Laporan Psg Antropometri Gizi
-
Upload
winaa-kurniaa -
Category
Documents
-
view
748 -
download
21
Transcript of Laporan Psg Antropometri Gizi
LAPORAN LENGKAP
PRAKTIKUM GIZI MASYARAKAT
PRAKTIKUM I
ANTROPOMETRI
NAMA : WINA KURNIA S.
NIM : 70200110109
KELOMPOK : BUMIL
TANGGAL PERCOBAAN : 28 MARET 2013
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Berlakang
Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Antrophos artinya
tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi, antropometri artinya ukuran tubuh.
Ditinjau dari sudut gizi, maka antropometri gizi adalah berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Suparasia, dkk., 2001).
Antopometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain berat badan (BB), tinggi badan (TB),
lingkar lengan atas (LILA) dan lemak di bawah kulit.
Antropometi secara umum digunakan untuk meihat ketidakseimbangan
asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah
air dalam tubuh (Suparasia, dkk., 2001).
Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan
adalah antropometri gizi. Dewasa ini dalam program gizi masyarakat,
pemantauan status gizi anak balita menggunakan metode antropometri,sebagai
cara untuk menilai status gizi. Di samping itu pula dalam kegiatan penapisan
status gizi masyarakat selalu menggunakan metode tersebut.
Ukuran tubuh manusia bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin, suku
bangsa, bahkan kelompok pekerjaan. Interaksi antara ruang dengan manusia
secara dimensional dapat menimbulkan dampak antropometris, yaitu
kesesuaian dimensi-dimensi ruang terhadap dimensi tubuh manusia.
Pengukuran antropometri, khususnya bermanfaat bila ada
ketidakseimbangan antara protein dan energi. Dalam beberapa kasus,
pengukuran antropometri dapat mendeteksi malnutrisi tingkat sedang maupun
parah, namun metode ini tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi status
kekurangan (defisiensi) gizi tertentu (Gibson, 2005).
Pengukuran antropometri memiliki beberapa keuntungan dan kelebihan,
yaitu mampu menyediakan informasi mengenai riwayat gizi masa lalu, yang
tidak dapat diperoleh dengan bukti yang sama melalui metode pengukuran
lainnya. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan relatif cepat, mudah, dan
reliable menggunakan peralatan-peralatan yang portable, tersedianya metode-
metode yang terstandardisasi, dan digunakannya peralatan yang terkaliberasi.
Untuk membantu dalam menginterpretasi data antropometrik, pengukuran
umumnya dinyatakan sebagai suatu indeks, seperti tinggi badan menurut umur
(Gibson, 2005).
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah
pada percobaan ini yaitu :
Bagaimanakan cara menentukan status gizi perseorangan berdasarkan
IMT, Lingkar Lengan Atas (LiLA) dan Tebal Lipatan Kulit (TLK).
I.3 Tujuan
Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu untuk menentukan status gizi
perseorangan dengan menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT), Lingkar
Lengan Atas (LiLA), dan Tebal Lipatan Kulit (TLK).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Antropometri
Pertumbuhan dan perkembangan mencakup dua peristiwa yang statusnya
berbeda, tetapi saling berkaitan dan susah dipisahkan. Pertumbuhan (growth)
berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan fungsi tingkat
sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound,
kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan
metabolik (Suparasia, dkk., 2001).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur
dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Pertumbuhan terbagi atas dua
yaitu pertumbuhan linier dan massa jaringan dimana kedua jenis pertumbuhan
tersebut merupakan ukuran antropometri gizi. Pertumbuhan linier misalnya
tinggi badan (TB), lingkar dada, dan lingkar kepala sedangkan pertumbuhan
massa jaringan yaitu berat badan, lingkar lengan atas (LILA) dan tebal lemak
di bawah kulit (TLK). Antropometri sangat umum digunakan utuk mengukur
status gizi dari berbagai ketidak seimbangan antara asupan protein dan energi.
Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Adapun
beberapa syarat yang mendasari penggunaan antropometri ini adalah
(Suparasia, dkk., 2001) :
a) Alatnya mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan
atas, mikrotoa, dan alat pengukur panjang bayi yang dapat dibuat sendiri di
rumah.
b) Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif.
Contohnya apabila terjadi kesalahan pada pengukuran lingkar lengan atas
pada anak balita maka dapat dilakukan pengukuran kembali tanpa harus
persiapan alat yang rumit.
c) Pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus professional,
juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu.
d) Biaya relatife murah, karena alat mudah didapat dan tidak memerlukan
bahan-bahan lainnya.
e) Hasilnya mudah disimpulkan karena mempunyai ambang batas (cut off
points) dan baku rujukan yang sudah pasti.
f) Secara ilmiah diakui kebenaraya. Hampir semua negara mengguakan
antropometri sebagai metode untuk mengukur status gizi masyarakat,
khususnya untuk penapisan (screening) status gizi. Hal ini dikarenakan
antropometri diakui kebearanya secara ilmiah.
Memperhatikan faktor di atas, maka di bawah ini akan diuraikan
keunggulan antropometri yaitu :
a) Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel
yang besar.
b) Relative tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan dengan
tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan
pengukuran antropometri.
c) Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan, dibuat di
daerah setempat.
d) Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan.
e) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi masa lampau.
f) Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi.
g) Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu.
h) Digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.
Di samping keunggulan metode antropometri tersebut, terdapat pula
beberapa kelemahan seperti :
a) Tidak sensitif
Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat dan
tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zinc dan fe.
b) Faktor diluar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi)
dapat menurukan spesifitas dan sensifitas pengukuran antropometri.
c) Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempungaruhi
presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi.
d) Kesalahan terjadi karena:
1. Pengukuran
2. Perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan
3. Analisis dan asumsi yang keliru
e) Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan:
1) Latihan petugas yang tidak cukup
2) Kesalahan alat atau alat tidak ditera
3) Kesulitan pengukuran
II.2 Parameter Antropometri
Antropometri sebagai indicator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia, antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit
(Suparasia, dkk., 2001).
II.2.1 Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan
penentuna umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi
salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat,
menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang
tepat.
Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderunagn untuk
memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh
sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat.
Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari.
Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur
dalam hari tidak diperhitungkan ( Depkes, 2004).
II.2.2 Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan
paling sering digunakan pada bayi yang baru lahir. Berat badan
digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan
BBLR apabila berat bayi di bawah 2500 gram atau 2,5 kg. Pada masa
bayi-balita, berat badan dapat digunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdpat kelainan klinis
seperti dehidrasi, asites, edema, dan adanya tumor.
Berat badan merupakan pilihan utama karena parameternya paling
baik, mudah terlihat perubahannya pada waktu singkat sehingga dapat
menggambarkan status gizi yang sekarang. Berat badan mencerminkan
tatu protein, lemak, air dan massa mineral tulang.
II.2.3 Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan indicator kedua yang penting, karena
dapat menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan. Pengukuran
tinggi badan seseorang pada prinsipnya adalah mengukur jaringan
tulang skeletal yang terdiri kaki, panggul, tulang belakang, dan tulang
tengkorak. Penilaian status gizi pada umumnya hanya mengukur total
tinggi atau panjang yang diukur secara rutin.
Tinggi badan yang dihubungkan dengan umur dapat digunakan
sebagai indicator status gizi masa lalu.
II.2.4 Lingkar Lengan Atas (LILA)
Merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena
mudah, murah dan cepat. Tidak memerlukan data umur yang terkadang
susah diperoleh. Memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot
dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas mencerminkan
cadangan energi, sehingga dapat mencerminkan status KEP pada balita
dan KEK pada ibu WUS dan ibu hamil risiko bayi BBLR. Alat yang
dipergunakan untuk mengukur lingkar lengan atas adalah suatu pita
pengukur dari fiber glass atau sejenis kertas tertentu berlapis plastik.
Lingkar lengan atas diperiksa pada bagian pertengahan jarak antara
olekranon dan tonjolan akromion. Ambang batas LILA WUS dengan
risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Cut of point untuk balita
yang menderita KEP adalah <12,5 cm sedangkan risiko KEK untuk
WUS dan bumil adalah <23,5 cm atau dibagian merah pita LILA,
artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan
melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko
kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan
perkembangan anak (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat
2007).
II.2.5 Tebal Lipatan Kulit (TLK)
Ketebalan lapisan kulit sedikit banyaknya menunjukkan besarnya
kadar lemak bawah kulit yang disebut juga subcutaneous adipose
tissue. Dengan rumus tertentu, penghitungan ketebalannya dapat
menentukan persentase lemak tubuh yang sesuai atau kurang/berlebih
terhadap usia dan jenis kelamin. Kelebihan lemak merupakan latar
belakang dari banyak gangguan kesehatan yang bisa terjadi, dan tak
hanya kelebihan kadar kolesterol dalam darah, penimbunan lemak
yang dapat terjadi dari konsumsi makanan berkalori tinggi atau
mengandung kadar lemak tinggi secara berlebih juga bisa terjadi di
bawah kulit sehingga menyebabkan tubuh kelihatan lebih gemuk dari
semestinya. Oleh faktor-faktor lain seperti adanya gangguan
pencernaan serta metabolisme abnormal pada tubuh, jaringan-jaringan
di bawah kulit akan dipenuhi timbunan lemak yang bisa terlihat seperti
lipatan-lipatan pada kulit. Lipatan kulit ini juga memperjelek
penampilan dengan tampilan tarikan-tarikan pada kulit serta ketebalan
yang cenderung berlebih, dan pada batas tertentu harus dihubungkan
pada bantuan medis bila sudah terlalu over. Pada beberapa metode
penurunan berat badan termasuk cara tradisional seperti tusuk jarum
(akupunktur), pemberian medikasi pada beberapa kasus yang
diperlukan atau teknik-teknik yang lebih mutakhir seperti liposuction,
mesotherapy atau masih banyak lagi, eliminasi lipatan kulit ini menjadi
salah satu titik tujuan penatalaksanaannya di samping penurunan berat
badan atau ukuran-ukuran lingkar tubuh.
TLK dapat dihitung dengan rumus :
Laki-Laki 18-27 tahun
Db = 1,0913 – 0,00116 (∑tricep + scapula)
%BF = [(4,97/Db) – 4,52] x 100
Wanita 18-23 tahun
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑tricep + scapula)
%BF = [(4,76/Db) – 4,28] x 100
Klasifikasi Laki-Laki Wanita
Lean < 8% < 13%
Optimal 8 – 15 % 14 – 23 %
Slighly Overfat 16 – 20 % 24 – 27 %
Fat 21 – 24 % 28 – 32 %
Obesitas ≥ 25 % ≥ 33 %
II.2.6 Lingkar Kepala
Lingkar kepal dihubugkan dengan ukuran otak dan tulang tengkorak.
Dalam antropometri gizi rasio lingkar kepala dan lingkar dada cukup
berarti dalam menentukan KEP pada anak. Pengukuran lingkar kepala
biasa digunakan pada kedokteran anak untuk mendeteksi kelaian seperti
hydrosefalus (ukuran kepala besar) atau microcephaly (ukuran kepala
kecil).
II.2.7 Lingkar Dada
Biasanya dilakukan pada anak yang berumur 2 sampai 3 tahun,
karena rasio lingkar kepala dan lingkar dada sama pada umur 6 bulan.
Setelah umur ini, tulang tengkorak tumbuh secara lambat dan
pertumbuhan dada lebih cepat. Umur antara 6 bulan dan 5 tahun, rasio
lingkar kepala dan dada adalah kurang dari satu, hal ini dikarenakan
akibat kegagalan perkembangan dan pertumbuhan, atau kelemahan otot
dan lemak pada dinding dada. Ini dapat digunakan sebagai indikator
dalam menentukan KEP pada anak balita. Pada anak yang KEP terjadi
pertumbuhan dada yang lambat sehingga rasio lingkar dada dan kepala <
1.
II.2.8 Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi
badan didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau
lansia. Pada lansia digunakan tinggi lutut karena pada lansia terjadi
penurunan masa tulang, bertambah bungkuk, sehingga bertambah sukar
untuk mendapatkan data tinggi badan akurat. Data tinggi badan lansia
dapat menggunakan formula atau nomogram bagi orang yang berusia
>59 tahun. Untuk mendapatkan data tinggi badan dari berat badan dapat
menggunakan pengukuran dengan menggunakan formula Gibson:
Pria : (2.02 x tinggi lutut (cm)) – (0.04 x umur (tahun)) + 64.19
Wanita : (1.83 x tinggi lutut (cm)) – (0.24 x umur (tahun)) + 84.88
II.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)
Laporan FAO/UNU/WHO tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat
badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index
(BMI). Di Indoesia diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT
merupakan alat yang sederhana untuk menentukan status gizi seseorang,
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Penggunaan IMT berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT
tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan
serta tidak bisa diterapkan pada keaadaan khusus penykit seperti edema,
asitesis dan hepatomegali. Berikut adalah formula untuk menghitung
(Suparasia, dkk., 2001) :
IMT =Berat Badan (kg)
Tinggi Badan2 (m)
Adapun ambang batas IMT untuk Indonesia adalah
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat ringan 17,0 – 18,5
Normal >18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,5 – 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
Kelebihan ataupun kekurangan berat badan dapat menimbulkan risiko
kejadian penyakit pada seseorang. Apabila berat badan normal maka risiko
kejadian penyakit lebih rendah. Selain itu, penampilan lebih baik dan lincah.
Sebaliknya, kejadian penyakit lebih berisiko pada kelompok dengan IMT
yang tidak normal serta penampilan yang kurang baik.
BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah timbangan digital seca
untuk mengetahui berat badan, microtoice digunakan untuk mengukur tinggi
badan, pita LiLA digunakan untuk mengukur lingkar lengan atas dan
skinfold caliper digunakan untuk mengukur tebal lipatan kulit.
III.2 Cara Kerja
III.2.1 Berat Badan
a. Subjek mengenakan pakaian biasa (usahakan dengan pakaian
yang minimal). Subjek tidak menggunakan alas kaki.
b. Pastikan timbangan berada pada penunjukan skala dengan angka
0,0.
c. Subjek berdiri di atas timbangan dengan berat yang tersebar
merata pada kedua kaki dan posisi kepala dengan pandangan lurus
ke depan. Usahakan tetap tenang.
d. Bacalah berat badan pada tampilan dengan skala 0,1 kg terdekat.
III.2.2 Tinggi Badan
a. Subjek tidak mengenakan alas kaki. Posisikan subjek tepat berada
dibawah mikrotoice.
b. Kaki rapat, lutut lurus. Tumit, pantat dan bahu menyentuh dinding
vertikal.
c. Subjek dengan pandangan yang lurus ke depan, kepala tidak perlu
menyentuh dinding vertikal. Tangan lepas ke samping badan
dengan telapak tangan menyentuh paha.
d. Mintalah subjek untuk menarik nafas panjang dan berdiri tegak
tanpa mengangkat tumit untuk membantu menegakkan tulang
belakang. Usahakan bahu tetap santai.
e. Tarik microtoice hingga menyentuh ujung kepala, pegang secara
horizontal. Pengukuran tinggi badan diambil pada saat menarik
nafas maksimum. Dengan mata pengukur sejajar dengan alat
penunjuk angka untuk menghindari kesalahan penglihatan. Catat
tinggi badan pada skala 0,1 cm terdekat.
III.2.3 Lingkar Lengan Atas (LILA)
III.2.3.1 Menentukan titik mid point pada lengan
a. Subjek diminta untuk berdiri tegak
b. Mintalah subjek untuk membuka lengan pakaian yang
menutup lengan kiri atas (bagi yang kidal gunakan
lengan kanan).
c. Tekukkan subjek membentuk 900, dengan telapak tangan
menghadap ke atas. Pengukur berdiri dibelakang subjek
dan menentukan titik tengan di antara tulang atas pada
bahu kiri dan siku.
d. Tandailah titik tengah tersebut dengan pena.
III.2.3.2 Mengukur LILA
a. Dengan tangan tergantung lepas dan siku lurus
disamping badan, telapak tangan menghadap ke bawah.
b. Ukurlah lingkar lengan atas pada posisi mid point
dengan pita LILA menempel pada kulit. Jangan sampai
pita menekan kulit atau ada rongga antara kulit dan pita.
c. Lingkar lengan atas dicatat pada skala 0,1 cm terdekat.
III.2.4 Tebal Lipatan Kulit (TLK)
III.2.4.1 Petunjuk Umum
a. Ibu jari dan jari telunjuk dari tangan kiri digunakan
untuk mengangkat kedua sisi dari kulit dan lemak
subkutan kurang lebih 1 cm proximal dari daerah yang
diukur.
b. Lipatan kulit diangkat pada jarak kurang lebih 1 cm yang
tegak lurus arah garis kulit.
c. Lipatan kulit tetap diangkat sampai pengukuran selesai.
d. Caliper dipegang oleh tangan kanan.
e. Pengukuran dilakukan dalam 4 detik setelah penekanan
kulit oleh kapiler dilepas.
III.2.4.2 Mengukur TLK pada Tricep
a. Subjek berdiri dengan kedua lengan tergatung bebas
pada kedua sisi tubuh.
b. Pengukuran dilakukan pada mid point (sama seperti
LILA).
c. Pengukur berdiri dibelakang subjek dan meletakkan
telapak tangan kirinya pada bagian lengan yang paling
atas ke arah tanda yang telah dibuat dimana ibu jari dan
jari telunjuk menghadap ke bawah. Tricept skinfold
diambil dengan menarik pada 1 cm dari proximal pada
titik tengah tadi.
d. Tricept dkinfold diukur dengan mendekati 0,1 mm.
III.2.4.3 Mengukur TLK pada Subscapular
a. Subjek berdiri dengan kedua lengan tergatung bebas
pada kedua sisi tubuh.
b. Letakkan tangan kiri ke belakang.
c. Untuk mendapatkan tempat pengukuran, pemeriksa
meraba scapula dan mencarinya ke arah bawah lateral
sepanjang batas vertebrata sampai menentukan sudut
bawah scapula.
d. Subscapular skinfold ditarik dalam arah diagonal (infero-
lateral) kurang lebih 450 ke arah horizontal garis kulit.
Titik scapula terletak pada bagian bawah sudut scapula.
e. Caliper diletakkan 1 cm infero-lateral dan ibu jari dan
jari telunjuk yang megangkat kulit dan subkutan dan
ketebalan kulit diukur mendekati 0,1 mm.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.1.1 Tabel Pengukuran
No. Nama BB
(kg)
TB
(cm) LILA
TLK %BF IMT
Tricep Scapula
1 Fadillah 43,75 156 22,5 12 12 21,9 18,0
2 Fitriani 39,40 149,5 23 9 12 20,3 17,5
3 Ida
Mudzkirah 48,50 147,5 25,5 22 24 34,8 22,5
4 Maulani 57,20 155,3 29 26,5 32 42,4 23,8
5 Ratih
Faramita 51,60 150 28 23,5 21 33,9 22,9
6 Wina
Kurnia S. 49,70 161 27 19,5 21 31,5 19,2
IV.1.2 Perhitungan Manual
IV.1.2.1 Indeks Massa Tubuh (IMT)
𝐼𝑀𝑇 =BB (kg)
TB m 2
No. Nama Perhitungan IMT
1 Fadilla 𝐼𝑀𝑇 =43,75
1,562
= 18,0
2 Fitriani 𝐼𝑀𝑇 =39,40
1,492
= 17,74
3 Ida Mudzkirah 𝐼𝑀𝑇 =48,50
1,472
= 22,45
4 Maulani 𝐼𝑀𝑇 =57,20
1,552
= 23,83
5 Ratih Faramita 𝐼𝑀𝑇 =51,60
1,502
= 22,93
6 Wina Kurnia S. 𝐼𝑀𝑇 =49,70
1,612
= 19,18
IV.1.2.2 Persentase Body Fat (%BF)
Laki-Laki 18-27 tahun
Db = 1,0913 – 0,00116 (∑tricep + scapula)
%BF = [(4,97/Db) – 4,52] x 100
Wanita 18-23 tahun
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑tricep + scapula)
%BF = [(4,76/Db) – 4,28] x 100
1. Fadillah
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑12 + 12)
= 1,0897 – 0,00133 (24)
= 1,0897 – 0,03192
= 1,05778
%BF = [(4,76/1,05778) – 4,28] x 100
= [(4,499) – 4,28] x 100
= [0,219] x 100
= 21,9 %
2. Fitriani
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑9 + 12)
= 1,0897 – 0,00133 (21)
= 1,0897 – 0,02793
= 1,06177
%BF = [(4,76/1,06177) – 4,28] x 100
= [(4,483) – 4,28] x 100
= [0,203] x 100
= 20,3 %
3. Ida Mudzkirah
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑22 + 24)
= 1,0897 – 0,00133 (46)
= 1,0897 – 0,06118
= 1,02852
%BF = [(4,76/1,02852) – 4,28] x 100
= [(4,628) – 4,28] x 100
= [0,348] x 100
= 34,8 %
4. Maulani
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑26,5 + 32)
= 1,0897 – 0,00133 (58,5)
= 1,0897 – 0,077805
= 1,011895
%BF = [(4,76/1,011895) – 4,28] x 100
= [(4,704) – 4,28] x 100
= [0,424] x 100
= 42,4 %
5. Ratih Faramita
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑23,5 + 21)
= 1,0897 – 0,00133 (44,5)
= 1,0897 – 0,059185
= 1,030515
%BF = [(4,76/1,030515) – 4,28] x 100
= [(4,619) – 4,28] x 100
= [0,339] x 100
= 33,9 %
6. Wina Kurnia S.
Db = 1,0897 – 0,00133 (∑19,5 + 21)
= 1,0897 – 0,00133 (40,5)
= 1,0897 – 0,053865
= 1,035835
%BF = [(4,76/1,035835) – 4,28] x 100
= [(4,595) – 4,28] x 100
= [0,315] x 100
= 31,5 %
IV.2 Pembahasan
IV.2.1 Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
IV.2.1.1 Subjek Pertama
Subjek pertama atas nama Fadillah memiliki BB = 43,75 kg
dan TB = 156 cm. Apabila dihitung dengan menggunakan rumus
IMT, maka diperoleh IMT = 18,0 dengan pengukuran secara
manual dan dengan menggunakan timbangan digital seca.
Menurut Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia, IMT =
17,0 – 18,5 termasuk dalam kategori kekurangan berat badan
tingkat ringan. Hal ini menunjukkan bahwa subjek pertama
tergolong dalam kategori kekurangan berat badan tingkat ringan
(kurus ringan) karena berada pada ambang batas tersebut.
IV.2.1.2 Subjek Kedua
Subjek kedua atas nama Fitriani memiliki BB = 39,40 kg dan
TB = 149,5 cm. Apabila dihitung dengan menggunakan rumus
IMT, maka dengan pengukuran secara manual diperoleh IMT =
17,74 sedangkan dengan menggunakan timbangan digital seca
diperoleh IMT = 17,5. Perbedaan hasil pengukuran tersebut
dipengaruhi oleh penggunaan tanda koma (,) pada proses
perhitungan.
Menurut Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia IMT
17,0 – 18,5 termasuk dalam kategori kekurangan berat badan
tingkat ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek kedua
tergolong dalam kategori kekurangan berat badan ringan (kurus
ringan) karena berada pada ambang batas tersebut.
IV.2.1.3 Subjek Ketiga
Subjek ketiga atas nama Ida Mudzkirah memiliki BB = 48,50
kg dan TB = 147,5 cm. Apabila dihitung dengan menggunakan
rumus IMT, maka dengan pengukuran secara manual diperoleh
IMT = 22,45 sedangkan dengan menggunakan timbangan digital
seca diperoleh IMT = 22,5. Perbedaan hasil pengukuran tersebut
dipengaruhi oleh penggunaan tanda koma (,) pada proses
perhitungan.
Menurut Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia IMT
18,5 – 25,0 termasuk dalam kategori normal. Hal tersebut
menunjukkan bahwa subjek ketiga tergolong dalam kategori
normal karena berada pada ambang batas tersebut.
IV.2.1.4 Subjek Keempat
Subjek keempat atas nama Maulani memiliki BB = 57,2 kg
dan TB = 155,3 cm. Apabila dihitung dengan menggunakan
rumus IMT, maka dengan pengukuran secara manual diperoleh
IMT = 23,83 sedangkan dengan menggunakan timbangan digital
seca diperoleh IMT = 23,8. Perbedaan hasil pengukuran tersebut
dipengaruhi oleh penggunaan tanda koma (,) pada proses
perhitungan.
Menurut Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia IMT
18,5 – 25,0 termasuk dalam kategori normal. Hal tersebut
menunjukkan bahwa subjek keempat tergolong dalam kategori
normal karena berada pada ambang batas tersebut.
IV.2.1.5 Subjek Kelima
Subjek kelima atas nama Ratih Faramita memiliki BB =
51,60 kg dan TB = 150 cm. Apabila dihitung dengan
menggunakan rumus IMT, maka dengan pengukuran secara
manual diperoleh IMT = 22,93 sedangkan dengan menggunakan
timbangan digital seca diperoleh IMT = 22,9. Perbedaan hasil
pengukuran tersebut dipengaruhi oleh penggunaan tanda koma
(,) pada proses perhitungan.
Menurut Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia IMT
18,5 – 25,0 termasuk dalam kategori normal. Hal tersebut
menunjukkan bahwa subjek kelima tergolong dalam kategori
normal karena berada pada ambang batas tersebut.
IV.2.1.6 Subjek Keenam
Subjek keenam atas nama Wina Kurnia S., memiliki BB =
49,7 kg dan TB = 161 cm. Apabila dihitung dengan
menggunakan rumus IMT, maka dengan pengukuran secara
manual diperoleh IMT = 19,18 sedangkan dengan menggunakan
timbangan digital seca diperoleh IMT = 19,2. Perbedaan hasil
pengukuran tersebut dipengaruhi oleh penggunaan tanda koma
(,) pada proses perhitungan.
Menurut Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia IMT
18,5 – 25,0 termasuk dalam kategori normal. Hal tersebut
menunjukkan bahwa subjek keenam tergolong dalam kategori
normal karena berada pada ambang batas tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, subjek pertama dan kedua berada pada
kategori kurus ringan sedangkan subjek ketiga sampai subjek keenam
berada pada kategori normal. Kekurangan atau kelebihan berat badan akan
menimbulkan risiko terhadap berbagai macam penyakit serta
mempengaruhi penampilan dan frekuensi gerak tubuh. Dengan demikian,
dianjurkan untuk menjaga pola makan yang menerapkan PUGS dan
berperilaku hidup sehat dan bersih.
IV.2.2 Status Gizi Berdasarkan Lingkar Lengan Atas (LILA)
IV.2.2.1 Subjek Pertama
Subjek Pertama atas nama Fadillah memperoleh hasil
pengukuran LILA = 22,5 cm. Menurut Kategori Ambang Batas
LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia, hasil pengukuran
LILA < 23,5 cm menunjukkan adanya risiko KEK. Artinya,
subjek pertama mempunyai risiko KEK karena hasil pengukuran
LILA < 23,5 cm.
IV.2.2.2 Subjek Kedua
Subjek kedua atas nama Fitriani memperoleh hasil pengukuran
LILA = 23 cm. Menurut Kategori Ambang Batas LILA WUS
dengan risiko KEK di Indonesia, hasil pengukuran LILA < 23,5
cm menunjukkan adanya risiko KEK. Artinya, subjek kedua
mempunyai risiko KEK karena hasil pengukuran LILA < 23,5
cm.
IV.2.2.3 Subjek Ketiga
Subjek ketiga atas nama Ida Mudzkirah memperoleh hasil
pengukuran LILA = 25,5 cm. Menurut Kategori Ambang Batas
LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia, hasil pengukuran
LILA < 23,5 cm menunjukkan adanya risiko KEK. Artinya,
subjek ketiga tidak mempunyai risiko KEK karena hasil
pengukuran LILA > 23,5 cm.
IV.2.2.4 Subjek Keempat
Subjek keempat atas nama Maulani memperoleh hasil
pengukuran LILA = 29 cm. Menurut Kategori Ambang Batas
LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia, hasil pengukuran
LILA < 23,5 cm menunjukkan adanya risiko KEK. Artinya,
subjek keempat tidak mempunyai risiko KEK karena hasil
pengukuran LILA > 23,5 cm.
IV.2.2.5 Subjek Kelima
Subjek kelima atas nama Ratih Faramita memperoleh hasil
pengukuran LILA = 28 cm. Menurut Kategori Ambang Batas
LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia, hasil pengukuran
LILA < 23,5 cm menunjukkan adanya risiko KEK. Artinya,
subjek kelima tidak mempunyai risiko KEK karena hasil
pengukuran LILA > 23,5 cm.
IV.2.2.6 Subjek Keenam
Subjek keenam atas nama Wina Kurnia S., memperoleh hasil
pengukuran LILA = 27 cm. Menurut Kategori Ambang Batas
LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia, hasil pengukuran
LILA < 23,5 cm menunjukkan adanya risiko KEK. Artinya,
subjek keenam tidak mempunyai risiko KEK karena hasil
pengukuran LILA > 23,5 cm.
Jadi, berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa terdapat
dua subjek yakni subjek pertama dan kedua berisiko KEK. KEK
disebabkan kurangnya asupan energi makro sehingga dianjurkan kepada
wanita dengan risiko KEK agar mencukupi konsumsinya dengan
menerapkan pedoman umum gizi seimbang (PUGS) menunda kehamilan,
dan tetap berperilaku hidup sehat. Selanjutnya, subjek ketiga sampai
subjek keenam berada pada kategori tidak berisiko KEK. Oleh karena itu,
sangat dianjurkan untuk mempertahankan kondisi kesehatan, hidup sehat
dan apabila hamil, harus memeriksakan kehamilan secara rutin.
IV.2.3 Status Gizi Berdasarkan Tebal Lipatan Kulit (TLK)
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan dengan memasukkan nila
tricep dan subcular ke dalam rumus dan menghitung nilai %BF, maka
diperoleh hasil :
IV.2.3.1 Subjek Pertama
Subjek pertama atas nama Fadillah dengan nilai %BF = 21,9
% menunjukkan bahwa subjek pertama berada dalam kategori
optimal.
IV.2.3.2 Subjek Kedua
Subjek kedua atas nama Fitriani dengan nilai %BF = 20,3 %
menunjukkan bahwa subjek kedua berada dalam kategori
optimal.
IV.2.3.3 Subjek Ketiga
Subjek ketiga atas nama Ida Mudzkirah dengan nilai %BF =
34,8 % menunjukkan bahwa subjek ketiga berada dalam kategori
obesitas.
IV.2.3.4 Subjek Keempat
Subjek keempat atas nama Maulani dengan nilai %BF = 42,4
% menunjukkan bahwa subjek keempat berada dalam kategori
obesitas.
IV.2.3.5 Subjek Kelima
Subjek kelima atas nama Ratih Faramita dengan nilai %BF =
33,9 % menunjukkan bahwa subjek kelima berada dalam
kategori obesitas.
IV.2.3.6 Subjek Keenam
Subjek keenam atas nama Wina Kurnia S., dengan nilai %BF
= 31,5 % menunjukkan bahwa subjek keenam berada dalam
kategori fat.
Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa ada dua subjek yaitu
subjek pertama dan kedua dengan nilai %BF masing-masing 21,9% dan
20,3% , termasuk dalam kategori optimal sehingga dianjurkan untuk
mempertahankan kondisi tersebut dan mengoptimalkan pola hidup sehat.
Berbeda dengan subjek ketiga sampai subjek keenam dengan nilai %BF
berturut-turut 34.8%, 42,4 %, 33,9 %, dan 31,5% menunjukkanbahwa
subjek tersebut berada pada kategori fat dan obesitas di mana kategori fat =
28 – 32% sedangkan obesitas = ≥ 33%.
Hasil perhitungan yang melewati batas normal dipastikan bahwa
persentasi lemak tubuhnya berada pada keadaan berlebih dan perlu
diwaspadai dalam penjagaan kesehatan secara keseluruhan.
Keadaan obesitas sering dihubungkan dengan kejadian penyakit jantung
koroner (PJK). Orang dengan obesitas lebih cenderung disertai dengan
hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidema, gangguan pernapasan, dan
komplikasi ortopedik. Oleh karena itu, seseorang dengan obesitas harus
memperbaiki pola hidup agar dapat memperoleh nilai normal pada
pengukuran.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, adapun kesimpulan laporan ini yaitu :
1. Pada pengukuran status gizi berdasarkan IMT diperoleh hasil yaitu
terdapat 4 subjek tergolong dalam kategori normal dengan nilai IMT
berada pada ambang batas 18,5 – 25,0 yaitu subjek tiga sampai enam
dengan IMT masing-masing 22,5; 23,8; 22,9; 19,2; dan dua subjek
diantaranya tergolong dalam kategori kekurangan berat badan tingkat
ringan (kurus ringan) dengan nilai IMT berada pada ambang batas 17,0 –
18,5 yaitu subjek pertama dan kedua dengan IMT masing-masing 18,0 dan
17,5.
2. Pada pengukuran status gizi berdasarkan LILA diperoleh hasil yaitu subjek
empat sampai enam termasuk subjek yang tidak mempunyai risiko KEK
dengan hasil pengukuran LILA >23,5 dan subjek pertama dan kedua
mempunyai risiko KEK karena hasil pengukuran LILA < 23,5.
3. Pada pengukuran status gizi berdasarkan TLK maka diperoleh hasil yaitu
subjek pertama termasuk dalam kategori optimal dengan nilai %BF yaitu
21,9 %, subjek kedua termasuk dalam kategori optimal dengan nilai %BF
= 20,3 %, subjek ketiga termasuk dalam kategori obesitas dengan nilai
%BF = 34,8 %, subjek keempat termasuk dalam kategori obesitas dengan
nilai %BF = 42,4 %, subjek kelima termasuk dalam kategori obesitas
dengan nilai %BF = 33,9 % dan subjek keenam termasuk dalam kategori
fat dengan nilai %BF = 31,5 %.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2010. Menghitung Tebal Lipatan Kulit. http://www.waspadamedan.com.
Diakses pada tanggal 28 Maret 2013
Andriyani, Metti. 2010. Indeks Massa Tubuh. http://mettyandriyani.blogspot.com.
Di akses pada tanggal 28 Maret 2013
Auliya. 2012. Pengukuran Antropometri. http://auliya-0210.blogspot.com.
Diakses pada tanggal 28 Maret 2013
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2011. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fatmasari, Irma. 2012. Mengukur Status Gizi dengan LILA.
http://www.irmafatmasari.com. Diakses pada tanggal 28 Maret 2013
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
**masih dalam proses belajar, jika ada yang kurang sesuai mohon dimaklumi