LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

39

Click here to load reader

description

laporan farmakologi eksperimen

Transcript of LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Page 1: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMFARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL I

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

Nama Asisten:

1. Christine2. Yolanda

Disusun oleh:

Golongan IVKelompok V

Kelas C

Nama NIM

1. Viviane Annisa FA/09287

2. Anita Kurniawati FA/09317

3. Annisafia Rizky Damaskha FA/09320

4. Pridiyanto FA/09323

5. Mercy Arizona FA/09326

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

DAN TOKSIKOLOGI YOGYAKARTA

2013

Page 2: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

I. TUJUAN

Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati

II. DASAR TEORI

Obat merupakan zat kimia, baik alami maupun sintetik yang mempunyai pengaruh atau

dapat menimbulkan efek pada organisme hidup, baik efek psikologis, fisiologis maupun

biokimiawi. Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak proses yang didasari oleh suatu

rangkaian reaksi. Rangkaian reaksi inilah yang dialami oleh obat dari mulai dikonsumsi hingga

sampai ke reseptor dan akhirnya obat dalam bentuk aktifnya akan berinteraksi dengan reseptor

atau tempat aksi atau sel target yang nantinya akan bisa memberikan efek biologis yang

diinginkan. Rangkaian reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaiktu fase biofarmasetik,

farmakodinamik, dan farmakokinetik. ( Mutschler, 1991)

Fase biofarmasetik meliputi proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi bentuk sediaan,

hancurnya bentuk sediaan obat dan melarutnya bahan obat yang ditentukan oleh sifat-sifat

galenik obat. Farmakodinamik merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara kerja obat, efek

obat terhadap berbagai fungsi dalam organ, pengaruh obat terhadap reaksi kimia dan struktur

obat. Sedangkan farmakodinamik dapat diartikan sebagai pengaruh obat terhadap sel hidup. Fase

ini berperan dalam menentukan seberapa besar efek obat dalam tubuh. Dan farmakokinetik

adalah ilmu yang mempelajari tentang absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat atau

dapat diartikan sebagai pengaruh tubuh terhadap obat. Pada fase ini obat mengalami proses

absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi yang berjalan secara langsung maupun tidak

langsung mengikuti perjalanan obat melintasi suatu membran sel. Farmakokinetik menentukan

kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan intensitas efek obat. Di dalam permasalahan

farmakokinetik dikenal juga dengan istilah parameter farmakokinetik, yaitu besaran yang

diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam cairan

hayati (darah, urin, saliva dan lainnya).

Cairan hayati yang biasa digunakan untuk dianalisis kadar obat atau metabolitnya adalah

cairan hayati yang berupa darah. Dipilih darah karena darah merupakan tumpuan proses

absorbsi, distribusi,dan eliminasi. Artinya tanpa darah, obat tidak dapat menyebar ke lingkungan

badan dan dikeluarkan dari badan. Karena itu, logis bila adanya proses absorbsi dapat

ditunjukkan dengan peningkatan kadar obat dalam darah dan adanya proses distribusi serta

Page 3: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

eliminasi ditunjukkan dengan pengurangan kadar obat dalam darah. Dengan kata lain, besarnya

obat yang ada dalam darah mencerminkan besarnya kadar obat di tempat absorbsi, distribusi, dan

tempat eliminasi. Darah merupakan tempat dominan yang dilalui obat dan juga menjadi tempat

yang paling cepat dicapai oleh obat. Berbeda dengan urin yang merupakan cairan hayati yang

biasanya digunakan dalam uji fase farmakokinetik untuk mempelajari disposisi suatu obat dan

menentukan kadar suatu obat untuk obat-obatan yang dieksresikan lewat urin, minimal 10% nya

terdapat dalam urin dalam bentuk utuh yang belum dimetabolisme.

Untuk menilai farmakokinetik obat di dalam tubuh, pendekatan langsung yang paling baik

adalah dengan mengukur obat di dalam darah, serum atau plasma. Biasanya serum atau plasma

diambil dari supernatan darah yang disentrifugasi dengan ditambahkan antikoagulan.

Ada 3 jenis parameter farmakokinetik, yaitu parameter primer, sekunder, dan turunan.

Parameter farmakokinetik primer meliputi kecepatan absorbsi, volume distribusi, dan klirens.

Parameter farmakokinetik sekunder di antaranya waktu paro eliminasi dan kecepatan konstanta

eliminasi, sedangkan parameter farmakokinetik turunan harganya tergantung dari dosis dan

kecepatan pemberian obat. ( Donatus, 2008 ).

Adapun penjelasan ketiga parameter tersebut adalah :

1. Parameter pokok

Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)

Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitumasuknya obat ke dalam sirkulasi

sistemik dari absorbsinya (saluran cerna padapemberian oral, jaringan otot

pada pemberian intramuskular).

Cl (Klirens)

Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat persatuan

waktu (Neal, 2006).

Volume distribusi (Vd)

Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat (Neal,

2006).

2. Parameter Sekunder

Waktu paro eliminasi (t1/2)

Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat

di dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus yang

konstan) (Katzung, 2001).

Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel )

Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang

Page 4: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

akan tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasi

menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai

keseimbangan (Neal, 2006).

3. Parameter Turunan

Waktu mencapai kadar puncak ( tmak )

Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai

puncak.

Kadar puncak (Cp mak)

Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum

atau plasma.Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan

eliminasi dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak proses-

proses tersebutberada dalam keadaan seimbang.

Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu

(AUC)

Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obat

diabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva

konsentrasiobat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total obat

yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik.

(Shargel dkk, 2005)

Untuk mendapatkan nilai – nilai parameter farmakokinetik obat yang dapat dipercaya,

metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria, yaitu meliputi recovery (perolehan

kembali), presisi, dan akurasi. Harga dari perolehan kembali didapat dari perhitungan:

Perolehan kembali ini merupakan tolok ukur efisiensi analisis. Sedangkan inpresisi

penetapan kadar obat dapat dilihat dari kesalahan acak ( random analytical error ). Kesalahan

acak atau disebut juga kesalahan tidak tergantung merupakan kesalahan yang nilainya tidak

dapat diramalkan dan tidak ada aturan yang mengaturnya serta nilainya berfluktuasi. (Gholib,

I.G., dan Rohman, A., 2012). Nilai dari kesalahan acak dapat dicari dengan menggunakan

rumus :

Recovery= harga ujiharga sesungguhnya

x 100 %=P %

Kesalahan acak (CV )= simpanganbakupurata

x 100 %

Page 5: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan pengukuran.

Semakin dekat nilai‐nilai hasil pengulangan pengukuran maka semakin presisi pengukuran

tersebut.

Sedangkan inakurasi penetapan kadar dapat dilihat dari kesalahan sistematiknya yang

dapat dihitung menggunakan rumus:

.

Kesalahan ini bisa berupa kesalahan konstan atau proporsional karena mempunyai nilai

definitif ( nilai tertentu ) yang mana dapat menyebabkan hasil dari analisis tersebut mengarah ke

arah yang lebih kecil atau ke arah yang lebih besar dari rata-rata. (Gholib, I.G., dan Rohman, A.,

2012). Akurasi atau bisa disebut dengan ketelitian sendiri dapat diartikan sebagai nilai

kedekatan hasil pengukuran dengan true value (nilai sesungguhnya).

Dari hasil analisis diharapkan mendapat hasil perolehan kembali/recovery yang tinggi

(75-90 % atau lebih), kesalahan acak dan kesalahan sistematiknya kurang dari 10 % ( Pachla

dkk. , 1986). Maka dari itu, metode analisis kadar obat merupakan kunci utama kesahihan data

farmakokinetik yang diperoleh. Sehingga sebelum melakukan studi, langkah awal yang harus

dilakukan adalah menguji suatu metode analisis. Ada 4 parameter yang digunakan untuk menilai

validitas metode analisis, yaitu selektivitas, sensitivitas, akurasi dan presisi.

(Ritschel,1992). Akan tetapi ada yang menyebutkan bahwa parameter yang digunakan untuk

menguji validitas suatu metode ada 6, yaitu selektivitas, sensitivitas, akurasi, presisi, kekasaran

dan efisiensitas (praktis). (Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012)

1. Selektivitas

Selektivitas suatu metode merupakan kemampuan suatu metode untuk membedakan

suatu obat dari metabolitnya, obat lahir (dalam kasus tertentu yang berkaitan) dan kandungan

endogen cuplikan hayati Artinya dalam penetapan kadar, metode tersebut tidak banyak

terpengaruh oleh adanya senyawa lain. (Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012). Selektivitas

metode menempati prioritas utama karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan

hayati adalah dalam bentuk tak berubah atau metabolitnya. Metode analisis yang digunakan

harus memiliki spesifitas yang tinggi terhadap salah satu obat yang akan ditetapkan tersebut.

(Shargel, 1988). Apabila suatu metode tidak selektif berarti yang diukur adalah obat utuh dengan

metabolitnya sehingga data kadar obat dalam spesimen hayati terjadap waktu tidak

menggambarkan keadaan yang sebenarnya tentang farmakokinetik kadar obat utuh pada tiap-tiap

Kesalahan sistemik=harga sesungguhnya−hargaujiharga sesungguhnya

x100 %

Kesalahan sistematik=100 %−P %

Page 6: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

waktu. Hal ini menyebabkan kesalahan pada nilai parameter farmakokinetik obat tersebut.

( Hakim, 2008)

2. Sensitivitas

Sensitivitas suatu metode adalah kepekaan metode dalam menganalisis kadar terendah yang

dapat dianalisis. Artinya metode harus dapat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa dalam

kensentrasi yang kecil misalnya pada penetapan kadar zat-zat racun, metabolit obat dalam

jaringan dan lain sebagainya. (Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012). Apabila suatu metode yang

digunakan tidak sensitif, ada kemungkinan tidak terpantaunya kadar obat yang rendah selama

proses absorbsi dan eliminasi. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan dalam penetapan model dan

harga parameter farmakokinetik. ( Hakim, 2008). Perlu diperhatikan bahwa terdapat keterkaitan

antara kespesifikan dan kepekaan suatu metode analisis. Dalam berbagai kasus,kespesifikan

suatu metode dapat ditingkatkan dengan menurunkan kepekaan, karena dengan cara gangguan

komponen lain dalam sampel dapat ditekan. Akan tetapi, penurunan kepekaan kadang-kadang

mengakibatkan kekeliruan negative yang merugikan dalam analissi kualitatif. Oleh karena itu,

sebelum memilih suatu metode, perlu dipertimbangkan dengan seksama manakah yang lebih

dibutuhkan,kepekaan yang maksimum atau kespesifikan yang tinggi.

3. Ketelitian / akurasi

Ketelitian / akurasi merupakan nilai kedekatan hasil pengukuran dengan true value (nilai

sesungguhnya). Artinya metode sebisa mungkin harus dapat menghasilkan nilai rata – rata

(mean) yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya. (Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012).

Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan antara harga penetapan kadar rata-rata

dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang diketahui. Jika tidak ada data nilai sebenarnya

atau nilai yang dianggap benar tersebut maka tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi

pengukuran tersebut. Nilai akurasi yang tinggi diperlukan dalam farmakokinetik agar kadar obat

yang didapat benar-benar mampu menerangkan kadar yang sesungguhnya in vivo. ( Hakim,

2008)

4. Ketepatan / presisi

Ketepatan / presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan

pengukuran. Artinya metode sedapat mungkin menghasilkan suatu hasil analisis yang sama atau

hampir sama dalam satu seri pengukuran. (Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012). Ukuran presisi

yang lazim digunakan adalah ketidaktelitian (impecision) yang biasanya dinyatakan sebagai

koefisien variasi pengukuran. Di dalam kimia analisis, koefisien variasi ini sering disebut sebagai

Page 7: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

kesalahan acak. ( Hakim, 2008). Dalam hal ketepatan ini ada 2 istilah yang sering digunakan,

yaitu :

a. Keterulangan (repeatibility), yaitu ketepatan pada kondisi percobaan yang sama

(berulang), baik orangnya maupun alat, tempat dan waktunya.

b. Ketertiruan (reproducibility), yaitu ketepatan pada kondisi percobaan yang berbeda pada

orangnya maupun waktu, tempat dan alatnya.

(Mursyidi, Achmad dan Rohman, Abdul , Editor. 2006)

5. Kekasaran /rugged dan efisiensitas /praktis

Artinya adanya perubahan komposisi pelarut atau variasi lingkungan tidak menyebabkan

perubahan hasil analisis. Sedangkan praktis berarti metode tersebut mudah dikerjakan, tidak

memerlukan banyak waktu dan biaya. Syarat ini diperlukan karena banyak senyawa yang tidak

stabil apabila waktu penetapan terlalu lama. (Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012)

III. CARA PERCOBAAN

A. Alat dan Bahan

Alat :

1. Labu takar 5 mL

2. Pipet volume 0,5 dan 1 mL

3. Tabung reaksi / flakon

4. Ependorf

5. Pipet ukur 5 mL

6. Pipet biasa

7. Mikropipet

8. Blue tip dan yellow tip

9. Skalpet / silet

10. Pipa kapiler

11. Sentrifuge dan stopwatch

12. Spektrofotometer UV dan kuvet

13. Vortex

14. Propipet

15. Injeksi

16. Stakeholder

17. Timbangan

Page 8: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Bahan :

1. Darah tikus

2. Heparin

3. Natrium nitrit 0,1 %

4. Amonium sulfamat 0,5 %

5. Asam trikloroasetat (TCA) 5 %

6. N(1-Naftil) etilendiamin 0,1 %

7. Sulfametoksasol 1 mg / mL

B. Cara Kerja

1. Pembuatan kurva baku internal

Dimasukkan zat antikoagulan heparin pada setiap ependorf

Dimasukkan darah tikus ke dalam ependorf tersebut ±2 ml

Dimasukkan darah tikus ke dalam 6 tabung reaksi @ 250 µL

Dimasukkan sulfadiazin dengan kadar 0 µg/mL ,25 µg/mL,50 µg/mL,100 µg/mL,200

µg/mL dan 400 µg/mL ke dalam 6 tabung reaksi berisi darah tersebut

Ditambahkan ke dalam tiap tabung reaksi 2 mL TCA 5%, vortex selama 10 detik

Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Diambil 1,5 mL supernatan, diencerkan dengan 2 mL aquadest

Ditambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, didiamkan 3 menit,dan divortexing

Ditambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, didiamkan selama 2 menit, dan

divortexing

Ditambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, dicampur baik-baik,

didiamkan 5menit di tempat gelap

Page 9: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Diukur absorbansi dengan panjang gelombang 545 nm

Dihitung kadar sulfadiazin terukur dengan persamaan kurva baku yang telah ditentukan

2. Pembuatan validasi

Dimasukkan zat antikoagulan heparin pada setiap ependorf

Dimasukkan darah tikus ke dalam ependorf tersebut ±2 ml

Dimasukkan darah tikus ke dalam 6 tabung reaksi @ 250 µL

Dimasukkan sulfadiazin dengan kadar 50 dan 300 µg/mL ke dalam 6 tabung reaksi berisi

darah tersebut, 3 tabung reaksi untuk tiap konsentrasi sulfadiazin

Ditambahkan ke dalam tiap tabung reaksi 2 mL TCA 5%, vortex selama 10 detik

Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Diambil 1,5 mL supernatan, diencerkan dengan 2 mL aquadest

Ditambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, didiamkan 3 menit,dan divortexing

Ditambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, didiamkan selama 2 menit, dan

divortexing

Ditambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, dicampur baik-baik,

didiamkan 5menit di tempat gelap

Diukur absorbansi dengan panjang gelombang 545 nm

Dihitung kadar sulfadiazin terukur dengan persamaan kurva baku yang telah ditentukan

Page 10: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

3. Pemrosesan sampel darah invivo (Penetapan Kadar)

Ditimbang tikus

Dihitung volume pemberian sulfametoktasol

Ditunggu selama ± 1 jam

Sambil menunggu, diteteskan heparin ke dalam ependorf secukupnya

Jika sudah sejam, tikus dimasukkan ke dalam kurungan tikus

Diambil darah tikus melalui vena ekor dengan cara disayat memakai skalpel/silet yang

sebelumnya bulu-bulu tikus sudah dibersihkan terlebih dahulu

Darah ditampung dalam ependorf hingga volumenya ± 1,5 ml yang kemudian dibagi ke dalam 3-5 tabung reaksi @ 250 μL dan diberi perlakuan yang sama pada tiap tabung

Ke dalam 250 μL darah yang mengandung antikoagulan (heparin) ditambah 250 μL aquades

dicampur homogen

ditambah 2,0 mL TCA 5% dengan mikropipet dan divortexing

dipusingkan selama 5 menit (2500 rpm) dengan sentrifugasi

diambil beningan (1,50 mL) dan diencerkan dengan aquades 2,0 mL

Page 11: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

ke dalam tiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 mL; 0,1%), didiamkan selama 3 menit

ditambahkan larutan ammonium sulfamat (0.2 mL ; 0,5 %), diamkan selama 2 menit

ditambahkan larutan N(1-naftil) etilendiain (0,2 mL; 0,1 %), dicampur baik-baik, didiamkan 5 menit ditempat gelap

dipindahkan larutan ke dalam kuvet dan dibaca intensitas warna pada spektrofotometer (545 nm) terhadap blanko darah (sebagai kontrol) yang telah diproses dengan cara yang sama

IV. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN

Data Absorbansi Sampel Darah (Kurva Baku)

Data Sampel Kadar Obat (g/ml) Absorbansi Kurva Baku (y=bx+a)

Darah Tikus

25 0,006

50 0,000* a = -0,0120

100 0,036 b =5,5850.10-4

200 0,104 r =0,9980

400 0,211 y =5,5850.10-4x - 0,0120

Keterangan : λ = 545 nm

* data direject

Data Absorbansi Sampel Darah (Validasi)

Data Sampel Kadar (μg/ml)Absorbansi

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

Darah Tikus50 0,104 0,104 0,100

300 0,182 0,200 0,198

Page 12: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Data Absorbansi Sampel Darah (Penetapan Kadar)

KelompokAbsorbansi

Replikasi I

Replikasi II

Replikasi III

Replikasi IV

Replikasi V

I 0,218 0,199 0,231 0,188  

II 0,136 0,134 0,147 0,144 0,130

III 0,183 0,217 0,226    

IV 0,118 0,102 0,107 0,122 0,132

Keterangan : warna oranye menunjukkan data kelompok praktikan

Berat Sampel

Bobot wadah + tikus = 369,50 gramBobot wadah kosong = 249,00 gramBobot tikus = 120,50 gram

Volume pemberian, dosis sulfametoksazol= 10/200 gram BB

Volume Pemberian= dosis xberat badan tikus

stok

¿ 10 x 120,50 gram200 x10

=0,6025 ml

Perhitungan Larutan Stok

V1.M1 = V2.M2

Keterangan:

V1 = Volume sulfametoksazol yang diambil (ml)

V2 = Volume labu takar (ml)

M1 = Konsentrasi/kadar sulfametoksazol stok (g/ml)

M2 = Konsentrasi/kadar yang diinginkan (g/ml)

Kadar stok sulfametoksasol= 1 mg/ml = 1000 g/ml

Page 13: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

a. Kadar 25 g/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 g/ml = 10 ml. 25 g/ml

V1 = 0,25 ml = 250 l

b. Kadar 50 g/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 g/ml = 10 ml. 50 g/ml

V1 = 0,5 ml = 500 l

c. Kadar 100 g/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 g/ml = 10 ml. 100 g/ml

V1 = 1 ml = 1000 l

d. Kadar 200 g/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 g/ml = 10 ml. 200 g/ml

V1 = 2 ml = 2000 l

e. Kadar 400 g/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 g/ml = 10 ml. 400 g/ml

V1 = 4 ml = 4000 l

Pengenceran validasi

a. Kadar 50 g/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 g/ml = 5 ml. 50 g/ml

V1 = 0,25 ml = 250 l

b. Kadar 300 g/ml

V1.M1 = V2.M2

V1. 1000 g/ml = 5 ml. 300 g/ml

V1 = 1,5 ml = 1500 l

Perhitungan kadar sufametoksazol dalam sampel darah tikus (validasi metode)

Kurva Baku : y = 5,5850.10-4x - 0,0120

A. Kadar 50 g/ml

Replikasi 1 : y = 0,104

Page 14: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

0,104 = 5,5850.10-4x - 0,0120

0,116 = 5,5850.10-4x

x = 207,699 g/ml

Replikasi 2 : y = 0,104

0,104 = 5,5850.10-4x - 0,0120

0,116 = 5,5850.10-4x

x = 207,699 g/ml

Replikasi 3 : y = 0,100

0,100 = 5,5850.10-4x - 0,0120

0,112 = 5,5850.10-4x

x = 200,537 g/ml

Rata-rata kadar = (207,699+207,699+200,537)

3 = 205,311 g/ml

SD = √ ∑(5,7025+5,7025+22,7910)3−1

= 4,13498

Kesalahan Acak = SD

Hargarata−rata X 100 %

= 4,13498205,311

x 100 % = 2,014 %

Perolehan Kembali = Kadar terukur

Kadar diketahui X 100 %

Replikasi 1 = 207,699

50 x 100 % = 415,398 %

Replikasi 2 = 207,699

50 x 100 % = 415,398 %

Replikasi 3 = 200,537

50 x 100 % = 401,074 %

Rata-rata recovery = (415,398 %+415,398 %+401,074 % )

3 = 410,623 %

Kesalahan sistemik = 100% - Recorvery

Replikasi 1 = 100% - 415,398 % = - 315,398 %

Replikasi 2 = 100% - 415,398 % = - 315,398 %

Replikasi 3 = 100% - 401,074 % = - 301,074 %

Rata-rata kesalahan sistemik = (−315,398 %+−315,398 %+−301,074 % )

3

= - 310,623 %

Page 15: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

B. Kadar 300 g/ml

Replikasi 1 : y = 0,182

0,182 = 5,5850.10-4x - 0,0120

0,194 = 5,5850.10-4x

x = 347,359 g/ml

Replikasi 2 : y = 0,200

0,200 = 5,5850.10-4x - 0,0120

0,212 = 5,5850.10-4x

x = 379,588 g/ml

Replikasi 3 : y = 0,198

0,198 = 5,5850.10-4x - 0,0120

0,21 = 5,5850.10-4x

x = 376,007 g/ml

Rata-rata kadar = (347,359+379,588+376,007)

3 = 367,651 g/ml

SD = √ ∑(411,765+142,492+8,356)3−1

= 17,6647

Kesalahan Acak = SD

Hargarata−rata X 100 %

= 17,6647367,651

x 100 % = 4,8047 %

Perolehan Kembali = Kadar terukur

Kadar diketahui X 100 %

Replikasi 1 = 347,359

300 x 100 % = 115,786 %

Replikasi 2 = 379,588

300 x 100 % = 126,529 %

Replikasi 3 = 376,007

300 x 100 % = 125,335 %

Rata-rata recorvery = (115,786 %+126,529 %+125,335 %)

3 = 122,55 %

Kesalahan sistemik = 100% - Recorvery

Replikasi 1 = 100% - 115,786 % = - 15,786 %

Page 16: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Replikasi 2 = 100% - 126,529 % = - 26,529 %

Replikasi 3 = 100% - 125,335 % = - 25,335 %

Rata-rata kesalahan sistemik = (−15,786 %+−26,529 %+−25,335 %)

3

= -22,55 %

Perhitungan Kadar Sampel Darah Tikus (Penetapan Kadar)

Kurva baku : y = 5,5850.10-4x – 0,0120

Digunakan kadar sulfametoksazol= 1000 µg/ml

Replikasi 1 y = 0,183

0,183 = 5,5850.10-4x – 0,0120

0,1465 = 5,5850.10-4x

x = 349,15 g/ml

Replikasi 2 y = 0,217

0,217 = 5,5850.10-4x – 0,0120

0,229 = 5,5850.10-4x

x = 410,027 g/ml

Replikasi 3 y = 0,226

0,226 = 5,5850.10-4x – 0,0120

0,238 = 5,5850.10-4x

x = 426,141 g/ml

Kadar Rata-Rata = (349,15 + 410,027 + 426,141) g/ml

3

= 395,106 g/ml

SD = 40,606

Kesalahan Acak = 40,606

395,106x 100% = 10,277%

Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%

kadar diketahui

Replikasi 1 = 349,15 x 100% = 34,915 %

1000

Replikasi 2 = 410,027 x 100% = 41,0027%

1000

Replikasi 3 = 426,141 x 100% = 42,6141%

Page 17: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

1000

Rata-Rata Recovery = (34,915 %+ 41,0027%+ 42,6141%) = 39,5106 %

3

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery

Replikasi 1 = 100% - 34,915% = 65,085%

Replikasi 2 = 100% - 41,0027% = 58,9973%

Replikasi 3 = 100% - 42,6141%= 57,3859%

Rata-rata kesalahan sistemik = 65,085% + 58,9973% + 57,3859%

3

= 60,4894%

0 50 100 150 200 250 300 350 400 4500

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.00600000000000001

0.036

0.104

0.211f(x) = 0.000558500986193294 x − 0.0119783037475345R² = 0.996107027639233

Kurva Baku Sulfametoksazol dalam Darah Tikus

Y-ValuesLinear (Y-Values)

Kadar (µg/ml)

Abso

rban

si

IV. PEMBAHASAN

Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat

dalam cairan hayati. Obat yang dianalisis dalam praktikum kali ini adalah sulfametoksazol

dengan menggunakan metode Bratton-Marshall. Metode Bratton-marshall merupakan cara

umum untuk penetapan kadar senyawa yang mempunyai amina aromatis primer.

Analisis dalam percobaan ini bertujuan untuk menguji seberapa besar ketepatan dan

ketelitian metode yang digunakan. Beberapa parameter farmakokinetik yang digunakan adalah

Page 18: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

recovery,kesalahan sistematik sebagai parameter ketelitian (presisi) serta perhitungan standar

deviasi (SD), dan kesalahan acak (CV) sebagai parameter ketepatan (akurasi). Parameter

farmakokinetik ini merupakan besaran yang diturunkan secara metematis dari hasil pengukuran

kadar obat atau metabolitnya dalam darah atau urin. Analisis ini dilakukan dengan membuat seri

kadar obat tertentu dalam darah dan urin yang kemudian diproses lebih lanjut sehingga dapat

dibaca absorbansinya dan dibuat kurva bakunya.

Cairan hayati yang digunakan dapat berupa sampel urin,darah, atau saliva, akan tetatpi

dalam percobaan ini menggunakan darah sebagai sampel. Digunakan darah karena darah

merupakan tempat yang paling cepat dicapai dan dominan dilalui obat dalam proses absorpsi dan

distribusi baik ke jaringan target maupun ke organ eliminasi, sehingga kadar obat di dalam

sirkulasi sistemik ini paling mencerminkan kadar obat sebenarnya di dalam tubuh diantara cairan

hayati yang lain. Proses absorbsi ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar obat dalam

darah, sedangkan proses distribusi dan eliminasi ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar

obat dalam darah pada waktu tertentu. Urin merupakan cairan hayati yang sering digunakan

dalam analisis farmakokinetik untuk mempelajari disosiasi obat dan untuk menentukan kadar

obat. Digunakan data urin apabila tidak mungkin menganalisis dengan data darah dan jika level

darah pada pemberian dosis normal sangat rendah dan tidak ada metode penetapan kadar obat

dalam darah yang tersedia.

Obat yang dianalisis dalam praktikum ini ialah sulfametoksazol. Struktur

sulfametoksazol :

RM : C10H11N3O3S

BM : 253,28

Nama lain : N1-(5-metil-3-isoksazolil)sulfanilamida

Khasiat : Antibakteri

Kegunaan : Sebagai sampel dalam percobaan

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; praktis tidak berbau.

Kelarutan :Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform; mudah larut dalam

aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer; agak sukar larut dalam etanol

(Anonim, 1995)

Page 19: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Mekanisme Kerja Sulfonamida yang analog struktural dan antagonis kompetitif dari para

aminobenzoic acid (PABA). Mereka menghambat pemanfaatan bakteri normal PABA untuk

sintesis asam folat , suatu metabolit penting dalam sintesis DNA. Para efek terlihat biasanya

bakteriostatik di alam. Asam folat tidak disintesis pada manusia, tetapi bukan merupakan

persyaratan diet. Hal ini memungkinkan untuk toksisitas selektif untuk sel-sel bakteri (atau setiap

sel tergantung pada sintesis asam folat) atas sel-sel manusia. Resistensi bakteri terhadap

sulfametoksazol disebabkan oleh mutasi pada enzim asam folat yang menghambat PABA dari

sintesis asam folat mengikat dan blok.

(Anonim, 2011)

Yang paling umum efek samping dari sulfametoksazol / trimetoprim adalah gangguan

pencernaan. Alergi terhadap sulfa berbasis obat biasanya menyebabkan ruam kulit, gatal-gatal,

atau kesulitan bernapas atau menelan dan penghentian surat perintah langsung dari pengobatan

dan kontak dengan dokter segera. Sulfametoksazol / trimetoprim juga dikenal untuk

meningkatkan konsentrasi darah obat warfarin (US nama merek: Coumadin). dan dapat

menyebabkan peningkatan tak terduga dalam waktu pembekuan dan perdarahan yang tidak

terkontrol Neutropenia dan trombositopenia juga efek samping jarang terjadi akan dimonitor jika

pasien ditempatkan pada terapi jangka panjang. Sulfametoksazol juga merupakan sindrom

Stevens-Johnson (SJS) menginduksi substansi. Sulfametoksazol juga dapat menyebabkan mual,

perut yang parah, atau nyeri perut. Sakit kepala umumnya terjadi saat mengambil

sulfametoksazol. Nyeri otot kadang-kadang terjadi saat mengambil obat ini. Jika gejalanya

menetap, salah satu harus menghubungi nya / dokternya. Jika kesulitan bernapas atau

pembengkakan pada wajah, mulut, atau lidah terjadi, orang harus menghentikan obat dan

mendapatkan bantuan medis darurat. Ini sering gejala-gejala reaksi alergi yang parah.

Sulfametoksazol/trimethoprim dapat menyebabkan anemia megaloblastik pada beberapa pasien

karena merupakan antagonis folat. (Anonim, 2011)

Sulfametoksazol merupakan derivat dari Sulfisoxasol yang mempunyai absorbsi dan

ekskresi yang lebih lambat. Bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam NaOH encer. Dari

sifat-sifat itu, larutan obat ini dibuat dengan melarutkan terlebih dahulu SMZ dalam NaOH

kemudian diencerkan dengan menggunakan aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki. Obat

ini biasa digunakan dalam bentuk sediaan tablet, injeksi, suspensi, tetes mata, dan salep mata.

Waktu paruh plasma Sulfametoksazol adalah 11 jam.

Sulfametoksazol: absorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan ± 20 G terikat oleh

protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam bentuk terasetilasi. Kadar plasma

tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paro 10-12 jam. Dosis

oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dd sampai infeksi terjadi.

Page 20: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

NaNO2

Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini ialah metode Bratton-Marshall. Metode

ini didasarkan pada prinsip kolorimetri yaitu terbentuknya senyawa berwarna yang intensitasnya

dapat ditentukan secara spektrofotometri visibel. Metode ini melalui 3 tahap yaitu :

1. Pembentukan Senyawa Diazo

Salah satu syarat reaksi diazotasi adalah senyawa harus memiliki gugus amina aromatik

primer. Sulfametoksazol memiliki struktur standar amina aromatik primer, sehingga reaksi

diazotasi dapat berlangsung. Dengan reaksi sebagai berikut:

+ H2O

(garam diazonum dari sulfametoksazol)

2. Penghilangan sisa asam nitrit dengan penambahan asam sulfamat

Pada proses terbentuknya garam diazonium yang dihasilkan dari reaksi antara amina

aromatik primer dengan asam Nitrit (HNO2) yang berasal dari natrium nitrit, pada tahap ini

terjadi kelebihan asam nitrit yang harus di hilangkan dengan penambahan asam sulfamat, karena

kalau tidak dihilangkan, senyawa yang sudah berwarna akan dirusak (dioksidasi) oleh asam nitrit

sehingga kembali lagi menjadi tidak berwarna. Reaksi penghilangan sisa asam nitrit sebagai

berikut:

HNO2 + HSO3NH2 N2 + H2SO4 + H2O

3. Pengkoplingan garam diazonium-NED

Pada proses ini, garam diazonium yang sudah terbentuk segera direaksikan dengan reagen

kopling membentuk senyawa kopling yang memiliki gugus kromofor yang lebih panjang

sehingga dapat dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis. Reagen kopling yang khas dalam

metode Bratton-Marshall adalah N-(1-Naftil) etilen diamin (NED).Dengan demikian pergeseran

bathokromik sehingga λ lebih panjang, sementara intensitas warnanya lebih tajam. Hasilnya

senyawa menjadi lebih mudah dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis.

TCA

+

N+

Page 21: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Pada praktikum kali ini dilakukan pembagian tugas , yaitu satu mahasiswa sebagai

perwakilan pembuatan kurva baku sulfometoksazol, tiga mahasiswa untuk penetapan kadar, dan

satu mahasiswa melakukan validasi.

Untuk validasi dan pembuatan kurva baku,pengambilan darah hewan uji melalui mata

tikus dilakukan oleh kakak laboran. Pengambilan darah dari vena ocularis pada mata tikus

menggunakan pipa kapiler yang dimasukkan kedalam bagian bawah kelopak mata dengan sedikit

pemutaran untuk melancarkan aliran darah. Kemudian darah ditampung pada eppendorf yang

sudah diberi heparin.

Heparin (dari bahasa Yunani Kuno ηπαρ (hepar), hati), juga dikenal sebagai heparin tak

terpecah, yang sangat-sulfat glikosaminoglikan, secara luas digunakan sebagai

injeksi antikoagulan, dan memiliki tertinggi negatif densitas muatan dari setiap dikenal molekul

biologis. Ini juga dapat digunakan untuk membentuk permukaan antikoagulan dalam pada

peralatan eksperimen dan berbagai medis seperti tabung tes dan dialisis ginjal mesin. Heparin

mempunyai struktur sebagai berikut :

Gambar 1. Struktur Heparin

Meskipun digunakan terutama dalam pengobatan untuk antikoagulasi, peran fisiologis

yang benar di dalam tubuh masih belum jelas, karena darah anti-koagulasi dicapai kebanyakan

oleh heparan sulfat proteoglikan yang berasal dari endotel sel. Heparin biasanya disimpan dalam

butiran yang keluar dari sel mast dan dirilis hanya ke dalam pembuluh darahdi situs dari cedera

jaringan. Telah diusulkan bahwa, daripada antikoagulasi, tujuan utama dari heparin adalah

pertahanan di situs tersebut terhadap bakteri dan benda asing lainnya.  Selain itu, dilestarikan di

sejumlah spesies yang sangat berbeda, termasuk beberapa invertebrata yang tidak memiliki

sistem pembekuan darah yang sama. (Anonim, 2011)

Heparin merupakan anti koagulansia langsung yang mengandung gugus karboksil dan

sisa sulfat, sehingga heparin merupakan salah satu asam terkuat dalam tubuh. Heparin bekerja

dengan menghambat pembekuan darah yang kerjanya tergantung adanya anti-trombin III (suatu

2-globulin dan kofaktor dari heparin dan memperkuat kerja heparin) sehingga membentuk

kompleks heparin-antitrombin yang mampu mengaktifkan faktor-faktor IXa, Xa, Xia, XIIa

Page 22: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

sehingga menghambat pembentukan trombin. Pada konsentrasi tinggi heparin menghambat juga

agregrasi trombosit. Secara ringkasnya, heparin mempunyai sifat antikoagulan dengan

menghambat pengubahan protrombin menjadi trombin dengan proses penggumpalan darah.

Heparin + Antitrombin III + Faktor Penggumpalan kompleks(I)

kompleks

Protrombin x Trombin

Ca2+

Apabila sampel darah mengalami koagulasi, maka ketika dilakukan proses sentrifuge

yang akan keluar adalah serum bukan plasma darah. Padahal yang dimaksudkan untuk digunakan

sebagai sampel hayati dalam percobaan ini adalah plasma darah, karena sulfadiazin akan

berikatan dengan protein plasma membentuk kompleks obat makromolekul yang disebut

kompleks obat-protein. Heparin dapat mencegah koagulasi darah selama 3-4 jam. Heparin

bereaksi dengan mengikat antitrombin III membentuk kompleks, yang berafinitas lebih besar

terhadap beberapa faktor pembekuan darah, darpada antitrombin itu sendiri. Heparin juga

menginktivasi faktor IIIa (AHg) dan mencegah terbentuknya fibrin yang stabil, sehingga heparin

dapat mempecepat inaktivasi faktor pembekuan darah.

Pembuatan seri kadar larutan baku (stok) sulfametoksazol dengan cara mengencerkan

stok larutan sulfametoksazol 1,0 mg/ml menggunakan pelarut aquadest dengan labu takar 5,0 ml.

Sehingga didapatkan konsentrasi sulfametoksazol: 25; 50; 100; 200; 400 µg/ml. Untuk blanko

digunakan aquadest. Penggunaan blanko bertujuan untuk mengoreksi aborbansi senyawa yang

terbentuk.

Pembuatan kurva baku bertujuan untuk menghitung persamaan regresi linier hubungan

kadar sulfametoksazol pada sampel darah tikus. Pembuatan validasi kurva baku membutuhkan 6

sampel darah yang telah dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Lima dari sampel darah tersebut

ditambahkan sulfametoksazol sebanyak 250 µl dengan kadar yang berbeda untuk tiap tabung

reaksi. Satu sampel darah yang tersisa ditambahkan 250 µl aquadest sebagai blanko dalam

perhitungan absorbansi. Ke dalam tiap tabung reaksi ditambahkan 2 ml TCA 5 % dan kemudian

divortex selama 30 detik agar terbentuk cmpuran yang homogen.

TCA merupakan asam organik yang sangat kuat, dimana di dalam 0,1 M larutan ini

mempunyai pH sebesar 1,2. TCA dapat dibuat dengan oksidasi kloralhidrat dan asam nitrit. TCA

mempunyai fungsi sebagai pemberi suasana asam, sehingga dapat menghentikan kerja enzim

pemetabolisme obat sekaligus menyebabkan denaturasi protein plasma tanpa memecah protein

menjadi asam amino penyusunnya. Dengan demikian, protein yang terdapat dalam darah akan

Page 23: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

mengedap dan memisah dengan plasma darah. Adanya suasana asam pada larutan juga akan

mendukung terjadinya proses diazotasi sehingga nantinya akan didapatkan gambaran konsentrasi

sulfametoksazol sebenarnya.

Campuran darah dan larutan sulfametoksazol disentrifugasi selama 5 menit dengan

kecepatan 2500 rpm. Sentrifugasi ini bertujuan untuk memisahkan endapan protein dengan

supernatan yang mengandung sejumlah sulfametoksazol yang tidak ikut mengendap bersama

protein. Supernatan yang dihasilkan diambil sebanyak 1,5 ml dan dipindahkan ke tabung reaksi

yang lain untuk selanjutnya diencerkan dengan 2 ml aquades dan divortex selama 30 detik.

Selanjutnya dilakukan penambahan 0,1 ml NaNO2 0,1 %, divortex, dan didiamkan

selama 3 menit untuk menyempurnakan reaksi diazotasi, yaitu pembentukan garam diazonium

yang sangat reaktif. NaNO2 bersifat sebagai oksidator , maka asam nitrit yang terbentuk tidak

boleh berlebih. Setelah ditambah NaNO2, dilanjutkan dengan penambahan Ammonium Sulfamat

0,5 % sebanyak 0,2 ml. Kemudian larutan divortex dan didiamkan selama 2 menit. Penambahan

ammonium sulfamat bertujuan untuk menghilangkan kelebihan asam nitrit yang terbentuk. Pada

penambahannya harus dilakukan dengan berhati-hati untuk menghindari pembentukan

gelembung gas yang sangat banyak. Ammonium sulfamat merupakan reduktor sehingga akan

bereaksi redoks dengan asam nitrit. Hilangnya kelebihan nitrit ditandai dengan tidak adanya gas

nitrogen lagi, yaitu dapat diamati dengan hilangnya gelembung gas dalam larutan.

Selanjutnya ditambah NED 0,1 % sebanyak 0,2 ml. Vortex dan diamkan selama 5 menit

di tempat gelap. Penambahan NED membuat garam diazonium kembali terionkan sehingga

terjadi reaksi pengkoplingan antara garam diazonium dengan NED sehingga terbentuk

sulfametoksazol (semula tidak berwarna menjadi senyawa berwarna) dan serapannya bisa dibaca

pada λ 545 nm.

Dari data berupa kadar sulfametoksazol yang digunakan dan nilai absorbansi yang

dihasilkan yaitu absorbansi 0,006 untuk kadar 25 µg/ml;0,000 untuk kadar 50 µg/ml(direject) ;

0,036 untuk kadar 100; 0,104 untuk kadar 200 µg/ml ; dan 0,211 untuk kadar 400 µg/ml. dari

hasil tersebut dapat ditentukan persamaan kurva baku yang digunakan dalam langkah

selanjutnya, yaitu perhitungan validasi. Dari perhitungan regresi linier konsentrasi

sulfametoksazol vs absorbansi, didapatkan persamaan kurva baku:

Untuk sampel darah tikus y =5,5850.10-4x - 0,0120

Perhitungan validasi sulfometoksazol dilakukan dengan langkah kerja yang hampir

sama dengan langkah kerja dalam penentuan kurva baku. Yang membedakan keduanya adalah

konsentrasi sulfametoksazol yang digunakan, yaitu 50 µg/ml; dan 300 µg/ml. Pada validasi,

dilakukan replikasi sebanyak dua kali untuk masing masing konsentrasi sulfametoksazol

sehingga diperoleh data akhir sebanyak enam data, yaitu untuk kadar 50µg/ml di dapat

Page 24: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

absorbansi 0,104; 0,104; 0,100, sedangkan untuk kadar 300 µg/ml didapat data absorbansi 0,182;

0,200 ; 0,198.

Pada penetapan kadar , sampel darah diambil secara invivo. Invivo yaitu ujian secara

biologis menggunakan hewan coba untuk membantu menjalakan penelitian-penalitian yang tidak

bisa secara langsung dilakukan dalam tubuh manusia dengan asumsi semua jaringan, sel-sel

penyusun tubuh, serta enzim-enzim ada dalam tubuh hewan coba tersebut memiliki kesamaan

dengan manusia. ( Anonim, 2011)

Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan penimbangan terhadap hewan uji, dalam

hal ini adalah tikus,dimana mendapatkan berat tikus 120,5 gram. Selanjutnya dilakukan

penghitungan volume dosis obat ,didapatkan hasil 0,6025 ml dan dilakuakan pemberian obat

secara peroral sesuai dosis kepada hewan uji. Hewan uji kemudian didiamkan selama satu jam

supaya terjadi absorbsi obat sehingga sulfametoksazol dalam darah dapat diukur.

Pengambilan darah hewan uji seharusnya dilakukan melalui ekor dengan cara

meletakkan hewan uji ke dalam holder, akan tetapi karena darah dari ekor tikus tidak mau

menetes, maka dilakukan pengambilan sampel darah melalui mata tikus. Darah diamabil dari

vena ocularis pada mata tikus (Rattus Novergicus/mus muculus bacterianus) Pengambilan darah

melalui mata tikus dilakukan oleh kakak laboran dikarnakan mahasiswa belum berpengalaman

untuk mengambil sediaan hayati. Pengambilan darah dari vena ocularis pada mata tikus

menggunakan pipa kapiler yang dimasukkan kedalam bagian bawah kelopak mata dengan sedikit

pemutaran untuk melancarkan aliran darah. Kemudian darah ditampung pada eppendorf yang

sudah diberi heparin.

Dikarenakan sampel darah hanya sedikit, darah tikus dibagi ke dalam tiga tabung reaksi

saja dengan masing masing tabung reaksi berisi 250 μL sampel darah. Sampel tersebut masing

masing kemudian ditambah 250 μL akuades kemudian dihomogenkan dengan fortex. Langkah

selanjutnya hingga pembacaan absorbansi adalah sama dengan penetapan kurva baku dan

validasi. Dalam penetapan kadar didapatkan hasil absorbansi 0,183 ; 0,217; dan 0,226

Data berupa absorbansi dapat digunakan untuk perhitungan kadar sulfametoksazol yang

terlarut dalam supernatan, dengan menggunakan persamaan kurva baku yang telah ditetapkan.

Pada penetapan kadar sulfometoksazol didapatkan kadar 395,106 g/mlpada percobaan pertama,

410,027 g/mlpada replikasi pertama dan 349,15 g/ml pada replikasi kedua.

Kemudian nilai absorbansi pada validasi diplotkan ke dalam kurva baku tersebut,

sehingga di dapat kadar. Selanjutnya dapat dihitung beberapa parameter statistika yaitu recovery,

kesalahan sistematik, dan kesalahan acaknya.

Nilai Perolehan Kembali / Recovery

Page 25: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Semakin tinggi nilai recovery maka semakin tinggi akurasi dan efisiensi analisis.

Recovery yang baik berada dalam rentang kadar 75 – 90%. Harga recovery tiap sampel hayati

sebagai berikut:

Sampel darah tikus

Replikasi 1 = 349,15 x 100% = 34,915 %

1000

Replikasi 2 = 410,027 x 100% = 41,0027%

1000

Replikasi 3 = 426,141 x 100% = 42,6141%

1000

Rata-Rata Recovery = (34,915 %+ 41,0027%+ 42,6141%) = 39,5106 %

3

Dari hasil tersebut tidak ada satupun hasil recovery yang memenuhi syarat. Untuk harga

recovery yang kurang dari 100 % dapat disebabkan :

senyawa endogen atau metabolit yang ikut terukur. Kemungkinan disebabkan karena terdapat

molekul-molekul pengganggu atau protein dalam darah yang dapat menurunkan nilai absorbansi

ketidaktelitian praktikan dalam penambahan analit ataupun larutan pereaksi

perbedaan dalam penentuan operating time sehingga pembacaan absorbansi pada pembuatan

kurva baku dan pembacaan pada percobaan tidak sama selang waktunya.

Pengambilan supernatan yang tidak tepat

Kondisi diazotasi yang belum sempurna, karena kondisi keasaman ataupun suhu yang terlalu

tinggi.

Untuk menghindari kesalahan dalam parameter nilai perolehan kembali / recovery dapat

dilakukan :

Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak

menyebabkan hemolisis, untuk sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah sehingga

komponen-komponen intrasel keluar tercampur dalam plasma sehingga tidak menggangu proses

absorbansi sampel.

Saat pengambilan supernatan hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut terambil.

Pengukuran sampel ataupun larutan harus tepat.

Nilai Kesalahan Sistematik

Kesalahan sistematik pada percobaan seharusnya kurang dari 10 % agar metode yang

digunakan mencapai akurasi yang tinggi. Kesalahan ini bersifat konstan dan mengakibatkan

Page 26: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

penyimpangan tertentu dari rata-rata. Pada percobaan diperoleh nilai kesalahan sistematik

sebagai berikut.

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery

Replikasi 1 = 100% - 34,915% = 65,685%

Replikasi 2 = 100% - 41,0027% = 58,9973%

Replikasi 3 = 100% - 42,4161%= 57,5839%

Rata-rata kesalahan sistemik = 65,685% + 58,9973% +57,5839%

3

= 60,7554%

Nilai kesalahan sistemik yang diperoleh hampir semuanya lebih dari 10 %, artinya hasil

percobaan memiliki akurasi kurang yang baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

kesalahan sistemik antara lain:

Kesalahan personel dan operasi. Dalam percobaan ini kemunkinan kesalahan pada ketidaktelitian

praktikan dalam pengukuran volume sampel maupun reagen. Dapat diminimalisir dengan

peningkatan ketrampilan analisis. Makin terampil, makin kecil kesalahan personel.

Kesalahan alat dan pereaksi, dapat disebabkan oleh pereaksi yang kurang valid atau telah

terkontaminasi atau pemakaian alat yang kurang tepat walaupun alatnya baik.

Kesalahan metode, dapat disebabkan kesalahan pengambilan sampel dan kesalahan reaksi kimia

yang tidak sempurna. Kemungkinan dalam percobaan ini reaksi diazotasi belum sempurna, yaitu

masih adanya gelembung udara saat pengukuran absorbansi sehingga mempengaruhi serapan.

Sedangkan data yang memiliki kesalahan sistemik bernilai negatif dapat disebabkan oleh:

Sensitifitas peralatan yang digunakan kurang (spektrofotometer maupun pipet volume) dalam

pembacaan absorbansi atau pengukuran

Sampel mengandung banyak pengotor

Nilai Kesalahan Acak / Coefisien Varian (CV)

Kesalahan acak pada percobaan seharusnya kurang dari 10 % agar metode yang

digunakan mencapai ketepatan yang tinggi. Pada percobaan diperoleh nilai kesalahan acak / CV

sebagai berikut.

Kesalahan Acak = 40,606

395,106x 100% = 10,277%

Kesalahan acak umumnya disebabkan masalah-masalah pengukuran berulang termasuk

alat yang digunakan kurang sensitif. Beberapa nilai CV yang diperoleh melebihi 10 %, artinya

Page 27: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

metode tersebut tidak memiliki presisi yang baik. Kemungkinan faktor-faktor penyebabnya

variasi pengukuran setiap praktikan yang berbeda seperti pembacaan meniskus labu takar dan

pipet, kurang tepatnya alat yang digunakan. Untuk mengatasinya, alat yang digunakan harus

dikalibrasi terlebih dahulu. Sebelum penggunaan alat dibersihkan dan dikeringkan terlebih

dahulu agar kontaminasi alat dapat diminimalisir. Dan adapun ada beberapa nilai CV yang

diperoleh tidak terdefinisi yang berarti metode tersebut tidak memiliki presisi yang baik.

Melihat keseluruhan nilai parameter yang didapat, percobaan yang dilakukan sensitivitas,

akurasi maupun presisinya rendah. Banyak kemungkinan faktor penyebabnya baik dari

praktikan, cara pengerjaan, alat maupun metode yang digunakan.

V. KESIMPULAN

1. Metode Bratton-Marshal dapat digunakan untuk menganalisis obat-obat yang memiliki gugus

amina aromatik primer dengan pembentukan senyawa coupling berwarna dari garam diazonium.

2. Metode pengukuran harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya efiesiensi (perolehan

kembali atau recovery), presisi dan akurasi.

3. Berdasarkan teori, metode Bratton-Marshal dapat digunakan untuk menetapkan kadar

sulfametoksazol, karena sulfametoksazol memiliki gugus amina aromatis primer.

4. Pada sampel darah tikus:

Percobaan 1, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata = 349,15 µg/ml,

recovery = 34,315% dan kesalahan sistemik 65,685%

Replikasi 1, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata = 410,027 µg/ml,

recovery = 41,0027% dan kesalahan sistemik 58,9973%.

Replikasi 2, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata = 426,141 µg/ml,

recovery = 42,6141% dan kesalahan sistemik 57,5839%.

Kesalahan acak rata rata pada percobaan 1 hingga repliasi 2 adalah 10,277%

5. Berdasarkan hasil percobaan, metode Bratton-Marshal tidak memenuhi syarat (tidak spesifik dan

selektif) karena tidak memenuhi parameter, yaitu tidak efisien, akurat dan presisi dalam

penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah tikus.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Donatus, I.A., 2008, Strategi Penelitian Farmakokinetika, Cermin Dunia Kedokteran No. 37,

Jakarta.

Gholib, I.G., dan Rohman, A., 2012, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hakim, Lukman, 2008, Farmakokinetik, Bursa Ilmu, Yogyakarta.

Page 28: LAPORAN RESMI PRAKTIKUM 2

Katzung, Bertram, 1992, Farmakologi Dasar dan Klinik, EGC, Jakarta.

Mursyidi, Achmad dan Rohman, Abdul , Editor, 2006, Volumetri dan Gravimetri, Yayasan

Farmasi Indonesia, Yogyakarta.

Mutschler, Ernst, 1991, Dinamika Obat, ITB-Press, Bandung.

Neal, M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi V, Erlangga, Jakarta.

Ritschel, W.A., 1992, Handbook of Basic Pharmacokinetics,4 th ed, Drug Intelligence

Publications, Inc., Hamilton.

Riski,2011,Pengujian in vivo (Uji biologi), http://lordbroken.wordpress.com/2011/05/08/

pengujian-in-vivo-uji-biologi/, diakses 7 Mei 2013, pukul 14.00 WIB.

Shargel, Leon, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Airlangga University Press,

Surabaya.

Shargel, Leon, 2005, Applied Biopharmaceutics & Pharmacheutics, Appleton & Lange, USA.

Yogyakarta, 9 Mei 2013

Asisten, Praktikan,

Viviane Annisa FA/09287 ( )

Anita Kurniawati FA/09317 ( )

Annisafia Rizky D. FA/09320 ( )

Pridiyanto FA/09323 ( )

Mercy Arizona FA/09326 ( )