LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
-
Upload
dera-fakhrunnisa-rukmana -
Category
Documents
-
view
516 -
download
18
Transcript of LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
PENGARUH OBAT TERHADAP JANTUNG
Asisten : Mufti Akbar
G1A008040
Disusun Oleh:
Kelompok III
1. Istiani Danu P G1A009018
2. Dikodemus Ginting G1A009019
3. Dera Fakhrunisa G1A009020
4. Rostikawaty Azizah G1A009022
5. Prasasti Gita W G1A009023
6. Gizza Dandy P G1A009024
7. Ryan Aprilian P G1A009025
8. Octi Guchiani G1A009026
9. Libra Hendra G1A007041
10. Rizki Anshar G1A007038
BLOK CARDIOVASCULAR
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok III
1. Istiani Danu P G1A009018
2. Dikodemus Ginting G1A009019
3. Dera Fakhrunisa G1A009020
4. Rostikawaty Azizah G1A009022
5. Prasasti Gita W G1A009023
6. Gizza Dandy P G1A009024
7. Ryan Aprilian P G1A009025
8. Octi Guchiani G1A009026
9. Libra Hendra G1A007041
10. Rizki Anshar G1A007038
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok
Cardiovascular
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jendral Soedirman
Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, Mei 2011
Asisten,
Mufti Akbar
NIM. G1A008040
BAB I
PENDAHULUAN
A. Juduk Percobaan
Pengaruh Obat terhadap Jantung
B. Hari dan Tanggal Percobaan
Selasa, 17 Mei 2011
C. Tujaun Percobaan
1. Umum
Mahasiswa dapat menjelaskan pengaruh sulfas atropin terhadap
jantung katak.
2. Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi
pada jantung katak setelah dilakukan pemberian sulfas atropin.
D. Binantang Percobaan
2 ekor katak
E. Dasar Teori
1. Sulfas Atropin
a. Farmakokinetik
1) Absorpsi : Diabsorpsi dengan baik dari traktus gastro intestinal,
membran mukosa, kulit mata, dan setelah pemberian per IM
(Intra Muscular) (Townsend, 2004).
2) Distribusi : Dari sirkulasi darah, obat ini cepat memasuki
jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis enzimatik di
hepar. Didistribusi luas, menembus barier darah-otak dan
plasenta, diperkirakan masuk dalam air susu ibu (Townsend,
2004).
3) Metabolisme : Dimetabolisme dalam hati (Amir, 2007).
4) Ekskresi : Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal
dan sejumlah kecil diekskresi melalui udara pernapasan dan
feses (Townsend, 2004).
5) Waktu Paruh : 2-3 jam (Schmitz, 2009).
b. Farmakodinamik
Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan
dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung
berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat vagus.
Brakikardia biasanya tidak nyata dan tidak disertai perubahan
tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang
biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organofosfat,
terjadi hamabatan N.Vagus sehingga terjadi takikardia. Atropin
dalam hal ini tidak seefektif skopolamin. Obat ini juga dapat
menghambat bradikardia yang ditimbulkan oleh obat kolinergik.
Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah
secara langsung, tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh
asetilkolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek pada
sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah tidak
dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher
terjadi pada dosis toksik. Vasodilatasi ini merupakan kompensasi
kulit untuk melepaskan panas dari naiknya suhu kulit akibat
penghentian evaporasi (Gunawan, 2008).
c. Efek samping obat
Efek samping antimuscarinik termasuk kontipasi, transient
(sementara) bradycardia ( diikuti dengan takikardi, palpitasi, dan
aritmia), penurunan sekret bronkial, retensi urin, dilatasi pupil
dengan kehilangan akomodasi , fotophobia, mulut kering; kulit
kering dan kemerahan. Efek samping yang terjadi kadang-kadang :
kebingungan (biasanya pada usia lanjut) , mual, muntah dan pusing
(Dinkes,2006).
Pada dosis lebih dari 2mg, yang biasanya hanya digunakan
pada keracunan insektisida organofosfat, terjadi hambatan N. Vagus
dan timbul suatu takikardi (Ganiswarna,1995).
d. Aplikasi klinis
Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi
keracunan. Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi
asetilkolin yang persisten. Tanda dan gejala awal keracunan adalah
stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor eksokrin
muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare,
defekasi, eksitasi, dan salivasi (Frank, 1995).
Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu
bronkokonstriksi dengan sesak nafasdan peningkatan sekresi
bronkus.Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi
nikotinik pusat daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks,
bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne
Stokes dan koma.) Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam
waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan
kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah lebih dari
6 jam,ini bukan keracunan organofosfat karena hal tersebut jarang
terjadi (Frank, 1995).
Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa
kegagalan pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan
meningkatkan kegagalan pernafasan. Aritmia jantung seperti hearth
block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab kematian
(Frank, 1995).
Pengobatan
Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM.
Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan
harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala
keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut
kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini
harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala
keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama
mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat
diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan.
(Zunilda, 2008).
e. Interaksi
f. Indikasi (EMS, 2011):
1) Gejala bradikardi pasien dimonitor saja.
2) Tidak ada detak jantung setelag epinefrin dipantau pasien saja.
3) PEA dengan bradikardi aktual atau relatif (setelah epinefrin) di
pantau pasien saja.
4) Acetylcholinesterase inhibitor keracunan.
g. Kontra indikasi (EMS, 2011):
1) Hipersensitif atropine.
2) Glaukoma.
3) Tachycardia.
4) GI obstruktif penyakit, ileus paralitik, atoni usus.
5) Penyakit hati.
6) Penyakit ginjal, uropati obstruktif.
7) Myasthenia gravis .
8) Asma.
9) Tirotoksikosis.
h. Bentuk sediaan obat (EMS, 2011):
1) Injection solution, as sulfate:
a) 0.05 mg/mL (5mL)
b) 0.1 mg/mL (5mL, 10mL)
c) 0.4mg/0.5mL (0.5mL)
d) 0.4mg/mL (0.5mL, 1mL, 20mL)
e) 1 mg/mL (1mL)
2) AtroPen, prefilled autoinjector:
a) 0.25 mg/0.3mL (0.3mL)
b) 0.5mg/0.7mL (0.7mL)
c) 1mg/0.7mL (0.7mL)
d) 2mg/0.7mL (0.7mL)
2. Dopamin
a. Farmakokinetik
1) Absorpsi : Tidak ada absorpsi setelah pemakaian oral karena
efek lintas pertama yang ekstrem tinggi di epitel usus dan hati
(Schmitz, 2009).
2) Distribusi : Tidak menembus sawar darah-otak, sehingga tidak
ada efek sentral (Schmitz, 2009).
3) Metabolisme : Dimetabolisme dalam hati. Peruraian yang cepat
mengakibatkan inaktivasi oleh MAO (monoamin oksidase),
COMT (katekol-O-metiltransferase), dan juga Dopamin β-
hidroksilase (Schmitz, 2009).
4) Ekskresi : Dopamin diekskresi melalui urin (Schmitz, 2009).
5) Waktu Paruh : 2-3 menit, maka pemberian IV (Intra Vena)
dapat dikendalikan dengan baik (Schmitz, 2009).
Baik dopamin maupun norepinefrin merupakan agen
vasopressor lini pertama pada penanganan shock. Terdapat
kontroversi mengenai keunggulan di antara keduanya. Pada sebuah
penelitian didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam tingkat kematian antara pasien yang shock dengan
diobati dopamin maupun norepinefrin. Tetapi penggunaan dopamin
dikaitkan dengan lebih banyak kejadian buruk. (Backer, 2010).
b. Farmakodinamik
Prekursor norepinefrin ini mempunyai kerja langsung pada
reseptor dopaminergik dan adrenergik, dan juga melepaskan
norepinefrin endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja pada
reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal,
mesenterium, dan pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor D1
menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase. Infus
dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju
filtrasi glomerulus dan ekskresi Na+. Pada dosis yang sedikit lebih
tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui
aktivasi adrenoseptor 1. Dopamin juga melepaskan NE endogen
yang menambah efeknya pada jantung. Pada dosis rendah samapai
sedang, resistensi perifer total tidak berubah. Hal itu mungkin karena
dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesenterium
dengan hanya sedikit peningkatan di tempat-tempat lain. Dengan
demikian dopamin meningkatkan tekanan sistolok dan tekanan nadi
tanpa mengubah tekanan diastolik (atau sedikit meningkat).
Akibatnya, dopamin terutama berguna untuk keadaan curah jantung
rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok
kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar yang tinggi
dopamin menyebabkan vasokonstriksi akibat aktivasi reseptor 1
pembuluh darah. Karena itu bila dopamin digunakan untuk syok
yang mengancam jiwa, tekanan darah dan fungsi ginjal harus
dimonitor. Reseptor dopamin juga terdapat dalam otak, tetapi
dopamin yang diberikan IV, tidak menimbulkan efek sentral karena
obat ini sukar melewati sawar darah otak (Gunawan, 2008).
Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan
mengikat reseptor 2 dengan afinitas sedang; afinitas terhadap
reseptor D2, 1 dan tidak berarti. Obat ini merupakan vasodilator
kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat (misalnya hipertensi
maligna dengan kerusakan organ) dirumah sakit untuk jangka
pendek, tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam mendilatasi berbagai
pembuluh darah, termasuk arteri koroner, arteriol aferen dan eferen
ginjal dan arteri mesenterik. Masa paruh eliminasi fenoldopam
intravena, setelah penghentian 2 jam infus ialah 10 menit. Efek
samping akibat vasodilatasi berupa sakit kepala, muka merah, pusing,
takikardia atau bradikardia (Gunawan, 2008).
Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas
intrinsik pada reseptor D1, D2 dan 2; mungkin juga menghambat
ambilan katekolamin. Obat ini agaknya memperlihatkan efek
hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung berat,
sepsis dan syok. Pada pasien dengan curah jantung rendah, infus
dopeksamin meningkatkan curah sekuncup dan menurunkan
resistensi vaskular sistemik (Ferone; Gatto: Arvigo; et all , 2009).
c. Efek samping obat
Sering : denyut ektopik, takikardia, sakit karena angina,
palpitasi, hipotensi, vasokonstriksi, sakit kepala, mual, muntah,
dispnea. Jarang : bradikardia, aritmia ventrikular (dosis tinggi),
gangrene, hipertensi, ansietas, piloereksi, peningkatan serum glukosa,
nekrosis jaringan (karena ekstravasasi dopamin), peningkatan
tekanan intraokular, dilatasi pupil, azotemia, polyuria (Dinkes,2006).
d. Aplikasi klinis
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiolgi, di mana
terdapat kegagalan jantung yang memompa darah yang sesuai dengan
kebutuhan jaringan. Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi
miokard, endokard, pericardium, pembuluh darah besar, aritmia,
kelainan katuo, dan gangguan irama. (Ghanie, 2006).
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal, dengan
mortalitas berkisar antara 5-50% per tahun, bergantung pada
keparahan penyakitnya. Mortalitas meningkat sebandung dengan
usia, dan risiko pada laki-laki lebih besar daripada perempuan
(Setiawati, 2008)
Gaagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks
akibat kelainan struktural dan fungsional jantung yang menganggu
kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau untuk
mengeluarkan darah. Manifestasi gagal jantung utama adalah sesak
napas dan rasa lelah yang membatasi kemampuan melakukan
kegiatan fisik, serta retensi cairan, yang menyebabkan kongesti paru
dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut mengganggu
kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien, tetapi tidak selalu
ditemukan bersama pada seorang pasien (Setiawati, 2008).
Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal
jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju
terjadinya gagal jantung, terutama hipertensi dan/ atau penyakit arteri
koroner. Jika disfungsi miokard sudah terjadi tujuan pertama adalah
mengobati/ menghilangkan penyebab dasarnyam jika mungkin
(misalnya iskemia, penyakit tiroid, alkohol, obat). Jika penyebab
dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk (1)
mencegah memburuknya fungsi jantung, dengan perkataan lain
memperlambat progresi remodelling miokard, sehingga dapat
mengurangi mortalitas, dan (2) mengurangi gejala-gejala gagal
jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien (Setiawati,
2008).
Dopamin dan Dobutamin I.V. merupakan obat inotropik yang
paling sering digunakan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka
pendek pada gagal jantung yang parah. Kerjanya melalui stimulasi
reseptor dopamin D1 dan reseptor β adrenergik di sel otot jantung.
Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan
pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik (Setiawati, 2008).
e. Interaksi
f. Indikasi (Hospira UK Limited, 2010):
Dopamin diindikasikan untuk koreksi ketidakseimbangan
hemodinamik hadir dalam:
1) hipotensi atau shock akut yang berhubungan dengan infark
miokard, septikemia endotoksik, trauma dan gagal ginjal.
2) Sebagai tambahan setelah operasi jantung terbka dimana terjadi
hipotensi persisten setelah koreksi hipivolemia.
3) Dalam dekompensasi jantung kronis seperti pada kegagalan
kongestif.
g. Kontra indikasi (Hospira UK Limited, 2010):
1) Dopamin tidak boleh digunakan pada pasien dengan
Feokromositoma atau hipertiroidisme.
2) Dopamin tidak boleh digunakan di hadapan tachyarrhythmias
atrium atau ventrikel dikoreksi atau fibrilasi ventrikel.
3) Siklopropana dan anestesi hidrokarbon halogenasi harus
dihindari.
h. Bentuk sediaan obat
Dosis Dosis Tunggal Frekuensi Rute petunjuk
Dosis Dewasa ( >12 tahun)
2,000-5,000 ug
/ kg.min3.5 (3.5)
Seperti
diusulkan.IV-Inf
Awal,
meningkat
secara bertahap.
20,000-50,000
ug / kg.min35 (35)
Seperti
diusulkan.IV-Inf
Pemeliharaan,
Seperti yang
disyaratkan.
Paedriatic Dosis (20kg)
8,500 ug /
kg.min170 (170)
Seperti
diusulkan.IV Infusion
Seperti
Diperlukan
Neonatal Dosis (3kg)
8,500 ug /
kg.min26 (25.5)
Seperti
diusulkan.IV Infusion
Seperti
Diperlukan
Tabel 1. Bentuk Sediaan Obat Dopamin (Hospira UK Limited, 2010)
F. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Pinset
b. Pipet tetes
c. Gunting
d. Scapel
e. Alat perusak SSP katak
f.
2. Bahan
a. Sulfas Atropin
b. NaCl fisiologis
G. Cara Kerja
1. Katak A untuk mempelajari pengaruh sulfas atropin pada jantung, katak
B digunakan sebagai kontrol.
2. Rusak SSP katak melalui foramen magnun, buka bagian ventral hingga
tampak jantung, kemudian perikardium dibuka.
3. Jantung ditetesi NaCl fisiologis agar tetap basah.
4. Diamati frekuensi per menit, kekuatan kontraksi, irama, dan warna
jantung.
5. Jantung katak A ditetesi sulfas atropin, jantung katak B ditetesi NaCl
fisiologis pada menit pertama.
6. Setiap menit, jantung katak A dan B ditetesi NaCl fisiologis.
7. Diamati frekuensi per menit, kekuatan kontraksi, irama, dan warna
jantung katak setelah diberi perlakuan.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Percobaan
Hewan
Percobaan
Kekuatan denyut jantung Irama Jantung Warna
Jantung
Katak A Meningkat Irregular Lebih coklat
Katak B Tetap Regular Coklat, tidak
berubah
Tabel 2. Hasil Percobaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 150
10
20
30
40
50
60
70
Grafik Frekuensi Denyut Jantung Pada Katak A dan B
Katak AKatak B
Waktu (Menit)
Frek
uens
i
Grafik 1. Frekuensi Denyut Jantung Katak A dan B
B. Pembahasan
Pada Grafik 1. frekuensi denyut jantung dapat dilihat bahwa
frekuensi denyut jantung pada katak A yang diberi sulfas atrofin
cenderung mengalami penurunan, berbeda dengan katak B yang hanya
diberi NaCl fisiologis untuk menjga agar jantung tetap basah, frekuensi
denyut jantungnya rata-rata masih berada dalam batas normal.
Hal tersebut dapat terjadi memang karena pengaruh pemberian dari
sulfas atrofin. Pengaruh sulfas atrofin pada jantung ini bersifat bifasik
yaitu tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara
langsung serta menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Sulfas atrofin
bekerja pada jantung dengan memblokade reseptor muskarinik pada SA
node berakibat takikardi, tetapi perlambatan transien denyut jantung
seperti pada hasil praktikum kali ini dapat terjadi jika pemberian dosis
sulfas atrofin ini sesuai dengan dosis terapi. Mekanisme ini merupakan
respon paradoks karena efek agonis perifer yang lemah, hal ini diduuga
karena perangsangan terhadap nervus vagus yang memang bekerja
memperlambat denyut jantung. Jika dosis sulfas atrofin yang diberikan
berlebih efek yang terjadi adalah sebaliknya (Zunilda, 2009).
Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa pada katak A kekuatan denyut
jantung menjadi meningkat sedangkan pada katak B cenderung tetap.
Peningkatan kekuatan denyut jantung pada katak A ini disebabkan
karena peningkatan efek vagal yang bisa muncul pada pemberian dosis
sesuai dengan kadar terapi. Peningkatan efek vagal ini merupakan
gabungan efek pada berbagai tempat di sistem saraf yaitu baroreseptor di
arteri, nukleus vagus di sentral, ganglion nodosum dan ganglion autonom
(Zunilda, 2009).
Dengan adanya peningkatan kekuatan denyut jantung tersebut
darah yang di pompa ke ventrikel akan lebih banyak sehingga jantung
pada katak A yang diberi sulfas atrofin tampak berwarna lebih coklat.
C. Aplikasi Klinis
1. Dopamin
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiolgi, di mana
terdapat kegagalan jantung yang memompa darah yang sesuai
dengan kebutuhan jaringan. Penyebab dari gagal jantung antara lain
disfungsi miokard, endokard, pericardium, pembuluh darah besar,
aritmia, kelainan katuo, dan gangguan irama. (Ghanie, 2006).
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal,
dengan mortalitas berkisar antara 5-50% per tahun, bergantung pada
keparahan penyakitnya. Mortalitas meningkat sebandung dengan
usia, dan risiko pada laki-laki lebih besar daripada perempuan
(Setiawati, 2008).
Gaagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks
akibat kelainan struktural dan fungsional jantung yang menganggu
kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau untuk
mengeluarkan darah. Manifestasi gagal jantung utama adalah sesak
napas dan rasa lelah yang membatasi kemampuan melakukan
kegiatan fisik, serta retensi cairan, yang menyebabkan kongesti paru
dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut mengganggu
kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien, tetapi tidak selalu
ditemukan bersama pada seorang pasien (Setiawati, 2008).
Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal
jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju
terjadinya gagal jantung, terutama hipertensi dan/ atau penyakit
arteri koroner. Jika disfungsi miokard sudah terjadi tujuan pertama
adalah mengobati/ menghilangkan penyebab dasarnyam jika
mungkin (misalnya iskemia, penyakit tiroid, alkohol, obat). Jika
penyebab dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk
(1) mencegah memburuknya fungsi jantung, dengan perkataan lain
memperlambat progresi remodelling miokard, sehingga dapat
mengurangi mortalitas, dan (2) mengurangi gejala-gejala gagal
jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien (Setiawati,
2008).
Dopamin dan Dobutamin I.V. merupakan obat inotropik yang
paling sering digunakan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka
pendek pada gagal jantung yang parah. Kerjanya melalui stimulasi
reseptor dopamin D1 dan reseptor β adrenergik di sel otot jantung.
Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan
pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik (Setiawati, 2008).
2. Sulfas Atropin
Keracunan Organofosfat
Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi
keracunan. Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi
asetilkolin yang persisten. Tanda dan gejala awal keracunan adalah
stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan reseptor
eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan,
diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi (Frank, 1995).
Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu
bronkokonstriksi dengan sesak nafasdan peningkatan sekresi
bronkus.Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi
nikotinik pusat daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks,
bingung, sukar bicara, kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne
Stokes dan koma.) Pada umumnya gejala timbul dengan cepat dalam
waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan
kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah lebih
dari 6 jam,ini bukan keracunan organofosfat karena hal tersebut
jarang terjadi (Frank, 1995).
Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa
kegagalan pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan
meningkatkan kegagalan pernafasan. Aritmia jantung seperti hearth
block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab kematian
(Frank, 1995).
Pengobatan
Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM.
Dosis besar ini tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan
harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat gejala-gejala
keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut
kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini
harus dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala
keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari
pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian
atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam,
tergantung kebutuhan. (Zunilda, 2008).
D. Jawaban Pertanyaan
1. Pengaruh sulfas atropin terhadap jantung
Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan
dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung
berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat vagus.
Brakikardia biasanya bersifat tidak nyata dan tidak disertai perubahan
tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang
biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organofosfat,
terjadi hambatan N. vagus sehingga terjadi takikardia. Atropin dalam
hal ini tidak seefektif skopolamin. Obat ini juga dapat menghambat
brakikardia yang ditimbulkan oleh obat kolinergik. Atropin tidak
mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara
langsung, tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau
ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap sirkulasi darah
bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah tidak dipersarafi
parasimpatik. Dilatasi kapiler bagian muka dan leher terjadi pada
dosis toksik (atropine flush). Vasodilatasi ini merupakan kompensasi
kulit untuk melepaskan panas dari naiknya suhu kulit akibat
penghentian evaporasi. (Setiawati, 2008; Mariyono dan Santoso,
2007).
2. Mekanisme kerja sulfas atropin
Atropin adalah senyawa berbentuk kristal putih,rasa sangat
pahit,titik lebur 115° dan terdiri dari amine antimuscarinic tersier.
Atropin merupakan antagonis reseptor kolinergik yang diisolasi dari
Atropa belladona, Datura stramonium dan tanaman lain dari family
Solanaceae (Mursidi, 1989).
Atropin merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai
antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip
antimuskarinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada
syaraf postganglionik kolinergik dan otot polos. Hambatan ini
bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin
dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase (Achmad,
1986).
Mekanisme kerja atropine memblok aksi kolinomimetik pada
reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu,
hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh
asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal
ini menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat
ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi
seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang di akibatkan
oleh asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya (Jay dan Kirana,
2002).
BAB IV
KESIMPULAN
1. Sulfas atrofin diabsorpsi pada traktus gastro intestinal, membran mukosa, kulit mata,
didistribusi secara luas melalui aliran darah, dimetabolisme dalam hati dan diekskresi
melalui ginjal.
2. Mekanisme kerja atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik
secara reversible yang tergantung pada jumlah pemberiannya.
3. Sulfas atrofin tidak murni bersifat anti muskarinik karena pada pemberian dengan
dosis terapi justru malah meningkatkan efek vagal.
4. Efek sulfas atrofin pada jantung bersifat bifasik, yaitu tidak mempengaruhi pembuluh
darah maupun tekanan darah secara langsung serta menghambat vasodilatasi oleh
asetilkolin.
5. Salah satu contoh aplikasi klinis penggunaan sulfas atrofin yaitu pada keracunan
organofosfat.
6. Dopamin tidak ada absorpsi setelah pemakaian oral, dimetabolisme dalam hati dan
dekskresi melalui urin.
7. Dopamin mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan adrenergik,
dan juga melepaskan norepinefrin endogen.
8. Salah satu contoh aplikasi klinis pemggunaan dopamin yaitu pada kasus gagal
jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad.S. A. 1989. Analisis Metabolit Sekunder.Yogyakarta: UGM press.
Backer, Daniel De. et all. 2010. Comparison of Dopamine and Norepinephrine in the
Treatment of Shock. The New England Journal of Medicine, vol. 362:9–779.
Dinkes. 2006. Informasi Obat Atropin. Available URL from:
http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php?
mod=pubInformasiObat&idMenuKiri=45&idSelected=1&idObat=21&page=.
Diakses pada tanggal 8 Mei 2011
Dinkes. 2006. Informasi Obat Dopamin. Available URL from:
http://www.diskes.jabarprov.go.id/index.php?
mod=pubInformasiObat&idMenuKiri=45&idSelected=1&idObat=47&page=2.
Diakses pada tanggal 8 Mei 2011
EMS. 2011. Drug profile for atropin sulfas. Available
from
; . http://www.azdhs.gov/diro/admin_rules/guidancedocs/GD030%20Atropine
%20Drug%20Profile.pdf. Access on : May 17, 2011
Frank C. Lu.1995. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. Jakarta: U.I. Press. 266-268.
Ferone, Diago; Gatto, Frederico; Arvigo, Marica, et all. 2009. The clinical-molecular
interface of somatostatin, dopamine and their receptors in pituitary
pathophysiology. Journal of Molecular Endocrinology, Vol. 42: 361.
Ganiswarna G., Sulistia. 1995. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta; FKUI.
Ghanie, Ali. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung Kronik. Edisi IV
Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1511-1513.
Gunawan, S. G. 2008. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI. 57; 72-3.
Hospira Uk Limited. 2010. Dopamine in medicine. Available
from :http://www.medicines.org.uk/emc/medicine/630/SPC/. Access on : may
17, 2011
Jay, Than Hoon. Kirana, Raharja. 2002. Obat-obat penting. Jakarta: Gramediaa.
Mariyono, Harbanu H dan Santoso, Anwar. 2007. Gagal Jantung. Diakses dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal%20jantung.pdf. Pada Tanggal 16 Mei
2011
Mursyidi, achmad. 1989. Analisis Metabolit Sekunder. Yogyakarta: UGM.
Schmitz, Gery. dkk. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3. Jakarta : EGC. Hal.
294.
Setiawati, Arini. 2008. Farmakologi dan Terapi: Obat Gagal Jantung. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakolgi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 299-311.
Syarif, Amir. dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : FKUI. Hal 58-77.
Townsend, Mary C. 2004. Pedoman Obat dalam Keperawatan Psikiatri. Jakarta : EGC.
Hal. 80
Zunilda D.S. 2008. Farmakologi dan Terai: Agonis dan Antagonis Muskarinik. Edisi 5.
Jakarta: Departemen Farmakolgi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 57.