LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

34
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PENGARUH OBAT TERHADAP JANTUNG Asisten : Mufti Akbar G1A008040 Disusun Oleh: Kelompok III 1. Istiani Danu P G1A009018 2. Dikodemus Ginting G1A009019 3. Dera Fakhrunisa G1A009020 4. Rostikawaty Azizah G1A009022 5. Prasasti Gita W G1A009023 6. Gizza Dandy P G1A009024 7. Ryan Aprilian P G1A009025 8. Octi Guchiani G1A009026 9. Libra Hendra G1A007041 10. Rizki Anshar G1A007038 BLOK CARDIOVASCULAR JURUSAN KEDOKTERAN

Transcript of LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Page 1: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PENGARUH OBAT TERHADAP JANTUNG

Asisten : Mufti Akbar

G1A008040

Disusun Oleh:

Kelompok III

1. Istiani Danu P G1A009018

2. Dikodemus Ginting G1A009019

3. Dera Fakhrunisa G1A009020

4. Rostikawaty Azizah G1A009022

5. Prasasti Gita W G1A009023

6. Gizza Dandy P G1A009024

7. Ryan Aprilian P G1A009025

8. Octi Guchiani G1A009026

9. Libra Hendra G1A007041

10. Rizki Anshar G1A007038

BLOK CARDIOVASCULAR

JURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2011

Page 2: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

LEMBAR PENGESAHAN

Oleh :

Kelompok III

1. Istiani Danu P G1A009018

2. Dikodemus Ginting G1A009019

3. Dera Fakhrunisa G1A009020

4. Rostikawaty Azizah G1A009022

5. Prasasti Gita W G1A009023

6. Gizza Dandy P G1A009024

7. Ryan Aprilian P G1A009025

8. Octi Guchiani G1A009026

9. Libra Hendra G1A007041

10. Rizki Anshar G1A007038

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok

Cardiovascular

Jurusan Kedokteran

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Universitas Jendral Soedirman

Purwokerto

Diterima dan disahkan

Purwokerto, Mei 2011

Asisten,

Mufti Akbar

NIM. G1A008040

Page 3: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Juduk Percobaan

Pengaruh Obat terhadap Jantung

B. Hari dan Tanggal Percobaan

Selasa, 17 Mei 2011

C. Tujaun Percobaan

1. Umum

Mahasiswa dapat menjelaskan pengaruh sulfas atropin terhadap

jantung katak.

2. Khusus

Mahasiswa dapat menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi

pada jantung katak setelah dilakukan pemberian sulfas atropin.

D. Binantang Percobaan

2 ekor katak

E. Dasar Teori

1. Sulfas Atropin

a. Farmakokinetik

1) Absorpsi : Diabsorpsi dengan baik dari traktus gastro intestinal,

membran mukosa, kulit mata, dan setelah pemberian per IM

(Intra Muscular) (Townsend, 2004).

2) Distribusi : Dari sirkulasi darah, obat ini cepat memasuki

jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis enzimatik di

hepar. Didistribusi luas, menembus barier darah-otak dan

Page 4: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

plasenta, diperkirakan masuk dalam air susu ibu (Townsend,

2004).

3) Metabolisme : Dimetabolisme dalam hati (Amir, 2007).

4) Ekskresi : Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal

dan sejumlah kecil diekskresi melalui udara pernapasan dan

feses (Townsend, 2004).

5) Waktu Paruh : 2-3 jam (Schmitz, 2009).

b. Farmakodinamik

Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan

dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung

berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat vagus.

Brakikardia biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan

tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang

biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organofosfat,

terjadi hamabatan N.Vagus sehingga terjadi takikardia. Atropin

dalam hal ini tidak seefektif skopolamin. Obat ini juga dapat

menghambat bradikardia yang ditimbulkan oleh obat kolinergik.

Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah

secara langsung, tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh

asetilkolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek pada

sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah tidak

dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher

terjadi pada dosis toksik. Vasodilatasi ini merupakan kompensasi

kulit untuk melepaskan panas dari naiknya suhu kulit akibat

penghentian evaporasi (Gunawan, 2008).

c. Efek samping obat

Efek samping antimuscarinik termasuk kontipasi, transient

(sementara) bradycardia ( diikuti  dengan takikardi, palpitasi, dan

aritmia), penurunan sekret bronkial, retensi urin, dilatasi pupil

dengan kehilangan akomodasi , fotophobia, mulut kering; kulit

kering dan kemerahan. Efek samping yang terjadi kadang-kadang :

Page 5: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

kebingungan (biasanya pada usia lanjut) , mual, muntah dan pusing

(Dinkes,2006).

Pada dosis lebih dari 2mg, yang biasanya hanya digunakan

pada keracunan insektisida organofosfat, terjadi hambatan N. Vagus

dan timbul suatu takikardi (Ganiswarna,1995).

d. Aplikasi klinis

Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi

keracunan. Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi

asetilkolin yang persisten. Tanda dan gejala awal keracunan adalah

stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin

muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare,

defekasi, eksitasi, dan salivasi (Frank, 1995).

Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu

bronkokonstriksi dengan sesak nafasdan peningkatan sekresi

bronkus.Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi

nikotinik pusat daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks,

bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne

Stokes dan koma.) Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam

waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan

kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah lebih dari

6 jam,ini bukan keracunan organofosfat karena hal tersebut jarang

terjadi (Frank, 1995).

Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa

kegagalan pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan

kelumpuhan otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan

meningkatkan kegagalan pernafasan. Aritmia jantung seperti hearth

block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab kematian

(Frank, 1995).

Pengobatan

Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM.

Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan

Page 6: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala

keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut

kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini

harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala

keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama

mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat

diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan.

(Zunilda, 2008).

e. Interaksi

f. Indikasi (EMS, 2011):

1) Gejala bradikardi pasien dimonitor saja.

2) Tidak ada detak jantung setelag epinefrin dipantau pasien saja.

3) PEA dengan bradikardi aktual atau relatif (setelah epinefrin) di

pantau pasien saja.

4) Acetylcholinesterase inhibitor keracunan.

g. Kontra indikasi (EMS, 2011):

1) Hipersensitif atropine.

2) Glaukoma.

3) Tachycardia.

4) GI obstruktif penyakit, ileus paralitik, atoni usus.

5) Penyakit hati.

6) Penyakit ginjal, uropati obstruktif.

7) Myasthenia gravis .

8) Asma.

9) Tirotoksikosis.

h. Bentuk sediaan obat (EMS, 2011):

1) Injection solution, as sulfate:

a) 0.05 mg/mL (5mL)

b) 0.1 mg/mL (5mL, 10mL)

c) 0.4mg/0.5mL (0.5mL)

d) 0.4mg/mL (0.5mL, 1mL, 20mL)

Page 7: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

e) 1 mg/mL (1mL)

2) AtroPen, prefilled autoinjector:

a) 0.25 mg/0.3mL (0.3mL)

b) 0.5mg/0.7mL (0.7mL)

c) 1mg/0.7mL (0.7mL)

d) 2mg/0.7mL (0.7mL)

2. Dopamin

a. Farmakokinetik

1) Absorpsi : Tidak ada absorpsi setelah pemakaian oral karena

efek lintas pertama yang ekstrem tinggi di epitel usus dan hati

(Schmitz, 2009).

2) Distribusi : Tidak menembus sawar darah-otak, sehingga tidak

ada efek sentral (Schmitz, 2009).

3) Metabolisme : Dimetabolisme dalam hati. Peruraian yang cepat

mengakibatkan inaktivasi oleh MAO (monoamin oksidase),

COMT (katekol-O-metiltransferase), dan juga Dopamin β-

hidroksilase (Schmitz, 2009).

4) Ekskresi : Dopamin diekskresi melalui urin (Schmitz, 2009).

5) Waktu Paruh : 2-3 menit, maka pemberian IV (Intra Vena)

dapat dikendalikan dengan baik (Schmitz, 2009).

Baik dopamin maupun norepinefrin merupakan agen

vasopressor lini pertama pada penanganan shock. Terdapat

kontroversi mengenai keunggulan di antara keduanya. Pada sebuah

penelitian didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam tingkat kematian antara pasien yang shock dengan

diobati dopamin maupun norepinefrin. Tetapi penggunaan dopamin

dikaitkan dengan lebih banyak kejadian buruk. (Backer, 2010).

b. Farmakodinamik

Prekursor norepinefrin ini mempunyai kerja langsung pada

reseptor dopaminergik dan adrenergik, dan juga melepaskan

Page 8: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

norepinefrin endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja pada

reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal,

mesenterium, dan pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor D1

menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase. Infus

dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju

filtrasi glomerulus dan ekskresi Na+. Pada dosis yang sedikit lebih

tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui

aktivasi adrenoseptor 1. Dopamin juga melepaskan NE endogen

yang menambah efeknya pada jantung. Pada dosis rendah samapai

sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal itu mungkin karena

dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesenterium

dengan hanya sedikit peningkatan di tempat-tempat lain. Dengan

demikian dopamin meningkatkan tekanan sistolok dan tekanan nadi

tanpa mengubah tekanan diastolik (atau sedikit meningkat).

Akibatnya, dopamin terutama berguna untuk keadaan curah jantung

rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok

kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar yang tinggi

dopamin menyebabkan vasokonstriksi akibat aktivasi reseptor 1

pembuluh darah. Karena itu bila dopamin digunakan untuk syok

yang mengancam jiwa, tekanan darah dan fungsi ginjal harus

dimonitor. Reseptor dopamin juga terdapat dalam otak, tetapi

dopamin yang diberikan IV, tidak menimbulkan efek sentral karena

obat ini sukar melewati sawar darah otak (Gunawan, 2008).

Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan

mengikat reseptor 2 dengan afinitas sedang; afinitas terhadap

reseptor D2, 1 dan tidak berarti. Obat ini merupakan vasodilator

kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat (misalnya hipertensi

maligna dengan kerusakan organ) dirumah sakit untuk jangka

pendek, tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam mendilatasi berbagai

pembuluh darah, termasuk arteri koroner, arteriol aferen dan eferen

ginjal dan arteri mesenterik. Masa paruh eliminasi fenoldopam

Page 9: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

intravena, setelah penghentian 2 jam infus ialah 10 menit. Efek

samping akibat vasodilatasi berupa sakit kepala, muka merah, pusing,

takikardia atau bradikardia (Gunawan, 2008).

Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas

intrinsik pada reseptor D1, D2 dan 2; mungkin juga menghambat

ambilan katekolamin. Obat ini agaknya memperlihatkan efek

hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung berat,

sepsis dan syok. Pada pasien dengan curah jantung rendah, infus

dopeksamin meningkatkan curah sekuncup dan menurunkan

resistensi vaskular sistemik (Ferone; Gatto: Arvigo; et all , 2009).

c. Efek samping obat

Sering : denyut ektopik, takikardia, sakit karena angina,

palpitasi, hipotensi, vasokonstriksi, sakit kepala, mual, muntah,

dispnea. Jarang : bradikardia, aritmia ventrikular (dosis tinggi),

gangrene, hipertensi, ansietas, piloereksi, peningkatan serum glukosa,

nekrosis jaringan (karena ekstravasasi dopamin), peningkatan

tekanan intraokular, dilatasi pupil, azotemia, polyuria (Dinkes,2006).

d. Aplikasi klinis

Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiolgi, di mana

terdapat kegagalan jantung yang memompa darah yang sesuai dengan

kebutuhan jaringan. Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi

miokard, endokard, pericardium, pembuluh darah besar, aritmia,

kelainan katuo, dan gangguan irama. (Ghanie, 2006).

Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal, dengan

mortalitas berkisar antara 5-50% per tahun, bergantung pada

keparahan penyakitnya. Mortalitas meningkat sebandung dengan

usia, dan risiko pada laki-laki lebih besar daripada perempuan

(Setiawati, 2008)

Gaagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks

akibat kelainan struktural dan fungsional jantung yang menganggu

Page 10: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau untuk

mengeluarkan darah. Manifestasi gagal jantung utama adalah sesak

napas dan rasa lelah yang membatasi kemampuan melakukan

kegiatan fisik, serta retensi cairan, yang menyebabkan kongesti paru

dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut mengganggu

kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien, tetapi tidak selalu

ditemukan bersama pada seorang pasien (Setiawati, 2008).

Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal

jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju

terjadinya gagal jantung, terutama hipertensi dan/ atau penyakit arteri

koroner. Jika disfungsi miokard sudah terjadi tujuan pertama adalah

mengobati/ menghilangkan penyebab dasarnyam jika mungkin

(misalnya iskemia, penyakit tiroid, alkohol, obat). Jika penyebab

dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk (1)

mencegah memburuknya fungsi jantung, dengan perkataan lain

memperlambat progresi remodelling miokard, sehingga dapat

mengurangi mortalitas, dan (2) mengurangi gejala-gejala gagal

jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien (Setiawati,

2008).

Dopamin dan Dobutamin I.V. merupakan obat inotropik yang

paling sering digunakan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka

pendek pada gagal jantung yang parah. Kerjanya melalui stimulasi

reseptor dopamin D1 dan reseptor β adrenergik di sel otot jantung.

Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan

pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik (Setiawati, 2008).

e. Interaksi

f. Indikasi (Hospira UK Limited, 2010):

Dopamin diindikasikan untuk koreksi ketidakseimbangan

hemodinamik hadir dalam:

1) hipotensi atau shock akut yang berhubungan dengan infark

miokard, septikemia endotoksik, trauma dan gagal ginjal.

Page 11: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

2) Sebagai tambahan setelah operasi jantung terbka dimana terjadi

hipotensi persisten setelah koreksi hipivolemia.

3) Dalam dekompensasi jantung kronis seperti pada kegagalan

kongestif.

g. Kontra indikasi (Hospira UK Limited, 2010):

1) Dopamin tidak boleh digunakan pada pasien dengan

Feokromositoma atau hipertiroidisme.

2) Dopamin tidak boleh digunakan di hadapan tachyarrhythmias

atrium atau ventrikel dikoreksi atau fibrilasi ventrikel.

3) Siklopropana dan anestesi hidrokarbon halogenasi harus

dihindari.

h. Bentuk sediaan obat

Dosis Dosis Tunggal Frekuensi Rute petunjuk

Dosis Dewasa ( >12 tahun)

2,000-5,000 ug

/ kg.min3.5 (3.5)

Seperti

diusulkan.IV-Inf

Awal,

meningkat

secara bertahap.

20,000-50,000

ug / kg.min35 (35)

Seperti

diusulkan.IV-Inf

Pemeliharaan,

Seperti yang

disyaratkan.

Paedriatic Dosis (20kg)

8,500 ug /

kg.min170 (170)

Seperti

diusulkan.IV Infusion

Seperti

Diperlukan

Neonatal Dosis (3kg)

8,500 ug /

kg.min26 (25.5)

Seperti

diusulkan.IV Infusion

Seperti

Diperlukan

Tabel 1. Bentuk Sediaan Obat Dopamin (Hospira UK Limited, 2010)

Page 12: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

F. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Pinset

b. Pipet tetes

c. Gunting

d. Scapel

e. Alat perusak SSP katak

f.

2. Bahan

a. Sulfas Atropin

b. NaCl fisiologis

G. Cara Kerja

1. Katak A untuk mempelajari pengaruh sulfas atropin pada jantung, katak

B digunakan sebagai kontrol.

2. Rusak SSP katak melalui foramen magnun, buka bagian ventral hingga

tampak jantung, kemudian perikardium dibuka.

3. Jantung ditetesi NaCl fisiologis agar tetap basah.

4. Diamati frekuensi per menit, kekuatan kontraksi, irama, dan warna

jantung.

5. Jantung katak A ditetesi sulfas atropin, jantung katak B ditetesi NaCl

fisiologis pada menit pertama.

6. Setiap menit, jantung katak A dan B ditetesi NaCl fisiologis.

7. Diamati frekuensi per menit, kekuatan kontraksi, irama, dan warna

jantung katak setelah diberi perlakuan.

Page 13: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Percobaan

Hewan

Percobaan

Kekuatan denyut jantung Irama Jantung Warna

Jantung

Katak A Meningkat Irregular Lebih coklat

Katak B Tetap Regular Coklat, tidak

berubah

Tabel 2. Hasil Percobaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 150

10

20

30

40

50

60

70

Grafik Frekuensi Denyut Jantung Pada Katak A dan B

Katak AKatak B

Waktu (Menit)

Frek

uens

i

Grafik 1. Frekuensi Denyut Jantung Katak A dan B

B. Pembahasan

Pada Grafik 1. frekuensi denyut jantung dapat dilihat bahwa

frekuensi denyut jantung pada katak A yang diberi sulfas atrofin

cenderung mengalami penurunan, berbeda dengan katak B yang hanya

diberi NaCl fisiologis untuk menjga agar jantung tetap basah, frekuensi

denyut jantungnya rata-rata masih berada dalam batas normal.

Hal tersebut dapat terjadi memang karena pengaruh pemberian dari

sulfas atrofin. Pengaruh sulfas atrofin pada jantung ini bersifat bifasik

Page 14: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

yaitu tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara

langsung serta menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Sulfas atrofin

bekerja pada jantung dengan memblokade reseptor muskarinik pada SA

node berakibat takikardi, tetapi perlambatan transien denyut jantung

seperti pada hasil praktikum kali ini dapat terjadi jika pemberian dosis

sulfas atrofin ini sesuai dengan dosis terapi. Mekanisme ini merupakan

respon paradoks karena efek agonis perifer yang lemah, hal ini diduuga

karena perangsangan terhadap nervus vagus yang memang bekerja

memperlambat denyut jantung. Jika dosis sulfas atrofin yang diberikan

berlebih efek yang terjadi adalah sebaliknya (Zunilda, 2009).

Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa pada katak A kekuatan denyut

jantung menjadi meningkat sedangkan pada katak B cenderung tetap.

Peningkatan kekuatan denyut jantung pada katak A ini disebabkan

karena peningkatan efek vagal yang bisa muncul pada pemberian dosis

sesuai dengan kadar terapi. Peningkatan efek vagal ini merupakan

gabungan efek pada berbagai tempat di sistem saraf yaitu baroreseptor di

arteri, nukleus vagus di sentral, ganglion nodosum dan ganglion autonom

(Zunilda, 2009).

Dengan adanya peningkatan kekuatan denyut jantung tersebut

darah yang di pompa ke ventrikel akan lebih banyak sehingga jantung

pada katak A yang diberi sulfas atrofin tampak berwarna lebih coklat.

C. Aplikasi Klinis

1. Dopamin

Gagal Jantung

Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiolgi, di mana

terdapat kegagalan jantung yang memompa darah yang sesuai

dengan kebutuhan jaringan. Penyebab dari gagal jantung antara lain

disfungsi miokard, endokard, pericardium, pembuluh darah besar,

aritmia, kelainan katuo, dan gangguan irama. (Ghanie, 2006).

Page 15: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal,

dengan mortalitas berkisar antara 5-50% per tahun, bergantung pada

keparahan penyakitnya. Mortalitas meningkat sebandung dengan

usia, dan risiko pada laki-laki lebih besar daripada perempuan

(Setiawati, 2008).

Gaagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks

akibat kelainan struktural dan fungsional jantung yang menganggu

kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau untuk

mengeluarkan darah. Manifestasi gagal jantung utama adalah sesak

napas dan rasa lelah yang membatasi kemampuan melakukan

kegiatan fisik, serta retensi cairan, yang menyebabkan kongesti paru

dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut mengganggu

kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien, tetapi tidak selalu

ditemukan bersama pada seorang pasien (Setiawati, 2008).

Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal

jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju

terjadinya gagal jantung, terutama hipertensi dan/ atau penyakit

arteri koroner. Jika disfungsi miokard sudah terjadi tujuan pertama

adalah mengobati/ menghilangkan penyebab dasarnyam jika

mungkin (misalnya iskemia, penyakit tiroid, alkohol, obat). Jika

penyebab dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk

(1) mencegah memburuknya fungsi jantung, dengan perkataan lain

memperlambat progresi remodelling miokard, sehingga dapat

mengurangi mortalitas, dan (2) mengurangi gejala-gejala gagal

jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien (Setiawati,

2008).

Dopamin dan Dobutamin I.V. merupakan obat inotropik yang

paling sering digunakan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka

pendek pada gagal jantung yang parah. Kerjanya melalui stimulasi

reseptor dopamin D1 dan reseptor β adrenergik di sel otot jantung.

Page 16: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan

pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik (Setiawati, 2008).

2. Sulfas Atropin

Keracunan Organofosfat

Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi

keracunan. Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi

asetilkolin yang persisten. Tanda dan gejala awal keracunan adalah

stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor

eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan,

diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi (Frank, 1995).

Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu

bronkokonstriksi dengan sesak nafasdan peningkatan sekresi

bronkus.Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi

nikotinik pusat daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks,

bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne

Stokes dan koma.) Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam

waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan

kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah lebih

dari 6 jam,ini bukan keracunan organofosfat karena hal tersebut

jarang terjadi (Frank, 1995).

Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa

kegagalan pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan

kelumpuhan otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan

meningkatkan kegagalan pernafasan. Aritmia jantung seperti hearth

block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab kematian

(Frank, 1995).

Pengobatan

Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM.

Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan

harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala

Page 17: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut

kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini

harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala

keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari

pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian

atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam,

tergantung kebutuhan. (Zunilda, 2008).

D. Jawaban Pertanyaan

1. Pengaruh sulfas atropin terhadap jantung

Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan

dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung

berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat vagus.

Brakikardia biasanya bersifat tidak nyata dan tidak disertai perubahan

tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang

biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organofosfat,

terjadi hambatan N. vagus sehingga terjadi takikardia. Atropin dalam

hal ini tidak seefektif skopolamin. Obat ini juga dapat menghambat

brakikardia yang ditimbulkan oleh obat kolinergik. Atropin tidak

mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara

langsung, tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau

ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap sirkulasi darah

bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah tidak dipersarafi

parasimpatik. Dilatasi kapiler bagian muka dan leher terjadi pada

dosis toksik (atropine flush). Vasodilatasi ini merupakan kompensasi

kulit untuk melepaskan panas dari naiknya suhu kulit akibat

penghentian evaporasi. (Setiawati, 2008; Mariyono dan Santoso,

2007).

2. Mekanisme kerja sulfas atropin

Atropin adalah senyawa berbentuk kristal putih,rasa sangat

pahit,titik lebur 115° dan terdiri dari amine antimuscarinic tersier.

Page 18: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Atropin merupakan antagonis reseptor kolinergik yang diisolasi dari

Atropa belladona, Datura stramonium dan tanaman lain dari family

Solanaceae (Mursidi, 1989).

Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai

antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip

antimuskarinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada

syaraf postganglionik kolinergik dan otot polos. Hambatan ini

bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin

dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase (Achmad,

1986).

Mekanisme kerja atropine memblok aksi kolinomimetik pada

reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu,

hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh

asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal

ini menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat

ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi

seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang di akibatkan

oleh asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya (Jay dan Kirana,

2002).

Page 19: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BAB IV

KESIMPULAN

1. Sulfas atrofin diabsorpsi pada traktus gastro intestinal, membran mukosa, kulit mata,

didistribusi secara luas melalui aliran darah, dimetabolisme dalam hati dan diekskresi

melalui ginjal.

2. Mekanisme kerja atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik

secara reversible yang tergantung pada jumlah pemberiannya.

3. Sulfas atrofin tidak murni bersifat anti muskarinik karena pada pemberian dengan

dosis terapi justru malah meningkatkan efek vagal.

4. Efek sulfas atrofin pada jantung bersifat bifasik, yaitu tidak mempengaruhi pembuluh

darah maupun tekanan darah secara langsung serta menghambat vasodilatasi oleh

asetilkolin.

5. Salah satu contoh aplikasi klinis penggunaan sulfas atrofin yaitu pada keracunan

organofosfat.

6. Dopamin tidak ada absorpsi setelah pemakaian oral, dimetabolisme dalam hati dan

dekskresi melalui urin.

7. Dopamin mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan adrenergik,

dan juga melepaskan norepinefrin endogen.

8. Salah satu contoh aplikasi klinis pemggunaan dopamin yaitu pada kasus gagal

jantung.

Page 20: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

DAFTAR PUSTAKA

Achmad.S. A. 1989. Analisis Metabolit Sekunder.Yogyakarta: UGM press.

Backer, Daniel De. et all. 2010. Comparison of Dopamine and Norepinephrine in the

Treatment of Shock. The New England Journal of Medicine, vol. 362:9–779.

Dinkes. 2006. Informasi Obat Atropin. Available URL from:

http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php?

mod=pubInformasiObat&idMenuKiri=45&idSelected=1&idObat=21&page=.

Diakses pada tanggal 8 Mei 2011

Dinkes. 2006. Informasi Obat Dopamin. Available URL from:

http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php?

mod=pubInformasiObat&idMenuKiri=45&idSelected=1&idObat=47&page=2.

Diakses pada tanggal 8 Mei 2011

EMS. 2011. Drug profile for atropin sulfas. Available

from

; . http://www.azdhs.gov/diro/admin_rules/guidancedocs/GD030%20Atropine

%20Drug%20Profile.pdf. Access on : May 17, 2011

Frank C. Lu.1995. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. Jakarta: U.I. Press. 266-268.

Ferone, Diago; Gatto, Frederico; Arvigo, Marica, et all. 2009. The clinical-molecular

interface of somatostatin, dopamine and their receptors in pituitary

pathophysiology. Journal of Molecular Endocrinology, Vol. 42: 361.

Ganiswarna G., Sulistia. 1995. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta; FKUI.

Page 21: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Ghanie, Ali. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung Kronik. Edisi IV

Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 1511-1513.

Gunawan, S. G. 2008. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI. 57; 72-3.

Hospira Uk Limited. 2010. Dopamine in medicine. Available

from :http://www.medicines.org.uk/emc/medicine/630/SPC/. Access on : may

17, 2011

Jay, Than Hoon. Kirana, Raharja. 2002. Obat-obat penting. Jakarta: Gramediaa.

Mariyono, Harbanu H dan Santoso, Anwar. 2007. Gagal Jantung. Diakses dari :

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal%20jantung.pdf. Pada Tanggal 16 Mei

2011

Mursyidi, achmad. 1989. Analisis Metabolit Sekunder. Yogyakarta: UGM.

Schmitz, Gery. dkk. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3. Jakarta : EGC. Hal.

294.

Setiawati, Arini. 2008. Farmakologi dan Terapi: Obat Gagal Jantung. Edisi 5. Jakarta:

Departemen Farmakolgi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 299-311.

Syarif, Amir. dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : FKUI. Hal 58-77.

Townsend, Mary C. 2004. Pedoman Obat dalam Keperawatan Psikiatri. Jakarta : EGC.

Hal. 80

Page 22: LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

Zunilda D.S. 2008. Farmakologi dan Terai: Agonis dan Antagonis Muskarinik. Edisi 5.

Jakarta: Departemen Farmakolgi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 57.