Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

50
BLOK DENTAL PHARMACY LAPORAN PRESENTASI KASUS PERTIMBANGAN PEMBERIAN OBAT-OBATAN PADA PENDERITA KELAINAN ENDOKRIN Disusun oleh Kelompok 4: 1. Kaisati Luthfina (G1G011018) 2. Anis Syarifah (G1G011025) 3. Denik Mutaqin (G1G011028) 4. Aisya Erryza M (G1G011034) 5. Diajeng Rita T (G1G011037) 6. Rizqa Artiningsih H (G1G011038) 7. Rofian Nur W (G1G011039) 8. Afiya Fathina S (G1G011040) 9. Arizta Rahmah P (G1G011042) 10. Fadila Isnaening R (G1G011043) 11. Maria Savyana S (G1G010044) KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

description

laporan

Transcript of Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

Page 1: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

BLOK DENTAL PHARMACY LAPORAN PRESENTASI KASUS

PERTIMBANGAN PEMBERIAN OBAT-OBATAN PADA PENDERITA KELAINAN ENDOKRIN

Disusun olehKelompok 4:

1. Kaisati Luthfina (G1G011018)2. Anis Syarifah (G1G011025)3. Denik Mutaqin (G1G011028)4. Aisya Erryza M (G1G011034)5. Diajeng Rita T (G1G011037)6. Rizqa Artiningsih H (G1G011038)7. Rofian Nur W (G1G011039)8. Afiya Fathina S (G1G011040)9. Arizta Rahmah P (G1G011042)10. Fadila Isnaening R (G1G011043)11. Maria Savyana S (G1G010044)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2013

Page 2: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2

C. Tujuan .............................................................................................. 2

D. Manfaat ............................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 4

A. Trismus ............................................................................................ 4

B. Tumor Kelenjar Tiroid ..................................................................... 9

C. Muscle Relaxant .............................................................................. 13

D. Analgesik ......................................................................................... 15

BAB III PEMBAHASAN .......................................................................... 19

A. Kasus ............................................................................................... 19

B. Pembahasan ..................................................................................... 19

1. Hubungan Trismus dengan Tumor Tiroid ................................. 19

2. Terapi yang Tepat pada Kasus ................................................... 23

BAB IV PENUTUP .................................................................................... 26

A. Simpulan .......................................................................................... 26

B. Saran ................................................................................................ 26

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 27

DAFTAR GAMBAR

Page 3: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

Gambar 2.1 Mekanisme Kerja AINS ............................................................. 18

BAB I

Page 4: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri merupakan suatu perasaan yang tidak nyaman dimana perasaan ini

sebenarnya bersifat subyektif dengan respon individual yang sangat bervariasi.

Nyeri dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu nyeri ringan, nyeri ringan

yang menahun, nyeri yang hebat, dan nyeri hebat yang menahun. Nyeri juga

dapat dibedakan menjadi nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik, dan nyeri

psikogen, nyeri inilah yang seringkali menjadi keluhan utama pasien sehingga

datang ke dokter ataupun dokter gigi (Dewoto, 2006).

Nyeri dalam lingkup kedokteran gigi yang paling sering dikeluhkan di

daerah orofacial. Salah satu penyebab nyeri adalah adanya karies dimana

karies merupakan suatu penyakit jaringan keras yang terjadi akibat adanya

demineralisasi mineral email dan dentin, serta kavitasi. Akhirnya, infeksi

pulpa dentis dapat terjadi apabila lesi karies berlanjut, lalu selanjutnya akan

menyebabkan pulpitis akut. Kerusakan pulpa pada stadium ini akan bersifat

irreversible dan akan timbul nyeri hebat yang kontinyu dan menusuk – nusuk

(Isselbacher, dkk, 1999). Selain keadaan nyeri karena karies, nyeri juga dapat

disebabkan karena adanya suatu keadaan dimana rahang terasa terkunci dan

tidak dapat dibuka, hal ini dikarenakan adanya spasme pada muskulus

masetter. Keadaan ini disebut dengan trismus. Keadaan ini tidak termasuk ke

dalam golongan penyakit namun lebih terhadap manifestasi klinis dari sebuah

penyakit, contohnya pada penyakit tetanus (Behrman dkk, 1999). Spasme otot

merupakan kontraksi otot involunter yang nyeri sehingga menyebabkan

gerakan involunter. Muscle relaxant dapat digunakan dalam penanganan

masalah ini, atau obat pelemas otot. Obat-obat golongan ini bekerja selektif di

sistem saraf pusat, tujuan utam penggunaan obat ini adalah merelaksasi otot,

dimana mekanisme kerjanya mungkin dapat diakibatkan karena adanya

aktivitas depresi, untuk obat yang sekarang tersedia hanya dapat mengurangi

nyeri karena spasme, tetapi kurang efektif untuk memperbaiki fungsi otot

yang terganggu (Setiawati dan Gan, 2009).

Page 5: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

Nyeri sangat mengganggu bagi rata-rata orang, sehingga mereka akan

mencari pengobatan. Obat untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri

tanpa menghilangkan kesadaran disebut dengan analgesik. Analgesik terbagi

menjadi analgesik narkotik dan analgesik non narkotik. Analgesik narkotik

merupakan obat yang memiliki daya penghalang rasa nyeri yang besar dengan

titik tangkap yang terletak di pusat, obat ini masuk ke dalam golongan obat

narkotik. Obat ini memiliki efek adiksi. Sedangkan obat non narkotik sendiri

dapat juga digologkan dalam Non Steroid Anti Inflamation Drug (NSAID)

umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang dapat digunakan

dalam pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomy, dan masalah

pada punggung bagian bawah (Muttaqin, 2008). Analgesik dapat ditunjang

kerjanya oleh muscle relaxant.

Tumor kelenjar tiroid merupakan lesi dengan batas yang jelas, soliter yang

terkadang disertai fibrosis, perdarahan dan kalsifikasi, Nodul ini tidak terasa

sakit dan sebagian bersifat nonfungsional . Menurut Otto (2003) Pengobatan-

pegobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain

tiroidektomi total, terapi Ablasi Iodium Radioaktif, Terapi Supresi L-Tiroksin,

dan langkah terakhir dilakukan evaluasi. Perlu diketahui adanya interaksi

antara penggunaan analgesik dan muscle relaxant dengan obat-obatan atau

terapi-terapi yang dilakukan untuk mengobati tumor kelenjar tiroid ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan trismus dengan tumor kelenjar tiroid yang diderita

oleh pasien pada kasus?

2. Penatalaksanaan apa yang tepat untuk diberikan kepada pasien dalam

kasus tersebut?

C. Tujuan

1. Mengetahui hubungan trismus dengan tumor kelenjar tiroid yang diderita

oleh pasien pada kasus.

2. Memilih penatalaksanaan yang tepat untuk diberikan kepada pasien dalam

kasus.

Page 6: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

D. Manfaat

1. Mahasiswa dapat memahami hubungan antara trismus dengan tumor

kelenjar tiroid yang diderita oleh pasien pada kasus.

2. Mahasiswa dapat menentukan penatalaksanaan yang tepat untuk diberikan

kepada pasien dalam kasus.

Page 7: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Trismus

1. Gambaran Umum

Dhanrajani (2002) menjelaskan trismus sebagai ketidakmampuan

membuka mulut. Trismus juga sebagai tanda adanya gangguan motorik

pada nervus trigeminus khususnya spasme otot mastikasi dan sebagai gejala

awal adanya tetanus. Trismus diketahui berpotensi menyebabkan beberapa

gangguan lainnya baik mencakup gangguan bersifat non-progresif maupun

yang membahayakan nyawa. Trismus dapat menjadi indikasi kondisi

patologis dari otot-otot pengunyahan (masseter, temporalis atau otot

pterigoid) pada pasien yang sedang menjalani prosedur perawatan gigi,

bedah mulut, dan terapi radiasi untuk mengobati kanker kepala dan leher.

Kondisi hipomobilitas membuka mulut dapat menyebabkan degenarasi otot

dan kontraktur jaringan ikat atau pemendekan jaringan ikat karena kontraksi

yang terus terjadi yang kemudian menyebabkan atrofi kedua pada otot

(Shulman, 2008).

Djikstra (2005) menyebutkan insidensi trismus ditemukan sebesar 2%

pada pasien dengan pertumbuhan tumor kepala-leher dan dianggap sebagai

gejala awal tumor nasofaring sebesar 5%. Pasien anak dengan diagnosis

tumor nasofaring sebanyak 36% mengalami trismus saat pemeriksaan dan

pada pasien dengan diagnosis tumor parafaringeal maligna tercatat sebesar

55% yang mengalami trismus ketika diagnosis dilakukan. Catatan tambahan

menyebutkan bahwa trismus dapat diinduksi oleh perawatan bedah maupun

radioterapi pada kasus tumor jinak daerah kepala dan leher sebesar 8%.

Pelaporan insiden trismus disebutkan bervariatif mengingat tidak adanya

standar umum diagnosis trismus.

Page 8: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

2. Diagnosis

Dhanrajani (2002) menyebutkan pembukaan normal rongga mulut secara

vertikal dianggap normal ketika berkisar antara 40-60 mm meskipun

beberapa ahli ada pula yang menyebutkan angka 35 mm sebagai batas

minimalnya. Pengukuran pembukaan rongga mulut dapat dilakukan

menggunakan jari tangan ataupun penggaris tertentu. Pengukuran

menggunakan jari tangan berpatokan pada lebar indeks jari secara horizontal

sebesar 17-19 mm sehingga pembukaan normal mulut dianggap antara 2

lebar jari (40 mm) sampai 3 lebar jari (54-57 mm). Bukti terkini

menunjukkan adanya pengaruh gender dimana untuk membuka mulut

secara vertikal maka secara umum laki-laki akan lebih besar. Pembukaan

normal mulut secara lateral disebutkan berkisar antara 8-12 mm.

Diagnosis trismus hingga kini memiliki patokan ukuran yang berbeda-

beda. Diagnosis trismus secara umum ada yang menyebutkan pembukaan

mulut kurang dari 20 mm ataupun pembukaan mulut kurang dari 40 mm.

Djikstra (2005) menyebutkan ketika mengacu pada hasil penelitian Thomas

(1988) kondisi trismus kategori ringan dicirikan dengan pembukaan mulut

>30 mm, trismus kategori sedang disebutkan berkisar antara 15-30 mm dan

untuk kategori trismus parah disebutkan <15 mm sementara pada Sakai, dkk

(1988) yang menyebutkan pembukaan mulut sebesar >30 mm termasuk

kategori normal, trismus sedang berkisar 20-30 mm dan untuk kategori

trismus berat sebesar <10 mm namun pada literatur ini tidak menyebutkan

kategori kondisi trismus ketika pembukaan mulut tercatat sebesar 10-20

mm.

Djikstra (2005) menjelaskan bahwa trismus akan mengganggu

pembukaan mulut, menggigit, mengunyah, berbicara, tertawa dan pada

kasus yang parah dapat menyebabkan tingkat kebersihan rongga mulut.

Penggunaan protesa pada pasien edentulous akan mempengaruhi insidensi

trismus pula dimana kemungkinannya menjadi lebih besar dan pembukaan

yang mungkin dilakukan lebih kecil. Kelompok pasien dengan gangguan

pada TMJ, maka fungsi pergerakan mandibulanya hanya tersisa sekitar 5%.

Page 9: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

3. Etiologi

Menurut Dhanrajani (2002), bahwa etiologi dari trismus secara umum

terbagi menjadi dua yaitu intra-artikular dan ekstra-artikular. Penjelasan

untuk keduanya yaitu :

a. Intra-Artikular

1) Ankilosis

2) Artitis sinovitis

3) Kondisi patologis pada meniskus

b. Ekstra-Artikular

1) Infeksi

Terbatasnya pembukaan rahang merupakan tanda dari adanya

infeksi pada daerah mastikasi. Trismus dapat dikarenakan adanya

infeksi gigi yang harus dievaluasi secara sistemik sehingga dapat

meminimalisasi potensi membahayakan hidup. Infeksi yang dapat

menyebabkan trismus adalah infeksi odontogenik dan non

odontogenik. Infeksi odontogenik berdasar asalnya terbagi menjadi 3

yaitu pulpa, periodontal dan perikoronal. Infeksi jenis ini pada

sebagian besar kasus disebabkan oleh adanya erupsi gigi molar ketiga

dan beberapa kasus menyebutkan infeksi odontogenik juga akan

melibatkan otot-otot mastikasi. Infeksi jenis ini susah untuk ditelusuri

karena dapat menyebar pada berbagai area kepala dan leher yang

kemudian berpotensi menimbulkan komplikasi serius seperti sellulitis

pada leher atau medianitis. Infeksi jenis non odontogenik yang dapat

menyebabkan trismus meliputi tonsillitis, tetanus, meningitis, abses

parotid dan abses pada otak (Dhanrajani, 2002).

2) Trauma

Dhanrajani (2002) menjelaskan adanya fraktur pada mandibula

dapat menyebabkan terbatasnya pembukaan rahang. Backland (1988)

dalam Dhanrajani (2002) menjelaskan trauma dapat ditemukan ketika

adanya kerusakan jaringan seperti pada cedera, penggunaan anastesi

umum dan prosedur perawatan gigi yang kompleks seperti kasus

ekstraksi yang membutuhkan waktu lama. Trismus dapat digolongkan

Page 10: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

sebagai suatu trauma pada sendi temporomandibular dimana tercatat

dari 779 pasien terdapat sebesar 33,4% pasien menderita trismus

setidaknya selama 1 minggu. Kasus trismus yang termasuk jarang

ditemukan adalah ketika terjadi trauma pada arkus zigomatikus dan

kompleks maksila-zigomatikus yang akan mengganggu pergerakan

prosessus koronoideus.

3) Perawatan Gigi

Dhanrajani (2002) menyebutkan adanya operasi ataupun perawatan

tertentu pada daerah rongga mulut dapat menghasilkan adanya

pembatasan pembukaan rahang. Ekstraksi gigi merupakan salah satu

perawatan yang dapat menyebabkan terjadinya trismus sebagai hasil

dari adanya inflamasi yang melibatkan otot mastikasi maupun trauma

langsung pada sendi temporomandibular (TMJ). Trismus juga sering

dijumpai selama 2-5 hari sebagai efek dari anastesi pada blok

mandibula. Hal tersebut biasanya terjadi karena adanya

ketidaktepatan posisi jarum suntik ketika memberikan anastesi blok

nervus inferior.

4) Temporomandibular joint disorders (TMD)

Gangguan pada sendi temporomandibular ini memiliki bermacam

subkategori yang beberapa diantaranya berkaitan dengan trismus.

Gangguan sendi temporomandibular dapat dibagi menjadi dua jenis

yaitu ekstra-kapsular (utamanya miofasial) dan intra-kapsular

(mencakup disk displacement, arthritis, fibrosis dan lainnya). Jenis

intra-kasular sering diakibatkan karena adanya trauma dimana dapat

ditemukan nyeri ketika dipalpasi pada daerah lateral hingga kapsul

sendi. Clicking yang terjadi dapat mengindikasi terjadinya anterior

disc displacement dimana perawatan dengan analgesik tidak

dibutuhkan. Kondisi seperti adanya fibrosis maupun hyperplasia pada

kondilus yang bersifat unilateral membutuhkan perawatan dan

konsultasi operasi.

Dhanrajani (2002) menambahkan kecurigaan terhadap adanya

trauma pada daerah TMJ perlu dilakukan ketika didapat pasien

Page 11: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

berumur muda yang mengalami disfagia dan trismus namun tidak

memiliki etiologi infeksius yang serius. Adanya perubahan posisi

meniscus dari area anteromedial menuju kondil dapat menyebabkan

kondisi akut rahang terkunci dengan kemampuan membuka rahang

berkisar antara 20-25 mm dimana biasanya pasien memiliki riwayat

clicking paroxysmal dan beberapa kondisi tidak nyaman lainnya.

5) Tumor dan Keganasan

Trismus sangat jarang ditemukan sebagai gejala dari tumor

nasofaringeal ataupun infratemporalis maupun fibrosis dari insersi

tendon temporalis yang menyebabkan keterbatasan pergerakan

rahang. Namun, ditemukan kasus trismus akibat adanya fibrosis pada

jaringan submukosa di kavitas oral yang nantinya dapat

mengakibatkan kesulitan membuka mulut (Dhanrajani, 2002).

6) Obat-Obatan

Dhanrajani (2002) menyebutkan bahwa terdapat beberapa obat

yang dapat menyebabkan trismus sebagai efek kedua penggunaan

obat seperti succinyl choline, phenothiazines dan tricyclic

Antidepressant sementara obat yang berefek samping menimbulkan

trismus diantaranya metaclopramide, phenothiazines dan lain-lain.

7) Radooterapi dan Kemoterapi

Radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan stomatitis,

osteoradionekrosis, dan fibrosis yang dapat menyebabkan trismus.

8) Kongenital

Dhanrajani (2002) menjelaskan bahwa terdapat beberapa pelaporan

kasus insidensi trismus karena hipertrofi pada prosessus koronoideus

yang menyebabkan adanya penghalangan prosessus koronoideus

terhadap margin anteromedial arkus zigomatikus. Gejala trismus

pseudo-camptodastili adalah abnormalitas yang jarang terjadi pada

tangan, kaki, dan mulut disertai adanya trismus.

9) Bermacam-macam Gangguan

Dhanrajani (2002) menyebutkan bahwa hysteria (psikogenik),

lupus eritematosus dan lain-lain dapat menyebabkan trismus.

Page 12: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

4. Perawatan

Perawatan trismus dilakukan berdasar etiologinya. Trismus yang

disebabkan oleh adanya perawatan gigi karena anastesi blok seuperior

alveolar atau inferior alveolar sering ditemukan meskipun tingkat

ketidaknyamanan dan disfungsi yang ada bervariasi namun biasanya

tergolong kategori ringan. Pasien yang ketika dianamnesis menyatakan

kondisi tersebut maka perlu dilakukan perjanjian perawatan yang meliputi:

terapi panas, analgesik, diet lunak dan jika diperlukan penggunaan muscle

relaxant dimana hal ini untuk mengatasi spasme otot yang terjadi secara

dini.

Terapi panas dilakukan dengan menempatkan handuk panas pada area

yang terkena selama 15-20 menit setiap jamnya. Aspirin merupakan obat

yang sering digunakan dalam kasus trismus sebagai antiinflamasinya. Rasa

ketidaknyamanan yang semakin sering/kuat maka perlu dilakukan

pemberian obat analgesik tipe opioid dan ketika benar-benar diperlukan

dapat dilakukan pemberian diazepam (2,5-5 mg, 3 kali sehari) atau

benzodiazepine sebagai muscle relaxant. Pasien yang telah melewati fase

akut maka pasien akan disarankan untuk menjalani fisioterapi membuka dan

menutup mulut serta gerak lateral mandibula selama 5 menit setiap 3-4

jamnya. Pengunyahan permen dengan kandungan gula rendah adalah teknik

lain untuk melatih gerak lateral TMJ. Kondisi trauma yang terdapat pada

pasien atau kecurigaan ketika pasien memiliki letak trigger tertentu pada

kasus TMD perlu mendapat catatan khusus di rekam medis.

B. Tumor Kelenjar Tiroid

1. Gambaran Umum

Berdasarkan Otto (2003), tumor adalah penyakit pertumbuhan sel, terdiri

dari sel-sel yang mempunyai bentuk, sifat dan kinetika berbeda dari sel

normal asalnya, serta pertumbuhannya yang liar, autonom dan terlepas dari

kendali pertumbuhan sel normal. Sel normal dibagi ke dalam tiga kategori

utama pertumbuhan sel yaitu:

Page 13: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

a. Statis (tidak membelah), yaitu sel yang tidak terus membelah setelah

periode pascaembrionik. Kerusakan yang terjadi pada sel ini maka tidak

bisa diganti, contohnya sel saraf dan sel otak.

b. Membesar (istirahat), yaitu sel yang dapat membesar dan akan berhenti

pada pencapaian ukuran normal, dimana sel ini dapat memasuki siklus

sel kembali serta membelah selama waktu keutuhan fisiologis. Contoh

sel ini yaitu sel hati, sel ginjal dan sel kelenjar endokrin.

c. Memperbarui diri (terus membelah), yaitu sel yang memiliki aktifitas

reproduksi tinggi, mempunyai masa hidup dan terus bereplikasi

menggantikan sel yang mati. Contohnya yaitu sel darah.

Kelenjar tiroid adalah organ endokrin yang terletak di sekitar leher

manusia dan memiliki dua buah lobus yang keduanya dihubungkan oleh

istmus tipis dibawah kartilago krikoidea di leher. Kelenjar tiroid berfungsi

sebagai penghasil hormon tiroid thyroxine (T4) dan triiodothyronine

(Djokomoeljanto, 2009).

Tumor atau adenoma kelenjar tiroid merupakan massa yang soliter

(tunggal) dan diskrit (multipel). Nodul ini tidak terasa sakit dan sebagian

bersifat nonfungsional. Adapun adenoma yang dapat menyebabkan

tirotoksikosis dan menjadi prekursor kanker. Penyebab timbulnya nodul ini

disebabkan oleh produksi hormon tiroid yang berlebihan namun sebagian

besar adenoma tiroid dapat disembuhkan. Sebanyak 5-10% dari nodul tiroid

yang ditemukan di klinik bersifat ganas, oleh karena itu perlu cara deteksi

kanker yang mungkin ditemukan untuk menghindari pembedahan atau

tindakan lain yang tidak perlu pada sebagian besar kasus nodul tiroid.

Antara nodul tiroid jinak dan ganas sulit dibedakan secara klinis

(Tambayong, 2000).

2. Morfologi

Tumor tiroid merupakan lesi dengan batas yang jelas, soliter yang

terkadang disertai fibrosis, perdarahan dan kalsifikasi. Tumor dipisahkan

dengan jelas dari parenkim di sekitarnya oleh kapsula fibrosa dan menekan

kelenjar disekitarnya sehingga tidak terlihat multinodularis (berbeda dengan

gondok). Secara mikroskopis, sel yang membentuk tumor tiroid sering

Page 14: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

membentuk folikel yang seragam dan berisi koloid. Perbedaan tumor tiroid

dengan gondok ialah pola pertumbuhan folikuler (Mitchell, 2008).

3. Etiologi

Penyebab timbulnya suatu nodul pada kelenjar tiroid belum diketahui,

namun lingkungan, genetik, dan proses autoimun dianggap merupakan

faktor penting dalam timbulnya tumor ini. Proses pertumbuhan sel-sel

folikel menjadi nodul masih belum dimengerti. Berikut ini beberapa

kemungkinan yang dapat memicu tumor khususnya tumor tiroid menurut

Masjhur (2009), yaitu:

a. Terapi radiasi yang dilakukan pada anak-anak.

b. Riwayat keluarga.

c. Kurangnya yodium dalam diet dapat menyebabkan kelenjar tiroid untuk

mengembangkan nodul.

4. Patofisiologi

TSH berperan penting dalam patogenesis adenoma. Mutasi somatik

pengaktif pada satu dari dua komponen dalam sistem penyampaian sinyal

(reseptor TSH atau subunit-α) menyebabkan stimulasi kronik cAMP

sehingga sel-sel kelebihan pertumbuhan. Keadaan ini mengakibatkan di

dalam adenoma folikuler terjadi ekspansi klonal sel-sel spesifik yang dapat

menghasilkan hormon tiroid dan menyebabkan kelebihan hormon tiroid.

50%-75% mutasi cAMP adalah penyebab adenoma kelenjar tiroid yang

berfungsi secara otonom. Tidak banyak diketahui tentang patogenesis

adenoma nonfungsional (Mitchell, 2008).

5. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada kasus yang jinak biasanya tidak diketahui.

Sebagian besar kasus ditemukan pada saat melakukan pemeriksaan lain,

contohnya pemeriksaan rutin dengan radiografi. Nodul pada kelenjar tiroid

yang masih jinak biasanya timbul benjolan tanpa atau dengan rasa nyeri

yang dapat berpindah tempat. Tanda dan gejala yang timbul pada kasus

tumor tiroid biasanya terdapat benjolan pada kelenjar tiroid yang

menyebabkan pasien merasakan sakit saat menelan. Benjolan ini lembut

dan padat ataupun keras dan padat (Masjhur, 2009).

Page 15: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

6. Pengobatan

Sebelum pengobatan dilakukan, perlu adanya anamnesa. Anamnesa

merupakan bagian penting dalam menegakkan diagnosis. Ahli endokrin

sebagian besar sepakat menggunakan Biopsi Aspirasi Jarum Halus

(BAJAH) sebagai langkah diagnostik awal dengan ketepatan diagnosis

berkisar antara 70%-80%. Teknik BAJAH ini dinilai aman, murah, dapat

dipercaya dan dapat dilakukan terhadap pasien rawat jalan dengan resiko

yang sangat kecil. Ketepatan diagnosis BAJAH dapat ditingkatkan bila

sebelum biopsi dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG). USG akan

memberikan informasi tentang morfologi kelenjar tiroid (Masjhur, 2009).

Tindakan pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengobati tumor kelenjar

tiroid menurut Otto (2003), antara lain sebagai berikut:

a. Tiroidektomi total yaitu mengangkat sebanyak mungkin jaringan tumor.

b. Terapi Ablasi Iodium Radioaktif, terapi ini diberikan pada pasien yang

sudah menjalani tiroidektomi total dengan maksud mematikan sisa sel

kanker post operasi dan meningkatkan spesifisitas sidik tiroid untuk

deteksi kekambuhan atau penyebaran kanker. Terapi ablasi tidak

dianjurkan pada pasien dengan tumor soliter berdiameter kurang dari

1mm, kecuali ditemukan adanya penyebaran.

c. Terapi Supresi L-Tiroksin, supresi terhadap TSH pada kanker tiroid

pascaoperasi harus dipertimbangkan karena adanya reseptor TSH di sel

kanker tiroid akan merangsang pertumbuhan sel-sel ganas yang tertinggal

dan pada jangka panjang (7-15 tahun) bisa menyebabkan gangguan

metabolisme tulang dan bisa meningkatkan risiko patah tulang.

d. Evaluasi keberhasilan terapi yang dilakukan memerlukan evaluasi secara

berkala, agar dapat segera diketahui adanya kekambuhan atau

penyebaran. Monitor standar untuk hal ini adalah sintigrafi seluruh tubuh

dan pemeriksaan tiroglobulin serum. Pemeriksaan USG dan pencitraan

lain seperti CT scan, rontgen dada dan MRI tidak secara rutin

diindikasikan. Sintigrafi seluruh tubuh dilakukan 6-12 bulan setelah

terapi ablasi pertama.

Page 16: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

C. Muscle relaxant

Mascle relaxant atau obat pelemas otot adalah bahan aktif yang secara

farmakologinya tidak homogen (heterogen) dan efek farmakologi yang terpusat

pada corda spinalis, medulla oblogata, dan serebrum yang berpengaruh pada

serat-serat otot (Meleger, 2006). Menurut Setiawati dan Gan (2011), obat

relaksan otot diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu:

1. Menghambat transmisi neuromuskular

Neuromuskuler blocker pertama kali dikenalkan pada awal 1940-an

yang menandai masa baru dalam anastesi atau praktek bedah. Obat

golongan ini berkerja dengan cara mengganggu sambungan neuroskeletal.

Obat ini akan menimbulkan interaksi jika diberikan besama dengan obat

trimetafan, analgesik opiat, prokain, lidokain, kuinidin, fenitoin,

propanolol, kortikosteroid, glikosida jantung, klorokuin, katekolamin,

diuretik, fenelzin, klindamisin, dan peptida (Meleger, 2006). Menurut

Setiawati dan Gan (2011), mekanisme kerja dari obat ini dibedakan

menjadi dua yaitu:

a. Obat penghambat kompetitif yang menstabilkan membran

(nondepolarisasi)

Penghambatan nondepolarisasi adalah antagonis kompetitif pada

reseptor nicotinik. Salah satu golongan obat penghambat kompetitif

yang menstabilkan membran adalah d-tubokurarin. D-tubokurarin

adalah zat aktif yang diisolasi dari kurare. Kurare adalah nama-nama

generik dari bermacam-macam racun panah yang digunakan oleh

masyarakat Amerika Serikat untuk berburu (Setiawati dan Gan, 2011).

Obat nondepolarisasi akan melakukan pemblokiran neuromuskular

dengan cara menurunkan kemampuan ACh untuk membuka ligand-

gated, saluran kation dalam otot rangka dan akhirnya akan

mengakibatkan kelumpuhan. Agen nondepolarisasi akan bersaing

dengan ACh, sehingga menyebabkan ACh akan naik konsentrasinya.

Hal ini akan meyebabkan penghambatan AchE, AchE berperan untuk

menghidrolisis ACh.

Page 17: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

b. Obat penghambat secara depolarisasi presisten

Golongan obat penghambat transmisi neuromuskular dengan cara

menduduki dan mengaktifkan reseptor nicotinus untuk jangka waktu

yang lama, sehingga terjadi blokade oleh agen depolarisasi. Agen

depolarisasi yang sering digunakan untuk penggunaan klinis adalah

suksinilkolin. Suksinilkolin pertama kali diketahui efeknya 40 tahun

setelah penelitian pertama dengan menggunakan hewan yang telah

dilumpuhkan dengan kurare. Senyawa suksinilkolin akan mengikat dan

mengaktifkan reseptor nicotinik otot dengan cara yang sama dengan

Ach (Meleger, 2006). Menurut Setiawati dan Gan (2011),

penghambatan neuromuskular dengan suksinilkolin terjadi dalam dua

tahap yaitu:

1) Fase I, pada fase ini suksinilkolin akan melakukan penghambatan

dengan cara menimbulkan depolarisasi presisten pada lempeng

syaraf. Obat ini berkerja agonis dengan ACh bedanya obat ini tidak

segera dipecah seperti ACh. Hambatan yang akan terjadi sama saja

dengan pemberian ACh dalam dosis yang sangat besar. Pada

awalnya depolarisasi lokal (endplate potensial, EPP) akan

menghasilkan MAP (muscle action potential) yang menyebabkan

fasikulasi otot selintas. Membran otot akan mengalami akomodasi

terhadap rangsangan yang presisten dari EPP sehingga tidak lagi

membentuk MAP.

2) Fase II, pada fase ini membran otot mengalami repolarisasi tetapi

membran otot masih tidak responsif yag mencerminkan keadaan

peka terhadap reseptor kolinergik nicotinat. Fase ini berlangsung

dalam keadaan yang sama dengan yang menghasilkan agen

nonpolarisasi yaitu menjadi responsif konsentrasi ACh yang tinggi

dan dapat dibalik dengan ACh inhibibitor.

Page 18: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

Menurut Setiawati dan Gan (2011), Indikasi dalam pengunaan obat ini

yaitu:

a. Pendukung dalam anastesi.

b. Pasien yang memerlukan ventilator seperti pasien dengan

bronkospasme, pneumonia berat, PPOK.

c. Reposisi pada saat patah tulang atau reposisi sendi.

d. Pencegahan terauma pada terapi syok dengan listrik.

e. Sebagai alat diagnosa deteksi rasa nyeri akibat kompresi akar syaraf.

2. Pelemas otot yang berkerja sentral

Golongan obat pelemas otot yang berkerja sentral memiliki kerja yang

selektif di sistem syaraf pusat terutama yang digunakan untuk mengurangi

rasa nyeri akibat spasme otot. Spasme otot adalah kontraksi otot involunter

yang terasa nyeri dan dapat menyebabkan gerakan involunter yang dapat

menganggu fungsi dan menyebabkan distorsi. Spasme otot ditandai dengan

peningkatan refleks regangan tonus, spasme otot fleksor dan disertai

kelemahan otot. Spastisitas merupakan ciri dari kondisi neurologik

misalnya sklerosis multiple, cerebral palsy, cidera otak dan stroke, atau

adanya lesi pada spinal. obat yang terkenal dalam kelompok ini adalah

baklofen, tizanidin, siklobenzapin, mefenasin, metokarbamol, stiramat,

glisin, riluzol, idrosilamid, klorzoksazon, karisoprodol, metaksalon,

mefenoksalon (Setiawati dan Gan, 2011).

D. Analgesik

Analgesik berasal dari bahasa Yunani yang berupa analgia, kata ini

terbentuk dari “an” yang berarti tanpa dan “algia” yang berarti nyeri. Analgesik

adalah senyawa yang dapat mengurangi atau meredakan nyeri tanpa

menyebabkan hilangnya kesadaran (Dorland, 2011). Gunawan (2011)

menjelaskan bahwa, berdasarkan mekanisme kerja analgesik dibedakan

menjadi dua yaitu:

Page 19: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

1. Analgesik periferal

Analgesik periferal adalah analgesik yang berkerja untuk menghambat

pelepasan mediator yang menyebabkan terhambatnya aktivitas enzim

siklooksigenase dan sintesa prostaglandin menjadi terhenti.

2. Analgesik sentral

Analgesik sentral adalah analgesik yang berkerja di kornu dorsalis

medulla spinalis sehingga menyebabkan penghambatan pelepasan

neurotransmiter dan perangsangan ke saraf spinal tidak akan terjadi.

Menurut Schmitz, dkk (2008), berdasarkan efek yang didapat analgesik

dibagi menjadi dua yaitu:

1. Analgesik opioid

Analgesik opioid adalah analgesik yang memiliki sifat opium yang

berasal dari getah Papaver somniferum. Terdapat 2 golongan zat kimia yang

penting dalam analgesik opioid yaitu golongan fenamtren (morfin dan

kodein) dan golongan Benzyl-isokinolin (papaverin dan noskapin) (Dewoto,

2009). Menurut Schmitz (2008), analgesik opioid dibagi menjadi 3

golongan golongan morfin dan alkaloid alamiah lainnya, golongan opioid

semi-sintesis, dan golongan opioid sintesis. Opioid semi-sintesis adalah

golongan opioid hasil turunan dari rumus molekul morfin, contohnya adalah

heroin, kodein. Sistem saraf pusat merupakan titik tangkap dari mekanisme

kerja analgesik opioid. Opioid akan menghambat nyeri endogen yang

terutama terlokalisasi pada corda spinalis dan medulla oblogata. Opioid

memiliki empat reseptor didalam otak dan tubuh lainnya yaitu:

a. Reseptor µ (mu) yang berperan dalam efek analgetik, depresi pernafasan,

penurunan motilitas perut dan ketergatungan fisik.

b. Reseptor κ (kappa) yang mungkin menimbulkan efek-efek analgesik

spinal, miosis, dan sedasi.

c. Reseptor σ (sigma) yang berperan untuk efek-efek halusinogenik dan

perangsangan jantung.

d. Reseptor δ (delta) yang menimbulkan depresi pernafasan (Dewoto,2009)

Berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid, obat golongan opioid dibagi

menjadi 4 jenis, yaitu:

Page 20: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

a. Agonis Penuh, berikatan dengan reseptor mu (µ) dan memiliki efikasi

yang tinggi. Contoh obatnya adalah Morfin, Hidromorfon, Oksimorfon,

Metadon, Meperidin, Fentanil, Levorfanol.

b. Agonis Partial bekerja dengan contoh obat yang termasuk di dalamnya

adalah Kodein, Oksikodon, Hidrokodon, Propoksifen, Difenoksilat.

c. Agonis-Antagonis, contoh obat yang termasuk di dalamnya adalah

Nalbufin, Bufrenorfin, Butorfanol, Pentazosin.

Mekanisme kerja dari golongan obat opoid yaitu dengan menghambat

pelepasan neurotransmitter pada medulla spinalis dengan mencegah

transmisi sinyal nyeri dari medulla spinalis ke sistem saraf pusat, yaitu

thalamus. cara penghambatan ini dilakukan dengan menempati reseptor di

kornu dorsalis medulla sepinalis.

Menurut Dewanto (2009), indikasi klinik penggunaan opioid yaitu:

a. Digunakan untuk terapi nyeri sedang hingga nyeri berat.

b. Digunakan untuk mengurangi cardiac perload maupun cardiac after load

sekunder terhadap vasodilatasi, dan mengurangi persepsi sesak nafas.

c. Pramedikasai anastesi.

d. Pengontrol diare.

e. Pereda batuk dengan efek antitusif.

Menurut Schmitz (2008), penggunaan obat opioid memiliki beberapa

kontra indikasi yang dibagi menjadi dua yaitu:

a. Absolut: yang meliputi udema otak, trauma tulang tengkorak-otak,

delirium tremens, insufisiensi pernafasan, asma bronkial, pankreatitis,

b. Relatif: kolik saluran empedu, sindrom pascakolesistektomi, kolitis

ulserosa, sirosis hati, penderita kejang, kehamilan, menyusui, miksudem,

penyakit addison.

2. Analgesik non-opioid

Analgesik non-opioid tidak bersifat adiktif dan kurang kuat jika

dibandingkan dengan analgesik opioid. Analgesik ini digunakan untuk

mengobati nyeri ringgan sampai nyeri sedang. Analgesik non-opioid dapat

dibeli bebas dan efektif untuk nyeri tumpul pada sakit kepala, nyeri

inflamasi, abrasi minor, nyeri otot, dan arthritis ringan sampai sedang

Page 21: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

(Hayes dan Kee, 1996). Analgesik non-opioid memiliki beberapa fungsi

yaitu: dapat sebagai analgesik, sebagai penurun suhu (antipiretik),

antiinflamasi, antiflogistik atau antirematik. Analgesik non-opioid memiliki

efek pendarahan pada lambung hal ini dikarenakan adanya penghambatan

pada COX-2. Jenis dari analgesik non-opioid adalah golongan obat AINS,

paracetamol (Schmitz, 2009). Mekanisme kerja dari obat analgesik anti

inflamasi non steroid memiliki kesamaan dengan efek samping dan efek

terapinya pada enzim cyclooxygenase (COX) (Fajriani, 2008).

Gambar 2.1 Mekanisme kerja AINS

Golongan obat analgesik non-opioid menghambat enzim siklooksigenase

sehingga perubahan asam arakidonat menjadi PGG2 (endopiroksid) menjadi

terganggu. Enzime ini memiliki dua isoform yang disebut COX-1 dan COX-

2. COX-1 memiliki fungsi sebagai pemeliharaan berbagai jaringan

khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. COX-1 memiliki sifat

sitoproteksi terhadap lambung. COX-2 memiliki fungsi sebagai induksi

stimulus inflamator, sitokin, endotoksin, dan faktor pertumbuhan, fungsi

fisiologis dan fungsi perbaikan jaringan tubuh. Trombosit COX-1

mensintesis tromboksan A2 yang menyebabkan agregasi tombosit,

vasokontriksi, dan poliferasi otot polos, sedangkan prostasiklin yang

disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular akan menghambat efek dari

tromboksan A2 (Wilmana dan Gan, 2009).

Page 22: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

BAB III

PEMBAHASAN

A. KASUS

Ny. Fitricia, 31 tahun datang ke klinik anda dengan keluhan giginya

berlubang hingga menyebabkan nyeri yang sangat hebat. Ketika akan

dilakukan pemeriksaan intra oral ternyata pasien mengalami kesulitan

membuka mulut. Pembukaan mulut hanya kurang lebih 2 jari. Tidak ada tanda-

tanda pembengkakan di ekstra oral. Anda memutuskan untuk memberikan obat

analgesik dan muscle relaxant untuk pasien tersebut. Dari anamnesa lebih

lanjut diketahui bahwa pasien sedang dalam terapi radiasi untuk kondisi tumor

kelenjar tiroid.

B. PEMBAHASAN

1. Hubungan Trismus dengan Tumor Tiroid

Pasien Fitricia mengeluhkan bahwa ia merasa nyeri akibat adanya gigi

berlubang. Setelah pemeriksaan ternyata didapatkan manifestasi yang serupa

dengan gejala trismus. Trismus merupakan keadaan sulit membuka mulut

sebagai akibat dari adanya gangguan motorik pada nervus trigeminus

khususnya adanya kejang otot mastikasi (masseter, temporalis atau otot

pterigoid) yang dapat dianggap juga sebagai gejala awal adanya tetanus.

Trismus diketahui berpotensi menyebabkan beberapa gangguan lainnya baik

itu mencakup gangguan yang bersifat non-progresif hingga yang

membahayakan nyawa (Dhanrajani dan Jonaidel, 2002).

Kondisi hipomobilitas untuk membuka mulut dapat menyebabkan

degenarasi otot dan kontraktur jaringan ikat atau pemendekan jaringan ikat

karena kontraksi yang terus terjadi yang kemudian menyebabkan atrofi pada

kedua otot (Shulman dkk., 2008). Insidensi trismus ditemukan sebesar 2%

pada pasien dengan pertumbuhan tumor kepala-leher dan dianggap sebagai

gejala awal tumor nasofaring sebesar 5%. Pasien anak dengan diagnosis

tumor nasofaring sebanyak 36% mengalami trismus saat pemeriksaan dan

pada pasien dengan diagnosis tumor parafaringeal maligna tercatat sebesar

Page 23: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

55% yang mengalami trismus ketika diagnosis dilakukan. Catatan tambahan

menyebutkan bahwa trismus dapat diinduksi oleh perawatan bedah maupun

radioterapi pada kasus tumor jinak daerah kepala dan leher sebesar 8%.

Pelaporan insiden trismus sangat bervariatif karena tidak terdapat standar

umum diagnosis trismus (Djikstra dkk., 2005).

Cara yang digunakan untuk mendiagnosis adanya trismus dapat

dilakukan dengan mengecek kemampuan pasien untuk membuka mulut.

Terdapat berbagai referensi yang mengklasifikasikan trismus berdasarkan

kemampuan membuka mulut. Berbagai referensi tersebut menyebutkan

berbagai ukuran yang berbeda. Dhanrajani dan Jonaidel (2002)

menyebutkan pembukaan normal rongga mulut secara vertikal dianggap

normal antara 40-60 mm meskipun beberapa ahli ada yang menyebutkan 35

mm sebagai batas minimalnya. Pengukuran pembukaan rongga mulut dapat

dilakukan menggunakan jari tangan ataupun penggaris tertentu. Pengukuran

menggunakan jari tangan berpatokan pada lebar indeks jari secara horizontal

sebesar 17-19 mm sehingga pembukaan normal mulut dianggap antara 2

lebar jari (40 mm) sampai 3 lebar jari (54-57 mm). Bukti terkini

menunjukkan adanya pengaruh gender dimana secara umum laki-laki lebih

besar untuk membuka mulut secara vertikal. Pembukaan normal mulut

secara lateral disebutkan berkisar antara 8-12 mm. Disebutkan pada kasus

bahwa pasien hanya dapat membuka mulut secara vertikal kurang dari dua

jari sehingga pada kasus ini pasien dapat dikatakan mengalami trismus.

Djikstra, dkk (2005) menjelaskan bahwa trismus akan mengganggu

pembukaan mulut, menggigit, mengunyah, berbicara, tertawa dan pada

kasus yang parah dapat menyebabkan rendahnya tingkat kebersihan rongga

mulut. Diketahui pada kasus bahwa pasien kesulitan membuka mulut dan

merasakan nyeri yang hebat dan pada kasus ini pembukaan mulut bertujuan

untuk mengetahui apakah terdapat karies gigi yang menjadi keluhan utama

pasien atas rasa nyeri yang dia rasakan. Trismus yang dialami pasien

memiliki beberapa penyebab. Menurut Dhanrajani dan Jonaidel (2002)

penyebab dari trismus diantaranya perawatan gigi, tumor keganasan,

radioterapi dan kemoterapi.

Page 24: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

Diketahui pada kasus, pasien mengalami tumor tiroid. Tumor ini dapat

menjadi salah satu faktor penyebab trismus. Trismus sangat jarang

ditemukan sebagai gejala dari tumor nasofaringeal ataupun infratemporalis

maupun fibrosis dari insersi tendon temporalis yang menyebabkan

keterbatasan pergerakan rahang. Namun, ditemukan kasus trismus akibat

adanya fibrosis pada jaringan submukosa di kavitas oral. Hal tersebut akan

memucatkan mukosa dan mempengaruhi kemampuan berbicara melalui

pembatasan pergerakan lidah dan palatum molle (Dhanrajani dan Jonaidel,

2002).

Radioterapi digunakan pada kasus untuk menghilangkan atau

menyembuhkan tumor tiroid, sehingga kemungkinan terjadinya trismus

disebabkan karena adanya radioterapi dan kemoterapi. Hal ini dikarenakan

adanya radioterapi atau kemoterapi dapat menyebabkan stomatitis yang

nantinya menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, adanya rasa sakit,

trismus dan kesulitan dalam menelan. Komplikasi yang dapat timbul akibat

terapi diantaranya osteoradionekrosis yang kemudian menimbulkan rasa

sakit, trismus, supurasi, dan terkadang kerusakan pada fungsi penciuman.

Penyinaran yang dilakukan pada daerah otot mastikasi dapat menimbulkan

fibrosis yang kemudian berkembang menjadi trismus. Trismus dan fibrosis

yang terjadi dapat menimbulkan iskemik karena adanya endarteritis.

Trismus juga dapat timbul sebagai efek pasca radiasi perawatan gigi.

Peminimalisasian efek radiasi pada daerah kepala dan leher dapat dilakukan

dengan penggunaan protective stents, pelatihan rahang dan penggunaan

hiperbarik oksigen untuk meningkatkan neovaskularisasi (Dhanrajani dan

Jonaidel, 2002).

Kondisi sistemik yang perlu di perhatikan pada pasien menurut kasus

yaitu adanya tumor kelenjar tiroid setelah dilakukan anamnesa yang lebih

lanjut. Tiroid berasal dari bahasa Yunani, thyreoide, dari kata thyreos yang

berarti perisai dan eidos yang berarti bentuk (Dorland, 2010). Tiroid

merupakan kelenjar yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh tubuh

karena kelenjar ini menghasilkan hormon triiodotironin (T3) dan

tetraiodotironin (T4) yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan

Page 25: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

dan perkembangan normal, suhu tubuh normal, dan pemeliharaan seluruh

jaringan tubuh. Hormon tiroid sangat berpengaruh bagi saraf, skeletal, dan

jaringan reproduktif. Efeknya bergantung pada sintesis protein dan aksi

hormon pertumbuhan. Jumlah hormon tiroid di dalam tubuh akan

mempengaruhi keberadaan hormon-hormon lain seperti hormon

pertumbuhan. Kekurangan hormon tiroid akan mempengaruhi hormon

pertumbuhan sehingga terjadi kretinisme atau kerdil apabila hipotiroid

terjadi pada usia muda (usia pertumbuhan). Selain kretinisme

ketidakseimbangan hormon tiroid dapat menyebabkan hiperaktivitas sistem

saraf simpatis dan hiperaktivitas epinefrin yang menyebabkan tremor,

keringat berlebihan, kecemasan, dan kegugupan (Katzung, 2002).

Tidak ditemukan adanya tanda-tanda pembengkakan akibat tumor

tersebut. Tumor merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan

pertumbuhan sel yang berbeda dengan sel normalnya. Sel normal tersebut

dibagi menjadi tiga golongan dalam kasus ini tumor kelenjar tiroid masuk

kedalam golongan sel yang ke dua, yaitu sel yang dapat membesar dan akan

berhenti membelah pada ukuran pencapaian normal (Otto, 2003). Menurut

Masjhur (2009) tumor ini termasuk ke dalam tumor jinak karena tidak

adanya tanda-tanda pembengkakan pada ekstra oralnya, walaupun tidak

semua tumor jinak tidak menimbulkan gejala adanya suatu pembengkakan.

Pasien dalam kondisi ini biasanya akan merasakan kesulitan dalam menelan.

Pada kasus telah dijelaskan bahwa pasien sedang mengalami terapi

radiasi sebagai upaya penanggulangan tumor kelenjar tiroid. Kondisi

tersebut dapat dijadikan suatu pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan

lebih lanjut maupun dalam pemberian obat. Terapi radiasi biasanya

dilakukan setelah adanya pengangkatan sebanyak mungkin jaringan tumor

atau biasa disebut juga dengan tiroidektomi. Contoh terapi yang dilakukan

yaitu terapi Ablasi Iodium Radioaktif yang dilakukan untuk mematikan sisa

sel kanker pasca operasi juga untuk meningkatkan spesifisitas sidik tiroid

untuk deteksi kekambuhan atau penyebab kanker. Terapi ini dilakukan

setelah pasien melakukan tiroidektomi, tetapi tidak dianjurkan bagi pasien

dengan tumor soliter yang memiliki diameter kurang dari 1mm. Terapi yang

Page 26: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

dapat dilakukan tidak hanya terapi Ablasi Iodium Radioaktif, yaitu terapi

Supresi L-Tiroksin, terapi ini dapat dilakukan pasca operasi tetapi terapi ini

dapat merangsang pertumbuhan sel ganas yang tertinggal dalam jangka

panjang, hal ini disebabkan adanya supresi terhadap TSH (Otto, 2003).

Perawatan gigi pada daerah yang mengalami kasus trismus ini perlu

dihindari hingga gejala menghilang dan pasien telah merasa nyaman.

Namun pada kasus perawatan gigi yang memang dibutuhkan maka ketika

terdapat gigi yang terinfeksi penatalaksanaan anastesi lokal akan sulit

dilakukan. Penggunaan anastesi blok nervus pada kondisi mulut tertutup

biasanya akan membantu menyembuhkan disfungsi motoris dan pasien akan

mampu membuka dan mengikuti perawatan yang seharusnya. Pasien dengan

kasus trismus yang melakukan perawatan sesuai uraian diatas, akan

mengalami peningkatan kondisi dalam jangka waktu 48 jam dan terapi yang

ada harus terus dilakukan hingga gejalanya menghilang. Apabila rasa sakit

dan disfungsi terus berlanjut hingga kurun waktu 48 jam, dapat

diindikasikan terdapat infeksi yang terjadi sehingga diperlukan pemberian

antibiotik dengan kurun waktu 7 hari (Dhanrajani dan Jonaidel, 2002).

2. Terapi yang Tepat pada Kasus

Terapi medikamentosa yang tepat untuk pasien Fitricia, sesuai dengan

Dhanrajani dan Jonaidel (2002), adalah analgesik dan muscle relaxant.

Aspirin merupakan salah satu dari golongan obat anti-inflamasi yang paling

sering digunakan dalam kasus trismus. Analgesik Narkotika atau Opioid

dapat diberikan apabila nyeri masih tetap dirasakan atau semakin

meningkat. Obat yang dapat digunakan dari golongan analgesik lemah

narkotika adalah Kodein. Sebagai penunjang kerja obat utama, dalam kasus

ini adalah analgesik, muscle relaxant golongan diazepam dapat

ditambahkan. Muscle relaxant berperan penting dalam kasus ini sebagai

usaha penghilang sumber sakit utama pasien dalam kesulitan dalam

membuka mulut karena tegang otot mastikator.

Efek samping dari penatalaksanaan terapi radiasi pasien adalah eritema

pada kulit, kerusakan kelenjar keringat, kerontokan rambut, radiodermatitis

Page 27: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

bulosa, dermatitis, penurunan jumlah sel-sel darah seperti limfosit,

granulosit, trombosit dan eritrosit, anoreksia, mual, muntah, diare, karies

gigi, sariawan, mulut kering atau xerostomia, masalah pada tulang,

persendian dan jaringan lunak (Fithrony, 2012).

Indikasi obat muscle relaxant adalah untuk pengobatan jangka pendek

pada gejala ansietas, sebagai terapi tambahan untuk meringankan spasme

otot rangka karena inflamasi atau trauma, digunakan untuk meringankan

gejala-gejala pada penghentian alkohol akut dan premidikasi anestesi.

Kontra indikasi obat muscle relexant adalah penderia hipersensitif, bayi

dibawah 6 bulan, wanita hamil dan menyusui, depress pernapasan,

glaukoma sudut sempit, gangguan pulmoner akut, keadaan phobia.

Perhatian penggunaan obat ini adalah usia lanjut, epilepsi, penyakit

kardiovaskular, hati atau ginjal, depresi napas, miastenia greavis, reaksi

silang dengan aspirin. Efek sampingnya mengantuk, pusing, amnesia,

gangguan penglihatan, hipotensi, ketergantungan, agranulositosis, reaksi

alergi.

Dilihat dari kontra indikasi obat muscle relaxant, aspirin tidak dapat

dipilih karena kontra indikasi dengan muscle relaxant. pilihan lain selain

aspirin untuk analgesik adalah Ibuprofen. Ibuprofen tergolong dalam

Analgesik NSAID yang aman untuk pasien. Obat muscle relaxant akan

membantu mengurangi rasa nyeri, sehingga tingkat nyeri akan menurun.

Pemilihan obat analgesik NSAID yaitu Ibuprofen dapat dikatakan aman jika

diberikan bersamaan dengan Diazepam.

Ibuprofen dengan merek dagang Anafen. Indikasi obat demam, nyeri

ringan sampai sedang, nyeri pasca operasi, rheumatoid juvenilis, nyeri otot.

Kontra indikasi dengan hipersensitivitas terhadap AINS lain dan aspirin,

tukak peptic, asma, rhinitis, urtikaria, hamil trimester 3. Perhatian pada

riwayat GI bagian atas (tukak peptic), gangguan ginjal, hipertensi atau

kondisi lain yang dapat menyebabkan retensi cairan tubuh, gangguan

koagulasi darah, asma, hamil trimester 1, 2 dan laktasi, anak di bawah 6

bulan. Efek samping obat adalah gangguan GI, ruam kulit, bronkospasme,

Page 28: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

trombopenia, limfopenia, penglihatan kabur atau menurun. Interaksi obat

dengan warfarin, furosemid, tiazid dan asetosal.

Diagnosa karies oleh dokter belum ditegakkan karena keadaan pasien

tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan intra oral. Rencana

dokter dengan pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mengobati

masalah kesulitan membuka mulut pasien terlebih dahulu. Barulah langkah

berikutnya dapat dilakukan pemeriksaan intra oral. Pemeriksaan oral sangat

penting untuk penegakkan diagnosa karies pada gigi pasien. Hal ini sesuai

dengan penelitian Fithrony (2012) yang menunjukkan adanya penurunan

curah saliva akibat dari terapi radiasi tumor kelenjar tiroid yang dilakukan

pasien. Curah saliva dapat berkurang 50% pada minggu pertama setelah

dilakukannya terapi radiasi. Berkurangnya jumlah saliva di rongga mulut

dapat menyebabkan pH rongga mulut menurun. Penurunan pH ini dapat

memicu terjadinya karies gigi.

Page 29: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

BAB IV

SIMPULAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan laporan kasus di atas adalah

pasien mengalami trismus yang ditandai dengan ketidakmampuannya dalam

membuka mulut..Trismus ini dapat diakibatkan oleh terapi radiasi yang

sedang dijalani oleh pasien untuk mengatasi penyakit tumor kelenjar tiroid

yang dideritanya.. Pasien diberikan obat analgesik berupa ibuprofen untuk

meredakan nyeri yang mungkin disebabkan karena adanya infeksi yang terjadi

pada gigi maupun nyeri yang mungkin disebabkan karena rasa sakit yang

disebabkan oleh trismus yang dialaminya. Pasien juga diberikan obat muscle

relxant berupa diazepam untuk meredakan spasme otot yang diberikan secara

bersamaan dengan obat analgesiknya. Pemberian obat analgesic dan muscle

relaxant tidak menimbulkan efek yang berarti pada pasien tumor tiroid yang

disertai dengan trismus.

B. Saran

1. Mahasiswa harus memahami karakteristik penggolongan obat analgesik

dan muscle relaxant sehingga dapat dilakukan pemilihan terapi yang

tepat

2. Mahasiswa dalam memilih perawatan gigi dan mulut harus hati-hati

ketika melakukan penatalaksanaan penyakit sistemik mengingat adanya

kemungkinan interaksi obat

Page 30: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, Arvin, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II E/15, (diterjemahkan oleh: Wahab, A., S.), EGC, Jakarta.

Dewoto, H., R., 2006, Nyeri Pada Sistem Muskuloskeletal, http://kurfak2005.fk.ui.ac.id/hrd_nyeri%20_muskuloskeletal.pdf, diakses pada 14 September 2013.

Dewoto, H. R., 2009, Analgesik Opoid dan Antagonis, Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, edisi.5, Balai penerbit FKUI, Jakarta.

Djokomoeljanto, R., 2009, BukuA jar Ilmu Penyakit Dalam: Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme dan Hipertiroidisme, Interna publishing, Jakarta.

Dorland, W.A.N., 2010, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 31, EGC, Jakarta.

Dorland, W. A. N., 2011, Kamus Saku Kedokteran, edisi. 28, (diterjemahkan oleh: Albertus A), EGC, Jakarta.

Fajriani, 2008, Pemberian Obat-Obatan Antiinflamasi Non Steroid (AINS) pada Anak, Indonesian Journal of Dentistry, nomor 3, volume 15, halaman 200-204.

Fithrony, M. T., 2012, Pengaruh Radioterapi Area Kepala dan Leher Terhadap Curah Saliva, Skripsi, Universitas Dipenogoro, Semarang.

Gulmez, SE., Celik, G., Misirligil, Z., Tulunay, FC., 2007, Dipyrone Improves Small Airway Function in Asthmatic Patients With Moderate Obstruction, Journal Investig Allergol Clin Immunol, nomor.4, volume. 17, halaman 242-248.

Gunawan, R., 2011, Perbandingan Efek Parasetamol 1gr/6 jam Intervena dan Ketoralak 30 mg/6 jam Intravena Untuk Penanganan Nyeri Paska Pembedahan Seksio Sesaria dengan Anastesi Regional Blok Subaraknoid, Tesis, Program Magister Klinik-Spesialis Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Gustiaty, Y., 2011, Penatalaksanaan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Jepang 2011 Hubungannya dengan Odontogram, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanudin, Makasar.

Harty, F.J dan Ogston, R., 1995, Kamus Kedokteran Gigi, (diterjemahkan oleh: Sumawinata, N), EGC, Jakarta.

Hayes, E. R., Kee, J. L., 1996, Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan, (diterjemahkan oleh:Yasmin Asih), EGC, Jakarta.

Page 31: Laporan Presentasi Kasus Kel. Chacha (1)

Isselbacher L., J., Braunwald, E., dkk, 1999, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 1 E/13, (diterjemahkan oleh: Asdic, A., H.), EGC, Jakarta.

Katzung, B.G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8, Salemba Medika, Jakarta.

Kidd, E. A. M., 1991, Dasar-Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya, (diterjemahkan oleh: Sumawinata, N., Yuwono, L), EGC, Jakarta.

Masjhur, J.S., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Nodul Tiroid, Interna Publishing, Jakarta.

Meleger, A. L., 2006, Muscle Relaxants and Antispasticity Agents, Physical Medicine and Rehabilitation Clinic of North America, Volume 17, Halaman 401-413.

Mitchell, R.N., 2008, Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran, EGC, Jakarta.

MIMS, 2013, Edisi 14, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Muttaqin, A., 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Salemba Medika, Jakarta.

Otto, S.E., 2003, Buku Saku Keperawatan Onkologi, EGC,Jakarta.

Schmitz, G., Farmakologi dan Toksikologi, (diterjemahkan oleh: Joseph I.S., Amilia H.), edisi 3, EGC, Jakarta.

Setiawati, dan Gan., S., 2009, Farmakologi dan Terapi, Balai Penerbit UI, Jakarta.

Setiawati, A. dan Sulistia, G., 2011, Pelumpuh Otot dan Pelemas Otot, Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, edisi.5, Balai penerbit FKUI, Jakarta.

Sumawinata, N, 2003, SenaraiIstilah Kedokteran Gigi: Inggris Indonesia, EGC, Jakarta.

Tambayong, J., 2000, Patofusiologi Untuk keperawatan, EGC, Jakarta.

Wilmana, P. F., Gan, S., 2009, Analgesik-Antipiretik, Analgesik Antiinflamasi Non Steroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya, Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, edisi.5, Balai penerbit FKUI, Jakarta.