ingatan jangka pendek adalah kemampuan mengingat seseorang terhadap sesuatu
hal dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ciri khas ingatan jangka pendek
adalah ketika seseorang dapat mengingat suatu keadaan/ kondisi/ hal/ benda
tertentu dalam rentang waktu detik hingga menit namun cenderung terlupakan
setelahnya apabila tidak terjadi pengulangan memori secara kontinu. Contohnya
adalah ketika seseorang dapat menghafal 7-10 nomor telepon seluler rekannya
dalam rentang waktu beberapa menit, setelah kejadian itu berakhir subyek akan
cenderung lupa atau tidak ingat pada kombinasi angka-angka tersebut apabila
subyek tidak melakukan pengulanganan memory (recall memory) pada angka
tersebut.
menyebutkan beberapa benda setelah beberapa detik kemudian, lansia diminta
mengulang benda-benda yang telah disebutkan sebelumnya. Lalu lakukan
penilaian kemampuan lansia dalam mengingat jangka pendek.
b. Ingatan Jangka Menengah
Ingatan jangka menengah dapat berlangsung dalam hitungan menit hingga
berminggu-minggu. Ingatan jangka menengah terkadang dapat hilang, kecuali jika
terdapat jejak ingatan yang akan membuat ingatan menjadi lebih permanen. Jika
ingatan jangka menengah ini terus menerus diingat, maka ingatan tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi ingatan jangka panjang. Pada lansia pengujian
kemampuan mengingat jangka menengah dapat dilakukan dengan meminta lansia
menyebutkan istilah-istilah abstrak atau meminta lansia menyebutkan beberapa
obyek, lalu penguji mengajak lansia berbicara topic lain hingga 5-10 menit.
Setelah 5 sampai 10 menit kemudian, mintalah lansia mengulang istilah-istilah
abstrak tersebut.
Sebuah memori diklasifikasikan sebagai ingatan jangka panjang apabila ingatan
tersebut masih diingat dalam kurun waktu lebih dari 3 minggu dan dapat diingat
hingga bertahun-tahun lamanya. Contoh ingatan jangka panjang adalah momen-
momen yang berkesan dan memiliki nilai historis dalam hidup seseorang, seperti:
kejadian membanggakan, kejadian memalukan, kejadian paling menggembirakan
dan lain sebagainya.
6. Perubahan Psikososial
Pensiun adalah nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pension, ia akan
mengalami kehilangan-kehilangan antara lain :
d. Kehilangan pekerjaan / kegiatan.
f. Perubahan dalam hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih
sempit.
h. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
i. Gangguan syaraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.
j. Gangguan gizi akibat kehilanan jabatan.
k. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman
dan keluarga besar.
dan keluarga besar.
m. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri (Wahjudi, Nugroho, 2000).
7. Perubahan Kemampuan Mental
Seperti yang terjadi pada penurunan dalam aspek lainnya, penurunan mental untuk
setiap individu juga sangat bebeda. Tidak ada usia tertentu yang diaggap sebagai awal
mula terjadinya penurunan mental dan tidak ada pola khusus dalam penurunan mental
yang berlaku untuk semua orang berusia lanjut. Secara umum, mereka yang
mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi secara relatif, penurunan dalam
efisiensi mental kurang dibanding mereka yang pengalaman intelektualnya redah.
Terdapat perbedaan dalam tingkat penurunan mental di antara individu dalam usia
yang sama, pada individu yang sama juga terjadi perbedaan tingkat penurunan
kemampuan mental yang berbeda. Bahkan pada waktu elemen kecepatan dibatasi
kemudian diberikan tes sebagai penguji kekuatan untuk mengukur perbedaan
kemampuan mental, ternyata ditemukan tingkat penuruunan mental, ternyata
ditemukan tingkat penurunan mental yang bervariasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan mental adalah ; perubahan fisik khususnya organ perasa,
kesehatan, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan.
8. Perubahan Spiritual
terjadi pada lansia (Mujahidullah, Khalid. 2012)
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
b. Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam
berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun adalah universalizing, perkembangan
yag dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai dan keadilan
2.2 Konsep Spiritual Well Bieng
2.2.1 Pengertian Spiritual
kompleks dan multisistem, serta berkembangnya pemahamanan dan pengakuan
mengenai aspek spiritual dalam perkembangan individu, menjadi pendorong
munculnya berbagai kajiankajian ilmiah mengenai konsep spiritual. Bahkan Jung
(dalam Stanard, Sandhu, & Painter, 2000) menegaskan bahwa individu pada dasarnya
bukan hanya sekedar makhluk psikoseksual dan psikososial saja, akan tetapi individu
juga merupakan makhluk psikospiritual. Konsep spiritual/spiritualitas, secara
etimologis kata spiritual/spiritualitas (spirituality), berasal dari kata Latin spiritus
yang berarti: breath of life (nafas kehidupan), wind (angin), vigor (kekuatan/tenaga),
courage (keberanian/keteguhan hati) (Miller, 2003 dalam Immaduddin, 2011); soul
(roh/sukma), self (diri), truth (kebenaran), God (Tuhan) (Shadu: 1975 dalam
Immaduddin, 2011). Kata spiritus dalam arti nafas kehidupan atau roh adalah lawan
kata anima.Pengertian tersebut sama artinya dengan kata-kata dalam beberapa bahasa,
antara lain: psykhe sebagai lawan kata pneuma dalam bahasa Yunani; ruach sebagai
lawan kata neshama dalam bahasa Ibrani; espirit dalam bahasa Perancis Kuno (Abad
13); prana dalam bahasa India (Imaddudin, 2011).
Makna spiritual dapat dimaknai sebagai transendensi yang merupakan capaian
tertinggi dalam perkembangan individu, sebagai motivasi yang mendorong individu
dalam mencari makna dan tujuan hidup, sebagai ciri kemanusiaan yang membedakan
individu dengan makhluk yang lainnya, dan sebagai dimensi kemanusiaan yang dapat
menjadi indikator kesehatan individu (Ingersol & Bauer, 2004).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
istilah spiritual merupakan bagian dari perkembangan individu, aspek spiritual dapat
mendorong individu untuk mencari hakikat mengenai keberadaan diri, yang pada
akhirnya dapat memandu individu dalam mencapai aktualisasi diri sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga individu mampu mengapresiasi keindahan,
kebenaran, kesatuan, dan pengorbanan dalam hidup, serta individu mampu
menghargai individu lain dan makhluk hidup lainnya.
Spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang
diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Spiritualitas dalam konteks
perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat
dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta.
Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin
hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak
untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan
dengan sesama.
keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan
lainnya. Hal ini senada dengan penjelasan Abin Syamsuddin (2007) yang menyatakan
bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan
perilaku sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan
keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan
perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif). Hal ini dimungkinkan
karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan
makhluk beragama.
Syamsuddin, 2007) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great
power) dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang
mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Pendapat tersebut di atas,
menegaskan bahwa perkembangan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan
lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan
keagamaan.
Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan
spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif.
Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan
berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang
menjadi ranah perkembangan kognitif. Boyatzis (Hood, Jr. et.al, 2009) sekalipun teori
perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat,
akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek
lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan
penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif. Artinya
dari pendapat ini, untuk memahami bagaimana perkembangan kesejahteraan spiritual
lansia, maka perlu memahami ragam aspek perkembangan lainnya seperti aspek
perkembangan kognitif, moral, sosial, dan aspek perkembangan penghayatan
keagamaan.
dapat menggambarkan bagaimana spiritualitas seseorang. Terdapat beberapa
karakteristik spiritualitas (Hamid, 2009), meliputi:
1. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu
siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut
kepercayaan pada diri-sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan
pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri
seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya
memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup,
optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais
& Wilkinson, 1995).
a. Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985) kepercayaan bersifat
universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak
dapat dibuktikan dengan pikran yang logis. Kepercayaan dapat memberikan arti hidup
dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai
kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga
dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas.
b. Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan
merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya
dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu
untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih
cenderung terkena penyakit (Grimm, 1991).
c. Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui makna hidup,
yang kadang diidentikan dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan hidup
sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang
nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa
mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004).
2. Hubungan dengan orang lain
Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang
lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber secara
timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis mencakup
konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan
friksi, serta keterbatasan asosiasi (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan,
menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan
dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila seseorang
mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat memberi
bantuan psikologis dan sosial (Carm & Carm, 2000).
a. Maaf dan pengampunan (forgiveness). Menyadari kemampuan untuk menggunakan
sumber dan kekuatan dalam diri sendiri seperti marah, mengingkari, rasa bersalah,
malu, bingung, meyakini bahwa Tuhan sedang menghukum serta mengembangkan
arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. Dengan
pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas,
depresi dan tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan
perasaan damai (Puchalski, 2004).
b. Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support). Keinginan untuk
menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui
keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan
bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit. Seseorang yang
mempunyai pengalaman cinta kasih dan dukungan sosial yang kuat cenderung untuk
menentang perilaku tidak sehat dan melindungi individu dari penyakit jantung (Hart,
2002).
alam serta melindungi alam tersebut (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
a. Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam
menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan
rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul
perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan hal-hal yang dianggap penting
dalam hidup seperti nonton televisi, dengar musik, olah raga dan lain-lain (Puchalski,
2004).
b. Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan.
Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan
status kesehatan (Hamid, 2000).
4. Hubungan dengan Tuhan
Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut sembahyang dan
berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan keagamaan, serta bersatu
dengan alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Hubungan dengan Tuhan dilihat
dari religus atau tidak religiusnya seseorang, seperti melakukan kegiatan do’a atau
meditasi, membaca kitab atau buku keagamaan, dan berpartisipasi dalam kelompok
keagamaan (Hawari 2009). Hubungan dengan Tuhan pada agama Islam terdapat
dimensi kesehatan jiwa. Iman kepada Allah besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa
manusia dimana orang yang beriman itu selalu ingat kepada Allah (dzikrullah/zikir)
sehingga perasaan tenang selalu menyertainya. Pikiran, persaaan dan perilakunya baik
dengan tidak melanggar hukum, norma, moral dan etika kehidupan serta tidak
merugikan orang lain karena orang tersebut tahu benar dan yakin apa yang dilakukan
itu semua dicatat oleh malaikat.
Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila mampu
merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di
dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu
kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina
integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah
terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif
(Hamid, 1999).
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi spiritual
Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2000), faktor
penting yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah :
1. Tahap perkembangan
Anak-anak mempunyai persepsi yang berbeda tentang Tuhan dan bentuk sembahyang
berdasarkan usia, seks, agama dan kepribadian anak. Spiritualitas berhubungan
dengan kekuasaan non material, sehingga seseorang harus memiliki beberapa
kemampuan berpikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu.
Tidak begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan dan agama, tapi individu
belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku keluarganya. Oleh
karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimana
individu mempunyai pandangan, pengalaman tehadap dunia yang diwarnai oleh
pengalaman dengan keluarganya (Taylor, Lillis & LeMone, 1997).
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya.
Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak
belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan
keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi Spiritual
sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan
secara spiritual pengalaman tersebut (Taylor, Lilis dan Lemon, 1997). Peristiwa
dalam kehidupan seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan
kepada manusia menguji imannya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual seseorang. Krisis sering
dialami ketika seseorang menghadi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan
dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan
prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fiskal dan emosional (Toth, 1992;
dikutip dari Craven & Hirnle, 1996).
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu merasa
terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan
hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi,
mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau
teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat diinginkan (Hamid, 2000)
2.2.4. Spiritualitas dalam perspektif Islam
Konsep spiritualitas dalam terminologi Islam, berhubungan langsung dengan Al
Qur’an dan Sunnah Nabi. Nasr (1994) menyatakan bahwa ayat-ayat Al Qur’an dan
perilaku Nabi Muhammad mengandung praktik-praktik serta makna spiritual. Nabi
mengajarkan beragam cara untuk meraih kehidupan spiritual yang tertinggi, yang
dikenal sebagai tasawuf. Tasafuw adalah salah satu cabang ilmu Islam yang
menekankan dimensi atau aspek spiritual. Tasawuf lebih mengarah pada aspek rohani
dari pada aspek jasmani. Tasafuw berasal dari kata shafa yang artinya kesucian jiwa.
Tasawuf merupakan proses penyucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar ke
jalan Allah, maka seseorang harus menempuh tahap-tahap spiritualitas yang dalam
ilmu tasawuf disebut dengan Maqamat (M.Solihin dan Rasihan Anwar, 2002).
Maqamat berarti kedudukan seorang hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakannya. Maqamat bisa berarti jalan panjang yang harus ditempuh
oleh orang spiritual untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Menurut Imam Al
Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah tahapan adab seorang hamba dalam
mendekatkan diri kepada-Nya dengan bermacam-macam upaya yang diwujudkan
dengan suatu tujuan pencapaian dan ukuran tugas serta masing-masing individu
berbeda dalam tahapannya (Samsul Munir Amin, 2012). Berkaitan dengan macam-
macam maqamat yang harus dtempuh oleh seorang hamba untuk sedekat mungkin
dengan Allah terdapat beberapa ahli memiliki pendapatnya. Menurut Al Ghazali
(dalam Hamzah Tulaeka, 2012), menyatakan bahwa maqamat atau tahap spiritual
terdiri dari delapan tingkat yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakkal, mahabbah, ridha dan
ma’rifat. Menurut As Sarraj ath-Thusi maqamat terdiri dari tujuh tingkat yaitu taubat,
wara’ zuhud. Faqr, sabar, ridha dan tawakkal.
Tingkatan spiritual tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat adalah memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan
dan dengan bersungguh-sungguh berjanji untuk tidak mengulanginya kembali diiringi
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah (Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin). Pada tingkat terendah, aubat menyangkut dosa yang dilakukan
jasad atau anggota badan. Pada tingkat menengah taubat menyangkut pangkal dosa-
dosa seperti dengki sombong dan riya. Tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut
usaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah.
Pada tingkat akhir penyeleseaian atas kelengkapan pikiran dalam mengingat Allah.
2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia. Secara umum zuhud
berarti suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan
yaitu peda tingkatan terendah zuhud berarti menjauhkan dunia ini agar terhindar dari
hukuman di akhirat. Pada tingkatan kedua, menjauhi dunia dengan menimbang
imbalan di akhirat, dan pada tingkat ke tiga, mengucilkan dunia bukan karena takut
atau berharap tetapi karena cinta pada Allah
3. Sabar
Sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sabar terdiri dari tiga tingkatan yaitu tingkat satu sabar untuk Allah yaitu keteguhan
hati dalam melaksanakan keteguhan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Ke dua adalah sabar bersama Allah yaitu keteguhan hati dalam menerima segala
keputusan dan tindakan Allah, serta ketiga adalah sabar atas Allah yaitu keteguhan
hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan-Nya seperti rizki
dan kesulitan hidup.
Wara’ secara harfiah adalah menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Pengertian
wara’ dalam pandangan kaum sufi adalah meninggalkan sesuatu yang tidak jelas
hukumnya baik menyangkut makanan, pakaian dan lainnya (Revay Siregar, 2000).
Wara’ secara lahiriah tidak menggunakan segala ang masih diragukan dan
meninggalkankemewahan. Sedangkan secara batiniah adalah tidak menempatkan atau
mengisi hati dengan mengingat Allah.
5. Fakir
Fakir mengandung arti bahwa semua manusia secara universal membutuhkan Allah.
Menurut Al Ghazali (dalam Totok dan Samsul), fakir dibagi dua macam, yaitu fakir
secara umum merupakan hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga
eksistensinya. Sikap ini wajib karena menjadi sebagian iman dan buah dari ma’rifat.
Fakir uqayyad (terbatas) adalah kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia
yang dapat dipenuhi oleh selain Allah.
6. Tawakkal
Tawakkal adalah menyerahkan diri, pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah
setelah melakukan rencana atau usaha. Tawakkal; terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu
tawakal atau menyerahkan diri pada Allah seperti seseorang yang menyerahkan
perkaranya keada pengacara, tawakkal atau menyerahkan diri pada Allah seperti
seorang bayi menyerahkan diri pada ibunya dan derajat tawakkal tertinggi adalah
menyerahkan diri kepada Allah seperti jenazah di tengah petugas yang
memandikannya.
7. Ridha
Ridha adalah rela, senang dan suka. Secara umum berarti tidak menentang qadha, dan
qadar nya Allah, menerima qadha, dan qadar dengan hati senang. Tanda-tanda orang
yang telah ridha adala: mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyap
rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang bergelora saat diberi cobaan.
8. Mahabah
Mahabah berasal dari kata bahasa Arab yaitu ahabbah yuhibbu mahabbatan yang
berarti mencintai secara mendalam. Pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu
usaha sungguh-sungguh untuk mencapai tingkatan rohani tertinggi dengan
terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Kecintaan dan kerinduan
kepada Allah adalah salah satu simbol yang disukai sufi untuk menyatakan rasa
kedekatan dengan-Nya. Untuk menjelaskan makna cinta Ilahi ini agak sulit karena
menyankut apa yang dirasakan orang lain.
9. Ma’rifat
Ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan rahasia hakekat agama yaitu ilmu yang lebih
tinggi dari pada ilmu yang didapat pada umumnya dan merupakan pengetahuan yang
obyeknya bukan hal yang bersifat dhahir, tetapi bersifat batin yaitu pengetahuan
mengenai rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan
Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan - peraturan
Allah tentang segala hal.
Kebahagiaan menurut Snyder dan Lopez (2007) merupakan emosi positif yang
dirasakan secara subjektif oleh setiap individu. Kebahagiaan dapat mengarahkan pada
perasaan positif yaitu seperti perasaan sukacita, ketenangan dan keadaan positif yang
ditunjukkan dengan level kepuasan hidup dan afek positif yang tinggi dan diikuti
dengan afek negatif yang rendah (Carr, 2004). Kebahagiaan atau happiness menurut
Diener (2011) mempunyai makna yang sama dengan subjective well-being
(kesejahteraan subjektif). Istilah kesejahteraan subjektif mengacu pada evaluasi
individu dalam suatu kehidupan yang meliputi penilaian kognitif, afektif dan
termasuk di dalamnya kepuasan individu terhadap kehidupan. Menurut Seligman
(2005) kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang
dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai. Kebahagiaan ini
biasanya ditandai dengan lebih banyak afek positif yang dirasakan individu dari pada
afek negatif. Kebahagiaan juga sebagai apresiasi keseluruhan hidup seseorang, dan
seberapa banyak individu menyukai dengan kehidupan yang dimiliki.
Berdasarkan definisi para ahli di atas, kebahagiaan dapat disimpulkan sebagai
perasaan positif yang berasal dari kepuasan atas keseluruhan hidup yang ditandai
dengan adanya kesenangan yang dirasakan oleh individu ketika melakukan sesuatu
hal yang disenangi di dalam kehidupan.
2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan
Diener (2011) menyatakan bahwa kebahagiaan atau happiness mempunyai makna
yang sama dengan subjective well-Being. Menurut Diener, Suh, Lucas dan Smith
(1999) terdapat 2 komponen dasar Subjective Well-Being, yaitu kepuasan hidup (life
satisfaction) sebagai komponen kognitif, sedangkan afek positif (pleasant) dan afek
negatif (unpleasant) sebagai komponen afektif. Afek positif adalah emosi positif atau
emosi menyenangkan yang merupakan bagian dari Subjective Well-Being. Seseorang
dapat dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi jika individu seringkali
merasakan emosi positif (Diener, 2011). Emosi positif tersebut dapat digambarkan
dengan perasaan seseorang yang semangat, aktif dan selalu siap dalam segala hal.
Afek negatif yaitu suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan. Menurut Diener
dan Larsen (1985) seseorang dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi
jika individu jarang sekali mengalami emosi negatif. Keadaan afek negatif yang tinggi
adalah keadaan dimana seseorang merasakan kemarahan, kebencian jijik, rasa
bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa pengalaman
merasakan emosi negatif yang berkepanjangan dapat mengganggu seseorang dalam
bertingkah laku secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat
membuat hidup tidak menyenangkan.
global. Penilaian umum atas kepuasan hidup merepresentasikan evaluasi yang
berdasar kognitif dari sebuah kehidupan seseorang secara. Selain itu Diener, Suh,
Lucas, dan Smith (1999) menambahkan ada 7 domain kepuasan yang
menggambarkan kebahagiaan pada individu seperti diri sendiri, keluarga, teman
sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Andrews dan Mckennell
(1980) juga membagi 2 komponen yang mempengaruhi kebahagiaan yaitu:
1. Komponen afektif adalah afek yang mengacu pada emosional yang
mempengaruhi rasa kebahagiaan, menyenangkan, dan kenikmatan. Komponen
afektif adalah sejauh mana pengalaman menyenangkan mempengaruhi individu
yang disebut juga dengan tingkat hedonis
2. Komponen kognitif, mengacu pada rasional individu yaitu aspek respon
seseorang, didalamnya terdapat kepuasan, kesuksesan, dan bertemu dengan
kebutuhan kebutuhan lainnya. Komponen kognitif adalah sejauh mana individu
merasakan aspirasinya (cita citanya) yang harus dipenuhi dapat juga disebut
dengan kepuasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan di antaranya yaitu:
1. Kekayaan
Menurut Kasser (dalam Polak & McCullough, 2006) kekayaan seperti halnya harta
benda merupakan suatu kebutuhan dasar yang memang diperlukan oleh setiap orang,
namun apabila seseorang lebih terfokus pada kekayaan maka akan merusak
kebahagiaan dan kepuasan psikologis individu. Sebagaimana Polak & McCullough
(2006) menambahkan seseorang yang sering mengejar tujuan-tujuan kekayaan agar
tercapai suatu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup, namun hal tersebut justru
terlihat individu merasa tidak bahagia dengan kondisi hidupnya.
2. Pernikahan
kebahagiaan. Pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat
membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki
anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan
identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004).
3. Religiusitas
Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang
yang tidak religius (Seligman, 2005). Carr (2004) juga menambahkan keterlibatan
dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang
lebih baik yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak
berlebihan dalam makanan dan minuman, dan bekerja keras. Didukung juga oleh
penelitian yang dilakukan oleh Elfida (2008) menunjukkan bahwa keyakinan religius
memberikan kontribusi yang besar terhadap kebahagiaan individu.
4. Syukur
penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) terhadap
mahasiswa dengan praktek syukur, hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa
yang melakukan praktek bersyukur dilaporkan setiap minggunya memiliki emosi
positif dan kegiatan positif yang lebih tinggi seperti rutin berolahraga, merasa lebih
baik mengenai kehidupan, lebih optimis, menjadi lebih tinggi tingkat kewaspadaan,
antusias, dan memiliki tekad. Penelitian ketiga dari Emmons dan McCullough (2003)
juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki penyakit neuromuskuler namun
merasa bersyukur dengan kondisi tersebut dapat memberikan dampak yang positif
terhadap kesejahteraan inidvidu.
5. Kehidupan sosial
Orang yang bahagia biasanya memiliki efek yang positif berkenaan dengan kehidupan
sosial, seperti halnya lebih banyak memiliki teman, memiliki dukungan sosial yang
kuat serta berinteraksi sosial dengan lebih baik (Lyubomirsky, Schkade & Sheldon,
2005).
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi setiap individu. Ketika individu
merasa sakit terkadang kebahagiaan terasa sedikit berkurang. Sebagaimana Okun dkk
(dalam Polak & McCullough, 2006) mengungkapkan ada hubungan kesehatan yang
buruk dengan ketidakbahagiaan dan kesusahan. Kajian Mayo Clinic (dalam Seligman,
2005) juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kebiasaan
yang lebih baik berkenaan dengan kesehatan, memiliki tekanan darah yang lebih
rendah, dan system kekebalan tubuh yang lebih kuat daripada orang yang kurang
bahagia. Sementara itu Aspinwall (dalam Seligman, 2005) juga mengatakan bahwa
orang yang bahagia memiliki kesadaran yang lebih baik mengenai kesehatan, dan
kebahagiaan merupakan salah satu faktor untuk memanjangkan usia dan dapat
meningkatkan kesehatan. Menurut Lyubomirsky, King dan Diener (2005)
kebahagiaan menunjukkan korelasi yang positif dengan indikator kesehatan mental
dan fisik. Kebahagiaan mempengaruhi kesehatan melalui dampaknya pada hubungan
sosial, perilaku sehat, serta kemungkinan berefek pada fungsi kekebalan tubuh
individu. Seligman dkk (dalam Diener & Chan, 2011) juga menambahkan bahwa
kesejahteraan subjektif memiliki manfaat yang positif mengenai kesehatan fisik
seperti lebih cepat dalam penyembuhan luka dan memiliki tekanan darah yang lebih
rendah.
7. Usia dan jenis kelamin
Menurut Freedman (dalam Polak & McCullough, 2006) orang yang berusia lebih tua
kemungkinan bisa menerima dan memiliki kepuasan hidup dibandingkan yang
berusia lebih muda, karena yang berusia lebih tua memiliki makna dan arah hidup
yang lebih pasti dan lebih percaya diri dalam nilai-nilai kemudian juga lebih optimis
daripada yang berusia lebih muda. Berdasarkan tingkat kebahagiaan ditinjau dari jenis
kelamin yaitu antara laki-laki dan perempuan sebetulnya tidak memiliki perbedaan
yang cukup jauh mengenai keadaan emosinya, namun terkadang perempuan
cenderung dilaporkan lebih memiliki afek negatif dan sekaligus lebih bahagia
dibandingkan laki-laki (Diener, 2011).
diantaranya adalah kehidupan sosial, pernikahan dan kekayaan.
2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan
Penelitian ini akan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Argyle, Martin &
Crossland yaitu menggunakan Oxford Happines Questionnaire (OHQ) yang
mengungkapkan aspek-aspek happiness antara lain : Life satisfaction, Joy, Self
Esteem, Calm, Control dan Efficacy (Liaghatdar, 2008) Adapun skala ini disesuaikan
dengan menerjemahkan bahasanya dan memodifikasi struktur bahasanya supaya item
yang dipergunakan dapat dipahami oleh subyek. Komponen yang dikembangkan oleh
(Hills,P dan Argyle, M.2002) dalam Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) antara
lain :
1. Life Satisfaction : (Kepuasan hidup) mencakup seperti satisfied with life, life is
rewarding, warmth for other, interested in others, interested in others, optimistic,
find beauty in things, in control, life has meaning and purpose
2. Joy : (Kegembiraan) mencakup seperti mentally alert, pleased with self, have fun
with others, wake up rested, laugh a lot, feel happy, make decisions easily
3. Self-esteem : (Harga Diri) mencakup seperti world is good, committed and
involved, look attractive, life is good, feel energetic
4. Calm : (Ketenangan) mencakup seperti find things amusing, can organize time,
happy memories
5. Control : (Kontrol Diri) mencakup seperti joy and elation, cheerful effect on
others, done things wanted, can do most things
6. Efficacy : (Kemudahan) mencakup seperti feel healthy
2.4 Sikap penerimaan diri
menrima keberadaan diri sendiri. Sikap penrimaan diri dapat dilakukan secara
realistis maupun tidak realistis. Sikap penerimaan diri secara realistis ditandai
dengan kemampuan individu dalam melihat kelemahan maupun kelebihan diri
secara obyektif, sedangankan penerimaan diri tidak realistis terjadi jika seseorang
menilai kelebihan diri sendiri secara berlebihan, menolak kelemahan diri
mengingkari hal-hal buruk pada diri sendiri, seperti mengingkari atau melihat
secara berlebihan pengalaman traumatis masa lalu (Agoes, 2007).
Penerimaan diri dapat ditunjukkan dengan adanya pengakuan seseorang terhadap
kelebihan-kelebihannya sekaligus kelemahan atau kekurangannya tanpa
menyalahkan orang lain. Penerimaan diri merupakan sikap yang positif terhadap
diri sendiri, menerima keadaan diri, dan menghargai diri dan orang lain, serta
menerima keadaan emosionalnya. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan
kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya.
Individu yang memiliki penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan
dapat menerima kelemahannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Hjelle
dan Ziegler (1981 dalam Sari dan Nuryoto 2002) yang menyatakan bahwa
individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi terhadap frustrasi atau
kejadian-kejadian yang menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-
kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat
menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan
kelemahan. Jadi, individu yang mampu menerima dirinya adalah individu yang
dapat menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima
kelebihannya.
Menurut Jersild (1963, dalam Sari dan Nuryoto 2002), beberapa karakteristik
individu dalam penerimaan diri secara baik, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Berpikir lebih
realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan
orang lain adalah salah satu sikap yang ditunjukkan oleh individu yang
memiliki penerimaan diri yang baik. individu tersebut dapat melakukan
sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.
2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. Individu
yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam
dirinya, lebih baik dari pada individu yang tidak memiliki penerimaan diri.
3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri. Seseorang individu yang
terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan infiority complex
adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal
tersebut akan mengganggu penilaian yang realistis atas dirinya.
4. Respon atas penolakan dan kritikan. Individu yang memiliki penerimaan diri
tidak menyukai kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk
menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut.
5. Keseimbangan antara real self dan ideal self. Individu yang memiliki
penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan
dari dalam dirinya dengan baik yang memungkinkan individu memiliki
ambisi secara benar, namun tidak mungkin mencapainya walaupun dalam
jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu,
dalam mencapai tujuannya individu mempersiapkan hal-hal yang mungkin
dapat dicapai, untuk memastikan agar dirinya tidak ada kecewa di kemudian
hari.
6. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Hal ini berarti apabila seorang
individu menyayangi dirinya, dan mampu menerima segala kekuatan dan
kekurangan diri, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi
orang lain dan menerima orang lain dengan baik.
7. Menuruti kehendak dan menonjolkan diri. Apabila seorang individu
menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu tersebut memanjakan
dirinya, akan tetapi individu akan menerima bahkan menuntut kelayakan
dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya, individu
dengan penerimaan diri menghargai harapan orang lain dan meresponnya
dengan bijak.
mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam
hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang
dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari
sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
9. Aspek moral penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri bukanlah
individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal
moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu
memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa
nantinya, dan tidak menyukai kepura-puraan.
10. Sikap terhadap penerimaan diri. Individu yang dapat menerima hidupnya
akan menunjukkan sikap menerima apapun kekurangan yang dimilikinya
tanpa harus malu ketika berada di lingkungan sosialnya.
Menurut Bastaman (2007), terdapat beberapa komponen yang menentukan
keberhasilan seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:
1. Pemahaman diri (Self Insight). Yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya
kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke
arah kondisi yang lebih baik.
2. Makna hidup (the meaning of life). Nilai-nilai penting yang bermakna bagi
kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus
dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.
3. Pengubahan sikap (changing attitude). Merubah diri yang bersikap negatif
menjadi positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah.
4. Keikatan diri (self commitment). Merupakan komitmen individu terhadap
makna hidup yang ditetapkan. Komitmen yang kuat akan membawa diri pada
hidup yang lebih bermakna dan mendalam.
5. Kegiatan terarah (directed activities). Suatu upaya-upaya yang dilakukan
secara sadar dan sengaja, berupa pengembangan potensi pribadi yang positif
serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk mencapai tujuan hidup.
6. Dukungan sosial (social support). Yaitu hadirnya seseorang atau sejumlah
orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu sedia memberi bantuan pada
saat-saat diperlukan.
selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah. Apabila hal itu
berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan merangkul apapun yang terjadi
dalam hidup seorang individu. Penjelasan mengenai tahapan penerimaan diri
adalah sebagai berikut:
perasaan yang membuat tidak nyaman adalah kebencian atau keengganan.
Kebencian/keengganan ini juga dapat membentuk keterikatan mental atau
perenungan, mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk menghilangkan
perasaan tersebut.
2. Curiosity (melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian). Pada tahapan ini
individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu
untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya muncul adalah
"Perasaan apa ini?, Apa artinya perasaan ini?, Kapan perasaan ini terjadi".
3. Tolerance (menanggung derita dengan aman). Toleransi berarti menanggung
rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan
berharap perasaan tersebut akan segera hilang.
4. Allowing (membiarkan perasaan datang dan pergi). Setelah melalui proses
bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai
membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara
terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
5. Friendship (merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi). Individu
melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya. Hal ini
merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan diri.
Menurut Hurlock (1996 dalam Sari dan Nuryoto 2002), terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:
1. Pemahaman Diri. Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang
ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan,
kebenaran bukan kebohongan, keterus-terangan bukan berbelit-belit.
2. Harapan yang realistis. Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang
akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis, kesempatan untuk
mencapai sukses tersebut akan muncul, sehingga akan terbentuk kepuasan diri
sendiri yang pada akhirnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri
sendiri.
individu untuk mengontrol adanya hambatan-hambatan dari lingkungan,
misalnya: diskriminasi, ras, gender, dan kepercayaan.
4. Tidak adanya tekanan emosi yang berat. Tekanan yang berat dan terus
menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja atau rumah, dimana kondisi
sedang tidak baik, dapat mengakibatkan gangguan yang berat, sehingga
tingkah laku orang tersebut dinilai menyimpang dan orang lain menjadi
terlihat selalu mencela dan menolak orang tersebut.
5. Sukses yang sering terjadi. Kegagalan yang sering menimpa menjadikan
seseorang menolak terhadap diri sendiri, sebaliknya kesuksesan yang sering
terjadi menumbuhkan penerimaan terhadap diri sendiri.
6. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang baik akan menghasilkan penerimaan
diri yang baik namun sebaliknya bila konsep diri yang buruk secara alami
akan menghasilkan penolakan terhadap diri sendiri.
2.5 Regulasi emosi
Gross (2002 dalam Hidayat 2016) mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah
suatu proses individu mempengaruhi emosinya, ketika individu memiliki emosi
tersebut dan bagaimana suatu emosi dialami dan diekspresikan. Tice dan
Bratslavsky (Gallo, Keil, McCulloch, Rockstoh & Gollwitzer, 2009 dalam
Hidayat 2016) menuliskan bahwa regulasi emosi bisa berbentuk penghindaran
respon dengan melakukan sekumpulan tindakan untuk memunculkan emosi yang
berlawanan, seperti bersantai untuk menghilangkan perasaan cemas. Gross dan
Thompson (Lane, Bucknall, Davis, & Beedie, 2012 dalam Hidayat 2016)
mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah strategi yang digunakan dengan
sengaja maupun otomatis untuk memulai, mempertahankan, dan menampilkan
emosi. Gross dan Levenson (1993 dalam Hidayat 2016) mendefinisikan regulasi
emosi sebagai manipulasi yang dilakukan dalam diri untuk mempengaruhi emosi
atau reaksi fisiologis, atau komponen perilaku yang dapat menimbulkan respon
emosional.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah proses yang digunakan oleh individu
untuk mempengaruhi emosinya, serta bagaimana cara menampilkan atau
mengekspresikan emosinya.
Gross (2002) dalam penelitiannya menyajikan model strategi regulasi emosi yang
bisa dilakukan, diantaranya adalah antecedent focused strategies dan response
focused strategies. Antecedent focused strategies adalah hal-hal yang dilakukan
individu sebelum merespon secara penuh suatu tekanan kemudian merubah
perilaku dan emosinya. Response focused strategies merupakan hal hal yang
dilakukan setelah emosi muncul.
Menurut Gross (2002 dalam Hidayat 2016), proses emosi terdiri dari lima tahap
yaitu:
Pemilihan situasi mengacu pada memilih untuk mendekati atau menghindari
orang-orang, tempat, atau hal-hal tertentu untuk mengatur atau meregulasi emosi.
Misalnya, seorang lansia memilih makan malam bersama seorang teman yang
dapat membuat lansia tersebut selalu tertawa, dibandingkan dengan bergabung
dengan lansia yang membuatnya sedih. Pemilihan situasi ini memberikan
dampak untuk jangka pendek dan jangka panjang, misalnya seorang lansia
pemalu berupaya mengurangi kecemasan dengan menghindari situasi sosial yang
dapat membantu dalam waktu jangka pendek, namun tindakan tersebut dalam
jangka panjang akan berdampak pada isolasi sosial.
2. Situation modification (modifikasi situasi)
Merupakan usaha memodifikasi satu keadaan secara langsung untuk
mendatangkan situasi baru. Modifikasi situasi yang dimaksud di sini dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan fisik eksternal maupun internal.
Gross (2007 dalam Hidayat 2016) menganggap bahwa upaya memodifikasi
internal lingkungan yaitu pada bagian perubahan kognitif. Misalkan jika salah
satu lansia tampak marah, maka dapat menghentikan interaksi marah kemudian
mengungkapkan dengan keprihatinan, meminta maaf, atau memberikankan
dukungan.
Attentional deployment dapat dianggap sebagai versi intenal dari seleksi situasi.
Dua strategi attensional yang utama adalah distraksi dan konsentrasi. Distraksi
memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang berbeda dari situasi yang
dihadapi, atau memindahkan perhatian dari situasi itu ke situasi lain, misalnya
ketika seorang lansia mengalihkan pandangannya dari stimulus yang dapat
membangkitkan emosi untuk mengurangi stimulasi. Attentional deployment bisa
memiliki banyak bentuk, termasuk pengalihan perhatian secara fisik (misalnya
menutup mata atau telinga), pengubahan arah perhatian secara internal (misalnya
melalui distraksi atau konsentrasi), dan merespon pengalihan.
4. Cognitive change (perubahan kognitif)
Perubahan penilaian yang dibuat oleh individu, termasuk pertahanan psikologis
dan pembuatan pembandingan sosial dengan yang ada di bawahnya (keadaannya
lebih buruk daripada saya). Hal ini merupakan transformasi kognisi untuk
mengubah pengaruh kuat emosi dari situasi. Perubahan kognitif mengacu pada
cara individu mengubah dan menilai situasi di mana seseorang terlibat di
dalamnya, seperti mengubah emosionalnya, dengan memikirkan tentang
situasinya atau tentang kapasitas individu tersebut untuk menanganinya.
5. Response modulation (perubahan respon)
Modulasi respon mengacu pada usaha individu untuk mempengaruhi tendensi
respon emosi yang siap untuk dimunculkan. Modulasi respon dipengaruhi oleh
respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku, misalnya lansia melakukan olahraga
dan relaksasi untuk mengurangi aspek fisiologis, pengalaman emosi negatif,
dengan menggunakan obat, rokok dan makanan.
Tahap 1-4 berfokus pada penyebab masalah, sedangkan tahap 5 berfokus pada
respon yang akan dihasilkan. Selain itu, terdapat juga dua konsekuensi dalam
meregulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan suppression. Gross (2002 dalam
Hidayat 2016) cognitive reappraisal merupakan cara mengubah situasi yang
dianggap dapat mengurangi dampak emosional. Suppression adalah cara
menghambat pertanda yang berasal dari luar perasaan. Mcrae, Heller, John, dan
Gross (2011 dalam Hidayat 2016) juga menuliskan bahwa suppression adalah
strategi yang digunakan untuk menghambat penampakan emosi, sedangkan
cognitive reappraisal adalah strategi yang melibatkan pikiran untuk kemudian
mengubah emosi. Keenan (2013 dalam Hidayat 2016) menuliskan bahwa
suppression terlibat secara aktif dalam menghambat pengalaman emosi secara
internal dan eksternal, baik secara verbal (lisan) atau mengontrol ekspresi wajah
sehingga emosi tidak tersampaikan, sedangkan cognitive reappraisal melibatkan
pikiran (kognitif) lebih dulu sebelum proses aktivasi emosi. Hal ini melibatkan
bagaimana merubah pikiran tentang situasi emosi yang tepat (strategi ini secara
rinci berfokus pada tujuan untuk meningkatkan atau mengurangi respon emosi).
Konsekuensi dari regulasi emosi menurut Gross dan John (2004 dalam Hidayat
2016) yaitu:
fisiologis.
b. Suppression mengurangi ekspresi perilaku dari emosi negatif tetapi tidak
menurunkan pengalaman subjektif dari emosi.
2. Konsekuensi kognitif:
a. Cognitive Reapraisal tidak membutuhkan regulasi diri yang terus- menerus
atau berkelanjutan.
penekanan dilakukan sehingga mengurangi kemampuan kognitif dalam
mengingat kembali peristiwa yang terjadi ketika dilakukan penekanan.
3. Konsekuensi sosial
dibandingkan dengan suppression karena cognitive reappraisal
mengurangi pengalaman emosi negatif dan ketika meningkatkan emosi
positif
interaksi sosial.
Emosi setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan harus mengatur
kondisi emosinya. Faktor tersebut antara lain (Widiyastuti, 2014):
1. Faktor lingkungan. Lingkungan tempat individu berada termasuk lingkungan
keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat yang akan mempengaruhi
perkembangan emosi
2. Faktor pengalaman. Pengalaman yang diperoleh individu selama hidup akan
mempengaruhi perkembangan emosinya. Pengalaman selama hidup dalam
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan akan menjadi refrensi bagi
individu dalam menampilkan emosinya
3. Pola asuh orang tua. Pola asuh ada yang otoriter, memanjakan, acuh tak
acuh, dan ada juga yang penuh kasih sayang. Bentuk pola asuh itu akan
mempengaruhi pola emosi yang di kembangan individu.
4. Pengalaman traumatik. Kejadian masa lalu akan memberikan kesan traumatis
akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibat rasa takut dan
juga sikap terlalu waspada yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi
emosionalnya.
5. Jenis kelamin. Keadaan hormonal dan kondisi fisiologis pada laki-laki dan
perempuan menyebabkan perbedaan karakteristik emosi antara keduanya.
Wanita harus mengontrol perilaku agresif dan asertifnya. Hal ini
menyebabkan timbulnya kecemasan kecemasan dalam dirinya. Sehingga
secara otomatis perbedaan emosional antara pria dan wanita berbeda.
Perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan strategi regulasi emosi yang
digunakan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa laki-laki dewasa
muda lebih banyak menyalahkan diri sendiri saat meregulasi emosinya,
sedangkan perempuan dewasa muda lebih sering menyalahkan orang lain.
6. Usia. Kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
kematangan fisiologis seseorang. Semakin bertambah usia, kadar hormonal
seseorang menurun sehingga menggakibatkan penurunan pengaruh
emosional seseorang. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seiring
berjalannya usia, semakin dewasa individu semakin adaptif strategi regulasi
emosi yang digunakan (Gross, Richard & John, 2004 dalam dalam Hidayat
2016)
8. Perubahan pandangan luar. Perubahan pandangan luar dapat menimbulkan
konflik dalam emosi seseorang.
mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan
berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan
dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005,
dalam Anggraini, 2015)
No Judul Penulis Desain Variabel Hasil-kesimpulan
1 The Relationship
spiritual pada pasien
berdasarkan teori
of spiritual well-
being while in
of spiritual well-
being. Also, 71.2%
of the community
6. Spiritual
Bagan 3.1 Kerangka konsep pengaruh spiritual well being dengan metode konseling
dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
Keterangan:
Perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan
yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-perubahan yaitu
perubahan fisik berupa penampilan, fungsi fisiologi, perubahan mental berupa fungsi
kognitif dan kemampuan mental, perubahan psikologis dan sosial serta spiritual.
Perubahan ini mempunyai efek terhadap pelayanan kesehatan secara holistik pada
lansia yaitu pelayanan secara fisik, psikologis, sosial, budaya dan spiritual. Kebutuhan
spiritual pada lansia saat ini dapat dipengaruhi berbagai hal mulai dari tahap
perkembangan, peranan keluarga, latar belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup
sebelumnya, adanya krisis perubahan dan kemungkinan terpisah dari ikatan spiritual.
Aspek spiritual well being secara Islami dapat terjadi pada seseorang terdapat
tingkatan mulai dari taubat, Taubat, Sabar, Tawakal, Ridho Zuhud, Wara’, Fakir,
Mahabah dan tingkatan tertinggi adalah Ma’rifat. Untuk mencapai spiritual well being
yang berbasis Islami berbagai intervensi dapat dilakukan berupa konseling spiritual
dan dzikir. Intervensi ini diharapkan dapat mempengaruhi terjadinya spiritual well
being melalui mekanisme yang ada di otak manusia melalui sistem limbik sebagai
pusat informasi yang berhubungan langsung dengan amygdala. Proses ini berupa
kognitif yang pemikiran dan afektif yang berbentuk emosi. Seseorang harus
mendorong sikap penerimaan terhadap diri sendiri dan emosinya ke arah yang positif
maka akan terjadi kebahagiaan. Namun pikiran manusia untuk mencapai kebahagiaan
yang terproses di otak hanyalah instrumen yang dikaruniakan oleh Allah SWT untuk
menjalani kehidupannya dengan baik.
Group
01a Xa 02a
01b Xb 02b
01c Xab 02c
01d: Kelompok kontrol
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Sampling.
1. Populasi adalah semua lansia yang tinggal di UPTD Griya Werdha Surabaya.
Kriteria populasi adalah lansia yang dapat berkomunikasi dengan baik, tidak
mengalami gangguan pendengaran, tidak mengalami gangguan kognitif, tidak
depresi berjumlah 54 orang. Sedangkan untuk kelompok control adalah lansia
yang tinggal di Panti Werda Hargo Dedali dengan populasi 22 orang. Jumlah
populasi secara keseluruhan 76 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi lansia yang berjumlah 45 lansia untuk
3 kelompok intervensi dan 15 orang untuk kelompok kontrol
3. Besar sampel
(t-1) (r-1) > 15
46
52
jumlah perlakuan ada 3 kelompok, maka besar sampel untuk tiap
perlakuan dapat dihitung:
Untuk mengantisipasi hilangnya unit ekskperimen maka dilakukan
koreksi dengan 1/(1-f) di mana f adalah proporsi unit eksperimen yang
hilang atau mengundur diri atau drop out, sehingga: n= 9 (1+0,15) =
10,15
15 responden sehingga keseluruhan 60 orang
4. Tehnik sampling.
Random Sampling. Pengambilan sampel secara acak sederhana adalah
bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk diseleksi sebagai sampel.
4.3 Variabel penelitian.
1. Variabel intervensi penelitian ini adalah spiritual well being berbasis Islami
dengan metode konseling dan dzikir
2. Variabel dependen penelitian ini adalah sikap penerimaan diri, regulasi
emosi dan kebahagiaan lansia
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
53
No Variabel Definisi Alat ukur Skala
ukur
Hasil
ukur
sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan
kebahagiaan
Analisis
54
ukur
Hasil
ukur
qadar dengan hati senang
dilakukan kepada lansia yang
mengalami sesuatu masalah yang
bermuara pada teratasinya masalah
untuk mengingat Allah
perasaan, reaksi fisiologis, kognisi
yang berhubungan dengan emosi,
dan reaksi yang berhubungan
secara subyektif dirasakan lansia
dalam menghadapi kehidupan di
55
nomor 195/S/KEPK/VI/2018. Uji coba kuesioner dilakukan di PSTW
Pasuruan dengan uji validitas dan reliabilitas yaitu dengan membandingkan
nilai r tabel dengan nilai r hitung yaitu dengan menggunakan df=n-2 =20-
2=18. Pada tingkat kemaknaan 5% didapat angka r tabel adalah 0.444.
Menentukan nilai r hasil dapat dilihat pada kolom corrected item total
correlation. Bila r hasil > r tabel, maka pernyataan tersebut valid. Hasil uji
validitas kuesioner spiritual well being beberapa pernyataan dihilangkan yaitu
no 1,2,5,11,20,25 dan 28, uji reliabilitas alpha (0,933) > 0,444. Uji validitas
kebahagiaan pernyataan yang tidak valid dikoreksi dan hasil uji
reliabilitasnya alpha (0,895) > 0,444. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner
sikap penerimaan diri alpha (0,679) > 0,444. Pernyataan yang tidak valid
dikoreksi secara kontens. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner regulasi alpha
(0,620) > 0,444, semua pernyataan dinyatakan valid.
Selanjutnya akan dilakukan pengumpulan data sebelum intervensi,
pelaksanaan intervensi 2 kali dalam seminggu selama 8 minggu, serta akan
dilakukan pengumpulan data setelah intervensi. Selama pengumpulan data
direncanakan melibatkan perawat di Panti Werda namun sebelumnya peneliti
melakukan penjelasan dalam melaksanakan SOP konseling dan dzikir.
4.7 Analisis data
frekuensi dan persentase dari masing – masing variabel. Uji statistik yang
digunakan pada analisis bivariat menggunakan uji Paired T-Test dengan
tingkat kemaknaan 95 % (alpha 0,05). Uji beda menggunakan uji Anova
BIAYA PENELITIAN
Pembiayaan yang diajukan pada penelitian ini terdiri dari persiapan, pengumpulan
data, pengolahan data, penulisan laporan penelitian, penggandaan laporan, honor
tim pembantu peneliti dan biaya lain-lain, dijabarkan pada tabel berikut:
No Kegiatan transport/kegiatan (Rp) jumlah kegiatan Jumlah
A Perjalanan (16%)
4,800,000
B Bahan (74%)
Konsumsi tim peneliti 10 kali x 10 orang 35,000 3,150,000
Snack responden 7 kali x 55 orang 15,000 5,250,000
honor tim pembantu peneliti 8 orang x 8 kali 55,000 7,040,000
biaya analisis data 3 kali 1,500,000 4,500,000
notes 60 bj 14,500 870,000
bolpoint 5 pack 18,000 90,000
penggandaan :
Fc laporan tengah 6 eks x 60 hal 200 66,000
Fc laporan akhir 12 eks x 80 hal 200 192,000
Penjilidan 29 eks 6000 174,000
Fc kuesioner 60 orang x 3 x 10 lbr 200 360,000
22,200,000
Shampo 60 10,500 630,000
Tasbih 60 3,000 180,000
Bab ini membahas tentang hasil penelitian yaitu gambaran umum tempat
penelitian, data umum berupa karakteristik responden yang berkaitan dengan data
jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur dan lama tinggal di Panti. Data khusus
dijelaskan tentang hasil uji statistik dari variabel penelitian pada kelompok dzikir,
konseling, dzikir dan konseling serta kontrol.
5.1 Gambaran umum tempat penelitian.
Penelitian dilakukan di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya dan Panti
Werdha Hargodedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya. Jumlah total lanjut usia
yang tinggal di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya sebanyak 125 orang.
Data lanjut usia kelompok perlakuan diambil dari UPTD Panti Werdha
Jambangan sebanyak 45 orang, selanjutnya dikelompokan menjadi 15 orang
sebagai kelompok dzikir, dan 15 orang kelompok konseling, serta 15 orang
kelompok dzikir + Kknseling. Kelompok kontrol diambil dari Panti Werdha
Hargo Dedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya total lanjut usia yang tinggal
sebanyak 50 orang, sedangkan untuk kelompok kontrol sebanyak 15 orang.
5.2 Data Umum
1. Karakteristik Jenis Kelamin
Tabel 5.1. Distribusi karakteristik jenis kelamin lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik jenis kelamin lanjut usia sebagian besar
adalah perempuan pada seluruh kelompok, sedangkan pada kelompok kontrol
tidak satupun lansia yang berjenis kelamin laki-laki.
2. Karakteristik Tingkat Pendidikan
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Tingkat Pendidikan Lanjut Usia di Panti
Werdha Tahun 2018
59
Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar lanjut usia yang tinggal di
Panti Werdha berpendidikan SD, namun pada kelompok konseling hampir
seluruhnya berpendidikan SD (86%), sebagian kecil ada yang berpendidikan
perguruan tinggi yaitu pada kelompok konseling dan dzikir + konseling masing-
masing 1 orang (7%).
Tabel 5.3. Distribusi karakteristik umur lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Umur Mean
Kelompok dzikir 73.73
Kelompok konseling 71.73
Kelompok dzikir+konseling 72.60
Kelompok kontrol 76.40
5.527 69 - 87 73.34 – 79.46
Hasil analisis didapatkan rata – rata umur lanjut usia yang tertinggi adalah
kelompok kontrol (76,40 tahun) dan yang paling rendah pada kelompok konseling
(71,73 tahun). Hasil estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa
rata-rata usia lanjut usia pada kelompok kontrol 73,34 tahun sampai dengan 79,46
tahun, sedangkan pada kelompok konseling 69,24 tahun sampai dengan 74,23
tahun. Dilihat dari median yang paling tinggi adalah kelompok kontrol (77 tahun)
dan kelompok dzikir (75 tahun). Dari standar deviasi yang besar secara berturut
turut adalah kelompok dzikir, dzikir+konseling, kontrol dan konseling. Umur
termuda (63 tahun) dan tertua (88 tahun) berada pada kelompok dzikir.
60
4. Karakteristik Lama tinggal di Panti
Tabel 5.4. Distribusi karakteristik Lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Total 15 100
Berdasarkan lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha yang < 1 tahun paling
banyak pada kelompok kontrol. Pada rentang 1 – 2 tahun sebagian besar pada
kelompok konseling (53%) dan sebagian kecil lama tinggal > 3 tahun pada
kelompok dzikir+konseling serta kontrol
5.2 Data khusus
Data khusus pada penelitian ini disajikan hasil analisis uji beda paired t test, hasil
beda uji anova dan uji multivariat dengan analisis jalur atau path analisis.
61
Tabel 5.5. Hasil Uji Beda Paired t Test
Kelompok Variabel Pre Post Delta
Post-pre
Sikap penerimaan 2.697 3.334 -0.637 -10.452 0.000
Regulasi emosi 3.142 3.392 -0.250 -2.739 0.016
Bahagia 2.972 3.276 -0.304 -8.469 0.000
Dzikir
Sikap penerimaan 2.719 3.534 -0.815 -11.907 0.000
Regulasi emosi 2.958 3.250 -0.292 -3.845 0.002
Bahagia 2.911 3.264 -0.353 -11.071 0.000
Konseling dan
Sikap penerimaan 2.818 3.571 -0.753 -23.409 0.000
Regulasi emosi 3.127 3.577 -0.4