Laporan Saliva

35
BLOK STOMATOGNATHIC SYSTEM LAPORAN KELOMPOK SALIVA Pembimbing/ Tutor: drg. Bambang Tri Hartomo Disusun oleh: Kelompok II Tati Sri Rahmawati G1G011004 Shafira F. Rahayu G1G011009 Melisa Kezia G1G011014 Dita Rahmat N. G1G011019 Andreta Farah Dila G1G011024 Izza Maulida G1G011029 Saskia Vyatarsi G1G011035 Afiya Fathina S. G1G011040 Meilya Putri Pamungkas G1G011045 Yulinda Riski C. G1G011050 Dennis Calvianto G1G010034 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Transcript of Laporan Saliva

Page 1: Laporan Saliva

BLOK STOMATOGNATHIC SYSTEM

LAPORAN KELOMPOK

SALIVA

Pembimbing/ Tutor:

drg. Bambang Tri Hartomo

Disusun oleh:

Kelompok II

Tati Sri Rahmawati G1G011004

Shafira F. Rahayu G1G011009

Melisa Kezia G1G011014

Dita Rahmat N. G1G011019

Andreta Farah Dila G1G011024

Izza Maulida G1G011029

Saskia Vyatarsi G1G011035

Afiya Fathina S. G1G011040

Meilya Putri Pamungkas G1G011045

Yulinda Riski C. G1G011050

Dennis Calvianto G1G010034

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2013

Page 2: Laporan Saliva

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dzat

Yang Maha Indah dengan segala keindahan-Nya, dzat Yang Maha Pengasih dengan

segala kasih sayang-Nya, yang terlepas dari segala sifat lemah makhluk-Nya. Berkat

Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Problem Based

Learning pertama tentang Saliva.

Laporan ini tidak mungkin bisa diselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penhargaann yang setinggi-tingginya

kepada:

1. drg. Bambang Tri Hartomo selaku tutor PBL-1 tentang saliva.

2. Orang tua yang telah memberi motivasi sehingga laporan ini dapat selesai.

Penulis menyadari sepenuhya bahwa laporan ini masih jauh dari

sempurna, dengan dasar itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

sifatnya membangun.

Purwokerto,29 April 2013

Penulis

i

Page 3: Laporan Saliva

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Tujuan 2

C. Manfaat 2

BAB II ISI

A. Skenario PBL 4

B. Proses Tutorial 1 4

C. Proses Tutorial 2/ Pembahasan 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 1 8

B. Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 20

ii

Page 4: Laporan Saliva

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Supartinah (2003) menjelaskan bahwa kesehatan rongga mulut seseorang

tidak dapat dipisahkan dari kesehatan umum individu tersebut, dimana keduanya

adalah suatu kesatuan. Masalah dalam rongga mulut dapat digunakan untuk

pertanda kelainan tubuh lainnya. Contohnya pada kasus penderita asma, dimana

ketika pasien tersebut mengonsumsi obat secara inhalansi maka 80% komponen

obatnya akan tertinggal di dalam mulut yang apabila tidak dibersihkan akan

meningkatkan resiko gingivitis, insidensi karies, kalkulus, dan erosi di gigi serta

perubahan pada komposisi maupun volume saliva. Penjelasan diatas

mencerminkan rongga mulut dapat digunakan sebagai suatu indikasi kesehatan.

Sinaga (2002) menjelaskan saliva dikenal pula dengan istilah salivia

maupun air ludah yang merupakan sekresi cairan dari glandula salivarius mayor

dan glandula salivarius minor yang sangat penting bagi rongga mulut itu sendiri.

Komposisi saliva secara garis besar terbagi menjadi komponen organik,

anorganik, makromolekul dan air. Komponen - komponen saliva yang berada

pada komposisi normal akan mempengaruhi keefektivitasan masing-masing

fungsi saliva yang berbeda berdasar komponen penyusunnya. Fungsi saliva

diantaranya membantu proses pencernaan makanan, membantu proses bicara,

sebagai sistem pertahanan primer tubuh dalam bentuk antiviral, anti bakteri, dan

anti fungal selain itu ia juga berfungsi sebagai mekanisme self-cleansing rongga

mulut.

Saliva berdasar stimulasinya dibagi menjadi saliva yang tidak terstimulasi

dan saliva yang terstimulasi. Saliva yang tidak terstimulasi dapat selalu

ditemukan dalam waktu 24 jam dimana ia lebih akurat dalam pengecekan terkait

kondisi sistemik pasien dibanding pengecekan menggunakan saliva yang

terstimulasi. Saliva yang terstimulasi sendiri dapat ditemukan melalui beberapa

proses yaitu mekanis, kimiawi, neuronal, psikis, dan rasa sakit. Pembagian

1

Page 5: Laporan Saliva

volume saliva yang tidak terstimulasi dengan volume saliva yang terstimulasi

akan menghasilkan volume saliva yang dikenal dengan curah saliva yang

kemudian digunakan sebagai salah satu indikator adanya kelainan saliva.

Produksi saliva oleh glandula salivarius baik mayor atau minor selain

dipengaruhi ada tidaknya stimulasi, juga dipengaruhi oleh beberapa hal lain

seperti usia dan jenis kelamin, serta keadaan fisik seseorang yang akan dijelaskan

pada bab selanjutnya (Williamson, 2012).

Williamson, dkk (2012) menambahkan bahwa kini saliva dapat berfungsi

sebagai biomarker. Saliva sebagai biomarker disini sebagai pemeriksaan

penunjang dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit. Penggunaan saliva

sebagai biomarker mulai banyak digunakan mengingat saliva lebih mudah dan

lebih aman didapatkan dibanding komponen darah serta lebih cepat waktu

pengambilannya karena dapat dilakukan oleh pasien sendiri. Beberapa

pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan saliva diataranya organisme spesifik,

kadar immunoglobulin, dan komponen saliva lainnya. Hal yang perlu diingat

ketika pemeriksaan saliva ini adalah adanya variasi yang besar antar individu,

selain itu ia bersifat multifaktor. Penjelasan diatas menjadi alasan mengapa

mahasiswa kedokteran gigi perlu mengetahui saliva sebagai biomarker dan

diharapkan dapat diaplikasikan dalam penetapan diagnosis ketika menjadi dokter

gigi (Sinaga, 2002).

B. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui komponen saliva dan terkait dengan fungsinya.

2. Mahasiswa dapat mengetahui kondisi normal saliva.

3. Mahasiswa dapat mrngrtahui faktor-faktor yang mempengaruhi curah saliva.

4. Mahasiswa dapat mengetahui dan mengerti fungsi saliva sebagai biomarker.

5. Mahasiswa mengetahui penyakit-penyakit yang terkait dengan saliva.

C. Manfaat

1. Mengetahui dan memahami komposisi, komponen-komponen penyusun saliva

besera fungsi dari setiap komponen tersebut.

2

Page 6: Laporan Saliva

2. Mengetahui dan memahami kondisi normal saliva yang kemudian terkait

dengan kelainannya.

3. Mengetahui dan memahami factor-faktor yang mempengaruhi produksi dari

curah saliva.

4. Mengetahui dan memahami fungsi saliva sebagai biomarker.

5. Mampu mengetahui penyakit – penyakit yang terkait dengan saliva.

3

Page 7: Laporan Saliva

BAB II

ISI

A. Skenario

Saliva is composed of water, organic, inorganic, and macromolecules.

Salivary composition is not constant and related to the Circadian cycle. The

consentration of the various components of saliva is markedly affected by

variations in flow rate.

It has become apparent that many systemic diseases, for example

Sjӧgren’s Syndrome, affect salivary gland function and salivary composition.

Studies of the effects of systemic diseases in salivary variables have been

valuable in understanding the pathogenesis of the role and the role of saliva as

biomarkers.

Salivary biomarker is an increasingly important. A growing number of

drugs, hormones, and antibodies can be reliably monitored in saliva, which is in

easily obtainable, non-invasive diagnostic medium. In addition to measuring

antibody, it is possible to identify a number of viral antigens in saliva.

B. Proses Tutorial 1 (Step 1- Step 5)

1. Step 1

a. Saliva: air ludah, diproduksi oleh kelenjar salivarius.

b. Circardian cycle: siklus hormon harian.

c. Sjogren’s Syndrome: sindroma mulut terbakar, salah satu manifestasinya

adalah xerostomia.

d. Systemic disease: penyakit yang menyerang sistem tubuh tertentu yang

dapat mempengaruhi sistem tubuh yang lain.

e. Biomarker: penanda adanya sesuatu yang tidak normal pada tubuh.

2. Step 2

a. Apa saja komponen-komponen yang terdapat dalam saliva?

b. Apa saja fungsi dari saliva?

4

Page 8: Laporan Saliva

c. Bagaiman ciri-ciri saliva normal dan tidak normal?

d. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sekresi saliva?

e. Apa hubungan sekresi saliva dengan irama sirkadian?

f. Bagaimana peran saliva sebagai biomarker?

g. Apa saja penyakit sistemik lain yang berhubungan dengan sekresi saliva?

3. Step 3

a. Komponen saliva

1) Air

2) Bahan Organik: IgA

3) Bahan Anorganik: ion Ca, K, Mg, Cl, gas , ,

4) Macromolecules: protein

b. Fungsi saliva

1) Self cleansing

2) Menetralisir asam

3) Membantu menghancurkan makanan

4) Membantu pengecapan

5) Sebagai antibodi, antibakteri, antiviral, antifungal

6) Untuk lubrikasi

c. Ciri-ciri saliva

1) Normal

a) pH netral

b) Warna jernih

c) Sekresinya 500-600 ml/hari

d) Tidak berbau

e) Tidak berasa

2) Tidak Normal

a) pH terlalu asam / terlalu basa

b) Berwarna keruh

c) Sekresi kurang/berlebih

5

Page 9: Laporan Saliva

d) Berbau

e) Terasa pahit

f) Lebih kental/pekat

d. Faktor yang berpengaruh pada sekresi saliva

1) Rangsang lapar dan makan

2) Adanya kelainan pada kelenjar salivarius

3) Adanya penyakit sistemik

4) Obat-obatan

5) Suhu

6) Cahaya

7) Posisi tubuh

8) Aktivitas

9) Irama sirkadian

10) Kondisi rongga mulut

11) Usia

12) Jenis kelamin

e. Hubungan sekresi saliva dengan irama sirkadian

Sekresi saliva bergantung pada irama sirkadian, dimana pada saat pagi

hari sekresinya akan lebih banyak dibanding dengan malam hari, ini dapat

dikarenakan posisi serta aktivitas tubuh di malam hari lebih rendah

dibandingkan di pagi dan siang hari.

f. Saliva sebagai biomarker

Saliva dapat menjadi penanda adanya kerusakan pada kelenjar

salivarius dan adanya virus atau bakteri, serta dapat membantu memperkuat

diagnosis penyakit-penyakit yang berkaitan dengan sekresi dan komponen

yang ada pada saliva.

g. Penyakit sistemik terkait sekresi saliva

1) HIV/AIDS

2) Diabetes Melitus

3) Diabetes Insipidus

6

Page 10: Laporan Saliva

4) Hepatitis

5) Stroke

6) Parkinson’s Disease

7) Parotitis

4. Step 4

a. Dijadikan LO

b. Fungsi saliva

1) Self cleansing

2) Menetralisir asam

3) Membantu menghancurkan makanan

4) Membantu pengecapan

5) Sebagai antibodi, antibakteri, antiviral, antifungal

6) Untuk lubrikasi

(Sherwood, 2011)

c. Dijadikan LO

d. Faktor yang mempengaruhi sekresi saliva

1) Rangsang lapar dan makan

2) Adanya kelainan pada kelenjar salivarius

3) Adanya penyakit sistemik

4) Obat-obatan

5) Suhu

6) Cahaya

7) Posisi tubuh

8) Aktivitas

9) Irama sirkadian

10) Kondisi rongga mulut

11) Usia

12) Jenis kelamin

(Kidd, 1991)

7

Page 11: Laporan Saliva

e. Hubungan sekresi saliva dengan irama sirkadian

Sekresi saliva bergantung pada irama sirkadian, dimana pada saat pagi

hari sekresinya akan lebih banyak dibanding dengan malam hari, ini

dikarenakan posisi serta aktivitas tubuh di malam hari lebih rendah

dibandingkan di pagi dan siang hari (Brooker, 2008).

f. Dijadikan LO

g. Dijadikan LO

5. Step 5

a. Komposisi dan komponen yang terdapat dalam saliva (terkait fungsi

saliva).

b. Ciri-ciri saliva normal dan tidak normal.

c. Hubungan rangsang lapar dan makan dengan sekresi saliva.

d. Peran saliva sebagai biomarker.

e. Siklus yang berpengaruh pada sekresi saliva selain siklus sirkadian.

f. Penyakit-penyakit sistemik lain yang berkaitan dengan sekresi saliva.

C. Proses Tutorial 2 (Pembahasan/Step 7)

1. Komposisi dan Komponen yang Terdapat Dalam Saliva (Terkait Fungsi

Saliva).

Saliva merupakan sekresi dari kelenjar salivarius mayor dan kelenjar

salivarius minor yang keluar melelui duktus pendek dalam rongga mulut.

Kelenjar salivarius mayor ini terdiri dari tiga kelenjar utama, yaitu kelenjar

parotis yang mensekresi serous, kelenjar submandibular yang mensekresi

serous dan mukus, serta kelenjar sublingualis yang mensekresi mukus

(Sherwood, 2011). Sekresi dari kelenjar tersebut memiliki kandungan tertentu,

antara lain :

a. Air

8

Page 12: Laporan Saliva

Air merupakan komponen terbesar pada saliva. Presentase kandungan

air pada saliva ini ialah 99,5% dan 0,5% kandungannya berasal dari

elektrolit dan protein (Hashim, 2010).

b. Komponen anorganik

1) Klorida

Ion klorida merupakan salah satu kandungan anorganik saliva

yang memiliki fungsi untuk mengaktivasi enzimatik α-amilase.

2) Kalsium dan fosfat

Fungsi dari kalsium dan fosfat pada saliva adalah untuk

melakukan remineralisasi email, sehingga ketika terjadi

demineralisasi email dari perlekatan bakteri tersebut dapat

digagalkan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kalsium dan fosfat

memiliki salah satu fungsi saliva sebagai self cleansing.

3) Rodanida dan Thiosinat

Rodanida dan thiosinat berperan sebagai agen antibakterial

yang sistem kerjanya bekerja sama dengan sistem laktoperosidase.

4) Bikarbonat

Bikarbonat memiliki fungsi dan peranan sebagai buffer

terpenting. Peran buffer tersebut ialah dapat mengembalikan pH

saliva kembali mendekati normal saat keadaan terlalu asam maupun

terlalu basa.

(Hashim, 2010)

c. Komponen organik

Komponen organik penyusun saliva ini secara umum terdiri dari

protein, lipid, glukosa, asam lemak, asam amino, amoniak, dan vitamin.

Komponen organik utamanya ialah protein yang memiliki kuantitaf

pentingnya yaitu enzim α-amilase. Protein yang terkandung tersebut

merupakan protein yang kaya prolin, musin, dan imunoglobulin. Protein

juga mampu untuk meningkatkan ketebalan acquired pellicle, sehingga

mampu untuk menghambat pengeluaran ion fosfat dan kalsium dari

9

Page 13: Laporan Saliva

enamel. Produksi dari protein ini berasal dari lapisan luar epitel glandula

salivarius (Hashim, 2010).

Macam-macam komponen organik pada saliva terkait fungsi, antara

lain :

1) α-amilase

Enzim α-amilase ini merupakan penggerak awal mula

terjadinya pencernaan karbohidrat di dalam mulut. Enzim tersebut

merupakan kesatuan karbohidrat kecil yang dapat memecahkan

polisakarida menjadi monosakarida, sehingga lebih mudah dicerna

(Hashim, 2010).

2) Lisozim

Lisozim memiliki peranan penting sebagai agen antibakterial

yang dapat melisiskan bakteri dengan cara merusak dinding selnya

dan membilas bahan makanan yang berperan sebagai pertumbuhan

bakteri (Hashim, 2010).

3) Kalikren

Kalikren merupakan protein tertentu didalam saliva yang

merupakan faktor pembekuan darah XII, VII, IX, dan platelet

(Hashim, 2010).

4) Laktoperosidase

Latoperosidase berfungsi untuk mengkatalis oksidasi CNS

(thiosinat) menjadi OSCN (hypothiosinat), sehingga dapat

menghambat pertukaran dan pertumbuhan zat bakteri (Hashim,

2010).

5) Mucin

Kandungan mucin didalam rongga mulut memiliki peranan dan

fungsi penting dalam mencegah terjadinya kekeringan didalam

rongga mulut, membentuk makanan menjadi bolus, dan sebagai agen

antibakteri serta antivirus. Terlibatnya mucin sebagai agen antibakteri

10

Page 14: Laporan Saliva

dan antivirus tersebut disebabkan oleh kandungan IgA di dalam

saliva (Hashim, 2010).

6) Gustin

Komponen gustin dalam saliva memiliki pernanan dalam

proses pengecapan, karena gustin tersebut mampu untuk

memaksimalkan fungsi dari kuncup kecap (Hashim, 2010).

7) Immunoglobulin

Immunoglobulin terlibat pada sistem penolakan fisik dan agen

antibakteri. Immunoglobulin terdiri dari sebagian besar IgA

sekretorik (SIgA) dan sebagian kecil IgM dan IgG. Aktivitas

antibakteri SIgA yang terdapat dalam mukosa mulut bersifat mukus

dan bersifat melekat dengan kuat, sehingga antigen dalam bentuk

bakteri dan virus akan melekat erat dalam mukosa mulut yang

kemudian dilumpuhkan oleh SIgA. Bakteri mulut yang diselubungi

oleh SIgA lebih mudah difagositosis oleh leukosit (Amerongen, 1991

dan Rensburg, 1995).

8) Protein Kaya Prolin

Protein kaya prolin membentuk suatu kelas protein dengan

berbagai fungsi penting yaitu mempertahankan konsentrasi kalsium

di dalam saliva agar tetap konstan yang menghambat demineralisasi

dan meningkatkan remineralisasi (Amerongen, 1991).

9) Sistem Peroksidase

Peroksida berperan sebagai sistem antibakteri yang banyak

hadir pada kelenjar parotis, terdiri dari hidrogen peroksida, tiosanat

dan laktoproksidase (Rensburg, 1995). Sistem ini menghambat

produksi asam dan pertumbuhan bakteri streptokokus dan

laktobasilus yang ikut menjaga pH rongga mulut sekaligus

mengurangi terjadinya karies akibat asam yang dihasilkan oleh

bakteri (Grant, 1988).

11

Page 15: Laporan Saliva

10) Laktoferin

Laktoferin merupakan hasil produksi sel epitel kelenjar dan

leukosit PMN yang mempunyai efek bakterisid yang merupakan

salah satu fungsi proteksi terhadap infeksi mikroorganisme ke dalam

tubuh manusia (Roth, 1981). Laktoferin juga mengikat ion ion Fe³+,

yang diperlukan bagi pertumbuhann bakteri (Amerongen, 1991).

2. Ciri-Ciri Saliva Normal dan Tidak Normal

a. Ciri saliva normal

1) Rata-rata laju sekresi: Unstimulated 0,3-0,4 ml/menit

Stimulated 1-3 ml/menit

(Tenevuo, 1994)

2) Tidak berwarna, tidak berbuih, dan jernih (Amerogen, 1991).

3) pH berkisar 6,0 – 7,4, dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi, tanpa

stimulasi (Hofman, 2001).

4) Terdiri dari air (90%), komponen organik (0,2%), dan komponen

anorganik (0,3%) ( Talwar, 2006).

5) Komposisi dari komponen anorganik:

a) Bikarbonat: 5,7 ± 2,7 mmol/L

b) Sodium: 8,5 – 24 mmol/L

c) Potasium: 12,5 – 16 mmol/L

d) Kalsium: 2,3 – 2,5 mmol/L

e) Clorida: 2,5 – 17,5 mmol/L

f) Fosfor: 7,5 – 21 mmol/L

(Talwar, 2006)

6) Rata-rata laju sekresi pada keadaan tertentu:

a) Tidur: 0,1 ml/menit

b) Terjaga: 0,3 ml/menit

c) Mengunyah: 4 ml/menit

(Hofman, 2001)

b. Ciri saliva tidak normal

12

Page 16: Laporan Saliva

1) Hiposalivasi atau xerostomia adalah suatu keadaan dimana rata-rata

laju sekresi saliva dibawah dari kadar normal. Terkadang menimbulkan

gejala mulut terbakar (Hashim, 2010 dan Bradley, 2010).

2) Hipersalivasi atau disebut juga dengan sialorrhea merupakan suatu

keadaan dimana rata-rata laju sekresi salisi melibihi dari kadar normal.

Hipersalivasi minor akan menyebabkan iritasi lokal. Sedangkan

hipersalivasi mayor akan mengakibatkan angular cheilitis (Neil, 2004).

3) Rata-rata laju sekresi:

a) Unstimulated dibawah 0,1 ml/menit termasuk hiposalivasi dan

dikatakan rendah bila berkisar 0,1-0,25 ml/menit.

b) Stimulated dibawah 0,7 ml/menit termasuk hiposalivasi dan

dikatakan rendah bila berkisar 0,7-1 ml/menit.

(Tenovuo, 1994)

3. Hubungan Rangsang Lapar dan Makan dengan Sekresi Saliva.

Menurut Amerongen (1991), pada proses sekresi saliva dapat dipengaruhi

oleh beberapa rangsang diantaranya :

a. Rangsang kimiawi: berupa rasa pedas, asam, manis, dan sebagainya.

b. Rangsang mekanis: berupa rangsang pengunyahan

c. Rangsang sakit : gingivitits, protesa, dan adanya inflamasi

d. Rangsang psikis : kondisi stress dan marah.

e. Rangsang neurologis : berasal dari saraf otonom baik simpatis maupun

parasimpatis.

Menurut Talwar (2006), sekresi saliva sebagian besar berada dibawah

kontrol sistem saraf otonom yaitu rangsang saraf simpatis dan parasimpatis.

Rangsang saraf simpatis menyebabkan terjadinya vasokonstriksi sehingga

sekresi saliva menjadi sedikit, sedangkan rangsang saraf parasimpatis yang

disertai vasodilatasi pada kelenjar menyebabkan sekresi saliva dengan jumlah

banyak dan encer. Mekanisme sekresi saliva pada saat makan dan lapar adalah

sebagai berikut :

a. Mekanisme sekresi saat makan

13

Page 17: Laporan Saliva

Mula-mula makanan masuk ke dalam mulut, pada kondisi ini mulut

dan lidah berperan sebagai reseptor. Kemudian rangsang dihantarkan

menuju medula yang merupakan pusat dari sekresi saliva, rangsang dari

medula kemudian dihantarkan ke neuron parasimpatik. Oleh neuron

parasimpatik rangsang dihantarkan menuju nukleus salivarius, dimana

nukleus salivarius superior mempersrafi kelenjar sublingualis dan kelenjar

submandibularis. Nukleus salivarius inferior mempersarafi kelenjar

parotis, sedangkan kelenjar saliva minor akan dipersarafi oleh serabut

jaringan parasimpatis dari saraf fasial. Pada keadaan ini saluran kelenjar

mengalami vasodilatasi, sehingga saliva yang disekresikan dalam jumlah

banyak dan encer (Amerongen, 1991).

b. Mekanisme sekresi saliva saat lapar

Mekanisme sekresi saliva dalam kondisi lapar merupakan refleks yang

terkondisi, dimana rangsangan dapat berupa melihat makanan,

membayangkan makanan maupun mencium makanan. Rangsang diterima

oleh korteks serebri, kemudian ke hipotalamus anterior dan medula yang

merupakan pusat kontrol saliva. Rangsang dihantarkan oleh neuron

parasimpatik menuju nukleus salivarius. Nukleus salivarius superior

mempersrafi glandula submandibularis dan glandula sublingualis,

sedangkan nukleus salivarius inferior mempersarafi glandula parotis.

Glandula salivarius minor dipersrafi oleh serabut jaringan parasimpatis

dari saraf fasial (Talwar, 2006).

4. Peran Saliva sebagai Biomarker.

Cairan saliva memiliki sifat seperti darah dan urine yang ternyata

dapat juga digunakan untuk mendeteksi dan mengukur berbagai jenis

komponen-komponen didalam tubuh. Saliva dapat dengan mudah diperoleh

secara cepat tanpa rasa sakit dan berguna untuk diagnosis, cairan ini sangat

potensial menggantikan tes darah untuk mendapatkan diagnosis dari beberapa

penyakit, seperti Diabetes Melitus, penyakit Parkinson, Sjogren’s Syndrome

dan beberapa penyakit infeksi lainnya (Hashim, 2010).

14

Page 18: Laporan Saliva

Prinsip penggunaan saliva sebagai biomarker adalah dilihat dari

keadaan normal saliva itu sendiri yaitu:

a. Dilihat dari komposisi normal saliva

1) Saliva normal memiliki komponen-komponen tertentu dengan jumlah

tertentu, apabila terdapat komponen lain pada saliva seperti GCF, atau

leukosit tertentu maka dapat diasumsikan terdapat suatu kelainan pada

rongga mulut tersebut yang mungkin juga merupakan pengaruh dari

suatu penyakit sistemik (Hashim, 2010).

2) Menurut penelitian, dalam keaadaan normal saliva memiliki

komponen sitokin yang juga terdapat pada darah, yaitu IL-6, IFN-

gamma, dan MIP-1beta. Ketiga sitokin tersebut dapat digunakan dalam

evaluasi penyakit sistemik tanpa mengambil sampel darah. Namun

karena hanya terdapat sedikit sitokin yang berada pada saliva maka ia

hanya dapat digunakan sebagai biomarker penyakit tertentu saja. Cara

untuk mengetahui adanya kelainan adalah dengan membandingkan

nilai normal ketiga sitokin tersebut dengan nilai setelah dilakukan

pemeriksaan (Williamson, 2012).

3) Selain itu kadar obat-obatan serta hormon di dalam saliva

menunjukkan kadar yang sama dengan yang terdapat pada darah dan

dapat diukur dari sampel pada beberapa keadaan klinis. Seperti

pemeriksaan progesterone, kortisol, aldosteron, estrogen dan testoteron

untuk melihat level dari berbagai obat-obatan seperti lithium,

phenobarbital dan theophylin yang digunakan untuk perawatn depresi,

epilepsy serta asma (Hashim, 2010).

b. Dilihat dari volume normal saliva

1) Saliva sebagai media diagnosa atau biomarker dapat dilihat pada

beberapa keadaan seperti pada saat berkurangnya sekresi saliva.

Berkurangnya sekresi pada saliva akibat dari gangguan dalam

pengaturan air serta elektrolit, kesehatan umum yang menurun,

15

Page 19: Laporan Saliva

defisiensi vitamin, perubahan hormonal (contohnya pada ibu hamil),

penyakit atau keadaan abnormal kelenjar saliva, selain itu

berkurangnya produksi sekresi saliva juga karena pengaruh obat-

obatan (Hashim, 2010).

Terdapat beberapa teknik atau metode yang digunakan dalam

pemeriksaan saliva sebagai media diagnose seperti:

a. Untuk menentukan jumlah organisme spesifik dapat dilakukan dengan

cara mengusap sejumlah saliva pada media perbenihan selektif.

Kemudian media dimasukkan ke dalam inkubator selama 16-18 jam maka

setelah itu akan terlihat pertumbuhan koloni. Selanjutnya koloni yang

tumbuh satu-satu diambil dan dilakukan pewarnaan gram, kemudian

dilihat di bawah mikroskop (Tanjung M, 2000).

b. Untuk mendeteksi immunoglobulin di dalam saliva, digunakan metode

Imunopresipitasi Ouchterlony (Hashim, 2010).

c. Pemeriksaan saliva secara serologis dengan metode ELISA (Enzyme

Linked Immunosorbent Assay), dapat digunakan untuk mendiagnosa virus

yang ada di dalam saliva seperti virus Hepatitis B yaitu dengan

terdeteksinya HbsAg dan HbeAg dalam saliva (Williamson, 2012).

d. Teknik terbaru dalam penggunaan saliva sebagai media diagnosis yaitu

dengan penggunaan microchip. John T. McDevitt, seorang profesor kimia

di Rice Research Bioscience Collaborative telah mengembangkan sebuah

sensor microchip “Nano-Bio-Chip” yang menggunakan saliva (Hashim,

2010).

5. Siklus yang Berpengaruh pada Sekresi Saliva Selain Siklus Sirkadian.

Siklus yang terkait saliva selain siklus sirkadian yaitu salah satunya

adalah siklus sirkanual. Siklus sirkanual ini merupakan siklus tahunan yang

dipengaruhi oleh musim. Pada musim panas sekresi saliva berkurang, yang

dapat mengakibatkan haus atau dehidrasi, sedangkan pada musim dingin

kondisi salivanya meningkat (Rantonen, 2003).

6. Penyakit-Penyakit Sistemik yang Berkaitan dengan Saliva

16

Page 20: Laporan Saliva

a. Lupus Eritematosus Sistemik (LES). LES ini dapat menyebabkan

berkurangnya produksi saliva atau xerostomia (Sultana dan Sham, 2011).

b. Rheumatoid arthritis. Penyakit ini dapat menyebabkan mulut kering (Sllm

dan Thomas, 2012).

c. Autoimmune Pancreatitis. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan

fungsi saliva dikarenakan pemakaian obat golongan steroid (Witt, 2005).

d. Parkinson’s disease. Penyakit tersebut dapat menyebabkan hipofungsi

dari glandula salivarius (Bradley, 2010).

e. Kanker. Kemoterapi dan Radioterapi yang digunakan dalam pengobatan

kanker dapat mengakibatkan xerostomia dan disfungsi kelenjar saliva

(Sllm dan Thomas, 2012).

f. HIV/AIDS. Xerostomia dapat muncul pada HIV/AIDS, Selain itu

HIV/AIDS juga sering menyebabkan pembengkakan pada glandula

salivarius major (Sllm dan Thomas, 2012).

g. Hepatitis A, B, C. Hepatitis dapat menyebabkan xerostomia (Janjua,

dkk., 2012).

h. Diabetes Mellitus (DM). DM dapat mengakibatkan pembesaran glandula

salivarius dan mulut kering (Witt, 2005).

i. Kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi. Pemakaian obat antihipertensi

mengakibatkan mulut kering (Scully, 2003).

j. Malnutrisi. Kekurangan kalori dan protein menyebabkan berkurangnya

volume saliva, pH rendah dan waktu alir saliva yang rendah (Suparlinah,

2003).

k. Hypotiroidism. Penyakit ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran

saliva (Witt, 2005).

17

Page 21: Laporan Saliva

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Saliva merupakan cairan oral yang merupakan hasil sekresi dari kelanjar

saliva. Komponen terbesar saliva adalah air (hampir 99%) dan sisanya merupakan

bahan organik dan bahan anorganik. Baik bahan organik maupun anorganik

tersebut ada yang berbentuk mikromolekul maupun makromolekul. Bahan organik

saliva antara lain protein, asam lemak dan lipid, serta glukosa. Sedangkan bahan

anorganik antara lain bikarbonat, kalium kalsium, natrium, klorida, fosfat dan

thiosianat.

Saliva normal memiliki rata-rata laju sekresi 0,3 – 0,4 ml/menit tanpa

stimulasi, sedangkan apabila distimulasi dapat mencapai 1-3 ml/menit. Nilai pH

normal saliva adalah 6,0 – 7,4 dengan rata-rata 6,8 pada semua kondisi tanpa

stimulasi. Kemudian saliva juga memiliki nilai-nilai ambang normal tertentu

untuk setiap komponennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi curah saliva sangat

beragam, seperti posisi, aktivitas, jenis rangsangan yang diterima. konsumsi obat-

obatan serta beberapa siklus seperti siklus sirkadian dan sirkanual.

Cairan saliva memiliki sifat seperti darah dan urine yang ternyata dapat juga

digunakan sebagai biomarker untuk mendeteksi dan mengukur berbagai jenis

komponen-komponen didalam tubuh. Saliva dapat dengan mudah diperoleh

secara cepat tanpa rasa sakit, cairan ini sangat potensial menggantikan tes darah

untuk mendapatkan diagnosis dari beberapa penyakit.

Berbagai penyakit sistemik maupun penyakit lokal dapat menyerang saliva.

Beberapa penyakit sistemik yang erat kaitannya dengan saliva adalah Diabetes

Melitus, HIV, serta Hepatitis .

B. Saran

Page 22: Laporan Saliva

Kebanyakan orang beranggapan bahwa air liur atau saliva tidak mempunyai

arti apa-apa dan ia sering dilihat sebagai suatu benda yang menjijikkan.

Sebaliknya tanpa kita sadari, cairan di dalam rongga mulut ini bukan saja penting

untuk pencernaan makanan tetapi juga dapat memberi informasi tentang kondisi

tubuh dan digunakan secara meluas untuk mendiagnosa penyakit lokal dan

sistemik. Untuk itu diharapkan mahasiswa dapat memahami lebih dalam

mengenai saliva baik kondisi normalnya maupun fungsinya.

19

18

Page 23: Laporan Saliva

DAFTAR PUSTAKA

Amerogen, A. V. N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah, Edisi 1, UGM, Yogyakarta

Bradley, P., J., 2010, Otorhinolaryngology, Head & Neck Surgery, Springer-Verlag,

Heidelberg

Brooker, C., 2008, Ensiklopedia Keperawatan, (diterjemahkan oleh: Bhram U. Pendit

dan Dwi Widiarti), EGC, Jakarta

Grant, D. A. ; B. S. Irving. ; G. E. Frank. 1988. Orbans Periodontics a Concept

Theory and Pratice. 4th ed. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 99 101

Hashim, A. B., 2010, Saliva Sebagai Media Diagnosa, Tesis, Fakultas Kedokteran

Gigi, Universitas Sumatera Utara, Medan

Hofman, L. F., 2001, Innovative non-or Minimally-Invasive Technologies for

Monitoring Health and Nutrition Status in Mothers and Young Children,

Journal Nutrition

Janjua, O., S., Manzoor, A., Syed, M., Jamil, R., Abbas, T., dan Amjad, A., 2012,

Frequency of Xerostomia in Patients Suffering From Hepatitis B and C,

Pakistan Oral & Dental Journal, 32(1): 42-45

Kidd, E. A. M., Joyston, S., 1991, Dasar-dasar Karies: Penyakit dan

Penanggulangannya, (diterjemahkan oleh: Narwan Sumawinata dan Safrida

Faruk), EGC, Jakarta

Neil, G, H, Daniel, S, S, Kristin, G, dan Steven, D, H, 2004, Sialorrhea: A

Management Challenge, A-peer reviewed journal of the American Academy of

Family Physician, Jun 1, 69(11) : 2628-2635.,

20

Page 24: Laporan Saliva

http://www.aafp.org/afp/2004/0601/p2628.html, diakses pada hari Sabtu, 27

April 2013 pukul 19.33 WIB

Rantonen, P., 2003, Salivary Flow and Composition in Healthy and Diseased Adults,

http://ethesis.hesinki.fi/julkaisut/laa/hamma/vk/rantonen/salivary.pdf, diakses

pada 29 April 2013

Rensburg, B. G. J. V. 1995. Oral Biology. Chicago: Quintessenc Publishing Co. Inc

Roth, G. I. ; R. Calmes. 1981. Oral Biology. St. Louis : The C. V. Mosby Co. 8 : 196-

232

Scully, C., 2003, Drug Effects on Salivary Glands: Dry Mouth, Oral Diseases, 9:

165-176

Sherwood, L., 2011, Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, (diterjemahkan oleh:

Bhram U. Pendit), Ed. 6, EGC, Jakarta

Sinaga, S, 2002, Saliva sebagai Salah Satu Media dalam Penentuan Diagnosa

Penyakit, Skripsi, repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8523/1/980600086.pdf,

diakses pada hari Sabtu, 27 April 2013, pukul 19.00 WIB

Sllm, L., H., dan Thomas, C., 2012, Xerostomia: A Continuing Challenge for Oral

Healthcare Professionals,

http://www.dentalcare.com/media/en-US/education/ce96/ce96.pdf, diakses pada

Selasa, 30 April 2013 pukul 16.55 WIB

Sultana, N., dan Sham, M., E., 2011, Xerostomia: An Overview, International

Journal of Dental Clinics, 3(2): 58-61

Supartinah, A, 2003, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FKG UGM : Saliva dan

Kaitannya dengan Penyakit Rongga Mulut Anak, Makalah,

lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/998_pp0911162.pdf, diakses pada hari Sabtu, 27

April 2013, pukul 19.15 WIB

21

Page 25: Laporan Saliva

Talwar, G. P., Srivastava, L. M., 2006, Textbook of Biochemistry and Human

Biology, 3rd Edition, Asoke Gosh, New Delhi

Tanjung M, dkk. Isolasi bakteri dalam Penuntun praktikum Biologi Oral, Fakultas

Kedokteran gigi USU, Medan 2000: 1-2

Tenovuo, J. Lagerlof, F., Saliva In: Textbook of Clinical Cariology, 2nd Edition,

Munksgaard, Copenhagen

Williamson, S, Cindy, M, Rita P, Marry, J, P, dan Elswick, Jr, 2012, Research Article

Comparison of Biomarkers in Blood and Saliva in Healthy Adults,

www.hindawi.com/journals/nrp/2012/246178/, diakses pada hari Sabtu, 27

April 2013, pukul 19.30 WIB

Witt, R., 2005, Salivary Gland Diseases: Surgical and Medical Management, Thieme

Medical Publisher, New York

22