Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1
-
Upload
dera-fakhrunnisa-rukmana -
Category
Documents
-
view
626 -
download
42
Transcript of Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERANBLOK HEMATOIMUNOLOGI
PEMERIKSAAN FRAGILITAS ERITROSIT(Metode Daya Tahan Osmotik Cara Visual)
Disusun oleh :
Nama : Dera Fakhrunnisa
NIM : G1A009020
Kelompok : V
Asisten : Ayu Asyifa RF
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2010
LEMBAR PENGESAHAN
PEMERIKSAAN FRAGILITAS ERITROSIT
(Metode Daya Tahan Osmotik Cara Visual)
Oleh :
Dera Fakhrunnisa
G1A009020
Kelompok V
Disusun untuk memenuhi tugas
Praktikum Biokimia Blok Hematoimunologi
Jurusan Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, September 2010
Asisten
Ayu Asyifa RFNIM. G1A007028
BAB I
DASAR TEORI
A. Struktur Eritrosit
Sel darah merah mempunyai bentuk bikonkaf dengan diameter 7,8 µm. Tepi
luar dari sel darah merah mempunyai ketebalan 2,5 µm, di bagian tengahnya
mempunyai ketebalan 1 µm (Guyton and Hall, 2006).
Membran sel darah merah bersifat selektif permeabel, yaitu dapat ditembus
oleh substansi atau ion-ion tertentu tapi tidak dapat ditembus oleh substansi dan ion-
ion lain. Membran sel darah merah bersifat permeabel pada ion-ion H+, OH-, NH4+,
PO4, HCO3-, Cl- dan juga oleh substansi-substansi lain seperti glukosa, asam amino,
asam urat, dan urea. Sebaliknya membran sel darah merah tidak dapat di tembus oleh
Na+, K+, Ca2+, Mg2+, fosfat organik dan juga substansi lain seperti hemoglobin dan
protein plasma (Ascalbiass, 2010).
Bentuk bikonkaf pada sel darah merah berfungsi untuk meningkatkan rasio
permukaan terhadap volume sel darah merah sehingga mempermudah pertukaran
gas. Untuk mempertahankan bentuknya agar tetap bikonkaf sela darah merah
mengandung komponen sitoskeletal (Murray, 2009).
Terdapat sejumlah protein sitoskeleton perifer yang melekat pada bagian
dalam membran sel darah merah, yaitu :
1) Spektrin yang merupakan protein utama sitoskeleton. Protein ini terdiri dari dua
polipeptida yaitu spektrin 1 (rantai α) dan spektrin 2 (rantai β). Kedua rantai
tersebut mempunyai panjang sekitar 100 nm. Di spektrin terdapat sedikitnya
empat tempat pengikatan yaitu untuk penyusun diri sendiri, untuk ankhirin,
untuk aktin dan untuk protein 4.1 (Murray, 2009).
2) Ankirin adalah suatu protein berbentuk piramid yang mengikat spektrin. Ankirin
kemudian berikatan erat dengan pita 3 yang memperkuat perlekatan spektrin
pada membran. Ankirin juga peka terhadap proteolisis (Murray, 2009).
3) Aktin terdapat di sel darah merah sebagai filamen pendek heliks ganda F-aktin.
Ekor dimer spektrin berikatan dengan aktin. Aktin juga berikatan dengan protein
4.1 (Murray, 2009).
4) Protein 4.1 adalah suatu protein globular yang berikatan erat dengan ekor
spektrin di tempat yang dekat dengan lokasi terikatnya aktin. Protein 4.1
berikatan dengan protein integral, glikoforin A dan C. Selain itu protein 4.1 juga
berinteraksi dengan fosfolipid membran tertentu sehingga lapisan ganda lipid
terhubung dengan sitoskeleton (Murray, 2009).
5) Protein tertentu lainnya (4.9, addusin dan tropomiosin) juga ikut serta dalam
pembentukan sitoskeleton (Murray, 2009).
Gambar 1. Membran Eritrosit
B. Metabolisme Eritrosit
a) Glikolisis
Glikolisis menghasilkan laktat pada jalur produksi ATP. Sedangkan pada
fosforilasi oksidatif tidak terjadi pembentukan ATP karena tidak terdapat
mitokondria di sel darah merah. Sel darah memiliki beragam pengangkut yang
mempertahankan keseimbangan antara iondan air (Murray, 2009).
Pembentukan 2,3-bifosfogliserat oleh reaksi-reaksi yang berkaitan erat
dengan glikolisis penting dalam mengatur kemampuan Hb dalam mengangkut
oksigen (Murray, 2009).
Glikolisis menghasilkan seliseh 2 ATP yang dihasilkan pada fosforilasi
oksidatif dan 2 NADH (Reece dan Mitchell, 1999).
b) Pentosafosfat
Jalur ini beroperasi dalam sel darah merah dan memetabolisme sekitar 5-
10 % aliran total glukosa. Jalur ini menghasilkan NADPH (Murray, 2009).
c) Glutation sintesis
Glutation tereduksi (GSH) berfungsi mengimbangi efek peroksida yang
berpotensi toksik, sel darah merah dapat membentuk glutation tereduksi dan
memerlukan NADPH untuk mengembalikan glutation teroksidasi (Murray,
2009).
d) HMP Shunt
HMP Shunt berfungsi untuk menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk
proses anabolik di luar mitokondria, misalnya sintesis glikogen, asam lemak dan
asam nukleat. Selain itu HMP Shunt juga menghasilkan G6PD yang berfungsi
untuk menangkal radikal bebas (Murray, 2009).
C. Fragilitas Eritrosit
Fragilitas sel darah merah adalah daya tahan sel darah merah terhadap
hemolisis dalam keadaan tertentu (Newman, 2002).
Fragilitas sel darah merah mencerminkan kemampuan sel darah merah untuk
memasukkan sejumlah larutan sebelum sel darah merah tersebut lisis akibat
membran selnya tertekan oleh larutan di dalam sel yang memiliki tekanan osmotik
lebih tinggi dibandingkan dengan diluar sel. Larutan yang memiliki tekanan osmotik
lebih rendah dibandingkan dengan tekanan osmotik di dalam sel darah merah disebut
larutan hipotonis (Kumar, 2002).
Jika sel darah merah berada dalam larutan hipertonis, yaitu larutan yang
memiliki tekanan osmotik lebih tinggi jika dibandingkan dengan tekanan osmotik di
dalam sel, maka sel darah merah akan mengalami krenasi karena cairan di dalam sel
darah merah keluar ke cairan di sekitarnya (Martini,2009).
Tetapi jika sel darah merah berada dalam larutan isotonis, sel darah merah
akan tetap normal karena tekanan osmotik di dalam dan di luar sel sama (Martini,
2009).
Gambar 2. Tekanan Osmotik pada Sel Darah Merah
D. Faktor Yang Mempengaruhi Fragilitas Eritrosit
Fragilitas sel darah merah dipengaruhi oleh bentuk sel darah merah itu
sendiri. Bentuk sel darah merah yang normal adalah bikonkaf, dengan bentuk seperti
ini sel darah merah mampu menahan larutan hipotonis dengan meningkatkan volume
sel sebanyak ±70% sebelum akhirnya sel darah merah itu lisis (Kumar, 2002).
Gambar 3. Eritrosit normal
Sferosit adalah sel darah merah dengan bentuk yang abnormal yaitu
berbentuk bulat, memiliki kemampuan yang terbatas untuk meningkatkan volume
sel, sehingga sel darah merah tersebut tidak mampu mengakomodasi dengan baik
tekanan osmotik pada larutan hipotonis. Hal ini menyebabkan sel darah merah lebih
mudah lisis dibandingkan sel darah normal (Kumar, 2002).
Gambar 4. Sferosit
Leptosit adalah sel darah merah dengan bentuk abnormal seperti elips.
Leptosit mengalami lisis pada konsentrasi larutan yang lebih rendah dibandingkan
dengan pada sferosit maupun sel darah merah normal (Kumar, 2002).
Gambar 5. Leptosit atau Sel Target
Selain dipengaruhi oleh bentuk, fragilitas juga dipengaruhi oleh pH dan suhu.
Penurunan pH dapat mengakibatkan fragilitas eritrosit meningkat. Sedangkan
peningkatan suhu dapat mengakibatkan penurunan fragilitas eritrosit (Heffron and
Mitchell, 1981).
Umur dari sel darah merah juga berpengaruh terhadap fragilitas, sel darah
merah yang sudah tua memiliki membran sel yang sudah rapuh sehingga mudah
mengalami lisis (Ascalbiass, 2010).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Alat dan Bahan
a) Alat :
1. Tabung reaksi 12 buah
2. Vacum med
3. Rak tabung reaksi
4. Pipet
5. Label
b) Bahan :
1. Darah EDTA
2. NaCl 0,5%
3. Aquades
B. Cara Kerja
1. Dilakukan pengenceran NaCl 0,9% menjadi NaCl 0,5% dengan
menambahkan aquades sebanyak 45 ml.
2. Disusun sebanyak 12 tabung reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris,
masing-masing berisi 6 tabung.
3. Masing-masing tabung diberi nomor dari kiri ke kanan dengan urutan 25, 24,
23, 22, 21, 20, 19, 18, 17, 16, 15, 14.
4. Diteteskan NaCl 0,5% dengan pipet yang banyaknya disesuaikan dengan
nomor tabung.
5. Diteteskan pula aquades pada tabung sampai volumenya berjumlah 25 tetes
tiap tabung. Contoh: 24 tetes NaCl 0,5 % + 1 tetes aquades.
6. Konsentrasi pada masing-masing larutan menjadi 0,5%; 0,48%; 0,46%;
0,44%; 0,42%; 0,40%; 0,38%; 0,36%; 0,34%; 0,32%; 0,30%; 0,28%.
7. Diambil darah vena dari probandus dengan menggunakan spuit sebanyak 3
cc.
8. Darah yang telah diambil dimasukkan ke dalam vacum med yang telah
dilapisi EDTA pada permukaan dindingnya.
9. Masing-masing tabung diberi 1 tetes darah EDTA, diamkan selama 1 jam
pada suhu kamar.
10.Diperhatikan hasilnya, dilihat mana tabung yang terjadi hemolisis permulaan
dan mana yang sudah terjadi hemolisis sempurna.
11.Hasil dibandingkan dengan kontrol normal.
C. Hasil Pengamatan
Nama Probandus : Rahmi Laksita Rukmi
Umur Probandus : 19 tahun
Jenin kelamin Probandus : Perempuan
25 24 22 2023 21
0,48%0,50% 0,46% 0,44% 0,42% 0,40%
19 18 17 16 15 14
0,38% 0,36% 0,34% 0,32% 0,28%0,30%
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, setelah campuran darah EDTA,
NaCl 0,5% dan aquades diinkubasi dalam suhu ruangan selama 60 menit,
didapatkan hasil yang mengalami permulaan hemolisa adalah tabung 21 dan yang
sudah mengalami hemolisis sempurna yaitu tabung 15.
D. Interpretasi Hasil
Pemeriksaan fragilitas eritrosit dengan mengunakan metode daya tahan
osmotik cara visual memiliki nilai normal sebagai berikut :
Permulaan lisis Pada 0,44 ± 0,02 % NaCl
Hemolisis sempurna Pada 0,34 ± 0,02 % NaCl
Probandus pada mengalami permulaan hemolisis pada tabung 21 yaitu
pada konsentrasi 0,42%. Berdasarkan tabel diatas dapat diihat bahwa probandus
berada dalam keadaan normal. Akan tetapi probandus mengalami hemolisis
sempurna pada tabung 15 yaitu pada konsentrasi 0,30%. Jika berdasarkan tabel
diatas untuk hemolisa sempurna probandus kurang dari batas normal. Hal ini
terjadi dikarenakan faktor kesalahan yang dilakukan ketika melakukan
pengamatan, yaitu pemberian darah yang terlalu banyak pada tabung ke 15
sehingga tabung ke 15 tampak sangat merah dan terlihat seperti sudah mengalami
hemolisis sempurna.
E. Aplikasi Klinis
a) Fragilitas Meningkat
1) Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai
normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan
sumsum tulang untuk menggantikannya (Rinaldi et all:2009).
Pada prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena defek
molekular hemoglobinopati atau enzinopati, abnormalitas struktur dan
fungsi-fungsi membran serta faktor lingkungan seperti trauma mekanik
atau autoantibodi (Rinaldi et all: 2009).
Anemia hemolitik dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya,
ketahanan hidup eritrositnya dalam darah dan berdasarkan ada tidaknya
keterlibatan immnoglobulin pada kejadian hemolisis (Rinaldi et all:
2009).
Berdasarkan etiologinya anemia hemolitik dapat dikelompokkan
menjadi anemia hemolitik herediter dan anemia hemolitik didapat.
Berdasarkan ketahanan hidup eritrosit dalam sirkulasi darah dapat
dikelompokkan menjadi anemia hemolitik intrakorpuskular dan anemia
hemolitik ekstrakorpuskular. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan
immnoglobulin pada kejadian hemolisis dapat dikelompokkan menjadi
anemia hemolitik imun dan non imun (Rinaldi et all: 2009).
2) Sferositosis Herediter
Sferesitosis herediter merupakan suatu penyakit genetik yang
diturunkan sebagai sifat autosom dominan. Penyakit ini ditandai dengan
adanya sferosit (sel darah merah bulat) pada darah perifer, dan dengan
adanya anemia hemolitik serta splenomegali. Sferosit tidak mudah
mengalami deformasi, seperti pada sel darah merah normal dan sferosit
juga mudah dihancurkan di dalam limpa. Oleh karena itu, usianya
dalam sirkulasi sangat singkat. Sferesitosis herediter dapat
disembuhkan dengan splenektomi karena sferosit dapat menetap lebih
lama dalam sirkulasi tanpa adanya limpa (Murray, 2009).
Sferosit jauh lebih rentan mengalami lisis osmotik dibandingkan
dengan sel darah merah karena bentuknya yang hampir bulat sehingga
memiliki sedikit ruang volume ekstra untuk mengakomodasi tambahan
air sehingga mudah lisis jika berada dalam larutan yang memiliki
tekanan osmotik sedikit lebih rendah dari normal (Murray, 2009).
Salah satu penyebab sferesitosis herediter adalah defisiensi dalam
jumlah spektrin atau kelainan strukturnya sehingga spektrin tidak lagi
berikatan erat dengan protein lain seperti pada keadaan normal. Hal ini
menyebabkan membran menjadi lemah dan menyebabkan sel darah
merah berbentuk bulat (Murray, 2009).
3) Toksisitas Timbal (Pb)
Pajanan oleh timbal (Pb) dengan kadar yang cukup tinggi dalam
darah yaitu 50 µg/dl dapat menyebabkan anemia mikrositik hipokromik
dengan gejala yang jelas. Hal ini diakibatkan karena enzim yang
berperan dalam pembentukan hem dihambat oleh Pb sehingga terjadi
kerusakan sintesis hem yang berakibat pada lebih rapuhnya sel darah
merah (Lu, 2006).
Selain itu susunan saraf juga merupakan organ sasaran Pb.
Setelah tingkat pajanan tinggi, dengan kadar Pb dalam darah di atas 80
µg/dl dapat terjadi ensefalopati. Terjadi kerusakan arteriol dan kapiler
yang mengakibatkan edema otak, meningkatnya tekanan cairan
serebrospinaldegenerasi neuron, dan perkembangbiakan sel glia (Lu,
2006).
4) Leukemia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik adalah suatu keganasan hematologik
yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B
neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati dan
organ=organ lain. Leukemia limfositik kronik ini termasuk dalam
kelainan limpoproliperatif. Tanda-tandanya meliputi limfositosis,
limfodenopati, dan splenomegali (Rotty, 2009).
Penyebab leukemia limfositik kronik masih belum diketahui.
Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas kromosaom,
onkogen, dan retrovirus (Rotty, 2009).
Tanda patognomik leukemia limfositik kronik adalah peningkatan
leukosit dengan limfositosis kecil sekitar 95%. Pada pemeriksaan darah
tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur dan sel
smudge yang dominan (Rotty, 2009).
5) Transfusi incompatibilitas ABO dan Rhesus
Reaksi transfusi adalah proses destruksi yang dimediasi sistem
imun terhadap sel darah merah inkompatibel yang diterima dari
transfusi darah (Corwin, 2007).
Darah manusia diklasifikasikan menjadi A, B, AB dan O
berdasarkan antigen pada permukaan eritrosit. Antigen ini dapat
menyebabkan reaksi antibodi ketika kontak dengan darah yang tidak
cocok. Darah yang tidak cocok akan menyebabkan reaksi hemolitik
(Beman et all, 2003).
Antigen Rh yang juga terdapat pada permukaan eritrosit dapat
menyebakan reaksi hemolitik pada orang yang memiliki antibodi
terhadap antigen tersebut. Individu yang memiliki faktor Rh disebut Rh
positif, sedangkan yang tidak memiliki faktor Rh disebut Rh negatif.
Tidak seperti antigen A dan B, faktor Rh tidak dapat menyebabkan
reaksi hemolitik pada pajanan pertama dengan darah yang tidak cocok
karena antibodi Rh normalnya tidak ada dalam plasma darah individu
Rh negatif (Berman et all, 2003).
b) Fragilitas Menurun
1) Thalasemia
Thlasemia terjadi karena penurunan kecepatan sintesis atau
kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun
rantai globin lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian
atau menyeluruh rantai globin tersebut (Atmakusuma et all, 2009).
Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis
rantai globin menyebabkan sintesis rantai globin menjadi tidak
seimbang. Pada keadaan normal rantai globin disintesis secara
seimbang antara rantai α atau β, yakni berupa α2β2 (Atmakusuma et all,
2009).
2) Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukkan hemoglobin berkurang (Bakta et all, 2009)
Anemia defisiensi besi disebabkan cadangan besi menurun yang
ditandai dengan penurunan ferritin serum, peningkatan absorbsi dalam
usus, pengecatan sumsum tulang negative sebagai kompensasi atau
mekanisme homeostatis (Bakta et all, 2009).
Apabila jumlah besi terus-menerus menurun sehingga eritropoesis
menurun dapat menyebabkan kadar hemoglobin mulai menurun,
akibatnya timbul anemia mikrositik hipokromik khususnya anemia
defisiensi besi (Bakta et all, 2009).
Gejala umum pada anemia berupa pucat yang disebabkan oleh
kurangnya volume darah,berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi
untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Adanya
takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh peningkatan
kecepatan aliran darah) mencerminkan beban kerja dan curah jantung
yang meningkat. Badan lemah dikarenakan pasokan O2 untuk respirasi
sel menghasilkan energi berkurang. Telingan mendenging pada anemia
disebabkan oleh kurangnya oksigenasi pada system saraf pusat
dikarenakan oksigenasi lebih mengutamakn organ vital. Pucat pada
konjungiva anemis dan jaringan di bawah kuku dikarenakan kurangnya
suplai O2 yang dibawa oleh hemoglobin (Bakta et all, 2009).
Gejala khas pada anemia defisiensi besi diantaranya: koilonikia
(kuku sendok) di mana kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical, dan
menjadi cekung. Disfagia di mana terdapat nyeri telan karena kerusakan
epitel hipofaring. Koilonikia dan disfagia disebabkan oleh kurangnya zat
besi pada epitel yang juga menyebabkan atrofi papil lidah (lidah licin
dan mengkilap) serta stomatitis angularis (keradangan pada sudut mulut,
berwarna pucat keputihan). Stomatitis juga dapat diakibatkan karena
kurangnya oksigenasi pada jaringan tersebut dikarenakan mengutamakan
suplai O2 pada organ vital (Bakta et all, 2009).
3) Anemia Defisiensi Asam Folat
Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh
sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah
secara relatif mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel
awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi
lambat tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel-sel
megaloblastik cenderung menjadi besar (Soenarto, 2009).
Sel-sel awal eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam
sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsusm tulang sering
meningkat tetapi produksi sel darah merah berkurang (Soenarto, 2009).
Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi
vitamin B12 atau asam folat (Soenarto, 2009).
Anemia megaloblastik defisiensi asam folat bisa disebabkan
karena asupan yang tidak adekuat, keperluan terhadap asam folat yang
meningkat seperti pada kehamilan dan bayi, malabsorpsi, metabolisme
yang terganggu, dan oleh karena sebab-sebab lain (Soenarto, 2009).
4) Polisitemia vera
Polisitemia vera adalah keadaan patologis dengan jumlah sel
darah merah yang dapat mencapai 7-8 juta/mm3 dan hematokrit yang
dapat mencapai 60-70 % melebihi nilai normalnya sebesar 40-45 %.
Polisitemia vera disebabkan oleh penyimpangan gen yang terjadi di sel
hemositoblastik yang memproduksi sel-sel darah. Sel-sel blas tidak
berhenti memproduksi sel darah merah walaupun jumlah sel darah
merah telah tersedia dalam jumlah yang besar. Hal ini menyebabkan
produksi sel darah merah yang berlebihan, sehingga produksi sel darah
putih dan trombosit berlebihan pula (Guyton and Hall, 2006).
Pada penyakit ini selain hematokrit meningkat, volume total
darah juga meningkat sehingga seluruh sistem pembuluh darah menjadi
membengkak. Selain itu, banyak kapiler darah yang tersumbat karena
darah menjadi kental (Guyton and Hall, 2006).
5) Ikterik Obstruktif
Pada ikterus obstruktif kulit dan konjungtiva berubah warna
menjadi kuning yang disebabkan karena obstruksi aliran empedu ke
duodenum oleh batu empedu (Weller, 2005).
Pada penyakit dengan jaundis seperti ini ditemukan penurunan
dari fragilitas osmotik sel darah merah, pengecualian untuk pasien
dengan hiperbilirubin ringan (serum bilirubin 2,3 mg/100 cc) (Movitt et
all, 1951).
BAB III
KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil praktikum, probandus mengalami permulaan hemolisis yang normal
yaitu pada tabung 21 dengan konsentrasi 0,42%. Nilai normal untuk permulaan hemolisis
adalah 0,44 ± 0,02 %.
2. Probandus mengalami hemolisis sempurna yang tidak normal yaitu pada tabung 15
dengan konsentrasi 0,30% karena faktor kesalahan saat menjalankan praktikum yaitu
pemberian darah yang lebih banyak pada tabung 15. Nilai normal untuk hemolisis
sempurna adalah 0,34 ± 0,02%.
3. Fragilitas sel darah merah adalah daya tahan sel darah merah terhadap hemolisis dalam
keadaan tertentu.
4. Fragilitas sel darah merah dipengaruhi oleh bentuk, suhu, pH, dan umur sel darah merah.
5. Aplikasi klinis yang berhubungan dengan fragilitas sel darah merah adalah :
a. Fragilitas meningkat:
1) Anemia hemolitik
2) Leukimia limfositik kronik
3) Sferesitosis herediter
4) Tranfusi incompatibilitas ABO
dan Rhesus
5) Toksisitas Timbal
b. Fragilitas menurun:
1) Thalasemia
2) Anemia defisiensi besi
3) Anemia defisiensi asam folat
4) Polisitemia vera
5) Ikterik obstruktif
DAFTAR PUSTAKA
Ascalbiass. 2010. Buku Panduan Praktikum Biokimia Kedokteran Blok Hematoimunologi.
Purwokerto: Laboratorim Biokimia Kedokteran FKIK Unsoed: 10-12.
Atmakusuma, Djumhana. 2009. Thalassemia: Manifetasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan
Thalassemia Intermedia, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing: 1387-1389.
Bakta, I Made, et all. 2009. Anemia Defisiensi Besi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing: 1127-1133.
Berman, Audrey et all. 2003. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi 5. Jakarta: EGC:
772.
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC: 423.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC: 879.
Guyton, Arthur C and John E. Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC: 439-449.
Heffron J.J.A and G. Mitchell. 1981. Influence of pH, Temperature, Halothane and its
Metabolities on Osmotic Fragility of Erythrocytes of Malignant Hyperthermia-
Susceptible and Resistant Pigs. British Journal of Anaesthesia. Vol. 53 Issue 5: 499.
Kumar, Sanjay. 2002. Submitting Illuminations for Review. Advances in Phisiology
Education. Vol 26: 133-136.
Lu, Frank C. 2006. Toksikologi Dasar Edisi 2. Jakarta: Universitas Indonesia: 358-359.
Martini, Frederic H and Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology 8th
Edition. United States of America: Pearson: 92-93.
Movitt E. R. et all. 1951. Osmotic Erythrocyte Fragility in Patients With Jaundice. The
American Journal of Medical Sciences. Vol. 22 Issue 5: 535.
Murray, Robert K, et all. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC: 636-645.
Reece, Campbell and Mitchell. 1999. Biologi Jilid 1 Edisi 5. Jakarta: Erlangga: 178.
Rinaldi, Ikhwan dan Aru W. Sudoyo. 2009. Anemia Hemolitik Non Imun, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing: 1157-1158.
Rotty, Linda W. A. 2009. Leukimia Limfositik Akut, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
5. Jakarta: Interna Publishing: 1276-1278.
Soenarto. 2009. Anemia Megaloblastik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing: 1141-1147.
Weller, Barbara F. 1997. Kamus Saku Perawat Edisi 22. Jakarta: EGC: 372.