LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING
Transcript of LAPORAN TENGAH PENELITIAN HIBAH BERSAING
LAPORAN TENGAH
PENELITIAN HIBAH BERSAING
PENGARUH SPIRITUAL WELL-BEING BERBASIS ISLAMI
DENGAN METODE KONSELING DAN DZIKIR TERHADAP
KEBAHAGIAAN LANSIA DI PANTI WERDHA
KETUA
ANGGOTA
: MINARTI, M.Kep, Sp.Kom
NIP. 196707301993032004
: KASTUBI, S.Kep,Ns.,M.Kes
NIP. 196306071990031002
POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
TAHUN 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Pengaruh Spiritual well-being berbasis Islami
dengan metode konseling dan dzikir terhadap
Kebahagiaan Lansia di Panti Werdha
Peneliti Utama
Nama Lengkap : Minarti, M.Kep. Sp.Kom
NIP : 196707301993032004
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Program Studi : Keperawatan/D III Keperawatan Kampus Sutopo
Nomor HP : 082139493067
Alamat Email : [email protected]
Anggota (1)
Nama Lengkap : Kastubi, Skep,Ns.,M.Kes
NIP : 196306071990031002
Program Studi : Keperawatan/D III Keperawatan Kampus Soetomo
Anggota (2)
Nama Lengkap : Baiq Dewi Harnani R, SST.M.Kes
NIP : 197410252002122002
Program Studi : Keperawatan/D III Keperawatan Kampus Sutopo
Institusi/Industri Mitra : -
Nama Institusi Mitra : -
Alamat : -
Penanggung jawab : -
Tahun Pelaksanaan : 2018
Sumber Dana Penelitian : Poltekkes Kemenkes Surabaya
Besarnya : Rp. 30.000.000
. Surabaya, April 2018
Mengetahui
Pakar Penelitian
Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)
Peneliti Utama
Minarti, M.Kep. Sp.Kom.
NIP.196707301993032004
Kepala Unit PPM
Setiawan, SKM.,M.Psi
NIP. 196304211985031005
Direktur
Poltekkes Kemenkes Surabaya
drg. Bambang Hadi Sugito M.Kes
NIP. 196204291993031002
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadlirat Alloh SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan protokol penelitian tahun 2018. Protokol penelitian
merupakan tahap ke 2 rangkaian penelitian setelah proposal dinyatakan diterima.
Penelitian ini adalah kegiatan sebagai wujud tri dharma perguruan tinggi dosen Prodi
D III Keperawatan Kampus Sutopo Surabaya yang secara terprogram dilaksanakan
setiap tahun dengan biaya dari Poltekkes Kemenkes Surabaya.
Sistematika protokol penelitian ini dibuat berdasarkan pedoman penelitian Politeknik
Kesehatan Kemenkes Surabaya yang disusun oleh Unit Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (UPPM) tahun 2016. Besar harapan kami sebagai tim penyusun agar
dapat melaksanakan salah satu wujud tri darma perguruan tinggi.
Surabaya, April 2018
Ketua
Minarti, M.Kep. Sp.Kom
Abstrak
Pendahuluan: Seseorang yang memasuki usia lanjut akan mengalami perubahan fisik
dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah, penurunan kondisi yang
dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan fisik dan
kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam hidup. Tujuan penelitian
menganalisis spiritual wellbeing melalui metode konseling, dzikir, konseling dan
dzikir terhadap sikap penerimaan, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti
Werdha
Metode: Desain penelitian eksperimen Pretest – Postest with Control Group.
Populasi adalah semua lanjut usia yang sesuai dengan kriteria inklusi berjumlah 76
orang. Besar sampel 45 orang untuk kelompok intervensi, 15 orang untuk kelompok
kontrol. Teknik sampling Simple Random Sampling. Variabel intervensi adalah
konseling, dzikir, konseling dan dzikir pada lansia yang tinggal di Panti Werdha.
Variabel dependen adalah sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan
lansia. Uji statistik untuk mengetahui perbedaan antar variabel adalah uji paired t-test
dan Manova.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan antara pre dan post pada
semua kelompok yang mendapatkan perlakuan dan terdapat peningkatan skor post.
Pada kelompok kontrol ada dua variabel yang tidak berbeda secara signifikan yaitu
sikap penerimaan diri dan regulasi emosi, sedangkan pada kebahagiaan terdapat
perbedaan secara signifikan namun skor post lebih rendah dari pre.
Diskusi: Intervensi konseling dan dzikir dapat melatih kesabaran, menerima segala
ketentuan dengan hati senang membuat seseorang mampu menyadari dan mampu
mengendalikan keinginan negatif, sehingga dapat mencapai kebahagiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa intervensi konseling, dzikir dan
kombinasi antara konseling dan dzikir dapat dijadikan sebagai kegiatan yang dilakukan
di Panti Werdha untuk meningkatkan dan menyelesaikan permasalahan spiritual dan
psikologis lansia di Panti Werdha.
Kata Kunci : Spiritual well being, sikap penerimaan diri, regulasi emosi, kebahagiaan
DAFTAR ISI
Halaman Judul……………………………………………………............... i
Lembar Pengesahan ..…………………………...…………………….......
Kata Pengantar .............................................................................................
Daftar Isi ..…………………...………………………………..……………
Daftar Tabel .............................................................................................…
Daftar Gambar ..............................................................................................
Daftar Lampiran ...........................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah …….................................................................
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................
1.3 Tujuan ……………… ............................................................................
1.3.1 Tujuan Umum …………………………………………………....
1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………………………...
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………….
1.5 Urgensi Penelitian ……………………………………………………..
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………
2.1 Konsep Lansia …………………………………………………………
2.1.1 Definisi…………………………………………………………..
2.1.2 Batasan Usia …………………………………………………….
2.1.3 Teori Mengenai Proses Menua …………………………………
2.2.4 Perubahan Pada Lanjut Usia.........................................................
2.2 Konsep Spiritual Well Being ………………………………………….
2.2.1 Pengertian Spiritual……………………………………………..
2.2.2 Karakteristik Spiritual…………………………………………..
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Spiritual…………………………..
2.2.4 Spiritual dalam perspektif Islam. ............................................…
2.3 Konsep Kebahagiaan…………………………………………………..
2.3.1 Pengertian Kebahagiaan ……………………………………….
2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan …………………………..
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan ……………………..
2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan………………………………………
2.4 Penelitian Terkait Sebelumnya………………………………………...
BAB III. KERANGKA KONSEP………………………………………….
BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................
4.1 Desain penelitian ………………………………………………………
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Sampling…………………………..
4.3 Variabel penelitian……………………………………………………..
4.4 Kerangka kerja penelitian……………………………………………...
4.5 Definisi operasional……………………………………………………
4.6 Tehnik Pengumpulan data……………………………………………..
4.7 Analisis Data…………………………………………………………..
BAB V PEMBIAYAAN…………………………………………………...
Daftar Pustaka ..............................................................................................
Lampiran
ii
iii
iv
vi
vii
viii
1
1
4
4
4
5
5
5
6
6
6
6
7
9
14
14
16
20
21
24
24
25
26
29
30
36
38
38
38
39
40
40
42
42
43
45
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Terkait Sebelumnya ………………………………..
Tabel 3.1 Kerangka kerja Penelitian…………………………………….
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian……………………
30
40
40
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1
Kerangka konsep kebutuhan spiritual well being berbasis
Islami dan kebahagiaan
36
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lanjut usia atau disebut lansia merupakan tahap perkembangan kehidupan teakhir
setiap manusia. Secara umum individu yang memasuki usia lanjut akan mengalami
perubahan fisik dari kondisi tubuh yang semula kuat menjadi sangat lemah,
penurunan kondisi yang dialami oleh lansia cenderung berpotensi menimbulkan
masalah kesehatan fisik dan kesehatan psikis serta menimbulkan ketidakpuasan dalam
hidup. Pergeseran struktur umur produktif ke umur tua akan berdampak terhadap
persoalan penyantunan penduduk usia lanjut. Bersamaan dengan perubahan sosial
ekonomi, maka dapat diperkirakan akan terjadi pergeseran pola penyantunan usia
lanjut dari keluarga ke pelayanan institusi (Indriana, 2012).
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan angka harapan hidup di Indonesia pada
tahun 2020 akan mencapai usia 71 tahun (BPS, 2014). Angka tersebut tentunya
diiringi dengan kenaikan jumlah penduduk dengan proporsi kenaikan 11,34%.
Populasi lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03 persen dari
seluruh penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah lansia menunjukkan bahwa usia
harapan hidup penduduk di Indonesia semakin tinggi dari tahun ke tahun. Semakin
meningkatnya populasi lansia mencerminkan adanya peningkatan pelayanan
kesehatan, sekaligus dapat menjadi problematika baru bagi Indonesia sendiri. Hasil
proyeksi penduduk 2010-2035, Indonesia akan memasuki periode lansia (ageing),
dimana 10% penduduk akan berusia 60 tahun ke atas, di tahun 2020. Indonesia
termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah lanjut usia terbanyak di dunia
(Depkes, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulfiana (2014) menyatakan bahwa
lansia dilakukan psikoterapi memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Berdasarkan kajian di UPTD Griya Werdha lansia yang
tinggal di panti memiliki kriteria seperti lansia miskin, pengemis, lansia terlantar,
tidak punya keluarga serta gelandangan. Pelayanan sehari-hari yang dilakukan di
panti berupa pemenuhan kebutuhan nutrisi, pakaian, kebersihan diri dan kebutuhan
spiritual berupa sholawat dan kultum setelah sholat Magrib yang dilakukan oleh
lansia. Data lansia yang tinggal di panti atas kemauan sendiri sebesar 59 % dan karena
1
terpaksa 41 %. Lansia yang menyatakan sulit tidur dan sering terbangun sebesar 65,
6%, hasil skrining depresi sebesar 56% (Laporan UPTD Griya Werdha, Januari 2018).
hal ini menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti memiliki berbagai
permasalahan baik secara fisik, psikologis maupun spiritual.
Secara demografi dapat diketahui bahwa pada masa lansia seringkali menderita
sedikitnya satu atau lebih penyakit kronis, terjadinya penurunan fungsi tubuh,
peningkatan faktor kerentanan yang memungkinkan resiko terjadinya distres spiritual
pada lansia (Stanley, 2007). Distres spiritual yang berkelanjutan akan mempengaruhi
kesehatan lansia secara menyeluruh dimana terjadi gejala-gejala fisik berupa
penurunan nafsu makan, gangguan tidur, serta peningkatan tekanan darah (Hidayat,
2006). Hal ini terjadi lantaran di masa lansia individu akan mengalami beberapa
perubahan terkait dengan menurunnya beberapa fungsi diantaranya adalah penurunan
fungsi fisik, kognitif, penurunan fungsi dan potensi seksual serta perubahan aspek
psikososial dan spiritual (Urbayanti 2006).
Menurut Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) beberapa penelitian menunjukkan
adanya keragaman kehidupan manusia lansia di Indonesia. Lansia ada yang lebih suka
hidup bahagia di Panti Werdha, ada yang lebih suka mandiri dan tinggal di rumah
sendiri atau hidup bersama anak cucu. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh lansia
menghendaki pemenuhan kebutuhan dari aktivitas, pergaulan dan kemandirian.
Selanjutnya Prawitasari (1994 dalam Urbayanti 2006) mengatakan bahwa lansia yang
masih aktif di lingkungan sosial dan merasa dibutuhkan oleh keluarga maupun
masyarakat sekitarnya akan menjadi lansia yang mempunyai kepuasan hidup dan
kebahagiaan tersendiri, sedangkan bagi yang kurang seimbang mentalnya, kesendirian
yang dialaminya akan menimbulkan rasa terisolasi dan depresi yang dimanifestasikan
dalam bentuk kecemasan.
Dewasa ini keberadaan Panti Werdha mengambil peran penting di masyarakat. Selain
karena bergesernya nilai dan pandangan masyarakat terkait keberadaan lansia di
dalam rumah, hal ini juga disebabkan karena kebutuhan lansia yang meningkat, guna
menjaga eksistensi lansia di kehidupannya. Lansia akan membutuhkan pelayanan
perawatan seperti kesehatan, fisik, psikologis, spiritual maupun sosial agar dapat
terpenuhi kebahagiaan. Bersamaan dengan bertambahnya usia lansia, semakin banyak
pula permasalahan yang harus di hadapi, karena lansia merupakan tahapan
perkembangan manusia yang paling banyak dihinggapi permasalahan. Berdasarkan
paparan tersebut peneliti bermaksud melaksanakan penelitian tentang kebutuhan
spiritual well-being berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir, terhadap
sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia di Panti Werdha
Surabaya
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh spiritual well-being
berbasis Islami dengan metode konseling dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri,
regulasi emosi dan kebahagiaan lansia?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh spiritual well-being berbasis Islami dengan metode
konseling dan dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan
lansia?
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menganalisis pengaruh metode konseling terhadap sikap penerimaan diri,
regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
b. Menganalisis pengaruh metode dzikir terhadap penerimaan diri, regulasi
emosi dan kebahagiaan lansia
c. Menganalisis pengaruh metode konseling dan dzikir terhadap penerimaan
diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan pengembangan ilmu
keperawatan khususnya kelompok keilmuan keperawatan gerontik atau keperawatan
komunitas pada kelompok khusus
1.4.2 Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi perawat khususnya
perawat yang melaksanakan tugas dan fungsinya di tatanan Panti Werdha dan
komunitas, untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan terutama yang
menyangkut aspek spiritual.
1.5 Urgensi Penelitian
Penelitian ini dapat menghasilkan intervensi spiritual berbasis Islami yang dapat
diterapkan di bidang keperawatan gerontik. Kesejahteraan spiritual secara Islami
dapat digunakan untuk meningkatkan perasaan bahagia pada lansia yang tinggal di
Panti Werdha. Hasil penelitian yang akan dilakukan ini dapat menjadi acuan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang selama ini belum banyak menyentuh aspek
spiritual. Lansia yang dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya diharapkan
mendapatkan rasa kebahagiaan dalam menghadapi kehidupannya. Dampaknya
harapan hidup dan kualitas hidup pada lansia semakin meningkat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lansia
2.1.1 Definisi
Usia lanjut adalah hal yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena
biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan
kematian (Supraba, 2015). Menurut Hawari (2006) usia lanjut merupakan seorang
laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih
berkemampuan (potensial) ataupun karena sesuatu hal tidak mampu lagi berperan
secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial). Di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat usia lanjut sering didefinisikan seseorang yang telah menjalani
siklus kehidupan diatas usia 60 tahun (dalam Juwita, 2013).
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian
(Setiati, et.al, 2009). Lansia atau usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus
kehidupan manusia dan hal tersebut merupakan bagian dari proses kehidupan yang
tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu (Prasetya, 2010). Tahap
usia lanjut menurut teori Erik Erikson tahun 1963 merupakan tahap integrity versus
despair, yakni individu yang sukses dalam melampauin tahap ini akan dapat mencapai
integritas diri (integrity), lanjut usia menerima berbagai perubahan yang terjadi
dengan tulus, mampu beradaptasi dengan keterbatasan yang dimilikinya, bertambah
bijak menyikapi proses kehidupan yang dialaminya. Sebaliknya mereka yang gagal
maka akan melewati tahap ini dengan keputusasaan (despair), lanjut usia mengalami
kondisi penuh stres, rasa penolakan, marah dan putus asa terhadap kenyataan yang
dihadapinya (Setiati, et,al, 2009).
2.1.2 Batasan Usia
Penduduk Lansia atau lanjut usia menurut UU kesejahteraan lansia No.13 tahun 1998
adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Umur yang dijadikan
patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut
usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut
Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan
umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini
(prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan resiko
tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Di
5
Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 43 tahun 2004.
2.1.3 Teori Mengenai Proses Menua
Beberapa teori tentang penuaan yang dapat diterima saat ini, antara lain :
1. Teori biologis proses penuaan
a. Teori radikal bebas
Teori radikal bebas pertama kali diperkenalkan oleh Denham Harman pada tahun
1956, yang menyatakan bahwa proses menua adalah proses yang normal, merupakan
akibat kerusakan jaringan oleh radikal bebas (Setiati et al., 2009). Radikal bebas
adalah senyawa kimia yang berisi elektron tidak berpasangan. Karena elektronnya
tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan mencari pasangan elektron lain
dengan bereaksi dengan substansi lain terutama protein dan lemak tidak jenuh.
Sebagai contoh, karena membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi
dengan radikal bebas sehingga membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan
pada struktur membran tersebut membran sel menjadi lebih permeabel terhadap
beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati membran secara
bebas. Struktur didalam sel seperti mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh
membran yang mengandung lemak, sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas
(Setiati et al., 2009). Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas
berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri, namun antioksidan tersebut
tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas tersebut (Setiati et
al., 2009).
B. TEORI IMUNOLOGIS
Menurut Potter dan Perry (2006) penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem
imun berperan dalam penuaan. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
proteinnya sendiri dengan protein asing sehingga sistem imun menyerang dan
menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat secara bertahap.
Disfungsi sistem imun ini menjadi faktor dalam perkembangan penyakit kronis seperti
kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular, serta infeksi.
c. Teori DNA repair
Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka menunjukkan bahwa adanya
perbedaan pola laju perbaikan (repair) kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar
ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang
mempunyai umur maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar dan
korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata (Setiati et al, 2009).
d. Teori genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di pengaruhi oleh
pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut
teori genetika adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan
dari waktu ke waktu mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain,
perubahan rentang hidup dan panjang usia ditentukan sebelumnya (Stanley & Beare,
2006 dalam Putri, 2013).
e. Teori wear-and-tear
Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah
metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintensis DNA, sehingga mendorong
malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami
kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Sebagai contoh adalah radikal bebas, radikal
bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal
(Stanley & Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
2. Teori psikososial proses penuaan
a. Teori disengagment
Teori disengagment (teori pemutusan hubungan), menggambarkan proses penarikan
diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri
ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang
tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak
sosial berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi lebih muda (Stanley
& Beare, 2006 dalam Putri, 2013).
b. Teori aktivitas
Teori ini menegaskan bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk
keberhasilan penuaan. Menurut Lemon et al (1972) dalam (Marta, 2012) orang tua
yang aktif secara sosial lebih cendrung menyesuaikan diri terhadap penuaan dengan
baik.
2.1.4 Perubahan Pada Lanjut Usia
Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari
kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-
perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran,
sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem
respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem
muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental menyangkut
perubahan ingatan atau memori (Setiati et al., 2009).
1. Perubahan pada Sistem Sensoris
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan
untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki.
Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan
perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori (Maramis, 2009).
2. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-
tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki.
Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal
pada sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan
sinar matahari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan
elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering
karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan
kelenjar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan
cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa lemak bebas
berkurang 6,3% berat badan per dekade dengan penambahan massa lemak 2% per
dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade (Setiati et al., 2009).
3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan
metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan
pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen
pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi
lebih berongga, mikroarsitektur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan
maupun spontan (Setiati et al., 2009).
4. Perubahan pada Sistem Neurologis
Berat otak menurun 10–20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian
meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai menurun pada
usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan
volume otak berkurang ratarata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung
100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls
listrik dari susunan saraf pusat. Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron per
tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil
per jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antara usia 30-70
tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul
membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi
dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear)
yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria
(Timiras & Maletta, 2007).
5. Perubahan Ingatan (Memory)
Dalam berinteraksi, berkomunikasi maupun dalam melakukan hubungan sosial,
ingatan seseorang memegang peranan penting dalam mempengaruhi persepsi dan
pikiran seseorang. Schlessinger dan Groves (dalam Mujahidullah, Khalid. 2012)
mengatakan bahwa memori atau ingatan adalah suatu sistem yang memungkinkan
seseorang menyimpan suatu fakta atau obyek kedalam diri subyek sehingga membuat
subyek mampu berespon menggunakan kemampuan pengetahuannya dalam
berprilaku. Jika ditilik secara fisiologis tubuh manusia dapat merekam ingatan tertentu
yang berlangsung seketika beberapa detik, beberapa jam, beberapa hari bahkan
bertahun-tahun. Maka dari itu, ingatan (memory) dapat diklasifikasikan menjadi 3
yaitu:
a. Ingatan Jangka Pendek
Ingatan jangka pendek adalah kemampuan mengingat seseorang terhadap sesuatu
hal dalam rentang waktu yang relatif singkat. Ciri khas ingatan jangka pendek
adalah ketika seseorang dapat mengingat suatu keadaan/ kondisi/ hal/ benda
tertentu dalam rentang waktu detik hingga menit namun cenderung terlupakan
setelahnya apabila tidak terjadi pengulangan memori secara kontinu. Contohnya
adalah ketika seseorang dapat menghafal 7-10 nomor telepon seluler rekannya
dalam rentang waktu beberapa menit, setelah kejadian itu berakhir subyek akan
cenderung lupa atau tidak ingat pada kombinasi angka-angka tersebut apabila
subyek tidak melakukan pengulanganan memory (recall memory) pada angka
tersebut.
Pada seorang lansia, cenderung terjadi penurunan kemampuan mengingat.
Pengkajian memori jangka pendek dapat dilakukan dengan mengajak
menyebutkan beberapa benda setelah beberapa detik kemudian, lansia diminta
mengulang benda-benda yang telah disebutkan sebelumnya. Lalu lakukan
penilaian kemampuan lansia dalam mengingat jangka pendek.
b. Ingatan Jangka Menengah
Ingatan jangka menengah dapat berlangsung dalam hitungan menit hingga
berminggu-minggu. Ingatan jangka menengah terkadang dapat hilang, kecuali jika
terdapat jejak ingatan yang akan membuat ingatan menjadi lebih permanen. Jika
ingatan jangka menengah ini terus menerus diingat, maka ingatan tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi ingatan jangka panjang. Pada lansia pengujian
kemampuan mengingat jangka menengah dapat dilakukan dengan meminta lansia
menyebutkan istilah-istilah abstrak atau meminta lansia menyebutkan beberapa
obyek, lalu penguji mengajak lansia berbicara topic lain hingga 5-10 menit.
Setelah 5 sampai 10 menit kemudian, mintalah lansia mengulang istilah-istilah
abstrak tersebut.
c. Ingatan Jangka Panjang
Sebuah memori diklasifikasikan sebagai ingatan jangka panjang apabila ingatan
tersebut masih diingat dalam kurun waktu lebih dari 3 minggu dan dapat diingat
hingga bertahun-tahun lamanya. Contoh ingatan jangka panjang adalah momen-
momen yang berkesan dan memiliki nilai historis dalam hidup seseorang, seperti:
kejadian membanggakan, kejadian memalukan, kejadian paling menggembirakan
dan lain sebagainya.
6. Perubahan Psikososial
Pensiun adalah nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pension, ia akan
mengalami kehilangan-kehilangan antara lain :
a. Kehilangan finansial.
b. Kehilangan status.
c. Kehilangan teman / relasi / kenalan.
d. Kehilangan pekerjaan / kegiatan.
e. Merasakan atau sadar akan kematian.
f. Perubahan dalam hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih
sempit.
g. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan.
h. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
i. Gangguan syaraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.
j. Gangguan gizi akibat kehilanan jabatan.
k. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman
dan keluarga besar.
l. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman
dan keluarga besar.
m. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri (Wahjudi, Nugroho, 2000).
7. Perubahan Kemampuan Mental
Seperti yang terjadi pada penurunan dalam aspek lainnya, penurunan mental untuk
setiap individu juga sangat bebeda. Tidak ada usia tertentu yang diaggap sebagai awal
mula terjadinya penurunan mental dan tidak ada pola khusus dalam penurunan mental
yang berlaku untuk semua orang berusia lanjut. Secara umum, mereka yang
mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi secara relatif, penurunan dalam
efisiensi mental kurang dibanding mereka yang pengalaman intelektualnya redah.
Terdapat perbedaan dalam tingkat penurunan mental di antara individu dalam usia
yang sama, pada individu yang sama juga terjadi perbedaan tingkat penurunan
kemampuan mental yang berbeda. Bahkan pada waktu elemen kecepatan dibatasi
kemudian diberikan tes sebagai penguji kekuatan untuk mengukur perbedaan
kemampuan mental, ternyata ditemukan tingkat penuruunan mental, ternyata
ditemukan tingkat penurunan mental yang bervariasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan mental adalah ; perubahan fisik khususnya organ perasa,
kesehatan, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan.
8. Perubahan Spiritual
Ketertarikan orang berusia lanjut terhadap keagamaan biasanya didasarkan pada
persepsi mereka terhadap kematian. Berikut beberapa perubahan spiritual yang umum
terjadi pada lansia (Mujahidullah, Khalid. 2012)
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
b. Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam
berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun adalah universalizing, perkembangan
yag dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai dan keadilan
2.2 Konsep Spiritual Well Bieng
2.2.1 Pengertian Spiritual
Kesadaran mengenai kenyataan bahwa individu merupakan makhluk yang sangat
kompleks dan multisistem, serta berkembangnya pemahamanan dan pengakuan
mengenai aspek spiritual dalam perkembangan individu, menjadi pendorong
munculnya berbagai kajiankajian ilmiah mengenai konsep spiritual. Bahkan Jung
(dalam Stanard, Sandhu, & Painter, 2000) menegaskan bahwa individu pada dasarnya
bukan hanya sekedar makhluk psikoseksual dan psikososial saja, akan tetapi individu
juga merupakan makhluk psikospiritual. Konsep spiritual/spiritualitas, secara
etimologis kata spiritual/spiritualitas (spirituality), berasal dari kata Latin spiritus
yang berarti: breath of life (nafas kehidupan), wind (angin), vigor (kekuatan/tenaga),
courage (keberanian/keteguhan hati) (Miller, 2003 dalam Immaduddin, 2011); soul
(roh/sukma), self (diri), truth (kebenaran), God (Tuhan) (Shadu: 1975 dalam
Immaduddin, 2011). Kata spiritus dalam arti nafas kehidupan atau roh adalah lawan
kata anima.Pengertian tersebut sama artinya dengan kata-kata dalam beberapa bahasa,
antara lain: psykhe sebagai lawan kata pneuma dalam bahasa Yunani; ruach sebagai
lawan kata neshama dalam bahasa Ibrani; espirit dalam bahasa Perancis Kuno (Abad
13); prana dalam bahasa India (Imaddudin, 2011).
Makna spiritual dapat dimaknai sebagai transendensi yang merupakan capaian
tertinggi dalam perkembangan individu, sebagai motivasi yang mendorong individu
dalam mencari makna dan tujuan hidup, sebagai ciri kemanusiaan yang membedakan
individu dengan makhluk yang lainnya, dan sebagai dimensi kemanusiaan yang dapat
menjadi indikator kesehatan individu (Ingersol & Bauer, 2004).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
istilah spiritual merupakan bagian dari perkembangan individu, aspek spiritual dapat
mendorong individu untuk mencari hakikat mengenai keberadaan diri, yang pada
akhirnya dapat memandu individu dalam mencapai aktualisasi diri sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga individu mampu mengapresiasi keindahan,
kebenaran, kesatuan, dan pengorbanan dalam hidup, serta individu mampu
menghargai individu lain dan makhluk hidup lainnya.
Spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang
diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Spiritualitas dalam konteks
perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat
dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta.
Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin
hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak
untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan
dengan sesama.
Perkembangan spiritual erat kaitannya dengan perkembangan penghayatan
keagamaan, dan perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan
lainnya. Hal ini senada dengan penjelasan Abin Syamsuddin (2007) yang menyatakan
bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan
perilaku sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan
keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan
perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif). Hal ini dimungkinkan
karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan
makhluk beragama.
Perkembangan penghayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin
Syamsuddin, 2007) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great
power) dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang
mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Pendapat tersebut di atas,
menegaskan bahwa perkembangan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan
lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan
keagamaan.
Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan
spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif.
Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan
berhubungan dengan kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang
menjadi ranah perkembangan kognitif. Boyatzis (Hood, Jr. et.al, 2009) sekalipun teori
perkembangan kognitif dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat,
akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek
lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit mengkaji perkembangan
penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif. Artinya
dari pendapat ini, untuk memahami bagaimana perkembangan kesejahteraan spiritual
lansia, maka perlu memahami ragam aspek perkembangan lainnya seperti aspek
perkembangan kognitif, moral, sosial, dan aspek perkembangan penghayatan
keagamaan.
2.2.2 Karakteristik Spiritual
Karakteristik spiritualitas dikenal dengan berbagai dimensi dari spritualitas yang
dapat menggambarkan bagaimana spiritualitas seseorang. Terdapat beberapa
karakteristik spiritualitas (Hamid, 2009), meliputi:
1. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu
siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut
kepercayaan pada diri-sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan
pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri
seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya
memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup,
optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais
& Wilkinson, 1995).
a. Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985) kepercayaan bersifat
universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak
dapat dibuktikan dengan pikran yang logis. Kepercayaan dapat memberikan arti hidup
dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai
kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga
dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas.
b. Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan
merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya
dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu
untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih
cenderung terkena penyakit (Grimm, 1991).
c. Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui makna hidup,
yang kadang diidentikan dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan hidup
sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang
nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa
mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004).
2. Hubungan dengan orang lain
Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang
lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber secara
timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis mencakup
konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan
friksi, serta keterbatasan asosiasi (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan,
menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan
dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila seseorang
mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat memberi
bantuan psikologis dan sosial (Carm & Carm, 2000).
a. Maaf dan pengampunan (forgiveness). Menyadari kemampuan untuk menggunakan
sumber dan kekuatan dalam diri sendiri seperti marah, mengingkari, rasa bersalah,
malu, bingung, meyakini bahwa Tuhan sedang menghukum serta mengembangkan
arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. Dengan
pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas,
depresi dan tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan
perasaan damai (Puchalski, 2004).
b. Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support). Keinginan untuk
menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui
keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan
bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit. Seseorang yang
mempunyai pengalaman cinta kasih dan dukungan sosial yang kuat cenderung untuk
menentang perilaku tidak sehat dan melindungi individu dari penyakit jantung (Hart,
2002).
3. Hubungan dengan alam
Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi
pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan
alam serta melindungi alam tersebut (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
a. Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam
menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan
rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul
perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan hal-hal yang dianggap penting
dalam hidup seperti nonton televisi, dengar musik, olah raga dan lain-lain (Puchalski,
2004).
b. Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan.
Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan
status kesehatan (Hamid, 2000).
4. Hubungan dengan Tuhan
Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut sembahyang dan
berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan keagamaan, serta bersatu
dengan alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Hubungan dengan Tuhan dilihat
dari religus atau tidak religiusnya seseorang, seperti melakukan kegiatan do’a atau
meditasi, membaca kitab atau buku keagamaan, dan berpartisipasi dalam kelompok
keagamaan (Hawari 2009). Hubungan dengan Tuhan pada agama Islam terdapat
dimensi kesehatan jiwa. Iman kepada Allah besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa
manusia dimana orang yang beriman itu selalu ingat kepada Allah (dzikrullah/zikir)
sehingga perasaan tenang selalu menyertainya. Pikiran, persaaan dan perilakunya baik
dengan tidak melanggar hukum, norma, moral dan etika kehidupan serta tidak
merugikan orang lain karena orang tersebut tahu benar dan yakin apa yang dilakukan
itu semua dicatat oleh malaikat.
Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila mampu
merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di
dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu
kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina
integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah
terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif
(Hamid, 1999).
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi spiritual
Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2000), faktor
penting yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah :
1. Tahap perkembangan
Anak-anak mempunyai persepsi yang berbeda tentang Tuhan dan bentuk sembahyang
berdasarkan usia, seks, agama dan kepribadian anak. Spiritualitas berhubungan
dengan kekuasaan non material, sehingga seseorang harus memiliki beberapa
kemampuan berpikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu.
Tidak begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan dan agama, tapi individu
belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku keluarganya. Oleh
karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimana
individu mempunyai pandangan, pengalaman tehadap dunia yang diwarnai oleh
pengalaman dengan keluarganya (Taylor, Lillis & LeMone, 1997).
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya.
Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak
belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan
keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi Spiritual
sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan
secara spiritual pengalaman tersebut (Taylor, Lilis dan Lemon, 1997). Peristiwa
dalam kehidupan seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan
kepada manusia menguji imannya.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual seseorang. Krisis sering
dialami ketika seseorang menghadi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan
dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan
prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fiskal dan emosional (Toth, 1992;
dikutip dari Craven & Hirnle, 1996).
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali membuat individu merasa
terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan
hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi,
mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau
teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat diinginkan (Hamid, 2000)
2.2.4. Spiritualitas dalam perspektif Islam
Konsep spiritualitas dalam terminologi Islam, berhubungan langsung dengan Al
Qur’an dan Sunnah Nabi. Nasr (1994) menyatakan bahwa ayat-ayat Al Qur’an dan
perilaku Nabi Muhammad mengandung praktik-praktik serta makna spiritual. Nabi
mengajarkan beragam cara untuk meraih kehidupan spiritual yang tertinggi, yang
dikenal sebagai tasawuf. Tasafuw adalah salah satu cabang ilmu Islam yang
menekankan dimensi atau aspek spiritual. Tasawuf lebih mengarah pada aspek rohani
dari pada aspek jasmani. Tasafuw berasal dari kata shafa yang artinya kesucian jiwa.
Tasawuf merupakan proses penyucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar ke
jalan Allah, maka seseorang harus menempuh tahap-tahap spiritualitas yang dalam
ilmu tasawuf disebut dengan Maqamat (M.Solihin dan Rasihan Anwar, 2002).
Maqamat berarti kedudukan seorang hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa
yang telah diusahakannya. Maqamat bisa berarti jalan panjang yang harus ditempuh
oleh orang spiritual untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Menurut Imam Al
Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah tahapan adab seorang hamba dalam
mendekatkan diri kepada-Nya dengan bermacam-macam upaya yang diwujudkan
dengan suatu tujuan pencapaian dan ukuran tugas serta masing-masing individu
berbeda dalam tahapannya (Samsul Munir Amin, 2012). Berkaitan dengan macam-
macam maqamat yang harus dtempuh oleh seorang hamba untuk sedekat mungkin
dengan Allah terdapat beberapa ahli memiliki pendapatnya. Menurut Al Ghazali
(dalam Hamzah Tulaeka, 2012), menyatakan bahwa maqamat atau tahap spiritual
terdiri dari delapan tingkat yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakkal, mahabbah, ridha dan
ma’rifat. Menurut As Sarraj ath-Thusi maqamat terdiri dari tujuh tingkat yaitu taubat,
wara’ zuhud. Faqr, sabar, ridha dan tawakkal.
Tingkatan spiritual tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat adalah memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan
dan dengan bersungguh-sungguh berjanji untuk tidak mengulanginya kembali diiringi
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah (Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin). Pada tingkat terendah, aubat menyangkut dosa yang dilakukan
jasad atau anggota badan. Pada tingkat menengah taubat menyangkut pangkal dosa-
dosa seperti dengki sombong dan riya. Tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut
usaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah.
Pada tingkat akhir penyeleseaian atas kelengkapan pikiran dalam mengingat Allah.
2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia. Secara umum zuhud
berarti suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan
yaitu peda tingkatan terendah zuhud berarti menjauhkan dunia ini agar terhindar dari
hukuman di akhirat. Pada tingkatan kedua, menjauhi dunia dengan menimbang
imbalan di akhirat, dan pada tingkat ke tiga, mengucilkan dunia bukan karena takut
atau berharap tetapi karena cinta pada Allah
3. Sabar
Sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sabar terdiri dari tiga tingkatan yaitu tingkat satu sabar untuk Allah yaitu keteguhan
hati dalam melaksanakan keteguhan segala perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Ke dua adalah sabar bersama Allah yaitu keteguhan hati dalam menerima segala
keputusan dan tindakan Allah, serta ketiga adalah sabar atas Allah yaitu keteguhan
hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan-Nya seperti rizki
dan kesulitan hidup.
4. Wara’
Wara’ secara harfiah adalah menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Pengertian
wara’ dalam pandangan kaum sufi adalah meninggalkan sesuatu yang tidak jelas
hukumnya baik menyangkut makanan, pakaian dan lainnya (Revay Siregar, 2000).
Wara’ secara lahiriah tidak menggunakan segala ang masih diragukan dan
meninggalkankemewahan. Sedangkan secara batiniah adalah tidak menempatkan atau
mengisi hati dengan mengingat Allah.
5. Fakir
Fakir mengandung arti bahwa semua manusia secara universal membutuhkan Allah.
Menurut Al Ghazali (dalam Totok dan Samsul), fakir dibagi dua macam, yaitu fakir
secara umum merupakan hajat manusia kepada yang menciptakan dan yang menjaga
eksistensinya. Sikap ini wajib karena menjadi sebagian iman dan buah dari ma’rifat.
Fakir uqayyad (terbatas) adalah kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia
yang dapat dipenuhi oleh selain Allah.
6. Tawakkal
Tawakkal adalah menyerahkan diri, pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah
setelah melakukan rencana atau usaha. Tawakkal; terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu
tawakal atau menyerahkan diri pada Allah seperti seseorang yang menyerahkan
perkaranya keada pengacara, tawakkal atau menyerahkan diri pada Allah seperti
seorang bayi menyerahkan diri pada ibunya dan derajat tawakkal tertinggi adalah
menyerahkan diri kepada Allah seperti jenazah di tengah petugas yang
memandikannya.
7. Ridha
Ridha adalah rela, senang dan suka. Secara umum berarti tidak menentang qadha, dan
qadar nya Allah, menerima qadha, dan qadar dengan hati senang. Tanda-tanda orang
yang telah ridha adala: mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyap
rasa gelisah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang bergelora saat diberi cobaan.
8. Mahabah
Mahabah berasal dari kata bahasa Arab yaitu ahabbah yuhibbu mahabbatan yang
berarti mencintai secara mendalam. Pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu
usaha sungguh-sungguh untuk mencapai tingkatan rohani tertinggi dengan
terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Kecintaan dan kerinduan
kepada Allah adalah salah satu simbol yang disukai sufi untuk menyatakan rasa
kedekatan dengan-Nya. Untuk menjelaskan makna cinta Ilahi ini agak sulit karena
menyankut apa yang dirasakan orang lain.
9. Ma’rifat
Ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan rahasia hakekat agama yaitu ilmu yang lebih
tinggi dari pada ilmu yang didapat pada umumnya dan merupakan pengetahuan yang
obyeknya bukan hal yang bersifat dhahir, tetapi bersifat batin yaitu pengetahuan
mengenai rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan
Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan - peraturan
Allah tentang segala hal.
2.3 Konsep Kebahagiaan
2.3.1 Pengertian Kebahagiaan
Kebahagiaan menurut Snyder dan Lopez (2007) merupakan emosi positif yang
dirasakan secara subjektif oleh setiap individu. Kebahagiaan dapat mengarahkan pada
perasaan positif yaitu seperti perasaan sukacita, ketenangan dan keadaan positif yang
ditunjukkan dengan level kepuasan hidup dan afek positif yang tinggi dan diikuti
dengan afek negatif yang rendah (Carr, 2004). Kebahagiaan atau happiness menurut
Diener (2011) mempunyai makna yang sama dengan subjective well-being
(kesejahteraan subjektif). Istilah kesejahteraan subjektif mengacu pada evaluasi
individu dalam suatu kehidupan yang meliputi penilaian kognitif, afektif dan
termasuk di dalamnya kepuasan individu terhadap kehidupan. Menurut Seligman
(2005) kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang
dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai. Kebahagiaan ini
biasanya ditandai dengan lebih banyak afek positif yang dirasakan individu dari pada
afek negatif. Kebahagiaan juga sebagai apresiasi keseluruhan hidup seseorang, dan
seberapa banyak individu menyukai dengan kehidupan yang dimiliki.
Berdasarkan definisi para ahli di atas, kebahagiaan dapat disimpulkan sebagai
perasaan positif yang berasal dari kepuasan atas keseluruhan hidup yang ditandai
dengan adanya kesenangan yang dirasakan oleh individu ketika melakukan sesuatu
hal yang disenangi di dalam kehidupan.
2.3.2 Komponen-Komponen Kebahagiaan
Diener (2011) menyatakan bahwa kebahagiaan atau happiness mempunyai makna
yang sama dengan subjective well-Being. Menurut Diener, Suh, Lucas dan Smith
(1999) terdapat 2 komponen dasar Subjective Well-Being, yaitu kepuasan hidup (life
satisfaction) sebagai komponen kognitif, sedangkan afek positif (pleasant) dan afek
negatif (unpleasant) sebagai komponen afektif. Afek positif adalah emosi positif atau
emosi menyenangkan yang merupakan bagian dari Subjective Well-Being. Seseorang
dapat dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi jika individu seringkali
merasakan emosi positif (Diener, 2011). Emosi positif tersebut dapat digambarkan
dengan perasaan seseorang yang semangat, aktif dan selalu siap dalam segala hal.
Afek negatif yaitu suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan. Menurut Diener
dan Larsen (1985) seseorang dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi
jika individu jarang sekali mengalami emosi negatif. Keadaan afek negatif yang tinggi
adalah keadaan dimana seseorang merasakan kemarahan, kebencian jijik, rasa
bersalah, ketakutan dan kegelisahan. Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa pengalaman
merasakan emosi negatif yang berkepanjangan dapat mengganggu seseorang dalam
bertingkah laku secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat
membuat hidup tidak menyenangkan.
Kepuasan hidup merupakan penilaian individu terhadap kualitas kehidupannya secara
global. Penilaian umum atas kepuasan hidup merepresentasikan evaluasi yang
berdasar kognitif dari sebuah kehidupan seseorang secara. Selain itu Diener, Suh,
Lucas, dan Smith (1999) menambahkan ada 7 domain kepuasan yang
menggambarkan kebahagiaan pada individu seperti diri sendiri, keluarga, teman
sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Andrews dan Mckennell
(1980) juga membagi 2 komponen yang mempengaruhi kebahagiaan yaitu:
1. Komponen afektif adalah afek yang mengacu pada emosional yang
mempengaruhi rasa kebahagiaan, menyenangkan, dan kenikmatan. Komponen
afektif adalah sejauh mana pengalaman menyenangkan mempengaruhi individu
yang disebut juga dengan tingkat hedonis
2. Komponen kognitif, mengacu pada rasional individu yaitu aspek respon
seseorang, didalamnya terdapat kepuasan, kesuksesan, dan bertemu dengan
kebutuhan kebutuhan lainnya. Komponen kognitif adalah sejauh mana individu
merasakan aspirasinya (cita citanya) yang harus dipenuhi dapat juga disebut
dengan kepuasan
2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan di antaranya yaitu:
1. Kekayaan
Menurut Kasser (dalam Polak & McCullough, 2006) kekayaan seperti halnya harta
benda merupakan suatu kebutuhan dasar yang memang diperlukan oleh setiap orang,
namun apabila seseorang lebih terfokus pada kekayaan maka akan merusak
kebahagiaan dan kepuasan psikologis individu. Sebagaimana Polak & McCullough
(2006) menambahkan seseorang yang sering mengejar tujuan-tujuan kekayaan agar
tercapai suatu kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup, namun hal tersebut justru
terlihat individu merasa tidak bahagia dengan kondisi hidupnya.
2. Pernikahan
Seligman (2005) mengungkapkan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan
kebahagiaan. Pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat
membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki
anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan
identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004).
3. Religiusitas
Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang
yang tidak religius (Seligman, 2005). Carr (2004) juga menambahkan keterlibatan
dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang
lebih baik yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak
berlebihan dalam makanan dan minuman, dan bekerja keras. Didukung juga oleh
penelitian yang dilakukan oleh Elfida (2008) menunjukkan bahwa keyakinan religius
memberikan kontribusi yang besar terhadap kebahagiaan individu.
4. Syukur
Berbagai manfaat syukur telah ditemukan kebenarannya, sebagaimana sebuah
penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003) terhadap
mahasiswa dengan praktek syukur, hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa
yang melakukan praktek bersyukur dilaporkan setiap minggunya memiliki emosi
positif dan kegiatan positif yang lebih tinggi seperti rutin berolahraga, merasa lebih
baik mengenai kehidupan, lebih optimis, menjadi lebih tinggi tingkat kewaspadaan,
antusias, dan memiliki tekad. Penelitian ketiga dari Emmons dan McCullough (2003)
juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki penyakit neuromuskuler namun
merasa bersyukur dengan kondisi tersebut dapat memberikan dampak yang positif
terhadap kesejahteraan inidvidu.
5. Kehidupan sosial
Orang yang bahagia biasanya memiliki efek yang positif berkenaan dengan kehidupan
sosial, seperti halnya lebih banyak memiliki teman, memiliki dukungan sosial yang
kuat serta berinteraksi sosial dengan lebih baik (Lyubomirsky, Schkade & Sheldon,
2005).
6. Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi setiap individu. Ketika individu
merasa sakit terkadang kebahagiaan terasa sedikit berkurang. Sebagaimana Okun dkk
(dalam Polak & McCullough, 2006) mengungkapkan ada hubungan kesehatan yang
buruk dengan ketidakbahagiaan dan kesusahan. Kajian Mayo Clinic (dalam Seligman,
2005) juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang bahagia memiliki kebiasaan
yang lebih baik berkenaan dengan kesehatan, memiliki tekanan darah yang lebih
rendah, dan system kekebalan tubuh yang lebih kuat daripada orang yang kurang
bahagia. Sementara itu Aspinwall (dalam Seligman, 2005) juga mengatakan bahwa
orang yang bahagia memiliki kesadaran yang lebih baik mengenai kesehatan, dan
kebahagiaan merupakan salah satu faktor untuk memanjangkan usia dan dapat
meningkatkan kesehatan. Menurut Lyubomirsky, King dan Diener (2005)
kebahagiaan menunjukkan korelasi yang positif dengan indikator kesehatan mental
dan fisik. Kebahagiaan mempengaruhi kesehatan melalui dampaknya pada hubungan
sosial, perilaku sehat, serta kemungkinan berefek pada fungsi kekebalan tubuh
individu. Seligman dkk (dalam Diener & Chan, 2011) juga menambahkan bahwa
kesejahteraan subjektif memiliki manfaat yang positif mengenai kesehatan fisik
seperti lebih cepat dalam penyembuhan luka dan memiliki tekanan darah yang lebih
rendah.
7. Usia dan jenis kelamin
Menurut Freedman (dalam Polak & McCullough, 2006) orang yang berusia lebih tua
kemungkinan bisa menerima dan memiliki kepuasan hidup dibandingkan yang
berusia lebih muda, karena yang berusia lebih tua memiliki makna dan arah hidup
yang lebih pasti dan lebih percaya diri dalam nilai-nilai kemudian juga lebih optimis
daripada yang berusia lebih muda. Berdasarkan tingkat kebahagiaan ditinjau dari jenis
kelamin yaitu antara laki-laki dan perempuan sebetulnya tidak memiliki perbedaan
yang cukup jauh mengenai keadaan emosinya, namun terkadang perempuan
cenderung dilaporkan lebih memiliki afek negatif dan sekaligus lebih bahagia
dibandingkan laki-laki (Diener, 2011).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan adalah adanya faktor internal, yaitu usia, jenis kelamin,
kesehatan, religiusitas dan syukur sementara itu faktor eksternal yang berpengaruh
diantaranya adalah kehidupan sosial, pernikahan dan kekayaan.
2.3.4 Pengukuran Kebahagiaan
Penelitian ini akan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Argyle, Martin &
Crossland yaitu menggunakan Oxford Happines Questionnaire (OHQ) yang
mengungkapkan aspek-aspek happiness antara lain : Life satisfaction, Joy, Self
Esteem, Calm, Control dan Efficacy (Liaghatdar, 2008) Adapun skala ini disesuaikan
dengan menerjemahkan bahasanya dan memodifikasi struktur bahasanya supaya item
yang dipergunakan dapat dipahami oleh subyek. Komponen yang dikembangkan oleh
(Hills,P dan Argyle, M.2002) dalam Oxford Happiness Questionnaire (OHQ) antara
lain :
1. Life Satisfaction : (Kepuasan hidup) mencakup seperti satisfied with life, life is
rewarding, warmth for other, interested in others, interested in others, optimistic,
find beauty in things, in control, life has meaning and purpose
2. Joy : (Kegembiraan) mencakup seperti mentally alert, pleased with self, have fun
with others, wake up rested, laugh a lot, feel happy, make decisions easily
3. Self-esteem : (Harga Diri) mencakup seperti world is good, committed and
involved, look attractive, life is good, feel energetic
4. Calm : (Ketenangan) mencakup seperti find things amusing, can organize time,
happy memories
5. Control : (Kontrol Diri) mencakup seperti joy and elation, cheerful effect on
others, done things wanted, can do most things
6. Efficacy : (Kemudahan) mencakup seperti feel healthy
2.4 Sikap penerimaan diri
Sikap penerimaan diri dapat dimaknai dengan kemampuan individu untuk
menrima keberadaan diri sendiri. Sikap penrimaan diri dapat dilakukan secara
realistis maupun tidak realistis. Sikap penerimaan diri secara realistis ditandai
dengan kemampuan individu dalam melihat kelemahan maupun kelebihan diri
secara obyektif, sedangankan penerimaan diri tidak realistis terjadi jika seseorang
menilai kelebihan diri sendiri secara berlebihan, menolak kelemahan diri
mengingkari hal-hal buruk pada diri sendiri, seperti mengingkari atau melihat
secara berlebihan pengalaman traumatis masa lalu (Agoes, 2007).
Penerimaan diri dapat ditunjukkan dengan adanya pengakuan seseorang terhadap
kelebihan-kelebihannya sekaligus kelemahan atau kekurangannya tanpa
menyalahkan orang lain. Penerimaan diri merupakan sikap yang positif terhadap
diri sendiri, menerima keadaan diri, dan menghargai diri dan orang lain, serta
menerima keadaan emosionalnya. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan
kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya.
Individu yang memiliki penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan
dapat menerima kelemahannya. Hal tersebut didukung oleh pendapat dari Hjelle
dan Ziegler (1981 dalam Sari dan Nuryoto 2002) yang menyatakan bahwa
individu dengan penerimaan diri memiliki toleransi terhadap frustrasi atau
kejadian-kejadian yang menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-
kelemahan dirinya tanpa harus menjadi sedih atau marah. Individu ini dapat
menerima dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan
kelemahan. Jadi, individu yang mampu menerima dirinya adalah individu yang
dapat menerima kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima
kelebihannya.
Menurut Jersild (1963, dalam Sari dan Nuryoto 2002), beberapa karakteristik
individu dalam penerimaan diri secara baik, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan. Berpikir lebih
realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan
orang lain adalah salah satu sikap yang ditunjukkan oleh individu yang
memiliki penerimaan diri yang baik. individu tersebut dapat melakukan
sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.
2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. Individu
yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam
dirinya, lebih baik dari pada individu yang tidak memiliki penerimaan diri.
3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri. Seseorang individu yang
terkadang merasakan inferioritas atau disebut dengan infiority complex
adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal
tersebut akan mengganggu penilaian yang realistis atas dirinya.
4. Respon atas penolakan dan kritikan. Individu yang memiliki penerimaan diri
tidak menyukai kritikan, namun demikian ia mempunyai kemampuan untuk
menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut.
5. Keseimbangan antara real self dan ideal self. Individu yang memiliki
penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan
dari dalam dirinya dengan baik yang memungkinkan individu memiliki
ambisi secara benar, namun tidak mungkin mencapainya walaupun dalam
jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu,
dalam mencapai tujuannya individu mempersiapkan hal-hal yang mungkin
dapat dicapai, untuk memastikan agar dirinya tidak ada kecewa di kemudian
hari.
6. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Hal ini berarti apabila seorang
individu menyayangi dirinya, dan mampu menerima segala kekuatan dan
kekurangan diri, maka akan lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi
orang lain dan menerima orang lain dengan baik.
7. Menuruti kehendak dan menonjolkan diri. Apabila seorang individu
menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu tersebut memanjakan
dirinya, akan tetapi individu akan menerima bahkan menuntut kelayakan
dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya, individu
dengan penerimaan diri menghargai harapan orang lain dan meresponnya
dengan bijak.
8. Spontanitas dan menikmati hidup. Individu dengan penerimaan diri
mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam
hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang
dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak atau menghindari
sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
9. Aspek moral penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri bukanlah
individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal
moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu
memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa
nantinya, dan tidak menyukai kepura-puraan.
10. Sikap terhadap penerimaan diri. Individu yang dapat menerima hidupnya
akan menunjukkan sikap menerima apapun kekurangan yang dimilikinya
tanpa harus malu ketika berada di lingkungan sosialnya.
Menurut Bastaman (2007), terdapat beberapa komponen yang menentukan
keberhasilan seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:
1. Pemahaman diri (Self Insight). Yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya
kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke
arah kondisi yang lebih baik.
2. Makna hidup (the meaning of life). Nilai-nilai penting yang bermakna bagi
kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus
dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.
3. Pengubahan sikap (changing attitude). Merubah diri yang bersikap negatif
menjadi positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah.
4. Keikatan diri (self commitment). Merupakan komitmen individu terhadap
makna hidup yang ditetapkan. Komitmen yang kuat akan membawa diri pada
hidup yang lebih bermakna dan mendalam.
5. Kegiatan terarah (directed activities). Suatu upaya-upaya yang dilakukan
secara sadar dan sengaja, berupa pengembangan potensi pribadi yang positif
serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk mencapai tujuan hidup.
6. Dukungan sosial (social support). Yaitu hadirnya seseorang atau sejumlah
orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu sedia memberi bantuan pada
saat-saat diperlukan.
Menurut Germer (2009), proses penerimaan diri sebagai bentuk keadaan
melawan ketidaknyamanan. Tahap awal yang terjadi adalah rasa kebencian,
selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah. Apabila hal itu
berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan merangkul apapun yang terjadi
dalam hidup seorang individu. Penjelasan mengenai tahapan penerimaan diri
adalah sebagai berikut:
1. Aversion (kebencian/keengganan, menghindari, resisten). Reaksi alami pada
perasaan yang membuat tidak nyaman adalah kebencian atau keengganan.
Kebencian/keengganan ini juga dapat membentuk keterikatan mental atau
perenungan, mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk menghilangkan
perasaan tersebut.
2. Curiosity (melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian). Pada tahapan ini
individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu
untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya muncul adalah
"Perasaan apa ini?, Apa artinya perasaan ini?, Kapan perasaan ini terjadi".
3. Tolerance (menanggung derita dengan aman). Toleransi berarti menanggung
rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan
berharap perasaan tersebut akan segera hilang.
4. Allowing (membiarkan perasaan datang dan pergi). Setelah melalui proses
bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai
membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara
terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
5. Friendship (merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi). Individu
melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya. Hal ini
merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan diri.
Menurut Hurlock (1996 dalam Sari dan Nuryoto 2002), terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi seseorang dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:
1. Pemahaman Diri. Pemahaman diri adalah suatu persepsi atas diri sendiri yang
ditandai oleh keaslian bukan kepura-puraan, realistis bukan khayalan,
kebenaran bukan kebohongan, keterus-terangan bukan berbelit-belit.
2. Harapan yang realistis. Ketika pengharapan seseorang terhadap sukses yang
akan dicapai merupakan pengharapan yang realistis, kesempatan untuk
mencapai sukses tersebut akan muncul, sehingga akan terbentuk kepuasan diri
sendiri yang pada akhirnya membentuk sikap penerimaan terhadap diri
sendiri.
3. Tidak hadirnya hambatan-hambatan dari lingkungan. Ketidakmampuan untuk
mencapai tujuan yang realistis dapat disebabkan oleh ketidakmampuan
individu untuk mengontrol adanya hambatan-hambatan dari lingkungan,
misalnya: diskriminasi, ras, gender, dan kepercayaan.
4. Tidak adanya tekanan emosi yang berat. Tekanan yang berat dan terus
menerus seperti yang terjadi di lingkungan kerja atau rumah, dimana kondisi
sedang tidak baik, dapat mengakibatkan gangguan yang berat, sehingga
tingkah laku orang tersebut dinilai menyimpang dan orang lain menjadi
terlihat selalu mencela dan menolak orang tersebut.
5. Sukses yang sering terjadi. Kegagalan yang sering menimpa menjadikan
seseorang menolak terhadap diri sendiri, sebaliknya kesuksesan yang sering
terjadi menumbuhkan penerimaan terhadap diri sendiri.
6. Konsep diri yang stabil. Konsep diri yang baik akan menghasilkan penerimaan
diri yang baik namun sebaliknya bila konsep diri yang buruk secara alami
akan menghasilkan penolakan terhadap diri sendiri.
2.5 Regulasi emosi
Gross (2002 dalam Hidayat 2016) mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah
suatu proses individu mempengaruhi emosinya, ketika individu memiliki emosi
tersebut dan bagaimana suatu emosi dialami dan diekspresikan. Tice dan
Bratslavsky (Gallo, Keil, McCulloch, Rockstoh & Gollwitzer, 2009 dalam
Hidayat 2016) menuliskan bahwa regulasi emosi bisa berbentuk penghindaran
respon dengan melakukan sekumpulan tindakan untuk memunculkan emosi yang
berlawanan, seperti bersantai untuk menghilangkan perasaan cemas. Gross dan
Thompson (Lane, Bucknall, Davis, & Beedie, 2012 dalam Hidayat 2016)
mengemukakan bahwa regulasi emosi adalah strategi yang digunakan dengan
sengaja maupun otomatis untuk memulai, mempertahankan, dan menampilkan
emosi. Gross dan Levenson (1993 dalam Hidayat 2016) mendefinisikan regulasi
emosi sebagai manipulasi yang dilakukan dalam diri untuk mempengaruhi emosi
atau reaksi fisiologis, atau komponen perilaku yang dapat menimbulkan respon
emosional.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah proses yang digunakan oleh individu
untuk mempengaruhi emosinya, serta bagaimana cara menampilkan atau
mengekspresikan emosinya.
2.5.1 Strategi Regulasi Emosi
Gross (2002) dalam penelitiannya menyajikan model strategi regulasi emosi yang
bisa dilakukan, diantaranya adalah antecedent focused strategies dan response
focused strategies. Antecedent focused strategies adalah hal-hal yang dilakukan
individu sebelum merespon secara penuh suatu tekanan kemudian merubah
perilaku dan emosinya. Response focused strategies merupakan hal hal yang
dilakukan setelah emosi muncul.
Menurut Gross (2002 dalam Hidayat 2016), proses emosi terdiri dari lima tahap
yaitu:
1. Situation selection (pemilihan situasi)
Pemilihan situasi mengacu pada memilih untuk mendekati atau menghindari
orang-orang, tempat, atau hal-hal tertentu untuk mengatur atau meregulasi emosi.
Misalnya, seorang lansia memilih makan malam bersama seorang teman yang
dapat membuat lansia tersebut selalu tertawa, dibandingkan dengan bergabung
dengan lansia yang membuatnya sedih. Pemilihan situasi ini memberikan
dampak untuk jangka pendek dan jangka panjang, misalnya seorang lansia
pemalu berupaya mengurangi kecemasan dengan menghindari situasi sosial yang
dapat membantu dalam waktu jangka pendek, namun tindakan tersebut dalam
jangka panjang akan berdampak pada isolasi sosial.
2. Situation modification (modifikasi situasi)
Merupakan usaha memodifikasi satu keadaan secara langsung untuk
mendatangkan situasi baru. Modifikasi situasi yang dimaksud di sini dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan fisik eksternal maupun internal.
Gross (2007 dalam Hidayat 2016) menganggap bahwa upaya memodifikasi
internal lingkungan yaitu pada bagian perubahan kognitif. Misalkan jika salah
satu lansia tampak marah, maka dapat menghentikan interaksi marah kemudian
mengungkapkan dengan keprihatinan, meminta maaf, atau memberikankan
dukungan.
3. Attentional deployment (mengalihkan perhatian)
Attentional deployment dapat dianggap sebagai versi intenal dari seleksi situasi.
Dua strategi attensional yang utama adalah distraksi dan konsentrasi. Distraksi
memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang berbeda dari situasi yang
dihadapi, atau memindahkan perhatian dari situasi itu ke situasi lain, misalnya
ketika seorang lansia mengalihkan pandangannya dari stimulus yang dapat
membangkitkan emosi untuk mengurangi stimulasi. Attentional deployment bisa
memiliki banyak bentuk, termasuk pengalihan perhatian secara fisik (misalnya
menutup mata atau telinga), pengubahan arah perhatian secara internal (misalnya
melalui distraksi atau konsentrasi), dan merespon pengalihan.
4. Cognitive change (perubahan kognitif)
Perubahan penilaian yang dibuat oleh individu, termasuk pertahanan psikologis
dan pembuatan pembandingan sosial dengan yang ada di bawahnya (keadaannya
lebih buruk daripada saya). Hal ini merupakan transformasi kognisi untuk
mengubah pengaruh kuat emosi dari situasi. Perubahan kognitif mengacu pada
cara individu mengubah dan menilai situasi di mana seseorang terlibat di
dalamnya, seperti mengubah emosionalnya, dengan memikirkan tentang
situasinya atau tentang kapasitas individu tersebut untuk menanganinya.
5. Response modulation (perubahan respon)
Modulasi respon mengacu pada usaha individu untuk mempengaruhi tendensi
respon emosi yang siap untuk dimunculkan. Modulasi respon dipengaruhi oleh
respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku, misalnya lansia melakukan olahraga
dan relaksasi untuk mengurangi aspek fisiologis, pengalaman emosi negatif,
dengan menggunakan obat, rokok dan makanan.
Tahap 1-4 berfokus pada penyebab masalah, sedangkan tahap 5 berfokus pada
respon yang akan dihasilkan. Selain itu, terdapat juga dua konsekuensi dalam
meregulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan suppression. Gross (2002 dalam
Hidayat 2016) cognitive reappraisal merupakan cara mengubah situasi yang
dianggap dapat mengurangi dampak emosional. Suppression adalah cara
menghambat pertanda yang berasal dari luar perasaan. Mcrae, Heller, John, dan
Gross (2011 dalam Hidayat 2016) juga menuliskan bahwa suppression adalah
strategi yang digunakan untuk menghambat penampakan emosi, sedangkan
cognitive reappraisal adalah strategi yang melibatkan pikiran untuk kemudian
mengubah emosi. Keenan (2013 dalam Hidayat 2016) menuliskan bahwa
suppression terlibat secara aktif dalam menghambat pengalaman emosi secara
internal dan eksternal, baik secara verbal (lisan) atau mengontrol ekspresi wajah
sehingga emosi tidak tersampaikan, sedangkan cognitive reappraisal melibatkan
pikiran (kognitif) lebih dulu sebelum proses aktivasi emosi. Hal ini melibatkan
bagaimana merubah pikiran tentang situasi emosi yang tepat (strategi ini secara
rinci berfokus pada tujuan untuk meningkatkan atau mengurangi respon emosi).
Konsekuensi dari regulasi emosi menurut Gross dan John (2004 dalam Hidayat
2016) yaitu:
1. Konsekuensi afektif:
a. Cognitive reappraisal mengurangi pengalaman dan ekspresi perilaku dari
emosi negatif tanpa melibatkan atau meningkatkan aktivasi dari respon
fisiologis.
b. Suppression mengurangi ekspresi perilaku dari emosi negatif tetapi tidak
menurunkan pengalaman subjektif dari emosi.
2. Konsekuensi kognitif:
a. Cognitive Reapraisal tidak membutuhkan regulasi diri yang terus- menerus
atau berkelanjutan.
b. Suppression membutuhkan self-awareness dan regulasi diri selama proses
penekanan dilakukan sehingga mengurangi kemampuan kognitif dalam
mengingat kembali peristiwa yang terjadi ketika dilakukan penekanan.
3. Konsekuensi sosial
a. Cognitive reappraisal memiliki konsekuensi yang lebih positif
dibandingkan dengan suppression karena cognitive reappraisal
mengurangi pengalaman emosi negatif dan ketika meningkatkan emosi
positif
b. Suppression memiliki konsekuensi sosial yang negatif, karena gagal
menyerap informasi yang dibutuhkan, gagal dalam merespon dengan tepat
terhadap orang lain dan juga kelihatan menghindar sehingga mengganggu
interaksi sosial.
Emosi setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan harus mengatur
kondisi emosinya. Faktor tersebut antara lain (Widiyastuti, 2014):
1. Faktor lingkungan. Lingkungan tempat individu berada termasuk lingkungan
keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat yang akan mempengaruhi
perkembangan emosi
2. Faktor pengalaman. Pengalaman yang diperoleh individu selama hidup akan
mempengaruhi perkembangan emosinya. Pengalaman selama hidup dalam
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan akan menjadi refrensi bagi
individu dalam menampilkan emosinya
3. Pola asuh orang tua. Pola asuh ada yang otoriter, memanjakan, acuh tak
acuh, dan ada juga yang penuh kasih sayang. Bentuk pola asuh itu akan
mempengaruhi pola emosi yang di kembangan individu.
4. Pengalaman traumatik. Kejadian masa lalu akan memberikan kesan traumatis
akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibat rasa takut dan
juga sikap terlalu waspada yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi
emosionalnya.
5. Jenis kelamin. Keadaan hormonal dan kondisi fisiologis pada laki-laki dan
perempuan menyebabkan perbedaan karakteristik emosi antara keduanya.
Wanita harus mengontrol perilaku agresif dan asertifnya. Hal ini
menyebabkan timbulnya kecemasan kecemasan dalam dirinya. Sehingga
secara otomatis perbedaan emosional antara pria dan wanita berbeda.
Perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan strategi regulasi emosi yang
digunakan. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa laki-laki dewasa
muda lebih banyak menyalahkan diri sendiri saat meregulasi emosinya,
sedangkan perempuan dewasa muda lebih sering menyalahkan orang lain.
6. Usia. Kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
kematangan fisiologis seseorang. Semakin bertambah usia, kadar hormonal
seseorang menurun sehingga menggakibatkan penurunan pengaruh
emosional seseorang. Beberapa penelitian menyatakan bahwa seiring
berjalannya usia, semakin dewasa individu semakin adaptif strategi regulasi
emosi yang digunakan (Gross, Richard & John, 2004 dalam dalam Hidayat
2016)
7. Perubahan jasmani. Perubahan jasmani adalah perubahan hormon-hormon
yang mulai berfungsi sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing.
8. Perubahan pandangan luar. Perubahan pandangan luar dapat menimbulkan
konflik dalam emosi seseorang.
9. Religiusitas. Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat
mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan
berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan
dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005,
dalam Anggraini, 2015)
2.6 Penelitian Terkait Sebelumnya
Tabel 2.1 Penelitian Terkait Sebelumnya
No Judul Penulis Desain Variabel Hasil-kesimpulan
1 The Relationship
between Spiritual
Well-Being and
Quality of Life
among the Elderly
People Residing in
Zahedan City
(South-East of Iran)
Maryam
Seraji1,
Davood
Shojaezade1
, Fateme
Rakhshani
cross-
sectional and
correlational
study
Spiritual well-
being
Quality of
Life
The mean score of
quality of life was
(58.2 ± 6.25).
Women’s quality
of life was
significantly lower
than men’s (p =
0.04). The mean
score of spiritual
well-being was
(88.98 ± 7.35).
Moreover, there
was a positive
correlation
between quality of
life and both
spiritual (p = 0.04,
r = 0.42) and
religious well-
being (p = 0.043, r
= 0.41).
2 Spiritual well being
of elderly people
resident in nursing
home
Jadidi A,
Farahaninia
M,
Janmohamm
adi S,
Haghani H
cross-
sectional study
Spiritual well
being
The results showed
that the spiritual
well being of the
participants at the
intermediate level
and above, and the
average score of
spiritual well being
was 96/26 ±
17/93. As the
results of ANOVA
and independent t-
test showed that the
spiritual health of
the participants is
not associated with
any of the
demographic
variables
3 Perbedaan
kesejahteraan
Tuti
Anggiani, H
Deskriptif
analitik
Kesejahteraan
spiritual
Ada perbedaan
spiriutual pasien
No Judul Penulis Desain Variabel Hasil-kesimpulan
spiritual pada pasien
sebelum dan
sesudah operasi
jantung
Iyes Yosep,
Aan Nur’
aeni
komparatif sebelum dan
sesudah
operasi
sebelum dan
sesudah operasi
jantung dengan
peningkatan nilai
77 menjadi 84,65
dengan nilai
p=0.001
4 Hubungan
kesejahteraan
spiritual dengan
tingkat depresi
lansia
Ninda Isfatun
Kasana
Deskriptif
analitik
Kesejahteraan
spiritual dan
tingkat
depresi
Rata – rata lansia
memiliki
kesejahteraan
spiritual baik
63,67% dan lansia
tidak mengalami
depresi 71,2%
dengan p= 0,000
5 Hubungan antara
religiusitas dengan
psychological well-
being pada lansia
Septy Indah
Maulina
Analitik
korelasi
psychological
well-being
religiusitas
Ada hubungan
positif yang sangat
signifikan dengan
korelasi 0.914, nilai
p=0,000
(p ≤ 0,01)
6 Hubungan antara
kesejahteraan
spiritual dengan
kepuasan hidup
Rully Afrita
Anastasia
Ediati
Analitik Kesejahteraan
spiritual
Kepuasan
hidup
tidak ada hubungan
yang signifikan
antara
kesejahteraan
spiritual dengan
kepuasan hidup
dengan nilai (r = -
0,002; p = 0,984).
7 The impact of
spirituality well
being and coping
strategys on patient
with generalized
anxiety disorder
Faizal Amjad Analitic Spirituality
well being
Coping
strategys
the data were
analyzed by
descriptive
statistics, linear
and stepwise
regression, and
Sobel z-test of
mediation analysis.
The stepwise
regression analysis
showed that out of
13 dimensions of
spiritual wellness,
only three
dimensions (i.e.,
concept of
hereafter, mystery,
and meaning)
significantly
predicted GAD
symptoms in
negative direction.
The mediational
analysis showed
that active
practical and
religious coping
strategies did not
mediate between
the relationship of
spiritual wellness
and symptoms of
GAD.
8 Gambaran
kebahagiaan lansia
yang tinggal di Panti
Werdha
Cicilia Pali Kualitatif Hal ini dianalisis
berdasarkan teori
kebahagiaan
otentik dari
Seligman. Hasil
penelitian
menunjukkan satu
lansia tidak
menunjukkan
kebahagiaan, satu
lansia relatif
bahagia, dan
lainnya
menunjukkan
sangat bahagia
dalam menilai
keseluruhan
hidupnya
9 Kebahagiaan lansia
ditinjau dari
dukungan keluarga
Dyah Ayu
Mastuti
Analitik Kebahagiaan
dukungan
keluarga
Berdasarkan hasil
analisis diperoleh
nilai koefisien
korelasi (r) sebesar
0,691 dan sig. (1-
tailed) = 0,000, p <
0,01, artinya ada
hubungan positif
yang sangat
signifikan antara
dukungan keluarga
dengan
kebahagiaan.
Kebahagiaan pada
lanjut usia
tergolong cukup
dilihat dari rerata
empirik (RE) 99,53
dan rerata hipotetik
(RH) 101,5.
Dukungan keluarga
pada lanjut usia
tergolong
cenderung rendah
dilihat dari rerata
empirik (RE) 58,73
dan rerata hipotetik
(RH) 78. Dukungan
yang diberikan
keluarga terhadap
kebahagiaan pada
lanjut usia sebesar
47,78 %, maka
masih ada 52,22%
faktor-faktor lain
yang berpengaruh
terhadap
kebahagiaan pada
lanjut usia selain
faktor dukungan
keluarga
10 Meningkatkan
kebahagiaan lansia
di panti wreda
melalui psikoterapi
positif dalam
kelompok
Uun Zulfiana Eksperimen kebahagiaan
lansia
psikoterapi
positif
Hasil analisis dari
kelompok
eksperimen
didapatkan z = -
2.803 asymp sig =
0.05 = 0.05,
menggambarkan
adanya perbedaan
signifikan
kebahagiaan pada
kelompok
eksperimen antara
sebelum intervensi
dengan sesudah
intervensi. pada
kelompok kontrol
tidak menunjukkan
adanya perubahan
kebahagiaan
ditunjukkan dengan
z = .647 asymp sig
= .518 > 0.05,
artinya tidak ada
perbedaan
kebahagiaan pada
pre dan post test.
Hasil analisis
didapatkan z = -
3.747 exact sig
.000 < 0.05, artinya
terdapat perbedaan
yang signifikan
antara kelompok
eksperimen dan
kontrol. Kelompok
eksperimen setelah
post test
menunjukkan
kebahagiaan yang
lebih tinggi
dibandingkan
dengan kelompok
kontrol
11 Makna kebahagiaan
pada lansia muslim
yang tinggal di Panti
Iin Nasri
Impisari
Kualitatif
dengan
pendekatan
fenomenologi
Makna
kebahagiaan
Semua subyek
memaknai
kebahagiaan
sebagai perasaan
senang. Mereka
merasa
bahagia/senang
karena semua
kebutuhan
hidupnya terpenuhi
dan terjamin,
subyek mempunyai
banyak teman dan
subyek juga tidak
perlu memikirkan
biaya hidup, seperti
membayar sewa
tempat tinggal dan
membayar
keperluan lainnya
12 A. Comparison of
Happiness and
Spiritual Well-
Being among
the Community
Dwelling
Elderly and
those who Lived
in Sanitariums
Mohsen Adib-
Hajbaghery,
and Mona
Faraji
comparative
study
Happiness
Spiritual
Well-Being
From the total
participants, 56%
were CD elderly
and 44% were in
sanitariums.
Among the CD
older adults, no one
was at a high level
of spiritual well-
being while in
sanitariums 24.4%
were at a high level
of spiritual well-
being. Also, 71.2%
of the community
dwelling older
adults were at a
high level of
happiness while
only 3.6% of those
living in
sanitariums
expressed a high
level of happiness.
A significant
association was
found between the
level of spiritual
well-being and
happiness in those
who lived in
sanitariums
(r=0.177,
P<0.021).
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka konsep penelitian
Faktor yang
mempengaruhi
kebutuhan spiritual:
1. Tahap perkembangan
2. Peranan keluarga
3. Latar belakang etnik
dan budaya
4. Pengalaman hidup
sebelumnya
5. Krisis perubahan
6. Terpisah dari ikatan
spiritual
e. Zuhud
f. wara’
g. Fakir
h. Mahabah
i. Ma’rifat
Pemenuhan Kebutuhan
Holistik lansia:
1. Fisik
2. Psikologis
3. Social
4. Budaya
5. Spiritual Islami:
a. Taubat
b. Sabar
c. Tawakal
d. Ridho
Konseling Dzikir
Konseling dan dzikir
1. Sikap penerimaan diri
2. Regulasi emosi
3. Bahagia
Proses perubahan pada lansia:
1. Penampilan
2. Fungsi fisiologi
3. Fungsi kognitif
4. Psikososial
5. Kemampuan mental
6. Spiritual
Bagan 3.1 Kerangka konsep pengaruh spiritual well being dengan metode konseling
dan dzikir terhadap sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan lansia
Keterangan:
Perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan
yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-perubahan yaitu
perubahan fisik berupa penampilan, fungsi fisiologi, perubahan mental berupa fungsi
kognitif dan kemampuan mental, perubahan psikologis dan sosial serta spiritual.
Perubahan ini mempunyai efek terhadap pelayanan kesehatan secara holistik pada
lansia yaitu pelayanan secara fisik, psikologis, sosial, budaya dan spiritual. Kebutuhan
spiritual pada lansia saat ini dapat dipengaruhi berbagai hal mulai dari tahap
perkembangan, peranan keluarga, latar belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup
sebelumnya, adanya krisis perubahan dan kemungkinan terpisah dari ikatan spiritual.
Aspek spiritual well being secara Islami dapat terjadi pada seseorang terdapat
tingkatan mulai dari taubat, Taubat, Sabar, Tawakal, Ridho Zuhud, Wara’, Fakir,
Mahabah dan tingkatan tertinggi adalah Ma’rifat. Untuk mencapai spiritual well being
yang berbasis Islami berbagai intervensi dapat dilakukan berupa konseling spiritual
dan dzikir. Intervensi ini diharapkan dapat mempengaruhi terjadinya spiritual well
being melalui mekanisme yang ada di otak manusia melalui sistem limbik sebagai
pusat informasi yang berhubungan langsung dengan amygdala. Proses ini berupa
kognitif yang pemikiran dan afektif yang berbentuk emosi. Seseorang harus
mendorong sikap penerimaan terhadap diri sendiri dan emosinya ke arah yang positif
maka akan terjadi kebahagiaan. Namun pikiran manusia untuk mencapai kebahagiaan
yang terproses di otak hanyalah instrumen yang dikaruniakan oleh Allah SWT untuk
menjalani kehidupannya dengan baik.
44
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain eksperimen Pretest – Postest with Control
Group
Kelompok eksperimen Pre-test perlakuan post-test
01a Xa 02a
01b Xb 02b
01c Xab 02c
Kelompok kontrol 01d 02d
Keterangan:
01a: kelompok konseling
01b: Kelompok dzikir
01c: Kelompok konseling dan dzikir
01d: Kelompok kontrol
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, Sampling.
1. Populasi adalah semua lansia yang tinggal di UPTD Griya Werdha Surabaya.
Kriteria populasi adalah lansia yang dapat berkomunikasi dengan baik, tidak
mengalami gangguan pendengaran, tidak mengalami gangguan kognitif, tidak
depresi berjumlah 54 orang. Sedangkan untuk kelompok control adalah lansia
yang tinggal di Panti Werda Hargo Dedali dengan populasi 22 orang. Jumlah
populasi secara keseluruhan 76 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi lansia yang berjumlah 45 lansia untuk
3 kelompok intervensi dan 15 orang untuk kelompok kontrol
3. Besar sampel
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
(t-1) (r-1) > 15
dimana : t = banyaknya kelompok perlakuan
46
52
r = jumlah replikasi
jumlah perlakuan ada 3 kelompok, maka besar sampel untuk tiap
perlakuan dapat dihitung:
(3 -1) (r-1) > 15
(r-1) > 15/3
r > 9
Untuk mengantisipasi hilangnya unit ekskperimen maka dilakukan
koreksi dengan 1/(1-f) di mana f adalah proporsi unit eksperimen yang
hilang atau mengundur diri atau drop out, sehingga: n= 9 (1+0,15) =
10,15
Besar sampel pada penelitian ini untuk masing-masing kelompok adalah
15 responden sehingga keseluruhan 60 orang
4. Tehnik sampling.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak sederhana atau Simple
Random Sampling. Pengambilan sampel secara acak sederhana adalah
bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk diseleksi sebagai sampel.
4.3 Variabel penelitian.
1. Variabel intervensi penelitian ini adalah spiritual well being berbasis Islami
dengan metode konseling dan dzikir
2. Variabel dependen penelitian ini adalah sikap penerimaan diri, regulasi
emosi dan kebahagiaan lansia
4.4 Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka kerja penelitian digambarkan sebagai berikut:
53
4.5 Definisi Operasional
Definisi operasional penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:
No Variabel Definisi Alat ukur Skala
ukur
Hasil
ukur
1 Variabel
Intervensi
Spiritual well
being berbasis
Islami:
1. Taubat
memohon ampunan atas segala
dosa yang disertai dengan
penyesalan dan dengan
bersungguh-sungguh berjanji untuk
Kuesioner
Interval Skor
mean
dan SD
Lansia
Pre tes
Pengukuran spiritual well being berbasis Islami dan
sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan
kebahagiaan
Kelompok konseling
Kelompok dzikir
Kelompok konseling dan dzikir
Kelompok kontrol
Post tes
Pengukuran spiritual well being berbasis Islami dan
sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan
Analisis
Paired t-test dan Manova
Hasil
Intervensi 2 kali seminggu selama 8 minggu
54
No Variabel Definisi Alat ukur Skala
ukur
Hasil
ukur
2. Sabar
3. Tawakk
al
4. Ridha
tidak mengulanginya kembali
diiringi dengan melakukan
kebajikan yang dianjurkan oleh
Allah
menerima segala keputusan dan
tindakan Allah
menyerahkan diri, pasrah dan
menyerahkan segalanya pada Allah
setelah melakukan rencana atau
usaha
tidak menentang qadha, dan qadar
nya Allah, menerima qadha, dan
qadar dengan hati senang
Konseling proses pemberian bantuan yang
dilakukan kepada lansia yang
mengalami sesuatu masalah yang
bermuara pada teratasinya masalah
yang dihadapi lansia
Panduan
pelaksanaan
konseling
Dzikir aktifitas ibadah dalam umat Muslim
untuk mengingat Allah
Panduan dzikir
Konseling dan
dzikir
Kombinasi antara intervensi
konseling dan dzikir
2 Variabel
dependen
Sikap
penerimaan diri
Kecenderungan perasaan lansia
dalam menerima keadaan dirinya
sendiri, tentang segala kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki
Kuesioner
Interval
Skor
mean
dan SD
Regulasi Emosi kemampuan lansia untuk mengatur
perasaan, reaksi fisiologis, kognisi
yang berhubungan dengan emosi,
dan reaksi yang berhubungan
dengan emosi positif
Kuesioner Interval Skor
mean
dan SD
Kebahagiaan Emosi dan pikiran positif yang
secara subyektif dirasakan lansia
dalam menghadapi kehidupan di
panti
Kuesioner
Interval Skor
mean
dan SD
4.6 Tehnik pengumpulan data.
Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti mengajukan ijin penelitian ke
Bakesbangpolinmas, Dinas Sosial dan UPTD Panti Werda. Selanjutnya
55
peneliti mengajukan laik etik untuk mendapatkan persetujuan etik dengan
nomor 195/S/KEPK/VI/2018. Uji coba kuesioner dilakukan di PSTW
Pasuruan dengan uji validitas dan reliabilitas yaitu dengan membandingkan
nilai r tabel dengan nilai r hitung yaitu dengan menggunakan df=n-2 =20-
2=18. Pada tingkat kemaknaan 5% didapat angka r tabel adalah 0.444.
Menentukan nilai r hasil dapat dilihat pada kolom corrected item total
correlation. Bila r hasil > r tabel, maka pernyataan tersebut valid. Hasil uji
validitas kuesioner spiritual well being beberapa pernyataan dihilangkan yaitu
no 1,2,5,11,20,25 dan 28, uji reliabilitas alpha (0,933) > 0,444. Uji validitas
kebahagiaan pernyataan yang tidak valid dikoreksi dan hasil uji
reliabilitasnya alpha (0,895) > 0,444. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner
sikap penerimaan diri alpha (0,679) > 0,444. Pernyataan yang tidak valid
dikoreksi secara kontens. Hasil uji reliabilitas pada kuesioner regulasi alpha
(0,620) > 0,444, semua pernyataan dinyatakan valid.
Selanjutnya akan dilakukan pengumpulan data sebelum intervensi,
pelaksanaan intervensi 2 kali dalam seminggu selama 8 minggu, serta akan
dilakukan pengumpulan data setelah intervensi. Selama pengumpulan data
direncanakan melibatkan perawat di Panti Werda namun sebelumnya peneliti
melakukan penjelasan dalam melaksanakan SOP konseling dan dzikir.
4.7 Analisis data
Analisis data pada penelitian adalah analisis univariat, berupa distribusi
frekuensi dan persentase dari masing – masing variabel. Uji statistik yang
digunakan pada analisis bivariat menggunakan uji Paired T-Test dengan
tingkat kemaknaan 95 % (alpha 0,05). Uji beda menggunakan uji Anova
BIAYA PENELITIAN
56
Pembiayaan yang diajukan pada penelitian ini terdiri dari persiapan, pengumpulan
data, pengolahan data, penulisan laporan penelitian, penggandaan laporan, honor
tim pembantu peneliti dan biaya lain-lain, dijabarkan pada tabel berikut:
No Kegiatan transport/kegiatan (Rp) jumlah kegiatan Jumlah
A Perjalanan (16%)
Transport
Ketua 100,000 24 2,400,000
Peneliti 1 100,000 24 2,400,000
4,800,000
No Kegiatan Jumlah kebutuhan Harga Jumlah
B Bahan (74%)
Modul SOP 27 bj 15,000 405,000
Konsumsi tim peneliti 10 kali x 10 orang 35,000 3,150,000
Snack responden 7 kali x 55 orang 15,000 5,250,000
honor tim pembantu peneliti 8 orang x 8 kali 55,000 7,040,000
biaya analisis data 3 kali 1,500,000 4,500,000
notes 60 bj 14,500 870,000
bolpoint 5 pack 18,000 90,000
penggandaan :
Fc proposal 5 eks x 42 hal 200 43,000
Fc protokol 6 eks x 50 hal 200 60,000
Fc laporan tengah 6 eks x 60 hal 200 66,000
Fc laporan akhir 12 eks x 80 hal 200 192,000
Penjilidan 29 eks 6000 174,000
Fc kuesioner 60 orang x 3 x 10 lbr 200 360,000
22,200,000
C Lain-lain (10%)
suvenir lansia
Kipas batik Jumbo 60 10,000 600,000
sabun mandi cair 60 10,500 630,000
Shampo 60 10,500 630,000
Minyak kayu putih 60 9,500 570,000
Tempat peralatan mandi 60 6,500 390,000
Tasbih 60 3,000 180,000
3,000,000
Jumlah Total
30,000,000
57
BAB V
HASIL PENELITIAN
Bab ini membahas tentang hasil penelitian yaitu gambaran umum tempat
penelitian, data umum berupa karakteristik responden yang berkaitan dengan data
jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur dan lama tinggal di Panti. Data khusus
dijelaskan tentang hasil uji statistik dari variabel penelitian pada kelompok dzikir,
konseling, dzikir dan konseling serta kontrol.
5.1 Gambaran umum tempat penelitian.
Penelitian dilakukan di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya dan Panti
Werdha Hargodedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya. Jumlah total lanjut usia
yang tinggal di UPTD Panti Werdha Jambangan Surabaya sebanyak 125 orang.
Data lanjut usia kelompok perlakuan diambil dari UPTD Panti Werdha
Jambangan sebanyak 45 orang, selanjutnya dikelompokan menjadi 15 orang
sebagai kelompok dzikir, dan 15 orang kelompok konseling, serta 15 orang
kelompok dzikir + Kknseling. Kelompok kontrol diambil dari Panti Werdha
Hargo Dedali Jl. Menur Plumpungan Surabaya total lanjut usia yang tinggal
sebanyak 50 orang, sedangkan untuk kelompok kontrol sebanyak 15 orang.
5.2 Data Umum
1. Karakteristik Jenis Kelamin
Tabel 5.1. Distribusi karakteristik jenis kelamin lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Jenis kelamin Jumlah Persentase
Kelompok dzikir
Laki 6 40
Perempuan 9 60
Total 15 100
Kelompok konseling
Laki 6 40
perempuan 9 60
Total 15 100
Kelompok dzikir dan
51
58
Jenis kelamin Jumlah Persentase
konseling
Laki 7 47
perempuan 8 53
Total 15 100
Kelompok kontrol
Laki 0 0
perempuan 15 100
Total 15 100
Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik jenis kelamin lanjut usia sebagian besar
adalah perempuan pada seluruh kelompok, sedangkan pada kelompok kontrol
tidak satupun lansia yang berjenis kelamin laki-laki.
2. Karakteristik Tingkat Pendidikan
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Tingkat Pendidikan Lanjut Usia di Panti
Werdha Tahun 2018
Tingkat pendidikan Jumlah Persentase
Kelompok dzikir
SD 10 67
SMP 3 20
SMA 2 13
PT 0 0
Total 15 100
Kelompok konseling
SD 13 86
SMP 0 0
SMA 1 7
PT 1 7
Total 15 100
Kelompok dzikir dan konseling
SD 11 73
SMP 1 7
SMA 2 13
PT 1 7
Total 15 100
Kelompok kontrol
SD 7 47
SMP 3 20
SMA 5 33
PT 0 0
Total 15 100
59
Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar lanjut usia yang tinggal di
Panti Werdha berpendidikan SD, namun pada kelompok konseling hampir
seluruhnya berpendidikan SD (86%), sebagian kecil ada yang berpendidikan
perguruan tinggi yaitu pada kelompok konseling dan dzikir + konseling masing-
masing 1 orang (7%).
3. Karakteristik Umur
Tabel 5.3. Distribusi karakteristik umur lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Umur Mean
Median
SD Min - Max 95% CI
Kelompok dzikir 73.73
75
7.869 63 - 88 69.38 – 78.09
Kelompok konseling 71.73
72
4.511 64 - 77 69.24 – 74.23
Kelompok dzikir+konseling 72.60
72
6.833 63 - 85 68.82 – 76.38
Kelompok kontrol 76.40
77
5.527 69 - 87 73.34 – 79.46
Hasil analisis didapatkan rata – rata umur lanjut usia yang tertinggi adalah
kelompok kontrol (76,40 tahun) dan yang paling rendah pada kelompok konseling
(71,73 tahun). Hasil estimasi interval disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa
rata-rata usia lanjut usia pada kelompok kontrol 73,34 tahun sampai dengan 79,46
tahun, sedangkan pada kelompok konseling 69,24 tahun sampai dengan 74,23
tahun. Dilihat dari median yang paling tinggi adalah kelompok kontrol (77 tahun)
dan kelompok dzikir (75 tahun). Dari standar deviasi yang besar secara berturut
turut adalah kelompok dzikir, dzikir+konseling, kontrol dan konseling. Umur
termuda (63 tahun) dan tertua (88 tahun) berada pada kelompok dzikir.
60
4. Karakteristik Lama tinggal di Panti
Tabel 5.4. Distribusi karakteristik Lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha
Tahun 2018
Lama tinggal Jumlah Persentase
Kelompok dzikir
< 1 tahun 1 7
1-2 tahun 6 40
2-3 tahun 2 13
> 3 tahun 6 40
Total 15 100
Kelompok konseling
< 1 tahun 4 27
1-2 tahun 8 53
2-3 tahun 3 20
> 3 tahun 0 0
Total 15 100
Kelompok dzikir dan
konseling
< 1 tahun 5 33
1-2 tahun 5 33
2-3 tahun 4 27
> 3 tahun 1 7
Total 15 100
Kelompok kontrol
< 1 tahun 7 47
1-2 tahun 3 20
2-3 tahun 3 20
> 3 tahun 2 13
Total 15 100
Berdasarkan lama tinggal lanjut usia di Panti Werdha yang < 1 tahun paling
banyak pada kelompok kontrol. Pada rentang 1 – 2 tahun sebagian besar pada
kelompok konseling (53%) dan sebagian kecil lama tinggal > 3 tahun pada
kelompok dzikir+konseling serta kontrol
5.2 Data khusus
Data khusus pada penelitian ini disajikan hasil analisis uji beda paired t test, hasil
beda uji anova dan uji multivariat dengan analisis jalur atau path analisis.
61
1. Hasil Uji Beda Paired t test
Tabel 5.5. Hasil Uji Beda Paired t Test
Kelompok Variabel Pre Post Delta
Post-pre
Uji t
paired Sig.
Konseling
Spiritual wellbeing
Islami.
3.858 3.957 -0.099 -2.213 0.044
Sikap penerimaan 2.697 3.334 -0.637 -10.452 0.000
Regulasi emosi 3.142 3.392 -0.250 -2.739 0.016
Bahagia 2.972 3.276 -0.304 -8.469 0.000
Dzikir
Spiritual wellbeing
Islami.
3.858 4.039 -0.181 -4.253 0.001
Sikap penerimaan 2.719 3.534 -0.815 -11.907 0.000
Regulasi emosi 2.958 3.250 -0.292 -3.845 0.002
Bahagia 2.911 3.264 -0.353 -11.071 0.000
Konseling dan
Dzikir
Spiritual wellbeing
Islami.
3.915 4.231 -0.317 -3.866 0.002
Sikap penerimaan 2.818 3.571 -0.753 -23.409 0.000
Regulasi emosi 3.127 3.577 -0.451 -6.164 0.000
Bahagia 3.017 3.750 -0.733 -11.000 0.000
Kontrol
Spiritual wellbeing
Islami.
3.873 3.159 0.714 13.014 0.000
Sikap penerimaan 2.714 2.717 -0.003 -0.081 0.937
Regulasi emosi 2.977 2.961 0.015 0.401 0.694
Bahagia 2.935 2.706 0.229 7.505 0.000
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan antara pre dan post pada
kelompok yang mendapatkan perlakuan konseling, dzikir, konseling dan dzikir
baik pada variabel spiritual wellbeing Islami, sikap penerimaan, regulasi emosi
dan kebahagiaan. Dan dari hasil dapat dilihat jika terdapat peningkatan skor
responden. Sedangkan pada kelompok kontrol ada dua variabel yang tidak
berbeda signifikan yaitu sikap penerimaan dan regulasi emosi. Sedangkan variabel
spiritual wellbeing Islami dan kebahagiaan berbeda signifikan namun terjadi
penurunan skor spiritual well being dan kebahagiaan, atau dengan kata lain skor
post lebih rendah dari skor pre.
62
2. Hasil Uji Beda Anova
Tabel 5.6 Hasil Uji Beda Anova
Variabel Kelompok N
Pre Post
Mean SD Uji F
Anova Sig. Mean SD
Uji F
Anova Sig.
SPIRITUAL
WELLBEING
ISLAMI
Konseling 15 3.858 0.113
0.344 0.794
3.957 0.181
52.851 0.000
Dzikir 15 3.858 0.093 4.039 0.160
Konseling
dan dzikir
15 3.915 0.049 4.231 0.296
Kontrol 15 3.873 0.319 3.159 0.328
SIKAP
PENERIMAAN
Konseling 15 2.697 0.078
2.671 0.056
3.334 0.260
52.591 0.000
Dzikir 15 2.719 0.141 3.534 0.222
Konseling
dan dzikir
15 2.818 0.036 3.571 0.114
Kontrol 15 2.714 0.200 2.717 0.221
REGULASI
EMOSI
Konseling 15 3.142 0.295
1.426 0.245
3.392 0.163
16.444 0.000
Dzikir 15 2.958 0.154 3.250 0.222
Konseling
dan dzikir
15 3.127 0.279 3.577 0.205
Kontrol 15 2.977 0.453 2.961 0.358
BAHAGIA Konseling 15 2.972 0.116
1.184 0.324
3.276 0.086
91.043 0.000
Dzikir 15 2.911 0.096 3.264 0.102
Konseling
dan dzikir
15 3.017 0.236 3.750 0.189
Kontrol 15 2.935 0.169 2.706 0.258
Hasil pengujian anova pada pre test menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna
antar kelompok perlakuan konseling, dzikir, konseling + dzikir, kontrol dengan p
> 0,05 pada seluruh variabel. Sedangkan pada post test menunjukkan ada
perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan konseling, dzikir, konseling +
dzikir, kontrol dengan p < 0,05 pada seluruh variabel.
3. Hasil Uji Analisis Jalur atau Path Analysis
a. Asumsi-Asumsi Analisis Jalur
Sebelum dilakukan pengujian path analysis, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi.
Uji asumsi analisis jalur terdiri dari dua yaitu uji outlier dan uji normalitas. Hasil
selengkapnya uji asumsi tersebut adalah :
1) Uji outlier
Uji outlier merupakan uji yang digunakan secara bersamaan untuk mengamati distribusi
normal data. Artinya jika data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan eliminasi data
63
yang outlier atau ekstrim, sebaliknya jika data sudah berdistribusi normal maka tidak
diperlukan lagi eliminasi data. Pengujian secara multivariate outlier dilakukan dengan
menggunakan nilai Mahalanobis. Pengujian secara multivariate dilakukan dengan
menggunakan software AMOS. Pengamatan multivariate outlier dilakukan pada
Mahalanobis distance, Farthest from the centroid. Data yang berada pada urutan teratas
merupakan data yang paling outlier, kemudian diikuti oleh data dibawahnya sampai
dengan urutan terakhir.
Standar multivariate outlier dari Mahalanobis adalah menggunakan nilai Chi Square
tabel. Jika urutan teratas dari nilai Mahalanobis kurang dari Chi Square tabel maka data
tidak terjadi outlier. Dan sebaliknya jika nilai Mahalanobis lebih dari Chi Square tabel
maka data terjadi outlier. Chi square tabel ditentukan berdasarkan jumlah variabel yang
digunakan dan tingkat kesalahan yang dianjurkan. Menurut Kelloway tingkat kesalahan
yang dianjurkan adalah 0,001. Berdasarkan tabel nilai Chi square pada 0,001 dan pada
jumlah variable 4 adalah 18,51. Pada pengujian tahap outlier multivariate diperoleh nilai
Mahalanobis yang sesuai standar. Berikut hasil uji Mahalanobis dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 5.7 Uji Outlier Data Secara Multivariate
Kategori Observation Data ke - Mahalanobis
d-squared
Maksimum 57 16.305
Tabel menunjukkan bahwa pada pengujian outlier multivariate, nilai tertinggi dari
Mahalanobis D Square adalah 16.305 ada pada data ke 57. Nilai 16.305 tersebut berada
di atas standar 18,51, sehingga data memenuhi asumsi multivariate outlier.
2) Uji normalitas
Uji normalitas yang harus dipenuhi adalah normalitas multivariat. Uji normalitas
menggunakan skewness (kemencengan) dan kurtosis (keruncingan). Data dikatakan
berdistribusi normal jika mempunyai nilai CR skewness dan kurtosis berada pada kisaran
+ 2,58. Berikut adalah hasil pengujian normalitas data secara univariate dan
multivariate.
Tabel. 5.8 Uji Normalitas Data Secara Multivariat
64
Variable min max skew c.r. kurtosis c.r.
Spiritual WellBeing 2.430 4.620 -.783 -2.475 .400 .633
Regulasi emosi 2.380 3.880 -.564 -1.785 -.322 -.510
Sikap penerimaan 2.210 3.860 -.654 -2.067 -.495 -.782
Bahagia 2.430 4.125 -.248 -.783 -.301 -.476
Multivariate
1.639 .916
Tabel menunjukkan bahwa pengujian normalitas secara univariate maupun
multivariate seluruh variabel mempunyai nilai skewness CR kurang dari + 2,58. Dari hasil
ini maka pengujian normalitas telah memenuhi syarat univariate normal baik secara
kurtosis dan skewness. Kemudian dikatakan memenuhi asumsi multivariate normal jika
nilai CR multivariate kurang dari 2,58. Sedangkan pada pengujian multivariate telah
memenuhi syarat karena diperoleh nilai 0,916 yang lebih rendah dari + 2,58. Dari hasil
pengujian ini maka data penelitian memenuhi syarat uji normalitas.
b. Hasil Pengujian Analisis Jalur atau Path Analysis
1) Koefisien Jalur
Berikut adalah gambar hasil pengujian path analysis dengan nilai koefien jalur
atau standardize pada masing-masing variabel.
Gambar 5.1 Hasil Pengujian Path Analysis
Berikut adalah tabel hasil pengujian analisis jalur berdasarkan nilai koefisien
jalur:
65
Tabel 5.9 Nilai Koefisien Jalur Pengaruh Antar Variabel
Variabel Nilai Standardized
coefisient
Bahagia <--- Spiritual Wellbeing
Islami. 0.812
Sikap penerimaan <--- Spiritual Wellbeing
Islami. 0.717
Regulasi emosi <--- Spiritual Wellbeing
Islami. 0.698
Dari tabel tersebut diatas, maka diketahui bahwa :
1. Jika variabel spiritual wellbeing Islami berubah maka akan menyebabkan
perubahan kebahagiaan. Tanda positif menunjukkan perubahan yang searah
yaitu jika variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka kebahagiaan
akan meningkat, dan sebaliknya dengan nilai koefisien jalur 0.812.
2. Jika variabel spiritual wellbeing Islami berubah maka akan menyebabkan
perubahan sikap penerimaan. Tanda positif menunjukkan perubahan yang
searah yaitu jika variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka sikap
penerimaan akan meningkat, dan sebaliknya dengan nilai koefisien jalur 0.717.
3. Jika variabel spiritual wellbeing Islami berubah maka akan menyebabkan
perubahan regulasi emosi. Tanda positif menunjukkan perubahan yang searah
yaitu jika variabel spiritual well being Islami meningkat maka regulasi emosi
akan meningkat, dan sebaliknya dengan nilai koefisien jalur 0.698.
Berdasarkan nilai koefisien analisis jalur dapat diketahui bahwa nilai koefisien
jalur paling besar pada jalur spiritual wellbeing Islami terhadap bahagia
2) Pembuktian Hipotesis
Parameter ada tidaknya pengaruh secara parsial dapat diketahui berdasarkan
nilai CR (Critical Rasio). Untuk menentukan ada tidaknya pengaruh variabel
exogen terhadap endogen, digunakan ketentuan melihat dari level of significant
= 0,05. Jika nilai signifikansi < 0.05 maka ada pengaruh variabel eksogen
terhadap endogen ataupun endogen terhadap endogen. Dan sebaliknya jika nilai
66
signifikansi > 0,05 maka tidak ada pengaruh variabel eksogen terhadap endogen.
Hasil selengkapnya uji hipotesis dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.10 Hasil Pengujian Hipotesis Pengaruh Langsung
Variabel CR
hitung
Tingkat
Sig.
Bahagia <--- Spiritual Wellbeing
Islami 10.680 0,000
Sikap
penerimaan <---
Spiritual Wellbeing
Islami 7.890 0,000
Regulasi emosi <--- Spiritual Wellbeing
Islami 7.481 0,000
Pengujian dengan menggunakan nilai CR diperoleh nilai 10.680 dengan tingkat
signifikansi 0,000. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05. Sehingga ada pengaruh
spiritual wellbeing Islami terhadap kebahagiaan. Pengujian dengan menggunakan
nilai CR diperoleh nilai 7.890 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai signifikansi
ini kurang dari 0,05. Sehingga ada pengaruh spiritual wellbeing Islami terhadap
sikap penerimaan. Pengujian dengan menggunakan nilai CR diperoleh nilai
70,481 dengan tingkat signifikansi 0,000. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05.
Sehingga ada pengaruh spiritual wellbeing Islami terhadap regulasi emosi.
77
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Intervensi Konseling
6.1.2 Sikap penerimaan diri
Proses konseling diawali dengan membangun kepercayaan antara konselor dengan
konseli. Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal dalam
proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan proses
konseling. Komalasari,dkk. (2011 dalam Marizka Adi Winarni, 2017)
mengungkapkan konselor harus mampu menunjukan sikap yang selaras dan
keaslian (congruence or genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional
positive regard and acceptance), dan pemahaman empati yang tepat (accurate
emphatic understanding). Apabila dalam proses konseling, kondisi dan peran
konselor dapat dimunculkan, maka konseli pun akan merasa lebih aman
dan nyaman dan konseli akan menjadi lebih terbuka pada saat proses
konseling. Pada awalnya konseli merasa ragu-ragu untuk menceritakan dirinya,
hal ini dapat terjadi karena konseli belum merasa nyaman dan percaya
dengan konselor sehingga untuk mengatasi hal tersebut konseli menggunakan
catatan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi permasalahan lanjut usia.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan yang signifikan terhadap sikap
penerimaan diri lansia setelah dilakukan intervensi konseling. Penerimaan diri
memiliki peranan yang penting dalam interaksi sosial karena penerimaan diri
dapat membantu seseorang dalam bersosialisasi dengan orang lain. Tanpa
penerimaan diri, individu cenderung akan sulit bisa menerima orang lain
sehingga akan berpengaruh pada perkembangan aktualisasi dirinya. Dengan
penerimaan diri yang baik, individu menjadi lebih menyadari siapa
dirinya, apa yang menjadi kekurangannya, apa yang menjadi kelebihannya
yang ini bisa digunakan untuk menghadapi masalah apa yang sedang
dihadapinya, dan tuntutan dalam menjalankan perannya di masyarakat (Marizka
Adi Winarni, 2017).
61
78
Lanjut usia yang pada awalnya tidak menerima keberadaannya di Panti Werdha
karena ada unsur keterpaksaan, setelah dilakukan konseling pada tahap
mengungkapkan antara ralitas dan opini, akhirnya dapat menyadari dan
mengungkapkan penerimaan terhadap kenyataan yang dialaminya. Penerimaan
diri adalah suatu sikap dimana individu memiliki penghargaan yang tinggi
terhadap segala kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri tanpa menyalahkan
orang lain dan mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri secara terus
menerus. Dalam melakukan konseling individual pendekatan realitas, konselor
sangat memperhatikan aspek-aspek penerimaan diri untuk mengetahui sejauh
mana keberhasilan konselor dalam mengubah penerimaan diri konseli.
6.1.2 Regulasi emosi
Reivich & Shatte (dalam Permana 2018), mendefinisikan regulasi emosi
merupakan kemampuan tetap tenang dalam kondisi dibawah tekanan. Seseorang
yang dapat mengontrol emosinya maka akan terhindar dari gangguan fisik seperti
darah tinggi. Di bidang kesehatan, seseorang yang cepat marah dan mudah meluap
emosinya akan mengidap penyakit tersebut. Dampak secara psikis adalah timbul
gangguan seperti stress, rasa iri dengki, tidak mau menerima masukan dari orang
lain, dan sifat egonya lebih tinggi. Selain itu, seseorang yang tidak mampu
mengontrol emosi akan dijauhi oleh lingkungan sosial.
Berdasarkan regulasi emosi sebelum dilakukan perlakuan lanjut usia banyak
mengalami tekanan baik secara pribadi maupun dengan sesama lanjut usia.
Tekanan yang terjadi dapat berdampak pada emosi lanjut usia, yang diekspresikan
dengan marah kepada teman, memukul benda yang ada di sekitarnya, menangis
dan berontak untuk melarikan diri, namun juga terdapat lanjut usia yang menekan
emosinya sehingga berdampak terhadap konsekuensi sosial menjadi negatif karena
gagal menyerap informasi yang dibutuhkan, gagal dalam merespon dengan tepat
terhadap orang lain dan juga kelihatan menghindar sehingga mengganggu interaksi
sosial (Gross dan John, 2004 dalam Rahmawati 2017).
79
Setelah dilakukan intervensi konseling, maka regulasi emosi lanjut usia lebih baik.
Regulasi emosi bisa berbentuk penghindaran respon dengan melakukan
sekumpulan tindakan untuk memunculkan emosi yang berlawanan, seperti
bersantai untuk menghilangkan perasaan cemas. Lanjut usia yang pada awalnya
memiliki emosi yang ekspresif pada akhir intervensi menyatakan dapat merespon
secara penuh suatu tekanan kemudian merubah perilaku dan emosinya menjadi
lebih baik karena terjadi proses sesuai dengan tahapan regulasi emosi seperti
memodifikasi situasi, mengalihkan perhatian atau merubah kognisi (Gross dan
John, 2004 dalam Rahmawati 2017).
Intervensi konseling yang dilakukan peneliti dapat meningkatkan kesadaran lanjut
usia tentang ketidakefektifan perilakunya dan kemudian bersedia merubahnya
merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan regulasi diri yang tergolong ke
dalam individual volition strategies (strategi kemauan). Strategi ini dapat
meningkatkan usaha yang dibutuhkan individu dan kemampuan mengelola
hambatan atau rintangan dalam pencapaian tujuan (Boekaerts, dalam Duckworth
dkk, 2009 dalam Susanti, 2015). Kemampuan yang diharapkan adalah mengatur
diri agar lanjut usia senantiasa dapat menjaga fokus dan usaha dalam mengatasi
berbagai masalah yang mungkin terjadi. Hal inilah yang dilakukan dalam
penelitian yaitu diawali dengan mengidentifikasi hambatan dan strategi untuk
mengatasinya setelah lanjut usia menyadari ketidakefektifan perilakunya masing-
masing.
6.1.3 Kebahagiaan
Secara statistik lanjut usia yang dilakukan konseling juga mendapatkan
kebahagiaan. Kebahagiaan lanjut usia secara subyektif menyatakan bahwa
sebagian lanjut usia tidak senang tinggal di Panti karena merasa terkekang dan
tidak bebas untuk keluar. Hal ini dirasakan terutama oleh lanjut usia yang sudah
lama tinggal di Panti. Kegiatan yang ada di Panti seluruhnya ada di dalam gedung.
Selain itu dari aspek komunikasi banyak lanjut usia yang tidak mampu menyatakan
permasalahannya kepada perawat.
80
Pelaksanaan konseling pada penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yang
didahului dengan mengidentifikasi hubungan kejadian/peristiwa dengan perasaan
yang dirasakan, membuat thermometer perasaan sendiri, membedakan antara fakta
dan opini dalam kehidupannya, mengetahui analisis diri dan mengungkapkan
manfaat analisis diri bagi lanjut usia. Tahapan ini memungkinkan lanjut usia
mampu mengidentifikasi dan akhirnya mampu mengatasi permasalahannya dengan
menghadapkan kepada situasi yang dialami saat ini.
Hasil penelitian Lukmanul Hakim, dan Niken Hartati (2014) menyebutkan bahwa
lanjut usia yang tinggal di dalam Panti Werdha, umumnya bisa menjalani
kehidupannya terbebas dari beban pikiran terutama menyangkut pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari, karena kebutuhan lanjut usia telah diatur dan
disediakan oleh pihak Panti Werdha. Faktor yang berasal dari dalam diri individu
dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menilai kebahagiaannya. Faktor
internal adalah faktor yang berasal dari kepribadian (personal resource) seperti
harga diri, tipe kepribadian, gaya atribusi, intelegensi, gender dan optimism yang
menentukan kepuasan subjektif (subjective satisfaction) dalam memaknai objek-
objek kebahagiaan (Diener, 2009 dalam Lukmanul Hakim, dan Niken Hartati,
2014). Kebahagiaan dipengaruhi bagaimana cara lanjut usia untuk menilai kualitas
yang ada di dalam kehidupannya termasuk di dalamnya bagaimana lanjut usia
mampu untuk menerima keadaan yang telah dialami sehingga bisa memunculkan
ketenangan batin maupun pikiran. Hal ini juga memperlihatkan kemampuan dari
lanjut usia untuk melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan perubahan yang
terjadi di dalam hidupnya.
6.2 Intervensi dzikir
6.2.1 Sikap penerimaan diri
Lanjut usia pada kelompok dzikir secara statistik terdapat perbedaan yang
signifikan, dilihat dari aspek sikap penerimaan diri. Lanjut usia sebagian besar
tinggal di Panti Werdha berada pada rentang dibawah 2 tahun, yang berdampak
terhadap sikap penerimaan diri lanjut usia, namun setelah dilakukan intervensi
dzikir, spiritual wellbeing Islami lanjut usia mengalami perubahan, yang akan
81
menyebabkan perubahan sikap penerimaan. Tanda positif menunjukkan perubahan
yang searah yaitu apabila variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka sikap
penerimaan akan meningkat. Lanjut usia dapat merefleksikan tentang perhatian
dan keterlibatan dalam hal-hal yang berkaitan dengan spiritual, termasuk perasaan
selama berada di dunia, dan meminta pertolongan Tuhan ketika sedang
menghadapi masalah. Saat lanjut usia sedang dalam masa krisis (berhadapan
dengan masalah), maka lanjut usia akan menjadikan agama sebagai cara untuk
membantunya menyelesaikan masalah. Lanjut usia mampu menghadirkan Tuhan
secara positif di dalam kesehariannya. bahwa segala sesuatunya berasal dari
Tuhan. Merefleksikan bahwa Tuhan merupakan cerminan dalam keyakinan
individu secara aktif dan positif terlibat dalam urusan setiap individu dapat
meningkatkan sikap penerimaan diri (Kendler, 2003 dalam Rahmawati 2017).
Penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk
hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya
diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang
tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak
memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan (Hurlock, 2000 dalam
Rahmawati 2017). Selanjutnya menurut Hurlock, 2000 (dalam Rahmawati 2017)
menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri adalah
agama. Secara spiritual, aspek religiusitas meliputi dimensi jasmani dan rohani,
fikir dan dzikir, aqidah dan ritual, peribadatan, penghayatan dan pengalaman,
akhlak, individu dan sosial kemasyarakatan, masalah duniawi dan akhirat,
sehingga pada dasarnya spiritual Islam meliputi seluruh dimensi dan aspek
kehidupan.
Hasil penelitian Rahmawati (2017) menyatakan ada pengaruh antara dimensi
religiusitas dan penerimaan diri. Menurut Glock & Stark (Ancok & Suroso, 2005
dalam Rahmawati, 2017), religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa
kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah, seberapa dalam penghayatan
agama yang dianut seseorang dan pengalaman individu dalam beribadah Dengan
kata lain, bahwa seseorang yang memiliki religiusitas tinggi atau spiritual yang
82
tinggi akan ikhlas menerima apapun kondisi yang dihadapi. Penerimaan diri yang
disertai dengan rasa aman untuk mengembangkan diri ini memungkinkan
seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan
potensinya secara efektif. Semakin baik seseorang menerima dirinya, maka
semakin baik penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya. Orang yang memiliki
penyesuaian diri yang baik akan merasa bahagia. Penerimaan diri ini sangat
berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menjalani hidup. Seseorang yang
mampu menerima dirinya dengan baik, maka orang tersebut akan melihat dan
berlaku secara jujur, tanpa harus merekayasa apa yang ada dalam dirinya agar
terlihat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain (Nurhasyanah, 2012).
6.2.2 Regulasi emosi
Regulasi emosi pada kelompok dzikir terdapat perbedaan yang signifikan.
Intervensi dzikir yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilaksanakan setelah
sholat maupun pada situasi kapanpun. Dzikir yang diucapkan lanjut usia adalah
kalimat yang sehari-hari diucapkan ditambah dengan dzikir shalawat. Beragam
respon yang dilakukan oleh lanjut usia ketika awal tinggal di Panti Werda pada
umumnya akan bersedih, tidak percaya diri, dan menolak dan selalu memiliki
keinginan kembali ke keluarga atau saudara. Setiap agama mengajarkan seseorang
diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat
religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila
dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam
Coon, 2005, dalam Anggraini, 2015)
Intervensi dzikir mengajarkan kepada usia lanjut untuk selalu mengingat hubungan
dengan Tuhan, dan juga terkait dengan dimensi kesehatan jiwa. Iman kepada Allah
besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa manusia, dimana orang yang beriman itu
selalu ingat kepada Allah (dzikir) sehingga perasaan menjadi tenang dan jiwa
terkendali. Pikiran, persaaan dan perilakunya baik dengan tidak melanggar hukum,
norma, moral dan etika kehidupan serta tidak merugikan orang lain karena orang
tersebut tahu benar dan yakin apa yang dilakukan itu semua dicatat oleh malaikat.
61
83
Lanjut usia yang terpenuhi kebutuhan spiritualnya mampu merumuskan arti
personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan,
mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau
penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina integritas
personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah terlihat
melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif
(Hamid, 1999).
Secara biologis dzikir mempunyai dampak terhadap kesehatan. Berdzikir dapat
menembus seluruh bagian tubuh bahkan ke setiap sel-sel dari tubuh itu sendiri. Hal
ini akan berpengaruh terhadap tubuh yaitu dengan merasakan getaran rasa yang
lemas dan menembus serta menelusupnya dzikir ke seluruh tubuh. Pada saat inilah
tubuh manusia merasakan relaksasi atau pengendoran saraf sehingga ketegangan-
ketegangan jiwa akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan baik kebutuhan jasmani
maupun kebutuhan rohani akan terkurang bahkan bisa saja hilang sama sekali.
Menurut Sholeh (2005, dalam Supriyadi 2017) menyatakan bahwa faktor religius
yaitu dengan berdzikir dapat meningkatkan usia harapan hidup, penurunan
pemakaian alkohol, rokok, obat, penurunan kecemasan, depresi, kemarahan,
penurunan tekanan darah, dan perbaikan kualitas hidup. Hal ini mengandung
makna bahwa dengan berdzikir dapat berdampak terhadap regulasi emosi lanjut
usia dalam menghadapi kehidupan di Panti Werdha.
6.2.3 Kebahagiaan
Kebahagiaan lanjut usia pada kelompok dzikir juga menunjukkan signifikan secara
statistik. Sebelum dilakukan perlakuan lanjut usia di Panti Werdha secara spiritual
sudah mendapatkan bimbingan untuk mendapatkan bimbingan terkait ibadah
sholat lima waktu dan sunah Tahajud dan Dhuha dari pembimbing rohani.
Berdasarkan wawancara dengan perawat menyatakan bahwa pembimbing rohani
hanya menyampaikan perintah untuk menjalankan ibadah sholat wajib disertai
dengan dzikir dan sunah tanpa ada bimbingan yang mengarah ke peningkatan
spiritual wellbeing Islami berupa pembimbingan taubat, sabar menghadapi situasi
84
di panti, tawakal dan ridho. Namun demikian penciptaan kegiatan yang dilakukan
secara rutin dapat berimplikasi terhadap spiritual lanjut usia.
Setelah dilakukan perlakuan spiritual wellbeing Islami menjadi meningkat.
Kesejahteraan spiritual berupa pemahaman mendalam tentang pribadinya,
sosialnya, lingkungan dan pencipta. Kesejahteraan spiritual adalah proses
menguraikan sifat ikatan yang dinamis antara pribadi dan pencipta, hubungannya
cukup harmonis tergantung pada pengembangan diri yang dilakukan secara
sengaja, biasanya datang atas dasar kesesuaian antara pengalaman hidupnya
(Herniawati 2015 dalam Sriyanti, dkk, 2016). Kesejahteraan spiritual yang baik
ditandai dengan seseorang memiliki hubungan yang harmonis dengan diri sendiri,
harmonis dengan komunitas/orang lain, harmonis dengan lingkungan, dan
hubungan yang harmonis dengan Tuhan (Hanie, 2010 dalam Sriyanti, dkk 2016).
Kehidupan yang harmonis dapat meningkatkan kebahagian pada lanjut usia yang
tinggal di Panti Werdha.
6.3 Konseling dan dzikir
6.3.1 Sikap penerimaan diri
Setelah dilakukan perlakuan sikap penerimaan lanjut usia menjadi positif.
penerimaan diri juga didefinisikan sebagai memiliki pandangan yang positif
tentang diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas
baik dan buruk yang ada pada dirinya dan memandang positif terhadap kehidupan
yang telah dijalaninya (Ryff & Keyes, 1995 dalam Rahmawati 2017). Hal ini
diperkuat dengan pernyataan bahwa penerimaan diri secara sederhana diartikan
sebagai menerima sesuatu sebagaimana adanya dan berdamai dengan dirinya.
Ketika individu betul-betul menerima dirinya, kemudian memiliki ruang dan
perspektif untuk memandangnya dan menanganinya dari posisi yang telah
seimbang dan sehat. Ketika individu sudah bisa berdamai dengan suatu keadaan
yang dihadapinya, individu tersebut akan memandang dirinya dengan cara yang
positif dan realistis, sehingga seseorang tersebut akan melihat dirinya secara
konsisten, serta mau mengakui dan menerima kekurangan yang ada di dalam
dirinya, tidak sedih dengan keadaannya dan berusaha untuk merubah keadaannya
85
sehingga bisa menjadi lebih baik dan menjalani kehidupaan yang sehat (Robbins
(2007 dalam Rahmawati 2017).
Sikap penerimaan pada kelompok kontrol tidak mengalami perbedaan antara pre
dan post. Lanjut usia pada kelompok kontrol yang berada di Panti Werdha berasal
dari situasi yang berbeda. Dukungan keluarga masih tetap dilakukan dengan
mengadakan kunjungan ke Panti werdha atau lanjut usia bisa dijemput oleh
keluarganya untuk tinggal bersama.
6.3.2 Regulasi Emosi
Regulasi emosi pada kelompok kombinasi antara konseling dan dzikir secara
statistik adalah signifikan. Menurut Elkins (1998 dalam Permana 2018), seseorang
dengan spiritualitas yang tinggi (wellbeing) tidak akan menemukan kepuasan
dalam materi tetapi kepuasan diperoleh dari pengalaman spiritual. Spiritualitas
yang dimaksud merupakan hasil dari pengamalan ibadah yang dilakukan oleh para
lanjut usia. Setelah lanjut usia mampu menyucikan hidupnya dengan konsiten
beribadah maka lanjut usia akan menemukan kepuasan spiritual yang
mempengaruhi pengendalian emosi dan keinginan negatif. Ibadah yang dilakukan
dalam bentuk dzikir, sholat dan perbuatan baik membentuk kepribadian sabar dan
ikhlas sehingga manfaat psikologisnya berupa regulasi emosi dan implus control
yang baik (Permana 2018).
Penanganan melalui pendekatan bimbingan dan konseling keagamaan diharapkan
dapat membantu para lansia menajamkan hati nurani, menghidupkan perasaan dan
mengingatkan hati. Dengan demikian pendekatan bimbingan dan konseling
berbasis agama merupakan solusi yang tepat bagi para lanisa untuk menghabiskan
masa tuanya. Dalam konteks bimbingan dan konseling keagamaan, para lansia di
ajak untuk menyadari kembali eksistensi dirinya sebagai hamba Allah SWT.
Layanan konseling yang dilakukan meliputi layanan komunikasi lansia yaitu
membantu lansia untuk mengidentifikasi secara non verbal yaitu melalui diary
untuk melatih lanjut usia mengungkapkan permasalahan yang terjadi selama di
Panti Werdha, memberikan waktu kepada lansia untuk mengungkapkan secara
86
verbal permasalahan sesuai dengan masalah yang telah diungkapkan di buku diary,
menyusun pokok permasalahan bersama lanjut usia, merumuskan alternatif
penyelesaian masalah secara obyektif, dan bimbingan yang diarahkan kepada
keagamaan maupun sosial sesuai dengan kelompoknya.
Rata-rata lanjut usia yang mendapatkan perlakuan kombinasi dzikir konseling
mengalami kepuasan batin setelah intervensi. Permasalahan yang diselesaikan
membuat lanjut usia mengungkapkan menjadi orang yang dapat mengevaluasi
diri, lebih sabar dan ikhlas sehingga manfaat psikologisnya berupa regulasi emosi
dan implus kontrol yang baik.
Pada kelompok kontrol, saat awal tinggal di Panti lanjut usia mengungkapkan
bahwa merasakan ketidaknyamanan, namun seiring berjalannya waktu lanjut usia
dapat menerima dan secara emosi mampu untuk mengendalikan karena
dukungan keluarga masih dirasakan. Selain itu lanjut usia yang tinggal di Panti ini
memilih sendiri hidup di Panti Werdha dibandingkan dengan tinggal di rumah. Hal
ini disebabkan lanjut usia merasa kesepian, tidak ada teman untuk berkomunikasi
dan jarang bertemu dengan orang yang tinggal dalam satu rumah.
6.3.3 Kebahagiaan
Intervensi kombinasi dzikir dan konseling membawa perubahan yang signifikan
kepada kebahagiaan lanjut usia. Kebahagiaan spiritual memiliki banyak pintu.
Melalui kapasitas intelektualnya, seseorang bisa saja memperbanyak karya
kemanusiaan sebagai rasa syukur pada Tuhan. Melalui kecerdasannya yang
dibimbing oleh jiwa rohani seseorang akan lebih mampu memahami dan
menghayati kebesaran Tuhan sehingga ketika sujud akan lebih khusyuk.
Kesadaran spiritual, dengan bantuan jiwa insani, akan sanggup menatap
keindahan, kehebatan, keunikan semesta yang akan mendatangkan rasa damai,
kagum, optimis, bersyukur, merenung yang membuat hati lega dan bahagia.
Kebahagiaan spiritual mudah ditemukan pada pribadi-pribadi altruistic, yaitu
87
mereka yang selalu mensyukuri hidupnya dengan cara berbagi kebahagiaan pada
orang lain (Komaruddin Hidayat, 2014).
Kesadaran akan adanya penderitaan merupakan kesadaran yang didasari atas
kebahagiaan akhirat sebagai puncak dari kebahagiaan. Pernyataan tersebut sesuai
dengan definisi zuhud. Zuhud adalah sikap menjauhi dunia dan isolasi terhadap
keramaian duniawi yang merupakan tingkatan dari spiritual wellbeing Islami. Yang
dimaksud dengan menjauhi dunia adalah menjauhi keinginan-keinginan negatif
berdasarkan hawa nafsu semata (implus control). Maka, seseorang yang mampu
menyadari akan adanya penderitaan di dunia mampu mengendalikan keinginan
negatif karena kesadaran akan nilai kebahagiaan materealistik hanya sementara dan
apabila terus-menerus dikejar hanya menimbulkan penderitaan.
Agar lanjut usia dapat mencapai kebahagiaan selama tinggal di Panti Werdha,
maka spiritual wellbeing Islami perlu ditingkatkan melalui proses penyucian jiwa
terhadap kecenderungan materi agar ke jalan Allah yaitu menjalani taubat, sabar,
tawakal, dan ridho. Di Panti Werdha telah dilakukan sholat tahadjud dan taubat
yang diwajibkan untuk diikuti lanjut usia agar memohon ampunan atas segala dosa
yang disertai dengan penyesalan. Melatih kesabaran melalui regulasi emosi jika
ada permasalahan, dengan keteguhan hati dalam menerima segala keputusan dan
tindakan Allah, bertawakal untuk pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah,
menerima qadha, dan qadar dengan hati senang.
Kebutuhan psikologis manusia harus memenuhi kebutuhan non-materil yang
disebut sebagai spiritualitas. Individu dengan spiritualitas yang baik dapat
menghadapi tekanan dan permasalahan karena dengan spiritualitas yang
dimilikinya akan mengaitkan setiap pengalaman hidup dengan sesuatu yang
diyakini dengan cara memaknai setiap pengalaman dalam hidupnya. Seseorang
dengan spiritualitas yang tinggi mampu menyucikan jiwanya agar kehidupannya
tentram dan bahagia, jika seseorang selalu berusaha dalam menyucikan jiwa maka
akan memperoleh suatu kekhidmatan dan kekhusyukan saat berhubungan dengan
sesuatu yang diyakini.
88
Hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa terdapat signifikansi kelompok
kontrol terhadap spiritual wellbeing Islami dan kebahagiaan. Berkaitan dengan
spiritual wellbeing Islami, terdapat kecenderungan bahwa semakin tua usia
lanjut usia semakin mendekatkan diri pada Tuhan karena usianya yang memasuki
usia kematian, meskipun kegiatan keagamaan yang dilakukan tidak sebanyak
pada masa sebelumnya akibat dari penurunan fungsi fisik (Zulkifli, 2000) dan
individu yang sudah masuk masa lanjut usia memiliki keterbatasan pada motorik
dan sensoriknya. Kesehatan spiritual yang terbangun dengan baik membantu
lanjut usia menghadapi kenyataan, berpartisipasi dalam hidup, merasa memiliki
harga diri dan menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari
(Potter, A & Perry, A. G. 2006). Mengingat usia yang sudah tua semakin dekat
dengan kematian maka para lanjut usia semakin meningkatkan spiritual supaya
diampuni segala dosa, diterima iman dan islam, dan mendapat ridho Allah.
Kebahagiaan lanjut usia kepada kelompok kontrol dapat dilihat dari beberapa
pendekatan, salah satunya adalah pendekatan psikologi positif. Seligman (2004)
sebagai salah seorang pendiri dari psikologi positif menegaskan bahwa
kebahagiaan yang dialami oleh lanjut usia biasanya melibatkan stimulus eksternal.
Sekitar 50% dari kebahagiaan seseorang tergantung pada faktor genetika, seperti
pada kasus kembar identik, sedangkan kebahagiaan yang 50% lagi berkorelasi
dengan kondisi rumah (lingkungan) dimana seseorang tersebut berada. Lanjut
usia pada kelompok kontrol ini tinggal di Panti karena keinginan sendiri, dan
membayar ke pihak panti untuk kebutuhan sehari-harinya. Kondisi berbeda
dengan kelompok intervensi yang yang tinggal di Panti karena lebih banyak faktor
keterpaksaan. Namun demikian menurut Diener (2011) menyatakan bahwa
kebahagiaan mempunyai makna yang sama dengan subjective well-being
(kesejahteraan subjektif). Istilah kesejahteraan subjektif mengacu pada evaluasi
individu dalam suatu kehidupan yang meliputi penilaian kognitif, afektif dan
termasuk di dalamnya kepuasan individu terhadap kehidupan.
89
Hasil pengujian post test menunjukkan ada perbedaan bermakna antar kelompok
perlakuan konseling, dzikir, konseling + dzikir, dengan kelompok kontrol pada
seluruh variabel. Namun jika dilihat dari perhitungan standar error of
mean/pembagi selisih rata-rata dapat dilihat bahwa pada kelompok kontrol variabel
spiritual wellbeing, regulasi emosi dan kebahagiaan mengalami penurunan skor
dibandingkan dengan kelompok intervensi walaupun secara uji statistik pada
kelompok kontrol ada perbedaan secara bermakna.
Perubahan yang terjadi mengindikasikan bahwa terjadinya perubahan skor
kelompok eksperimen yang lebih tinggi dan signifikan dibandingkan pada
kelompok kontrol dikarenakan adanya proses terapi sehingga berdampak pada
bertambahnya pengetahuan usia lanjut. Dengan bertambahnya pengetahuan dapat
meningkatkan kesadaran seseorang dan berpotensi untuk mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari- hari (Brotto, 2000; Lukens & McFarlane, 2004 dalam
Zulfana 2014).
Lanjut usia pada kelompok kontrol tidak mampu mempertahankan kondisi yang
sudah baik sehingga dapat beresiko terhadap menurunnya spiritual wellbeing, sikap
penerimaan diri, regulasi emosi dan kebahagiaan. Kondisi yang demikian biasanya
berdampak pada kesehatan fisik dan psikis lansia. Dampak psikis yang mungkin
terjadi dengan menurunnya kebahagiaan adalah depresi dan gangguan emosional
(Snyder & Shane, 2002; Suri, 2010; Leggett, Davies, Hiskey & Erskine, 2011,
dalam Zulfana 2014). Oleh karena itu, perlu diberikan intervensi untuk lansia yang
mengalami penurunan berbagai variabel pada penelitian ini. Salah satu bentuk
intervensi yang dapat digunakan adalah dzikir, konseling dan dzikir + konseling.
Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Zulfana (2014) yang menyatakan
bahwa kelompok kontrol mengalami perubahan skor kebahagiaan, antara pre test
dan post test. Namun perubahan yang terjadi pada kelompok kontrol tidak
signifikan. Perubahan hanya terlihat dari kenaikan dan penurunan rata-rata skor
sehingga tidak berdampak pada perubahan kategori.
90
6.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah diusahakan dan dilakukan sesuai dengan prosedur ilmiah proses
penelitian, namun demikian masih terdapat beberapa keterbatasan yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian yaitu:
1. Faktor yang mempengaruhi lanjut usia tinggal di Panti Werdha tidak dilakukan
penelitian yang kemungkinan dapat berkontribusi terhadap variabel penelitian
2. Masih ditemukannya jawaban lanjut usia yang tidak konsisten walaupun
didampingi oleh tim peneliti
3. Pada penelitian ini tim peneliti hanya diberikan pembekalan terkait intervensi
konseling dan belum diberi pelatihan dan praktek dengan waktu tertentu,
sehingga diprediksi dapat mempengaruhi pengukuran pre test dan post test.
4. Penghitungan sampel sudah dilakukan secara cermat, namun masih ditemukan
kendala drop out karena lanjut usia meninggal, sakit atau dijemput oleh
keluarga pada saat intervensi dilakukan.
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
91
1. Usia lanjut yang dilakukan intervensi konseling mengalami perubahan yang
bermakna pada variabel sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan
kebahagiaan.
2. Usia lanjut yang dilakukan intervensi dzikir mengalami perubahan yang
bermakna pada variabel sikap penerimaan diri, regulasi emosi dan
kebahagiaan
3. Usia lanjut yang dilakukan intervensi kombinasi konseling dan dzikir
mengalami perubahan yang bermakna pada variabel sikap penerimaan diri,
regulasi emosi dan kebahagiaan
4. Spiritual WellBeing Islami lanjut usia menunjukkan perubahan searah yaitu
jika variabel spiritual wellbeing Islami meningkat maka sikap penerimaan
diri, regulasi emosi dan kebahagiaan akan meningkat begitu pula
sebaliknya. Dari hasil uji path analisis nilai koefisien jalur paling besar
adalah jalur spiritual wellbeing Islami terhadap kebahagiaan.
7.2 Saran
1. Bagi Lanjut Usia.
Lanjut usia diharapkan konsisten dalam melaksanakan dzikir dan
mengungkapkan permasalahan selama di panti Werdha kepada perawat
agar regulasi emosi, dan sikap penerimaan diri untuk mencapai
kebahagiaan tinggal di Panti Werdha dapat terwujud.
2. Bagi Pihak Panti Werdha.
Diharapkan semua pihak di Panti Werdha dapat mempertahankan,
meningkatkan dan menerapkan metode dzikir serta mengadakan kegiatan
konseling dalam upaya membantu lanjut usia agar dapat bahagia di hari
tua.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan dapat melakukan intervensi pengabdian masyarakat kepada
lanjut usia di kelompok khusus baik di Panti Werdha maupun di
masyarakat dengan pendekatan spiritual dan psikologis
75
92
DAFTAR PUSTAKA
Abin, Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Depdiknas
Anggraini, E. (2015). Strategi Regulasi Emosi dan Perilaku Koping Religius
Narapidana Wanita dalam Masa Pembinaan. Diakses dari http ://journal.
93
walisongo.ac.id /index.php /teologia/article /download/435/398, 14
November 2017
Agoes, D. (2007). Psikologi perkembangan anak usia tiga tahun pertama, Jakarta:
PT Refika Aditama.
BPS (Badan Pusat Statistik). (2014) pemberdayaan lansia
http://data.menkokesra.go.id/content/pember dayaan-lansia, diperoleh
tanggal 14 November 2017
Bastaman. H. D. 2007. Logoterapi, Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup
Dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Carr, A. 2004. Positive Psychology: The Science of Happiness and Human
Strengths. New York: Brunner-Routledge.
Cicilia Pali Gambaran kebahagiaan lansia yang tinggal di Panti Werdha
https://media.neliti.com/media/publications/62712-ID-gambaran-
kebahagiaan-pada-lansia-yang-me.pdf, 14 November 2017
Dyah Ayu Mastuti Kebahagiaan lansia ditinjau dari dukungan keluarga
http://eprints.ums.ac.id/47181/4/02.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf, 14
November 2017
Depkes (2015). Jumlah data lansia tahun 2010-2015. dari http://www.depkes.go.id
Diakses tanggal 14 November 2017
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Pedoman Pembinaan
Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. Dikutip dari
http://ejournal.litbang.depkes.go. Id /index php/HSJI/article/download/419/
pada tanggal 1 Agustus 2017
Diener, E., Lucas, R. E., dan Oishi, S. 2005.Subjective Well Being: TheScience of
Happiness and Life Satisfaction. Handbook of Positive Psychology.NC:
Oxford University Press.
Diener & Chan. (2011). Happy People Live Longer: Subjective Well-Being
Contributes to Health and Longevity. Journal of Applied Psychology: Health
and Well Being, 3 (1), 1-43. doi:10.1111/j.1758- 0854.2010.01045.x, diakses
14 November 2017
Emmons, R. A., & McCullough, M. E., 2003. Counting Blessings Versus. Burdens:
An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-. Being in
Daily Life. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 84, No. 2,
377-389, 14 November 2017
Endang Fourianalistyawati (2017). Kesejahteraan spiritual dan mindfulness pada
majelis sahabat shalawat. Jurnal Psikologi Islami Vol. 3 No. 2 (2017) 79-85
77
94
jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/psikis/article/download/.../1436/, diakses
21 September 2018
Faizal Amjad The impact of spirituality well being and coping strategys on patient
with generalized anxiety disorder https://quod.lib.umich.edu/cgi/p/pod/dod-
idx/impact-of-spiritual-wellbeing-and-coping-strategies. pdf?c= jmmh;
idno=10381607.0008.102; format=pdf, 14 November 2017
Gudnanto, dkk (2017). Aksiologi spiritualitas dalam konseling. Jurnal Konseling
Gusjigang Vol. 3 No. 1 (Januari-Juni 2017), ISSN 2460-1187, Online ISSN
2503-281X https://www.researchgate.net/.../323605326_ AKSIOLOGI_S
PIRITUALITAS_DALAM_KONSELING, diakses 21 September 2018
Germer, C. K. 2009. The Mindful Path To Self-Compassion. USA: The Guilford
Press.
Iin Nasri Impisari (2017) Makna kebahagiaan pada lansia muslim yang tinggal di
Panti.http://eprints.radenfatah.ac.id/1198/1/IIN%20NASRI%20IMPISARI%2
0%2812350073%29.pdf
Hidayat, M.N (2016). Perbedaan Strategi Regulasi Emosi Pada Perokok Yang
Mengalami Negative Affect eprints. unm.ac.id/4983/1/
Muhammad%20Noor%20Hidayat.pdf, diakses 14 November 2017
Hastono. (2007). Analisa Data Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Hamzah Tulaeka (2012). Akhlak Tasawuf, Surabaya:IAIN Press
Indriana, Y, (2012). Gerontologi dan Progeriatric. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Imaddudin, Aam (2011). Bimbingan dan Konseling Aktualisasi Diri Untuk
Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Siswa Sekolah Dasar. Tesis.
Bandung: SPs UPI. Tidak diterbitkan.
Juwita R. 2013. Hubungan Keluarga dengan Depresi Pada Lansia di UPTD
Rumoh. Sejahtera Geunaseh Sayang Ulee Kareng Banda Aceh Tahun 2013
Jadidi A, Farahaninia M, Janmohammadi S, Haghani H (2015) Spiritual well
being of elderly people resident in nursing home
http://jgn.medilam.ac.ir/browse.php?a_id=74&sid=1&slc_lang=en
Komaruddin Hidayat, (2014) Kebahagiaan spiritual,
http://www.tribunnews.com/ramadan/2014/07/25/kebahagiaanspiritual?pag
e=2, diakses 22 September 2018
Liaghatdar, I. J. (2008). Reliability and Validity Of The Oxford Happiness.
Inventory Among University Student in Iran. The Spanish Journal of
Psychology Universidad Complutense de Madrid , Vol.1 / no.001.
95
Laporan UPTD Griya Werdha, Januari 2018
Lukmanul Hakim & Niken Hartati (2014) sumber-sumber kebahagiaan lansia
ditinjau dari dalam dan luar tempat tinggal Panti Jompo |Jurnal RAP UNP,
Vol. 5 No. 1, Mei 2014, hlm. 32-42 ejournal.
unp.ac.id/index.php/psikologi/article/download/.../5197, diakses 22
September 2018
Mohsen Adib-Hajbaghery, and Mona Faraji Comparison of Happiness and
Spiritual Well-Being among the Community Dwelling Elderly and those who
Lived in Sanitariums
http://ijcbnm.sums.ac.ir/index.php/ijcbnm/article/view/318/85, diakses 11
Pebruari 2018
M Seraji, D Shojaezade, F Rakhshani -, 2016 the relationship between spiritual
well being and quality of life among the elderly people residing in zahedan
(South-East of Iran), Elderly Health Journal http://ehj.ssu.ac.ir/article-1-69-
en.htmlcity. diakses 11 Pebruari 2018
Mujahidullah, Khalid. 2012. Keperawatan Gerontik. Jogjakarta:Pustaka Pelajar.
Marta, O. F. (2012). Determinan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Panti Sosial.
Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta Selatan. Universitas Indonesia
Ninda Isfatun Kasana Hubungan kesejahteraan spiritual dengan tingkat depresi
lansia http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t53540.pdf di akses 11 Pebruari
2018
Nurhasyanah (2012). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Pada
Wanita Infertilitas Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi Vol. 1, No.1,
Oktober 2012 journal. unj.ac.id/unj/index. php/ jppp/ article/ download
/345/293/ diakses 22 September 2018
Potter, A & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC
Prasetyo, S. N. (2010). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta:
Graha.
Polak, E.L & McCullough, M.E. (2006). Is Gratitude An Alternative To
Materialism?. Journal of Happiness. No. 7, 343-360
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/, diakses 11 Pebruari 2018
Putri, A. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Depresi Pada Lansia Di
Wilayah Puskesmas Kedaton Bandar Lampung. Bandar Lampung:
Universitas Lampung.
96
Permana. D. (2018). Peran spiritualitas dalam meningkatkan resiliensi pada residen
narkoba Syifa al-Qulub, Vol. 2 No. 2 [2018]
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/syifa-al-qulub/.../1877, diakses 22
September 2018
Revay Siregar, (2000). Tasawuf dari Sufi Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Raja
Grafindo.
Rully Afrita Anastasia Ediati (2016) Hubungan antara kesejahteraan spiritual
dengan kepuasan hidup pada pasien kanker payudara,. Jurnal empati Vol. 5
(2). 261-266http:// download.portalgaruda.org/article.php? article=
472772&va diakses 11 Pebruari 2018
Rahmawati. S (2017). Pengaruh Religiusitas Terhadap Penerimaan diri Orangtua
Anak Autis di Sekolah Luar Biasa XYZ Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Humaniora, Vol. 4, No. 1, Maret 2017
jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/download/248/233, diakses 22
September 2018
Sari.E.P &, Nuryoto. S (2002). Penerimaan Diri Pada Lanjut Usia Ditinjau
Dari Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Vol 29, No 2
(2002) https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/7017, diakses 22
September 2018
Septy Indah Maulina Hubungan antara religiusitas dengan psychological well-
being pada lansia http:// publication. gunadarma.ac.id/ bitstream/
123456789/1228/1/10507221.pdf
Samsul Munir Amin (2012). Akhlak Tasawuf, Jakarta: Amzah
Supraba, (2015) Hubungan aktivitas sosial, interaksi sosialdan fungsi keluarga
dengan kualitas hidup. Lanjut usia di wilayah kerja puskesmas pascasarjana.
Universitas udayana. Denpasar. www .pps.unud.ac.id/ thesis/pdf_thesis/unud.
pdf, diakses 11 Pebruari 2018
Setiati, Harimurti, & Govinda RA, 2009). Proses menua dan implikasinya. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibarata MK, Setiyati S (editor).
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V, Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Snyder, C.R. &.Lopez, Shane J. (Eds.). Handbook of positive psychology (pp.231-
241). New. York: Oxford University Press.
Stanley dan Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta, EGC
97
Stanard, Rebecca P, Sandhu DS, & Painter Linda C. (2000). Assessment of
Spirituality in Counseling. Journal Of Counseling & Development, Spring
2000, Volume 78. America : American Counseling Association
Seligman, M. E. P. (2005). Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif.
(Authentic Happiness). Bandung : PT. Mizan Pustaka.
Sriyanti, dkk (2016) Hubungan kesejahteraan spiritual dengan kualitas hidup
pasien pasca stroke, journal.stikes suakainsan.ac.id/ index.php/jksi/article/
download/.../25, diakses 21 September 2018
Timiras P and Maletta G. (2007). Physiological Basis of Aging and Geriatrics.
New York: Informa Health
Tuti Anggiani, H Iyes Yosep, Aan Nur’aeni ( Perbedaan kesejahteraan spiritual
pada pasien sebelum dan sesudah operasi jantung
http://repository.unpad.ac.id/21012/1/Perbedaan-Kesejahteraan-Spiritual-
Pasien.pdf, diakses 11 Pebruari 2018
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf
Taufik Pasiak, (2004) Evolusi IQ/EQ/SQ antara Neurosains dan al
Qur’an Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Urbayanti, (2006). Hubungan antara pemenuhan kebutuhan dengan afek positif dan
afek negatif pada lansia Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol.
3 No. 1 Januari 2006 : 63 - 72, diakses 11 Pebruari 2018
Widiyastuti, L. (2014). Regulasi Emosi Pada Guru BK Program Akselerasi SMP
Muhammdiyah 2 Yogyakarta
Zulfiana,U. (2014). Meningkatkan kebahagiaan lansia di panti wreda melalui
psikoterapi positif dalam kelompok. Jurnal Sains Dan Praktik Psikologi ©
2014 Psychology Forum UMM, ISSN: 2303-2936 Volume 2 (3), 256-267
e-journal.umm.ac.id/index.php / jspp/ article/ download/2889/3542,
diakses 11 Pebruari 2018
.
.
ii
ii
INFORMED CONSENT
(PERNYATAAN PERSETUJUAN IKUT PENELITIAN)
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :……………………………………………
Alamat : …………………………………………..
Telah mendapat keterangan secara terinci dan jelas mengenai:
1. Penelitian yang berjudul: model pemenuhan kebutuhan spiritual well-
being dengan kebahagiaan pada lansia
2. Perlakuan yang akan diterapkan pada subyek.
3. Manfaat ikut sebagai subyek penelitian.
4. Bahaya yang akan timbul.
5. Prosedur Penelitian.
Dan mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan penelitian tersebut. Oleh karena itu saya bersedia/tidak
bersedia *) secara sukarela untuk menjadi subyek penelitian dengan penuh
kesadaran serta tanpa keterpaksaan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak
manapun.
Surabaya, ……………2018
Peneliti. Responden,
……………………….. …………………
Saksi,
…………………………………
*) Coret salah satu
iii
iii
KUISIONER PENELITIAN
Biodata
1. Umur :
2. Pendidikan :
3. Agama :
4. Lama di panti :
5. Menjalankan ibadah :
1. Spiritual well being berbasis Islami
Pernyataan dibawah ini menggali tentang pemenuhan kebutuhan
kesejahteraan spiritual bapak/ibu. Bapak/Ibu diminta untuk memberikan
penilaian sesuai dengan apa yang bapak/ibu rasakan, dengan cara mencentang
(√) salah satu dari 5 jawaban yang tersedia pada bagian kanan dari masing-
masing pernyataan. Pilihan jawabannya sebagai berikut:
1 = Sangat tidak setuju (STS)
2 = Tidak setuju (TS)
3 = Ragu –ragu (R)
4= Setuju (S)
5 = Sangat setuju (SS)
No PERNYATAAN STS TS R S SS
1 2 3 4 5
TAUBAT
1 Saya menyadari kesalahan yang saya lakukan pada
masa lalu
2 Saya menjauhi prasangka buruk terhadap orang lain
3 Saya telah mengakui perbuatan dosa dihadapan Allah
4 Saya merasa menyesal telah melakukan kesalahan
5 Saya ingat perintah Allah SWT untuk tidak berbuat
dosa
6 Saya memohon ampun kepada Allah dengan sungguh-
sungguh
7 Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang
sama
SABAR
1 Saya dapat mengendalikan diri jika rasa marah datang
2 Saya menjalankan kehidupan di panti atas kehendak
Allah
3 Saya menjalankan kewajiban saya sebagai umat
muslim
4 Saya menolong teman saya walaupun teman saya
kadang tidak berbuat baik kepada saya
iv
iv
No PERNYATAAN STS TS R S SS
1 2 3 4 5
5 Jika ada masalah saya berdoa kepada Allah
6 Saya menerima dengan lapang dada atas apa yang
terjadi kepada saya
7 Saya merasakan putus asa apabila saya memikirkan
hidup saya
TAWAKKAL
1 Saya bahagia dengan nikmat yang Allah SWT berikan
2 Saya merasa bahwa Allah itu dekat
3 Semua yang terjadi kepada saya adalah kehendak-Nya
4 Saya percaya bahwa Allah tidak akan memberi ujian
diluar kemampuan saya
5 Saya merasa bahwa Allah melihat saya
6 Saya merasa pesimis terhadap kemampuan saya
7 Saya berpasrah diri karena merasa lemah di hadapan
Allah
RIDHO
1 Saya meyakini bahwa kehidupan saya telah ditentukan
oleh Allah SWT
2 Saya menjalani kehidupan saya dengan senang hati
3 Saya selalu menerima dengan lapang dada atas apa
yang terjadi baik senang atau susah
4 Saya setiap saat berpikir kenapa saya tidak hidup
dengan keluarga saya
5 Saya tetap percaya diri
6 Setiap cobaan yang diberikan oleh Allah pasti ada
jalan keluarnya
7 Saya merasa disisihkan oleh Allah karena cobaan tidak
pernah berhenti
2. Sikap penerimaan diri
Pernyataan di bawah ini tentang sikap penerimaan diri yang Bapak/Ibu
rasakan. Bapak/Ibu diminta untuk memberikan penilaian dengan cepat sesuai
dengan apa yang bapak/ibu rasakan. Jawaban pertama yang bapak ibu pikirkan
mungkin jawaban yang tepat. Pilihlah dengan cara mencentang(√) salah satu
dari 4 angka yang tersedia pada bagian kanan dari masing-masing pernyataan.
Pilihan jawabannya sebagai berikut:
1 = Sangat tidak setuju (STS)
2 = Tidak setuju (TS)
3 = Setuju (S)
4 = Sangat setuju (SS)
v
v
NO PERNYATAAN PILIHAN
STS TS S SS
1 2 3 4
1 Saya percaya bahwa saya dapat diterima oleh teman-
teman yang tinggal di Panti
2 Tidak ada alasan bagi saya untuk rendah diri dengan
orang lain
3 Saya merasa masa depan saya suram dan tidak beruntung
4 Saya tidak mungkin memiliki kebebasan untuk
melakukan sesuatu
5 Saya ikut menjaga ketertiban dan kegiatan di Panti
6 Saya merasa tinggal di panti karena orang lain
7 Saya tidak membutuhkan waktu lama untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan di panti
8 Saya merasa dikucilkan oleh teman sekamar
9 Saya merasa menjadi orang yang tidak berguna karena
tinggal di Panti
10 Saya tidak suka jika dianggap selalu tergantung dengan
orang lain
11 Saya menyadari bahwa saya mempunyai kekurangan
12 Keterbatasan saya tidak mengganggu hubungan dengan
orang lain
13 Saya tidak ingin merugikan orang lain
14 Saya senang membantu teman saya yang kesulitan
3. Regulasi emosi
Pernyataan di bawah ini tentang regulasi emosi yang Bapak/Ibu rasakan.
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan penilaian dengan cepat sesuai dengan
apa yang bapak/ibu rasakan. Jawaban pertama yang bapak ibu pikirkan
mungkin jawaban yang tepat. Pilihlah dengan cara mencentang(√) salah satu
dari 4 angka yang tersedia pada bagian kanan dari masing-masing pernyataan.
Pilihan jawabannya sebagai berikut:
1 = Sangat tidak setuju (STS)
2 = Tidak setuju (TS)
3 = Setuju (S)
4 = Sangat setuju (SS)
NO PERNYATAAN PILIHAN
STS TS S SS
1 2 3 4
1 Saya cenderung menerima apa yang terjadi dalam hidup
saya sebagai takdir dari Tuhan
2 Saya berpikir positif dengan elihat sisi baik dari setiap
masalah
3 Saya berpikir ulang jika ingin marah kepada orang lain S
vi
vi
NO PERNYATAAN PILIHAN
STS TS S SS
1 2 3 4
4 Saya merubah pikiran saya ketika mengalami masalah
yang membuat stress
5 Saya dapat menekan emosi agar tidak tampak oleh orang
lain
6 Jika emosi, saya melampiaskan dengan menggunakan
benda atau mengikuti kegiatan yang ada di panti
7 Jika saya cemas saya akan mencari cara untuk
meredakannya
8 Ketika bermasalah dengan orang lain saya cenderung
sabar dan mengendalikan emosi
4. Kebahagiaan
Pernyataan di bawah ini tentang kebahagiaan yang Bapak/Ibu rasakan.
Bapak/Ibu diminta untuk memberikan penilaian dengan cepat sesuai dengan
apa yang bapak/ibu rasakan. Jawaban pertama yang bapak ibu pikirkan
mungkin jawaban yang tepat. Pilihlah dengan cara mencentang(√) salah satu
dari 5 angka yang tersedia pada bagian kanan dari masing-masing pernyataan.
Pilihan jawabannya sebagai berikut:
1 = Sangat tidak setuju (STS)
2 = Tidak setuju (TS)
3 = Ragu –ragu (R)
4= Setuju (S)
5 = Sangat setuju (SS)
NO PERNYATAAN PILIHAN
STS TS R S SS
1 2 3 4 5
Kepuasan hidup
1 Saya merasa bahwa hidup itu sangat bermanfaat
2 Saya tidak terlalu optimis tentang masa depan (-)
3 Hidup itu baik
4 Saya tidak berpikir bahwa dunia adalah tempat yang baik
(-).
5 Saya puas dengan segala sesuatu dalam hidup saya
6 Saya tidak memiliki arti dan tujuan dalam hidup saya (-)
Kegembiraan
1 Saya menemukan banyak hal lucu
2 Saya banyak tertawa
3 Saya tidak merasa senang (-).
4 Saya sangat senang
5 Saya sering mengalami kegembiraan
6 Saya tidak bersenang-senang dengan orang lain (-).
Harga diri
vii
vii
NO PERNYATAAN PILIHAN
STS TS R S SS
1 2 3 4 5
1 Saya memiliki perasaan yang sangat hangat terhadap
semua orang yang tinggal di panti
2 Saya sangat tertarik pada orang lain
3 Saya selalu berkomitmen dan terlibat dalam kegiatan
4 Saya rasa saya tidak terlihat menarik (-).
5 Saya selalu memiliki efek ceria pada orang lain
Ketenangan
1 Saya jarang terbangun dengan perasaan yang lega (-)
2 Saya menemukan keindahan dalam beberapa hal
3 Saya biasanya memiliki pengaruh yang baik terhadap
kejadian di panti
4 Saya merasa tidak sehat (-).
5 Saya tidak memiliki kenangan indah tentang masa lalu
(-)
Kontrol diri
1 Saya merasa bahwa saya tidak terlalu mengendalikan
hidup saya (-)
2 Saya merasa bisa melakukan apapun
3 Saya merasa waspada terhadap semua orang
4 Saya merasa tidak mudah untuk membuat keputusan (-).
Kemudahan
1 Ada hambatan antara apa yang ingin saya lakukan
dengan apa yang telah saya lakukan (-).
2 Saya bisa menyesuaikan diri dengan semua yang
kuinginkan
3 Saya merasa memiliki banyak energi
4 Saya dapat menyelesaikan permasalahan yang saya
hadapi
viii
viii
ix
ix
45