LAPORAN PRAKTIKUM

17
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN LIMBAH INDUSTRI ACARA IV CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) TAHUN AJARAN 2012/2013 Disusun oleh : Nama : Ahmad Sukron NIM : 10/297946/TP/09730 Hari/Tanggal : Senin/11 Maret 2012 Kelompok : B4 Co-Ass : Garusti LABORATORIUM REKA INDUSTRI DAN PENGENDALIAN PRODUK SAMPING JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

description

Laporan praktikum pengendalian limbah industri

Transcript of LAPORAN PRAKTIKUM

Page 1: LAPORAN PRAKTIKUM

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGENDALIAN LIMBAH INDUSTRI

ACARA IV

CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

TAHUN AJARAN 2012/2013

Disusun oleh :

Nama : Ahmad Sukron

NIM : 10/297946/TP/09730

Hari/Tanggal : Senin/11 Maret 2012

Kelompok : B4

Co-Ass : Garusti

LABORATORIUM REKA INDUSTRI DAN PENGENDALIAN PRODUK SAMPING

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 2: LAPORAN PRAKTIKUM

ACARA IV

CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

I. PENDAHULUAN

A. JUDUL PRAKTIKUM

Judul praktikum ini adalah Chemical Oxygen Demand (COD).

B. TUJUAN PRAKTIKUM

Tujuan dari praktikum ini adalah:

1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi dan aplikasi nilai COD

2. Mahasiswa dapat menentukan nilai COD sampel

Page 3: LAPORAN PRAKTIKUM

II. METODE PRAKTIKUM

A. ALAT DAN BAHAN

Alat-alat yang diperlukan dalam praktikum ini yaitu:

1. Erlenmeyer

2. Gelas ukur

3. Pipet ukur

4. Buret

5. Gelas beker

6. Pengaduk

7. Lemari asam

8. Kompor elektrik

Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu:

1. Limbah cair industri tahu

2. Larutan K2Cr2O7 (kalium

dikromat)

3. Larutan Na2S2O3 (natrium

tiosulfat) 0,025 N

4. Larutan KI (kalium iodida)

5. Indikator pati 1%

6. Akuades

B. PROSEDUR PRAKTIKUM

Page 4: LAPORAN PRAKTIKUM
Page 5: LAPORAN PRAKTIKUM

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

Table 1. Volume titran yang terpakai untuk titrasiNo. Sampel Volume titran (ml) Volume titran

total (ml)

Volume titran

rata-rata (ml)1 2

1 Sampel 1 25,3 31,6 56,954,50

2 Sampel 2 27,1 25,0 52,1

3 Blangko 1 20,5 20,9 41,441,45

4 Blangko 2 12,7 28,8 41,5

COD=( B−C ) × N ×8000 × P

V

COD=( 41,45−54,50 )ml × 0,025 N ×8000 ×50

1ml=−130,500 mg /L

B. PEMBAHASAN

Menurut Simata (2013), Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah

oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam

1 liter sampel air. COD merupakan parameter utama yang secara luas digunakan untuk

memperkirakan kandungan zat-zat organik dalam suatu limbah cair (Vyrides dan

Stuckey, 2008). COD mengukur total kandungan organik yang dapat dioksidasi oleh

kalium dikromat dalam larutan asam bersulfur. Dalam keadaan tertentu, beberapa

senyawa organik seperti hidrogen aromatik, piridin dan senyawa-senyawa bernitrogen

tidak teroksidasi pada saat pengujian COD. Oleh karena itu, pengujian COD bisa saja

memberikan hasil yang kurang valid apabila air yang diuji banyak mengandung

senyawa-senyawa tersebut. Uji COD lebih sering digunakan dibanding uji BOD

karena dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu tiga jam saja dibanding

dengan lima hari pada uji BOD (Seneviratne, 2004).

Menurut Simata (2013), COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar

bahan buangan yang ada di dalam air (baik itu bahan buangan yang dapat didegradasi

secara biologis maupun yang sukar didegradasi) dapat teroksidasi melalui reaksi

kimia. Bahan buangan organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bikromat yang

digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O

serta sejumlah ion krom. Reaksinya adalah sebagai berikut :

HaHbOc + Cr2O72- + H+ → CO2 + H2O + Cr3+

Page 6: LAPORAN PRAKTIKUM

Indikator COD umumnya berguna pada limbah industri. Pada suatu sistem tertentu,

terdapat hubungan antara COD dan BOD, tetapi bervariasi antara satu industri dengan

industri lainnya (Soeparman dan Suparmin, 2001). Menurut Sinha dan Sinha (2005),

apabila BOD/COD bernilai lebih dari 0,6, maka limbah dapat dengan mudah

didegradasi dan dapat ditangani secara efektif dengan penanganan biologis. Jika

BOD/COD bernilai antara 0,3 sampai 0,6, maka proses pembibitan perlu dilakukan

terlebih dahulu sebelum ditangani secara biologis. Namun jika BOD/COD bernilai

kurang dari 0,3, maka limbah tersebut tidak dapat ditangani secara biologis.

Nilai COD dari limbah cair suatu industri sangat penting untuk diketahui. Hal

ini dikarenakan ada ambang batas maksimal COD yang bisa diterima oleh badan air

penerima limbah, yang dalam hal ini bisa berupa sungai, danau ataupun laut. Apabila

COD limbah cair yang dibuang ke badan penerima melebihi ambang batas, maka

ekosistem pada badan penerima tersebut akan terganggu. Dengan melakukan

pengujian COD limbah cair, maka hal tersebut bisa dicegah. Jika ditemukan fakta

bahwa nilai COD limbah cair suatu industri melebihi ambang batas (penentuan

ambang batas COD biasanya dilakukan oleh pemerintah setempat) yang

diperbolehkan, maka upaya pengurangan nilai COD limbah harus dilakukan terlebih

dahulu melalui berbagai proses dan dengan menggunakan berbagai peralatan. Namun

jika COD limbah sudah berada di bawah ambang batas, maka limbah dapat dilepas ke

badan penerima.

COD yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan zat-zat organik di dalam

limbah cair tersebut juga tinggi. Dengan demikian, kemampuan limbah cair untuk

mencemari lingkungan juga semakin besar. Ketika zat-zat organik tersebut memasuki

badan penerima, berbagai macam mikroorganisme akan menguraikan zat-zat tersebut

menjadi senyawa yang lebih sederhana secara aerob atau dengan menggunakan

oksigen. Aktivitas tersebut membuat oksigen yang terlarut di dalam air akan jauh

berkurang sehingga makhluk-makluk hidup yang ada di dalamnya akan mati.

Dalam praktikum ini, kita akan mengukur COD dari limbah industri tahu milik

Pak Joko. Untuk memulai pengukuran, pertama limbah diencerkan 50 kali.

Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil 1 ml limbah dan memasukkannya ke

dalam gelas beker. Setelah itu, ditambahkan akuades sebanyak 49 ml. Campuran

tersebut lalu diaduk hingga homogen. Pengadukan ini bertujuan agar konsentrasi

limbah di seluruh bagian campuran tersebut sama sehingga nilai COD yang didapat

nantinya lebih valid. Limbah yang telah diencerkan tersebut lalu diambil sebanyak 1

ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Larutan kalium bikromat selanjutnya

Page 7: LAPORAN PRAKTIKUM

ditambahkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 20 ml. Larutan bikromat ini berfungsi

sebagai oksidator atau sebagai sumber oksigen yang akan mengoksidasi zat-zat

organik di dalam limbah. Erlenmeyer kemudian dipanaskan hingga muncul kurang

lebih 3 gelembung. Pemanasan akan membuat reaksi antara zat-zat organik di dalam

limbah dengan kalium bikromat berjalan lebih cepat. Setelah itu, erlenmeyer

didinginkan dengan cara merendamnya di dalam air. Pendinginan ini dilakukan karena

pada langkah selanjutnya, akan terjadi reaksi eksotermis yang menghasilkan panas.

Untuk itu, pendinginan dilakukan agar suhu cairan dalam erlenmeyer tidak terlalu

panas setelah reaksi eksotermis ini berlangsung. Akuades sebanyak 150 ml lalu

ditambahkan ke dalam erlenmeyer untuk pengenceran. Erlenmeyer digoyang-

goyangkan sehingga cairan di dalamnya menjadi homogen. Begitu akuades

ditambahkan, suhu cairan akan meningkat kembali karena reaksi ini bersifat

eksotermis. Maka dari itu, perlu dilakukan pendinginan lagi dengan cara merendam

erlenmeyer di dalam air, seperti langkah sebelumnya. Setelah cairan mencapai suhu

kamar, larutan kalium iodida sebanyak 2 ml ditambahkan. Larutan kalium iodida

berfungsi sebagai indikator yang menunjukkan kapan titrasi harus dihentikan.

Selanjutnya, cairan dititrasi dengan menggunakan larutan natrium tiosulfat 0,025 N.

Titrasi dihentikan begitu cairan di dalam erlenmeyer berubah warna menjadi kuning

kecokelatan. Volume larutan natrium tiosulfat yang terpakai dicatat. Setelah itu,

larutan pati 1% yang telah dipanaskan ditambahkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 2

ml. Larutan pati ini berfungsi sebagai indikator yang menunjukkan kapan titrasi ke dua

harus dihentikan. Cairan kemudian dititrasi kembali hingga warnanya berubah

menjadi bening. Volume larutan natrium tiosulfat yang terpakai untuk titrasi dicatat

kembali. Langkah ini diulangi untuk blangko.

Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan bahwa COD limbah cair industri tahu

milik Pak Joko adalah sebesar -130.500 mg/L. Tentu hal ini bukanlah hasil yang valid

karena hasilnnya bernilai negatif. Kesalahan ini terjadi karena kesalahan praktikan saat

melakukan titrasi, terutama titrasi untuk sampel. Titrasi seharusnya dilakukan tetes

demi tetes, tetapi praktikan justu langsung mengalirkan titran dalam jumlah banyak

untuk mempercepat waktu titrasi. Hal tersebut menyebabkan titran yang terpakai

menjadi terlalu banyak sehingga pada akhirnya nilai COD bernilai negatif.

Berdasarkan Keputusan Gubernur DIY Nomor 281/KPTS/1998 tentang baku

mutu limbah cair bagi kegiatan industri di Provinsi DIY, limbah cair industri tahu

yang boleh dibuang ke lingkungan maksimal memiliki BOD 75 mg/L, COD 200

mg/L, TSS 75 mg/L, H2S 0,05 mg/L dan pH 6,0-9,0 (Anonim, 2013). Meskipun dalam

Page 8: LAPORAN PRAKTIKUM

praktikum ini COD limbah industri tahu milik Pak Joko belum diketahui, tetapi

menurut Said dan Wahjono (1999), limbah cair industri tahu pada umumnya memiliki

COD antara 7.000 mg/L sampai 12.000 mg/L.Oleh karena itu, limbah cair industri

tahu tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan karena dapat mengganggu ekosistem

perairan.

COD limbah cair industri tahu yang sedemikian tinggi menunjukkan bahwa zat

organik yang terkandung dalam limbah tersebut juga sangat tinggi. Ketika memasuki

badan air, mikroorganisme akan menguraikan zat-zat organik tersebut menjadi zat-zat

yang lebih sederhana secara aerob atau dengan menggunakan oksigen. Oleh karena

aktivitas tersebut, maka oksigen yang terlarut dalam air akan berkurang drastis.

Akibatnya, akan ada banyak hewan dan tumbuhan yang mati karena kekurangan

oksigen. Dalam aktivitas penguraian tersebut, akan dihasilkan pula gas-gas seperti

metana dan amonia. Gas ini akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Selain dari sisi

COD, limbah cair industri tahu juga dapat mencemari lingkungan karena memiliki

warna yang keruh, bersifat asam dan dapat meningkatkan suhu air. Hal ini secara

keseluruhan sangat mengganggu kehidupan ekosistem yang ada di dalam air. Warna

yang keruh dapat menghalangi sinar matahari masuk ke dalam air sehingga

mengganggu fotosintesis tumbuhan air. Sementara itu, temperatur yang tinggi dan pH

yang rendah dapat mengganggu fungsi-fungsi jaringan, organ dan sistem organ pada

makluk hidup.

Dengan melihat betapa besar dampak lingkungan yang bisa terjadi akibat

limbah cair industri tahu, maka diperlukan suatu cara untuk menanggulangi

pencemaran tersebut. Secara kebetulan, tempat produksi tahu milik Pak Joko

berdekatan dengan tempat produksi industri-industri tahu lain milik tetangganya. Atau

dapat dikatakan, industri-industri tahu tersebut membentuk sebuah kompleks. Dengan

keadaan yang sedemikian, pembangunan IPAL komunal cukup sesuai untuk

menanggulangi masalah limbah yang ada. Setiap industri tahu nantinya diwajibkan

mengalirkan limbah cairnya ke IPAL komunal tersebut. Di sini, limbah diolah secara

bersama-sama dan biaya operasinya juga ditanggung bersama oleh semua industri tahu

yang terlibat agar tidak memberatkan secara eknomi. Menurut Said dan Wahjono

(1999), cara pengolahan limbah tahu yang cukup sederhana, murah dan efektif yaitu

dengan kombinasi proses pengolahan biologis anaerob dan aerob. Secara umum,

proses pengolahannya dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian

anaerob dan yang ke dua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-

aerob.

Page 9: LAPORAN PRAKTIKUM

Air limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu-tempe dikumpulkan

melalui saluran air limbah, kemudian dilairkan ke bak kontrol untuk memisahkan

kotoran padat. Selanjutnya, sambil di bubuhi dengan larutan kapur atau larutan NaOH

air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob. Di dalam bak pengurai anaerob tersebut

polutan organik yang ada di dalam air limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme

secara anaerob, menghasilkan gas methan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar.

Dengan proses tahap pertama konsentrasi COD dalam air limbah dapat diturukkan

sampai kira-kira 600 ppm (efisiensi pengolahan 90 %). Air olahan tahap awal ini

selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter aerob

(Said dan Wahjono, 1999).

Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob terdiri dari

beberapa bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob,

bak pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak kontaktor klor. Air limbah

yang berasal dari proses penguraian anaerob (pengolahan tahap pertama) dialirkan ke

bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya.

Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungasi sebagai bak pengontrol aliran, serta

bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, sludge digestion (pengurai

lumpur) dan penampung lumpur (Said dan Wahjono, 1999).

Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak kontaktor

anaerob dengan arah aliran dari atas ke dan bawah ke atas. Di dalam bak kontaktor

anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil/batu split. Jumlah

bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah

air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah

dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Setelah beberapa hari operasi,

pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikroorganisme.

Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai

pada bak pengendap. Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak

kontaktor aerob (Said dan Wahjono, 1999).

Di dalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan media dari bahan kerikil, plastik

(polyethylene), batu apung atau bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan

udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada

dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan

demikian air limbah akan kontak dengan mikro-orgainisme yang tersuspensi dalam air

maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat

meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses

Page 10: LAPORAN PRAKTIKUM

nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini

sering di namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak aerasi, air dialirkan ke

bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa

mikroorganisme diendapkan dan dipompakembali ke bagian inlet bak aerasi dengan

pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke bak

khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa

khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar

setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum (Said

dan Wahjono, 1999).

Page 11: LAPORAN PRAKTIKUM

IV. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari praktikum ini, bisa diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen (mg O2)

yangdibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel

air. Pengujian COD diaplikasikan dalam upaya pengendalian limbah industri,

dimana pengujian COD dilakukan pada influent dan effluent IPAL. Limbah hanya

boleh dibuang setelah nilai COD effluent IPAL kurang dari batas maksimum yang

telah ditentukan oleh peraraturan.

2. Nilai COD limbah cair industri tahu milik Pak Joko adalah -130.500 mg/L. Hal ini

tidaklah valid karena kesalahan praktikan dalam melakukan titrasi. Tetapi menurut

beberapa sumber, nilai COD limbah cair industri tahu adalah 7.000 mg/L-12.000

mg/L.

B. SARAN

Saran untuk praktikum ini antara lain:

1. Metode yang digunakan disesuaikan dengan standar yang lebih umum, dimana

larutan Ag2SO4 dan H2SO4 juga digunakan

2. Ada sampel pembanding, misalnya limbah industri tahu yang telah mengalami

pengolahan di IPAL

Page 12: LAPORAN PRAKTIKUM

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013. Pengendalian Pencemaran Air Terpadu Melalui Produksi Bersih dan

Pengendalian Air Limbah di Kluster UKM Tahu. Dalam http://www.suryamas.co.id.

Diakses pada tanggal 17 Maret 2012 pukul 20.05 WIB.

Said, Nusa Idaman dan Heru Dwi Wahjono. 1999. Teknologi Pengolahan Air Limbah Tahu-

Tempe dengan Proses Biofilter Anaerob dan Aerob. Jakarta: Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi.

Seneviratne, Mohan. 2004. A Practical Approach to Water Conservation for Commercial and

Industrial Facilities. BH Publishing. Bangalore.

Simata, Djoel. 2013. Chemical Oxygen Demand (COD). Dalam http://www.chem-is-try.org.

Diakses tanggal 10 Maret 2012.

Sinha, Rajiv K. dan Rohit Sinha. 2005. Environmental Biotechnology. Book-share. New

Delhi.

Soeparman dan Suparmin, 2001. Pembuangan Tinja & Limbah Cair. Surabaya: Penerbit

Swadaya.

Vyrides, I. dan D.C. Stuckey. 2008. A Modified Method For the Determination of Chemical

Oxygen Demand (COD) For Samples with High Salinity and Low Organics. Dalam

Bioresource Technology 100 (2009) 979-982.