LAPORAN PENELITIAN DANA PRODI MAGISTER …
Transcript of LAPORAN PENELITIAN DANA PRODI MAGISTER …
LAPORAN PENELITIAN DANA PRODI MAGISTER
KENOTARIATAN
JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN TANPA AKTA JUAL BELI (PPAT) DI
DESA SEMBUNG, KECAMATAN KERAMBITAN, KABUPATEN TABANAN
TIM PENELITI
1. I Ketut Tjukup, SH. MH
2. I Ketut Artadi SH., SU
3. Nyoman A. Martana, SH., MH
4. I Ketut Sudjana, SH., MH
5. Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH. M.Kn
DIBIAYAI DARI DANA DIPA-BLU MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS
UDAYANA
DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
NOMOR: 05.J/IX/MKn/UN.14.4/TPPM/2014
TANGGAL : 5 SEPTEMBER 2014
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN
DANA PRODI MKn
1. Judul : Jual Beli Tanah yang dilakukan Tanpa Akte Jual
Beli PPAT di Desa Sembung, Kecamatan
Kerambitan, Kabupaten Tabanan
2. Ketua Peneliti
a. Nama lengkap dengan gelar : I Ketut Tjukup, SH. MH.
b. Jenis Kelamin : Laki-Laki
c. Pangkat/Gol/NIP : Pembina Tk I/ IV b/19521231 198003 1 020
d. Jabatan Funsional : Lektor Kepala
e. Fakultas/ Jurusan/ Programm Studi : Hukum/ Acara/ Ilmu Hukum
f. Bidang Ilmu yang diteliti : Hukum Agraria
3. Jumlah Tim Peneliti : 5 (Lima) Orang
4. Lokasi Penelitian : Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan.
5. Jangka waktu penelitian : 5 (lima) Bulan
6. Biaya yang Diperlukan : Rp.7.500.000
(Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)
Mengetahui Denpasar, 2 September 2014
Ketua Pengelola Prodi. M.Kn Univ. UNUD Ketua Peneliti
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH I Ketut Tjukup, SH. MH.
NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19521231 198003 1 020
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH
NIP. 19530401 198003 1 004
ABSTRAK
Peralihan hak atas tanah seperti jual beli harus menggunakan akta jual beli dari Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun masih ada praktek jual beli di bawah tangan. Praktek jual
beli tanah di bawah tangan ini masih terjadi di Desa Sembung Gede.
Penelitian ini merupakan penelitian empiris, Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Data
yang diteliti adalah data primer (Primary data), dan data sekunder (Secondary data). Lokasi
penelitian di Desa Sembung. Teknik pengumpulan data adalah penelitian kepustakaan dan teknik
wawancara. Pengambilan sampel teknik Non Probality Sampling. Metode analisa data adalah
metode analisis kualitatif.
Status jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat. Jual beli tanah dalam hukum
adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga sifat : bersifat
tunai, terang, dan riil atau nyata. Cara penyelesaian jual beli tanah di bawah tangan di Desa
Sembung Gede ada tiga cara yaitu melalui kepercayaan, selembar kwitansi dan dihadapan
Kepala Desa. Untuk memperoleh alat bukti berupa sertifikat Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) membuat akta jual beli terlebih dahulu kemudian dibuat sertifikat tanah yang sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kata kunci : Akte Jual Beli
ABSTRACT
The transition of land rights such as the sale and purchase must use a deed of sale of the
Pejabat Pembuat Akta (PPAT). But there is still the practice of buying and selling at the bottom
of the hand. The practice of buying and selling land in the hand is still going on in the village of
Gede Sembung.
His study is an empirical research, this study is a descriptive nature. The data studied
were the primary data and secondary data. Research location in the village of Sembung.
Techniques of data collection is library research and interview techniques. Non probality
Sampling Sampling techniques. The method of data analysis is a method of qualitative analysis.
Status of land purchase deed done without the Pejabat Pembuat Akta (PPAT) according
to the national law of the land is rooted in customary law. Sale and purchase of land in
customary law is the legal act of transfer must satisfy three properties: is cash, bright, and real or
apparent. Ways settlement under the sale and purchase of land in the hands of Sembung Gede
village there are three ways: through trust, a sheet of receipts and before the chief. To obtain
evidence in the form of a certificate of the Pejabat Pembuat Akta (PPAT) made a deed of sale in
advance and then made the land titles as the Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah
Keywords: Purchase Deed
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang HyangWidhiWaca/ Tuhan Yang
Maha Esa Laporan Kegiatan Penelitian dengan judul “Jual Beli Tanah yang dilakukan Tanpa
Akte Jual Beli PPAT di Desa Sembung Kec. Kerambitan, Kabupaten Tabanan” dapat
terselesaikan pada waktunya.
Kegiatan Penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar berkat bantuan dari berbagai
pihak baik secara langsung, maupun tidak langsung dan secara moril maupun materiil. Untuk itu
dalam kesempatan ini menyampaikan banyak terima kasih dengan segala hormat kepada:
1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
2. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH, MH Ketua Program Kenotariatan Universitas
Udayana;
3. Nyoman A. Martana, SH., MH Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
4. I Gusti Nengah Sulandera Kepala Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan;
5. I Gusti Made Ariyana Sekretaris Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan
Kabupaten Tabanan;
6. Seluruh Masyarakat Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten
Tabanan.
Semoga Laporan Penelitian ini dapat berguna sebagai ilmu pengetahuan, sebagai sarana
mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akhir kata demikianlah Laporan Penelitian ini
dapat terselesaikan dengan segenap kekurangannya.
Denpasar, Oktober 2014
Ketua Pelaksana
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL .............................................................................................................................. i
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ............................................................... ii
ABSTRAK ........................................................................................................................ iii
ABSTRACT ...................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... vi
DAFATAR TABEL .......................................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 5
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................................. 16
IV. METODE PENELITIAN .......................................................................................... 18
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 23
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penggunaan Tanah di Desa Sembung Gede ........................................................ 23
Tabel 2 Fasilitas Umum di Desa Sembung Gede ............................................................. 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Tanah mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, karena digunakan oleh manusia untuk bercocok
tanam, berternak, berkebun, tempat tinggal dan melakukan usaha lainnya. Oleh karena
pentingnya peranan tanah dalam kehidupan manusia, maka pemerintah mengatur tentang bumi,
air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Dalam konstitusi Negara kita tepatnya pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945, menentukan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
peraturan pelaksananya tentang pemanfaatan tanah atau lahan agar tidak menimbulkan sengketa
dalam masyarakat, maka pada tanggal 24 September 1960 keluarlah peraturan perundang-
undangan tentang pertanahan, yang dikenal dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok
Agraria (UUPA).
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), adalah untuk
memberikan kepastian hukum tentang masalah pertanahan, karena sebelum keluarnya Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA), di Indonesia berlaku dua sistem hukum dalam masalah
pertanahan, yaitu hukum tanah yang berdasarkan atas hukum adat dan hukum tanah yang
berdasarkan hukum barat yang terdapat dalam BW (Burgerlijk Wetbook/Kitab Undang undang
Hukum Perdata). Dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka dualisme aturan hukum yang terdapat dalam hukum tanah
sebelumnya hapus. Hukum agraria yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan hukum pertanahan nasional yang
tujuannya adalah :1
1 Penjelasan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, 2002,
Djambatan, Jakarta , h 27
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
Negara dan rakyat terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Dalam masyarakat , perolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan
pemindahan hak, yaitu dengan melalui jual beli. Pemindahan hak/Peralihan hak, adalah suatu
perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak, antara lain: Jual beli, Hibah, Tukar
menukar, Pemisahan dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan atau
inbreng.2
Arti kata jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan, di mana seseorang
melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela. Menurut Boedi
Harsono, ”Dalam Hukum Adat perbuatan pemindahan hak (jual– beli, hibah, tukar menukar)
merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai”. Jual–beli dalam hukum tanah dengan
pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai.3
Kemudian menurut Hukum (BW) Pasal 1457 disebutkan bahwa jual beli tanah adalah
suatu perjanjian dimana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak
atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli yang mengikatkan dirinya untuk membayar
kepada penjual harga yang telah disepakatinya.4
Semenjak diundangkanya UUPA, maka pengertian jual beli tanah bukan lagi suatu
perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo 1458 KUH Perdata Indonesia, melainkan perbuatan
hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya yang bersifat tunai dan kemudian selanjutnya
diatur dalam Peraturan Pelaksanaan dari UUPA yaitu PP No. 10 tahun 1961 yang telah
diperbaruhi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah,
yang menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan
2 John Salindeho, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 37.
3 Harun Al–Rashid, 1986, Sekilas Tentang Jual–Beli Tanah (Berikut Peraturan-Peraturanya), Ghia
Indonesia, Jakarta , h 51. 4Harun Al–Rashid, Ibid , h. 52.
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat
(1) PP No. 24/1997 yang berbunyi: “tukar-menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang–undangan
yang berlaku”5
Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang Peraturan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:”
PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”6
Sehingga jual beli Hak atas Tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT). Hal demikian sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah
dan selanjutnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) membuat Akta Jual Belinya yang
kemudian diikuti dengan pendaftarannya pada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan lokasi
tanah. Namun tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari masih banyak jual
beli tanah yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Perbuatan ”Jual Beli di bawah tangan” terkadang hanya dibuktikan dengan
selembar kwitansi sebagai bukti telah terjadi jual beli dan tidak sedikit masyarakat yang hanya
memiliki bukti kepemilikan atas tanah yang masih atas nama pemilik yang lama (penjual).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang yang telah diuraikan dan untuk lebih terfokus dalam
membahas dalam tulisan ini, sehingga mampu menguraikan pembahasan dengan tepat, maka
disusun beberapa permasalahan. Adapun pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Kesadaran Masyarakat terhadap Pembuat Akta Tanah Dalam Pendaftaran Tanah di Desa
Sembung Gede Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan?
5 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan, Jakarta, h. 538–539. (Selanjutnya disebut Boedi Harsono I) 6Boedi Harsono I, Ibid , h. 677
2. Bagaimanakah status Jual Beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT)?
3. Bagaimanakah cara penyelesaian yang dapat ditempuh oleh pembeli, agar jual beli tanah
yang dilakukan tanpa akta PPAT dapat mempunyai kekuatan hukum yang pasti ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Tanah
1. Pengertian Tanah
Pada saat ini tanah merupakan aset penting bagi kehidupan dan pengembangan
masyarakat. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan akan
ketersediaan tanah menjadi sangat tinggi pula. Hal ini mengingat akan kebutuhan masyarakat
terhadap tanah juga semakin tinggi. Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam
berbagai arti. Maka penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah
tersebut digunakan.
Menurut geologis-agronomis, pengertian tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi
paling atas yang dapat dimanfaatkan untuk menanami tumbuhan disebut tanah
garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan tanah
bangunan digunakan untuk menegakkan rumah. Di dalam tanah garapan ini dari atas
ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan
pembentukan kukus dan lapisan dalam.7
Dalam hukum tanah kata “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian
yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Disebutkan dalam
Pasal 4 Undang- Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
dinyatakan, bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara…ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang…Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi.8
Selanjutnya penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bagian II (1)
menegaskan bahwa : dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang
dapat dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian tanah adalah:
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali
2. Keadaan bumi yang diberi batas
7 AP. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, 1973, h. 35.
8 Boedi Harsono I, Op. Cit. h. 18
3. Keadaaan bumi di suatu tempat
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai lahan sesuatu (pasir, cadas, aspal).9
2. Pengertian Jual Beli
Dalam kehidupan manusia yang senantisa berkembang dari waktu ke waktu dan
berbagai nacam bentuk hubungan antar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup beraneka
ragam, salah satunya adalah perbuatan jual beli. Jual beli merupakan perbuatan hukum yang
paling banyak berlangsung di masyarakat.
Jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dimana
seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki.
Menurut ketentuan dari Pasal 1457 KUH Perdata, yang dimaksud dengan jual beli
adalah : ”suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Dalam
jual beli harus didasarkan atas perjanjian atau kesepakatan para pihak. Menurut Pasal 1313 KUH
Perdata dinyatakan bahwa : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Kesepakatan atau konsensus merupakan langkah awal dari para pihak yang membuat
suatu perjanjian. Jika kesepakatan itu merupakan langkah awal dari para pihak yang membuat
perjanjian maka timbul suatu permasalahan mengenai kapan saat terjadinya kesepakatan
tersebut. Ada beberapa teori yang menyatakan kapan terjadinya kesepakatan. Teori-teori itu
adalah:
a. Teori kehendak (Wils Theory), teori ini mengatakan bahwa terjadinya suatu
perjanjian atau konsensus adalah karena adanya persesuaian kehendak di para pihak
yang membuat perjanjian tersebut;
b. Teori pernyataan (Ultings Theory), teori ini rnenyatakan bahwa konsensus terjadi
sesuai dengan pernyataan yang telah diucapkan atau diumumkan oleh para pihak
yang membuat perjanjian tersebut;
9 Kamus Besar Bahasa Indonesia,1994, Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
Edisi ke II Cetakan Ke tiga, h 12
c. Teori kepercayaan (Vertrouwens Theory), teori ini mengandung / menyatakan adanya
konsensus atau perjanjian didasarkan atas kepercayaan dan ucapan para pihak yang
layak dinyatakan dalam masyarakat.
Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah belum
diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu
perbuatan hukum lain berupa penyerahkan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain
lagi.
Jual beli tanah yang menyebabkan beralihnya hak milik tanah dari penjual kepada
pembeli untuk selama-lamanya disebut “jual lepas”. Ada beberapa pendapat tentang jual lepas
tersebut, diantaranya :
1. Van Vollenhoven, mengatakan bahwa jual lepas dari sebidang tanah atau perairan
ialah penyerahan dari benda itu dihadapan petugas Hukum Adat dengan pembayaran
sejumlah uang pada saat itu atau kemudian.10
2. Imam Sudiyat, mengatakan bahwa menjual lepas yaitu menyerahkan tanah untuk
menerima pembayaran uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali. Jadi
penyerahan itu untuk seterusnya dan selamanya.11
3. S.A. Hakim, mengatakan bahwa penyerahan sebidang tanah (termasuk air) untuk
selama-lamanya dengan penerimaan uang tunai (atau dibayar dulu sebagian)
uangnya disebut uang pembelian.12
Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24
September 1960 yang menghapuskan dualisme hukum tanah di Indonesia, pengertian jual beli
tanah dapat diartikan sebagai jual beli tanah dalam pengertian Hukum Adat, mengingat Hukum
Agraria yang berlaku adalah Hukum Adat sebagaimana termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi :
Hukum Agraria yang berlaku atas, bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum Agama .13
10
Hilman Hadikusuma, 1994, Hukum Perjanjian Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, h 108 11
Imam Sudiyat,1978, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, h 32 12
Imam Sudiyat, Ibid. h. 109 13
Sahat HMT Sinaga,2007, jual beli Tanah Dan Pencatatan Peralihan Hak, Pustaka Sutra,Bekasi, h. 18
Hilman Hadikusuma juga mengemukakan, bahwa pada umumnya jual beli itu berlaku
apabila pada saat yang sama penjual menyerahkan barang yang dibeli dan pembeli menyerahkan
pembayarannya.14
Boedi Harsono mengatakan, bahwa jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan
perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai, artinya harga yang disetujui
bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.15
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa jual beli adalah suatu persetujuan
kehendak antara penjual dan pembeli mengenai suatu barang dan harga, karena tanpa barang
yang dijual dan tanpa harga yang disetujui antara kedua belah pihak, maka tidak mungkin ada
perbuatan hukum jual beli. Dengan dilakukannya jual beli tanah tersebut, maka hak milik atas
tanah beralih kepada pembeli dan sejak saat itu menurut Hukum Adat pembeli telah menjadi
pemiliknya yang baru.
2.2. Jual Beli Tanah Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960, pada tanggal 24 September 1960, jual beli tanah di Indonesia mempergunakan
dua sistem hukum, yaitu sistem Hukum Barat bagi golongan Eropa dan sistem Hukum Adat bagi
golongan bumiputera atau pribumi. Menurut AP Parlindungan, sebelum berlakunya UUPA,
negara kita masih terdapat dualisme dalam Hukum Agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa masih berlakunya dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan kita,
yaitu Hukum Adat dan Hukum Barat sehingga terdapat dua macam tanah yaitu tanah adat dan
tanah barat.16
Hal ini dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat
selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda, sehingga membedakan peralihan hak kepemilikan
tanah baik secara Hukum Adat maupun Hukum Barat dalam hal jual beli juga cara perlindungan
hukum dan kepasatian hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan.
14
Hilman Hadikusuma, Op. Cit. h. 78 15
Boedi Harsono I, Loc. Cit, h. 29 16
AP. Parlindungan, Op. Cit h. 40
1. Menurut Hukum Barat
Belanda pada saat datang dan menjajah di Indonesia pada masa lalu juga membawa
perangkat Hukum Belanda untuk mengatur masyarakat di Indonesia. Pada tanggal 1 Mei 1848
mulai diberlakukan suatu ketentuan Hukum Barat yang tertulis yaitu Burgelijk Wetboek (BW),
yang sampai sekarang masih kita kenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan dari penjajah Belanda pada Tahun 1945,
maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, BW tersebut
dinyatakan masih berlaku di Indonesia sampai terbentuknya undang undang yang baru.17
Mengacu kepada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jual beli
adalah suatu perjanjian, di mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik
atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang
terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Sebagaimana Pasal
1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “jual beli adalah suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya utuk menyerahkan suatu kebendaaan dan
pihak yang lain untuk membayar harganya yang telah dijanjikan.”18
Dari Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas bahwa dengan adanya
jual beli hak atas tanah belum berpindah, berpindahnya setelah adanya balik nama. Dengan
memperhatikan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut dapat dipahami bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan
kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu.
Dengan ketentuan yang demikian jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah
pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang dijual belikan, demikian
harganya, sekalipun benda yang menjadi obyek jual beli belum diserahkan dan harganya belum
dibayar. Hak milik atas tanah yang menjadi obyek jual beli baru dapat beralih kepada pembeli
sebagai pemilik tanah yang baru jika dilakukan penyerahan yuridis yang wajib diselenggarakan
dengan pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian didaftarkan di kantor
pertanahan setempat.
17
Sahat HMT Sinaga, Op. Cit h. 11-12 18
Sahat HMT Sinaga Ibid, h. 12-13
2. Menurut Hukum Adat
Pengertian Jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas
tanah kepada pihak lain/orang lain yang berupa rumah dari penjual kepada pembeli tanah.
Pengalihan hak-hak pemilikan atas tanah ini tidak hanya melaiui jual beli saja, tetapi
pengalihan hak pemilikan ini juga terjadi karena hibah, tukar-menukar, pemberian dengan surat
wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak pemilikan atas tanah.
Tetapi peralihan hak pemilikan itu terjadi demi hukum, misalnya karena pewarisan. Karena
Hukum pula segala harta kekayaan seseorang beralih menjadi harta warisan sejak saat orang
tersebut meninggal dunia. Karena itu beralihnya hak milik atas tanah apabila kita lihat dari segi
hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (antara lain perbuatan hukum) atau karena
suatu peristiwa hukum
Menurut Hukum Adat jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 1457 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tersebut
diatas, melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh
penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada pembeli menyerahkan harganya kepada
penjual.19
Tindakan hukum (rechhtshandelingen) termasuk jual beli, hibah, pemberian dengan
wasiat, penukaran, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Sedangkan
beralihnya hak milik karena peristiwa hukum misalnya karena pewarisan. Pengertian jual-beli
menurut Hukum Adat dan Boedi Harsono, adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang
bersifat tunai.20
Jual beli tanah dalam hukum adat, adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah
dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan
penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual-
beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai dalam arti pembeli telah menjadi pemegang hak
yang baru.
19
Effendi Perangin,1994, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 15 20
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, Djambatan, Jakarta, h. 333. (selanjutnya disebut
Boedi Harsono II)
Dalam masyarakat Hukum Adat jual beli tanah dilaksanakan secara terang dan tunai.
Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan dihadapan Kepala
Adat atau Kepala Desa. Tunai, berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara
bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli dari penjual kepada
pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak dan secara
bersamaan.21
Sehingga jika para pihak yang bersangkutan tunduk pada Hukum Adat, maka hukum
yang berlaku terhadap jual beli tersebut adalah Hukum Adat dan jika pihak-pihak yang
bersangkutan tunduk pada Hukum Barat, maka yang berlaku adalah Hukum Barat.
2.3. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional (Sesudah Berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA)
Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24
September 1960 yang menghapuskan dualisme hukum tanah di Indonesia, pengertian jual beli
tidak sama dengan pengertian jual beli tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1457 dan Pasal
1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Boedi Harsono juga menyebutkan bahwa, sebelum berlakunya Undang- Undang Pokok
Agraria (UUPA) dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur dalam KUH Perdata
yang tertulis dan ada yang diatur oleh hukum adat yang tidak tertulis. 22
Tujuan pokok diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana
dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria adalah :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran kebahagiaan dan keadaan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka mewujudkan terciptanya
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.23
21
Boedi Harsono II Ibid, h. 19 22
Boedi Harsono II Ibid, h. 27
Dengan demikian menurut Hukum Adat yang merupakan dasar dari hukum tanah
Nasional yang berlaku pada saat ini sebagaimana termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli telah terjadi sejak
ditandatanganinya akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
berwenang dan dibayarnya harga oleh pembeli kepada penjual.
Sejak akta jual beli ditandatangani di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
berwenang, hak milik atas tanah yang dijual beralih kepada pembeli. Hal ini terjadi bagi jual beli
tanah di bawah tangan yang dilakukan dihadapan kepala desa.
2.4 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sebagai Pejabat Umum Yang Berwenang
Dalam Membuat Akta Jual Beli
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 24, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997,
disebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), adalah sebagai pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah
dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan Hak
Tanggungan.24
Pejabat umum, adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang, dengan tugas
melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu. Pejabat Umum dalam bahasa
Belanda, adalah “Openbaar Ambtenaar” Openbaar artinya bertalian dengan pemerintahan,
urusan yang terbuka untuk umum, kepentingan umum, Openbaar Ambtenar berarti pejabat yang
bertugas membuat akta umum (openbare akten), seperti notaris dan jurusita.25
Dalam jabatannya itu tersimpul suatu sifat atau ciri khas, yang membedakannya dari
jabatan lainya dalam masyarakat, sekalipun untuk menjalankan jabatan-jabatan lainnya itu
kadang-kadang diperlukan juga pengangkatan atau izin dari pemerintah, misalnya pengangkatan
advokat, dokter, akuntan dan lain-lainnya, maka sifat dan pengangkatan itu sesungguhnya
pemberian izin, pemberian wewenang itu merupakan lisensi untuk menjalankan suatu jabatan.
Untuk mempermudah rakyat di daerah terpencil yang tidak ada PPAT dalam melakukan
perbuatan hukum mengenai tanah, dapat ditunjuk PPAT sementara. Yang ditunjuk sebagai PPAT
23
Mudjiono, 1997,Politik dan Hukum Agraria, Liberty, Yogyakarta, h. 22 24
Budi Harsono II, Op. Cit, h.469 25
John Salehindo,1987, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, h..53
sementara itu, adalah pejabat pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang bersangkutan:
yaitu Kepala Desa.
4.5. Pengertian Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
pengertian pendaftaran tanah adalah : rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah serta terus-
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan tertentu
yang membebaninya.26
Boedi Harsono menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian di atas bahwa kata-kata
“suatu rangkaian kegiatan” menunjukkan kepada adanya berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain berurutan menjadi satu
kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka
menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat."27
Mengenai pentingnya pendaftaran tanah, Bachsan Mustafa berpendapat bahwa,
pendaftaran tanah akan melahirkan sertifikat tanah, mempunyai arti untuk memberikan kepastian
hukum, karena hukum jelas dapat diketahui baik identitas pemegang haknya maupun identitas
tanahnya. Jadi, apabila terjadi pelanggaran hak milik atas tanah maka pemilik tanah dapat
melakukan aksi penuntutan kepada si pelanggar berdasarkan hak miliknya itu.28
Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah, seseorang akan memperoleh atau
mendapatkan surat bukti kepemilikan tanah yang biasa disebut sertifikat tanah. Dengan
dikeluarkannya sertifikat tanah tersebut seseorang dapat menghindari kemungkinan terjadinya
sengketa mengenai kepemilikan atas tanah.
26
Boedi Harsono II, Op. Cit. h. 474 27
Boedi Harsono II ,Ibid, h 72-73 28
Bachsan Mustafa,1984, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Remaja Karya CV, Bandung, h. 58.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara Umum Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan dan pemahaman di bidang
keilmuan, tepatnnya ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai
proses) dalam penggaliannya atas kebenaran dibidang obyeknya masing-masing, yang dalam
penelitian ini memfokuskan pada bidang hukum pertanahan sebagai salah satu materi dari ilmu
hukum.
2. Tujuan khusus
Dari permasalahan di atas, maka secara keseluruhan tujuan khusus penelitian adalah :
1. Diketahui Kesadaran Masyarakat terhadap Pembuat Akta Tanah Dalam
Pendaftaran Tanah di Desa Sembung Gede Kecamatan Kerambitan Kabupaten
Tabanan.
2. Diketahui status Jual Beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
3. Dapat diketemukan cara penyelesaian yang dapat ditempuh oleh pembeli, agar
jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta PPAT dapat mempunyai kekuatan
hukum yang pasti.
3.2 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Mencari penyebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam praktek jual
beli tanah yang dilakukan tanpa akte PPAT dan akibat hukumnya dari jual beli tersebut untuk
memperoleh sertifikat serta mengetahui cara cara penyelesaiannya supaya jual beli tanah tanpa
akte PPAT memperoleh sertifikat jual beli. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khusnya pada bidang Hukum
Pertanahan.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berguna bagi masyarakat
pada umumnya dan pembaca pada khususnya mengenai pembuatan sertifikat jual beli tanah yang
masih di bawah tangan.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi yang dilakukan secara metodelogi, sistematis dan konsisten.29
Dalam bahasa Inggris
penelitian disebut dengan “research”, pada hakekatnya merupakan sebuah upaya pencarian.
Lewat penelitian (research) orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan
yang benar (true, truth knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau
untuk memecahkan masalah. Seperti yang dinyatakan dalam buku Legal Research.30
Penelitian Hukum merupakan proses kegiatan berpikir dan bertindak logis, metodis dan
sistematis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum, fakta empiris yang terjadi, atau yang ada di
sekitar kita untuk direkontruksikan guna mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi
kehidupan. Berpikir logis adalah berpikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu
pengetahuan dengan bebas dan mendalam sampai kedasar persoalan guna mengungkapkan
kebenaran. Metodis adalah berpikir dan membuat menurut metode tertentu yang kebenarannya
diakui menurut penalaran. Sistematik adalah berpikir dan berbuat yang bersistem yaitu runtun,
beruntun dan tidak tumpang tindih.
Didalam dunia penelitian termasuk penelitian hukum, dikenal berbagai macam atau
jenis penelitian. Terjadinya pembedaan jenis penelitian itu berdasarkan sudut pandang dari
penelitian yang akan diteliti. Metodelogi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metodelogi pada hakekatnya memberikan
pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami
lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.31
Penelitian ini adalah penelitian ilmuan hukum
dengan aspek empiris, di mana permasalahan akan dikaji secara yuridis empiris maksudnya
29
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta ,h.42 30
Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutsell, West Group, ST. Paul, Minn,
Printed in The United States of America, h.1. 31
Soemitro, Ronny Hanitjo,1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.
10
mencari ketidaksesuaian antara das sollen dengan das sein yaitu kesenjangan antara keadaan
teoritis dengan fakta hukum atau kesenjangan teori dengan dunia realita.
4.2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, dalam penelitian deskriptif pada umumnya
memiliki ciri yaitu:
1. memusatkan diri pada pemecahan maslah-masalah yang ada pada masa
sekarang, pada masalah-maslah yang aktual.
2. data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa
(karena itu metode ini juga sering disebut metode analitik).32
4.3. Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan
data sekunder.
1. Data primer atau data dasar (Primary data), yaitu data yang diperoleh langsung dari
lokasi penelitian melalui wawancara atau interview dengan pihak-pihak yang terlibat
langsung dalam jual beli tanah di Desa Sembung, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten
Tabanan.
2. Data sekunder (Secondary data), yaitu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan/ library research, yang sudah terdokumen dalam bentuk bahan hukum.
Bahan hukum terdiri dari. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative
records),
a. Bahan hukum yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang Undang
Pokok Agraria (UUPA); Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang
Pendaftaran Tanah; Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
b. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records),
bahan hukum yang terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, hasil-
32
Winarno Surakhman, 1982, Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung, h.140.
hasil penelitian, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa yang
berkaitan dengan pembahasan tersebut diatas.
c. Bahan hukum tertier (tertiary resource), terdiri dari kamus hukum dan
ensiklopedia.
4.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini akan dibatasi di Desa Sembung Gede yang merupakan salah satu
Desa di Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dilakukan di Desa Sembung
Gede dengan pertimbangan bahwa Desa Sembung Gede merupakan salah satu Desa yang berada
di lingkar luar Kabupaten Tabanan yang belakangan ini terdapat banyak transaksi jual beli tanah
yang dilakukan developer untuk membuat daerah perumahan yang dekat dengan Ibukota
Kabupaten..
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama, dapat berupa
himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-kasus, waktu, atau tempat, dengan
sifat atau ciri yang sama.33
Populasi dalam penelitian ini adalah Desa Sembung Gede,
Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.
4.5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat, dalam rangka penelitian ini maka teknik
pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian kepustakaan
Penelitian kepustakaan (Studi Dokumen) yang bertujuan untuk memperoleh data
sekunder dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam
perundang-undangan, buku-buku, literatur, artikel, serta dokumen resmi, yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti dan menginventarisasikannya, menganalisa untuk kemudian
dikorelasikan menjadi tulisan yang integral.
2. Teknik wawancara
Penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara (interview). Wawancara adalah cara
untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai (responden dan
33
Bambang Sunggono, 1997,Metodelogi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.118.
informan) untuk mendapatkan data yang autentik tentang gambaran ”Jual Beli Tanah Dibawah
Tangan dan Akibat Hukumnya”. Data yang dikumpulkan melalui wawancara ini dilakukan
dengan cara tanya jawab secara sistematis dengan mengguanakan daftar pertanyaan yang telah
disusun sebelumnya.
4.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Non Probality
Sampling yaitu tidak memberikan kemungkinan yang sama bagi tiap unsur populasi yang
dipilih,34
sedangkan teknik yang digunakan adalah Purposive Sampling yaitu peneliti
menggunakan pertimbangannya sendiri untuk memilih anggota-angota sampel serta menentukan
responden yang dianggap dapat mewakili populasi, sehingga informasi yang dikehendaki bias
diperoleh sesuai tujuan penelitian.
Responden merupakan sumber informasi untuk memperoleh data yang diperlukan
dalam penelitian ini, yang meliputi:
1. Kepala Desa Sembung Gede
2. Sekretaris Desa Sembung Gede
3. Masyarakat Desa Sembung Gede
4.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
kualitatif yakni analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang telah
dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh gambaran mengenai masalah atau keadaan
yang diteliti.35
Setelah data dianalisis, selanjutnya akan ditarik kesimpulan dengan metode berpikir
deduktif, yaitu suatu pola berpikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum,
kemudian ditarik suatu generalisasi atau kesimpulan yang bersifat khusus.
34
Nasution, 2007, Metode Riserch, Bumi Aksara, Jakarta, h.86.
35
Winarno Surakman, Op.cit, h.50.
Untuk data yang diperoleh dari studi pustaka, akan diadakan komparasi antara bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier,yang kemudian akan dianalisis
dengan menggunakan metode kualitatif.
Terhadap hasil penelitian lapangan akan diperoleh data responden dari hasil wawancara
yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan secara deskriptif yaitu
analisa dengan cara memberikan gambaran secara jelas mengenai objek permasalahan yang
diteliti.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Kesadaran Masyarakat terhadap Pembuat Akta Tanah Dalam Pendaftaran Tanah di
Desa Sembung Gede Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan
Desa Sembung Gede merupakan salah satu dari lima belas desa yang ada di wilayah
Kecamatan Kerambitan, terletak ± 15 km ke barat dari kota Tabanan. Apabila di lihat dari
kondisi geografisnya Desa Sembung Gede merupakan dataran sedang dengan ketinggian ± 170
meter dari permukaan air laut, dengan curah hujan sedang pertahunnya.
Wilayah Desa Sembung Gede memiliki lahan seluas ± 683 Ha. Dari jumlah wilayah
tersebut terbagi menjadi:
Tabel 1
Penggunaan Tanah di Desa Sembung Gede
No Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1 Tanah Sawah 406,204 Ha
2 Tanah Tegalan (Ladang) 240,793 Ha
3 Tanah Pekarangan 26.438 Ha
4 Fasilitas Umum 9.565 Ha
Jumlah 683,000 Ha
Sumber: Kantor Desa Sembung Gede
Jumlah penduduk desa Sembung Gede adalah sebanyak 4001 jiwa terdiri dari 1977
jiwa penduduk laki-laki dan 2024 Jiwa penduduk perempuan. Struktur penduduk menurut mata
pencaharian menunjukkan bahwa sebagian penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di
sektor pertanian (45%), sektor perdagangan (28%) dan sektor lainnya seperti pegawai negeri
sipil, buruh bagunan, karyawan swasta dari berbagai sektor (27%) . Struktur penduduk menurut
agama menunjukkan sebagian besar beragama Hindu (99,8%), Islam ( 0,2%), Kristen Protestan
(0%) dan Budha (0%).
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Desa Sembung Gede, Kecamatan
Kerambitan, Kabupaten Tabanan dengan mewawancarai beberapa Pejabat Desa. Menurut Kepala
Desa Sembung Gede mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, bahwa keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah sangat penting sekali,
keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah disini maksudnya adalah : bahwa dengan adanya
Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut akan memberikan pelayanan kepada semua masyarakat
yang memerlukan penjelasan-penjelasan yang menyangkut tentang peran Pejabat Pembuat Akta
Tanah kepada masyarakat tanpa membedakan golongan dari mana masyarakat tersebut berasal,
golongan itu dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu 36
:
1. Golongan dari masyarakat yang mampu ekonominya dan dari
2. Golongan masyarakat yang tidak mampu ekonominya.
Supaya peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut dapat diketahui oleh banyak
khalayak masyarakat yang belum seluruhnya mengetahui apa peran dari Pejabat Pembuat Akta
Tanah itu maka, disini penulis akan menguaraikan peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut
yang telah diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 sebagaimana
berikut ini "Di dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai peranan selaku pejabat
yang ditugaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan kegiatankegatan
tertentu yang menurut Peraturan Pemerintah dan perundangundangan yang bersangkutan
(pembuatan akta jual beli, tukar-menukar, hibah pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
pembagian hak milik, pemberian hak guna bangunan / membebankan hak tanggungan".
Berdasarkan informasi yang didapat oleh masyarakat sangat kurang maka masih ada
masyarakat Desa Sembung Gede melakukan jual beli tanpa akta PPAT. Data yang didapat di
Desa Sembung Gede Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan bahwa jumlah akta jual beli
tanah yang telah dibuat sejak bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 2014, yaitu sebanyak 8
akta, jadi bisa diperkirakan setiap bulannya terdapat sekitar 1 akta jual beli tanah, itu pun jual
beli tanah yang akan dipergunakan pembangunan perumahan dan pertokoan, karena wilayah
tersebut berada pada jalur jalan raya Denpasar-Gilimanuk. Kepala Desa Sembung Gede juga
menambahkan bahwa Januari samapai Agustus 2014 terjadi 10 kali jual beli tanah, maka dapat
36 Hasil wawancara pada tanggal 14 Agustus 20014 dengan I Gusti Nengah Sulendra selaku Kepala Desa
Sembung Gede
disimpulkan dari 10 transaksi jual beli tanah, 8 dengan akta jual beli maka lagi 2 transaksi
dilakukan dengan dibawah tangan, atas sepengetahuan kepala desa saja.
Kepala Desa Sembung gede mengatakan dengan ketentuan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor I / 2006 Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk
membantu masyarakat di dalam menghadapi permasalahannya yang masih biasa ditemui.
Permasalahan-permasalahan tersebut adalah : Belum mengertinya bagaimana yang benar dalam
mengurus keperluan pembuatan akta-akta antara lain akta jual beli tanah dan lain-lainnya dimana
keperluan pembuatan di dalam pembuatan akta jual beli tanah dan akta lainnya harus melibatkan
peranan PPAT, hal yang sedemikian di atas biasanya diabaikan oleh masyarakat begitu saja
tanpa memikirkan dampaknya bilamana terjadi sesuatu permasalahan dikemudian hari.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini berarti sekali bagi seluruh masyarakat
agar semakin memahami keuntungan peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah bila masyarakat
menghadapi masalah yang ada hubungannya dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut.
Maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut hendaknya didukung oleh pihak-pihak yang
terkait yatu Kantor Pertanahan, masyarakat dan Pejabat Pembuat Akta Tanah sendiri, supaya
semakin jelas peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertujuan untuk memberikan
kelancaran, kemudahan kepada seluruh lapisan masyarakat dan dengan peranan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (Peraturan Pemerintah Nomor 24 1997) dapat mencegah terjadinya pemalsuan akta-
kata tanpa diketahui Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh orang-orang yang tidak bertanggung dan
hanya merugikan masyarakat.37
Selain peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah di atas, dalam kaitannya dengan
Pendaftaran Tanah sangat membatu kepala Kantor Pertanahan dan pendaftaran itu sendiri
diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang bertugas pelaksanaannya dilakukan oleh
kepala Kantor Pertanahan.
5.2.Status Jual Beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)
Pendapatan masyarakat Desa Sembung Gede, masih lebih cenderung dari hasil
pertanian dalam arti luas, termasuk dari lahan basah dan lahan kering. Hal ini didukung oleh
penggunanan lahan pertanian masih mempunyai porsi yang terbesar yaitu sebanyak 64% dari
37 Ibid
total penggunaan lahan desa. Persentase mata pencaharian dari penduduk Desa Kukuh masih
menggantungkan pada sector pertanian dalam arti luas yaitu lahan basah dan lahan kering
dengan komoditi padi dan sayuran di lahan basah (sawah) dan kelapa, kakao, cengkeh, kopi pada
lahan kering (tegalan).
Melihat monografi Desa sembung Gede Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan
yang sangat berpotensi sekali menjadi daerah perkembangan kota, mengingat letak geografisnya
yang berbatasan langsung dengan Kota Tabanan.
Adapun batas wilayah dari Desa Sembung Gede adalah sebagai berikut:38
Sebelah Utara : Desa Kesiut
Sebelah Timur : Tukad Yeh AB
Sebelah Selatan : Desa Kukuh
Sebelah Barat : Sungai Lating
Desa Sembung Gede memiliki lahan yang sangat luas untuk diberdayakan sebagai lahan
pemukiman selain terletak di pinggir Kota Tabanan Desa Sembung Gede juga memiliki fasilitas
yang memadai diantaranya:
Tabel 2
Fasilitas Umum di Desa Sembung Gede
No Fasilitas Jumlah
1. Jalan Desa 5,453 Km
2. Jembatan -
3. Sumber Air -
4. Pura 12 Buah
5. Sungai 1 Buah
6. Posyandu 10 Buah
7. Industri Kecil 1 Buah
8. Sekolah 4 Buah
38
Peraturan Desa Sembung Gede Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMDes) Tahun 2010-2015
9. Kantor 4 Buah
10. Puskesmas 1 Buah
11. Kuburan 5 Buah
Sumber: Kantor Desa Sembung Gede
Sebagai daerah lingkar luar Kota Tabanan, Desa Sembung Gede sangat berpotensi
sekali menjadi lokasi perkembangan kota. Saat ini sudah banyak didirikan pabrik-pabrik dan
perumahan di desa Sembung Gede. Melihat kondisi Desa Sembung Gede yang sangat strategis
tentu saja banyak lahan pertanian akan berubah menjadi pusat perumahan dan perekonomian.
Semenjak diundangkanya UUPA, maka pengertian jual beli tanah bukan lagi suatu
perjanjian seperti dalam Pasal 1457 jo 1458 KUH Perdata Indonesia, melainkan perbuatan
hukum pemindahan hak untuk selama–lamanya yang bersifat tunai dan kemudian selanjutnya
diatur dalam Peraturan Pelaksanaan dari UUPA yaitu PP No. 10 tahun 1961 yang telah
diperbaruhi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah,
yang menentukan bahwa jual–beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh
dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
Dengan adanya aturan yang secara khusus mengatur terhadap setiap perbuatan hukum
yang berkaitan dengan hak atas tanah, maka perbuatan hukum yang dilakukan menyangkut
tentang hak atas tanah dalam banyak hal, terkadang menimbulkan kesulitan tersendiri bagi
sebagian masyarakat, terutama untuk masyarakat awam yang kurang mengetahui tentang aturan
hukum yang berkaitan tentang tanah.
Misalnya dalam praktek, banyak dikalangan masyarakat awam, dimana jual beli hak
atas tanah yang merupakan salah satu perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah
hanya dilakukan dengan bukti selembar kwitansi biasa saja. Sebenarnya hal ini tidak dilarang,
hanya saja hal ini tentunya akan menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi si pembeli ketika dia
akan mendaftarkan hak atas tanahnya atau melakukan balik nama hak atas tanah yang telah
dibelinya ke kantor pertanahan, karena kantor pertanahan pasti akan menolak untuk melakukan
pendaftaran disebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat tentang pendaftaran tanah.
Masyarakat Desa Sembung Gede termasuk masyakat yang masih menggunakan aturan
Hukum Adat yang berlaku. Hal ini bisa dilihat dari cara hidup masyarakatnya yang masih
melakukan praktek jual beli tanah dibawah tangan. Maksud di bawah tangan adalah suatu
perjanjian jual beli tanah dalam Hukum Adat dimana perbuatan hukum yang dilakukan berupa
pemindahan hak dengan pembayaran tunai maupun sebagian yang dilakukan atas kesepakatan
pihak masing-masing (penjual dan pembeli) yang dihadiri oleh Kepala Adat/ Kepala Desa.
Menurut I Gusti Nengah Sulandera, di Desa Sembung Gede ini masih terdapat praktek
jual beli tanah di bawah tangan. Menurut masyarakat di Desa Sembung Gede, mereka melakukan
jual beli tanah di bawah tangan disebabkan biayanya tidak terlalu banyak dan prosesnya sangat
mudah, yaitu cukup dihadiri oleh Kepala Adat/ Kepala Desa dan saksi-saksi, maka proses jual
beli tanah yang terjadi sudah sah.39
Dalam perjanjian (teori baru) menurut Van Dune sebagaimana telah dikemukakan
dalam Bab II yang tidak melihat perjanjian semata-mata tetapi dilihat pula perbuatan sebelumnya
atau yang mendahuluinya, yaitu olehnya dibagi dalam tiga tahap yaitu:40
1. Tahap adanya penawaran dan penerimaaan.
2. Tahap adanya persesuaian pernyataan kehendak antara pihak.
3. Tahap pelaksanaan perjanjian.
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan
membayar sejumlah uang sebagai harganya.41
Untuk terjadinya perjanjian ini cukup apabila kedua belah pihak sudah mencapai
persetujuan tentang barang dan harganya. Pihak penjual mempunyai dua (2) kewajiban pokok
yaitu pertama menyerahkan barangnya serta menjamin pihak pembeli memiliki barang itu tanpa
ada gangguan dari pihak lain dan kedua bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang
tersembunyi. Sedangkan pihak pembeli wajib membayar harga pada waktu dan tempat yang
telah ditentukan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1513 KUH Perdata menyatakan bahwa
"kewajiban utama pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat
sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian."
Berdasarkan definisi tersebut di atas kewajiban membayar harga merupakan kewajiban
yang paling utama bagi pihak pembeli. Pembeli harus menyelesaikan pelunasan harga bersama
39
Hasil wawancara pada tanggal 2 Agustus 20014 dengan I Gusti Nengah Sulendra selaku Kepala Desa
Sembung Gede 40
Salim HS, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of
Understanding (MoU), Cetakan Kedua, PT Sinar Grafika, Jakarta. h. 126 41
R. Subekti, 1979, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta h.161-162
dengan penyerahan barang. Jadi dapat disimpulkan bahwa jual beli tak akan ada artinya tanpa
pembayaran harga. Oleh karenanya sangat beralasan kalau menolak melakukan pembayaran
berarta telah melakukan perbautan hukum. Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang
tersebut sebagai imbalan hak pembeli untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang
dibelinya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian itu tuntas setelah
dilaksanakan hak dan kewajiban oleh para pihak, maka segala akibat hukum dan resikonya
termasuk keuntungannya menjadi beban dan hak pembeli.
Untuk terjadinya perjanjian jual-beli tanah, pada pelaksanaannya, dimana kedua belah
pihak yaitu antara penjual dan pembeli, telah terjadinya kesepakatan dan setuju mengenai benda
dan harga, Si Penjual menjamin kepada pembeli, bahwa, tanah yang akan dijual tersebut, tidak
akan mengalami, sengketa, kepada pembeli, sedangkan pembeli menyanggupi untuk membayar
sejumlah harga yang telah disepakati bersama.
Menurut ketentuan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jual Beli adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan , sedangkan menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sahnya suatu
perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Adanya mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Terlebih dahulu kita lihat lengkapnya Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa
:
“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
meyerahkan suatu kebendaan, dari pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.”
Dari apa yang diuraikan pada Pasal 1457 tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
yaitu bahwa jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai
suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuataan hukum) pada detik tercapainya
sepakat penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentiali) yaitu barang dan
harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini
ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH-Perdata yang berbunyi
: “Jual beli dianggap telah terjadi kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat
tentang barang dan harga meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayàr.”
Salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya “Obligatoir” saja, artinya, jual beli
itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan kewajiban pada kedua belah
pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas
barang yang dijual. Sifat ini nampak jelas dari Pasal 1459 KUH-Perdata, yang menerangkan
bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli selama
penyerahannya belum dilakukan.42
Berbeda dengan jual beli menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum
adat, dimana apa yang dimaksud dengan jual beli bukan merupakan perbuatan hukum yang
merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu :43
1. Harus bersifat tunai, artinya harga yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat
dilakukan jual beli yang bersangkutan.
2. Harus bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang atas obyek perbuatan hukum.
3. Bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditanda tangani akta pemindahan hak
tersebut, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti
dilakukan perbuatan hukum tersebut.
Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walapun tanah belum
diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih diperlukan suatu
perbuatan hukum lain berupa penyerahan yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain
lagi.
42
R. Subekti,1998, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h. 80. 43
Boedi Harsono I, Op. Cit, h. 317
5.3.Cara Penyelesaian yang Dapat Ditempuh, Agar Jual Beli Tanah yang Dilakukan di
Bawah Tangan Memiliki Kekuatan Hukum yang Pasti.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa apapun bentuk jual beli tanah di
bawah tangan yang dilakukan atas dasar saling percaya pada akhirnya akan mengakibatkan
kerugian terhadap pihakpihak yang bersangkutan, seperti pihak-pihak tersebut tidak memiliki
alat bukti yang berkekuatan hukum tetap berupa sertifikat tanah.
Melihat prakteknya Jual beli tanah di bawah tangan di Desa Sembung Gede yang masih
biasa dilakukan. Sebenarnya dari pihak perangkat desa sudah memberi himbauan kepada
masyarakat pada saat melakukan jual beli tanah, agar dilakukan sesuai dengan peraturan yang
berlaku meskipun harus menunggu biaya untuk mensertifikatkan tanahnya.
Untuk mempermudah masyarakat di desa agar jual beli tanah tidak dilakukan dengan
kepercayaan maupun melalui kwitansi sebenarnya di tiap-tiap desa sudah ada cara untuk
membuat alat bukti adanya jual beli tanah. Adapun cara pembuatan alat bukti jual beli tanah di
bawah tangan di desa, yaitu pihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli) datang ke kantor
desa utuk membuat kesepakatan mengukur tanah yang dijual. Kepala desa dan perangkat-
perangkat desa disini juga sebagai saksi. Setelah tanah diukur, kemudian data ditulis dalam buku
desa. Setelah selesai, pembeli wajib membayar uang wajib dan uang sukarela. Uang wajib disini
adalah “Batu-batu”, yaitu uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada kepala desa/ perangkat
desa setelah dilakukan pengukuran tanah dan data-data pengukuran tanah sudah ditulis oleh
perangkat desa. Uang tersebut sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). Sedangkan uang
sukarela adalah uang yang diberikan oleh pembeli kepada kepala desa/ perangkat desa. Uang
sukarela disini mempunyai nilai minimal, yaitu sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
Setelah uang dibayarkan, para saksi yang terdiri dari : tetangga dari tanah yang diukur,
pembeli (suami-istri), penjual (suamiistri), kepala desa dan perangkat-perangkat desa
menandatangani surat pernyataan jual beli tanah tersebut. Jadi hal ini, juga berlaku bagi jual beli
tanah melalui kepercayaan dan jual beli tanah melalui kwitansi.
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, perjanjian yang
menyangkut peralihan hak atas tanah termasuk jual beli tanah, seharusnya dilakukan di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Maka dari itu, dalam melaksanakan transaksi jual beli,
pihak penjual dan pembeli harus datang menghadap bersama-sama ke kantor PPAT, untuk
kemudian membuat Akta Jual Beli Tanah. PPAT adalah Pejabat umum yang dianggap oleh
Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta
peralihan hak atas tanah, termasuk akta jual beli tanah. Apabila transaksi jual beli tanah terjadi di
daerah yang belum/ masih jarang terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), maka dapat
menghadap ke Camat dalam jabatan dan kapasitasnya selaku PPAT sementara. Hal yang perlu
diperhatikan oleh pihak penjual dan pihak pembeli tanah adalah, bahwa PPAT yang akan diminta
membuat akta perjanjian jual beli tanah adalah, PPAT yang berada dalam wilayah kedudukan
dan kewenangannya yang meliputi daerah keberadaan tanah yang dijadikan sebagai obyek
transaksi jual beli tersebut. Adapun proses pembuatan Akta Jual Beli Tanah di Kantor PPAT
adalah sebagai berikut :
1. Persyaratan Pembuatan Perjanjian Jual Beli di hadapan PPAT
Saat menghadap ke PPAT untuk membuat akta perjanjian jual beli tanah, maka ada
beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh pihakpihak terkait, yaitu :
a. Pihak penjual, diharapkan membawa :
1. Sertifikat asli hak atas tanah yang akan dijual.
2. KTP (Kartu Tanda Penduduk)
3. Bukti pembayaran PBB (Pajak Bumi Bangunan)
4. Surat Persetujuan suami/ isteri, bagi yang sudah berkeluarga.
5. KK (Kartu Keluarga).
b. Pihak Pembeli, diharapkan membawa :
1. KTP (Kartu Tanda Penduduk)
2. KK (Kartu Keluarga)
3. Uang pembayaran yang dapat dilakukan secara tunai di hadapan PPAT, atau
surat perintah mengeluarkan uang kepada bank, yang telah disepakati antara
penjual dengan pembeli terkait.
2. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli Tanah
a. Sebelum membuat akta jual beli tanah PPAT harus melakukan pemeriksaan mengenai
keaslian sertifikat ke kantor pertanahan terkait.
b. Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh), apabila harga jual tanah di atas Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) di bank atau kantor pos terkait.
c. Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia
tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas maksimum.
d. Surat pernyataan dari penjual bahwa, tanah yang dimiliki tidak dalam sengketa.
e. PPAT menolak membuat akta jual beli, apabila tanah yang akan dijual sedang dalam
sengketa.
3. Pembuatan Akta Jual Beli Tanah
a. Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual oleh penjual dan calon pembeli, orang
yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
b. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
c. PPAT membacakan akta, dan menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta
tersebut.
d. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli, maka akta ditanda tangani
oleh penjual, calon pembeli, saksisaksi serta PPAT.
e. Akta dibuat dua lembar asli, satu lembar disimpan di kantor PPAT dan satu lembar
hanya disampaikan ke kantor pertanahan, untuk keperluan pendaftaran.
f. Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan yang
merupakan jawaban dari permasalahan sebagai berikut:
1. Kesadaran Masyarakat Desa Sembung Gede akan pentingnya Akta PPAT berdasarkan
dua jenis golongan masyarakat yaitu Golongan dari masyarakat yang mampu
ekonominya dan dariGolongan masyarakat yang tidak mampu ekonominya. Ini terbukti
pada Januari samapai Agustus 2014 terjadi 10 kali jual beli tanah, maka dapat
disimpulkan dari 10 transaksi jual beli tanah, 8 dengan akta jual beli maka lagi 2 transaksi
dilakukan dengan dibawah
2. Status Jual Beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
menurut hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat, yang dimaksud dengan
jual beli bukan merupakan perbuatan hukum yang merupakan perjanjian obligatoir. Jual
beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus
memenuhi tiga (3) sifat bersifat tunai, bersifat terang, dan bersifat riil atau nyata.
3. Cara penyelesaian jual beli tanah di bawah tangan di Desa Sembung Gede terdapat tiga
cara yaitu melalui kepercayaan, selembar kwitansi dan dihadapan Kepala Desa. Untuk
memperoleh alat bukti berupa sertifikat, PPAT membuat akta jual beli terlebih dahulu.
Kemudian dibuat sertifikat tanah yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
6.2.Saran
Dari hasil penelitian yang penulis peroleh , maka penulis memberikan suatu saran
adalah sebagai berikut :
1. Penyuluhan-penyuluhan secara intensif dari Kantor Kepala Desa kepada
masyarakat akan cara-cara mendaftarkan tanah dan pentingnya pendaftaran tanah.
2. Bagi masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah, jika sudah memiliki biaya
segera mendaftarkan tanahnya untuk memperoleh sertifikat. Sertifikat sebagai alat
bukti kepemilikan tanah yang sah. Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku
Al–Rashid, Harun, 1986, Sekilas Tentang Jual–Beli Tanah (Berikut Peraturan–Peraturanya),
Ghia Indonesia, Jakarta.
Harsono, Boedi, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan- Peraturan Hukum
Tanah, Djambatan, Jakarta.
Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, Djambatan, Jakarta.
Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutsell, West Group, ST. Paul,
Minn, Printed in The United States of America.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Nasution, 2007, Metode Riserch, Bumi Aksara, Jakarta.
Notodisoerjo,R. Soegono, 1989, Tata Cara Pengangkatan Pejabat Umum, Intan Pariwara,
Jakarta.
Patrik, Purwahid 1986, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit
UNDIP, Semarang.
Patrik,Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari perjanjian
dan dari Undang-Undang), Mandar Maju Bandun.
Perangin, Effendi, 1987, Praktek Jual Beli Tanah, Rajawali Pers, Jakarta.
Pradjodikoro,Wirjono,1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung.
Ronny Hanitjio, Soemaitro, 1995, Metodelogi Penelitian Hukum Cetakan III, Ghia Indonesia,
Jakarta.
Salehindo, John, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim HS, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of
Understanding (MoU), Cetakan Kedua, PT Sinar Grafika, Jakarta.
Salindeho, Jhon, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta.
Setiawan,R, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soimin, Sudaryo 1994, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta.
Subekti, R 1979, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, R. 1998, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 1997,Metodelogi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Surakhman, Winarno, 1982, Pengantar Penelitian Ilmiah, Tarsito, Bandung.
Syamsudin Meliala,A. Qiram, 1985, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.
Tirtaamidjaja, MR 1970, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta.
Wantjik Saleh, K, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Ghia Indonesia, Jakarta.
Yahya,M. Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
b. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang
lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 1998, tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
LAMPIRAN 1
CV PESETA PENELITIAN
LAMPIRAN 2
DOKUMENTASI
LAMPIRAN 3
LAPORAN PENGGUNAAN DANA PENELITIAN
A. Honor Panitia
No Nama Honor/Bula
n
Alokasi
Waktu
Jumlah
1 I Ketut Tjukup, SH. MH
Rp. 250,000 4 Rp.
1.000.000
2 I Ketut Artadi SH., SU
Rp. 200.000 4 Rp.800.000
3 Nyoman A. Martana, SH., MH
Rp. 200.000 4 Rp.800.000
4 I Ketut Sudjana, SH., MH
Rp. 200.000 4 Rp.800.000
5 Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH.,
M.Kn
Rp. 200.000 4 Rp.800.000
JUMLAH Rp.
4.200.000
B. Belanja Barang
No Uraian Volume Harga
Satuan
(Rp)
Jumlah (Rp)
1 Kertas HVS A4 2 Rem 75.000 150.000
2 Tinta Printer 4 Catride 250.000 1.000.000
3 Flash Disk 1 bh 123.000 123.000
3 CD 5 Bh 7.000 35.000
4 Bolpoin 5 Bh 5.000 25.000
5 Note Book 5 Bh 7.200 36.000
6 Foto Copy 700 lbr 200 140.000
7 Jilid Laporan 8 12.000 96.000
JUMLAH Rp. 1.605.000
C. Perjalanan dan Konsumsi
No Kegiatan Kuantitas Peruntuka
n
Harga
Satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
1 Konsusms
i
6x1 Penjajagan
lokasi
Pengabdian
Masyarakat
15.000 90.000
2 Biaya
perjalanan
1x1 Penjajagan
lokasi
Pengabdian
Masyarakat
100.000 100.000
3 Konsusms
i
6x1 Pengabdian
Kepada
Masyarakat
15.000 90.000
4 Biaya
perjalanan
1x1 Pengabdian
Kepada
Masyarakat
100.000 100.000
5 Konsusms
i
6x1 Pengabdian
Kepada
Masyarakat
15.000 90.000
6 Biaya
perjalanan
1x1 Pengabdian
Kepada
Masyarakat
100.000 100.000
JUMLAH Rp. 570.000
LAMPIRAN 4
LOG BOOK PENELITIAN
No Volume Kegiatan Waktu Pelaksanaan
1 Rapat rencana pembuatan
proposal pengabdian
24 Juli 2014
2 Rapat penentuan lokasi
penelitian
28 Juli 2014
3 Penjajagan lokasi
penelitian ke Desa
Sembung Gede, Kecamatan
Kerambitan, Kabupaten
Tabanan
4 Agustus 2014
4 Rapat Pembuatan
instrument penelitian
14 Agustus 2014
5 Pengumpulan data primer
dengan wawancara
28 Agustus 2014
6 Pengumpulan data primer
dengan wawancara
3 September 2014
7 Pengumpulan data primer
dengan wawancara
10 September 2014
8 Pengolahan data primer
dengan wawancara
26 September 2014
9 Mencari data skunder
dengan membeli buku dan
pinjam di perpustakaan
1-3 Oktober 2014
10 Menganalisa Jual Beli
tanah yang dilakukan tanpa
akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT)
9 Oktober 2014
11 Menganalisa penyelesaian
yang dapat ditempuh oleh
pembeli, agar jual beli
tanah yang dilakukan tanpa
akta PPAT dapat
mempunyai kekuatan
hukum yang pasti
10 Oktober 2014
12 Penggandaan dan
penyerahan laporan hasil
penelitian
21 Oktober 2014
LAMPIRAN 5
NOTA DAN KWITANSI