Laporan Resmi Praktikum Mce
-
Upload
erwinsitumorang -
Category
Documents
-
view
56 -
download
0
Transcript of Laporan Resmi Praktikum Mce
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
MARINE CULTURE ENGINEERING
DISUSUN OLEH :
RAHMAT JOANNOVAL
26020110120032
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
I. PENDAHULUAN
I.1Latar Belakang
Budi daya ikan laut merupakan suatu peluang yang sangat
besar bagi Indonesia. Selain wilayah laut dan pesisir yang begitu
luas, Indonesia berada di wilayah beriklim tropis , serta memiliki
spesies ikan laut ( dan biota nonikan) yang bernilai ekonomi
tinggi di pasar dunia.
Potensi produk mariculture mencapai 47 juta ton/ tahun,
yang sebagian besar terdiri dari ikan. Beberapa ikan penting dari
kelompok ikan demersal ( ikan yang hidup di dekat atau di dasar
laut) yang merupakan andalam dalam ekspor telah berhasil
dibudidayakan , diantaranya Ikan kerapu, Ikan kakap, Kuda laut,
Ikan nemo, dll. Budidaya ikan-ikan tersebut telah dilakukan
secara penuh, karena teknologi budidayanya telah dikuasai mulai
dari pembenihan hingga pembesaran.
Pengembangan Marine culture engineering merupaan
salah satu tindakan yang dilakukan dalam peningkatan produksi
dari budidaya laut (Marine culture) dengan melakukan rekayasa
teknologi pada proses budidayanya. Sehingga dengan rekayasa
ini hasil dari proses budidaya bisa meningkat dan bisa memenuhi
semua kebutuhan manusia.
Perkembangan Marine culture engineering terus meningkat
dari tahun-ke tahun. Hal ini terjadi karena semakin
meningkatnya pengetahuan manusia dalam pengembangan
budidaya laut, serta meningkatnya kebutuhan akan hasil dari
laut yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga
kegiatan Marine culture engineering ini diharapkan dapat
melakukan proses budidaya biota laut dengan tempat sedikit,
biaya murah, tapi hasilnya bisa memenuhi semua kebutuhan
yang diharapkan.
Pada Prinsipnya semua ikan laut dapat dipelihara di
tambak dan bak ( sistem bak resirkulasi). Namun untuk
memenuhi kebutuhan optimal pada ikan , terutama kualitas air,
dibutuhkan sejumlah peralatan, seperti aerator dan mesin
pompa. Karena itu, biaya produksi menjadi tinggi dan usaha
menjadi tidak ekonomis. Bila pemeliharaan ikan tersebut lebih
ekonomis dilakukan di laut dengan menggunakan hambpang,
JKD atau KJA, maka tentu lebih baik.
I.2Tujuan
- Mahasiswa diharapkan mampu melakukan pengukuran
parameter kualitas perairan pada budidaya sistem RAS dan
konvensional
- Mahasiswa diharapkan mampu menganalisa parameter
kualitas perairan budidaya organisme laut
I.3Manfaat
- Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini, manfaat yang
diperoleh adalah pengetahuan tentang hubungan
parameter perairan ( suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH)
terhadap organisme budidaya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 pH (Derajat Keasaman)
Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hydrogen dalam
larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hydrogen ( dalam mol per
liter) pada suhu tertentu atau dapat di tulis :
pH = -Log (H)+
Air murni (H2O) berasosiasi sempurna sehingga memiliki ion H+ dan ion
H- dalam konsentrasi yang sama, dan dalam keadaan demikian pH air murni=7.
Semakin tinggi konsentrasi ion H+, Akan semakin rendah Konsentrasi ion OH- dan
pH<7, Perairan semacam ini bersifat asam. Hal Sebaliknya terjadi jika konsentrasi
ion OH- yang tinggi dan pH > 7, maka perairan bersifat alkalis ( basa).
Semakin Banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi, reaksi bergerak
ke kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang menyebabkan pH air turun.
Reaksi sebaliknya terjadi dengan aktivitas fotosintesis yang membutuhkan banyak
ion CO2, menyebabkan pH air naik.
pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi
kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat
membunuh ikan budidaya . Pada pH rendah ( keasaman yang tinggi) kandungan
oksigen terlarut akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun,
aktivitas pernapasan naik dan selera makan ikan akan berkurang. Hal yang
sebaliknya terjadi pada suasana basa. Atas dasar ini , maka usaha budidaya ikan
akan akan berhasil baik dalam air dengan pH ( 6,5 – 9,0 ) dan pertumbuhan
optimal terjadi pada pH 7- 8,5 (Kordi, 2011).
II.2 Suhu
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal
adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan
metabolisme dan berkembang biak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat
penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung
didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan
dapat digunakan untuk menentukan densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat
digunakan untuk menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada
tempat dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima,
saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai
berikut:
1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun;
2) Kecepatan reaksi kimia meningkat;
3) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan
dan hewan air lainnya mati. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu
berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa.
Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh
secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan
yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton .
Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa
air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat
setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau
pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk
budidaya ikan laut adalah 27 – 32 0C . Kenaikan suhu perairan juga menurunkan
kelarutan oksigen dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas
ikan disamping akan menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme
perairan). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara
35 – 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme yang dapat
menyebabkan kematian (Afrianto,1990).
II.3 Salinitas
Untuk keperluan budidaya biota laut seperti ikan, salinitas disesuaikan
dengan spesiesbiota yang hendak dibudidayakan .Menurut valikangas dapat
disederhanakan sebagai berikut air tawar 0-0,5 ppt ; air payau 0,5-17 ppt dan air
laut di atas 17 ppt ( Nontji,1987)
Untuk keperluan budidaya biota laut, salinitas disesuaikan dengan spesies
biota yang hendak dibudidayakan. Artinya, lokasi yang dipilih salinitasnya sesuai
dengan spesies yang hendak dikultur.
Umumnya, ikan yang hidup di terumbu karang dan laut terbuka (ikan
pelagis) tumbuh pada salinitas antara 33-35 ppt. Ikan-ikan tersebut cukup toleran
terhadap perubahan salinitas yang lebar ( euryhaline), seperti bandeng ( Chanos
chanos), kakap jenaha ( Lutjanus johnii).
Untuk Jenis ikan Bandeng ( Chanos chanos) , dapat hidup pada perairan
laut, tambak air payau, maupun di air tawar. Ikan ini dapat berenang mulai dari
perairan laut yang salinitasnya tinggi, 35 ppt atau lebih, kemudian dapat masuk
mendekat ke muara-muara sungai ( salinitas 15-20 per mil) dan dapat masuk ke
sungai dan danau yang airnya tawar. Sehingga Bandeng digolongkan sebagai ikan
euryhaline (Kordi,2011).
II.4 DO ( Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut
digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak
(Afrianto,1990).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk
hidup didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya
oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang
banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung. Asmawi (1983)
menyatakan O2 terlarut yang baik adalah 5–10 mg/l, CO2 bebas tidak lebih dari 12
mg/l dan terendah 2 mg/l serta NH3 yang baik adalah kurang dari 1 mg/l. Pada
kadar NH3 0,053-0,280 mg/l kondisi larva udang masih cukup baik. Gangguan
NH3 terhadap larva mulai terlihat pada kadar 0,6 mg/l, kandungan NH3 yang baik
untuk pertumbuhan ikan kurang dari 1 mg/l dan CO2 berkisar 0,0-15,0 mg
(Afrianto,1990).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan
sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat
racun, konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk
menunjang secara normal komunitas akuatik di periaran . Kandungan oksigen
terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Kordi,2011).
II.5 Amoniak
Amonia biasanya menjadi kendala dalam kegiatan budidaya yang dapat
mengganggu kesehatan ikan atau bahkan bisa mematikan. Hewan akuatik
umumnya mengekskresikan amonia (NH3) sebagai hasil dari proses metabolisme
dan sebagai produk ekskretori (dari ginjal, jaringan insang). Amonia juga
sebagai hasil dekomposisi protein dari sisa pakan atau plankton yang mati. Kadar
amonia yang tinggi umumnya terdapat pada kolam budidaya yang tidak
mempunyai sirkulasi air yang baik atau kolam sistem tertutup. Kadar amonia yang
tinggi tersebut dalam perairan bisa berasal dari limbah budidaya yang berupa
kotoran ikan serta berasal dari sisa pakan yang tidak termakan. Sisa pakan akan
mengendap di dasar perairan dan akan meracuni ikan budidaya. Namun untuk
perairan yang luas (terbuka) limbah amonia yang dihasilkan akan segera
tercampur dengan lingkungan sehingga kadarnya menurun atau tidak ada. Di
perairan, ammonia umumnya terlarut dalam bentuk NH4+. Kemudian, Kadar
Amonia di perairan akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan pH.
Keberadaan amoniak dalam air dapat menyebabkan berkurangnya daya
ikat oksigen oleh butir-butir darah, hal ini akan menyebabkan nafsu makan ikan
menurun. Kadar oksigen dan amoniak didalam perairan berbanding terbalik,
apabila amoniak meningkat maka kadar oksigen menjadi rendah, kadar amoniak
yang baik adalah kurang dari 1 ppm, sedangkan apabila kadar amoniak lebih dari
1 ppm maka hal itu dapat membahayakan bagi ikan dan organisme budidaya
lainya. (Andrianto, 2005).
Adapun sumber amonia diperairan adalah hasil dari pemecahan nitrogen
organik (protein dan urea) serta nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah
dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik
yang telah mati) oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi
(Efendi, 2003). Toksisitas amonia meningkat pada saat kelarutan oksigen rendah
dan pengaruh racunnya menurun ketika terjadi peningkatan konsentrasi CO2,
sehingga amonia jarang dijumpai pada perairan dengan kelarutan oksigen yang
cukup
Begitu kadar amonia meningkat dalam air, maka ekskresi ammonia oleh
ikan akan menurun dan kadar ammonia dalam darah dan jaringan meningkat.
Hasilnya adalah meningkatnya pH darah dan berpengaruh buruk terhadap reaksi
katalis enzim dan stabilitas membran. Ammonia juga meningkatkan konsumsi
oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk
mengangkut oksigen. Perubahan histology terjadi di dalam ginjal, empedu,
kelenjar thyroid dan darah ikan yang terkena konsentrasi sublethal ammonia
(Efendi, 2003).
Peningkatan laju ekskresi ammonia pada suhu perairan yang lebih tinggi
mengindikasikan bahwa laju metabolisme yang semakin tinggi pula yang secara
parsial memicu proses deaminasi asam amino dan penurunan bobot tubuh
.Tingkatan spesifik dari ekskresi ammonia dengan peningkatan bobot tubuh
merefleksikan tingkat metabolisme spesifik yang lebih rendah dalam tubuh hewan
yang lebih besar (Efendi, 2003).
II.6 Sistem Resirkulasi Air
Sistem resirkulasi air merupakan salah satu cara mempertahankan kondisi
kualitas air pada kisaran yang optimal. Sistem resirkulasi akan menstabilkan
kualitas air seperti oksigen yang tinggi, suhu air yang s intervensi akumulasi sisa
pakan dan feses ke dalam media (Anonim,2013).
Dalam sistem resirkulasi kolam air dialirkan dari tangki ikan ke filter biologi lalu
kembali lagi ke tangki ikan. Filter biologi tersebut adalah bioreactor atau tempat
tumbuhnya bakteri bakteri pengurai Nitrosomonas dan Nitrobacter. Dengan
demikian tujuan dari sistem resikulasi adalah mengeliminasi ammonia dengan
cara mengkonversi nya menjadi nitrit dan nitrat (Anonim,2013).
Sistem resirkulasi terdiri atas 4 subsistem, yaitu:
1. Penyuplai air.
2. Akuarium.
3. Sedimentasi.
4. Filtrasi.
Pada hakekatnya sistem resirkulasi yang diterapkan pada budidaya ikan
adalah untuk mengatasi masalah penyediaan sumber air yang tidak terus menerus
sepanjang tahun. Sistem ini bersipat menghemat penggunaan air bila lahan yang
dikelola terbatas sumber air (Anonim,2013).
Sistem resirkulasi air yang diterapkan pada usaha udang ditambak dibagi
atas beberapa unit petak perlakuan yang pada prinsipnya ialah untuk sterilisasi air
yang telah dipakai selama kegiatan budidaya (Anonim,2013).
II.7 Sistem Konvensional
Tambak konvensional adalah tambak yang berpematang tanah, drainase
juga merupakan aliran arus air laut maupun tawar secara alami, dengan batang
pohon api-api dan bakau di sana-sini. Tambak konvensional, mengandalkan pakan
alami berupa zooplankton maupun phytoplankton. Meskipun hasilnyatidak
setinggi tambak semi intensif dan terlebih tambak modern, namun tambak-tambak
tradisioal ini lebih ramah lingkungan, serta menghasilkan bandeng yang
dagingnya lebih padat, dibanding bandeng yang dibesarkan dengan pelet.
Untuk menumbuhkan phytoplankton dan kemudian zooplankton pada
tambak tradisional, petani tetap harus mengeluarkan biaya. Pertama, tambak yang
baru saja dipanen, harus diberi pestisida alami berupa biji teh atau tembakau
krosok, diturap (lumpurnya dinaikkan ke pematang), kemudian dikeringkan
sampai lumpurnya pecah-pecah dan merekah. Setelah itu ditaburkan pupuk
kandang, berupa kotoran sapi, kerbau, kambing, domba, maupun kuda. Tambak
tidak pernah dipupuk dengan kotoran ayam. Tiap hektar tambak memerlukan 5
ton pupuk kandang. Popuk ini harus diratakan ke seluruh permukaan tanah, lalu
dibiarkan beberapa hari sebelum air dialirkan menggenangi tambak.Pada awalnya,
air payau yang menggenangi tambak itu tampak jernih. tetapi dalam waktu dua
tiga hari, apabila matahari bersinar cukup terik, maka air itu akan berangsur
berwarna hijau. Itulah tandanya phytoplankton telah mulai tumbuh. Pada waktu
itulah urea sebanyak 3 kuintal per hektar ditebarkan. Setelah ditebari urea, air
akan segera menjadi hijau pekat. Pada waktu itulah zooplankton akan mulai
tumbuh. Para petani tambak, biasa menyebut zooplankton ini dengan kutu air.
Setelah pertumbuhan plankton stabil, salinitas dan pH, air juga sesuai dengan
standar, maka nener bisa ditebarkan. Dengan pakan alami plankton, pertumbuhan
nener menjadi bandeng sangat cepat (Anonim, 2011)
III. MATERI DAN METODE
III.1 Materi
III.1.1 Waktu dan Tempat
Waktu : Senin, 10 Juni 2013. Pukul 02.00 – 22.00 WIB
Tempat : LPWP ( Lembaga Pengembangan Wilayah
Pantai) Jepara, Jawa Tengah
III.2 Alat dan Bahan
III.2.1 Alat
Alat yang di gunakan pada praktikum Marinculture Engginering
adalah :
Nama Alat Fungsi Gambar
1. Tong kerucut 6
buah, masing-
masing Vol. 250 L
Sebagai wadah
media
2. Unit aerasi (blower
1 buah, selang
aerasi 1 rol, batu
aerasi 6 buah,
regulator udara 6
buah, pemberat 6
buah)
Penambahan jumlah
oksigen
3. Refraktometer (1
buah)
Pengukuran kadar
garam (salinity )
4. DO meter Mengetahui nilai
DO dalam air
5. pH meter Untuk mengukur
tingkat keasaman
dan kebasa-an
6. Termometer Untuk mngukur
suhu air.
III.2.2 Bahan
Bahan yang di gunakan pada praktikum Marinculture Engginering adalah :
Nama Bahan Fungsi Gambar
1. Ikan Bandeng Sebagai hewan uji
2. Air payau Sebagai media hewan
uji dan media yang
hendak di analisa
- Alat : - DO Meter - Termometer
- pH meter - Alat tulis
- Refraktometer
- Bahan : - Bak RAS ( Resirculation Aquaculture System)
- Bak Konvensional
III.3 Metode
- Lakukan Pengukuran Parameter Perairan Budidaya Sistem
RAS dan Konvensional ( DO meter, pH, Suhu , Salinitas)
pada selang waktu 4 jam yang dimulai dari jam 02.00-
22.00 WIB
- Kemudian masukkan data ke tabel yang telah tersedia,
kemudian dianalisa berdasarkan data yang diperoleh.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1.1 Data
Tabel Hasil Pengukuran parameter Perairan ( Jam 02.00-22.00 WIB ) Tanggal 10
Juni 2013
Keterangan : T0 = Waktu Pengamatan jam 02.00 WIB
T1 = Waktu Pengamatan jam 06.00 WIB
T2 = Waktu Pengamatan jam 10.00 WIB
T3 = Waktu Pengamatan jam 14.00 WIB
T4 = Waktu Pengamatan jam 18.00 WIB
T5 = Waktu Pengamatan jam 22.00 WIB
IV.1.2 Grafik atau Histogram
IV.1.3 Korelasi dengan waktu
IV.2 Pembahasan
IV.2.1 Standar Optimum masing-masing parameter
untuk Budidaya
Secara teoritis , pertumbuhan ikan laut terjadi pada
lingkungan perairan dengan kandungan oksigen terlarut air
minimal 4 mg/l atau 4 ppt (part per million), sedangkan
kandungan optimum antara 5-8 kg/l.
pH air memengaruhi tingkat kesuburan perairan karena
mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan asam akan
kurang produktif, malah dapat membunuh ikan budidaya. Pada
pH rendah (keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut
akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun,
aktivitas pernapasan naik dan selera makan ikan akan
berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada susasanan basa.
Atas dasar ini , maka usaha budidaya ikan akan berhasil baik
dalam air dengan pH 6,5 – 9,0 dan pertumbuhan optimal terjadi
pada pH 7- 8,5.
Kisaran suhu Optimal bagi kehidupan biota laut adalah
antara 24-32oC. Bila suhu rendah beberapa biota, termasuk ikan,
akan kehilangan nafsu makan, sehingga pertumbuhannya
terhambat . Sebaliknya bila suhu terlalu tinggi biota akan stress
bahkan mati kekurangan oksigen. Baik suhu yang terlalu rendah
maupun terlampau tinggi dapat membahayakan biota budidaya,
karena beberapa pathogen berkembang baik pada kondisi
tersebut. Di daerah tropic seperti Indonesia suhu perairan tidak
menjadi masalah, karena perubahan suhu relative sangat kecil,
yakni berkisar antara 27 – 32 oC.
Untuk salinitas , Ikan laut yang hidup di terumbu karang
dan laut terbuka ( ikan pelagis) tumbuh pada salinitas 33-35 ppt.
Hanya sedikit ikan yang tumbuh dengan baik pada salinitas lebih
rendah < 30 ppt. Beberapa ikan hidup pada salinitas yang
berbeda-beda pada perkembangan siklus hidupnya, misalnya
bandeng ( Chanos chanos).
IV.2.2 Pengaruh suhu dengan waktu
Fluktuasi suhu yang terjadi pada bak perairan budidaya
pada sistem RAS dan sistem konvensional di dalam ruangan
( suhu kamar) berkisar antara 20-25oC. Pada pengamatan jam
02.00 WIB terhadap bak1,2, dan 3 sistem Konvensional
menunjukkan nilai sekitar 27oC, tetapi pada sistem RAS
menunjukkan nilai 38,4oC. Suhu pada sistem RAS dianggap
error pada jam 02.00 WIB pagi karena adanya kesalahan pada
alat pengukuran. Kemudian keadaan suhu pada jam 02.00 WIB
dengan kondisi suhu di sekitar tempat budidaya tidak
dimungkinkan sampai pada suhu 38,40C kecuali dimungkinkan
adanya pengaruh lainnya.
Selanjutnya pada jam 10.00 WIB menunjukkan suhu pada
nilai 290C.Pada hal ini terjadi peningkatan suhu dari 27oC. Hal ini
dibuktikan sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa suhu
pada siang hari akan lebih tinggi daripada suhu yang ada pada
malam hari. Kemudian pada jam 14.00WIB mengalami
penurunan suhu pada nilai 28OC.. Unutk suhu pada sistem RAS
ditemukan kondisi suhu yang lebih tinggi daripada sistem
konvensional. Faktor tersebut dapat diduga bahwa suhu yang
berbeda antar sistem mungkin dipengaruhi oleh perlakuan yang
lebih intensif pada sistem RAS ( sperti adanya aerator, filter fisik,
filter biologi, dll). Fluktuasi suhu pada sistem budidaya
yangselama pengamatan dianggap wajar.
IV.2.3 Pengaruh salinitas dengan waktu
Pengaruh salinitas dengan waktu pada pengamatan yang
dilakukan dalam kondisi terkontrol, seperti berada pada ruangan
tertutup, suhu ruangan yang diusahakan konstan ( antara 20-
25OC) serta pengontrolan terhadap nilai salinitas yang ada pada
bak sistem RAS dan Konvensional. Pada pengamatan yang
dilakukan padan jam 02.00 WIB, ditemukan nilai salinitas berada
paa kisaran 18 ppm, Kemudian pengamatan dilakukan pada
selang waktu 4 jam kemudian dimana dari hasil pengamatan
ditemukan nilai salinitas berada pada kisaran 10-13 ppm.
Salinitas tersebut memang diatur/ dikontrol sedemikian rupa
menggingat biota air kultivan pada uju coba adala ikan bandeng
( Chanos chanos forskal). Hal yang menyebabkan terjadi fluktuasi
salinitas pada bak budidaya dipengaruhi oleh adanya keterkaitan
antara salinitas dengan faktor lainnya misalnya suhu, pH, dan DO
( Dissolved Oxygen) serta intrusi dan ketersedian volume air
pada bak budidaya.
Menurut dugaan sementara, tidak adanya pengaruh
antara waktu dan fluktuasi salinitas terhadap kondisi budidaya
perikanan yang terkontrol , seperti dalam ruangan atau hatchery.
Penurunan kadar oksigen terlarut dapat disebabkan oleh tiga hal :
Proses oksidasi (pembongkaran) bahan-bahan organik.
Proses reduksi oleh zat-zat yang dihasilkan baktri anaerob dari dasar perairan.
Proses pernapasan orgaisme yang hidup di dalam air, terutama pada malam hari.
IV.2.4 Pengaruh pH dengan waktu
Derajat keasaman air (Berkaitan dengan proses fotosintesis dan respirasi
organisme). Semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari respirasi, pelepasan ion
H+ → pH air turun (cenderung asam).
Semakin tinggi konsentrasi ion H+ → konsentrasi ion OH-rendah.
pH rendah (keasaman tinggi) :
penurunan oksigen terlarut
konsumsi oksigen menurun
peningkatan aktivitas pernapasan
penurunan selera makan
Dalam konteks pembahasan , diasumsikan bahwa pH tidak memiliki keterikatan
dengan waktu, tetapi pH biasanya dipengaruhi oleh parameter lainnya.
IV.2.5 Pengaruh DO dengan waktu
Sumber utama oksigen dalam perairan adalah hasil difusi dari udara,
terbawa melalui presipitasi (air hujan) dan hasil fotosintesis fitoplankton.
Sebaliknya, kandungan oksigen terlarut dalam air dapat berkurang karena
dimanfaatkan oleh aktifitas respirasi dan perombakan bahan organik. Kekurangan
oksigen dapat pula dialami akibat terhalangnya difusi karena stratifikasi salinitas
yang dapat terjadi setelah hujan lebat.
Untuk kegiatan budidaya ikan yang komersial memerlukan konsentrasi
oksigen dalam air lebih besar atau sama dengan 5 mg/L. Nilai DO yang baik
untuk kegiatan budidaya ikan laut berkisar antara 5 mg/L-8 mg/L.
Kandungan DO (Dissolved oxygen) yang tercatat dalam kegiatan
pengamatan menunjukkan fluktuasi yang beragam. Untuk Pengamatan jam 02.00
WIB menunjukkan nilai DO yang terkandung sebesar ebih kurang 1,5
mg/l.Kemudian meningkata sepnjang hari dimana pengamatan terakhir pada jam
22.00 WIB menunjukkan nilai berkisar antara 4,7-6,7 mg/l.
Perubahan tersebut terjadi disebabkan oleh perbedaan difusi udaradari
lingkungan sekitar serta pengaruh proses aerasi. Proses aerasi berdampak besar
terhadap kandugan oksigen serta pendistribusian oksigen ke seluruh kolom air bak
budidaya.
IV.2.6 Pengaruh sistem RAS dan Konvensional
terhadap nilai DO
Pengaruh sistem RAS dan Konvensional terhadap nilai DO
secara umum tempat bak budidaya tidak mempengaruhi
terhadap jumla Oksgen terlarut dalam air.tinggi rendahnya nilai
DO lebih dipengaruhi oleh tingkat aerasi dari alat-alat. Pada
sistem RAS yang memakai aerator serta filter fisik menyebabkan
nilai DO lebih tinggi dikarenakan kemurnian air yang bebas dari
organisme lain di air budidaya, organisme tersebut bila ada di air
menyebabkan kandungan DO menurun dikarenakan proses
aerob yang berasal dari organisme itu.
Kandungan oksigen air di Sistem RAS dan konvensional
lebih dipengaruhi oleh keberadaan parameter lainnya, seperti
Peningkatan salinitas dan suhu air akan menurunkan tingkat
oksigen jenuh di dalam air. Oksigen akan cepat habis bila
organisme / ikan ditebar dalam jumlah yang padat.
Respirasi mengurangi oksigen dalam air sedangkan
fotosintesis menambahkan oksigen ke dalam air. Dari sisi lain
oksigen terlarut akan berkurang akibat organisme aerobic yang
menghancurkan bahan organic di dalam air dan oleh proses
respirasi berbagai organisme yang ada di dalam air.
IV.2.7 Keterkaitan antar Parameter
Menurut Modereth et al dalam Effendi ( 2003 ), bahwa pH jugaberkaitan
erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, pada pH < 5 alkalinitas dapat
mencapai “ nol “. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggipula nilai alkalinitas dan
semakin rendah kadar karbondioksida bebasterlarut yang bersifat asam ( pH
rendah ) bersifat korosif.
Hubungan antar kadar oksigen terlarut jenuh dan suhu menggambarkan
bahwa semakin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen akan semakin berkurang
kelarutan oksigen cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan air
tawar ( Effendi, 2003 ).
Menurut Effendi ( 2003 ), berpendapat bahwa senyawa amoniumyang
dapat berionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pHrendah.
Amonium bersifat tidak toksik, namun pada suasana alkalis ( pHtinggi ) lebih
berionisasi dan bersifat toksik.
Semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium
dengan amonia. Semakin bergeser kearah amonia berarti kenaikan pH akan
meningkatkan konsentrasi amonia yang diketahui berifatsangat toksik bagi
organisme air.
Faktor-faktor penting kualitas air yang perlu mendapat perhatian
diantaranya suhu air, salinitas, oksigen terlarut, pH, alkalinitas, ammonia,
nitrit,nitrat, asam sulfida, karbondioksida, dan besi. Factor-faktor tersebut dalam
suatu tempat terus mengalami perubahan dinamis karena adanya factor di luar dan
di dalam sistem yang kemudian saling mempengaruhi antar factor tersebut.
Perubahan lingkungan secara kimia dan fisika yang terjadi secara alamiah dan
akibat ulah manusia yang terjadi di lingkungan perairan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
- Parameter Perairan dalam sistem RAS tidak jauh berbeda
dengan sistem konvensional , DO, pH , salinitas , suhu, dll.
- Parameter suhu lebih cenderung dipengaruhi oleh
waktu,karena pergantian waktu dari malam hingga siang
dapat merubah nilai suhu yang ada di air bak budidaya
sism RAS maupun konvensional. Sedangkan parameter
lainnya seperti pH, DO, salinitas cenderung tidak
dipengaruhi oleh waktu.
V.2 Saran
- Materi Praktikum sebaiknya lebih dimaksimalkan agar
praktikan lebih menyerap ilmu lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, T.T. 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan Nila. Cetakan 1. Absolut,
Yogyakarta, hlm. 7 – 43.
Effendi, H .2003. Telaah Kualitas air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 249 hlm.
Kordi, M.Ghufran H. 2011. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan laut Ekonomis ,
Yogyakarta : Penerbit ANDI , 432 hal.
Afrianto, E., dan E.Liviawaty.1990. beberapa Metode Budi Daya Ikan .
Yogyakarta : Kanisius.
Nontji, A. 1987. Laut nusantara. Jakarta : Djambatan.
LAMPIRAN
Bak Sistem RAS ( Resirculation Aquaculture System )
Pengamatan Parameter Perairan