Laporan penelitian 2013.pdf

104
LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF REKAYASA MATERIAL ABSORBER GELOMBANG MIKRO BERBASIS LANTANUM MANGANAT PENELITI Ketua SITTI AHMIATRI SAPTARI 19770416 200501 2 008 Anggota PRIYAMBODO 19800507 200910 1 002 Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013

Transcript of Laporan penelitian 2013.pdf

Page 1: Laporan penelitian 2013.pdf

LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF

REKAYASA MATERIAL ABSORBER GELOMBANG

MIKRO BERBASIS LANTANUM MANGANAT

PENELITI

Ketua

SITTI AHMIATRI SAPTARI

19770416 200501 2 008

Anggota

PRIYAMBODO

19800507 200910 1 002

Pusat Penelitian dan Penerbitan

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

(LP2M)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013

Page 2: Laporan penelitian 2013.pdf

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

ii

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR TABEL viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Batasan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1. Lantanum Manganat 5

2.1.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat 5

2.1.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat 7

2.1.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum

Manganat 10

2.2. Struktur Kristal 12

2.2.1. Kisi Kristal 13

2.2.2. Parameter Kisi 14

2.2.3. Sistem Kristal 15

2.2.4. Indeks Miller 18

2.2.5. Jarak Bidang Kristal 19

2.3. Teori Dasar Sinar X 19

Page 3: Laporan penelitian 2013.pdf

2.3.1. Brehmstrahlung 22

2.3.2. Sinar X Karakteristik 23

2.3.3. X Ray Diffractometer (XRD) 24

2.4. Metode Analisis Rietveld 27

2.4.1. Prinsip Dasar 29

2.4.2. Persamaan Profil Pola Difraksi 30

2.5. Magnetisasi Material 32

2.6. Teori Double Exchange 35

2.7. Teori Interaksi Superexchange 38

2.8. Ligand Field Theory (LFT) 39

2.9. Mechanical Alloying 45

2.10. Mekanisme Absorpsi Gelombang Elektromagnet 48

2.11. Gelombang Mikro 52

2.12. Scanning Electron Microscope (SEM) 53

BAB 3 METODE PENELITIAN 57

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 57

3.2. Alat dan Bahan 57

3.3. Analisis Data 59

3.3.1. Thermogravimetric Analysis (TGA) 59

3.3.2. Difraksi Sinar X (XRD) 60

3.3.3. SEM 61

3.3.4. Permagraf 62

3.3.5. VNA 62

3.4. Diagram Alir Penelitian 63

Page 4: Laporan penelitian 2013.pdf

3.5. Jadwal Penelitian 64

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 65

4.1. Karakterisasi TGA 65

4.2. Karakterisasi SEM 66

4.3. Karakterisasi Difraksi Sinar X (XRD) 69

4.3.1. XRD Sampel La0,67Ba0,33MnO3 69

4.3.2. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0.98Ni0.02O3 72

4.3.3. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0.96Ni0.04O3 74

4.3.4. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0.94Ni0.06O3 76

4.4. Karakterisasi Sifat Magnet 79

4.5. Karakterisasi Sifat Absorpsi Sampel La0,67Ba0,33Mn0.94Ni0.06O3 82

BAB 5 KESIMPULAN 88

DAFTAR PUSTAKA 89

PEMAKAIAN ANGGARAN DANA 92

CURICULUM VITAE

Page 5: Laporan penelitian 2013.pdf

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur perovskite ideal 5

Gambar 2.2. Diagram fase La1-x CaxMnO3 8

Gambar 2.3. Diagram fase La1-xBaxMnO3 9

Gambar 2.4. Diagram fase La1-xSrxMnO3 10

Gambar 2.5. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang

mikro pada La0,6Sr0,4MnO3 11

Gambar 2.6. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro

pada La0,8Ba0,2MnO3 12

Gambar 2.7. Sistem dan kisi kristal 13

Gambar 2.8. Parameter kisi 14

Gambar 2.9. Tujuh sistem kristal dan 14-kisi bravais 16

Gambar 2.10. Bidang kristal pada berbagai indeks miller 18

Gambar 2.11. Skema produksi sinar-X 21

Gambar 2.12. Sinar-X bremsstarhlung 22

Gambar 2.13. Sinar-X karakteristik 23

Gambar 2.14. Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif 25

Gambar 2.15. Hamburan sinar-X pada kristal 26

Gambar 2.16. Skema XRD 27

Gambar 2.17. Kurva Histerisis 34

Page 6: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.18. Skema Teori Double Exchange (DE) 37

Gambar 2.19. Mekanisme interaksi superexchange 39

Gambar 2.20. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan

kompleks 40

Gambar 2.21. Splitting octahedral pada level d5 41

Gambar 2.22. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk

d4 sistem 43

Gambar 2.23. Struktur elektronik dari Mn3+

dan Mn4+

sebelum dan

setelah adanya distorsi Jahn-Teller 45

Gambar 2.24. Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying 46

Gambar 2.25. Aplikasi metode mechanical alloying 47

Gambar 2.26. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling 48

Gambar 2.27. Skema absorpsi gelombang electromagnet 49

Gambar 2.28. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik 50

Gambar 2.29. Interaksi antara electron primer dengan benda 54

Gambar 2.30. Skematis pembentukan citra pada SEM 56

Gambar 3.1. TGA 60

Gambar 3.2. Alat Difraksi sinar-X (XRD) Shimadzu-7000 61

Gambar 3.3. SEM 61

Gambar 3.4. Permagraf 62

Gambar 3.5. VNA 62

Gambar 4.1. Kurva TGA campuran bahan dasar setelah milling 66

Gambar 4.2. SEM sampel La0,67Ba0,33MnO3 67

Gambar 4.3. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 67

Gambar 4.4. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 68

Page 7: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.5. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 68

Gambar 4.6. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3 70

Gambar 4.7. Refinement sampel La0,67Ba0,33MnO3 71

Gambar 4.8. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 72

Gambar 4.9. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 73

Gambar 4.10. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 75

Gambar 4.11. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 76

Gambar 4.12. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 77

Gambar 4.13. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 78

Gambar 4.14. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3 79

Gambar 4.15. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 81

Gambar 4.16. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 82

Gambar 4.17. Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik 83

Gambar 4.18. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33MnO3 84

Gambar 4.19. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 85

Gambar 4.20. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 86

Gambar 4.21. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 87

Page 8: Laporan penelitian 2013.pdf

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tujuh sistem kristal 17

Tabel 2.2. Energi ionisasi beberapa atom ringan 20

Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro 53

Tabel 3.1. Bahan Dasar Penelitian 59

Page 9: Laporan penelitian 2013.pdf

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini, polusi interferensi gelombang elektromagnet

cukup serius muncul akibat perkembangan yang pesat dari bisnis alat komunikasi,

seperti telepon selular dan sistem radar [1]. Hal ini dapat menyebabkan

terganggunya sistem peralatan berbasis elektronik dan sistem keamanan yang

sangat vital. Diyakini pula bahwa radiasi gelombang mikro yang berasal dari

sinyal telepon selular dapat memicu terjadinya sel kanker [2]. Fenomena tersebut

menarik minat banyak peneliti untuk mengembangkan material yang mampu

menyerap gelombang elektromagnet. Material absorber ini dapat mengubah

energi gelombang elektromagnet menjadi energi panas sehingga material ini

sangat bermanfaat untuk melindungi suatu objek dari gelombang elektromagnet

yang tidak diinginkan [3].

Material absorber secara umum dibagi menjadi dua tipe yaitu material

dielektrik dan material magnetik. Magnet lunak seperti ferit tipe spinel dan

campuran feromagnet adalah material yang biasa digunakan sebagai absorber [4].

Namun pada umumnya saat daerah frekuensi 1-5 GHz, absorber seperti ferit tipe

spinel tidak dapat berfungsi dengan baik karena permeabilitasnya menurun

dengan drastis seperti yang ditentukan oleh Snoek (Snoek’s limit) [5]. Oleh

karena itu banyak peneliti melakukan riset untuk merekayasa atau pun mencari

material baru yang memiliki permeabilitas tetap besar ketika daerah frekuensi

tinggi.

Page 10: Laporan penelitian 2013.pdf

Material lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr, Ba, Ca) telah beberapa

dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para peneliti. Hal ini disebabkan

karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, serta adanya fenomena

magnetoresistansi yakni perubahan resistansi listrik ketika ada medan magnet

eksternal [6,7]. Sifat magnetoresistensi ini diaplikasikan untuk sensor magnetik

dan juga penyimpanan data (data storage) [8]. Selain itu, ditemukan pula bahwa

lantanum manganat dapat menjadi kandidat yang potensial sebagai material

penyerap gelombang mikro pada frekuensi tinggi.

Pada tahun 2002 Li dkk [9] mensintesis La1-xSrxMnO3 dengan metode

solid state reaction kemudian absorbsi gelombang mikronya dikarakterisasi pada

rentang frekuensi 8-14 GHz. Selanjutnya terdapat penelitian yang mendoping

material La1-xSrxMnO3 dengan ion Fe sehingga menjadi La1-xSrxMn1-yFeyO3 [10-

12]. Penelitian tersebut menggunakan metode sol-gel dan sifat absorbsi

gelombang mikronya dipelajari dengan rentang frekuensi 2-18 GHz. Dari hasil

pendopingan tersebut diperoleh bandwidth dan intensitas gelombang mikro yang

lebih baik. Zhou dkk [13] melaporkan bahwa nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3

memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18 GHz, dengan

puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing diatas 10 dB

pada frekuensi 1,8 GHz.

Penelitian tentang material absorber gelombang mikro terus mengalami

perkembangan dengan ditemukannya berbagai material baru atau pun rekayasa

material. Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan kami tertarik untuk

melakukan sintesis La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3.

Page 11: Laporan penelitian 2013.pdf

1.2. Rumusan Masalah

Kriteria sebuah material untuk dapat dijadikan material absorber

gelombang elektromagnet salah satunya adalah bahan tersebut memililki nilai

permeabilitas dan permitivitas setinggi mungkin dan saturasi magnet yang tinggi.

Material lanthanum manganat diketahui memiliki criteria yang sesuai untuk

keperluan sebagai bahan absorber gelombang elektromagnet terutama setelah

adanya substitusi ion divalent terhadap La. Namun material ini masih memiliki

permeabilitas yang rendah. Oleh karena itu masih diperlukan rekayasa material

lanthanum manganat agar dapat menjadi material absorber gelombang

electromagnet yang unggul.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan

a. Untuk menganalisis proses pembentukan sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3.

b. Untuk menganalisis struktur kristal sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3.

c. Untuk menganalisis karakteristik magnetik sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3.

d. Untuk menganalisis pengaruh dopan Ni pada sampel La0,67Ba0,33Mn1-

xNixO3 terhadap kinerja sampel sebagai material absorber gelombang

mikro .

1.4. Batasan Penelitian

Kajian penelitian hanya dibatasi pada pembuatan sampel dengan variasi

konsentrasi nilai x = 0 – 0,06. Selanjutnya sampel hanya dikarakterisasi dengan

Page 12: Laporan penelitian 2013.pdf

TGA (Thermogravimetry Analyser), XRD (X Ray Diffraction), SEM (Scanning

Electron Microscope), Permagraf, dan VNA (Vector Network Analyser).

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di lakukan dengan harapan mendapatkan material berbasis

lantanum manganat yakni La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3 yang dapat diaplikasikan

sebagai material penyerap gelombang mikro.

Page 13: Laporan penelitian 2013.pdf

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lantanum Manganat

Lantanum manganat, La1-xAxMnO3, dapat dianggap sebagai sistem biner

yang terdiri dari larutan padat LaMnO3 dan AMnO3, untuk x = 0 dan x = 1. G.H

Jonker dan J.H Van Saten [14] adalah pelopor penelitian bahan perovskite pada

tahun 1950, dengan menerbitkan kilasan dari sistem biner bahan perovskite

seperti LaMnO3 – CaMnO3, LaMnO3 – SrMnO3, dan LaMnO3 – BaMnO3.

2.1.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat

Struktur kristal lantanum manganat merupakan turunan dari struktur

perovskite, yang memiliki formula umum ABO3. Gambar 2.1 menunjukkan

struktur perovskite kubik yang ideal. Dalam lantanum manganat kedudukan A

diisi oleh ion La3+

dan jika x>0 maka disubstitusi kation Ca2+

, Sr2+

, Ba2+

, dan

lain-lain. Sedangkan kedudukan B diisi oleh ion Mn.

Gambar 2.1. Struktur perovskite ideal [15]

Page 14: Laporan penelitian 2013.pdf

Kestabilan struktur perovskite tergantung pada ukuran ion kedudukan A

dan B. Jika ada ketidakcocokan antara ukuran ion kedudukan A dan B dalam kisi

dimana mereka berada maka stuktur perovskite akan mengalami distorsi.

Goldschmidt [16] mendefinisikan faktor toleransi sebagai berikut

(2.1)

Dengan rA dan rB adalah jari-jari ion kedudukan A dan kedudukan B, secara

bertuturut-turut., dan rO adalah jari-jari ion oksigen. Struktur perovskite kubik

yang ideal didapatkan jika harga t*=1.

.Norby dkk [17] melaporkan bahwa material dasar dari lantanum

manganat, LaMnO3, memiliki struktur ortorombik pada suhu ruang. Berbeda

halnya dengan lanthanum manganat yang telah didoping oleh ion lain,

strukturnya tergantung dari ion dopingnya, variasi konsentrasi ion doping,

temperatur, dan lain-lain. Untuk La1-xSrxMnO3 ketika harga x sekitar 0,1 memiki

struktur ortorombik namun saat x=0,175 memiliki struktur rombohedral [18]. Ju

dkk [19] memperoleh struktur La0,62Ba0,38MnO3 adalah kubik dengan parameter

kisinya 3,906 Å. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sergei [20] La1-

xBaxMnO3, saat 0≤x≤0,05 memiliki struktur ortorombik, saat 0,1≤x≤0,25

strukturnya rombohedral sedangkan saat 0,27≤x≤0,5 strukturnya kubik.

Transformasi fasa struktur ini biasanya disertai dengan perubahan fasa magnetik

dan elektriknya.

Page 15: Laporan penelitian 2013.pdf

2.1.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat

Karakteristik mendasar dari manganat dengan valensi campuran adalah

hubungan yang dekat antara transport elektronik dan kemagnetan. Ciri utamanya

adalah transisi simultan dari antiferomagnetik dengan sifat isolator ke

feromagnetik dengan sifat konduktor akibat adanya substitusi pada kedudukan A.

Teori dasar dari fenomena ini telah dikemukan oleh Zener tahun 1951 [21] , yang

memperkenalkan konsep double exchange, yaitu terjadi karena transfer elektron

yang bergantung pada spin dari ion Mn3+

ke Mn4+

pada tetangga terdekat melalui

ion O2-

. Teori ini selanjutnya diperbarui oleh Anderson dan Hasegawa tahun 1953

[22] dan de Gennes tahun 1960 [23] yang melibatkan distorsi Jahn-Taller.

Schiffer dan Ramirez [24] pada tahun 1995 melakukan penelitian tentang

diagram fase magnetik dari La1-x CaxMnO3 dengan variasi konsentrasi 0≤x≤1

(Gambar 2.2). Ketika x=0 dan x=0,1 bahan bersifat feromagneti isolator pada

temperature rendah dengan temperature Currie sekitar 160K. Diantara x=0,2 dan

x=0,45 bahan bersifat feromagnetik logam dan menunjukkan fenomena colossal

magnetoresistance (CMR). Untuk x lebih besar dari 0,45 bahan bersifat

antiferomanetik isolator.

Page 16: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.2. Diagram fase La1-x CaxMnO3 [24]

Penelitian diagram fase magnetik La1-xBaxMnO3 (Gambar 2.3) dilakukan

oleh Ju dkk [19]. Sampel keramik padatan La1-xBaxMnO3 (x=0; 0,06; 0,13; 0,19;

0,25; 0,31; 0,38; 0,44; 0,5; 0,63; 0,75; 0,88; 1,0) dibuat dengan metode solid state

reaction. Bahan La2O3, BaCO3, dan MnCO3 dicampur selanjutnya dipanaskan

pada suhu 1100oC-1300

oC kemudian dikalsinasi pada suhu 1400

oC-1550

oC. Sifat

magnetic dikarakterisasi dengan menggunakan SQUID (superconducting quantum

interference device). Ditemukan bahwa bahan bersifat feromagnetik untuk seluruh

harga x, namun terdapat tiga fase. Untuk wilayah konsentrasi doping yang rendah

bahan bersifat feromagnetik isolator, wilayah 0,2≤x≤0,5 bahan bersifat

feromagnetik logam, sedangkan untuk konsentrasi doping yang tinggi bahan

bersifat feromagnetik dengan multiphase.

Page 17: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.3. Diagram fase La1-xBaxMnO3 [19]

Urushibara dkk [18] pada tahun 1995 melakukan pendopingan Sr

terhadap LaMnO3, ketika doping Sr kecil bahan bersifat isolator. Saat x mencapai

titik kritis yakni sekitar 0,17 bahan bersifat metalik diserta dengan munculnya

sifat feromagnetik. Digram fase dari La1-xSrxMnO3 dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Page 18: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.4. Diagram fase La1-xSrxMnO3 [18]

2.1.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat

Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [25] menemukan bahwa

nanopartikel La0,6Sr0,4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu

menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai

12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41,1 dB pada frekuensi 8,2 GHz dengan

ketebalan 2,2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada

daerah frekuensi 5,5-11,3 GHz (Gambar 2.5). Dalam laporannya Cheng juga

mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya

semakin baik.

Page 19: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.5. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang

mikro pada La0,6Sr0,4MnO3 [25]

Zhou dkk pada tahun 2007 [13] melaporkan bahwa nanopartikel

La0,8Ba0,2MnO3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18

GHz, dengan puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing

diatas 10 dB pada frekuensi 1,8 GHz. Nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 dibuat dengan

metode sol-gel dari bahan dasar La2O3, Mn(C2H4O2)2, dan Ba(OH)2 dengan berat

fraksi mol 2:5:1. Bahan dasar tersebut dicampur bersama pada suhu 70oC selama

6 jam dan selanjutnya dikalsinasi pada suhu 800oC selama 2 jam. Kurva

hubungan antara frekuensi dan flection lossnya dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Page 20: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.6. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro

pada La0,8Ba0,2MnO3 [13]

2.2. Struktur Kristal

Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat

dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan

atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang

teratur (kristal) [26].

Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya

membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi,

sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya,

adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar

keramik dan beberapa polimer.

Page 21: Laporan penelitian 2013.pdf

2.2.1. Kisi kristal

Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan

membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik

mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat

dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut

dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi

ruang. Gambar 2.1 adalah ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem

kristal [27].

Gambar 2.7 Sistem dan kisi kristal

Page 22: Laporan penelitian 2013.pdf

2.2.2. Parameter Kisi

Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut

dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi

sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut

disebut dengan α, β, γ . Gambar 2.8 adalah ilustrasi dari parameter kisi.

Gambar 2.8 Parameter kisi

Page 23: Laporan penelitian 2013.pdf

2.2.3. Sistem kristal

Terdapat tujuh sistem kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi

bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan

pada karakteristik unit selnya, antara lain sifat-sifat vektor basis, sudut antar

vektor basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel

terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl)

dan konstanta kisi. Pada gambar 2.9 ditunjukkan tujuh system krsital berikut

pengembangan empat belas kisi bravaisnya.

Page 24: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.9 Tujuh sistem kristal dan 14-kisi bravais

Page 25: Laporan penelitian 2013.pdf

Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal

Sistem

Kristalografi

Panjang sumbu dan

sudut

Kisi Bravais Simbol

Kisi

Triklinik a ≠ b ≠ c

α ≠ β ≠γ =90 0

Simple P

Monoklinik a ≠ b ≠ c

α = β =90 0

≠ γ ataua ≠

b ≠ c

α = γ = 900 ≠ β

Simple

Base – centered

P

C

Ortorombik a ≠ b ≠ c

α = β =γ =90 0

Simple

Base centered

Face centered

Body centered

P

C

F

I

Tetragonal a = b ≠ c

α = β =γ =90 0

Simple

Body centered

P

I

Trigonal/

Rombohedral

a = b = c

α = β =γ ≠ 90 0 < 120

0

Simple P

Hexagonal a = b ≠ c

α = β = 90 0 γ =120

0

Simple P

Kubus a = b = c

α = β =γ =90 0

Simple

Face centered

Body centered

P

F

I

5

Page 26: Laporan penelitian 2013.pdf

2.2.4. Indeks Miller

Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vektor basis a, y adalah fraksi

perkalian dari vektor b dan z adalah perkalian dari vektor basis c, maka invers dari

ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga

ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set

bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi simbol (hkl). Hubungan ketiga

indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg.

Gambar 2.10 Bidang kristal pada berbagai indeks miller

Page 27: Laporan penelitian 2013.pdf

2.2.5. Jarak Bidang Kristal ( d )

Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus

mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar

bilangan diberi symbol dhkl , maka secara matematis hubungan antara dhkl dengan

indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai

berikut:

(2.2)

dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller.

2.3. Teori Dasar Sinar-X

Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik

yang memiliki panjang gelombang antara 0,01 – 100 Ǻ. Karena berbentuk

gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-X ini dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan [28] berikut:

(2.3)

Dengan h konstanta planck ( 6,626 x 10-34

[J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 108

[m/s ) dan λ sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-X dengan

panjang gelombang 1 Ǻ ( 10-10

m ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x 10-15

Joule atau 12400,8 eV. Dengan energi yang demikian besar, sinar-X dapat

mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada Tabel 2.2

[29]

Page 28: Laporan penelitian 2013.pdf

Tabel 2.2 Energi ionisasi beberapa atom ringan

Atom Energi Ionisasi (eV)

I II III IV V VI VII

H 14 1

He 25 55 4

Li 5 76 123 9

Be 9 18 154 218 16

Be 8 25 38 260 341 25

C 11 24 48 64 393 492 36

N 14 30 48 78 98 523 668 49

Sinar-x ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika

Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan

dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria

(sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan

tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan

menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai 35000 Volt dengan cara

memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia

menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat

ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi.

Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan

fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini

Page 29: Laporan penelitian 2013.pdf

belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-X. Daya tembus sinar-X

akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas

yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron.

Pada Gambar 2.11 diperlihatkan skema dari produksi sinar-X didalam

sebuah tabung katoda. Beda potensial Ua akan mempercepat gerakan elektron dari

katoda ke target anoda, sedangkan Uh menentukan banyaknya elektron yang

terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda

sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika

mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah

menjadi sinar-X.

Gambar 2.11 Skema produksi sinar-X

Page 30: Laporan penelitian 2013.pdf

2.3.1. Brehmsstrahlung

Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan

mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan

listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik

dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami

percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau “breaking radiation” merupakan

produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan

kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan

merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah

mengalami penghentian. Gambar 2.9 menjelaskan bagaimana proses terjadinya

sinar-X bremsstarhlung dan spektrum sinar-X tungsten pada berbagai potensial

pemercepat [29].

Gambar 2.12 Sinar-X bremsstarhlung

Page 31: Laporan penelitian 2013.pdf

2.3.2 Sinar-X Karakteristik

Pada gambar 2.13 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada

panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini

timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan

target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah

diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi.

Gambar 2.13 Sinar-X karakteristik

Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi,

dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron

tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang

lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut

Page 32: Laporan penelitian 2013.pdf

dengan memancarkan sinar-X yang memiliki energi sebanding dengan selisih

level energi elektronnya.

Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada

kulit kulit-K (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi

kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan

selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-K . Sinar-X yang

dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-X Kα dan sinar-X Kβ untuk

dari M ke K. Sedangkan pada kulit-L akan menghasilkan sinar-X Lα untuk

transisi M ke L dan Lβ untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan

kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi

dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan

seterusnya sehingga dihasilkan sinar-X dengan berbagai panjang gelombang.

2.3.3. X-Ray Diffractometer (XRD)

Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang

sinar-X ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan

alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan

sinar-X dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi.

Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masing-

masing atom dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang

mengenainya. Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan

dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah

Page 33: Laporan penelitian 2013.pdf

tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain

berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang

datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap

komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913,

yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg.

Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan

interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi

konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena

mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang

didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat

pada Gambar 2.14

Gambar 2.14 Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif

Page 34: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.15 Hamburan sinar-X pada kristal

Syarat yang diperlukan agar sinar-x membentuk interaksi konstruktif dapat

dilihat pada Gambar 2.15 diatas. Suatu berkas sinar-x dengan panjang gelombang

λ jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang Bragg yang jarak

diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang pertama dan atom B

pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan menghamburkan sebagian

berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi konstruktif hanya terjadi antara

sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak jalannya tepat λ, 2 λ, 3 λ dan

seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus n λ, dengan n sebagai bilangan bulat.

Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah

- Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama

- 2d sin θ = n λ ; n = 1, 2, 3, ... dst

karena sinar II harus menempuh 2d sin θ lebih jauh dari sinar I,

Page 35: Laporan penelitian 2013.pdf

bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan.

Gambar 2.16 Skema XRD

2.4. Metode Analisis Rietveld

Metode tradisional untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif pada

teknik Difraksi sinar-X biasanya melibatkan pengukuran intensitas dari puncak

yang terpilih dan membandingkannya dengan data standar seperti International

Committee Difraction Data (ICDD). Bagaimanapun, metoda ini sangat

membosankan, disamping memerlukan data standar yang sangat bervariasi pada

saat muncul keganjilan intensitas yang disebabkan oleh penyimpangan sudut.

Sehingga terkadang hasil analisisnya sulit untuk dipertanggungjawabkan.

Page 36: Laporan penelitian 2013.pdf

Disamping itu pula metode ini tak dapat lagi memberikan hasil yang akurat jika

terdapat banyak puncak-puncak yang saling tumpang tindih (overlap) sehingga

akan menyebabkan hilangnya rincian informasi yang terkandung di dalam profil

puncak difraksi tersebut. Dengan demikian diperkenalkan metode baru untuk

menganalisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk.

Dasar untuk analisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk secara

lengkap pertama kali diperkenalkan oleh Rietveld tahun 1969. Rietveld

menunjukkan bahwa kemungkinan mereplika hasil sebuah pengukuran pola

difraksi dengan pola hitungan/kalkulasi. Kelebihannya adalah di kala terjadi

kesalahan yang disebabkan oleh penyimpangan intensitas dari preparasi cuplikan

atau ketidaksempurnaan model struktur cenderung akan meninggalkan sisa

intensitas baik negative maupun positif selama factor-faktor dari kalkulasi

tersebut tidak diubah oleh Taylor tahun 1991. Kemudian para peneliti lain seperti

Hewat tahun 1973, Wiles & Young tahun 1981, Will, Huang dan Parrish tahun

1983, Hill dan Howard tahun 1986, dan Taylor tahun 1991 melengkapi hasil

refinement program Rietveld ini dengan memberikan sebuah parameter kualitas.

Setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai satu pengamatan tunggal

yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang

berbeda. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah

kontribusi intensitas akibat overlap dapat dihitung berdasarkan nilai parameter-

parameter yang didapat dengan asas perhitungan Siroquant. Siroquant adalah

suatu program analisis multi fasa jenis Rietveld yang dapat mereplika pola

difraksi hasil pengukuran/observasi dengan memanfaatkan least-square fitting

routine, yaitu melakukan penyesuaian faktor skala sampai pola yang dihitung

Page 37: Laporan penelitian 2013.pdf

terbaik mendekati pola difraksi yang terukur. Sehingga perbedaan yang dihasilkan

dari pola difraksi observasi dan kalkulasi ditandai dengan derajat tingkat

replikasinya. Derajat tingkat replika (degree of fit) dilambangkan dengan sebuah

parameter statistik χ2 (chi-squared). Idealnya nilai dari chi-squared χ

2 = 1. Namun

nilai ini sangat sulit dicapai, umumnya kurang dari 3. Namun program Rietveld

versi Izumi (1994) memberikan parameter lain, dimana goodness of fit yang

dilambangkan dengan parameter S terbaik kurang dari 1,3 [30].

2.4.1. Prinsip Dasar

Prinsip dasar analisis Rietveld adalah mencocokkan (fitting) profil puncak

perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil tersebut

dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear

yang diberi syarat batas. Jadi analisis Rietveld tidak lain adalah problem optimasi

fungsi non linear dengan pembatas (constraints). Sehingga minimumkan fungsi

obyektif dapat dinyatakan sebagai berikut :

2

1

( ) ( ) ( )N

i i i

i

f x w y o y c

(2.4)

dengan ( 1/ ( )) dan ( )i i iw y o y o berturut-turut adalah faktor bobot (weighting

factor) dan intensitas pengamatan (observation) pada posisi 2 i . Sedangkan yi(c)

merupakan intensitas perhitungan (calculation).

Page 38: Laporan penelitian 2013.pdf

2.4.2. Persamaan Profile Pola Difraksi

Fungsi intensitas secara fisis yang dinyatakan :

2( ) ( ) ( )k k kI s F hkl ML (2.5)

dengan s, Fk(hkl), M, dan L berturut-turut adalah factor skala, factor struktur,

multiplisitas, dan faktor Lorentz-polarization. Persamaan tersebut menyatakan

bahwa banyaknya elektron akan didifraksikan hanya jika sudut hamburan ()

sama dengan sudut Bragg (k ). Jadi fungsi intensitas tidak lain adalah persamaan

intensitas garis. Namun pada kenyataannya bahwa pengukuran intensitas difraksi

tersebut tidak terbentuk garis tetapi berupa puncak-puncak Bragg yang melebar.

Berdasarkan hasil pengembangan program analisis Rietveld ini bahwa

fungsi bentuk puncak merupakan fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi,

yakni kombinasi linear dari fungsi Gauss dan fungsi Lorentz dengan tinggi

puncak dan lebar penuh setengah tinggi puncak maksimum (FWHM) tidak sama.

Fungsi pseudo-Voigt yang telah dimodifikasi dituliskan sebagai berikut :

2

2 2

2 22 exp 4ln 2

( )

2 22 21 1 4 1

( ) tan

k

k

kk

k k

G CH G

AtH L

(2.6)

dengan

11

2 (1 ) ( )( )

4ln 2 2

kk

H LC H G

(2.7)

Page 39: Laporan penelitian 2013.pdf

12 2( ) (tan ) (tan )k k s k sH G U C V C W

(2.8)

( )( ) k

k

H GH L

(2.9)

Pada persamaan-persamaan (2.6) hingga (2.9) di atas, = fraksi

komponen Gauss, ( )kH G = FWHM komponen Gauss, ( )kH L = FWHM

komponen Lorentz, 0sC atau 0,6 dan 2

2 21

tank

k

At

= faktor koreksi

bentuk puncak asimetris. Faktor koreksi bentuk asimetris perlu diberikan karena

pada sudut hamburan yang sangat rendah dan sangat tinggi, puncak-puncak

difraksi menjadi tidak simetris akibat terbatasnya divergensi vertikal berkas. A =

parameter asimetris dan t = konstanta yang diberi nilai +1, 0 atau -1 tergantung

pada apakah selisih (2 2 )k berturut-turut positif, nol atau negatif.

Persamaan (2.8) menyatakan ketergantungan ( )kH G pada k , U V dan W

disebut parameter FWHM. Bila korelasi antara parameter-parameter FWHM

sangat tinggi, maka sC sebaiknya diberi nilai 0,6. Dalam persamaan (2.6)

terdapat lima buah parameter variabel yakni : U, V, W, dan . Fungsi bentuk

puncak dapat diubah-ubah tergantung pada berapa nilai parameter . Jika = 1

bentuk puncak memenuhi fungsi Gauss dan bentuk puncak memenuhi fungsi

Lorentz jika diberi nilai 0. Parameter variabel memiliki daerah nilai : 0 1 .

Page 40: Laporan penelitian 2013.pdf

Untuk pola difraksi neutron, profile puncak difraksinya tepat memenuhi fungsi

Gauss ( = 1).

Dengan demikian nilai intensitas profile pola difraksi pada posisi 2 i

dapat dihitung dengan mengalikan persamaan (2.4) dengan persamaan (2.6),

setelah dikoreksi dengan fungsi latar belakang ( )iby c dan fungsi orientasi

“preferred” kP , diperoleh :

2( ) ( ) ( ) (2 ) ( )i k k k k i ib

k

y c s F hkl M P L G y c (2.10)

k

melambangkan penjumlahan jika terdapat puncak-puncak Bragg yang saling

tumpang tindih. Penjumlahan dilakukan terhadap semua refleksi yang dianggap

masih dapat menyumbangkan intensitasnya pada ( )iy c [28].

2.5. Magnetisasi Material

Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, maka material

tersebut akan mengalami magnetisasi. Momen magnet persatuan volume yang

terbentuk dalam material disebut magnetisasi M. Pada suatu material dengan n

magnetic dipole atomic elementer persatuan volume dengan masing-masing m

momen magnet, maka saat momen-momen ini tersusun secara paralel akan

memiliki magnetisasi yang disebut magnetisasi saturasi M [31]. Parameter yang

penting adalah suseptibilitas magnetic , yang menyatakan kualitas dari suatu

material magnetic, yang dirumuskan :

Page 41: Laporan penelitian 2013.pdf

(2.11)

dimana H adalah kuat medan magnet eksternal.

Medan magnet dapat di deskripsikan sebagai dua vektor, yaitu induksi

magnet B dan medan magnet H yang memiliki hubungan seperti pada persamaan

dalam kondisi vakum berikut ini

(2.12)

Dimana adalah permeabilitas pada ruang vakum (4 x 10-7

Hz/m)

Ketika sebuah material diletakkan pada medan magnet, maka material tersebut

akan mengalami magnetisasi. Magnetisasi ini dinyatakan dengan vektor M, yang

menyatakan besaran momen magnet persatuan volume. Induksi magnetik didalam

material dinyatakan dengan

(2.13)

Jika magnetisasi diinduksi oleh medan magnet H, maka magnetisasi yang ada

akan berbanding lurus dengan medan magnet, yaitu :

(2.14)

Dimana koefisien disebut suseptibilitas magnetic material. Jadi persamaan B

dan H dapat dinyatakan dengan

Page 42: Laporan penelitian 2013.pdf

(2.15)

Pada bahan ferromagnetic, nilai dan tidak memiliki nilai yang konstan.

Permeabilitas dan suseptibilitas sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar.

Kurva magnetisasi mempresentasikan densitas fluks induksi magnet B terhadap

kekuatan medan magnet luar untuk bahan ferromagnetic dapat dilihat pada

Gambar 2.17.

Gambar 2.17. Kurva Histerisis

Kurva magnetisasi untuk bahan yang belum termagnetisasi disebut dengan

initial curve magnetization. Kurva diawali dengan permeabilitas awal, dengan

bertambahnya medan magnet H, induksi magnetic B dengan cepat naik (disebut

dengan easy magnetization) dan selanjutnya menjadi menjadi lebih rendah hingga

tercapai nilai maksimum tertentu atau disebut dengan saturasi magnetik. Jika

medan magnet H diturunkan kembali, maka fluks induksi magnet B juga ikut

turun, tetapi lebih pelan dari medan magnet H nya. Dengan kata lain, menurunnya

kurva magnetisasi tidak mengikuti kurva ketika medan magnet dinaikkan pertama

kali. Dengan demikian, terdapat sisa/residu induksi medan magnet B (remanen)

Page 43: Laporan penelitian 2013.pdf

ketika medan magnet telah mencapai nol. Untuk mengembalikan B kembali ke

nol, diperlukan medan magnet negative yang disebut dengan coercive force. Jika

medan magnet negative terus dinaikkan, maka material akan termagnetisasi

dengan arah polaritas kearah negative. Ketika medan magnet dinaikkan hingga

nol, maka juga akan didapati residu induksi medan magnet –B yang

membutuhkan medan magnet positif untuk membuat induksi medan magnet

menjadi nol kembali. Kurva seperti ini yang disebut dengan kurva loop histerisis

[31].

Berdasarkan koersivitasnya, bahan magnetik dapat dibedakan menjadi soft

magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar

(di atas 10 kA/m) disebut hard magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki

koersivitas kecil (dibawah 1 kA/m) disebut soft magnetic [32].

2.6. Teori Double Exchange (DE)

Mekanisme Double Exchange (DE) merupakan tipe magnetik exchange

yang muncul diantara ion yang berdekatan dengan keadaan oksidasi yang berbeda

[33]. Teori ini pertama kali diajukan oleh Zener (1951) dan mempunyai implikasi

yang penting dari sifat magnetik dari suatu material. Energi sistem berada pada

nilai terendah jika spin inti yang bertetangga saling sejajar atau parallel. Demikian

juga dengan keadaan spin elektron, energi akan menjadi lebih rendah ketika spin

elektron parallel dengan spin inti ion Mn [34]. Teori ini sesuai dengan aturan

Hund untuk membuat energi sistem menjadi seminimal mungkin. Aturan pertama

Hund menyatakan bahwa energi akan minimum bila susunan spin-spin elektron

saling sejajar satu dengan yang lainnya.

Page 44: Laporan penelitian 2013.pdf

Teori Double Exchange (DE) merupakan salah satu dari sekian banyak

teori pertukaran yang ada dalam material. Mekanisme Double Exchange (DE)

pada material perovskite manganites terjadi perpindahan spin elektron yang

parallel pada tetangga terdekat dengan melakukan dua kali hopping secara

bersamaan dari Mn3+

ke Mn4+

melalui O2-

. Pada sistem sampel LaSrMnO3, yang

berperan sebagai ion ialah atom Mn karena atom Mn telah menjadi ion Mn3+

dan

Mn4+

akibat adanya doping unsur Sr pada site La.

Zener (1951) telah mendapatkan persamaan yang menggambarkan

korelasi antara konduktivitas listrik terhadap sifat magnetiknya, yang dikaitkan

terhadap temperatur Curie (Tc) ferromagnetik pada sistem sampel La1-xAxMnO3

(A = Ca atau Sr), tetapi hanya berlaku untuk variasi doping

Berikut persamaan yang menyatakan hubungan tersebut

(2.16)

Dimana x adalah konsentrasi doping A (untuk ),

, h = konstanta Planck, e = muatan elektron, T adalah

temperature, dan Tc adalah temperature Curie. Berdasarkan persamaan (2.16)

dapat diketahui bahwa untuk sistem sampel La1-xAxMnO3 dimana

membuka hubungan linier antara magnetoresistansi terhadap magnetisasi dari

sampel, sehingga dapat disimpulkan konduktivitas listrik dan sifat magnetik

sampel saling berhubungan.

Page 45: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.18. Skema Teori Double Exchange (DE) [35]

Gambar 2.18 mengilustrasikan mekanisme Double Exchange (DE) yang

terjadi pada Mn3+

-O-Mn4+

. Elektron dari orbital eg pada ion Mn3+

melompat ke

orbital O2-

dan secara bersamaan elektron pada orbital 2p O2-

melompat ke orbital

eg ion Mn4+

yang kosong. Kedua elektron yang terlibat dalam pertukaran harus

memiliki spin yang sama (sesuai prinsip larangan pauli). Hal ini menyebabkan

terjadinya sifat feromagnetik dari elektron eg [35].

Teori lebih lanjut telah dilakukan oleh Anderson & Hasegawa yang

menyatakan bahwa sudut antara spin inti ion Mn tetangga terdekat turut

mempengaruhi pada proses Double Exchange (DE) [22]. Hal ini diperkuat oleh

de Gennes [23] membahas tentang batas besarnya coupling Hund (JH), spin

elektron pada eg terikat pada inti spin t2g yang mengubah parameter hopping (t),

yang dipenuhi oleh persamaan berikut :

(2.17)

Page 46: Laporan penelitian 2013.pdf

Dimana θij adalah sudut antara spin inti pada t2g yang berdekatan dengan ion

manganese, dan tij hanya bergantung pada orientasi relatif pada dua spin. Energi

kinetik pada elektron eg adalah sebanding terhadap t. Dengan demikian, jika spin

tersusun secara feromagnetik (spin parallel) maka nilai t akan maksimum

sehingga resistivitas sampel bernilai minimum [22].

2.7. Teori Interaksi Superexchange

Superexchange merupakan coupling kuat antara interaksi spin

antiferomagnetik terhadap tetangga terdekat kation melalui anion non magnetik

[36]. Gagasan bahwa pertukaran dapat dimediasi oleh sebuah atom non magnetik

telah diajukan pada tahun 1934, dan secara resmi dikembangkan oleh Anderson

pada tahun 1950.

Pada superexchange, interaksi magnetik antara ion yang berdekatan di

mediasi oleh ion non-magnetik dengan spin elektron yang berpasangan. Hal ini

merupakan interaksi yang lazim terjadi pada oksida manganiat terisolasi, dimana

ion penghubungnya adalah O2-

. Pada kasus manganat, orbital yang telibat adalah

orbital eg yang kosong dari ion Mn dan orbital 2p pada O2-

yang terisi. Jadi

elektron pada orbital 2p pada O2-

terbagi diantara dua ion Mn yang berdekatan

yang mengisi orbital eg yang kosong. Ini merupakan transfer elektron secara tidak

langsung yang menjadi ciri khas dari mekanisme interaksi superexchange [36].

Berikut gambar yang mengilustrasikan proses terjadinya interaksi superexchange.

Page 47: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.19. Mekanisme interaksi superexchange (a) sesama ion Mn3+

dan (b) sesama ion Mn4+

[36].

2.8. Ligand Field Theory (LFT)

Ligand Field Theory (LFT) merupakan salah satu teori yang digunakan

untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks [37]. Awalnya teori ini adalah

aplikasi dari Crystal Field Theory (CFT). Menurut LFT, interaksi antara metal

transisi dan ligand muncul karena adanya gaya tarik antara muatan positif pada

metal sebagai kation bebas dengan muatan negatif pada elektron yang tidak

berikatan pada ligand. Ketika ligand tertarik mendekati ion metal, elektron-

elektron pada ligand juga akan semakin mendekati elektron-elektron yang ada

pada orbital d, sehingga menghasilkan gaya tolak diantara kedua muatan yang

sama tersebut. Elektron-elektron pada orbital d yang mempunyai jarak paling

dekat dengan ligand akan memiliki energi yang lebih tinggi di bandingkan dengan

Page 48: Laporan penelitian 2013.pdf

yang lain, sehingga akan terjadi perbedaan energi. Perbedaan energi ini disebut d-

orbital splitting energy.

Oktahedral kompleks merupakan bentuk paling umum yang membentuk

ikatan dengan metal-metal transisi. Lima orbital d dalam kation logam transisi

terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, dimana probabilities density

elektron berbanding lurus dengan satuan level energi yang akan ditempati elektron

pada orbital d tersebut, dan adanya ligand akan menimbulkan pemisahan level

energi pada beberapa sub orbitalnya.

Gambar 2.20. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan

kompleks [37]

Gambar 2.20 di atas menyatakan bahwa medan listrik negatif sferik di

sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah

dari tingkat energi kation bebas yang disebabkan karena adanya interaksi

elektrostatis. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan

listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya.

Page 49: Laporan penelitian 2013.pdf

Sekarang ion tidak berada dalam medan negatif yang seragam, tetapi dalam

logam yang dihasilkan oleh enam ligand yang terkoordinasi secara octahedral

pada atom logam. Medan negatif dari ligand disebut medan ligand. Level energi

yang lebih rendah diberi simbol t2g (triply degenerate orbital) dan level energi

yang lebih tinggi diberi simbol eg (exited degenerate orbital).

Bila ligand ditempatkan di sumbu, reaksi repulsifnya lebih besar untuk

orbital eg dari pada untuk t2g , dan orbital eg di

stabilkan dan orbital t2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Perbedaan

energi antara orbital t2g dan eg sangat penting dan energi rata-rata orbital-obital ini

dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital eg dan tiga orbital

t2g dianggap Δo, tingkat energi eg adalah

dan energi total t2g adalah

.

Gambar 2.21. Splitting octahedral pada level d5 [37]

Ion logam transisi memiliki 0 sampai 10 elektron d dan bila orbital d yang

terbelah diisi dari tingkat energi rendah, konfigurasi elektron

yang

berkaitan dengan masing-masing ion didapatkan. Jika tingkat energi nol

Page 50: Laporan penelitian 2013.pdf

ditentukan sebagai tingkat energi rata-rata, energi konfigurasi elektron relatif

terhadap energi nol adalah

(2.18)

Nilai ini disebut energi penstabilan medan ligand (Ligand Field Stabilization

Energy LFSE). Konfigurasi elektron dengan nilai LFSE lebih kecil (dengan

memperhitungkan tanda minusnya). LFSE merupakan parameter penting untuk

menjelaskan kompleks medan transisi.

Syarat lain selain tingkat energi yang diperlukan untuk menjelaskan

pengisian elektron dalam orbital t2g dan eg adalah energi pemasangan (pairing

energy Pe), yaitu energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron dalam

level energi yang sama namun dengan syarat spin berlawanan. Ada dua

kemungkinan yang muncul bila ada 4 jumlah elektron di orbital d. orbital yang

energinya lebih rendah t2g lebih disukai, tetapi pengisian orbital ini akan

memerlukan energi pemasangan (Pe). Energi totalnya menjadi

(2.19)

Bila elektron mengisi orbital yang energinya lebih tinggi eg, maka energi totalnya

menjadi

(2.20)

Page 51: Laporan penelitian 2013.pdf

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material

perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)

karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh

ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan

menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [37].

Pada keadaan high-spin state ∆O > Pe, konfigurasi t2g4 lebih disukai dan

konfigurasinya disebut medan kuat (strong field) karena gaya tolakan yang terjadi

lebih besar dibandingkan pada kasus low-spin state. Sedangkan pada keadaan

low-spin state ∆O < Pe yaitu konfigurasi t2g3 eg

1 lebih disukai dan disebut

konfigurasi medan lemah (weak field) atau konfigurasi elektron spin tinggi.

Gambar 2.22. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk

d4 sistem [37]

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material

perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)

karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh

Page 52: Laporan penelitian 2013.pdf

ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan

menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [37].

Pada sifat elektrik dari lantanum manganat La1-xSrxMnO3 sangat terkait

dengan adanya ion manganese dengan valensi yang berbeda. Untuk x = 0 dan 1

ion manganese hanya memiliki satu jenis valensi dan biasanya bersifat

antiferromagnetic-insulator (AF-I). Untuk konsentrasi doping intermediate, ion

manganese muncul dengan valensi yang berbeda, dan mengubah sifatnya menjadi

ferromagnetic- metallic (F-M). Orbital yang aktif secara elektronik adalah orbital

d manganese, dimana konfigurasi keadaan dasar dari trivalent dan quadrivalent

Mn adalah 3d4 dan 3d

3.

Kelima orbital d masing-masing dapat mengakomodasi elektron dengan

satu spin up dan satu spin down akan terpecah (splitting) akibat adanya medan

kristal octahedral yang berasal dari 6 atom oksigen yang berada disekeliling ion

Mn. Pemisahan energi ini membagi orbital d menjadi tiga orbital pada energi

rendah t2g dan dua orbital pada level energi yang lebih tinggi eg

. Terjadinya pemisahan orbital ini berada pada orde 1,5 eV,

sehingga elektron mengisi pada keadaan orbital dengan spin maksimum sesuai

dengan aturan Hund. Oleh karena itu, konfigurasi elektronik pada Mn3+

adalah

, dan Mn4+

adalah

[15].

Page 53: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.23. Struktur elektronik dari Mn3+

dan Mn4+

sebelum dan

setelah adanya distorsi Jahn-Teller [15]

Gambar 2.23 mengilustrasikan splitting Jahn-Teller, energi dari Mn3+

menjadi lebih rendah sekitar 0,6 eV, sedangkan Mn4+

tidak mengalami apapun

akibat distorsi octahedron oksigen [37].

2.9. Mechanical Alloying

Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau

pun dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya

adalah pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang

diakibatkan oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan

sampel di dalam alat milling, seperti pada Gambar 2.24. Aplikasi metode

mechanical alloying seperti pada Gambar 2.25 [38].

Page 54: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.24. Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying [39]

Page 55: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.25. Aplikasi metode mechanical alloying [38]

Parameter yang harus diperhatikan di dalam proses mechanical milling,

yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir dari serbuk yang dicampur adalah

seperti pada Gambar 2.26 [40].

Page 56: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.26. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling [40]

Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi

bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan

bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses

basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah:

ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya.

2.10. Mekanisme Absorpsi Gelombang Elektromagnet

Pada dasarnya suatu material jika dikenai gelombang electromagnet

maka akan mengalami interaksi antara material dengan gelombang electromagnet.

Misalkan suatu bahan memiliki ketebalan x dikenai gelombang electromagnet

dengan intensitas maka gelombang electromagnet akan mengalami attenuasi

sehingga intensitas yang keluar dari material menjadi

Page 57: Laporan penelitian 2013.pdf

(2.21)

dengan µ adalah konstanta. Dari persamaan (2.21) terlihat semakin tebal bahan

maka energi gelombang electromagnet semakin banyak yang diserap.

x

Gambar 2.27. Skema absorpsi gelombang electromagnet

Namun seiring dengan perkembangan zaman, material absorber yang

dibutuhkan adalah bahan yang tipis tapi memiliki kemampuan absorpsi yang

maksimal. Selain karena ketebalan suatu bahan, absorpsi gelombang elektomagnet

juga terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek

rugi-rugi energy yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Dalam hal ini

material absorber dibagi menjadi dua yakni material dielektrik dan magnetic. Pada

bahan dielektrik energy gelombang electromagnet diserap sehingga terjadi

polarisasi yang mengikuti arah medan listrik. Ketika gelombang electromagnet

berubah-ubah terhadap waktu maka arah polarisasi juga berubah-ubah sehingga

terjadi gesekan antar molekul yang menimbulkan panas.

Page 58: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 2.28. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik (telah diolah

kembali)

Hal yang analog juga terjadi pada bahan ferromagnetik. Ketika medan

magnet mengenai bahan ferromagnet maka energy gelombang electromagnet akan

digunakan untuk menyearahkan momen magnet. Untuk material absorber yang

baik dibutuhkan bahan magnetic yang memiliki koersifitas yang rendah.

Karakteristik dielektrik dan magnetik suatu bahan direpresentasikan oleh

permitifitas kompleks dan permeabilitas kompleks [41]

(2.22)

(2.23)

Dimana , tanda ‘ dan ‘’ bagian real dan imaginer. Impedansi yang tiba

pada material ditunjukkan

(2.24)

Dimana d adalah ketebalan sampel, adalah faktor propagasi kompleks

Page 59: Laporan penelitian 2013.pdf

(2.25)

f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan gelombang elektomagnet dalam ruang

vakum.

Reflektifitas radiasi electromagnet, Γ, dalam gelombang normal yang tiba

pada permukaan material ditunjukkan

(2.26)

Dan reflection loss- nya, R (dB), didefinisikan sebagai

= (2.27)

Dimana adalah bilangan kompleks dan adalah modulus dari . Sedangkan

adalah impedansi pada ruang hampa.

(2.28)

Nilai H/m dan F/m, sehingga diperoleh

. Kondisi impedansi yang cocok saat menunjukkan bahwa

terjadi penyerapan yang sempurna.

Secara umum criteria material absorber yang baik haruslah memiliki

permeabilitas dan permitifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan resistifitas yang

tinggi dan saturasi magnet tinggi.

Page 60: Laporan penelitian 2013.pdf

2.11. Gelombang Mikro

Gelombang electromagnet ketika sampai pada material maka sebagian

gelombang tersebut akan direfleksikan dan sebagian lagi diabsorpsi. Karakter ini

bisa kita manfaatkan untuk mengurangi pantulan radiasi. Beberapa material

memantulkan banyak radiasi namun ada juga yang hampir tidak memantulkan

sama sekali. Sebagai contoh air, yang hampir tidak memantulkan radiasi sama

sekali oleh karena itu air termasuk absorber yang bagus. Material magnetic

misalnya ferit juga dapat menyerap gelombang electromagnet. Hal ini

dikarenakan adanya perubahan arah momen magnetic ketika dikenai medan

electromagnet [42].

Gelombang mikro adalah bagian dari gelombang electromagnet yang

memiliki daerah frekuensi sekitar 0,3-300 GHz atau panjang gelombang 1m-

1mm. Gelombang mikro digunakan pertama kali untuk teknologi RADAR pada

awal perang dunia kedua. Saat ini gelombang mikro umum digunakan sebagai

oven microwave atau pun perangkat-perangkat komunikasi dan teknologi

informasi. Gelombang mikro dibagi dalam beberapa daerah jangkauan yang telah

ditetapkan secara internasional (Tabel 2.3).

Page 61: Laporan penelitian 2013.pdf

Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro [43].

Simbol Daerah Frekuensi (GHz)

L 1.22 - 1.70

R 1.70 - 2.60

S 2.60 - 3.95

H 3.95 - 5.85

C 5.85 - 8.20

X 8.20 - 12.4

Ku 12.4 - 18.0

K 18.0 - 26.5

Ka 26.5 - 40.0

U 40.0 - 60.0

E 60.0 - 90.0

F 90.0 - 140.0

G 140.0 - 220.0

2.12. Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah suatu alat yang digunakan

untuk mengamati dan menganalisis karakteristik strukturmikro dari material baik

yang konduktif maupun non konduktif. Dibandingkan dengan MO, SEM

mempunyai daya pisah (resolusi) yang lebih tinggi yaitu 5nm, sehingga SEM

dapat menghasilkan perbesaran hingga 500.000 kali. Perbedaan daya pisah ini

ditimbulkan dari sumber radiasi yang berbeda. Elektron sebagai sumber radiasi

Page 62: Laporan penelitian 2013.pdf

pada SEM mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada sinar

foton pada MO.

Berkas elektron primer yang datang mengenai permukaan benda uji akan

berinteraksi dan menghasilkan berbagai macam sinyal secara serentak, sinyal-

sinyal tersebut diantaranya adalah elektron, sinar-X dan foton. Secara skematik

ditunjukan pada Gambar 2.29. Interaksi elektron primer dengan benda uji

tersebut mengakibatkan hamburan elektron (elastic scattering) dan hamburan

nonelastik (inelastic scattering).

Hamburan elastik ditimbulkan akibat adanya tumbukan berkas elektron

primer dengan inti atom benda uji (sampel) tanpa perubahan energi. Pada saat

Gambar 2.29. Interaksi antara electron primer dengan benda

uji

Page 63: Laporan penelitian 2013.pdf

terjadinya hamburan elastik, arah komponen kecepatan elektron, v, akan berubah,

tetapi besarnya |v| relatif konstan, sehingga energi kinetik E = 1/2 mev2, dengan

me adalah massa elektron, tidak berubah. Dalam hal ini energi sebesar <1eV

dipindahkan dari elektron [primer ke benda uji, perpindahan energi ini relatif kecil

bila dibandingkan dengan energi elektron primer sebesar 10 keV, karenanya

perpindahan enrgi tersebut dapat diabaikan. Hamburan elektron dari permukaan

benda uji setelah berkas elektron primer masuk ke dalam benda uji dan melintasi

jarak beberapa nm dengan distribusi energi 0≤E≤Eo, dimana Eo adalah energi

elektron p[rimer, disebut sebagai backscattered electron (elektron terhambur balik

– BSE).

Hamburan nonelastik (inelastic scattering) diakibatkan adanya tumbukan

elektron primer dengan elektron benda uji. Dalam proses tumbukan ini terjadi

perpindahan energi dari elektron primer ke atom dan elektron benda uji, sehingga

terjadi penurunan energi kinetik dari berkas elektron. Energi yang berada dalam

benda uji tersebut akan didistribusikan dan menghasilkan sinyal-sinyal yang

digunakan untuk analisis mikro. Sinyal-sinyal tersebut adalah secondary electron

(elektron sekunder – SE), Auger electron, continuum X-ray atau bremsstrahlung,

characteristic X-ray dan secondary fluorescence emission.

Secondary electron (elektron sekunder) adalah elektron yang dipancarkan

dari benda uji akibat dari interaksi antara berkas elektron primer dengan elektron-

elektron pada pita penghantar benda uji. Interaksi ini hanya menghasilkan

perpindahan energi yang relatif rendah (3-5 eV) ke elektron pita penghantar.

Karena elektron sekunder ini mempunyai energi rendah, maka elektron-elektron

ini mudah dibelokan pada sudut tertentu dan menimbulkan bayangan topografi,

Page 64: Laporan penelitian 2013.pdf

dengan kata lain elektron sekunder dari suatu area tertentu akan memberikan

informasi benda uji pada area tersebut dalam bentuk image (citra) .

Mekanisme terbentuknya citra pada SEM meliputi beberapa hal penting

diantaranya; sistem scanning untukpembentukan citra, mekanisme kontras sebagai

hasil interaksi elektron dan benda uji, karakteristik detektor dan pengaruhnya

terhadap kualitas citra, kualitas sinyal dan pengaruhnya terhadap kualitas citra dan

proses pen-sinyal-an untuk tampilan pada layar monitor. Ilustrasi proses

pembentukan citra pada SEM diilustrasikan pada Gambar 2.30.

Gambar 2.30. Skematis pembentukan citra pada SEM

Page 65: Laporan penelitian 2013.pdf

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai November 2013. Untuk

tahap preparasi/pembuatan sampel dilakukan di laboratorium Departemen Fisika

FMIPA UI. Sedangkan tahap karakterisasi sampel dilaksanakan di PLT UIN

Jakarta, Departemen Fisika FMIPA UI, dan LIPI Bandung.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan sebagai berikut:

a. Timbangan digital, digunakan untuk menimbang bahan dasar

b. Spatula, beaker glass

c. Dies (cetakan specimen/sampel) berbentuk silindris.

d. Planetary Ball Milling untuk mencampur serbuk bahan dasar

e. Bola baja (ball mill) digunakan untuk menumbuk campuran di dalam vial

Planetary Ball Milling.

f. Furnace (dapur pemanas) untuk men-sintering sampel

g. Universal testing machine atau pressing mechine digunakan untuk

membuat/mengkompaksi sampel (green body).

h. Cawan kramik digunakan untuk tempat sampel ketika disintering

i. Thermogravimetric Analyser (TGA) digunakan untuk mengetahui suhu

kalsinasi yang tepat dalam pembuatan sampel

Page 66: Laporan penelitian 2013.pdf

j. X Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk melihat struktur kristal

sampel

k. Permagraph Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH digunakan untuk

pengujian sifat magnetik sampel

l. Vector Network Analyzer (VNA) digunakan untuk pengujian sifat

absorber sampel.

Bahan habis pakai yang digunakan sebagai berikut

a. Serbuk bahan dasar La2O3, MnCO3, BaCO3, dan NiO selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 3.1

b. Tissue, aquabidest

c. Serbuk karbon diunakan untuk membersihkan vial planetary ball mill

d. PVAc, digunakan sebagai perekat pada saat mencetak spesimen dengan

kompaksi.

e. Sabun cream diunakan untuk membersihkan vial dan ball mill

f. Aseton digunakan sebagai pembersih dan campuran proses milling.

Page 67: Laporan penelitian 2013.pdf

Tabel 3.1 Bahan Dasar Penelitian

No. Nama Formula

Kimia

Mr Produk Kemurnian

1. Lantanum

oksida

La2O3 325,79 Merck 99,5%

2. Barium

karbonat

BaCO3 197,35 Aldrich 99,0%

3. Manganis

carbonate

MnCO3 114,95 Aldrich 99,9%

4. Nikel Oksida NiO 74,71 Merck 99,9%

3.3. Analisis Data

3.3.1. Thermogravimetric analysis (TGA)

Dasar dari TGA adalah mengamati perubahan massa sampel terhadap

kenaikan temperatur. Kurva kontinu perubahan massa terhadap temperatur

diperoleh ketika sampel dipanaskan dengan kecepatan yang seragam. Kurva

thermogravimetric (TG) umumnya merupakan plot antara penurunan massa pada

sumbu y (ordinat) dan kenaikan temperatur pada sumbu x (absis).

Karakterisasi sampel dengan TGA dilakukan di Pusat Laboratorium

Terpadu UIN Jakarta. TGA (TA Instrument) tersebut menggunakan gas oksigen

dan nitrogen.

Page 68: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 3.1. TGA

3.3.2. Difraksi Sinar-X (XRD)

Analisa kuantitas dan kualitas fasa-fasa yang ada dalam sampel

menggunakan XRD merek Shimadzu. Berkas sinar-x dihasilkan dari tube anode

Cu, dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode: continous-scan, step size: 0,2 dan

timer per step 0,5 detik, dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.

Pola difraksi sinar X yang diperoleh selanjutnya di olah dengan program

High Score Plus (HSP). Dari hasil pengolahan tersebut maka diperoleh informasi

struktur kristal, parameter kisi, fasa yang terkandung pada sampel dan juga

densitas sampel.

Page 69: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 3.2. Alat Difraksi sinar-X (XRD) Shimadzu-7000

3.3.3. SEM

Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan

untuk mengetahui morfologi dari sampel. Karakterisasi SEM dilakukan di PTBIN

BATAN, Serpong. Dengan spesifikasi alat Jeol JED-2300.

Gambar 3.3. SEM

Page 70: Laporan penelitian 2013.pdf

3.3.4. Permagraf

Karakterisasi dengan permagraf dilakukan dengan tujuan mengetahui sifat

magnetik dari sampel, seperti saturasi dan koersifitas magnet. Karakterisasi

permagraf dilakukan di laboratorium UI Depok.

Gambar 3.2. Permagraf

3.3.5. VNA (Vector Network Analyser)

Karakterisasi sampel dengan VNA betujuan untuk mengukur nilai absorbsi

material dan juga nilai reflection loss. Pengukuran ini dilakukan di LIPI Bandung.

Gambar 3.5. VNA

Page 71: Laporan penelitian 2013.pdf

3.4. Diagram Alir Penelitian

Preparasi Material

Bahan-bahan dasar

Pencampuran (Mixing)

Proses mechanical milling,

Kalsinasi

Kompaksi

Sintering

Karakterisasi

Pengolahan data dan

Analisis

Material

absorber

Page 72: Laporan penelitian 2013.pdf

3.5. Jadwal Penelitian

Penelitian dilakukan selama enam bulan dari bulan Juni – November 2013

Uraian Penelitian Juni Juli Ags Sept Okt Nov

Studi literature

Penyediaan bahan-bahan dan

persiapan instrument

Proses sintesis material absorber

Karakterisasi material

Analisis dan penulisan laporan

Page 73: Laporan penelitian 2013.pdf

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi TGA (Thermogravimetric Analysis)

Sampel La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3 disintesa dari beberapa bahan dasar yaitu

La2O3, BaCO3, MnCO3, dan NiO yang memiliki tingkat kemurnian rata-rata

diatas 99%. Seluruh bahan dasar tersebut dimilling dengan Planetary Ball Mill

selama 25 jam. Hasil milling tersebut selanjutnya dikarakterisasi dengan alat

TGA (Thermogravimetric Analysis) yang memliki kemampuan mengkarakterisasi

sampel dari 0oC sampai 1000

oC. Hasil TGA campuran bahan dasar yang selesai

dimilling dapat dilihat dalam Gambar 4.1

Dari kurva TGA tersebut tampak adanya penurunan berat sampel ketika

terjadi kenaikan suhu sekitar 50oC – 800

oC. Penurunan berat sampel

dimungkinkan karena ada ion karbon yang berasal dari bahan dasar BaCO3 mau

pun MnCO3 terbuang ketika terjadi pemanasan. Atas dasar inilah tahapan

selanjutnya dilakukan kalsinasi pada suhu 800oC selama 10 jam untuk

menghilangkan impuritas-impuritas yang ada.

Page 74: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.1. Kurva TGA campuran bahan dasar setelah milling

4.2. Karakterisasi SEM

Untuk mengetahui morfologi dari sampel, maka sampel La0,67Ba0,33Mn1-

xNixO3 yang telah disintesa dikarakterisasi dengan SEM. Hasil SEM dapat di lihat

pada Gambar 4.2 sampai Gambar 4.5.

Page 75: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.2. SEM sampel La0,67Ba0,33MnO3

Gambar 4.3. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

Page 76: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.4. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3

Gambar 4.5. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Page 77: Laporan penelitian 2013.pdf

4.3. Difraksi Sinar X

Untuk mengetahui struktur kristal, parameter kisi, dan fasa yang

terkandung dari sampel, maka sampel yang telah disintesa dikarakterisasi dengan

alat difraksi sinar X (XRD). Berkas sinar-X dihasilkan dari tube anode Cu,

dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode continous-scan, step size 0,2 dan time

per step 0,5 detik. Data diambil dari sudut dua theta 10 derajat sampai 80 derajat.

Karakterisasi ini dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.

4.3.1. XRD Sampel La0,67Ba0,33MnO3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33MnO3 dapat dilihat pada

Gambar 4.6. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun analisa

kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi sinar X

yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score Plus

(HSP). Hasil refinement sampel La0.67Ba0.33MnO3 dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Page 78: Laporan penelitian 2013.pdf

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

500

1000

1500

2000

2500In

ten

sita

s

2theta

La0,67

Ba0,33

MnO3

Gambar 4.6. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3

Page 79: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.7. Refinement sampel La0,67Ba0,33MnO3

Dari hasil pengolahan data dengan program High Score Plus diperoleh

informasi bahwa fasa yang terkandung dalam sampel adalah 100%

La0,67Ba0,33MnO3. Parameter kisi ; ; dan

dengan sudut . Struktur kristal monoklinik , ukuran kristal 74,35 nm,

densitas 6,72 g/cm3, volume 238,44 Å

3.

Page 80: Laporan penelitian 2013.pdf

4.3.2. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 dapat

dilihat pada Gambar 4.8. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun

analisa kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi

sinar X yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score

Plus (HSP). Hasil refinement sampel La0.67Ba0.33Mn0,98Ni0,02O3 dapat dilihat pada

Gambar 4.9.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Inte

nsita

s

2 theta

La0,67

Ba0,33

Mn0,98

Ni0,02

O3

Gambar 4.8. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

Page 81: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.9. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 (Gambar 4.8)

menunjukkan adanya perbedaan dengan pola difraksi sinar X sampel

La0,67Ba0,33MnO3 (Gambar 4.6) , ditandai dengan adanya penambahan beberapa

puncak di sudut dua theta. Dari hasil pengolahan data dengan program High

Score Plus diperoleh informasi bahwa fasa yang terkandung dalam sampel ada

dua yakni fasa La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 dan fasa BaMnO3. Fraksi berat masing-

masing fasa dalam sampel adalah 93,7% untuk fasa La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 dan

6,3% untuk fasa BaMnO3.

Page 82: Laporan penelitian 2013.pdf

Fasa La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 memiliki parameter kisi ;

; dan dengan sudut . Struktur kristal

monoklinik , ukuran kristal 26,25 nm, densitas 6,72 g/cm3, volume 238,40 Å

3.

Sedangkan untuk fasa keduanya, fasa BaMnO3 memiliki parameter kisi

; ; dan dengan sudut dan

Struktur kristal heksagonal , ukuran kristal 2791,3 nm, densitas 5,73

g/cm3, volume 626,53 Å

3.

4.3.3. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dapat

dilihat pada Gambar 4.10. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun

analisa kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi

sinar X yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score

Plus (HSP). Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dapat dilihat pada

Gambar 4.11.

Sama halnya dengan sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3, pola difraksi sinar

X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 (Gambar 4.10) menunjukkan adanya

perbedaan dengan pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3 (Gambar 4.6) ,

ditandai dengan adanya penambahan beberapa puncak di sudut dua theta. Dari

hasil pengolahan data dengan program High Score Plus diperoleh informasi

bahwa fasa yang terkandung dalam sampel ada dua yakni fasa

La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dan fasa BaMnO3. Fraksi berat masing-masing fasa

Page 83: Laporan penelitian 2013.pdf

dalam sampel adalah 92,6% untuk fasa La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dan 7,4% untuk

fasa BaMnO3.

Fasa La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 memiliki parameter kisi ;

; dan dengan sudut . Struktur kristal

monoklinik , ukuran kristal 40,72 nm, densitas 6,74 g/cm3, volume 238,06 Å

3.

Sedangkan untuk fasa keduanya, fasa BaMnO3 memiliki parameter kisi

; ; dan dengan sudut dan

Struktur kristal heksagonal , ukuran kristal 2791,3 nm, densitas 5,68

g/cm3, volume 631,72 Å

3.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Inte

nsita

s

2theta

La0,67

Ba0,33

Mn0,96

Ni0,04

O3

Gambar 4.10. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3

Page 84: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.11. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

4.3.4. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dapat

dilihat pada Gambar 4.12. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun

analisa kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi

sinar X yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score

Plus (HSP). Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dapat dilihat pada

Gambar 4.13.

Page 85: Laporan penelitian 2013.pdf

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

500

1000

1500

2000

2500

3000In

ten

sita

s

2theta

La0,67

Ba0,33

Mn0,94

Ni0,06

O3

Gambar 4.12. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Sama halnya dengan sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3, pola difraksi sinar

X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 (Gambar 4.12) menunjukkan adanya

perbedaan dengan pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3 (Gambar 4.6) ,

ditandai dengan adanya penambahan beberapa puncak di sudut dua theta. Dari

hasil pengolahan data dengan program High Score Plus diperoleh informasi

bahwa fasa yang terkandung dalam sampel ada dua yakni fasa

La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dan fasa BaMnO3. Fraksi berat masing-masing fasa

dalam sampel adalah 95,4% untuk fasa La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dan 4,6% untuk

fasa BaMnO3.

Page 86: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.13. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Fasa La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 memiliki parameter kisi ;

; dan dengan sudut . Struktur kristal

monoklinik , ukuran kristal 25,98 nm, densitas 6,74 g/cm3, volume 237,94 Å

3.

Sedangkan untuk fasa keduanya, fasa BaMnO3 memiliki parameter kisi

; ; dan dengan sudut dan

Struktur kristal heksagonal , ukuran kristal 2791,3 nm, densitas 5,7

g/cm3, volume 629,67 Å

3.

Page 87: Laporan penelitian 2013.pdf

4.4. Karakterisasi Sifat Magnet

Untuk mengetahui sifat magnet bahan, sampel dikarakterisasi dengan

permagraf. Karakterisasi dengan permagraf ini menghasilkan kurva histerisis

sampel. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x = 0 – 0,06) dapat

dilihat pada Gambar 4.14 – 4.16.

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.15

-0.10

-0.05

0.00

0.05

0.10

0.15J (

T)

H (kA/m)

La0,67

Ba0,33

MnO3

Gambar 4.14. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3

Bentuk kurva histerisis hasil permagraph pada Gambar 4.14 menunjukkan

bahwa sampel La0.67Ba0.33MnO3 termasuk material soft magnetic karena memiliki

medan koersifitas yang sangat kecil. Gambar tersebut juga memperlihatkan harga

saturasi sampel La0.67Ba0.33MnO3 adalah 0,15 T.

Page 88: Laporan penelitian 2013.pdf

Berdasarkan referensi [43], bahan lanthanum manganat LaMnO3 memiliki

sifat antiferomagnet isolator. Ketika kedudukan Mn3+

sebagian disubstitusi oleh

ion divalent Ba2+

komposisinya menjadi La1-xBaxMnO3 dengan keadaan oksidasi

La1-x3+

Bax2+

Mn1-x3+

Mnx4+

O32-

maka ion Mn hadir sebagai ion Mn3+

dan ion Mn4+

.

Electron 3d4+

dari ion Mn3+

bersifat mobile karena ada kelebihan satu electron

dibanding dengan electron 3d3+

dari ion Mn4+

yang terlokalisasi. Electron bebas

dari ion Mn3+

inilah yang dapat melompat melalui ion O2-

menuju tetangganya ion

Mn4+

, karena keadaan oksidasinya berbalik maka lompatan tersebut dapat terus

berlangsung (Gambar 2.18). Proses interaksi ini menyebabkan bahan bertransisi

menjadi feromagnet metalik. Dalam eksperimen ini dapat dilihat bahwa kurva

histerisis sampel La0.67Ba0.33MnO3 merupakan bahan yang bersifat feromagnet.

Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x > 0) (Gambar 4.15 dan

Gambar 4.16) menunjukkan terjadinya magnetisasi seiring dengan bertambahnya

medan magnet luar, namun dari gambar kurva tersebut terlihat bahwa saturasi

pada sampel belum atau tidak tercapai. Seperti halnya sampel La0,67Ba0,33MnO3

harga medan koersifitas pada sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x > 0) juga sangat

kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x

> 0) bersifat ferromagnet namun sifat kemagnetannya sangat kecil.

Page 89: Laporan penelitian 2013.pdf

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.08

-0.06

-0.04

-0.02

0.00

0.02

0.04

0.06

0.08

J (

T)

H (kA/m)

La0,67

Ba0,33

Mn0,96

Ni0,04

O3

Gambar 4.15. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3

Berkurangnya sifat kemagnetan pada sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 (x >

0) dimungkinkan karena ketika sampel didoping Ni mengakibatkan ion Mn3+

menjadi berkurang, sehinga interaksi double exchange antara ion Mn3+

dan Mn4+

yang berkontribusi terhadap terjadinya fenomena feromagnet pun berkurang.

Keadaan oksidasi sampel menjadi La0.673+

Ba0.332+

Mn0.67-x3+

Nix3+

Mn0.334+

O3. Pada

kondisi ini hadir pula interaksi super exchange menandai adanya sifat

antiferomagnetnya bertambah. Selain itu penurunan nilai magnetisasi pada

sistem La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3 (x > 0) dimungkinkan pula karena pada system ini

Page 90: Laporan penelitian 2013.pdf

terbentuk dua fasa, salah satunya adalah fasa BaMnO3 yang bersifat

antiferomagnet.

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.06

-0.04

-0.02

0.00

0.02

0.04

0.06

0.08

J (

T)

H (kA/m)

La0,67

Ba0,33

Mn0.94

Ni0,04

O3

Gambar 4.16. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

4.5. Karakterisasi Sifat Absorpsi Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3

Interaksi antara bahan dengan gelombang elektromagnetik secara skematik

ditunjukkan pada Gambar 4.17.

Page 91: Laporan penelitian 2013.pdf

Gambar 4.17. Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik

Parameter refleksi (S11) dan transmisi (S21) pada gelombang mikro

dilakukan pada frekuensi 8 – 12 GHz. Sedangkan hubungan antara S11 dan S21

sebagai factor koefisien refleksi dan transmisi ditunjukkan pada persamaan

berikut ini.

(4.1)

(4.2)

(4.3)

(4.4)

(4.5)

Page 92: Laporan penelitian 2013.pdf

Kurva reflection loss (RL) sampel La0,67Ba0,33MnO3 ditunjukkan pada

Gambar 4.18. Berdasarkan kurva RL sampel La0,67Ba0,33MnO3 nampak absorpsi

maksimum diperoleh ketika frekuensi 11,5 GHz dengan nilai reflection loss

sebesar -11,2 dB.

8G 9G 10G 11G 12G

-12

-11

-10

-9

-8

-7

-6

-5

-4

-3

-2

-1

RL (

dB

)

Frekuensi (Hz)

La0,67

Ba0,33

MnO3

Gambar 4.18. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33MnO3

Kurva reflection loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 ditunjukkan

pada Gambar 4.19. Berdasarkan kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

nampak absorpsi maksimum diperoleh ketika frekuensi 11,5 GHz dengan nilai

reflection loss sebesar -8,6 dB.

Page 93: Laporan penelitian 2013.pdf

8G 9G 10G 11G 12G

-9

-8

-7

-6

-5

-4

-3

-2R

L (

dB

)

Frekuensi (Hz)

La0,67

Ba0,33

Mn0,98

Ni0,02

O3

Gambar 4.19. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

Kurva reflection loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 ditunjukkan

pada Gambar 4.20. Berdasarkan kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3

nampak absorpsi maksimum diperoleh ketika frekuensi 11,5 GHz dengan nilai

reflection loss sebesar -8,8 dB.

Page 94: Laporan penelitian 2013.pdf

8G 9G 10G 11G 12G

-9

-8

-7

-6

-5

-4

-3

-2

RL

(d

B)

Frekuensi (GHz)

La0,67

Ba0,33

Mn0,96

Ni0,04

O3

Gambar 4.20. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3

Kurva reflection loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 ditunjukkan

pada Gambar 4.21. Berdasarkan kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

nampak absorpsi maksimum diperoleh ketika frekuensi 11,5 GHz dengan nilai

reflection loss sebesar -12,6 dB.

Page 95: Laporan penelitian 2013.pdf

8G 9G 10G 11G 12G

-14

-13

-12

-11

-10

-9

-8

-7

-6

-5

-4

-3

-2

RL

(d

B)

Frekuensi (Hz)

La0,67Ba0,33Mn0.94Ni0,06O3

Gambar 4.21. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Page 96: Laporan penelitian 2013.pdf

BAB 5

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah

2. Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 untuk harga x=0 telah terbentuk menjadi fasa

tunggal dengan struktur kristal monoklinik, namun untuk sampel dengan harga

x > 0 terdapat dua fasa yakni fasa La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3 dengan struktur

kristal monoklinik dan fasa BaMnO3 heksagonal.

3. Bentuk kurva histerisis hasil permagraf menunjukkan bahwa sampel

La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3 termasuk material soft magnetic.

4. Material La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3 memiliki kemampuan menyerap gelombang

mikro pada frekuensi 8-12 GHz. Seluruh sampel mencapai frekuensi optimal

pada frekuensi 11,5 GHz, dengan nilai reflection loss sebesar -11,2 dB untuk

x=0, -8,6 dB untuk x=0,02, -8,8dB untuk x=0,04, dan reflection loss yang

paling baik -12,6 dB ketika x=0,06.

Page 97: Laporan penelitian 2013.pdf

DAFTAR PUSTAKA

[1] Y. L. Cheng, J. M. Dai, D. J. Wu, Y. P. Sun, J. Magnetism and Magnet

Mat. 322 (2010) 97-101

[2] D. I. kim, S. J. Kim, J. M. Song, J. Korean Ohys. Soc 43 (2003) 269-272

[3] L. W. Deng, J. J. Jiang, S. C. Fan, Z. K. Feng, W. Y. Xie, J. Magnetism

and Magnet Mat. 26 (2003) 50-54

[4] M. S. Kim, E. H. Min, J. G. Koh, J. Magnetism and Magnet Mat. 321

(2009) 581-585

[5] S. Sugitomo, T. Maeda, D. Book, T. Kagotani, K. Inomata, M. Homma, H.

Otta, Y. Houjou, R. Sato, J. Alloys Compounds 301 (2002) 330-332

[6] J. Zhang, F. Wang, P. Zhang, Q. Yan, J. Appl. Phys. 86 (1999) 1604-1606

[7] A. Tiwari, K. P. Rajeev, J. Appl. Phys. 86 (1999) 5175-5178

[8] The Discovery Of GMR, The Royal Swedish Academy of Sciences (2007)

[9] G. Li, G. Hu, H. D. Zhou, X. G. Li, J. Mat. Chem. Phys. 75 (2006) 101-

104

[10] K. S. Zhou, D. Wang, L. S. Yin, D. M. Kong, K. L. Huang, The Chinese

Journal of Nonferrous Metals 16 (2006) 754-757

[11] D. Wang, Disertasi: Central South Universty (2006)

[12] K. S. Zhou, D. Wang, K. L. Huang, L. S Yin, Y. P. Zhou, S. H. Gao,

Trans. Nonferrous Met. Soc. China 17 (2007) 1294-1299

[13] K. S. Zhou, J. J. deng, L. S. Yin, S. H. Mao, S. H. Gao, Trans. Nonferrous

Met. Soc. China 17 (2007) 947-950

Page 98: Laporan penelitian 2013.pdf

[14] G. H. Jonker, J. H. van Santen, Physica XVI (1950) 337-349

[15] A. R. Dinesen, Disertasi: Technical University of Denmark (2004)

[16] V. Goldschmidt, Geochemistry, Oxford University Press (1958)

[17] P. Norby, I. G. Krogh Andersen, E. K. Andersen, J. Solid State Hem. 119

(1995) 191-196

[18] A. Urushibara, Y. Moritomo, T. Arima, A. Asamitsu, Y. Tokura, Physical

Review B 51 (1995) 14103–14109

[19] H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, H. S. Shin, J. Magnetism & Mag. Mat. 219

(2000) 1-8

[20] Sergei, J. Mat. Chem. 13 (2003) 347-352

[21] C. Zener, Physical Review 82 (1951) 403-405

[22] P. W. Anderson, H. Hasegawa, Physical Review 100 (1953) 675–681

[23] P. G. de Gennes, Physical Review 118 (1960) 141-154

[24] P. Schiffer, A. P. Ramirez, W. Bao, S. W. Cheong, Phys. Rev. Lett. 75

(1995) 3336-3339

[25] Y. L. Cheng, J. M. Dai, X. B. Zhu, D. J. Wu, Z. R. Yang, Y. P. Sun,

Nanoscale Res. Lett. 4 (2009) 1153-1158

[26] C. Kittel, Introduction Solid State Physic, Addison Wesley (1994)

[27] M. Hikam, Kristalografi dan Teknik Difraksi, Universitas Indonesia

(2007)

[28] A. Beiser, Modern Physics, (1987)

[29] B. D..Cullity, Element of XRD, Addison Wesley (1956)

[30] GSAS Manual

[31] W. D. Callister, Material Science and Engineering, Wiley and Son (2000)

Page 99: Laporan penelitian 2013.pdf

[32] G. Bertotti, Hysteresis in Magnetism for Physicists, Materials Scientists,

and Engineers (1998)

[33] C. Zener. J. Phys. Rev. 82 (1951) 440

[34] M. B. Salamon, Review of Modern Physics 73 (2001)

[35] J.C. Chapman, Phase Coexistence in Manganites, University of

Cambridge (2005)

[36] P. W. Anderson, Phys. Rev. 75 (1950)

[37] Ismunandar, Kimia Anorganik (2004)

[38] P. R. Soni, Mechanical Alloying Fundamentals and Applications (2001)

[39] Suryanarayana, Mechanical Alloying and Milling (2004)

[40] M. S. El-Eskandarany, Mechanical Alloying for Fabrication of Advanced

Engineering (2001)

[41] V. T. Truong, S. Z. Riddell, R. F. Muscat, J. Mat. Sci. 33 (1998) 4971-

4976

[42] N. Andersson, R. Andersson, V. Bergman, M. Ek, K. Mamberg, Royal

Institute of Technology Stockholm Sweden (2006)

[43] Y. Liu, D.J. Sellmyer, D. Shindo, Handbook of Advance Magnetic

Materials, Springer (2006)

Page 100: Laporan penelitian 2013.pdf

PEMAKAIAN ANGGARAN DANA

1. Honorarium

No Pelaksana Jumlah Pelaksana Bulan Satuan Biaya (Rp)

1. Ketua 1 5 500.000 2.500.000

2. Anggota 1 5 300.000 1.500.000

Jumlah Honorarium 4.000.000

2. Bahan habis pakai dan peralatan

Bahan habis pakai

No Nama Bahan dan Peralatan Volume Biaya (Rp)

Harga (Rp) Satuan/ Set

1. Serbuk La2O3 100 gr 10.000 1.000.000

2. Serbuk MnCO3 500 gr 4.000 2.000.000

3. Serbuk Barium Karbonat 500 gr 4.000 2.000.000

4. Serbuk NiO 100 gr 10.000 1.000.000

5. Serbuk Karbon 500 gr 1.000 500.000

6. alkohol 96% 4 liter 45.000 180.000

7. Abrasive paper 5 lembar 5.000 25.000

9. doubeltape 1 buah 5.000 5.000

10. Tissue 1 paket 10.000 10.000

12. Aqua Bidestilasi 1 liter 150.000 150.000

13. Sabun cream 500 gr 10.000

14. Aseton 1 liter 50.000 50.000

15. Toner printer 1 set 250.000 250.000

Page 101: Laporan penelitian 2013.pdf

Jumlah Biaya Bahan Habis Pakai 7.180.000

Peralatan

1. Dies (cetakan spesimen) 1 buah 1.250.000 1.250.000

2. Spatula 2 buah 7.500 15.000

3. Ball Mill 20 buah 40.000 800.000

4. Pinset 1 buah 5.000 5.000

9. Cawan keramik 50 ml 5 buah 30.000 150.000

13. Mangkuk penumbuk dari keramik 1 buah 100.000 100.000

Jumlah Biaya Peralatan 2.320.000

Total Biaya Bahan Habis Pakai dan Peralatan 9.500.000

3. Lain-lain

No Kegiatan Volume Biaya

Satuan (Rp)

Jumlah

(Rp)

1. Pengadaan Laporan Hasil Penelitian 2 eks. 50.000 100.000

2. Biaya karakterisasi SEM 4 sampel 350.000 1.400.000

Jumlah Biaya Lain-lain 1.500.000

Jadi total anggaran penelitiannya:

No Jenis Pengeluaran Biaya yang Diusulkan

(Rp)

1. Gaji dan upah (Honorarium) 4.000.000

2. Bahan habis pakai dan peralatan 9.500.000

3. Lain-lain 1.500.000

Jumlah Total Anggaran Penelitian 15.000.000

Page 102: Laporan penelitian 2013.pdf

CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI

Nama : Sitti Ahmiatri Saptari

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 April 1977

Alamat : Komp. Timah Blok DD/17 Cimanggis Depok

NIP : 19770416 200501 2 008

Pangkat/Golongan : Penata / III/c

Jabatan Fungsional : Lektor

No. Telp. : 0811 820 6396

Email : [email protected]

PENDIDIKAN

S1 : Departemen Fisika, FMIPA,

Universitas Indonesia (1995 – 2000)

S2 : Departemen Fisika, FMIPA,

Universitas Indonesia (2000 – 2003)

PUBLIKASI

1. Sitti Ahmiatri Saptari, Djarwani S.S, Pengaruh Ion Karbonat dalam Proses

Presipitasi Senyawa Kalsium Fosfat, Makara Seri Sains, UI, Jakarta, 2002.

Page 103: Laporan penelitian 2013.pdf

2. Sitti Ahmiatri Saptari, Studi Spektroskopi Infra Merah Transformasi Fourier

Kristal Apatit dalam Tulang Ayam, Al Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2007

3. Sitti Ahmiatri Saptari, Hidroksiapatit, Al Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2008

4. Sitti Ahmiatri Saptari, Identifikasi Hidroksiapatit dalam Gigi Manusia, Al

Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2009

5. Sitti Ahmiatri Saptari, Studi Hidrosiapatit dalam Gigi Manusia: Spektrometer

Infra Merah Transformasi Fourier, Al Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2010

6. Elvan Yuniarti, Sitti Ahmiatri Saptari, Kajian Sifat Optik Glukosa Darah,

Prosiding Seminar Nasional, FMIPA IPB, 2012

7. Sitti Ahmiatri Saptari, Karakterisasi Ukuran Partikel, Struktur Kristal, dan

Sifat Magnet Bahan NiZn Ferit dengan Variasi Lama Milling, Al Fiziya,

FST UIN, Jakarta, 2013

LAPORAN PENELITIAN

1. Sitti Ahmiatri Saptari, Efek Doping Ti terhadap Struktur Kristal Bahan

Manganat La0,67Ca0,33MnO3, FST UIN, Jakarta, 2011

2. Sitti Ahmiatri Saptari, Karakteristik Struktur Kristal pada Bahan

Ni0,3Zn0,7Fe3O4 dengan Variasi Lama Milling, FST UIN, Jakarta, 2012

Page 104: Laporan penelitian 2013.pdf

CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI

Nama : Priyambodo

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 07 Mei 1980

Alamat : Jl. Khayar RT 10/06 No. 12 Ciganjur, Jakarta

Selatan, 12630

NIP : 19800507 200910 1 002

Pangkat/Golongan : Penata Muda / III/a

Jabatan Fungsional : Pranata Laboratorium Pendidikan Ahli Pertama

No. Telp. : 081315880617

Email : [email protected]

PENDIDIKAN

S1 : Departemen Fisika, FMIPA,

Universitas Indonesia (1998 – 2004)

PUBLIKASI

8. Mirzan T. Razzak, Sandra Hermanto, Priyambodo, Pengukuran Karakterisasi

Difraksi Sinar-X (XRD) terhadap Beberapa Jenis Antibiotika, Lembaga

Penelitian - UIN Jakarta Press, Jakarta, 2008.

9. Mirzan T. Razzak, Thamzil Las, Priyambodo, Karakterisasi Zeolit Alam

untuk Sistem Penjernihan Air, Lembaga Penelitian - UIN Jakarta Press,

Jakarta, 2009.