laporan Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Protein in vitro: Pengukuran Daya Cerna Protein

24
EVALUASI NILAI BIOLOGIS PROTEIN IN VITRO: PENGUKURAN DAYA CERNA PROTEIN Oleh : Golongan P2; Kelompok 1 Nurul Agustina Chandradewi F24090042 Mila Kharisma F24090043 Jian Septian F24090046 Ayu Cahyaning Wulan F24090130 Didiet Rayadi F24061503 Dosen Dr. Puspo Edi Giriwono, S.TP, M.Agr Asisten Praktikum Dede Saputra, S.Pi, M.Si Umi Kulsum, S.TP DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Transcript of laporan Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Protein in vitro: Pengukuran Daya Cerna Protein

EVALUASI NILAI BIOLOGIS PROTEIN IN VITRO:

PENGUKURAN DAYA CERNA PROTEIN

Oleh :

Golongan P2; Kelompok 1

Nurul Agustina Chandradewi F24090042

Mila Kharisma F24090043

Jian Septian F24090046

Ayu Cahyaning Wulan F24090130

Didiet Rayadi F24061503

Dosen

Dr. Puspo Edi Giriwono, S.TP, M.Agr

Asisten Praktikum

Dede Saputra, S.Pi, M.SiUmi Kulsum, S.TP

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Protein merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh

dengan porsi yang cukup besar disamping zat gizi lain, seperti karbohidrat.

Keberadaan protein terdapat di berbagai bahan pangan baik hewani maupun

nabati. Protein cukup banyak terkandung di bahan pangan hewani dengan

daya cerna yang lebih baik dibandingkan protein pada bahan pangan nabati.

Namun, terdapat juga bahan pangan nabati yang sarat akan kandungan

protein yang lengkap, seperti kedelai. Kedelai merupakan alternatif sumber

protein yang menjanjikan untuk menggantikan protein hewani. Protein

kedelai mengandung asam amino yang lengkap. Selain itu protein kedelai

mengandung asam amino yang relatif lebih tinggi daripada protein biji-bijian

lainnya, terutama asam amino lisin (FAO 1971).

Selain dikonsumsi secara langsung, terdapat juga berbagai jenis

produk olahan kedelai yang beredar di pasaran, seperti tempe, kecap, dan

minuman bubuk kedelai. Meskipun berbahan dasar sama, masing-masing

bentuk olahan kedelai tersebut memiliki nilai gizi yang berbeda. Secara

keseluruhan, tempe memiliki kadar dan daya cerna protein yang lebih tinggi

di antara produk-produk olahan kedelai lainnya (Sugiyono 2008).

Adanya perlakuan selama pengolahan menyebabkan peningkatan nilai gizi

protein dan ketersediaan zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Palupi

2007). Hal tersebut disebabkan karena terlepasnya asam amino bebas,

sehingga lebih mudah dicerna oleh tubuh (Astawan 2008). Berdasarkan

pernyataan tersebut, dilakukan analisis lebih lanjut tehadap beberapa produk

olahan kedelai untuk mengetahui daya cerna protein kedelai secara in vitro,

serta membuktikan adanya peningkatan daya cerna terhadap protein kedelai

pada produk olahan kedelai tersebut.

2

1.2 TujuanMengukur daya cerna protein pada beberapa macam sampel produk

dari kedelai dengan menggunakan metode in-vitro dan mengetahui daya cerna

protein melalui analisa penurunan pH sampel setelah mengalami reaksi hidrolisis.

3

2. BAHAN DAN METODE

2.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu kasein, tepung kedelai

mentah, tepung kedelai matang, tepung tempe mentah, tepung tempe matang,

akuades pH 8.0, NaOH 1N, campuran enzim (tripsin, kimotripsin, pankreatin), TCA

0.1M, Na2CO3 0.4M, dan pereaksi Folin.

2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain tabung reaksi bertutup,

gelas ukur, pH-meter, neraca analitik, tabung sentrifus plastik, vortex, pipet Mohr,

sentrifuge, waterbath dan spektrofotometer.

2.3 Prosedur Kerja

Daya cerna protein pada sampel dilakukan secara in vitro dengan

menggunakan campuran enzim (tripsin, kimotripsin, dan pankreatin) yang kemudian

akan dibandingkan dengan daya cerna kasein, sehingga diketahui daya cerna protein

relatif masing-masing sampel. Asam amino yang dihasilkan akibat reaksi enzimatis

kemudian direaksikan dengan pereaksi Folin, sehingga intensitas warna yang

dihasilkan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang

578 nm. Diagram alir prosedur analisis dapat dilihat pada gambar 1.

4

5

1.5 g tepung atau kasein 30 ml akuades pH 8.0

Pengadukan dan penepatan pH 8.0 ± 0.1

Vortex

Pengambilan 10 ml dan pemasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup (lakukan 2 set)

Set 1: Penambahan 1.0 ml campuran enzim

Set 2 (sebagai blanko): Penambahan 1.0 ml akuades

Inkubasi 37°C, 10 menit (tepat)

Pengambilan 2.0 ml (homogen)

Penambahan 4.0 ml TCA

Vortex dan sentrifus (3500 rpm, 10 menit)

Pengambilan 1.5 ml supernatan

Penambahan 5.0 ml Na2CO3 Penambahan 1.0 ml reagen Folin

Pendiaman larutan selama 20 menit pada suhu 37 °C

Pengukuran absorbansi pada 578 nm

Gambar 1. Diagram alir penentuan daya cerna protein in vitro

Ukur pH larutan sisa

3. DATA HASIL PERCOBAAN

Tabel 1. Data hasil daya cerna protein in vitro

Sampel Absorbansi sampel

Absorbansi blanko

Daya cerna protein relatif (%)

Rata-rata daya cerna protein

relatif (%)

U1 U2 U1 U2 U1 U2Kasein control 1.450 1.467 0.059 0.050 100.00 100.00 100.00

Tepung kedelai mentah 0.940 1.022 0.831 0.722 7.84 21.17 14.50

Tepung kedelai matang 0.620 0.761 0.364 0.497 18.40 18.63 18.52

Tepung kedelai matang 0.682 0.786 0.368 0.395 22.57 27.59 25.08

Tepung tempe mentah 0.569 0.322 0.564 0.359 0.36 -2.61 -1.13

Tepung tempe matang 0.344 0.303 0.218 0.201 9.06 7.20 8.13

Keterangan :

*) : Nilai absorbansi dengan perlakuan pengenceran 2x

U1 : ulangan 1

U2 : ulangan 2

Contoh perhitungan :

Tepung kedelai mentah U1

x 100%

6

Daya cerna protein tepung kedelai mentah relatif adalah 14.50% terhadap standar (kasein).

Gambar 2. Diagram daya cerna protein pada beberapa sampel produk kedelai

Tabel 2. Data perubahan pH sampel sebelum dan sesudah perlakuan enzim

Sampel pH awalpH sampel setelah perlakuan enzim

Perubahan pH

Kasein (standar) 7.97 7.23 0.74

Tepung kedelai mentah 8.06 7.89 0.17

Tepung kedelai matang 1 8.02 7.09 0.93

Tepung kedelai matang 2 8.03 7.6 0.43

Tepung tempe mentah 8.02 7.6 0.42

Tepung tempe matang 8.02 7.37 0.65

7

Gambar 3. Diagram penurunan pH akibat aktivitas campuran enzim

Tabel 3. Data perubahan pH sampel sebelum dan sesudah perlakuan tanpa enzim

Sampel pH awal pH blanko Perubahan pH

Kasein (standar) 7.97 7.79 0.18

Tepung kedelai mentah 8.06 7.96 0.10

Tepung kedelai matang 1 8.02 7.64 0.38

Tepung kedelai matang 2 8.03 7.78 0.25

Tepung tempe mentah 8.02 7.54 0.48

Tepung tempe matang 8.02 7.43 0.59

Gambar 4. Diagram penurunan pH sampel tanpa perlakuan enzim

8

Table 4. Perbandingan perubahan pH sampel dengan perlakuan enzim dengan pH sampel tanpa tanpa perlakuan enzim

SampelPerubahan pH sample

setelah perlakuan enzim Blanko

Kasein (standar) 0.74 0.18

Tepung kedelai mentah 0.17 0.10

Tepung kedelai matang 1 0.93 0.38

Tepung kedelai matang 2 0.43 0.25

Tepung tempe mentah 0.42 0.48

Tepung tempe matang 0.65 0.59

Gambar 5. Diagram perbandingan perubahan pH sampel dengan perlakuan enzim dengan pH sampel tanpa perlakuan enzim

9

4. PEMBAHASAN

Penentuan daya cerna protein secara in vitro dapat dilakukan berdasakan

prinsip absorbansi dengan penggunaan indikator berupa pereaksi Folin yang

memberikan warna pada asam amino dan peptida hasil hidrolisis oleh enzim.

Perbedaan intensitas warna larutan dapat menunjukkan perbedaan kandungan asam

amino dan peptida (protein) pada sampel. Dalam prinsip ini absorbansi berbanding

lurus dengan jumlah asam amino dan peptida dalam larutan. Nilai absorbansi sampel

yang telah dikurangi dengan absorbansi blanko kemudian dibandingkan dengan nilai

absorbansi kasein sebagai kontrol untuk menentukan daya cerna protein tersebut

secara relatif terhadap kasein.

Ada lima sampel yang diuji daya cerna proteinnya pada praktikum ini, antara

lain yaitu sampel tepung kedelai mentah, tepung kedelai matang 1 dan 2, tepung

tempe mentah, dan tepung tempe matang. Kelima sampel tersebut dibandingkan

dengan protein standar, yaitu kasein. Penggunaan kasein sebagai standar dilakukan

dengan alasan kualitas protein kasein yang baik serta merupakan satu protein tunggal

yang lebih mudah dicerna dibandingkan sampel sehingga akan menunjukkan daya

cerna yang baik pula dibandingkan sampel. Kasein didefinisikan sebagai beberapa

kelompok phosphoprotein yang digumpalkan dari susu skim pada pH sekitar 4.6

sampai dengan 4.7 (Damodaran 1996). Kasein komersial umumnya dihasilkan dari

susu skim yang mengalami pengendapan kasein dengan penambahan asam atau

rennet. Komposisi kasein komersial terdiri dari protein 88.5%, lemak 0.2%, air 7%,

dan mempunyai kadar abu 3.8% (Webb et al. 1981).

Kelima sampel yang diuji memiliki pH sekitar 5-6.5, sehingga perlu

ditambahkan NaOH agar pH tepat menjadi 8 dimana pH 8 merupakan standar awal

untuk mengetahui penurunan pH yang terjadi. Pengkondisian pH larutan menjadi 8

bertujuan untuk mendapatkan aktivitas enzim tripsin dan kimotripsin yang

maksimum, karena pH tersebut merupakan pH optimum untuk aktivitas enzim tripsin

dan kimotripsin atau dengan kata lain hal ini dilakukan untuk mengkondisikan

seperti dalam usus manusia. Saat praktikum dilakukan penambahan NaOH karena

dengan penambahan akuades pH 8, larutan sampel masih berada di bawah pH 8.

Suspensi sampel kemudian diberi larutan enzim dan sebagian dibuat sebagai blanko

dengan mengganti larutan enzim dengan akuades.

10

Pembuatan blanko untuk masing-masing sampel bertujuan untuk mengukur

asam amino awal (bukan hasil hidrolisis enzimatis) atau sebagai faktor koreksi

karena dikhawatirkan jika dalam sampel sudah terdapat asam amino bebas sebalum

diberi enzim. Setelah pengkondisian pH optimum enzim, kemudian dilakukan

inkubasi pada suhu 37 oC selama 10 menit. Tujuan dari inkubasi ini adalah untuk

mengkondisikan suhu sampel, dimana suhu ini merupakan suhu yang optimal untuk

aktivitas enzim. Enzim (protease) yang digunakan dalam praktikum ini adalah

tripsin, kimotripsin, dan pankreatin. Setelah sampel dihidrolisis oleh enzim selama

inkubasi 10 menit, sampel diberi TCA (Tri Chloro Acetic acid) untuk mengendapkan

sisa protein dan disentrifuse pada 3500 rpm selama 10 menit sehingga didapatkan

endapan protein dan supernatan. Perlakuan sentrifusa bertujuan untuk mengendapkan

sisa substrat yang bereaksi dengan TCA sehingga supernatant yang didapatkan terdiri

dari asam amino dan peptide. Supernatant diambil sebanyak 1.5 ml lalu ditambahkan

Na2CO3 dan reagen Folin-Ciocalteau.

Reagen Folin-Ciocalteau merupakan campuran asam fosfomolibdat dan asam

fosfotungstat. Reagen direduksi oleh asam amino tirosin dan triptofan (Winarno

1997). Asam amino sistin, sistein, dan histidin juga bisa mereduksi reagen, namun

tidak sekuat tirosin dan triptofan. Reaksi oksidasi-reduksi tersebut diikuti dengan

terbentuknya kompleks warna biru (kromatogen) dengan absorbansi maksimum pada

panjang gelombang 745-750 nm (Nollet 1996). Penambahan garam basa Na2CO3

bertujuan memberikan suasana basa karena pembentukan warna biru dari reagen

Folin-Ciocalteau sangat bergantung pada pH. pH yang paling sesuai adalah 10-10.5,

namun reagen Folin-Ciocalteau tidak stabil pada pH basa sehingga ketepatan waktu

dalam setiap tahap sangat diperlukan (Nollet 1996). Setelah penambahan Na2CO3

dan reagen Folin-Ciocalteau, larutan didiamkan selama 20 menit pada suhu 37 oC

agar reaksi dapat berjalan dengan sempurna. Reaksi yang tidak berjalan sempurna

dapat menyebabkan kesalahan negatif karena ion Cu2+ tidak berikatan secara

maksimum dengan gugus amina. Setelah didiamkan, absorbansi larutan sampel

diukur pada panjang gelombang 578 nm. Semakin tinggi daya cerna protein, semakin

tinggi asam amino yang terbentuk sehingga intensitas warna biru semakin tinggi dan

nilai absorbansi juga semakin tinggi. Nilai absorbansi kemudian digunakan dalam

menghitung daya cerna relatif dari sampel yang diuji.

11

Berdasarkan hasil percobaan, setelah diinkubasi, pH kasein tanpa perlakuan

penambahan enzim mengalami perubahan sebesar 0,18, sedangkan perubahan pH

kasein dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,74. Hal ini

menunjukkan bahwa penurunan pH cenderung menjadi lebih cepat saat diberikan

tambahan enzim. Hasil analisis perubahan pH pada kelima sampel menunjukkan

bahwa pH tepung kedelai mentah tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami

perubahan sebesar 0,10, sedangkan perubahan pH tepung kedelai mentah dengan

perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,17. Tepung kedelai matang 1 tanpa

perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan pH sebesar 0,38, sedangkan

perubahan pH tepung kedelai matang 1 dengan perlakuan penambahan enzim adalah

sebesar 0,93. Untuk tepung kedelai matang 2 tanpa perlakuan penambahan enzim

mengalami perubahan pH sebesar 0,25, sedangkan perubahan pH tepung kedelai

matang 2 dengan perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,43.

Sampel tepung tempe mentah tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami

perubahan pH sebesar 0,48, sedangkan perubahan pH tepung tempe mentah dengan

perlakuan penambahan enzim adalah sebesar 0,42. Sampel tepung tempe matang

tanpa perlakuan penambahan enzim mengalami perubahan pH sebesar 0,59,

sedangkan perubahan pH tepung tempe mentah dengan perlakuan penambahan

enzim adalah sebesar 0,65. Dengan demikian, data besarnya penurunan pH kasein

dan kelima sampel tepung setelah dan sebelum perlakuan enzim dari yang terbesar

hingga yang terkecil secara berturut-turut, yaitu kasein, tepung kedelai matang1,

tepung kedelai matang 2, tepung kedelai mentah, tepung tempe matang, dan tepung

tempe mentah. Secara kualitatif, suatu protein yang lebih cepat melepaskan ion-ion

hidrogen yang ditunjukkan dengan penurunan pH yang lebih cepat dalam kurun

waktu tertentu berarti memiliki daya cerna yang lebih baik. Hal ini menunjukkan

daya cerna protein secara berurutan dari yang paling tinggi hingga yang paling

rendah adalah kasein, tepung kedelai matang 1, tepung kedelai matang 2, tepung

kedelai mentah, tepung tempe matang, dan tepung tempe mentah.

Daya cerna protein dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksogenus dan

endogenus (Guo et al. 2007). Faktor eksogenus misalnya interaksi protein dengan

polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor (Duodu et al. 2003; Ikeda

et al. 1986). Sedangkan faktor endogenus terkait dengan karakterisasi struktur

12

protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh panas

dan perlakuan reduksi (Deshpande dan Damodaran 1989; Ikeda et al. 1991;

Vaintraub et al. 1979). Fennema (1996) mengungkapkan bahwa daya cerna protein

dipengaruhi oleh konformasi protein, ikatan antar protein dengan metal, lipid, asam

nukleat, selulosa atau polisakarida lainnya, faktor anti nutrisi, ukuran dan luas

permukaan partikel protein dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali.

Konformasi protein dapat berhubungan dengan proses pengolahan produk.

Pemanasan merupakan suatu proses termal yang dapat mengubah konformasi protein

(Fennema 1996). Proses pemanasan, seperti perebusan kedelai atau pengeringan

dapat meningkatkan daya cerna protein karena dapat mendenaturasi protein senyawa

anti-nutrisi (anti-protease) (Muchtadi 1993).

Hasil percobaan menunjukkan daya cerna relatif dari tepung kedelai mentah,

tepung kedelai matang 1, tepung kedelai matang 2, tepung tempe mentah, dan tepung

tempe matang terhadap kasein masing-masing adalah 14,50% , 18,52%, 25,08%,

-1,13%, dan 8,13%. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang memiliki daya cerna

protein relatif yang paling tinggi adalah tepung kedelai matang 2, sementara sampel

tepung tempe mentah memiliki daya cerna protein yang paling rendah. Pada

dasarnya, sampel dalam bentuk tepung-tepungan seperti yang diuji pada praktikum

ini akan memiliki daya cerna protein relatif yang tinggi karena perlakuan

pengeringan pada sampel dapat memperluas luas permukaan protein. Hal ini terjadi

karena proses pengeringan akan mengeluarkan air dari protein serta membuat protein

memiliki luas permukaan yang lebih luas dari sebelumnya dikarenakan partikel

protein yang menjadi lebih kecil ketika dikenakan proses pengeringan. Akibatnya,

enzim protease akan lebih mudah untuk menghidrolisis protein (Fennema 1996).

Sampel tepung kedelai matang memiliki daya cerna yang paling tinggi dikarenakan

adanya proses pemanasan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi protein yang

terkandung di dalamnya. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan

pada suhu yang moderat (60-90 °C) selama satu jam atau kurang.

Rendahnya daya cerna protein relatif pada sampel tepung tempe mentah

maupun tepung tempe matang tidak sesuai dengan hasil penelitian Guo et al. (2007)

yang menyatakan bahwa proses fermentasi menyebabkan tempe memiliki beberapa

keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim

13

pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, sehingga protein, lemak dan

karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu

menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam

amino bebas (Astawan 2008). Ketidaksesuaian ini kemungkinan dipengaruhi oleh

sifat protein sebagai senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino

dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi,

polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali,

belerang dioksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi 1993). Selain itu, adanya

kesalahan prosedur praktikum, yaitu waktu inkubasi kedua yang lebih dari 20 menit

serta ketidakstabilan pereaksi Folin juga dapat mempengaruhi hasil uji.

Pereaksi Folin merupakan senyawa yang sangat reaktif dan mudah berikatan

dengan senyawa lain seperti amonium sulfat, sesium bikarbonat, glisin (lebih besar

dari 0,5%), sukrosa, glukosa, EDTA, NaCl, sorbitol, octyl glucoside, chaps, chapso,

lubrol, tris, Triton X-100, dan lain-lain. Amonium sulfat, lubrol, chaps, chapso, dan

sesium bikarbonat merupakan contoh senyawa pengganggu yang dapat

mengendapkan protein. Glisin dan EDTA adalah contoh senyawa pengganggu yang

menyebabkan tidak terbentuknya warna biru pada reaksi (Walker 2002). Selain itu,

merkaptan (2-mercaptoethanol) dan ditiotreitol (DTT) merupakan senyawa

pengganggu yang mereduksi protein untuk bereaksi dengan pewarna. Inkubasi kedua

(setelah penambahan pereaksi Folin) pada sampel tepung tempe mentah dengan

perlakuan penambahan enzim yang lebih dari 20 menit kemungkinan menyebabkan

asam amino glisin pada sampel bereaksi secara berlebihan dengan ion Cu2+ dalam

pereaksi Folin, akibatnya intensitas warna biru yang terbentuk pada sampel tepung

tempe mentah dengan perlakuan penambahan enzim lebih rendah daripada tepung

tempe mentah perlakuan tanpa penambahan enzim, sehingga daya cerna protein

relatif yang terukur bernilai negatif.

14

5. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang dilakukan terhadap beberapa sampel tepung

berbahan dasar kedelai dapat diketahui bahwa sampel yang memiliki daya cerna

protein tertinggi berturut-turut adalah kasein, tepung kedelai matang, tepung kedelai

mentah, tepung tempe matang, dan tepung tempe matang. Semakin besar penurunan

pH sample setelah diinkubasi memperlihatkan bahwa sample tersebut memiliki daya

cerna protein yang tinggi, karena penurunan pH yang lebih cepat dalam kurun waktu

tertentu menunjukkan bahwa protein lebih cepat melepaskan ion-ion hidrogen

sehingga lebih banyak protein yang mudah dicerna oleh tubuh. Tepung kedelai

matang memiliki daya cerna protein yang lebih tinggi daripada tepung tempe yang

telah mengalami proses fermentasi. Hal ini dimungkinkan adanya pengaruh oleh sifat

protein sebagai senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam

protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol,

lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang

dioksida atau hidrogen peroksida.

15

6. DAFTAR PUSTAKA

Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe, Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan

dengan Tempe. Jakarta : PT Dian Rakyat

Damodaran S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam: Fennema, OR.

(Ed.). Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York.

Deshpande SS, Damodaran S. 1989. Heat induced conformational changes in

phaseolin and its relation to proteolysis. Biochimica et Biophysica Acta (BBA)

– Protein Structure and Molecular Enzymology 998: 179–188.

Duodu KG, Taylor JRN, Belton PS, Hamaker BR. 2003. Factors affecting sorghum

protein digestibility. J of Cereal Sci 38: 117–131.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1971. Technology production from

soybean. Agriculture Service Bulletin, Roma.

Fennema ON. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York.

Guo X, Huiyuan Y, Zhengxing C. 2007. Effect of heat, rutin and disulfide bond

reduction on in vitro pepsin digestibility of Chinese tartary buckwheat protein

fractions. J of Food Chem 102:118–122.

Ikeda K, Oku M, Kusano T, Yasumoto K. 1986. Inhibitory potency of plant

antinutrients towards the in vitro digestibility of buckwheat protein. J of Food

Sci 51: 1527–1530.

Muchtadi D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Owusu RK. 2002. Food Protein Analysis: Quantitative Effects on Processing. NewYork:

Marcel Dekker.

Palupi, Ns, FZ Zakaria, E Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai

Gizi Pangan. Modul e-Learning ENBP, Bogor : Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan IPB .

Sugiyono. 2008. K a n d u n g a n G i z i K e d e l a i (terhubung berkala).

http://id.shvoong.com [22 September 2011]

16

Vaintraub IA, Seliger P, Shutov AD. 1979. Action of pepsin on the reserve proteins

of some leguminous seeds. Nahrung 23: 15–21.

Walker JM. 2002. The Protein Protocols Handbook. Totowa: Humana.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

17