Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

32
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN BLOK HEMATOIMUNOLOGI PEMERIKSAAN FRAGILITAS ERITROSIT (Metode Daya Tahan Osmotik Cara Visual) Disusun oleh : Nama : Dera Fakhrunnisa NIM : G1A009020 Kelompok : V Asisten : Ayu Asyifa RF DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

Transcript of Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

Page 1: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERANBLOK HEMATOIMUNOLOGI

PEMERIKSAAN FRAGILITAS ERITROSIT(Metode Daya Tahan Osmotik Cara Visual)

Disusun oleh :

Nama : Dera Fakhrunnisa

NIM : G1A009020

Kelompok : V

Asisten : Ayu Asyifa RF

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2010

Page 2: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

LEMBAR PENGESAHAN

PEMERIKSAAN FRAGILITAS ERITROSIT

(Metode Daya Tahan Osmotik Cara Visual)

Oleh :

Dera Fakhrunnisa

G1A009020

Kelompok V

Disusun untuk memenuhi tugas

Praktikum Biokimia Blok Hematoimunologi

Jurusan Kedokteran

Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

Diterima dan disahkan

Purwokerto, September 2010

Asisten

Ayu Asyifa RFNIM. G1A007028

Page 3: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

BAB I

DASAR TEORI

A. Struktur Eritrosit

Sel darah merah mempunyai bentuk bikonkaf dengan diameter 7,8 µm. Tepi

luar dari sel darah merah mempunyai ketebalan 2,5 µm, di bagian tengahnya

mempunyai ketebalan 1 µm (Guyton and Hall, 2006).

Membran sel darah merah bersifat selektif permeabel, yaitu dapat ditembus

oleh substansi atau ion-ion tertentu tapi tidak dapat ditembus oleh substansi dan ion-

ion lain. Membran sel darah merah bersifat permeabel pada ion-ion H+, OH-, NH4+,

PO4, HCO3-, Cl- dan juga oleh substansi-substansi lain seperti glukosa, asam amino,

asam urat, dan urea. Sebaliknya membran sel darah merah tidak dapat di tembus oleh

Na+, K+, Ca2+, Mg2+, fosfat organik dan juga substansi lain seperti hemoglobin dan

protein plasma (Ascalbiass, 2010).

Bentuk bikonkaf pada sel darah merah berfungsi untuk meningkatkan rasio

permukaan terhadap volume sel darah merah sehingga mempermudah pertukaran

gas. Untuk mempertahankan bentuknya agar tetap bikonkaf sela darah merah

mengandung komponen sitoskeletal (Murray, 2009).

Terdapat sejumlah protein sitoskeleton perifer yang melekat pada bagian

dalam membran sel darah merah, yaitu :

1) Spektrin yang merupakan protein utama sitoskeleton. Protein ini terdiri dari dua

polipeptida yaitu spektrin 1 (rantai α) dan spektrin 2 (rantai β). Kedua rantai

tersebut mempunyai panjang sekitar 100 nm. Di spektrin terdapat sedikitnya

empat tempat pengikatan yaitu untuk penyusun diri sendiri, untuk ankhirin,

untuk aktin dan untuk protein 4.1 (Murray, 2009).

Page 4: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

2) Ankirin adalah suatu protein berbentuk piramid yang mengikat spektrin. Ankirin

kemudian berikatan erat dengan pita 3 yang memperkuat perlekatan spektrin

pada membran. Ankirin juga peka terhadap proteolisis (Murray, 2009).

3) Aktin terdapat di sel darah merah sebagai filamen pendek heliks ganda F-aktin.

Ekor dimer spektrin berikatan dengan aktin. Aktin juga berikatan dengan protein

4.1 (Murray, 2009).

4) Protein 4.1 adalah suatu protein globular yang berikatan erat dengan ekor

spektrin di tempat yang dekat dengan lokasi terikatnya aktin. Protein 4.1

berikatan dengan protein integral, glikoforin A dan C. Selain itu protein 4.1 juga

berinteraksi dengan fosfolipid membran tertentu sehingga lapisan ganda lipid

terhubung dengan sitoskeleton (Murray, 2009).

5) Protein tertentu lainnya (4.9, addusin dan tropomiosin) juga ikut serta dalam

pembentukan sitoskeleton (Murray, 2009).

Gambar 1. Membran Eritrosit

B. Metabolisme Eritrosit

a) Glikolisis

Glikolisis menghasilkan laktat pada jalur produksi ATP. Sedangkan pada

fosforilasi oksidatif tidak terjadi pembentukan ATP karena tidak terdapat

Page 5: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

mitokondria di sel darah merah. Sel darah memiliki beragam pengangkut yang

mempertahankan keseimbangan antara iondan air (Murray, 2009).

Pembentukan 2,3-bifosfogliserat oleh reaksi-reaksi yang berkaitan erat

dengan glikolisis penting dalam mengatur kemampuan Hb dalam mengangkut

oksigen (Murray, 2009).

Glikolisis menghasilkan seliseh 2 ATP yang dihasilkan pada fosforilasi

oksidatif dan 2 NADH (Reece dan Mitchell, 1999).

b) Pentosafosfat

Jalur ini beroperasi dalam sel darah merah dan memetabolisme sekitar 5-

10 % aliran total glukosa. Jalur ini menghasilkan NADPH (Murray, 2009).

c) Glutation sintesis

Glutation tereduksi (GSH) berfungsi mengimbangi efek peroksida yang

berpotensi toksik, sel darah merah dapat membentuk glutation tereduksi dan

memerlukan NADPH untuk mengembalikan glutation teroksidasi (Murray,

2009).

d) HMP Shunt

HMP Shunt berfungsi untuk menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk

proses anabolik di luar mitokondria, misalnya sintesis glikogen, asam lemak dan

asam nukleat. Selain itu HMP Shunt juga menghasilkan G6PD yang berfungsi

untuk menangkal radikal bebas (Murray, 2009).

C. Fragilitas Eritrosit

Fragilitas sel darah merah adalah daya tahan sel darah merah terhadap

hemolisis dalam keadaan tertentu (Newman, 2002).

Page 6: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

Fragilitas sel darah merah mencerminkan kemampuan sel darah merah untuk

memasukkan sejumlah larutan sebelum sel darah merah tersebut lisis akibat

membran selnya tertekan oleh larutan di dalam sel yang memiliki tekanan osmotik

lebih tinggi dibandingkan dengan diluar sel. Larutan yang memiliki tekanan osmotik

lebih rendah dibandingkan dengan tekanan osmotik di dalam sel darah merah disebut

larutan hipotonis (Kumar, 2002).

Jika sel darah merah berada dalam larutan hipertonis, yaitu larutan yang

memiliki tekanan osmotik lebih tinggi jika dibandingkan dengan tekanan osmotik di

dalam sel, maka sel darah merah akan mengalami krenasi karena cairan di dalam sel

darah merah keluar ke cairan di sekitarnya (Martini,2009).

Tetapi jika sel darah merah berada dalam larutan isotonis, sel darah merah

akan tetap normal karena tekanan osmotik di dalam dan di luar sel sama (Martini,

2009).

Gambar 2. Tekanan Osmotik pada Sel Darah Merah

D. Faktor Yang Mempengaruhi Fragilitas Eritrosit

Fragilitas sel darah merah dipengaruhi oleh bentuk sel darah merah itu

sendiri. Bentuk sel darah merah yang normal adalah bikonkaf, dengan bentuk seperti

ini sel darah merah mampu menahan larutan hipotonis dengan meningkatkan volume

sel sebanyak ±70% sebelum akhirnya sel darah merah itu lisis (Kumar, 2002).

Page 7: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

Gambar 3. Eritrosit normal

Sferosit adalah sel darah merah dengan bentuk yang abnormal yaitu

berbentuk bulat, memiliki kemampuan yang terbatas untuk meningkatkan volume

sel, sehingga sel darah merah tersebut tidak mampu mengakomodasi dengan baik

tekanan osmotik pada larutan hipotonis. Hal ini menyebabkan sel darah merah lebih

mudah lisis dibandingkan sel darah normal (Kumar, 2002).

Gambar 4. Sferosit

Leptosit adalah sel darah merah dengan bentuk abnormal seperti elips.

Leptosit mengalami lisis pada konsentrasi larutan yang lebih rendah dibandingkan

dengan pada sferosit maupun sel darah merah normal (Kumar, 2002).

Gambar 5. Leptosit atau Sel Target

Selain dipengaruhi oleh bentuk, fragilitas juga dipengaruhi oleh pH dan suhu.

Penurunan pH dapat mengakibatkan fragilitas eritrosit meningkat. Sedangkan

peningkatan suhu dapat mengakibatkan penurunan fragilitas eritrosit (Heffron and

Mitchell, 1981).

Page 8: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

Umur dari sel darah merah juga berpengaruh terhadap fragilitas, sel darah

merah yang sudah tua memiliki membran sel yang sudah rapuh sehingga mudah

mengalami lisis (Ascalbiass, 2010).

Page 9: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Alat dan Bahan

a) Alat :

1. Tabung reaksi 12 buah

2. Vacum med

3. Rak tabung reaksi

4. Pipet

5. Label

b) Bahan :

1. Darah EDTA

2. NaCl 0,5%

3. Aquades

B. Cara Kerja

1. Dilakukan pengenceran NaCl 0,9% menjadi NaCl 0,5% dengan

menambahkan aquades sebanyak 45 ml.

2. Disusun sebanyak 12 tabung reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris,

masing-masing berisi 6 tabung.

3. Masing-masing tabung diberi nomor dari kiri ke kanan dengan urutan 25, 24,

23, 22, 21, 20, 19, 18, 17, 16, 15, 14.

4. Diteteskan NaCl 0,5% dengan pipet yang banyaknya disesuaikan dengan

nomor tabung.

5. Diteteskan pula aquades pada tabung sampai volumenya berjumlah 25 tetes

tiap tabung. Contoh: 24 tetes NaCl 0,5 % + 1 tetes aquades.

Page 10: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

6. Konsentrasi pada masing-masing larutan menjadi 0,5%; 0,48%; 0,46%;

0,44%; 0,42%; 0,40%; 0,38%; 0,36%; 0,34%; 0,32%; 0,30%; 0,28%.

7. Diambil darah vena dari probandus dengan menggunakan spuit sebanyak 3

cc.

8. Darah yang telah diambil dimasukkan ke dalam vacum med yang telah

dilapisi EDTA pada permukaan dindingnya.

9. Masing-masing tabung diberi 1 tetes darah EDTA, diamkan selama 1 jam

pada suhu kamar.

10.Diperhatikan hasilnya, dilihat mana tabung yang terjadi hemolisis permulaan

dan mana yang sudah terjadi hemolisis sempurna.

11.Hasil dibandingkan dengan kontrol normal.

C. Hasil Pengamatan

Nama Probandus : Rahmi Laksita Rukmi

Umur Probandus : 19 tahun

Jenin kelamin Probandus : Perempuan

25 24 22 2023 21

0,48%0,50% 0,46% 0,44% 0,42% 0,40%

19 18 17 16 15 14

0,38% 0,36% 0,34% 0,32% 0,28%0,30%

Page 11: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, setelah campuran darah EDTA,

NaCl 0,5% dan aquades diinkubasi dalam suhu ruangan selama 60 menit,

didapatkan hasil yang mengalami permulaan hemolisa adalah tabung 21 dan yang

sudah mengalami hemolisis sempurna yaitu tabung 15.

D. Interpretasi Hasil

Pemeriksaan fragilitas eritrosit dengan mengunakan metode daya tahan

osmotik cara visual memiliki nilai normal sebagai berikut :

Permulaan lisis Pada 0,44 ± 0,02 % NaCl

Hemolisis sempurna Pada 0,34 ± 0,02 % NaCl

Probandus pada mengalami permulaan hemolisis pada tabung 21 yaitu

pada konsentrasi 0,42%. Berdasarkan tabel diatas dapat diihat bahwa probandus

berada dalam keadaan normal. Akan tetapi probandus mengalami hemolisis

sempurna pada tabung 15 yaitu pada konsentrasi 0,30%. Jika berdasarkan tabel

diatas untuk hemolisa sempurna probandus kurang dari batas normal. Hal ini

terjadi dikarenakan faktor kesalahan yang dilakukan ketika melakukan

pengamatan, yaitu pemberian darah yang terlalu banyak pada tabung ke 15

sehingga tabung ke 15 tampak sangat merah dan terlihat seperti sudah mengalami

hemolisis sempurna.

Page 12: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

E. Aplikasi Klinis

a) Fragilitas Meningkat

1) Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai

normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan

sumsum tulang untuk menggantikannya (Rinaldi et all:2009).

Pada prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena defek

molekular hemoglobinopati atau enzinopati, abnormalitas struktur dan

fungsi-fungsi membran serta faktor lingkungan seperti trauma mekanik

atau autoantibodi (Rinaldi et all: 2009).

Anemia hemolitik dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya,

ketahanan hidup eritrositnya dalam darah dan berdasarkan ada tidaknya

keterlibatan immnoglobulin pada kejadian hemolisis (Rinaldi et all:

2009).

Berdasarkan etiologinya anemia hemolitik dapat dikelompokkan

menjadi anemia hemolitik herediter dan anemia hemolitik didapat.

Berdasarkan ketahanan hidup eritrosit dalam sirkulasi darah dapat

dikelompokkan menjadi anemia hemolitik intrakorpuskular dan anemia

hemolitik ekstrakorpuskular. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan

immnoglobulin pada kejadian hemolisis dapat dikelompokkan menjadi

anemia hemolitik imun dan non imun (Rinaldi et all: 2009).

2) Sferositosis Herediter

Sferesitosis herediter merupakan suatu penyakit genetik yang

diturunkan sebagai sifat autosom dominan. Penyakit ini ditandai dengan

adanya sferosit (sel darah merah bulat) pada darah perifer, dan dengan

Page 13: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

adanya anemia hemolitik serta splenomegali. Sferosit tidak mudah

mengalami deformasi, seperti pada sel darah merah normal dan sferosit

juga mudah dihancurkan di dalam limpa. Oleh karena itu, usianya

dalam sirkulasi sangat singkat. Sferesitosis herediter dapat

disembuhkan dengan splenektomi karena sferosit dapat menetap lebih

lama dalam sirkulasi tanpa adanya limpa (Murray, 2009).

Sferosit jauh lebih rentan mengalami lisis osmotik dibandingkan

dengan sel darah merah karena bentuknya yang hampir bulat sehingga

memiliki sedikit ruang volume ekstra untuk mengakomodasi tambahan

air sehingga mudah lisis jika berada dalam larutan yang memiliki

tekanan osmotik sedikit lebih rendah dari normal (Murray, 2009).

Salah satu penyebab sferesitosis herediter adalah defisiensi dalam

jumlah spektrin atau kelainan strukturnya sehingga spektrin tidak lagi

berikatan erat dengan protein lain seperti pada keadaan normal. Hal ini

menyebabkan membran menjadi lemah dan menyebabkan sel darah

merah berbentuk bulat (Murray, 2009).

3) Toksisitas Timbal (Pb)

Pajanan oleh timbal (Pb) dengan kadar yang cukup tinggi dalam

darah yaitu 50 µg/dl dapat menyebabkan anemia mikrositik hipokromik

dengan gejala yang jelas. Hal ini diakibatkan karena enzim yang

berperan dalam pembentukan hem dihambat oleh Pb sehingga terjadi

kerusakan sintesis hem yang berakibat pada lebih rapuhnya sel darah

merah (Lu, 2006).

Selain itu susunan saraf juga merupakan organ sasaran Pb.

Setelah tingkat pajanan tinggi, dengan kadar Pb dalam darah di atas 80

Page 14: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

µg/dl dapat terjadi ensefalopati. Terjadi kerusakan arteriol dan kapiler

yang mengakibatkan edema otak, meningkatnya tekanan cairan

serebrospinaldegenerasi neuron, dan perkembangbiakan sel glia (Lu,

2006).

4) Leukemia Limfositik Kronik

Leukemia limfositik kronik adalah suatu keganasan hematologik

yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B

neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati dan

organ=organ lain. Leukemia limfositik kronik ini termasuk dalam

kelainan limpoproliperatif. Tanda-tandanya meliputi limfositosis,

limfodenopati, dan splenomegali (Rotty, 2009).

Penyebab leukemia limfositik kronik masih belum diketahui.

Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas kromosaom,

onkogen, dan retrovirus (Rotty, 2009).

Tanda patognomik leukemia limfositik kronik adalah peningkatan

leukosit dengan limfositosis kecil sekitar 95%. Pada pemeriksaan darah

tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur dan sel

smudge yang dominan (Rotty, 2009).

5) Transfusi incompatibilitas ABO dan Rhesus

Reaksi transfusi adalah proses destruksi yang dimediasi sistem

imun terhadap sel darah merah inkompatibel yang diterima dari

transfusi darah (Corwin, 2007).

Darah manusia diklasifikasikan menjadi A, B, AB dan O

berdasarkan antigen pada permukaan eritrosit. Antigen ini dapat

menyebabkan reaksi antibodi ketika kontak dengan darah yang tidak

Page 15: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

cocok. Darah yang tidak cocok akan menyebabkan reaksi hemolitik

(Beman et all, 2003).

Antigen Rh yang juga terdapat pada permukaan eritrosit dapat

menyebakan reaksi hemolitik pada orang yang memiliki antibodi

terhadap antigen tersebut. Individu yang memiliki faktor Rh disebut Rh

positif, sedangkan yang tidak memiliki faktor Rh disebut Rh negatif.

Tidak seperti antigen A dan B, faktor Rh tidak dapat menyebabkan

reaksi hemolitik pada pajanan pertama dengan darah yang tidak cocok

karena antibodi Rh normalnya tidak ada dalam plasma darah individu

Rh negatif (Berman et all, 2003).

b) Fragilitas Menurun

1) Thalasemia

Thlasemia terjadi karena penurunan kecepatan sintesis atau

kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin a atau b, ataupun

rantai globin lainnya, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian

atau menyeluruh rantai globin tersebut (Atmakusuma et all, 2009).

Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis

rantai globin menyebabkan sintesis rantai globin menjadi tidak

seimbang. Pada keadaan normal rantai globin disintesis secara

seimbang antara rantai α atau β, yakni berupa α2β2 (Atmakusuma et all,

2009).

2) Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi

Page 16: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan

pembentukkan hemoglobin berkurang (Bakta et all, 2009)

Anemia defisiensi besi disebabkan cadangan besi menurun yang

ditandai dengan penurunan ferritin serum, peningkatan absorbsi dalam

usus, pengecatan sumsum tulang negative sebagai kompensasi atau

mekanisme homeostatis (Bakta et all, 2009).

Apabila jumlah besi terus-menerus menurun sehingga eritropoesis

menurun dapat menyebabkan kadar hemoglobin mulai menurun,

akibatnya timbul anemia mikrositik hipokromik khususnya anemia

defisiensi besi (Bakta et all, 2009).

Gejala umum pada anemia berupa pucat yang disebabkan oleh

kurangnya volume darah,berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi

untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Adanya

takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh peningkatan

kecepatan aliran darah) mencerminkan beban kerja dan curah jantung

yang meningkat. Badan lemah dikarenakan pasokan O2 untuk respirasi

sel menghasilkan energi berkurang. Telingan mendenging pada anemia

disebabkan oleh kurangnya oksigenasi pada system saraf pusat

dikarenakan oksigenasi lebih mengutamakn organ vital. Pucat pada

konjungiva anemis dan jaringan di bawah kuku dikarenakan kurangnya

suplai O2 yang dibawa oleh hemoglobin (Bakta et all, 2009).

Gejala khas pada anemia defisiensi besi diantaranya: koilonikia

(kuku sendok) di mana kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical, dan

menjadi cekung. Disfagia di mana terdapat nyeri telan karena kerusakan

epitel hipofaring. Koilonikia dan disfagia disebabkan oleh kurangnya zat

Page 17: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

besi pada epitel yang juga menyebabkan atrofi papil lidah (lidah licin

dan mengkilap) serta stomatitis angularis (keradangan pada sudut mulut,

berwarna pucat keputihan). Stomatitis juga dapat diakibatkan karena

kurangnya oksigenasi pada jaringan tersebut dikarenakan mengutamakan

suplai O2 pada organ vital (Bakta et all, 2009).

3) Anemia Defisiensi Asam Folat

Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh

sintesis DNA yang terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah

secara relatif mempunyai sifat perubahan yang cepat, terutama sel-sel

awal hematopoietik dan epitel gastrointestinal. Pembelahan sel terjadi

lambat tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga sel-sel

megaloblastik cenderung menjadi besar (Soenarto, 2009).

Sel-sel awal eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam

sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsusm tulang sering

meningkat tetapi produksi sel darah merah berkurang (Soenarto, 2009).

Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi

vitamin B12 atau asam folat (Soenarto, 2009).

Anemia megaloblastik defisiensi asam folat bisa disebabkan

karena asupan yang tidak adekuat, keperluan terhadap asam folat yang

meningkat seperti pada kehamilan dan bayi, malabsorpsi, metabolisme

yang terganggu, dan oleh karena sebab-sebab lain (Soenarto, 2009).

4) Polisitemia vera

Polisitemia vera adalah keadaan patologis dengan jumlah sel

darah merah yang dapat mencapai 7-8 juta/mm3 dan hematokrit yang

dapat mencapai 60-70 % melebihi nilai normalnya sebesar 40-45 %.

Page 18: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

Polisitemia vera disebabkan oleh penyimpangan gen yang terjadi di sel

hemositoblastik yang memproduksi sel-sel darah. Sel-sel blas tidak

berhenti memproduksi sel darah merah walaupun jumlah sel darah

merah telah tersedia dalam jumlah yang besar. Hal ini menyebabkan

produksi sel darah merah yang berlebihan, sehingga produksi sel darah

putih dan trombosit berlebihan pula (Guyton and Hall, 2006).

Pada penyakit ini selain hematokrit meningkat, volume total

darah juga meningkat sehingga seluruh sistem pembuluh darah menjadi

membengkak. Selain itu, banyak kapiler darah yang tersumbat karena

darah menjadi kental (Guyton and Hall, 2006).

5) Ikterik Obstruktif

Pada ikterus obstruktif kulit dan konjungtiva berubah warna

menjadi kuning yang disebabkan karena obstruksi aliran empedu ke

duodenum oleh batu empedu (Weller, 2005).

Pada penyakit dengan jaundis seperti ini ditemukan penurunan

dari fragilitas osmotik sel darah merah, pengecualian untuk pasien

dengan hiperbilirubin ringan (serum bilirubin 2,3 mg/100 cc) (Movitt et

all, 1951).

Page 19: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

BAB III

KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil praktikum, probandus mengalami permulaan hemolisis yang normal

yaitu pada tabung 21 dengan konsentrasi 0,42%. Nilai normal untuk permulaan hemolisis

adalah 0,44 ± 0,02 %.

2. Probandus mengalami hemolisis sempurna yang tidak normal yaitu pada tabung 15

dengan konsentrasi 0,30% karena faktor kesalahan saat menjalankan praktikum yaitu

pemberian darah yang lebih banyak pada tabung 15. Nilai normal untuk hemolisis

sempurna adalah 0,34 ± 0,02%.

3. Fragilitas sel darah merah adalah daya tahan sel darah merah terhadap hemolisis dalam

keadaan tertentu.

4. Fragilitas sel darah merah dipengaruhi oleh bentuk, suhu, pH, dan umur sel darah merah.

5. Aplikasi klinis yang berhubungan dengan fragilitas sel darah merah adalah :

a. Fragilitas meningkat:

1) Anemia hemolitik

2) Leukimia limfositik kronik

3) Sferesitosis herediter

4) Tranfusi incompatibilitas ABO

dan Rhesus

5) Toksisitas Timbal

b. Fragilitas menurun:

1) Thalasemia

2) Anemia defisiensi besi

3) Anemia defisiensi asam folat

4) Polisitemia vera

5) Ikterik obstruktif

Page 20: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

DAFTAR PUSTAKA

Ascalbiass. 2010. Buku Panduan Praktikum Biokimia Kedokteran Blok Hematoimunologi.

Purwokerto: Laboratorim Biokimia Kedokteran FKIK Unsoed: 10-12.

Atmakusuma, Djumhana. 2009. Thalassemia: Manifetasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan

Thalassemia Intermedia, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna

Publishing: 1387-1389.

Bakta, I Made, et all. 2009. Anemia Defisiensi Besi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5.

Jakarta: Interna Publishing: 1127-1133.

Berman, Audrey et all. 2003. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi 5. Jakarta: EGC:

772.

Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC: 423.

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC: 879.

Guyton, Arthur C and John E. Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:

EGC: 439-449.

Heffron J.J.A and G. Mitchell. 1981. Influence of pH, Temperature, Halothane and its

Metabolities on Osmotic Fragility of Erythrocytes of Malignant Hyperthermia-

Susceptible and Resistant Pigs. British Journal of Anaesthesia. Vol. 53 Issue 5: 499.

Kumar, Sanjay. 2002. Submitting Illuminations for Review. Advances in Phisiology

Education. Vol 26: 133-136.

Lu, Frank C. 2006. Toksikologi Dasar Edisi 2. Jakarta: Universitas Indonesia: 358-359.

Martini, Frederic H and Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology 8th

Edition. United States of America: Pearson: 92-93.

Movitt E. R. et all. 1951. Osmotic Erythrocyte Fragility in Patients With Jaundice. The

American Journal of Medical Sciences. Vol. 22 Issue 5: 535.

Page 21: Laporan Praktikum Biokimia Kedoktera1

Murray, Robert K, et all. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC: 636-645.

Reece, Campbell and Mitchell. 1999. Biologi Jilid 1 Edisi 5. Jakarta: Erlangga: 178.

Rinaldi, Ikhwan dan Aru W. Sudoyo. 2009. Anemia Hemolitik Non Imun, Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing: 1157-1158.

Rotty, Linda W. A. 2009. Leukimia Limfositik Akut, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi

5. Jakarta: Interna Publishing: 1276-1278.

Soenarto. 2009. Anemia Megaloblastik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta:

Interna Publishing: 1141-1147.

Weller, Barbara F. 1997. Kamus Saku Perawat Edisi 22. Jakarta: EGC: 372.