LAPORAN TAHUN III PENELITIAN TIM PASCASARJANA
Transcript of LAPORAN TAHUN III PENELITIAN TIM PASCASARJANA
i
LAPORAN TAHUN III
PENELITIAN TIM PASCASARJANA
Pengembangan Desain Instruksional Mata Pelajaran Fisika yang Berorientasi Conceptual
Change dan Mental-modeling ability Berbasis Kajian Perilaku Problem Solving dan
Penggunaan Sistem Representasi Eksternal
Tim Pengusul:
Dr. Jusman Mansyur, M.Si
NIDN: 0018086904
Dr. Darsikin, M.Si
NIDN: 0002107005
OKTOBER 2015
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 775/Pendidikan Sains
ii
LAPORAN TAHUN III
PENELITIAN TIM PASCASARJANA
Pengembangan Desain Instruksional Mata Pelajaran Fisika yang Berorientasi Conceptual
Change dan Mental-modeling ability Berbasis Kajian Perilaku Problem Solving dan
Penggunaan Sistem Representasi Eksternal
Tim Pengusul:
Dr. Jusman Mansyur, M.Si
NIDN: 0018086904
Dr. Darsikin, M.Si
NIDN: 0002107005
OKTOBER 2015
iii
iv
PRAKATA
Bismillahir rahmanir rahim,
Syukur alhamdulillah karena atas limpahan Rahmat-Nya laporan hasil penelitian Tahun III ini
yang berjudul: “ Pengembangan Desain Instruksional Mata Pelajaran Fisika yang Berorientasi
Conceptual Change dan Mental-modeling ability Berbasis Kajian Perilaku Problem Solving dan
Penggunaan Sistem Representasi Eksternal” dapat diselesaikan. Penelitian dapat dilaksanakan
bukan semata-mata karena kemampuan tim peneliti tetapi melibatkan banyak pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini, peneliti menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada:
1. Yth. Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat, Kementerian Riset, Tekonologi
dan Pendidikan Tinggi atas pendanaan penelitian ini.
2. Yth.Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tadulako
yang telah memberi dorongan dan memfasilitasi tim peneliti untuk melaksanakan dan
mengembangkan penelitian.
3. Yth. Direktur Program Pascasarjana Universitas Tadulako atas dukungan yang diberikan
dengan mengijinkan mahasiswa S2 untuk terlibat dalam penelitian ini.
4. Yth. Koordinator Program Studi Magister Pendidikan Sains dan Magister Pendidikan
Matematika Universitas Tadulako atas rekomendasi yang diberikan dengan mengijinkan
mahasiswa S2 untuk terlibat dalam penelitian ini.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga apa yang tersaji dalam laporan ini dapat bermanfaat adanya.
Palu, Desember 2015
Tim Peneliti
v
DAFTAR ISI
hal.
HALAMAN SAMPUL ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 7
3.1 Tujuan Penelitian 7
3.2 Manfaat Penelitian 7
BAB IV METODE PENELITIAN 9
4.1 Validasi Ahli untuk Model Awal 10
4.2 Pilot Study
4.3 Sampling
4.4 Intervensi
4.5 Pengumpulan Data
4.6 Analisis Data
11
11
11
11
16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 14
5.1 Capaian yang Berkaitan dengan Keterlibatan Mahasiswa 14
5.2 Hasil/Capaian yang Berkaitan dengan Tahapan Pengembangan
Desain
42
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 30
7.1 Kesimpulan 30
7.2 Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LAMPIRAN 36
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Protocol of MMA (Wang, 2006; Mansyur, 2010) 12
Tabel 5.1 Pola Direct Instruction 16
Tabel 5.2 Hasil modifikasi dan rasionalisasi tahapan pembelajaran 17
Tabel 5.3 Principles of the macro-strategy (Chen & Teh, 2013). 18
Tabel 5.4 Tahapan Hipotetik EDI 20
Tabel 5.5 DI pattern and hyphotetical stages of EDI 21
Tabel 5.6 Hasil validasi ahli terhadap model hipotetik 22
Tabel 5.7 Proporsi mahasiswa yang menyusun diagram pada setiap item
dan N-gain
23
Tabel 5.8 Peningkatan jumlah diagram yang disusun mahasiswa pada
kedua kelas
23
Tabel 5.9 Skor dan N-gain MMA untuk kedua kelas 24
Tabe; 5.10 Perbandingan jawaban NFA antara pretest dan posttest pada
soal tentang GLB dan Hukum III Newton.
25
Tabel 5.11 Perbandingan jawaban AI antara pretest dan posttest pada soal
yang berkenaan dengan Hukum II Newton
26
Tabel 5.12 Model Hipotetik dan model final EDI 28
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta jalan (road map) penelitian 6
Gambar 4.1 Tahap akhir pengembangan desain 10
Gambar 5.1 Desain Hipotetik Enhanced Direct Instruction
19
viii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A ARTIKEL UNTUK PUBLIKASI SEMINAR NASIONAL 37
LAMPIRAN B ARTIKEL UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian di Indonesia dalam bidang sains kognitif dewasa ini relatif jarang
dilakukan. Hasil penelusuran literatur yang dilakukan menunjukkan bahwa penelitian dalam
bidang tersebut dominan pada kajian tentang miskonsepsi (misconception) pada siswa atau
mahasiswa (Mulbar dan Nur, 1998; Masril dan Asma, 2002; Kaharu dan Mansyur, 2007;
Mansyur dan Kaharu, 2008; Indrawati, 2008). Dari sejumlah penelitian tersebut tampak
bahwa penelitian miskonsepsi relatif cenderung pada vonis bahwa seseorang mengalami
miskonsepsi tetapi mekanisme terjadinya miskonsepsi tidak digali lebih lanjut. Aspek yang
belum tergali dalam penelitian miskonsepsi adalah penggunaan dan struktur pengetahuan
responden yang divonis mengalami miskonsepsi. Melalui penelitian tentang sistem
representasi internal (model mental), hal tersebut dapat digali dan diketahui (Mansyur, 2010).
Interaksi antara model mental individu dengan fenomena menghasilkan sistem representasi
eksternal yang selanjutnya dapat digunakan untuk mendeskripsikan model mental individu.
Kajian terhadap penggunaan sistem representasi eksternal memungkinkan pengajar
melakukan intervensi terhadap model mental pebelajar melalui conceptual change (CC) yang
terjadi dan pembentukan mental-modeling ability (MMA).
Penelitian sebelumnya (Mansyur dkk, 2010a) dalam format problem solving dengan
thinking-aloud ditemukan bahwa perilaku responden berbeda dalam memainkan model
mental tertentu jika suatu fenomena disajikan dalam format interview dan dalam format
problem solving.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian terdahulu (Mansyur dkk,
2009; 2010a; 2010b; 2011) yang mengkaji strategi problem solving dan model mental serta
perilaku aktivasi elemen kognitif format problem solving. Pada tahap penelitian
pendahuluan, fokus kajian pada sistem representasi eksternal dan problem solving dengan
menggali aspek-aspek dan perilaku penggunannya oleh siswa, mahasiswa dan guru baik
dalam konteks problem solving maupun dalam konteks aktivitas mengajar.
Penelitian tahun kedua dilaksanakan dengan mempertimbangkan temuan dan
rekomendasi tahun pertama (Ningsih dkk, 2013; Pajang dkk, 2013; Sabia dan Mansyur, 2013;
Sutrisno dan Mansyur, 2013; Mansyur dkk, 2013). Poin-poin yang menjadi fokus perhatian
pada tahun kedua adalah: elemen-elemen atau aspek-aspek yang mendukung MMA individu.
1
Dibutuhkan kajian tentang proses individu melakukan transformasi sistem representasi
eksternal dari satu format ke format yang lain. Sejauhmana metakognisi individu berperan
dalam MMA mereka dan bagaimana individu melakukan metakognisi tersebut, misalnya
dalam proses transformasi sistem representasi dan memonitoring model mental yang
dibangunnya. Selain itu, kajian tentang alur atau peta penalaran individu dalam aktivitas
problem solving juga diperlukan untuk memahami karakteristik proses berpikir individu.
Perlu peninjauan teoritis tentang CC, cara menggali dan karakteristiknya. Pengintegrasian
antara temuan tahun pertama dengan aspek-aspek di atas akan menjadi rekomendasi terhadap
desain instruksional yang dikembangkan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan
bahwa terjadi pergeseran target penelitian yang disebabkan muncul hal-hal yang penting
menjadi pertimbangan dalam keseluruhan struktur desain instruksional. Dalam hal ini,
penelitian yang bersifat fundamental masih diperlukan untuk mendukung kematangan rencana
tahap berikutnya. Pelaksanaan tahun pertama dan kedua diharapkan dapat diperoleh
rekomendasi untuk model teoritis desain instruksional melalui rasionalisasi model atau desain
pembelajaran yang dianggap sangat potensial dapat mengembangkan CC dan MMA.
Kemudian dilakukan penyesuaian terhadap aspek-aspek problem solving dan sistem
representasi eksternal berdasarkan temuan tahun pertama.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bagian ini disajikan hasil-hasil yang telah dicapai dalam penelitian sebelumnya
berdasarkan studi pendahuluan dan studi literatur. Hasil-hasil penelitian tersebut mencakup
penelitian yang dilakukan oleh Ketua Tim Peneliti maupun oleh peneliti lain dalam bidang
sains kognitif.
Dalam penelitian Mansyur dkk (2010a), ditemukan model mental hibrida (hybrid
model) dalam konteks problem solving terhadap hukum III Newton untuk kasus gaya impuls.
Model hibrida juga ditemukan dalam penelitian Itza-Ortiz dkk (2004) dalam Hukum II
Newton, yaitu ’Newtonian’ dan ’Aristotelian’ dalam format interview. Hrepic dkk (2002)
meneliti model mental mahasiswa tentang perambatan bunyi. Dari penelitian Hrepic dkk
tersebut, terdentifikasi delapan model mental dengan model dominan adalah model entitas
(entity model), model gelombang (wave model) dan satu model yang merupakan kombinasi
dari dua model, yang juga disebut dengan model hibrida (hybrid model). Penelitian lainnya
oleh Corpuz dan Rebello (2005) yang menyelidiki model mental mahasiswa tentang gesekan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model mental terhadap gesekan pada level atomik
didominasi oleh pengalaman makroskopik mereka. Ketiga penelitian model mental di atas
menggunakan interview sebagai metode untuk menggalinya.
Dalam konteks problem solving, penelitian tentang pengajaran umum yang efektif
untuk problem solving dimulai sejak 40-an tahun yang lalu. Penelitian untuk menyelidiki
teknik-teknik problem solving pada sekolah lanjutan tingkat pertama problem solving dimulai
sejak tahun 1961 oleh Dean. Penelitian dalam bidang ini mulai berkembang setelah tahun
1970-an (Abdullah, 2006). Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat penelitian yang
menekankan pada strategi-strategi metakognisi seperti yang dilakukan oleh Abdullah (2006),
perilaku penggunaan pengetahuan (Sabella dan Redish, 2007; Tuminaro dan Redish, 2007;
Walsh dkk, 2007) serta peranan representasi dalam problem solving (Kohl dan Finkelstein,
2005; 2006).
Penelitian Sabella dan Redish (2007) menggali organisasi pengetahuan (knowledge
organization) dalam konteks model resources pikiran mahasiswa melalui pengamatan
perilaku problem solving yang mengintegrasikan konsep gerak, gaya dan energi. Salah satu
kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa memiliki pengetahuan tidaklah cukup, ia
harus dapat diaktifkan dalam konteks yang tepat. Mahasiswa yang mempelajari pengetahuan
baru, seringkali mengalami kesulitan memahami bahwa beberapa pengetahuan yang mereka
3
ketahui adalah tepat ketika diperlukan dalam konteks yang berbeda dengan pengetahuan yang
pernah dipelajari. Penelitian Tuminaro dan Redish (2007) yang mengkaji elemen-elemen dari
sebuah model kognitif dalam problem solving fisika, mengidentifikasi enam struktur
organisasi problem solving yang disebut dengan epistemic games. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa deskripsi perilaku problem solving mahasiswa bermanfaat untuk
memahami tentang bagaimana mengajarkan strategi-strategi dan metakognisi dalam problem
solving. Penelitian yang mendukung temuan penelitian Tuminaro dan Redish (2007) adalah
penelitian Walsh dkk (2007a; 2007b). Hasil utama penelitian ini adalah seperangkat kategori
yang menggambarkan pendekatan-pendekatan atau strategi mahasiswa dalam problem solving
untuk konteks fisika dasar.
Pada penelitian sebelumnya (Mansyur dkk, 2009), ditemukan strategi problem solving
oleh responden siswa dan guru dalam kategori Semi-Expert Strategy dan Teaching-Like
Strategy dimana karakteristik kuncinya memiliki kemiripan dengan kategori Scientific
Approach dari penelitian Walsh dkk (2007a; 2007b) dan ”Mapping Meaning to
Mathematics” dari Epistemic Games oleh Tuminaro dkk (2007). Sementara Plug-and-Chug
Strategy dapat dibandingkan dengan Plug-and-Chug: Structured Manner (Walsh dkk, 2007;
2007b) dan Mapping Mathematics to Meaning (Tuminaro dkk, 2007). Pada penelitian
Mansyur dkk (2009) tersebut juga ditemukan bahwa sebagian guru menggunakan strategi
yang dikategorikan sebagai Plug-and Chug Strategy dan Trapped-Hill Climbing Strategy.
Dalam hal penggunaan sistem representasi eksternal, khususnya diagram juga ditemukan
bahwa sebagian guru cenderung memisahkan langkah penyusunan diagram dengan langkah
interpretasi dan identifikasi variabel sehingga tidak memberikan hasil yang memadai
(Mansyur dan Setiawan, 2010). Strategi problem solving di atas dilakukan menggunakan soal
tipe tradisional (tipe soal akhir bab). Temuan tersebut berbeda dengan penelitian lainnya yang
menggunakan soal tipe Jeopardy dimana responden siswa, mahasiswa dan guru sangat
dominan berada pada kategori ”Langkah-Langkah Dekonstruksi Tidak Lengkap” atau
Uncompleted Deconstruction Stages (Mansyur dkk, 2010b). Soal non-tradisional Jeopardy
menuntut responden siswa, mahasiswa dan guru dapat mendekonstruksi informasi yang
tersedia dalam soal, misalnya dalam bentuk grafik kemudian menyusun sebuah situasi fisika
berkaitan dengan informasi yang diberikan (Mansyur dkk, 2011).
Terdapat juga penelitian tentang problem solving di luar bidang pendidikan fisika.
Penelitian dilakukan dari perspektif sains kognitif. Sebagai contoh, beban kognitif (cognitive
4
load) selama problem solving dicirikan sebagai satu dari beberapa alasan mengapa pebelajar
memilih menggunakan means-end analysis selama problem solving.
Hasil penelitian sebelumnya untuk konsep yang terbatas (Mansyur dkk, 2010a) dalam
format problem solving dengan thinking-aloud menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dan
persamaan perilaku responden dalam memainkan model mental tertentu jika suatu fenomena
disajikan dalam format interviu dan dalam format problem solving. Beberapa aspek yang
tidak dapat digali melalui interviu dapat digali melalui kegiatan problem solving. Dari hasil
penelitian tersebut, dapat disajikan rekomendasi untuk kegiatan instruksional yang
mengakomodasi model mental responden pada umumnya tentang hukum III Newton dalam
kasus gaya impuls, yang mana hal tersebut jarang disinggung dalam literatur-literatur fisika.
Sebagian model mental yang ditemukan dalam penelitian tersebut, tidak ditemukan dalam
penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan format interviu. Contoh lainnya, dari
penelitian Mansyur dan Setiawan (2010), ditemukan urutan langkah awal yang efektif dan
sistem representasi eksternal yang memadai dalam problem solving yang selanjutnya
menyediakan rekomendasi bagi pengembangan desain instruksional. Temuan tersebut masih
dapat diperkaya dengan mengkaji aspek-aspek yang berkenaan dengan sistem representasi
eksternal dalam konteks problem solving yang dapat mendorong pencapaian CC dan
peningkatan MMA bagi pebelajar.
CC dapat dipandang sebagai proses re-organisasi pengetahuan yang ada (existing
knowledge) dimana pengatahuan yang ada dapat saja tidak sesuai dengan pemahaman atau
akal sehat atau konsep ilmiah (Read, 2004). Pengertian conceptual change ini sesuai dengan
pandangan diSessa (2006) yang selanjutnya digunakan dalam penelitian ini.
Penelitian yang mengkaji tentang MMA cukup terbatas. Penelitian yang dapat dirujuk
adalah penelitian Wang (2007) yang menemukan bahwa terdapat kebergantungan secara
positif antara level pengetahuan konten individu dengan MMA. Pada penelitian tersebut
dikembangkan rubrik MMA yang selanjutnya dapat diadaptasi pada penelitian ini.
Menurut Merril (1987) terdapat dua prinsip utama dalam instruksional, yaitu: (1)
tujuan instruksional adalah mendorong perkembangan struktur kognitif yang lebih konsisten
dengan unjuk kerja hasil belajar yang diharapkan dan (2) tujuan instruksional adalah
mendorong pemrosesan kognitif yang aktif yang memungkinkan pebelajar menggunakan
struktur kognitifnya dengan cara yang konsisten dengan unjuk kerja hasil belajar yang
diharapkan. Oleh karena itu, untuk mempertahankan prinsip-prinsip ini, tujuan pembelajaran
adalah untuk membantu pebelajar mengembangkan sistem representasi internal yang tepat
5
(struktur dan proses) yang memungkinkan mereka memecahkan masalah yang relevan dengan
proses atau prinsip yang sedang diajarkan. Prinsip-prinsip ini menjadi rujukan dalam
mengembangkan desain instruksional berbasis kajian di atas.
Untuk melakukan penelitian ini berbagai pengalaman Tim Peneliti terutama Ketua
Tim Peneliti dalam melaksanakan penelitian baik dalam konteks penelitian pendidikan fisika
maupun penelitian fisika murni merupakan faktor yang berperan dalam kelancaran dan
kesuksesan penelitian yang akan dilaksanakan ini. Kemampuan yang diperoleh melalui
pengalaman mengelola penelitian terdahulu menjadi modal yang berharga untuk pelaksanaan
penelitian ini. Pengalaman tersebut dapat disajikan berikut ini.
a. Sebagai peneliti utama dalam Penelitian Disertasi Tahun 2010. Sebagian hasil penelitian
tersebut telah dipublikasikan dan dirujuk dalam proposal ini. Penelitian ini menjadi basis
utama dan merupakan bagian dari studi pendahuluan dalam skema penelitian yang diusulkan.
b. Sebagai peneliti utama dalam skim Hibah Doktor 2010.
c. Sebagai peneliti utama pada Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2007 yang dibiayai oleh
Dikti.
d. Sebagai peneliti utama pada Penelitian Dasar Tahun 2005 yang dibiayai oleh Dikti.
e. Sebagai peneliti utama dalam Penelitian Tindakan Kelas Tahun 2005 yang dibiayai oleh
Dikti tentang penerapan model elaborasi untuk meminimalisir miskonsepsi siswa dalam
mata pelajaran fisika.
f. Sebagai anggota dalam penelitian yang didanai oleh FKIP Untad Tahun 2004 tentang
miskonsepsi mahasiswa dalam medan listrik.
Peta jalan (road map) penelitian ini secara skematik dilukiskan pada Gambar 2.1.
Dalam penelitian pendahuluan, dikaji perilaku problem solving dan pengunaan sistem
representasi eksternal yang berada pada wilayah kajian sains kognitif dengan meninjau aspek-
aspek yang relevan dengan CC dan MMA. Pada tahap ini, disusun rekomendasi-rekomendasi
berdasarkan temuan-temuan terdahulu dan temuan pada tahun pertama.
Berdasarkan temuan-temuan pada penelitian pendahuluan, selanjutnya dikembangkan desain
instruksional mata pelajaran fisika di SLTA. Pengembangan desain, mengikuti prosedur
formative research.
Setelah tahap pengembangan desain, penelitian dapat dikembangkan untuk perluasan
dampak melalui disseminasi pada tingkat persekolahan, sistem pelatihan guru fisika atau
dalam pengayaan sistem Pendidikan Profesi Guru yang dilaksanakan oleh LPTK.
6
Gambar 2.1 Peta jalan (road map) penelitian
Ujicoba dan
Eksperimentasi
Model
Aspek
Kajian
Aspek
Kajian
Kajian Sains
Kognitif
Model
Teoretis
Desain
Instruksional
Dalam setting
problem solving:
• Elemen
Kognitif
• Model Mental:
Representasi
Internal
• Struktur
Pengetahuan
• Strategi
Kognitif
Perilaku problem
solving dan
penggunaan sistem
representasi
eksternal; aspek-aspek
CC dan
MMA
Aspek
Kajian
• Silabus
• Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran dan
panduan bagi guru
• LKS dan Buku Siswa
• Tes
• Lembar observasi
• Keefektivan
• Fleksibilitas
• Efisiensi
• Keterterapan
• Dampak
terhadap CC dan MMA
PENELITIAN
PENDAHULUAN
PENELITIAN LANJUTAN
Rekomendasi
untuk model
teoretis desain
instruksional
Melalui validasi ahli,
ujicoba terbatas,
ujicoba lebih luas, revisi
• Komponen model
• Struktur model/sintaks
• Relevansi dan potensi
untuk CC dan MMA
Perangkat
DISIMENASI
• Replikasi
• Keterterapan
• Fleksibilitas
• Dampak
Aspek
Kajian
Implementasi
dan Perluasan
dampak
7
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan khusus penelitian tahun ketiga adalah: (a) mendapatkan instrumen
pendukung desain instruksional, (b) mendapatkan informasi tentang validitas instrumen, (c)
mendeskripsikan keterlaksanaan dan hasil ujicoba terbatas dan ujicoba lebih luas, (c)
menghasilkan model final, dan (d) menentukan keterterapan model, fleksibilitas, efisiensi,
keefektivan dan dampak terhadap CC dan MMA.
3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan berada pada posisi yang strategis dan urgen karena memiliki
manfaat sebagai berikut:
(a) Perilaku problem solving dan penggunaan sistem representasi eksternal oleh siswa dan
mahasiswa dapat digali lebih jauh.
(b) Perilaku pemberian contoh problem solving dan penggunaan sistem representasi eksternal
oleh guru dalam aktivitas mengajar dapat diungkap
(c) Memperkaya khazanah bidang sains kognitif tentang bagaimana orang berpikir dan
bagaimana Ia menampilkan sistem representasi eksternalnya terhadap topik-topik fisika
tertentu.
(d) Hasil penelitian ditindaklanjuti dengan mendesain model instruksional yang dapat
membantu serta memfasilitasi guru meningkatkan kemampuannya dalam menciptakan CC
bagi siswa yang merupakan salah satu tujuan dalam aktivitas belajar mengajar. Di
samping itu, peningkatan pemahaman guru tentang MMA dapat membantu mereka dalam
mengatasi kekakuan dalam melakukan transformasi dari satu sistem representasi ke sistem
representasi lainnya. Implikasi penelitian ini dapat pula menjadi model dalam melakukan
intervensi kegiatan instruksional pada setting kelas (classroom setting), baik untuk
penyiapan guru program reguler maupun program non reguler seperti Pendidikan Profesi
Guru (PPG) yang diselenggarakan oleh LPTK.
(e) Hasil penelitian dapat diterapkan secara langsung oleh mahasiswa Program Studi
Pendidikan Sains yang dominan merupakan guru. Temuan penelitian oleh perguruan
tinggi bukan merupakan menara gading bagi masyarakat karena dapat diterapkan oleh
8
masyarakat (guru). Hal ini berimplikasi pula pada penguatan peran dan keberadaan
Program Pascasarjana khususnya Program Studi Pendidikan Sains Universitas Tadulako.
(f) Desain instruksional yang diperoleh dapat diterapkan pada perkuliahan Fisika Sekolah I,
Fisika Sekolah II, Fisika Sekolah III di LPTK dengan melakukan penyesuaian.
(g) Pengembangan desain yang dilakukan dapat menjadi model bagi pengembangan desain
lainnya yang bersandar pada hasil penelitian sains kognitif.
9
BAB IV
METODE PENELITIAN
Prosedur pengembangan desain instruksional dalam penelitian ini mengunakan
formative research (Reigeluth & Frick, 1999) yang merupakan salah satu bentuk penelitian
tindakan yang bertujuan mengembangkan teori desain untuk perancangan praktek-praktek
atau proses instruksional. Bentuk penelitian tersebut telah digunakan untuk meningkatkan
kualitas teori dan model desain instruksional yang ada seperti teori elaborasi, teori yang
memfasilitasi pemahaman, teori untuk desain simulasi berbasis komputer dan teori untuk
mendesain instruksi bagi tim.
Prosedur formative research yang dilakukan adalah:
• Memilih teori desain (atau model). Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
penelitian ini memilih model desain instruksional DI sebagaimana yang diuraikan oleh
Rosenshine (2008) sebagai basis.
• Mendesain contoh model sebagai sebuah aplikasi spesifik model tersebut Seorang ahli
dalam model terlibat untuk memastikan desain contoh dari model desain untuk
menghindari adanya kelemahan.
• Mengumpulkan dan menganalisa data pada contoh. Hal ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi dan menghilangkan masalah pada contoh, terutama dalam metode yang
ditentukan oleh model.
• Merevisi contoh. Revisi ini berdasarkan pengumpulan data. Sifat dari revisi diambil dari
catatan karena mewakili hipotesis yang dengan cara itu, model desain dapat diperbaiki.
• Mengulangi pengumpulan data dan siklus revisi. Beberapa tambahan sekitar pengumpulan
data, analisis dan revisi direkomendasikan. Ini adalah cara untuk mengkonfirmasi temuan-
temuan sebelumnya.
• Merekomendasikan revisi sementara untuk model yang ada.
Tahapan tersebut selanjutnya digunakan untuk mematangkan desain instruksional
dengan melakukan pengintegrasian prinsip-prinsip strategi makro dengan mengadopsi cara
yang dilakukan oleh Chen and Teh (2013) dengan pola-pola implementasi DI menurut
Rosenshine (2008). Hasil-hasil dan rekomendasi penelitian sebelumnya, selanjutnya
diintegrasikan ke dalam struktur yang telah ada sebagai elemen strategi mikro.
10
Pengintegrasian temuan tahun pertama dan kedua menyediakan rekomendasi terhadap
karakteristik model desain instrusional akan dikembangkan. Dalam hal ini, dilakukan
pemetaan potensi model berdasarkan perilaku problem solving dan penggunaan representasi
eksternal dan indikator-indikator CC dan MMA yang menjadi target.
Pada tahun ketiga ini, jumlah mahasiswa Program Studi Pendidikan Sains (S2) yang
terlibat sebanyak 1 (satu) orang. Hasil penelitian ditargetkan dapat dipublikasikan pada jurnal.
Tahapan-tahapan akhir prosedu penelitian disajikan secara skematik pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Tahap akhir pengembangan desain
4.1 Validasi Ahli untuk Model Awal
Validasi ahli dilakukan untuk memberikan kesesuaian model teoritis dengan target
pembelajaran dari sudut pandang ahli. Aspek dan indikator penilaian adalah:
a. Strategi makro: ruang lingkup, kejelasan, integrasi dan rasionalitas.
b. Strategi mikro: ruang lingkup, kejelasan, integrasi, rasionalitas dan mendukung strategi
makro.
c. Aspek potensial: mendukung MMA, mendukung pemecahan masalah yang efektif dan
fleksibilitas dalam implementasi.
d. Akomodasi: keterpaduan dengan hasil penelitian sebelumnya dan kesesuaian dengan
tingkat berpikir (siswa SMA ke mahasiswa tahun kedua).
TAHAP EVALUASI
Model Final
1 kelas eksperimen
1 kelas kontrol
Kinematika & Dinamika
Non-equivalent control group
CC
MMA
MMA
CC
Efisiensi
Keefektivan
fleksibilitas
Publikasi
Draft Tesis
LUARAN
11
4.2 Pilot Study
Pilot study dilaksanakan pada perkuliahan Fisika Dasar II (Tahun Akademik 2014/2015).
Fokus pilot study adalah pada aspek implementasi dan fleksibilitas tahap umum desain.
Penelitian ini dominan sebagai penelitian reflektif.
4.3 Sampling
Populasi penelitian adalah 115 mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika (Tahun
Akademik 2015/2016). Mereka berada di tiga kelas, tidak termasuk siswa yang memiliki latar
belakang sekolah menengah kejuruan. Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan
purposive random sampling (cluster) dimana terdapat satu kelas (Kelas A, n = 34) sebagai
kelompok eksperimen dan satu kelas (Kelas B, n = 30) sebagai kelompok kontrol.
4.4 Intervensi
Eksperimen EDI sebagai model hipotetis dilakukan dengan menggunakan desain eksperimen
semu. Pada kelompok eksperimen, kami menerapkan EDI, sedangkan pada kelompok kontrol,
kami menerapkan model DI. Baik kelompok eksperimen maupun kontrol, pembelajaran
berlangsung enam jam pelajaran tidak termasuk pertemuan pendahuluan/kontrak kuliah, sesi
pretest, dan posttest.
4.5 Pengumpulan Data
Pengumpulan data meliputi pretest, posttest, dan wawancara. Pretest dan posttest
dimaksudkan untuk menegaskan data yang berkaitan dengan aspek MMA tentang
transformasi representasi berdasarkan proposisi dari setiap masalah. Dalam hal ini, konstruksi
diagram adalah aspek utama dari MMA. Aspek MMA dihubungkan dengan aspek perubahan
konseptual. Wawancara difokuskan pada respon siswa pada kelas eksperimen terhadap
struktur pembelajaran.
4.5.1 Instrumen
4.5.1.1 Tes
Tes untuk pretest dan posttest meliputi penguasaan konsep mekanika dasar pada Fisika
Pengantar I, yaitu Kinematika, Dinamika dan Usaha-Energi. Tes terdiri dari lima item tes esai.
Meskipun tes tersebut merupakan tes penguasaan konsep, tes tersebut dapat digunakan untuk
12
menilai aspek-aspek MMA dengan menggunakan rubrik. Semua soal yang dimasukkan dalam
tes mengandung unsur-unsur sebagai stimulus bagi siswa untuk menggunakan diagram dalam
kegiatan pemecahan masalah. Jika setiap siswa membuat diagram lebih dari satu dalam setiap
masalah, kami menghitungnya sebagai satu diagram sehingga ada lima diagram (maksimal)
untuk setiap siswa.
4.5.1.2 Rubrik MMA
Rubrik MMA sebagian besar digunakan untuk menilai Komponen 1a (atau 1b) dan 2a (atau
2b) dari Tabel 3.1 sebagai fokus utama penelitian ini.
Tabel 3.1 Protocol of MMA (Wang, 2006; Mansyur, 2010)
Characteristic of MMA Score MMA score (maximum)
1a Generate a mental model w/ and w/o a 2D representation (diagram) or other relevant representation Or
2
2
1b Generate a mental model based on a 2D representation (diagram) or other relevant representation
1
2a Manipulate the mental model based on propositions Or
4
4 2b
Possess a rigid mental model and conclude that the shape of mental model would not change when a new proposition is added to the model; sometimes need to rely on a concrete model
2
3 Metacognitively monitor processes of mental modeling 2 2
4 Self-check using an alternative approach to test or inspect the mental model to identify errors from the mental model
2 2
Total (maximum) 12
Tidak tercakup dalam laporan ini
4.5.1.3 Panduan Wawancara
Panduan wawancara termasuk pertanyaan tentang tanggapan siswa terhadap struktur
pembelajaran.
4.6 Analisis Data
Meskipun penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu, analisis data difokuskan pada
aspek kualitatif-deskriptif dari model pembelajaran. Analisis data dilakukan pada aspek MMA
yang muncul pada lembar jawaban kelompok eksperimen dan kontrol. Dalam hal ini, dihitung
proporsi siswa di kedua kelas yang membuat diagram untuk setiap masalah pada pretest dan
posttest. Juga dihitung jumlah total diagram yang dibuat oleh siswa. Data tersebut juga
sebagai benchmark awal untuk menilai kondisi MMA yang sebenarnya. Peningkatan proporsi
13
%100100
xP
PPg
pre
prepost
p−
−=
%100max
xDD
DDg
pre
prepost
d−
−=
%100max
xMM
MMg
pre
prepost
mma−
−=
siswa yang menyusun diagram ditentukan dengan menggunakan rumus (Hake, 2007):
(1)
dimana:
<gp> : normalized gain rerata
Ppre : proporsi mahasiswa yang menyusun diagram pada pretest.
Ppost : proporsi mahasiswa yang menyusun diagram pada posttest.
Pertambahan jumlah diagram ditentukan menggunakan rumus (Hake, 2007):
(2)
dimana:
<gd> : normalized gain rerata untuk jumlah diagram
Dpre : jumlah total diagram dalam pretest
Dpost : jumlah total diagram dalam posttest
Dmax : jumlah total maksimum diagram
Peningkatan jumlah diagram ditentukan menggunakan rumus (Hake, 2007):
(3)
dengan:
<gmma>: normalized gain rerata untuk MMA
Mpre : skor MMA pada pretest
Mpost : skor MMA pada posttest
Mmax : skor maksimum total MMA
Analisis hasil wawancara menekankan pada kenyamanan dan kemudahan mahasiswa untuk
melibatkan diri dalam struktur pembelajaran. Hasil wawancara juga digunakan untuk
mengetahui aspek implementasi model untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa.
14
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Capaian yang Berkaitan dengan Keterlibatan Mahasiswa
Penelitian ini terdiri beberapa subtopik yang melibatkan mahasiswa S2 dalam
pelaksanaannya (6 orang pada Tahun I, 2 orang pada Tahun II dan 1 orang pada Tahun III).
Delapan orang telah menyelesaikan studinya. Perlu dijelaskan pada sesuai panduan penelitian
dari DP2M Edisi IX, pada Tahun I penelitian wajib melibatkan mahasiswa sebanyak 4 orang,
Tahun II tidak ada kewajiban dan Tahun III 2 orang. Deskripsi capaian penelitian ini
diisajikan berdasarkan subtopik yang melibatkan mahasiswa S2 sebagai berikut.
1. Kajian Perilaku Penggunaan Representasi Eksternal dalam Aktivitas Pembelajaran oleh
Guru Fisika di Kelas
Keterangan:
- Penelitian ini telah dipublikasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Tahun 2013 di
Palu (daftar isi prosiding terlampir).
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
2. Analisis Penggunaan Waktu oleh Guru dan Siswa dalam Tahap Physics Problem Solving
Keterangan:
- Penelitian ini telah dipublikasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Tahun 2013 di
Palu (daftar isi prosiding terlampir).
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
3. Kemampuan dan Pola-Pola Siswa dalam Menyelesaikan Soal Fisika Tipe Jeopardy
Keterangan:
- Penelitian ini telah dipublikasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Tahun 2013 di
Palu (daftar isi prosiding terlampir).
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
4. Kajian Unjuk Kerja Mahasiswa Tentang Hukum III Newton untuk Format Representasi
yang Berbeda
Keterangan:
15
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
5. Konsistensi Jawaban Mahasiswa dalam Format Representasi Verbal, Diagram, dan Grafik
Tentang Hukum III Newton
Keterangan:
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
6. Unjuk Kerja Siswa dan Guru dalam Problem Solving untuk Tipe Well-Defined Problem
dan Ill-Defined Problem pada Konsep Dasar Mekanika
Keterangan:
- Penelitian ini telah dipublikasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Tahun 2013 di
Palu
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
7. Kajian Mental-Modelling Ability Mahasiswa pada Konsep Dasar Listrk Statis
Keterangan:
- Penelitian ini akan dipublikasikan pada Seminar Nasional Fisika ddan Pendidikan
Fisika Tanggal 13 September 2014 di Solo
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
8. Peta Penalaran Siswa dalam Physics Problem Solving Ditinjau dari Kerangka Kerja Greeno
Keterangan:
- Penelitian ini akan dipublikasikan pada Seminar Nasional Fisika ddan Pendidikan
Fisika Tanggal 13 September 2014 di Solo
- Mahasiswa yang secara khusus menggarap subtopik ini telah menyelesaikan tugas
studinya
9. Pengaruh Enhanced Direct Instruction terhadap Mental-Modeling Ability dan Perilaku
Problem Solving Mahasiswa
Keterangan:
- Mahasiswa yang menggarap topik ini sedang melaksanakan penelitian. Mahasiswa
tersebut akan terlibat dalam eksperimentasi model desain instruksional yang
dikembangkan.
16
5.2 Hasil/Capaian yang Berkaitan dengan Tahapan Pengembangan Desain
Beberapa hal yang dipertimbangkan dalam desain (berdasarkan temuan penelitian
terdahulu)
✓ Sabia dkk (2013): penggunaan waktu untuk tahapan memahami dalam problem solving
(proporsi lebih besar, menjadi penekanan dalam penyajian contoh soal)
✓ Mansyur (2010): Penggunaan diagram, identifikasi variabel yang diketahui dan
ditanyakan: dilakukan secara simultan
✓ Novitri (2012) dan Rahmilia (2014): Transformasi representasi eksternal. Fokus pada
bagaimana melakukan transformasi
✓ Hidayat (2013) dan Harnawati (2013): Penggunaan multi representasi
Rambu-Rambu Penyusunan Struktur Pembelajaran
- Mengambil basis direct instruction, DI-pembelajaran langsung)
- Sisipkan aspek yang menjadi penekanan (yang perlu dipertimbangkan) sesuai hasil
penelitian sebelumnya
- Penyisipan aspek tersebut pada tahapan yang sesuai dengan DI
Tabel 5.1 Pola Direct Instruction
Direct Instruction (Rosenshine, 2008) Langkah-Langkah Eksplisit (operasional-
oleh peneliti)
Begin a lesson with a short review of
previous learning
Apersepsi
Begin a lesson with a short statement of
goals
Penyampaian tujuan
Present new material in small steps,
providing for student practice after each
step
Penyajian materi secara bertahap, setiap
tahap ada latihan
Give clear and detailed instructions and
explanations
Pemberian intruksi dan penjelasan
Provide a high level of active practice for all
students
Latihan bagi semua mahasiswa
Ask a large number of questions, check for
student understanding, and obtain responses
from all students
Pengajuan sejumlah pertanyaan untuk
mengecek pemahaman mahasiswa
Guide students during initial practice Pembimbingan selama latihan awal
Provide systematic feedback and corrections Pemberian umpan balik dan koreksi yang
sistematis
Provide explicit instruction and practice for Penyediaan instruksi dan latihan yang
17
Direct Instruction (Rosenshine, 2008) Langkah-Langkah Eksplisit (operasional-
oleh peneliti)
seatwork exercises and monitor students
during seatwork
eksplisit dan monitoring
Berdasarkan pola direct instruction menurut Rosenshine (2008) pada Tabel 5.1, dilakukan
modifikasi dan rasionalisasi agar aspek-aspek yang menjadi penekanan (berdasarkan temuan
penelitian terdahulu) dan penelitian Hunter (1982), mudah diintegrasikan. Hasil integrasinya
disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil modifikasi dan rasionalisasi tahapan pembelajaran
Modifikasi Langkah-langkah dan penyisipan aspek
berdasarkan hasil -hasil penelitian Rangkuman
Apersepsi Apersepsi Kegiatan Awal
Penyampaian
Tujuan
Penyampaian Tujuan
Pemberian
instruksi dan
penjelasan
Pemberian instruksi dan penjelasan (menjelaskan
model keterlibatan mahasiswa dalam
pembelajaran
Penyajian materi
secara bertahap,
setiap tahap ada
latihan
Penyajian materi secara bertahap, setiap tahap
ada latihan (dalam latihan soal, pengajar
memodelkan dengan thinking-aloud tahapan
problem solving; penggunaan waktu untuk
tahapan memahami dalam problem solving
dengan proporsi lebih besar, menjadi penekanan
dalam penyajian contoh soal); penggunaan
diagram, identifikasi variabel yang diketahui dan
ditanyakan: dilakukan secara simultan
Kegiatan Inti:
Pembimbingan
selama latihan awal
Penggunaan pendekatan reciprocal teaching.
Satu sampai dua mahasiswa tampil menyajikan
proses problem solving dengan thinking-aloud
Pembimbingan selama latihan awal (melalui
pemberian soal)
Pengajuan
sejumlah
pertanyaan untuk
mengecek
pemahaman
mahasiswa
Pengajuan sejumlah pertanyaan untuk mengecek
pemahaman mahasiswa (Sisipkan penggunaan
multi representasi)
Latihan bagi semua
mahasiswa
Pembentukan kelompok
Latihan bagi mahasiswa (sisipkan transformasi
representasi eksternal. Fokus pada bagaimana
mengubah representasi)
Gunakan pendekatan reciprocal teaching dalam
kelompok (ada yang berperan sebagai pemandu
anggota kelompoknya; menyajikan proses
problem solving dengan thinking-aloud)
18
Modifikasi Langkah-langkah dan penyisipan aspek
berdasarkan hasil -hasil penelitian Rangkuman
Penyediaan
instruksi dan
latihan yang
eksplisit dan
monitoring
Penyediaan instruksi dan latihan yang eksplisit
dan monitoring kegiatan kelompok
Pemberian umpan balik dan koreksi yang
sistematis
Kegiatan Akhir
Pemberian tugas mandiri
Ujicoba
- Ujicoba telah dilaksanakan pada Matakuliah Fisika Dasar II (Semester Genap 2014-2015)
- Ujicoba berfokus pada fleksibilitas, keterterapan dan efisiensi model
- Setiap 2 kali pertemuan, dilakukan refleksi pada aspek-aspek tersebut untuk
penyempurnaan model termasuk kelengkapan instrumen pendukung
Model hipotetik untuk desain instruksional hasil integrasi dengan DI yang memuat
strategi makro dan mikro, disajikan pada Gambar 5.1. Proses untuk memperoleh EDI
mengikuti pola yang dilakukan oleh (Chen & Teh, 2013) dalam mengembangkan desain
instruksional untuk pembelajaran berbasis realitas virtual. Proses dimulai dari pusat lingkaran
(lingkaran pertama) pada strategi makro dan secara bertahap bergerak menuju lingkaran
terluar. Peneliti melakukan identifikasi tujuan-tujuan individual dan kaitan sejumlah tujuan
tersebut untuk menghasilkan tujuan integratif. Selanjutnya dilakukan penyusunan skenario
yang melibatkan pemilihan konteks masalah, representasi masalah dan ruang manipulasi
masalah yang akan membantu pencapaian tujuan integratif.
Menurut Merrill (2007), ada dua prinsip utama dari sebuah desain pembelajaran, yaitu:
(1) Tujuan pembelajaran adalah untuk mendorong pengembangan struktur kognitif yang lebih
konsisten dengan kinerja hasil belajar yang diharapkan; dan (2) Tujuan instruksional adalah
untuk mendorong proses kognitif aktif yang memungkinkan peserta didik menggunakan
struktur kognitif dengan cara yang konsisten dengan kinerja hasil belajar yang diharapkan.
Ada prinsip-prinsip makro-strategi yang dapat diikuti sehubungan dengan desain
pembelajaran seperti yang dirangkum oleh Chen dan Teh (2013) pada Tabel 5.3.
Table 5.3. Principles of the macro-strategy (Chen & Teh, 2013).
Principles Description
Objectives Identifying the types of learning (labels, verbal information, intellectual skills
and/or cognitive strategies) and the respective learning objectives.
Integrative goals Determining the integrative goals by combining several interrelated objectives that
are to be integrated into a comprehensive purposeful activity, which is called an
19
enterprise.
Enterprise
scenario/problem
Identifying the enterprise scenario that must be played out in conducting the
enterprise. It is similar to the problem posed in a constructivist learning
environment. This problem comprises three integrated components: problem
context, problem representation, and problem manipulation space.
Support tools Providing various interpretative and intellectual systems to support constructivist
learning through the problem posed. These may include related cases, information
resources, and various cognitive tools.
Instructional activities Providing instructional activities to support constructivist learning, which
includes modeling, coaching, and scaffolding.
MODELLING
Reviu pembelajaran
sebelumnya
Penyampaian tujuan
Penyajian materi secara
bertahap, setiap tahap
ada latihan
Pemberian intruksi dan
penjelasan
Latihan bagi semua
mahasiswa
Pengajuan sejumlah
pertanyaan untuk
mengecek pemahaman
mahasiswa
Pembimbingan selama
latihan awal
Pemberian umpan balik
dan koreksi yang
sistematis
Penyediaan instruksi
dan latihan yang
eksplisit dan monitoring
Kegiatan
instruksional
COACHING
Perangkat
pendukung
Skenario/masalah
Tujuan
integratif
SCAFFOLDING
Tujuan
STRATEGI MAKRO POLA-POLA DIRECT INSTRUCTION STRATEGI MIKRO
THINKING-ALOUD,
PENGGUNAAN WAKTU,
PENGGUNAAN DIAGRAM,
KESIMULTANAN,
RECIPROCAL TEACHING,
MULTI REPRESENTASI
Gambar 5.1. Desain Hipotetik Enhanced Direct
Instruction
Konteks, representasi,
ruang manipulasi
20
Proses desain berlanjut dengan menyediakan beragam perangkat pendukung yang
diperlukan dan dapat membantu pengajar untuk secara aktif mendinamisasi kelasnya.
Perangkat pendukung ini mencakup informasi, instruksi dan penjelasan. Coaching,
scaffolding dan modelling merupakan strategi utama yang diterapkan dalam aktivitas
instruksional. Desain hipotetik yang ada selanjutnya ‘diinjeksi’ dengan strategi mikro yang
pertimbangan terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu.
Penjelasan materi dengan modelling terhadap penyajian contoh dilakukan dengan
thinking-aloud. Hal ini dimaksudkan agar ketika seorang pebelajar berinteraksi dengan
anggota kelompok lainnya, pengajar dapat mengidentifikasi masalah, ide-ide dan konsepsi
yang muncul. Modelling tentang penggunaan waktu dalam proses problem solving terutama
dalam tahapan problem representation dan kesimultanan dalam proses identifikasi variabel
dan penyusunan diagram juga ditunjukkan oleh pengajar.
Integrasi elemen strategi mikro ke dalam strategi makro melalui pola direct instruction
menurut Rosenshine (2008) setelah dilakukan rasionalisasi, diperoleh tahapan-tahapan
hipotetik EDI sebagaimana disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Tahapan Hipotetik EDI
Fase Kegiatan hipotetik
Awal Apersepsi
Penyampaian tujuan
Inti
Pemberian instruksi dan penjelasan (menjelaskan model keterlibatan
mahasiswa dalam pembelajaran
Penyajian materi secara bertahap, setiap tahap ada latihan (coaching)
(dalam latihan soal, pengajar memodelkan (modelling) dengan
thinking-aloud tahapan problem solving; penggunaan waktu untuk
tahapan memahami dalam problem solving dengan proporsi lebih
besar, menjadi penekanan dalam penyajian contoh soal);
penggunaan diagram, identifikasi variabel yang diketahui dan
ditanyakan: dilakukan secara simultan
Penggunaan pendekatan reciprocal teaching. Terdapat mahasiswa
tampil menyajikan proses problem solving dengan thinking-aloud
Pembimbingan selama latihan awal reciprocal teaching melalui
pendekatan scaffolding
Pengajuan sejumlah pertanyaan untuk mengecek pemahaman
mahasiswa (penyisipan penggunaan multi representasi)
Pembentukan kelompok
Latihan bagi mahasiswa (penyisipan transformasi representasi
eksternal yang berfokus pada bagaimana mengubah representasi)
Penggunaan pendekatan reciprocal teaching dalam kelompok (ada
yang berperan sebagai pemandu anggota kelompoknya; menyajikan
21
Fase Kegiatan hipotetik
proses problem solving dengan thinking-aloud)
Penyediaan instruksi dan latihan yang eksplisit dan monitoring
kegiatan kelompok
Akhir Pemberian umpan balik dan koreksi yang sistematis
Pemberian tugas mandiri
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa integrasi prinsip-prinsip strategi makro ke dalam pola-
pola DI yang diperkaya dengan strategi mikro membentuk strukur EDI yang lebih spesifik
namun lebih kompleks.
Aktivitas dalam kegiatan inti berupa penyusunan diagram dan representasi lainnya
melalui identifikasi variabel serta penyisipan transformasi eksternal, merupakan langkah
penting dalam pembentukan MMA bagi mahasiswa. Kegiatan tersebut menanamkan
kemampuan memanipulasi model mental berdasarkan proposisi-proposisi. Kemampuan
memonitor secara metakognitif proses penyusunan model mental dapat terbentuk melalui
modelling. Tahapan problem solving disajikan dengan melakukan penekanan tentang
pentingnya tahapan memahami sehingga perlu diberikan proporsi waktu yang lebih besar.
Kebiasan berpikir reflektif diharapkan dapat tertanam melalui penekanan tersebut.
5.2.1 Deskripsi Hypothetical Model
Model hipotetik desain pembelajaran sebagai hasil integrasi berisi strategi makro dan mikro,
disajikan pada Lampiran A (Darsikin & Mansyur, 2015). Proses untuk mendapatkan EDI
mengikuti pola yang dibuat oleh Chen dan Teh (2013) dalam mengembangkan desain
pembelajaran pembelajaran berbasis virtual reality. Prosesnya dimulai dari pusat bentuk
lingkaran strategi makro (cincin terdalam) dan secara bertahap bergerak ke luar ke cincin
terluar. Model hipotetis 'disuntikkan' dengan mikro-strategi dengan mempertimbangkan hasil
penelitian sebelumnya.
Dari integrasi elemen strategi mikro ke dalam strategi makro melalui pola DI
(Rosenshine, 2008; Hunter, 1982), diperoleh tahapan hipotetis EDI (Darsikin & Mansyur,
2015) seperti yang disajikan pada Tabel 5.5.
Table 5.5. DI pattern and hyphotetical stages of EDI
Direct instruction pattern (Rosenshine, 2008) Hyphotetical stages of EDI (Darsikin & Mansyur, 2015)
• Begin a lesson with a short review of the
previous learning.
• Begin a lesson with a short statement of goals
• Present new material in small steps, provide
Elicit initial knowledge
Inform learning goal
Give instruction and explanation (explain mode of
students’ involvement in the learning)
22
Direct instruction pattern (Rosenshine, 2008) Hyphotetical stages of EDI (Darsikin & Mansyur, 2015)
practice for student after each step.
• Give clear and detailed instructions and
explanations.
• Provide a high level of active practice for all
students.
• Ask a lot of questions, check students’
understanding, and obtain responses from all
students.
• Guide students during initial practice.
• Provide systematic feedback and corrections
• Provide explicit instruction and practice on
seatwork exercises and monitor the students
during seatwork.
Gradually, present learning material. There is exercise(s)
in each step. In the problem exercise, the lecturer model
the problem-solving steps by thinking-aloud; give time
for problem understanding step with its proportion is
more than the other steps; emphasize the proportion in
presenting the problem example; emphasize the use of a
diagram, emphasize the simultaneous use of diagram and
identification of the given and required variables.
Provide reciprocal teaching approach (in small scale).
One or more students perform problem-solving process
by thinking-aloud.
Guide the students during initial practice.
Ask a lot of questions, check student’s understanding,
and obtain responses from all students (insert the use of
multiple representations).
Form groups.
Provide practice for the students (insert information of
external representation and its transformation).
Use reciprocal teaching approach in groups (there is a
student as a guide for his/her group; he/she performs
problem-solving by thinking-aloud).
Provide explicit instruction and practice for seatwork
exercises and monitor the students during seatwork.
Provide systematic feedback and corrections.
Provide independent task.
Berdasarkan pola DI oleh Rosenshine (2008) pada Tabel 4, dilakukan modifikasi dan
rasionalisasi pada aspek (berdasarkan temuan penelitian sebelumnya) dan penelitian Hunter
(1982). Tabel 4 menunjukkan integrasi prinsip-prinsip strategi makro ke dalam pola DI
dengan strategi mikro membentuk struktur EDI yang lebih spesifik namun lebih kompleks.
Tahapan EDI sebagai desain hipotetis harus dioperasikan melalui penyusunan RPP sebagai
bagian dari tahap pengembangan. Desain hipotetik yang telah dirumuskan mengikuti prosedur
pengembangan dengan menerapkan penelitian formatif. Desain hipotetik juga divalidasi oleh
ahli struktur pembelajaran untuk mendapatkan kelayakannya. Tabel 5 menyajikan hasil
validasi ahli. Tabel 5 menunjukkan model teoritis yang diusulkan memiliki karakteristik
potensial.
Tabel 5.6. Hasil validasi ahli terhadap model hipotetik
Aspek Indikator Skor (max. = 4)
Macro strategy
Cakupan 4
Kejelasan 3
Integrasi 4
Rationalitas 4
23
Aspek Indikator Skor (max. = 4)
Micro strategy
Cakupan 4
Kejelasan 4
Dukungan terhadap macro strategy 4
Rationalitas 3
Potential aspect
Dukungan terhadap mental-modeling ability 3
Dukungan to problem solving efektif 4
Fleksibilitas dalam implementasi 3
Accommodation
Integrasi dengan hasil-hasil penelitian terdahulu 3
Konformitas dengan level berpikir (siswa SMA dan
mahasiswa)
4
5.2.2 Hasil Pretest, Experimentasi and Posttest
Deskripsi hasil pretest dan posttest pada kedua kelompok disajikan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 memuat proporsi dan peningkatan proporsi (setelah dinormalisasi) siswa yang
membuat diagram pada setiap item. Tabel tidak menunjukkan kebenaran diagram. Namun,
data tersebut dapat mencerminkan proporsi siswa yang telah mencoba membuat diagram
sebagai komponen utama MMA.
Tabel 5.7 Proporsi mahasiswa yang menyusun diagram pada setiap item dan N-gain
Experimental group (n = 34) Control group (n = 30)
Item
number
Pretest
(%)
Posttest
(%)
N-gain Pretest
(%)
Posttest
(%)
N-gain
% Category % Category
1 38 68 48 Moderate 10 30 22 low
2 62 85 62 Moderate 37 67 47 moderate
3 71 88 60 Moderate 60 87 67 moderate
4 9 71 68 Moderate 3 13 10 low
5 6 88 88 High 10 27 19 low
Average 37 80 65 Moderate 24 45 33 moderate
24
Tabel 5.8 Peningkatan jumlah diagram yang disusun mahasiswa pada kedua kelas
Exp. group (n = 34, max. number = 170) Cont. group (n = 30, max. number = 150)
Pretest Posttest N-gain
Pretest Posttest N-gain
% Category % Category
62 136 69 moderate 35 66 27 Low
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan proporsi siswa yang menyusun diagram
pada pretest dan posttest pada kedua kelompok. Namun proporsi terbesar terjadi pada
kelompok eksperimen. Hal ini menggambarkan bahwa pembelajaran dengan struktur DI yang
telah dimodifikasi menjadi EDI dapat meningkatkan perhatian siswa terhadap peran diagram
sebagai representasi yang sangat penting dalam pemecahan masalah. Proporsi siswa
berhubungan dengan banyaknya diagram yang dibuat oleh siswa. Tabel 5.8 menunjukkan
peningkatan jumlah diagram yang dibangun dari pretest ke posttest pada kedua kelompok.
Kebenaran dan kelayakan dari diagram yang dibangun ditinjau lebih lanjut menggunakan
rubrik MMA oleh Wang (2007) dan Mansyur (2010). Nilai MMA siswa untuk kedua
kelompok ditampilkan pada Tabel 5.9.
Table 5.9 Skor dan N-gain MMA untuk kedua kelas
Exp. group (n = 34, max. score = 1020) Cont. group (n = 30, max. score = 900)
Pretest Posttest N-gain
Pretest Posttest N-gain (%)
(%) Category % Category
121 248 14 Low 103 177 9 Low
*Skor maksimum adalah 6, skor total untuk semua item adalah 30.
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor MMA untuk kedua kelompok
tetapi N-gain atau <gmma> termasuk kategori rendah. Terdapat perbedaan <gmma> antara
kelompok eksperimen dan kontrol, secara kualitatif. Nilai <gmma> pada kelompok eksperimen
lebih besar dari nilai <gmma> pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran
dengan EDI (dalam kelompok eksperimen), secara kualitatif mengungguli pengajaran dengan
DI (dalam kelompok kontrol). Meskipun <gmma> termasuk kategori rendah, penekanan
eksplisit selama pembelajaran dalam kelompok eksperimen berlangsung pada pentingnya
25
diagram, berkontribusi pada 'embrio' pemecahan masalah yang produktif. Hasil pretest dan
posttest tentang CC untuk dua responden (NFA dan AI) pada uraian berikut. NFA dan AI
adalah responden yang memperoleh skor kategori tinggi pada MMA.
Tabel 5.10 Perbandingan jawaban NFA antara pretest dan posttest pada soal tentang
GLB dan Hukum III Newton
Pretest Posttest
Berdasarkan lembar jawaban untuk pretest dan posttest, tampak bahwa NFA
mengalami perubahan konsepsi yang menyolok. Pada pretest, jawaban NFA untuk soal
tentang GLB dan Hukum III Newton menujukkan konsepsi yang tidak tepat. Namun, pada
posttest, jawaban untuk pertanyaan yang sama menunjukkan konsepsi yang tepat. Hal ini
menggambarkan bahwa NFA mengalami CC dalam kategori pembenahan konsep. Kaitan
26
antara MMA dan CC juga sangat tampak pada jawaban NFA. Penggunaan diagram yang
merupakan elemen penting bagi MMA, dapat memandunya untuk menuju konsepsi yang
memadai dan proses problem solving yang dilakukannya merupakan proses yang produktif.
Contoh lain untuk mendeskripsikan CC dapat dilihat pada Tabel 5.11 dari responden
AI untuk konsep Hukum II Newton. Saat pretest, AI tidak dapat menjawab soal tentang dua
benda berada pada bidang miring dan terhubung denga sebuah tali yang melalui sebuah
katrol.
Tabel 5.11 Perbandingan jawaban AI antara pretest dan posttest pada soal yang berkenaan
dengan Hukum II Newton
Pretest Posttest
Tidak menjawab
Meskipun saat posttest AI tidak menggambarkan secara detail diagram bebas kedua
benda, representasi verbal yang tersedia pada soal dapat ditransformasi ke representasi
diagram. Diagram tersebut relatif dapat memandunya untuk mendapatkan solusi yang
memadai. AI mengalami perubahan konsepsi yang dapat membantunya menempuh problem
solving yang produktif.
27
5.2.3 Wawancara
Pada bagian ini, disajikan hasil wawancara dua mahasiswa. Wawancara difokuskan pada
tanggapan siswa tentang struktur pembelajaran dan peran diagram dalam kegiatan pemecahan
masalah. Kedua mahasiswa tersebut adalah Zahra dan Dian (nama samaran). Ketika Zahra
ditanya apa pendapatnya tentang struktur pembelajaran, dia menyatakan:
Dengan mengajar, bertahap...melalui diagram...memungkinkan kita untuk menganalisa kasus
(fenomena) yang ada...kita diajarkan di SMA...langsung menjadi sebuah rumus...tahu
...diperlukan... Tapi kita tidak bisa menganalisa dan bisa melupakan konsep yang satu dan
yang lain...Dengan cara yang sistematis seperti itu...kita bisa memahami secara detail mulai
dari akarnya (dasar). Kita tidak mudah melakukan kesalahan...lakukanlah dengan
pemahaman yang baik. Penyajian konsepnya...menarik...dan dapat membuat kita
mengeluarkan argumen dan pendapat kita tentang apa yang kita pikirkan tentang konsep
tersebut dan dapat mengetahui bahwa itu dapat dimengerti atau salah. Tentang penyajian
contoh soal... dari yang sederhana ke yang lebih rumit, tingkat kesulitannya,... bertahap...
Dian menyatakan:
Struktur pengajaran yang sangat baik..., kami diajari sebagai...perlu tahu bagaimana
memecahkan masalah,...bagaimana menemukan solusinya...tidak memahami konsep yang
terkait dengan fenomena...(Anda) mengajar mulai dari konsep misalnya...bisa berpikir logis...
Kita...di...ingat rumus... Terakhir kali (di SMA), saya diajari ...langsung ke rumus. .. Kami
tidak tahu kapan rumus itu akan digunakan. Di kelas Anda...dengan bantuan diagram...kita
tahu kapan bergerak seperti...rumus...seperti ini... Penggunaan diagram ...kadang kita hanya
menggunakan teori, logika tidak langsung tangkap...kalau pake diagram...bisa
dipikirin...seperti ini...
Berdasarkan hasil wawancara, dapat dinyatakan bahwa mahasiswa dapat mengikuti
proses belajar mengajar. Struktur pengajaran dan penegasan use diagram merupakan poin
penting EDI dalam mendukung peningkatan aspek MMA siswa sebagaimana disajikan pada
Tabel 6 hingga Tabel 8.
5.2.4 Refleksi
28
Kegiatan refleksi terutama difokuskan pada pemahaman kelemahan struktur
pembelajaran. Terdapat satu tahapan model EDI dimana dosen kesulitan dalam
mengimplementasikannya (dari Tabel 4), yaitu menggunakan pendekatan reciprocal teaching
dalam kelompok (ada seorang mahasiswa sebagai pembimbing kelompoknya; dia melakukan
pemecahan masalah dengan cara thinking-aloud). Dosen mengalami kesulitan dalam
mengatur kelas terkait pelaksanaan reciprocal teaching dan thinking-aloud oleh mahasiswa
dalam kelompoknya. Perlu lebih banyak waktu untuk berlatih kegiatan. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, dua tahap dari struktur EDI dikeluarkan dari struktur untuk
mendapatkan model akhir.
5.3 Model Final
Setelah proses revisi, diperoleh model akhir EDI, seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Model akhir lebih sederhana daripada sebelum revisi. Untuk mengoptimalkan aspek-aspek
potensial dari model, kami diberikan deskripsi singkat dalam implementasi. Misalnya,
pengayaan pembelajaran dengan pemodelan pemecahan masalah dilakukan dengan thinking-
aloud. Hal ini dimaksudkan agar ketika seorang mahasiswa berinteraksi dengan mahasiswa
lain, dosen dapat mengidentifikasi masalah, ide dan konsepsinya. Pemodelan penggunaan
waktu dalam proses pemecahan masalah khususnya pada tahapan representasi masalah dan
proses identifikasi variabel dan pembuatan diagram secara simultan ditunjukkan oleh dosen.
Table 5.12 Model Hipotetik dan model final EDI
Hyphotetical Stages of Model (Darsikin &
Mansyur, 2015)
Stages of Final Model
Elicite initial knowledge Elicite initial knowledge
Inform learning goal Inform learning goal
Give instruction and explanation (explain
mode of students’ involvement in the
learning)
Give instruction and explanation (explain
mode of students’ involvement in the
learning)
Present learning material, gradually. There
is exercise(s) in each step. In the problem
exercise, lecturer modeling the problem
solving steps by thinking-aloud; give time
Present learning material, gradually. There
is exercise(s) in each step. In the problem
exercise, lecturer modeling the problem
solving steps by thinking-aloud; give time
29
Hyphotetical Stages of Model (Darsikin &
Mansyur, 2015)
Stages of Final Model
for problem understanding step with its
proportion is more than the other; it should
be emphasized in presenting problem
example; the used of diagram, identification
of given and required variables should
simultaneously be done.
for problem understanding step with its
proportion is more than the other; it should
be emphasized in presenting problem
example; the used of diagram, identification
of given and required variables should
simultaneously be done.
Provide reciprocal teaching approach (in
small scale). One or more students perform
problem solving process by thinking-aloud.
Provide reciprocal teaching approach (in
small scale). One or more students perform
problem solving process by thinking-aloud.
Guide students during initial practice. Guide students during initial practice.
Ajukan pertanyaan dalam jumlah besar,
periksa pemahaman siswa, dan dapatkan
tanggapan dari semua siswa (masukkan
penggunaan multi representasi).
Ajukan pertanyaan dalam jumlah besar,
periksa pemahaman siswa, dan dapatkan
tanggapan dari semua siswa (masukkan
penggunaan multi representasi).
Bentuk kelompok.
Memberikan latihan bagi mahasiswa
(memasukkan informasi representasi
eksternal dan transformasinya).
Memberikan latihan bagi mahasiswa
(memasukkan informasi representasi
eksternal dan transformasinya).).
Menggunakan pendekatan reciprocal
teaching dalam kelompok (ada mahasiswa
sebagai pemandu kelompoknya, dia
melakukan pemecahan masalah dengan
thinking-aloud).
Berikan instruksi dan latihan eksplisit untuk
latihan di kelompoknya dan pantau siswa
Berikan instruksi dan latihan eksplisit untuk
latihan di kelompoknya dan pantau siswa
Memberikan umpan balik dan koreksi yang
sistematis.
Memberikan umpan balik dan koreksi yang
sistematis.
Sediakan tugas mandiri Sediakan tugas mandiri
Langkah-langkah dalam kegiatan inti seperti penyusunan diagram dan representasi
lainnya melalui identifikasi variabel dan penyisipan transformasi representasi eksternal,
30
merupakan langkah penting dalam pembentukan MMA mahasiswa. Aktivitas tersebut dapat
mendukung kemampuan untuk memanipulasi proposisi berbasis model mental (Rosengrant et
al., 2006). Kemampuan mahasiswa untuk memantau proses konstruksi secara metakognitif
dapat membentuk model mental melalui pemodelan. Tahapan pemecahan masalah disajikan
dengan menekankan pentingnya memahami tahap masalah dengan memberikan proporsi
waktu yang lebih besar (Mansyur, 2015). Kebiasaan berpikir reflektif diharapkan dapat
ditingkatkan melalui penekanan (Darsikin & Mansyur, 2015). Isu sentral dari konteks ini
adalah bahwa mahasiswa harus dibuat sadar akan kebiasaan belajar mereka sendiri,
mempromosikan mereka menjadi fasilitator yang sadar dalam proses konstruksi pengetahuan
(Gerace & Beatty, 2005).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa telah diperoleh desain
pembelajaran. Perancangan tersebut meliputi integrasi prinsip-prinsip makro-strategi teori
desain pembelajaran ke dalam pembelajaran langsung. Tahap-tahap integrasi yang eksplisit
diperkaya lebih lanjut dengan strategi mikro untuk mendapatkan model akhir dari enhanced-
direct instruction. Penelitian ini memberikan beberapa bukti tentang efek penggunaan
enhanced-direct instruction pada kemampuan pemodelan mental dan perubahan konseptual
siswa. Sebagai perbandingan, enhanced-direct instruction yang ditingkatkan lebih efektif
dalam mengembangkan bagian dari perubahan konseptual karakteristik kemampuan
pemodelan mental daripada direct instruction 'normal'. Enhanced-direct instruction
mendorong hasil belajar mahasiswa ini dengan melibatkan mahasiswa secara aktif dalam
memecahkan masalah dan menjadi sadar akan setiap fase proses. Perlu penelitian lebih lanjut
untuk membandingkan model tersebut dengan model lain dalam meningkatkan hasil belajar
mahasiswa.
6.2 Saran
Perlu penelitian lebih lanjut untuk membandingkan model tersebut dengan model lain
dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, F.A.P.B. (2006). The Pattern of Physics Problem-Solving from The Perspective of
Metacognition. Master dissertation, University of Cambridge. [online] Tersedia:
http://people.pwf.cam.ac.ok/kst24/ResearchStudents/ [16 Januari 2008].
Borg, W. R dan Gall, M. D. (2002). Educational Research: An Introduction. New York :
Longman Inc.
Chen, C. J. & Teh, C. S. (2013). Enhancing an Instructional Design Model for Virtual
Reality-Based Learning. Australasian Journal of Educational Technology, 29(5).
Cock, M. D. (2012). Representation Use and Strategy Choice in Physics Problem Solving. Physical Review Special Topics-Physics Education Research, 8, 020117. http://dx.doi.org/10.1103/.
Corpuz, E.G and Rebello, N.S. (2005). Introductory College Physics Students’ Mental
Models of Friction and Related Phenomena at the Microscopic Level. Proceedings of
the NARST 2005 Annual Meeting (Dallas, TX, United States), National Association
for Research in Science Teaching (NARST), April 4-7, 2005.
Creswell, J.W. (1994). Research Design, Qualitative and Quantitative Approaches.
California: Sage Publications, Inc.
Darsikin & Mansyur, J. (2015). Enhanced Direct Instruction Model Orientates Mental–
Modeling Ability Base on Research of Physics Porblem Solving and External Representation. National Seminar of Physics Department, FMIPA UM 2015.
Dykstra, R. (1968). Classroom Implications of The First-Grade Reading Studies. Paper presented at the College Reading Association Conference, Knoxville, TN. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 022 626).
diSessa, A. A. (2006). A history of conceptual change research: Threads and fault lines. In
K.Sawyer (ed.), Cambridge handbook of the learning sciences (pp. 265-281).
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Gerace, W.J. & Beatty, I.D. (2005). Teaching vs. Learning: Changing Perspectives on
Problem Solving in Physics Instruction. The 9th Common Conference of the Cyprus Physics Association and Greek PhysicsAssociation: Developments and Perspectives in Physics—New Technologies and Teaching of Science, Nicosia, Cyprus, Feb 4-6, 2005.
Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. American Educational Research
Association’s Division D, Measurement and Research Methodology, <http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2 >.
Heron, P.R.L. (2015). Effect Of Lecture Instruction On Student Performance On Qualitative
Questions. Physical Review Special Topics-Physics Education Research,, 010102 (2015). DOI: 0.1103/PhysRevSTPER.11.010102.
32
Hrepic, Z., Zollmann, D. A., and Rebello, S. (2002). Identifying Students’ Models of Sound
Propagation. Proc. Physics Education Research Conf. (Boise, ID, Aug. 2002).
Hunter, M. (1982). Mastery teaching. El Segundo, CA: TIP Publications. Ibrahim, B. & Rebello, N. S. 2013. Role of Mental Representations in Problem Solving:
Students’ Approaches to Nondirected Tasks. Physical Review Special Topics-Physics Education Research, 9, . http://dx.doi.org/10.1103/ PhysRevSTPER.9.020106.
Indrawati. (2008). The Misconceptions of Physics Teacher Prospective Students about the
Law of Reflection. Proceedings the First International Seminar on Science Education,
Bandung October 27th 2007. Bandung: Graduate School, Indonesia University of
Education.
Itza-Ortiz, S.F., Rebello, S and Zollman, D. (2004). Students’ Models of Newton’s Second
Law in Mechanics and Electromagnetism. Eur. J. Phys. 25 (2004).
Kaharu, S.N. dan Mansyur, J. (2007). Exploring the Student Misconception of Electrical
Circuit Concept by Certainty of Response Index and Interviu. Proceedings the First
International Seminar on Science Education, Bandung October 27th 2007. Bandung:
Graduate School, Indonesia University of Education.
Kamajaya. (2008). Cerdas Belajar Fisika (untuk Kelas X). Bandung: Grafindo Media
Pratama.
Kohl, P. B., and Finkelstein, N. D. (2005). Student Representational Competence and Self-
Assessment When Solving Physics Problems. Physical Review Special Topics-Physics
Education Research, 1, 010104 [online]. Tersedia: http://prst-per.aps.org. [09 Maret
2008].
Mansyur, J. dan Kaharu, S.N. (2008). Differentiating Misconception and Lack of Knowledge:
Case of Bulb Poles. Proceedings the Second International Seminar on Science
Education, Bandung October 18th 2008. Bandung: Graduate School, Indonesia
University of Education.
Mansyur, J., Setiawan, A., dan Tjiang, P.C. (2009). Phenomenographic Study of Students’
and Teachers’ Strategies in Physics Problem Solving. Proceedings the Third
International Seminar on Science Education, Bandung October 17th 2009. Bandung:
Graduate School, Indonesia University of Education.
Mansyur, J. dan Setiawan, A (2010). Effectiveness of Teachers’ and Students’ Early Stages in
Physics Problem Solving. Jurnal Gravitasi. Universitas Tadulako. Edisi Januari-Juni
2010.
Mansyur, J., Setiawan, A., Liliasari dan Tjiang, P.C. (2010a). Model Mental Siswa,
Mahasiswa dan Guru Pada Hukum III Newton dalam Konteks Problem Solving:
Kasus Gaya Impuls. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan ke-3, Bandar Lampung,
27 Februari 2010. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
33
Mansyur, J., Setiawan, A., Liliasari dan Tjiang, P.C. (2010b). The Stages of Students and
Teachers in Solving Physics Jeopardy Problem: Case of Graph Deconstruction.
Jurnal Ilmu Pendidikan. Submitted.
Mansyur, J. (2010). Phenomenographic Study of Cross-Academic Level Subjects’ Mental
Model Aspects in Physics Problem Solving of Mechanics Fundamental Concepts. Dissertation. Bandung, Graduate School of Indonesia University of Education.
Mansyur, J. (2015). Teachers’ and Students’ Preliminary Stages in Physics Problem Solving. International Education Studies, Vol. 8, No. 9, 2015.
Merrill, M.D. (2007). A Task-Centered Instructional Strategy. Journal of Research on Technology in Education, 2007, 40(1)
Mansyur, J., Darsikin, Hidayat, S. (2013). Isomorphic Test of Newton’s Third Law for
Investigating Students’ Scientific and Representational Consistency. Proceedings of
International MCEIS. Bandung: Indonesia University of Education.
Marton, F., 1996. Is Phenomenography Phenomenology? [online]. Tersedia: http:///www.....
[17 September 2008].
Masril dan Asma. (2002). Pengungkapan Miskonsepsi Siswa Menggunakan Force Concept
Inventory and Certainty of Response Index. Jurnal Fisika HFI B5.
Mulbar, K dan Nur, W. (1998). Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kesalahan
Konsep Fisika pada Siswa SMUN di Kotamadya Palu. Laporan Penelitian Dosen
Muda. Palu: Universitas Tadulako.
Ningsih, H.Y.R., Mansyur, J., Darsikin dan Kamaluddin. (2013). Perilaku Penggunaan
Representasi Eksternal Guru Fisika dalam Aktivitas Pembelajaran . Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan. Palu: Universitas Tadulako.
Pajang, S., Mansyur, J., Darsikin dan Ali, M. (2013). Kelengkapan Rekonstruksi Penyelesaian
Soal Fisika Tipe Jeopardy oleh Siswa. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan.
Palu: Universitas Tadulako.
Rahmilia, S., Mansyur, J. & Saehana, S. (2014). Students’ Mental-Modeling Ability of
Electrostatics Concepts. Proceedings of National Seminar on Physics and Physics Education, September 13, 2014, Solo. UNS.
Redish, E. F. (1994). Implications of Cognitive Studies for Teaching Physics. American
Journal of Physics, 62(9), 796-803. Redish, E.F. (2004). A Theoretical Framework for Physics Education Research: Modeling
Student Thinking, in E. Redish and M. Vicentini (Eds.), Proceedings of the Enrico Fermi Summer School, Course CLVI (Italian Physical Society, 2004).
Reigeluth, C. M. & Frick, T. W. (1999). Formative Research: A Methodology for Creating
and Improving Design Theories. In C. M. Reigeluth (Ed.), Instructional-Design
34
Theories and Models–A New Paradigm of Instructional Theory (pp. 633-652). New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Reynolds, D. & Muijs, D (2011). Effective Teaching: Evidence and Practice.3rd edition.
London: Sage Publications Ltd. Rosengrant, D., Van Heuleven, A. & Etkina, E. (2006). Students’ Use Of Multiple
Representations In Problem Solving. In P. Heron, L. McCullough and J. Marx, Physics Education Research Conference (2005 AIP Conference Proceedings) (49-52). Melville , NY: American Institute of Physics.
Rosenshine, B. (2008). Five meanings of direct instruction. Center on Innovation & Improvement, Lincoln.
Rosenshine, B., & Stevens, R. (1986). Teaching functions. In M. Wittrock (Ed.), Handbook of
research on teaching (3rd ed.). New York: Macmillan
Read, J. R. (2004). Children’s Misconceptions and Conceptual Change in Science Education.
Tersedia: http://acell.chem.usyd.edu.au/Conceptual-Change.cfm ), [27 Maret
2012].
Sabia, Z. dan Mansyur, J. (2013). Penggunaan Waktu oleh Guru dan Siswa Dalam Tahap-
Tahap Physics Problem Solving. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan. Palu:
Universitas Tadulako.
Sabella, M., and Redish, E.F., 2007. Knowledge Activation and Organization in Physics
Problem Solving. Am. J. Phys. 75, 1017 (2007).
Supiyanto. (2004). Fisika SMA (untuk SMA Kelas X). Jakarta: Erlangga.
Sutrisno dan Mansyur, J. (2013). Unjuk Kerja Siswa dan Guru dalam Problem Solving Untuk
Tipe Well-Defined Problem dan Ill-Defined Problem. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan. Palu: Universitas Tadulako.
Thornton, R.K. (1999). Using the Results of Research in Science Education to Improve
Science Learning. International Conference on Science Education, Nicosia, Cyprus, January, 1999.
Tipler, P.A. (1998). Fisika untuk Sains dan Teknik. Jakarta: Erlangga.
Tuminaro, J., and Redish, E.F., 2007. Elements of a Cognitive Model of Physics Problem
Solving: Epistemic Games. Phy. Rev. Spec. Topic-PER, 3, 020101 (2007).
Walsh, L.N., Howard, R.G., and Bowe, B., (2007a). Phenomenographic Study of Students’
Problem solving Approaches in Physics. Phy. Rev. Spec. Topic-PER, 3, 020108
(2007).
Walsh, L.N., Howard, R.G., and Bowe, B., (2007b). An Investigation of Introductory Physics
Students’ Approaches to Problem Solving. Level3 (5), June 2007.
35
Wang, C.Y., (2007). The Role of Mental-Modeling Ability, Content Knowledge, and Mental
Models in General Chemistry Students’ Understanding about Molecular Polarity.
Ph.D Dissertation. University of Missouri – Columbia.
36
LAMPIRAN
37
LAMPIRAN A. ARTIKEL UNTUK PUBLIKASI SEMINAR NASIONAL
Model Enhanced Direct Instruction Berorientasi Mental–Modeling Ability Berbasis Kajian Physics Porblem Solving dan
Representasi Eksternal
DARSIKIN1), JUSMAN MANSYUR1)*),
1) Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Tadulako. Jl. Soekarno-Hatta Km. 9 Palu
E-mail: [email protected]
*) PENULIS KORESPONDEN
ABSTRAK: Telah diperoleh model hipotetik desain instruksional untuk Matakuliah Fisika
Dasar yang mengintegrasikan hasil-hasil penelitian terdahulu tentang physics problem solving
dan penggunaan sistem representasi eksternal ke dalam direct instruction. Model tersebut
merupakan bagian dari penelitian yang sedang berlangsung untuk menghasilkan desain
instruksional yang dapat mendukung mental-modeling ability. Integrasi rekomendasi penelitian
terdahulu dengan karakteristik direct instruction melalui sebagian tahapan dari model
pengembangan formative research, diperoleh model hipotetik yang memuat strategi makro dan
strategi mikro. Model hipotetik tersebut akan diuji lebih lanjut melalui eksperimentasi untuk
menghasilkan model final.
Kata Kunci: enhanced direct instruction, mental-modeling ability, physics problem solving,
representasi eksternal
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan penting
pendidikan adalah membangun
kemampuan orang untuk menggunakan
pengetahuannya. Whitehead (1970)
menegaskan hal ini dengan menyatakan
bahwa pendidikan adalah pemerolehan
terhadap seni menggunakan pengetahuan.
Manfaat pendidikan antara lain:
memungkinkan seseorang beradaptasi
dengan baik ke situasi-situasi baru serta
untuk mengidentifikasi dan berhadapan
dengan masalah-masalah yang timbul.
Berkaitan dengan pendidikan
fisika, Bascones et al. (1985) menyatakan
bahwa belajar fisika sama dengan
pengembangan kemampuan problem
solving dan pencapaian diukur dengan
sejumlah masalah yang dapat dipecahkan
oleh pebelajar secara tepat. Disisi lain,
pebelajar mempersepsikan sains
khususnya ilmu fisika sebagai mata
pelajaran yang sulit (Osborne et al., 2003).
Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa
banyak pengajar fisika mencemaskan
sejumlah pengalaman yang menonjol.
Misalnya, seorang pebelajar (siswa atau
mahasiswa) yang berhasil membuat grafik
tetapi tidak dapat menjelaskan
maknanya. Contoh lainnya, seorang
pebelajar yang dapat menjawab semua
soal tetapi tidak dapat memberi
gambaran, ulasan atau penurunan
sederhana. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat masalah
dalam menciptakan pengaruh pada cara
sebagian besar pebelajar berpikir tentang
dunia. Agar hasil yang dicapai lebih baik,
perhatian lebih harus diberikan kepada
bagaimana mereka belajar, bagaimana
mereka berpikir dan merespon
pembelajaran yang dilakukan.
Pembelajaran fisika harus ditangani
sebagai sebuah persoalan ilmiah (scientific
problem)(Redish, 1994).
Meskipun fakta-fakta di atas
dipaparkan lebih dari 20 tahun yang lalu,
pertanyaan yang mesti dijawab:
38
bagaimana dengan perkuliahan atau
pembelajaran fisika secara umum pada
Tahun 2015 ini? Jawaban atas pertanyaan
tersebut dapat diduga beragam,
bergantung pada perspektif dan kemajuan
penelitian pendidikan fisika di masing-
masing negara, daerah maupun perguruan
tinggi. Kontribusi penelitian pendidikan
fisika dalam mengubah perkuliahan dari
sistem tradisional ke perkuliahan yang
tereformasi adalah aspek penting untuk
menghasilkan pebelajar (siswa/
mahasiswa) yang sukses.
Lima tahun setelah pernyataan
Redish di atas, Thornton (1999)
mengajukan pertayaan: apakah
kebanyakan mahasiswa dalam
perkuliahan fisika memperoleh
pemahaman konseptual tentang prinsip-
prinsip fisika dasar? Berdasarkan
kajiannya terhadap hasil-hasil penelitian,
ia menyatakan bahwa kajian-kajian yang
ekstensif tentang pengetahuan konseptual
dasar sebelum dan setelah perkuliahan
fisika dasar di sekolah menengah dan
perguruan tinggi, telah meyakinkan
sebagian komunitas besar dari guru fisika
bahwa terdapat pemahaman dasar yang
lemah dari yang mereka percaya
sebelumnya. Hasil-hasil kajian
menunjukkan bahwa mahasiswa dari
perguruan tinggi yang terpilih, memiliki
pemahaman yang berbeda dengan
fisikawan ketika menjawab pertanyaan-
pertanyaan konseptual sederhana.
Satu model pembelajaran yang
dominan diterapkan dalam Fisika Dasar
di Indonesia (paling tidak di Universitas
Tadulako) adalah perkuliahan tradisional.
Secara umum, perkuliahan tersebut
dilaksanakan dengan langkah-langkah
yang sangat sederhana, yaitu: pemberian
penjelasan, penyajian contoh soal
(diselesaikan oleh pengajar) dan latihan
soal (diselesaikan oleh mahasiswa).
Kondisi ini juga diduga terjadi di tingkat
sekolah menengah. Efek dari kondisi
tersebut adalah fisika dipersepsikan sulit,
membosankan dan pembelajaran dapat
menghasilkan miskosepsi, kesulitan-
kesulitan lain atau kendala dalam
mempelajari fisika. Hal ini juga bagian
dari stereotype yang dihadapi dalam
perkuliahan (Thornton, 1999).
Pengaruh perkuliahan tertentu
terhadap pemahaman konseptual dalam
fisika telah menjadi obyek penelitian
beberapa dekade. Banyak penelitian
melaporkan perbaikan yang masih
mengecewakan berkenaan dengan unjuk
kerja pebelajar terhadap pertanyaan
konseptual dalam perkuliahan yang
menggunakan Direct Instruction (DI)
untuk topik yang relevan. Hasil ini
mendorong sejumlah upaya untuk
meningkatkan kualitas perkuliahan
melalui kurikulum dan desain
instruksional baru (Heron, 2015).
DI merupakan model pembelajaran
yang dikenal luas. DI juga disebut sebagai
Active Teaching atau Whole Class
Teaching, mengacu pada tipe
pembelajaran dimana guru secara aktif
terlibat dalam menjembatani konten
pembelajaran ke siswa/mahasiswa dengan
mengajar secara langsung. DI mengacu
pada pembelajaran di bawah kendali
guru/dosen, seperti “guru menyediakan
pembelajaran langsung dalam
menyelesaikan masalah”. Situasi tersebut
muncul dalam beragam makna, ada yang
umum dan ada yang spesifik, ada yang
positif ada juga yang negatif. Hal ini
terjadi karena DI, sesuai istilahnya
sebagai direct teaching dan explicit
instruction, memiliki kedua makna umum
dan khusus. Makna umum mengacu pada
pembelajaran yang dikendalikan oleh
guru/dosen dalam hal kualitas
(Rosenshine, 2008). Dengan kata lain,
kualitas pembelajaran dalam DI dapat
dicapai jika ditangani oleh guru yang
efektif.
Upaya untuk menjadikan DI
sebagai pembelajaran yang afektif telah
dilakukan oleh para peneliti. Dimulai
sekitar Tahun 1968, peneliti
menggunakan DI sebagai prosedur untuk
mengajarkan tugas-tugas kognitif level
tinggi (Rosenshine, 2008). Sebagai contoh,
Dykstra (1968) menyimpulkan bahwa DI
cocok untuk meningkatkan pemahaman
(comprehension). Sejak saat itu, DI
diterapkan untuk pengajaran reading
39
comprehension, strategi prediksi,
klarifikasi, menanya, dan penyimpulan.
Terdapat juga peneliti yang
mengembangkan DI untuk mengajarkan
pebelajar dalam mengkombinasikan
kalimat, keterampilan proses dan berpikir
reflektif (Rosenshine, 2008).
Selain penelitian-penelitian yang
menunjukkan keunggulan DI untuk
aspek-aspek tertentu, terdapat pula
peneliti yang menyatakan bahwa DI
mewakili pengajaran yang tidak
diharapkan. DI dirangkum oleh
Rosenshine (2008) dan digambarkan
sebagai “authoritarian”, regimented dan
modus pengajaran passif.
Di antara kelebihan dan
kekurangan DI sebagaimana diuraikan di
atas, terdapat tantangan bagi peneliti
untuk menjadikan model pembelajaran
yang sangat luas penggunaannya tersebut
agar lebih unggul pada aspek tertentu
dengan meminimalkan kekurangan
potensial yang ada. Pengayaan terhadap
DI dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan hasil-hasil penelitian
sebelumnya. Makalah ini menyajikan
model DI yang diperkaya dengan hasil-
hasil penelitian terdahulu dari Rosengrant
et al. (2006), Cock (2012), Sabia dkk.
(2013), Ningsih dkk. (2013), Ibrahim and
Rebello (2013), Rahmilia dkk. (2014) dan
Mansyur (2015). Penelitian ini bertujuan
menghasilkan desain instruksional yang
bersifat research-based instruction dengan
menjadikan DI sebagai basis untuk
diperkaya dengan hasil-hasil penelitian.
Orientasi model DI yang diperkaya ini
(yang selanjutnya disebut Enhanced Direct
Instruction, EDI) adalah mental-modeling
ability (MMA) sesuai aspek (yang diduga)
potensial yang dimilikinya setelah
diperkaya oleh hasil-hasil penelitian
terutama penelitian tentang physics
problem solving dan penggunaan sistem
representasi eksternal. Berdasarkan
penelusuran literatur, sejauh ini belum
terdapat penelitian pengembangan yang
menggunakan DI sebagai basis dengan
orientasi pada MMA.
Terdapat prinsip-prinsip untuk
strategi makro yang dapat diikuti
berkenaan dengan desain instruksional
sebagaimana dirangkum oleh (Chen &
Teh, 2013) dalam Tabel 1.
Tabel 1. Prinsip-prinsip strategi makro
Prinsip Deskripsi
Tujuan
Mengidentifikasi tipe-tipe
belajar (label, informasi verbal,
keterampilan intelektual
dan/atau strategi kognitif) dan
tujuan pembelajaran masing-
masing
Tujuan
integratif
Menentukan tujuan integratif
dengan menggabungkan
beberapa tujuan yang berkaitan
yang akan diintegrasikan ke
dalam aktivitas bertujuan
komprehensif.
Skenario/
Masalah
Mengidentifikasi skenario
kegiatan yang harus
dilaksanakan. Ini mirip dengan
problem posing dalam
lingkungan pembelajaran
konstruktivis. Problem terdiri
dari 3 kompenen yang
terintegrasi: problem context,
problem representation dan
problem manipulation space.
Perangkat
pendukung
Menyediakan beragam sistem
interpretatif dan intelektual
untuk mendukung pembelajaran
konstruktivis melalui problem
posing. Hal ini dapat mencakup:
kasus yang berkaitan, sumber
informasi dan beragam
perangkat kognitif.
Kegiatan
instruksional
Menyediakan aktivitas
instruksional untuk mendukung
pembelajaran konstruktivis
yang mencakup: coaching,
scaffolding dan modelling.
Direct Instruction
Terdapat beberapa alasan mengapa
DI dapat menjadi sebuah desain yang
efektif. Salah satu diantaranya adalah
bahwa DI memungkinkan pengajar
melakukan kontak dengan pebelajar
secara individual daripada bekerja secara
individual dimana interaksi antara
pebelajar dan pengajar adalah aspek
40
krusial terhadap kesuksesan sebuah
aktivitas belajar mengajar. Dalam
pembelajaran, pengajar dapat memonitor
keseluruhan kelas dan dapat mengubah
dan memvariasikan aktivitas serta dapat
merespon dengan cepat isyarat yang
datang dari pebelajar. Rosenshine (2008)
menyimpulkan dari sejumlah penelitan
bahwa ketika pengajar efektif
mengajarkan topik yang terstruktur,
pengajar menggunakan pola berikut:
• Pembelajaran dimulai dengan reviu
singkat terhadap permbelajaran
sebelumnya.
• Pembelajaran dimulai dengan
pernyataan singkat tentang tujuan.
• Penyajian materi baru melalui langkah-
langkah kecil, menyediakan latihan
setelah setiap langkah.
• Pemberian instruksi dan penjelasan
detail
• Penyediaan latihan aktif level tinggi
untuk semua pebelajar
• Pengajuan sejumlah pertanyaan, cek
pemahaman dan dapatkan respon dari
semua pebelajar. Bimbing mereka
selama latihan awal.
• Penyediaan umpan balik dan koreksi
sistematis
• Penyediaan instruksi dan latihan
eksplisit untuk latihan kelompok dan
monitor mereka selama kerja kelompok.
Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini, disajikan beberapa
hasil penelitian terdahulu yang
melibatkan penulis utama dan/atau
penulis kedua atau penelitian lainnya.
Penelitian-penelitian tersebut dapat
dijadikan rekomendasi bagi
pengembangan desain instruksional.
Sabia dkk. (2013) menemukan
bahwa penggunaan waktu yang lebih
banyak untuk tahapan memahami dalam
problem solving, mendukung problem
solving yang lebih produktif. Temuan
tersebut dapat diakomodasi dengan
memberikan langkah-langkah problem
solving dimana tahapan memahami diberi
waktu dengan proporsi lebih banyak dan
menjadi penekanan dalam penyajian
contoh soal. Rosengrant et al. (2006)
menemukan bahwa problem solver dapat
meningkatkan peluangnya untuk berhasil
jika Ia melibatkan representasi diagram
sebagai bagian dari proses problem
solving.
Cock (2012) menegaskan hasil-hasil
penelitian sebelumnya bahwa kemampuan
dalam problem solving dapat bervariasi
jika dikaitkan dengan format
representasi. Ia juga menemukan bahwa
penggunaan strategi problem solving
bergantung pada format representasi yang
dinyatkan dalam soal.
Penelitian Mansyur (2015)
menemukan bahwa sebuah physics
problem solving dapat efektif jika
didukung penggunaan diagram dimana
diagram tersebut digunakan pula untuk
melakukan identifikasi variabel yang
diketahui dan ditanyakan. Pembuatan
diagram dilakukan secara simultan
dengan identifikasi variabel-variabel
tersebut.
Dalam konteks MMA, Wang (2007)
mengembangkan sebuah rubrik untuk
menilai kualitas MMA. Aspek yang
tercakup dalam rubrik, antara lain:
kemampuan menghasilkan model mental
dalam bentuk representasi diagram atau
bentuk representasi lain yang relevan;
kemampuan memanipulasi model mental
berdasarkan proposisi-proposisi; dan
kemampuan memonitor secara
metakognitif proses penyusunan model
mental.
Rahmilia dkk. (2014) menemukan
tiga jenis aspek pengetahuan yang
mempengaruhi kemampuan pebelajar
untuk memanipulasi model mental, yaitu:
pengetahuan, pemahaman, dan
kemampuan menghubungkan satu konsep
dengan konsep lain. Kehilangan salah
satu dari tiga jenis pengetahuan dapat
menghambat kemampuan responden
untuk memanipulasi model mental, yaitu
kemampuan melakukan transformasi
suatu representasi ke bentuk representasi
lain dan kemampuan melakukan
visualisasi model mental. Dalam konteks
tersebut, tampak bahwa pengembangan
terhadap pemahaman atau konsepsi
41
terhadap konsep atau materi tertentu,
membutuhkan desain instruksional yang
spesifik agar aspek-aspek yang berkenaan
dengan MMA dapat diciptakan.
Ibrahim and Rebello (2013)
mengkaji kategori-kategori representasi
mental yang digunakan mahasiswa
selama problem solving. Mereka
menyediakan pemahaman bahwa
penggunaan representasi dalam problem
solving dapat memfasilitasi
pengkonstruksian model mental.
METODE PENELITIAN
Formative Reserach
Menurut Reigeluth and Frick
(1999), formative research merupakan
salah satu bentuk penelitian tindakan
yang bertujuan meningkatkan teori desain
untuk perancangan praktek-praktek atau
proses instruksional. Bentuk penelitian
tersebut telah digunakan untuk
meningkatkan kualitas teori dan model
desain instruksional yang ada seperti teori
elaborasi, teori yang memfasilitasi
pemahaman, teori untuk desain simulasi
berbasis komputer dan teori untuk
mendesain instruksi bagi tim.
Prosedur formative research yang
digunakan dalam penelitian ini merujuk
pada pendapat Reigeluth and Frick (1999)
sebagai berikut:
• Memilih teori desain (atau model).
Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, penelitian ini memilih
model desain instruksional DI
sebagaimana yang diuraikan oleh
Rosenshine (2008) sebagai basis.
• Mendesain contoh model sebagai
sebuah aplikasi spesifik model tersebut
Seorang ahli dalam model terlibat
untuk memastikan desain contoh dari
model desain untuk menghindari
adanya kelemahan.
• Mengumpulkan dan menganalisa data
pada contoh. Hal ini dimaksudkan
untuk mengidentifikasi dan
menghilangkan masalah pada contoh,
terutama dalam metode yang
ditentukan oleh model.
• Merevisi contoh. Revisi ini berdasarkan
pengumpulan data. Sifat dari revisi
diambil dari catatan karena mewakili
hipotesis yang dengan cara itu, model
desain dapat diperbaiki.
• Mengulangi pengumpulan data dan
siklus revisi. Beberapa tambahan
sekitar pengumpulan data, analisis dan
revisi direkomendasikan. Ini adalah
cara untuk mengkonfirmasi temuan-
temuan sebelumnya.
• Merekomendasikan revisi sementara
untuk model yang ada.
Dalam makalah ini, tahapan
pertama telah dilakukan. Tahapan kedua
sampai keenam belum dilakukan.
Tahapan tersebut selanjutnya digunakan
untuk mematangkan desain instruksional
dengan melakukan pengintegrasian
prinsip-prinsip strategi makro dengan
mengadopsi cara yang dilakukan oleh
Chen and Teh (2013) dengan pola-pola
implementasi DI menurut Rosenshine
(2008). Hasil-hasil dan rekomendasi
penelitian sebelumnya, selanjutnya
diintegrasikan ke dalam struktur yang
telah ada sebagai elemen strategi mikro.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model hipotetik untuk desain
instruksional hasil integrasi dengan DI
yang memuat strategi makro dan mikro,
disajikan pada Gambar 1 (Lampiran A).
Proses untuk memperoleh EDI mengikuti
pola yang dilakukan oleh (Chen & Teh,
2013) dalam mengembangkan desain
instruksional untuk pembelajaran
berbasis realitas virtual. Proses dimulai
dari pusat lingkaran (lingkaran pertama)
pada strategi makro dan secara bertahap
bergerak menuju lingkaran terluar.
Peneliti melakukan identifikasi tujuan-
tujuan individual dan kaitan sejumlah
tujuan tersebut untuk menghasilkan
tujuan integratif. Selanjutnya dilakukan
penyusunan skenario yang melibatkan
pemilihan konteks masalah, representasi
masalah dan ruang manipulasi masalah
yang akan membantu pencapaian tujuan
integratif.
42
Proses desain berlanjut dengan
menyediakan beragam perangkat
pendukung yang diperlukan dan dapat
membantu pengajar untuk secara aktif
mendinamisasi kelasnya. Perangkat
pendukung ini mencakup informasi,
instruksi dan penjelasan. Coaching,
scaffolding dan modelling merupakan
strategi utama yang diterapkan dalam
aktivitas instruksional. Desain hipotetik
yang ada selanjutnya ‘diinjeksi’ dengan
strategi mikro yang pertimbangan
terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu.
Penjelasan materi dengan
modelling terhadap penyajian contoh
dilakukan dengan thinking-aloud. Hal ini
dimaksudkan agar ketika seorang
pebelajar berinteraksi dengan anggota
kelompok lainnya, pengajar dapat
mengidentifikasi masalah, ide-ide dan
konsepsi yang muncul. Modelling tentang
penggunaan waktu dalam proses problem
solving terutama dalam tahapan problem
representation dan kesimultanan dalam
proses identifikasi variabel dan
penyusunan diagram juga ditunjukkan
oleh pengajar.
Integrasi elemen strategi mikro ke
dalam strategi makro melalui pola direct
instruction menurut Rosenshine (2008)
setelah dilakukan rasionalisasi, diperoleh
tahapan-tahapan hipotetik EDI
sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Tahapan Hipotetik EDI Fase Kegiatan hipotetik
Awal Apersepsi
Penyampaian tujuan
Inti
Pemberian instruksi dan penjelasan
(menjelaskan model keterlibatan
mahasiswa dalam pembelajaran
Penyajian materi secara bertahap,
setiap tahap ada latihan (coaching)
(dalam latihan soal, pengajar
memodelkan (modelling) dengan
thinking-aloud tahapan problem
solving; penggunaan waktu untuk
tahapan memahami dalam problem
solving dengan proporsi lebih besar,
menjadi penekanan dalam penyajian
contoh soal); penggunaan diagram,
identifikasi variabel yang diketahui
dan ditanyakan: dilakukan secara
simultan
Fase Kegiatan hipotetik
Penggunaan pendekatan reciprocal
teaching. Terdapat mahasiswa tampil
menyajikan proses problem solving
dengan thinking-aloud
Pembimbingan selama latihan awal
reciprocal teaching melalui
pendekatan scaffolding
Pengajuan sejumlah pertanyaan
untuk mengecek pemahaman
mahasiswa (penyisipan penggunaan
multi representasi)
Pembentukan kelompok
Latihan bagi mahasiswa (penyisipan
transformasi representasi eksternal
yang berfokus pada bagaimana
mengubah representasi)
Penggunaan pendekatan reciprocal
teaching dalam kelompok (ada yang
berperan sebagai pemandu anggota
kelompoknya; menyajikan proses
problem solving dengan thinking-
aloud)
Penyediaan instruksi dan latihan
yang eksplisit dan monitoring
kegiatan kelompok
Penutup
Pemberian umpan balik dan koreksi
yang sistematis
Pemberian tugas mandiri
Tabel 2 menunjukkan bahwa
integrasi prinsip-prinsip strategi makro ke
dalam pola-pola DI yang diperkaya
dengan strategi mikro membentuk strukur
EDI yang lebih spesifik namun lebih
kompleks.
Aktivitas dalam kegiatan inti
berupa penyusunan diagram dan
representasi lainnya melalui identifikasi
variabel serta penyisipan transformasi
eksternal, merupakan langkah penting
dalam pembentukan MMA bagi
mahasiswa. Kegiatan tersebut
menanamkan kemampuan memanipulasi
model mental berdasarkan proposisi-
proposisi. Kemampuan memonitor secara
metakognitif proses penyusunan model
mental dapat terbentuk melalui
modelling. Tahapan problem solving
disajikan dengan melakukan penekanan
tentang pentingnya tahapan memahami
sehingga perlu diberikan proporsi waktu
yang lebih besar. Kebiasan berpikir
reflektif diharapkan dapat tertanam
melalui penekanan tersebut.
Tahapan-tahapan EDI sebagai
sebuah desain hipotetik yang berorientasi
MMA masih memerlukan rincian lebih
43
lanjut dan lebih operasional melalui
penyusunan rencana pembelajaran
sebagai bagian dari tahapan
pengembangan. Desain hipotetik yang
telah dirumuskan akan melalui prosedur
pengembangan dengan menerapkan
formative research.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa telah diperoleh
sebuah desain instruksional hipotetik
yang memuat integrasi prinsip-prinsip
strategi makro dari teori desain
instruksional ke dalam direct instruction.
Tahapan-tahapan eksplisit dari integrasi
tersebut selanjutnya diperkaya dengan
strategi mikro untuk menghasilkan
enhanced direct instruction hipotetik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih
kepada Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat, Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan,
Kemeterian Riset, Tekonologi dan
Pendidikan Tinggi atas pendanaan
penelitian ini di bawah skim Hibah Tim
Pascasarjana Tahun 2015.
DAFTAR RUJUKAN
Bascones, J., Novak, V. and Novak, J. D.
1985. Alternative Instructional Systems
and the Development of Problem-
Solving Skills in Physics. European
Journal of Science Education, 7(3).
Chen, C. J. and Teh, C. S. 2013. Enhancing
an Instructional Design Model for Virtual
Reality-Based Learning. Australasian
Journal of Educational Technology, 29(5).
Cock, M. D. 2012. Representation Use and
Strategy Choice in Physics Problem
Solving. Physical Review Special
Topics-Physics Education Research, 8,
020117. http://dx.doi.org/10.1103/ Phys
RevSTPER.8.020117.
Dykstra, R. 1968. Classroom Implications
of The First-Grade Reading Studies.
Paper presented at the College Reading
Association Conference, Knoxville, TN.
(ERIC Document Reproduction Service
No. ED 022 626).
Heron, P.R.L. 2015. Effect Of Lecture
Instruction On Student Performance On
Qualitative Questions. Physical Review
Special Topics-Physics Education
Research,, 010102 (2015). DOI:
0.1103/PhysRevSTPER.11.010102 Ibrahim, B. and Rebello, N. S. 2013. Role
of Mental Representations in Problem Solving: Students’ Approaches to Nondirected Tasks. Physical Review Special Topics-Physics Education Research, 9, . http://dx.doi.org/10.1103/ PhysRevSTPER.9.020106.
Mansyur, J. 2015. Teachers’ and Students’ Preliminary Stages in Physics Problem Solving. International Education Studies (accepted), Vol. 8, No. 9; 2015.
Muijs, D. and Reynolds, D. 2010. Effective
Teaching: Evidence and Practice: Sage.
Ningsih, H.Y.R., Mansyur, J., Darsikin,
dan Kamaluddin. 2013. Perilaku
Penggunaan Representasi Eksternal
Guru Fisika dalam Aktivitas
Pembelajaran. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan. Palu: Universitas
Tadulako.
Osborne, J., Simon, S. and Colins, S. 2003.
Attitudes Towards Science: a Review of
The Literature and Its Implications.
International Journal of Science
Education, 25(9).
Rahmilia, S., Mansyur, J. dan Saehana, S.
(2014). Mental-Modeling Ability
Mahasiswa pada Konsep Dasar Listrik
Statis. Prosiding Seminar Nasional
Fisika dan Pendidikan Fisika, 13
September 2014, Solo. UNS.
Redish, E. F. 1994. Implications of Cognitive
Studies for Teaching Physics. American
Journal of Physics, 62(9), 796-803. Reigeluth, C. M. and Frick, T. W. 1999.
Formative Research: A Methodology for
Creating and Improving Design
Theories. In C. M. Reigeluth (Ed.),
Instructional-Design Theories and
Models–A New Paradigm of
Instructional Theory (pp. 633-652). New
Jersey: Lawrence Erlbaum. Rosengrant, D., Van Heuleven, A. and
Etkina, E. 2006. Students’ Use Of Multiple Representations In Problem
44
Solving. In P. Heron, L. McCullough and J. Marx, Physics Education Research Conference (2005 AIP Conference Proceedings) (49-52). Melville , NY: American Institute of Physics.
Rosenshine, B. 2008. Five meanings of direct
instruction. Center on Innovation &
Improvement, Lincoln. Sabia, Z. dan Mansyur, J. 2013.
Penggunaan Waktu oleh Guru dan
Siswa Dalam Tahap-Tahap Physics
Problem Solving. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan. Palu: Universitas
Tadulako.
Thornton, R.K. 1999. Using the Results of
Research in Science Education to
Improve Science Learning.
International Conference on Science
Education, Nicosia, Cyprus, January,
1999.
Wang, C.Y. 2007. The Role of Mental-
Modeling Ability, Content Knowledge,
and Mental Models in General
Chemistry Students’ Understanding
about Molecular Polarity. Ph.D
Dissertation. Columbia: University of
Missouri.
Whitehead, A. N., 1970. The Aims of
Education. London: Ernest Benn.
1
Lampiran
MODELLING
Reviu pembelajaran
sebelumnya
Penyampaian tujuan
Penyajian materi secara
bertahap, setiap tahap
ada latihan Pemberian intruksi dan
penjelasan
Latihan bagi semua
mahasiswa
Pengajuan sejumlah
pertanyaan untuk
mengecek pemahaman
mahasiswa Pembimbingan selama
latihan awal
Pemberian umpan balik
dan koreksi yang
sistematis
Penyediaan instruksi
dan latihan yang
eksplisit dan monitoring
Kegiatan
instruksional
COACHING
Perangkat
pendukung
Skenario/masalah
Tujuan
integratif
SCAFFOLDING
Tujuan
STRATEGI MAKRO POLA-POLA DIRECT INSTRUCTION STRATEGI MIKRO
THINKING-ALOUD,
PENGGUNAAN WAKTU,
PENGGUNAAN DIAGRAM,
KESIMULTANAN,
RECIPROCAL TEACHING,
MULTI REPRESENTASI
Gambar 1. Desain Hipotetik Enhanced Direct Instruction
Konteks, representasi,
ruang manipulasi
2
LAMPIRAN B. ARTIKEL UNTUK PUBLIKASI INTERNASIONAL
Enhancing Direct Instruction on Introductory Physics for Supporting
Student’s Mental-Modeling Ability
Jusman Mansyur1 and Darsikin1
1 Physics Education Department, Tadulako University, Palu, Indonesia
Correspondence: Jusman Mansyur, Physics Education Department, Tadulako University, Palu, Indonesia.
E-mail: [email protected]
Abstract
This paper describes an instructional design for introductory physics that integrates previous research results of
physics problem solving and the used of external representation into direct instruction (DI). The research is a
part of research in obtaining establihed instructional design to support mental-modeling ability. From the
integration of the previous researches of problem solving and external representation with characteristics of DI,
we obtained stages of a hyphotetical design. The hypothetical design has been developed by implementing
phases of formative research to obtain final model of enhanced direct instruction (EDI). Results of experimental
phase showed that EDI can support the increasing of students’ mental-modeling abilty.
Keywords: direct instruction, enhanced direct instruction, external representation, mental-modeling ability,
problem solving
1. Introduction
Many of us who have taught introductory physics for many years recall with dismay a number of salient
experiences: a reasonably successful student who can produce a graph but can't say what it means; a top student
who can solve all the problems but not give an overview or simple derivation; many students of varying abilities
who memorize without understanding despite our most carefully crafted and elegant lectures (Redish, 1994).
Although it has been stated more than twenty years ago, a question should be answered: how is introductory
physics lectures in 2015 year? We can find varied answers of the question and they depend on our perspective
and progress of physics education research (PER) in each our country. Contribution of PER in reforming the
lectures from traditional lecture to reformed lecture is an important aspect for resulting successful learners.
Five years after the Redish’s statement, Thornton (1999) proposed a question: “Are most students in physics
courses acquiring a sound conceptual grasp of basic physics principles?” Based on his review of some studies, he
stated that extensive studies of students' basic conceptual knowledge before and after introductory physics
courses in high schools and colleges have convinced some in the larger community of physics teachers that there
is less basic understanding than they had believed. The results of these studies show that students in selective
universities, whether they be science majors or not, fail to agree with physicists when they answer the simplest
conceptual questions. These same students are able to solve many traditional problems involving the solution of
algebraic equations or even those requiring the methods of the calculus.
One of the most widely used teaching models in introductory physics is traditional instruction (at least at
Tadulako University, Indonesia). In general, the instruction for introductory physics is conducted predominantly
in very simple steps, i.e: instructor gives explanation, problem example (solved by the instructor), and
problem(s) exercise (solved by students). The condition is also generally happened at junior and senior high
schools in Indonesia. Effects of the condition are physics perceived by students as difficult, boring, and the
teaching could result misconception(s), other difficulties or constraints in learning physics. Students enter and
leave the courses with fundamental misunderstandings of the world about them essentially intact: their learning
of facts about science remains within the classroom and has no effect on their thinking about the larger physical
world. This is due in part to stereotypes and in part to the courses actually taught (Thornton, 1999).
The impact of lecture instruction on student conceptual understanding in physics has been the subject of
research for several decades. Most studies have reported disappointingly small improvements in student
3
performance on conceptual questions despite direct instruction on the relevant topics. These results have spurred
a number of attempts to improve learning in physics courses through new curricula and instructional techniques
(Heron, 2015). Efforts to create meaningful teaching as challenge for researchers in physics education. Research-
based curricula designed to improve student conceptual learning can yield substantial gains over traditional
instruction (Redish, 2004).
One of famous teaching models is Direct Instruction (DI). DI, also known as Active Teaching or Whole Class
Teaching, refers to a teaching style in which the teacher is actively engaged in bringing the content of the lesson
to students by teaching the whole class directly (Reynolds & Muijs, 2011). DI refers to instruction led by the
teacher, as in “the teacher provided direct instruction in solving problems”. The term has appeared with a variety
of meanings, some general and some specific, some positive and some negative. This problem occurs because
DI, and terms such as direct teaching and explicit instruction, has both a general meaning and a specific
meaning. The general meaning refers to any instruction that is led by the teacher regardless of quality
(Rosenshine, 2008).
Efforts for becoming DI as a effective learning has been carried out by researchers. Beginning around 1968,
researchers used DI as a summary term for the instructional procedures used to teach higher level cognitive
tasks. For example, Dykstra (1968) concluded that DI in comprehension is essential. Since that time, the term DI
has been used in a number of studies where strategies for reading comprehension, predicting, clarifying, ques-
tion-generating, summarizing, combining sentences, developing process skill, test-taking strategies and engaging
in reflective thinking (Rosenshine, 2008). Beside the researches that showed the advantages of DI in the certain
aspects, some writers believe (as summarized by Rosenshine, 2008) that DI represents undesirable teaching,
authoritarian, regimented, fact accumulation at the expense of thinking skill development, and focusing upon
tests. DI has also been portrayed as a passive mode of teaching, the pouring of information from one container,
the teacher’s head, to another container, the student’s head. All of these critics are proposing that teachers use
forms of student-centered or activity-based instruction in place of direct instruction.
Among the advantages and disadvantages of DI as described above, there is a challenge for researchers to make
the learning model is better in certain aspects by minimizing the potential shortcomings that exist. Enrichment of
the DI can be done by considering the results of previous studies.
This paper presents DI model was enriched with the results of previous studies by Rosengrant et al. (2006), Cock
(2012), Sabia et al. (2013), Ningsih et al. (2013), Ibrahim and Rebello (2013), Rahmilia et al. (2014) and
Mansyur (2015). This research aimed to obtain instructional design that are research-based instruction by making
DI as a basis to be enriched with the results of the research. Orientation of the enriched DI model (hereinafter is
called as Enhanced Direct Instruction, EDI) is a mental-modeling ability (MMA) according to the potential
aspects after it was enriched by the results of the researches, especially researches on the physics problem
solving and the use of external representational system.
Focus of the study
Previous work of Darsikin and Mansyur ( 2015) was used as an hyphotetic model that was formatively evaluated
in this study to produce a more robust design model. To do this, we followed Chen and Teh (2013) that it was
necessary to identify methods that are part of the model as either working or otherwise. Hence, the specific
objective of this study is to enrich DI model for research-based model using the formative research methodology.
The research question of this study is: Is there influence of the EDI towards MMA?
2. Theoretical Framework
Reynolds and Muijs (2011) stated that there are several reasons why DI has been found to be effective. One of
these is that studies have found that DI actually allows the teacher to make more contacts with each individual
student than individual work, and interaction between students and the teacher is a crucial aspect of successful
teaching and learning. Students have also been found to be more likely to be on task during whole class sessions
than during individualised instruction. This is mainly because it is easier for the teacher to monitor the whole
class while teaching than to monitor individual students. DI also allows the teacher to easily change and vary
activities and to react quickly to signs that students are switching off, either through lack of understanding of the
content or through boredom.
Based on across a number of studies, Rosenshine (2008) concluded that when effective teachers taught well-
structured topics, the teachers used the following pattern:
• Begin a lesson with a short review of previous learning.
4
• Begin a lesson with a short statement of goals.
• Present new material in small steps, providing for tudent practice after each step.
• Give clear and detailed instructions and explanations.
• Provide a high level of active practice for all students.
• Ask a large number of questions, check for student understanding, and obtain responses from all students.
Guide students during initial practice.
• Provide systematic feedback and corrections.
• Provide explicit instruction and practice for seatwork exercises and monitor students during seatwork.
Rosenshine and Stevens (1986) and Rosenshine (2008) further grouped these instructional procedures as
teaching functions, as shown in Table 1.
Table 1. Results from the effective teacher research
Function Action
Reduce the difficulty of the task
during initial practice.
State lesson goals. Divide the task into smaller components.
Use scaffolds and guidance to
support students during initial
practice.
Teacher models use of the strategy or procedure. Teacher thinks aloud as strategies are selected and choices are made. Anticipate student errors. Check for student understanding.
Obtain responses from all students.
Gradually combine the components into a whole.
Provide supportive feedback.
Provide systematic corrections and feedback.
Provide check lists.
Provide models of the completed task.
Provide students with fix-up strategies.
Provide for extensive student
independent practice.
According to Merrill (2007) there are two main principles of instructional, namely: (1) instructional goal is to
encourage the development of cognitive structure that is more consistent with the performance of the expected
learning outcomes and (2) the instructional goal is to encourage active cognitive processing that enables learners
to use cognitive structure in a manner consistent with the performance of the expected learning outcomes. There
are principles of macro-strategy that can be followed with respect to instructional design as summarized by Chen
and Teh (2013) in Table 2.
Table 2. Principles of the macro-strategy (Chen & Teh, 2013)
Principle Description
Objectives Identifying the types of learning (labels, verbal information, intellectual skills
and/or cognitive strategies) and the respective learning objectives.
Integrative goals Determining the integrative goals by combining several interrelated objectives that
are to be integrated into a comprehensive purposeful activity, which is called an
enterprise.
Enterprise
scenario/problem
Identifying the enterprise scenario that must be played out in conducting the
enterprise. It is similar to the problem posed in a constructivist learning
environment. This problem comprises three integrated components: problem
context, problem representation, and problem manipulation space.
Support tools Providing various interpretative and intellectual systems to support constructivist
learning through the problem posed. These may include related cases, information
resources, and various cognitive tools.
Instructional activities Providing instructional activities to support constructivist learning, which
5
include modeling, coaching, and scaffolding.
For assessing student’s MMA, we used a rubric of Wang (2007) and it has been modified by Mansyur (2010) as
presented in Table 3.
Tabel 3. Protocol of MMA (Wang, 2006; Mansyur, 2010)
Characteristic of MMA Score MMA score (maximum)
1a Generate a mental model w/ and w/o a 2D representation (diagram) or other relevant representation Or
2
2
1b Generate a mental model based on a 2D representation (diagram) or other relevant representation
1
2a Manipulate the mental model based on propositions Or
4
4 2b
Possess a rigid mental model and conclude that the shape of mental model would not change when a new proposition is added to the model; sometimes need to rely on a concrete model
2
3 Metacognitively monitor processes of mental modeling 2 2
4 Self-check using an alternative approach to test or inspect the mental model to identify errors from the mental model
2 2
Total (maximum) 12
Not included in this article
Regarding to the instruction design, Component 1a (or ib) and 2a (or 2b) are the main orientation of this
research. We focus to improve student’s ability in transforming a form of external representation to other
representations.
Formative Reserach
This article focuses on enhancing the instructional design model using formative research. The work entails what
many have called design and development research (Chen & Teh, 2013). Reigeluth and Frick (1999) stated that
formative research as a kind of developmental research or action research that is intended to improve design
theory for designing instructional practices or processes. Using it as the basis for a developmental or "action"
research methodology for improving instructional-design theories is a natural evolution from its use to improve
particular instructional systems. It is also useful to develop and test design theory on other aspects of education,
including curriculum development, counseling, administration, finance, and governance. Formative research has
been used to improve existing instructional design theories and models, such as the elaboration theory, a theory
to facilitate understanding, a theory for the design of computer-based simulations and theory for designing
instructions for teams (Chen & Teh, 2013).
The process for conducting the formative research in this study was adapted from the process suggested by
Reigeluth and Frick (1999) and it has been implemented by Chen & Teh (2013) as following:
a) Selecting a design theory (or model).
b) Designing an instance of the model, which is a specific application of the design model. This study involved
an expert of the model to ensure the design instance was as pure an instance of the design model as possible
to avoid two types of weaknesses; omission and commission.
c) Conducting a pilot study.
d) Collecting and analysing formative data on the instance. The intent is to identify and remove problems in the
instance, explore consequences of adding new elements to or removing existing elements from the design
instance as well as to reconfirm the appropriateness of methods prescribed by the model.
e) Repeating data collection and analysis cycles to confirm earlier findings.
f) Offering tentative revision for the model.
Most of these stages are used to finalize the instructional design by integrating the principles of macro-strategy
by adopting Chen and Teh (2013) work with the patterns of DI implementation according Rosenshine (2008).
6
Results and recommendations of previous studies, further integrated into the existing structure as elements of
micro-strategy.
3. Method
2.1 Expert Validation for the Initial Model
Expert validation was carried out to provide the suitability of the theoretical models with learning targets from
the viewpoint of experts. Aspects and indicators of the assessment are:
a. Macro strategy: scope, clarity, integration and rationality.
b. Micro startegy: scope, clarity, integration, rationality and supporting to macro strategy.
c. Potential aspect: supporting to MMA, supporting to effective problem solving and flexibility in
implementation.
d. Accommodation: integration with previous research results and conformity with levels of thinking (high
school student to the second year university student).
2.2 Pilot Study
Pilot study was conducted in Introductory Physics II (Academic year 2014/2015). Focuses of the pilot study
were on implementation aspects and flexibility of general stages of the design. The study was dominat as
reflective study.
2.3 Sampling
Research population was 115 students of Physics Education Study Program (Academic year 2015/2016). They
were distributed in three classes, excluding students have backgrounds in senior vocational high schools. The
research sample was determined by purporsive random sampling where there was one class (Class A, n = 34) as
an experimental group and one class (Class B, n = 30) as the control group.
2.3 Intervention
Experimentation of EDI as hypothetical model implemented using quasi-experimental design. In the
experimental group, the interventon was done by applying EDI, while the control group implemented DI model
(as a conventional learning). Both the experimental and control group, the learning took place six lessons
excluding introductory meeting/lecture contract, pretest and posttest session.
2.2 Data Collection
Data collection included pretest, posttest, and interview. Pretest and posttest emphasized on the data relating to
aspects of MMA is about the transformation of the representation from available propositions of each problem.
In this case, construction of a diagram as the main focus of MMA. The interview focused on the response of
students regarding to structure of learning in experimental group.
2.2.1 Instrument
2.2.1.1 Test
The test for pretest and posttest includes concept mastery of fundamental mechanics in Introductory Physics I,
namely Kinematics, Dynamics and Work-Energy consists of five items essay test. Although the test is a test of
concept mastery, the test can be used to assess aspects of MMA by using a rubric. All the problems included in
the test contain elements as stimulus for students to use diagram in problem solving activity. If each student
made up diagram more than one in every problem, we counted them as one diagram so that there are five
diagrams (as maximum) for each student.
2.2.1.2 Rubric
MMA rubric was predominantly used to assess Component 1a (or 1b) and 2a (or 2b) of Table 1 as the main
focus of this study.
2.2.1.3 Interview Protocol
Interview protocol includes questions about the responses of students to the learning structure has been implemented.
2.3 Data Analysis
Although this study used a quasi experimental design, data analysis focused on aspects of qualitative-descriptive
of the learning model. Data analyses were carried out on aspects of MMA that appeared on the answer sheet in
the experimental and control group. In this case, we calculated students proportion in both classes that
7
%100100
xP
PPg
pre
prepost
p−
−=
%100max
xDD
DDg
pre
prepost
d−
−=
%100max
xMM
MMg
pre
prepost
mma−
−=
constructed diagram for each problem in the pretest and posttest. In addition, we calculated the total number of
diagrams constructed by students. The data also as an initial benchmark for assessing the condition of the real
MMA. The increasing of the students proportion that constructed the diagram using formula (Hake, 2007):
(1)
where:
<gp> : average normalized gain for students proportion
Ppre : students proportion that constructed the diagram in pretest
Ppost : students proportion that constructed the diagram in posttest
The increasing of the number of diagrams using formula (Hake, 2007):
(2)
where:
<gp> : average normalized gain for number of diagrams
Dpre : total number of diagrams in pretest
Dpost : total number of diagrams in posttest
Dmax : total maximum number of diagrams
The increasing of the number of diagrams using formula (Hake, 2007):
(3)
where:
<gmma>: average normalized gain for MMA
Mpre : MMA score in pretest
Mpost : MMA score in posttest
Mmax : total maximum score of MMA
Analysis of the interview results emphasize on the comfort and convenience of students to involve their self in
the learning structure. The interview results are also used to determine implementation aspects of the model to
accommodate the needs of students.
3. Results and Discussion
3.1 Description of Hypothetical Model
Hypothetical model for instructional design as integration results, containing macro- and micro-strategy,
presented in Appendix A (Darsikin & Mansyur, 2015). Process for obtaining EDI follow the pattern made by
Chen and Teh (2013) in developing an instructional design for virtual reality-based learning. The process starts
from the center of the circular shape of the macro-strategy (innermost ring) and gradually moves outward to the
outmost ring. The existing hypothetical was ‘injected’ with micro-strategy by considering the previous
researches results.
Integration of micro-strategy elements into macro-strategy through DI pattern of by Rosenshine (2008) and
research of Hunter (1982) after rationalization, we obtained hypothetical stages of EDI (Darsikin & Mansyur,
2015) as presented in Table 4.
Table 4. DI pattern and hyphotetical stages of EDI
Direct instruction pattern (Rosenshine, 2008) Hyphotetical stages of EDI (Darsikin & Mansyur,
2015)
• Begin a lesson with a short review of previous Elicite initial knowledge
8
Direct instruction pattern (Rosenshine, 2008) Hyphotetical stages of EDI (Darsikin & Mansyur,
2015)
learning
• Begin a lesson with a short statement of goals
• Present new material in small steps, providing
for student practice after each step
• Give clear and detailed instructions and
explanations
• Provide a high level of active practice for all
students
• Ask a large number of questions, check for
student understanding, and obtain responses
from all students
• Guide students during initial practice
• Provide systematic feedback and corrections
• Provide explicit instruction and practice for
seatwork exercises and monitor students during
seatwork
Inform learning goal
Give instruction and explanation (explain mode of
students’ involvement in the learning)
Present learning material, gradually. There is
exercise(s) in each step. In the problem exercise,
lecturer modeling the problem solving steps by
thinking-aloud; give time for problem understanding
step with its proportion is more than the other; it should
be emphasized in presenting problem example; the
used of diagram, identification of given and required
variables should simultaneously be done.
Provide reciprocal teaching approach (in small scale).
One or more students perform problem solving process
by thinking-aloud.
Guide students during initial practice.
Ask a large number of questions, check for student
understanding, and obtain responses from all students
(insert the use of multiple representations).
Form groups.
Provide practice for students (insert information of
external representation and its transformation).
Use reciprocal teaching approach in groups (there is a
student as a guide for his/her group; he/she performs
problem solving by thinking-aloud).
Provide explicit instruction and practice for seatwork
exercises and monitor students during seatwork.
Provide systematic feedback and corrections.
Provide independent task.
Based on the pattern of DI by Rosenshine (2008) in Table 4, we conducted modification and rationalization in
order to aspects that be a suppression (based on the findings of previous research) and Hunter’s (1982) research,
easily integrated. Table 4 shows that the integration of the principles of macro-strategy into DI pattern with
micro-strategy forming EDI structure that is more specific but more complex.
The stages of EDI as a hypothetical design orientates MMA should be operated through the preparation of lesson
plans as part of the development stage. The hypothetical design that has been formulated following the
development procedure by applying formative research. The hypothetical design has been also validated by an
expert to obtain its feasibilty. Result of the expert validation is presented in Table 5. Table 5 shows that
according to the validator, in general, the proposed theoretical model has potential characteristics to be further
developed.
Table 5. Result of the expert validation about hypothetical model
Aspect Indicator Score (max. = 4)
Macro strategy
Scope 4
Clarity 3
Integration 4
Rationality 4
Micro strategy
Scope 4
Clarity 4
Supporting to macro strategy 4
Rationality 3
Potential aspect
Supporting to mental-modeling ability 3
Supporting to effective problem solving 4
Flexibility in implementation 3
9
Accommodation
Integration with previous research results 3
Conformity with levels of thinking (high school student to the
second year university student)
4
3.2 Results of Experimentation
3.2.1 Results of Pretest and Posttest
Description of pretest and posttest results in both groups is presented in Table 6. Table 6 contains proportion and
an increasing of the proportion (after normalized) of students that constructed a diagram on each item. The table
does not show the correctness of the diagram. However, the data can reflect the proportion of students who have
been trying to construct a diagram as a main component of MMA.
Table 6. Proportion of students constructed diagram for each item and N-gain
Experimental group (n = 34) Control group (n = 30)
Item
number
Pretest
(%)
Posttest
(%)
N-gain Pretest
(%)
Posttest
(%)
N-gain
% Category % Category
1 38 68 48 Moderate 10 30 22 low
2 62 85 62 Moderate 37 67 47 moderate
3 71 88 60 Moderate 60 87 67 moderate
4 9 71 68 Moderate 3 13 10 low
5 6 88 88 High 10 27 19 low
Average 37 80 65 Moderate 24 45 33 moderate
Table 7. Increasing of number of diagrams were constructed by students for the both group
Exp. group (n = 34, max. number = 170) Cont. group (n = 30, max. number = 150)
Pretest Posttest N-gain
Pretest Posttest N-gain
% Category % Category
62 136 69 moderate 35 66 27 Low
Table 6 shows that an increasing of students proportion that constructed diagram in pretest and posttest in both
groups. However, the largest proportion occurred in the experimental group. This illustrates that learning with DI
structure which has been modified as EDI can improve students’s attention to a role of the diagram as a
representation that is very important in problem solving. The students proportion has relation with number of
diagrams constructed by students. Table 7 shows the increasing number of diagram constructed from pretest to
posttest in the both groups.
The correctness and feasibility of the constructed diagrams further reviewed using the MMA rubric by Wang (2007) and Mansyur (2010). Students’ MMA score for the both groups is displayed in Table 8.
Table 8. Score and N-gain of MMA for the both groups
Exp. group (n = 34, max. score = 1020) Cont. group (n = 30, max. score = 900)
Pretest Posttest N-gain
Pretest Posttest N-gain (%)
(%) Category % Category
121 248 14 Low 103 177 9 Low
*Maximum score for each item is 6, total score for overall items is 30.
Table 8 shows that there is an increasing of MMA score for the both groups but N-gain or <gmma> is low
category. There is a difference of <gmma> between experimental and control group, qualitatively. The value of
10
<gmma> in experimental group is larger than the value of <gmma> in control group. This shows that teaching with
EDI (in experimental group), qualitatively outperforms teaching with DI (in control group). Although <gmma> is
low category, explicit emphasizing during the learning in experimental group took place on the importance of the
diagram, contributing to the ‘embryo’ of a productive problem solving.
3.2.2 Interview
In this part, we present results of interview of two students. The interviews focused on the students’ response
about the structure the learning and the role of diagram in problem solving activity. The two students were Zahra
and Dian (assumed).
When Zahra was asked what is her opinion about the structure the learning, she said (tanslated):
By teaching, gradually...through the diagram...allows us to analyze cases (phenomena) that exist...we were
taught in high school...directly into a formula...know ...required... But we can not analyze and can forget the
concept of the one and the other...With such a systematic way ...we can understand in detail starting from the
root (basic). We are not easy to make a mistake...do it with a good understanding. Presentation of the
concept...interesting...and can make us pull out our arguments and our opinions about what we think about
the concept and be able to know that it is understandable and wrong. About presentation of problem
examples... from simple to more complicated, the difficulty level,... gradually...
Dian said (translated):
Very good teaching structure..., we were taught as...need to know how to solve problems,...how to find their
solution...do not understand the concepts associated with the phenomena... (your) teaching started from the
concept, for example...can think logically... We...were...remember a formula...During the last time (in high
school, I was taugt ...direct to formula... We do not know when the formula will be used. In your class...with
the help of diagrams...we know when it moves like a...formula...like this... The use of diagram ...sometimes we
just use the theory, logic does not immediately catch it...If using diagrams... can think of ...like this ...
Base on the interviews result, we can state that the students can follow the teaching and learning process. The
teaching structure and the emphasizing of the use diagram are important points of EDI in supporting the
improvement of students’ MMA aspects as presented in Table 6 to Table 8.
3.2.3 Reflection
Reflection activity is mainly focused on understanding of the weakness of the learning structure. There was one
stage of EDI model which lecturer had difficulty to implement it (from Table 4), i.e. “use reciprocal teaching
approach in groups (there is a student as a guide for his/her group; he/she performs problem solving by thinking-
aloud)”. The lecturer has difficulty in managing his class regarding implementation of reciprocal teaching and
thinking-aloud by students in their groups. It needs more time for practicing the activities. Base on the
consideration, we tend to exclude two stages from the EDI structure. In order to obtain final model, we carried
out revision of the structure.
3.3 Final Model
After the revision process, we have obtained final model of EDI, as presented in Table 8.The final model is more
simple than before the revision. In order to optimize the potential aspects of the model, we give short description
in implementation. For example, enrichment of the teaching with a modeling of problem solving was done with
thinking-aloud. This is intended that when a student interacts with other students, lecturer can identify their
problems, ideas and conceptions. Modeling on the use of time in the problem solving process, especially in the
stages of problem representation and process of variables identification and construct a diagram are
simultaneously shown by the lecturer.
Table 8. Hyphotetical and final model of EDI
Hyphotetical Stages of Model (Darsikin & Mansyur,
2015)
Stages of Final Model
Elicite initial knowledge Elicite initial knowledge
Inform learning goal Inform learning goal
Give instruction and explanation (explain mode of
students’ involvement in the learning)
Give instruction and explanation (explain mode of
students’ involvement in the learning)
11
Hyphotetical Stages of Model (Darsikin & Mansyur,
2015)
Stages of Final Model
Present learning material, gradually. There is
exercise(s) in each step. In the problem exercise,
lecturer modeling the problem solving steps by
thinking-aloud; give time for problem understanding
step with its proportion is more than the other; it
should be emphasized in presenting problem
example; the used of diagram, identification of given
and required variables should simultaneously be
done.
Present learning material, gradually. There is
exercise(s) in each step. In the problem exercise,
lecturer modeling the problem solving steps by
thinking-aloud; give time for problem understanding
step with its proportion is more than the other; it
should be emphasized in presenting problem
example; the used of diagram, identification of given
and required variables should simultaneously be
done.
Provide reciprocal teaching approach (in small scale).
One or more students perform problem solving
process by thinking-aloud.
Provide reciprocal teaching approach (in small scale).
One or more students perform problem solving
process by thinking-aloud.
Guide students during initial practice. Guide students during initial practice.
Ask a large number of questions, check for student
understanding, and obtain responses from all students
(insert the use of multiple representations).
Ask a large number of questions, check for student
understanding, and obtain responses from all students
(insert the use of multiple representations).
Form groups.
Provide practice for students (insert information of
external representation and its transformation).
Provide practice for students (insert information of
external representation and its transformation).
Use reciprocal teaching approach in groups (there is a
student as a guide for his/her group; he/she performs
problem solving by thinking-aloud).
Provide explicit instruction and practice for seatwork
exercises and monitor students during seatwork.
Provide explicit instruction and practice for seatwork
exercises and monitor students during seatwork.
Provide systematic feedback and corrections. Provide systematic feedback and corrections.
Provide independent task. Provide independent task.
Steps in the core activity such as preparation of diagram and other representations through variables
identification and insertion of transformation of external representation, is an important step in the forming of
students’ MMA. The activity can support an ability to manipulate mental models based propositions (Rosengrant
et al., 2006). Student’s ability to metacognitively monitor the construction process can form mental model
through the modeling. Stages of problem solving are presented by emphasizing the importance of understanding
problem stage by providing a greater proportion of time (Mansyur, 2015). Reflective thinking habits are
expected to be improved through the suppression (Darsikin & Mansyur, 2015). The central issue of this context
is that students must be made aware of their own learning habits, promoting them to conscious facilitator in the
knowledge construction process (Gerace & Beatty, 2005).
4. Conclusion and Recommendation
Based on the previous description, it can be concluded that we have acquired a instructional design. The design
includes the integration of the principles of macro-strategy of instructional design theory into direct instruction.
Explicit stages of integration were further enriched with micro-strategy to obtain final model of enhanced direct
instruction. This research provides some evidences of the effects of using enhanced direct instruction on
students’ mental-modeling ability. In comparison, enhanced direct instruction was more effective in developing a
part of mental-modeling ability characteristics than ‘normal’ direct instruction. Enhanced direct instruction
fosters these student’s learning outcomes by engaging students actively in solving problems and becoming aware
of every phases of the process. Further research is needed to compare the model with other models in improving
student’s learning outcomes.
Acknowledgments
We would like to thank to Directorate of Higher Education, Ministry of National Education and Culture of
Indonesia for funding this research in Hibah Tim Pascasarjana scheme under contract No.
052/SP2H/PL/Ditlitabmas/II/2015. Secondly, we wish to thank I Komang Werdhiana for his validation and
12
valuable discussion. Lastly, we also would like to extend the gratitude to Nadrun for polishing some of the
English in this article.
References
Chen, C. J. & Teh, C. S. (2013). Enhancing an Instructional Design Model for Virtual Reality-Based Learning.
Australasian Journal of Educational Technology, 29(5).
Cock, M. D. (2012). Representation Use and Strategy Choice in Physics Problem Solving. Physical Review
Special Topics-Physics Education Research, 8, 020117. http://dx.doi.org/10.1103/.
Darsikin & Mansyur, J. (2015). Enhanced Direct Instruction Model Orientates Mental–Modeling Ability Base on
Research of Physics Porblem Solving and External Representation. National Seminar of Physics
Department, FMIPA UM 2015.
Dykstra, R. (1968). Classroom Implications of The First-Grade Reading Studies. Paper presented at the College
Reading Association Conference, Knoxville, TN. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 022
626).
Gerace, W.J. & Beatty, I.D. (2005). Teaching vs. Learning: Changing Perspectives on Problem Solving in
Physics Instruction. The 9th Common Conference of the Cyprus Physics Association and Greek
PhysicsAssociation: Developments and Perspectives in Physics—New Technologies and Teaching of
Science, Nicosia, Cyprus, Feb 4-6, 2005.
Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. American Educational Research Association’s Division D,
Measurement and Research Methodology, <http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2 >.
Heron, P.R.L. (2015). Effect Of Lecture Instruction On Student Performance On Qualitative Questions.
Physical Review Special Topics-Physics Education Research,, 010102 (2015). DOI:
0.1103/PhysRevSTPER.11.010102
Hunter, M. (1982). Mastery teaching. El Segundo, CA: TIP Publications.
Ibrahim, B. & Rebello, N. S. 2013. Role of Mental Representations in Problem Solving: Students’ Approaches to
Nondirected Tasks. Physical Review Special Topics-Physics Education Research, 9, .
http://dx.doi.org/10.1103/ PhysRevSTPER.9.020106.
Mansyur, J. (2010). Phenomenographic Study of Cross-Academic Level Subjects’ Mental Model Aspects in
Physics Problem Solving of Mechanics Fundamental Concepts. Dissertation. Bandung, Graduate School
of Indonesia University of Education.
Mansyur, J. (2015). Teachers’ and Students’ Preliminary Stages in Physics Problem Solving. International
Education Studies, Vol. 8, No. 9, 2015.
Merrill, M.D. (2007). A Task-Centered Instructional Strategy. Journal of Research on Technology in Education,
2007, 40(1) Ningsih, H.Y.R., Mansyur, J., Darsikin & Kamaluddin. (2013). Physics Teachers’ Behaviour Using External
Representation in Learning Activity. Proceedings of National Seminar on Education. Palu: Tadulako
University.
Rahmilia, S., Mansyur, J. & Saehana, S. (2014). Students’ Mental-Modeling Ability of Electrostatics Concepts.
Proceedings of National Seminar on Physics and Physics Education, September 13, 2014, Solo. UNS.
Redish, E. F. (1994). Implications of Cognitive Studies for Teaching Physics. American Journal of Physics,
62(9), 796-803.
Redish, E.F. (2004). A Theoretical Framework for Physics Education Research: Modeling Student Thinking, in
E. Redish and M. Vicentini (Eds.), Proceedings of the Enrico Fermi Summer School, Course CLVI
(Italian Physical Society, 2004).
Reigeluth, C. M. & Frick, T. W. (1999). Formative Research: A Methodology for Creating and Improving
Design Theories. In C. M. Reigeluth (Ed.), Instructional-Design Theories and Models–A New Paradigm
of Instructional Theory (pp. 633-652). New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Reynolds, D. & Muijs, D (2011). Effective Teaching: Evidence and Practice.3rd edition. London: Sage
Publications Ltd.
Rosengrant, D., Van Heuleven, A. & Etkina, E. (2006). Students’ Use Of Multiple Representations In Problem
Solving. In P. Heron, L. McCullough and J. Marx, Physics Education Research Conference (2005 AIP
Conference Proceedings) (49-52). Melville , NY: American Institute of Physics.
13
Rosenshine, B. (2008). Five meanings of direct instruction. Center on Innovation & Improvement, Lincoln.
Rosenshine, B., & Stevens, R. (1986). Teaching functions. In M. Wittrock (Ed.), Handbook of research on
teaching (3rd ed.). New York: Macmillan
Sabia, Z. & Mansyur, J. (2013). The Used Time of Teachers and Students in Physics Problem Solving Stages.
Proceedings of National Seminar on Education. Palu: Tadulako University.
Thornton, R.K. (1999). Using the Results of Research in Science Education to Improve Science Learning.
International Conference on Science Education, Nicosia, Cyprus, January, 1999.
Wang, C.Y. (2007). The Role of Mental-Modeling Ability, Content Knowledge, and Mental Models in General
Chemistry Students’ Understanding about Molecular Polarity. Ph.D Dissertation. Columbia: University
of Missouri.
MODELLING
Review of previous
learrning review
Inform learning goal
Present new material in
small steps
Give clear and detailed
instructions and explanations
Practice for all students
Ask a large number of
questions
Guide students during initial
practice
Provide systematic feedback
and corrections
Provide explicit instruction
and practice
COACHING
Support tools
Enterprise scenario/problem
Integrative goal
SCAFFOLDING
Objectives
MACRO-STRATEGY PATTERNS OF DIRECT INSTRUCTION MICRO-STRATEGY
THINKING-ALOUD,
THE USE OF TIME,
THE USE OF DIAGRAM ,
SIMULTANEOUSNESS
RECIPROCAL TEACHING,
MULTIPLE REPRESENTATION
Figure 1. Hypothetical Design of Enhanced Direct Instruction
Context, representation,
manipulation space
Appendix A
Copyrights
Copyright for this article is retained by the author(s), with first publication rights granted to the
journal.
This is an open-access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons
Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).