LAPORAN PENDAHULUAN ca recti,anemia, DAN HIPOKALEMIA.doc

47
CA RECTI A. Pengertian Karsinoma Recti merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum yang khusus menyerang bagian Recti yang terjadi akibat gangguan proliferasi sel epitel yang tidak terkendali. B. Insidens dan Faktor Risiko Kanker yang ditemukan pada kolon dan rektum 16 % di antaranya menyerang Recti terutama terjadi di negara- negara maju dan lebih tinggi pada laki-laki daripada wanita. Beberapa faktor risiko telah diidentifikasi sebagai berikut: 1. Kebiasaan diet rendah serat. 2. Polyposis familial 3. Ulcerasi colitis

description

MENGENAI KONSEP MEDIS cA RECTI, anemia, dan hipokalemia serta perencanaan keperawatab

Transcript of LAPORAN PENDAHULUAN ca recti,anemia, DAN HIPOKALEMIA.doc

CA RECTI

A. Pengertian

Karsinoma Recti merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan

rektum yang khusus menyerang bagian Recti yang terjadi akibat gangguan

proliferasi sel epitel yang tidak terkendali.

B. Insidens dan Faktor Risiko

Kanker yang ditemukan pada kolon dan rektum 16 % di antaranya menyerang

Recti terutama terjadi di negara-negara maju dan lebih tinggi pada laki-laki

daripada wanita. Beberapa faktor risiko telah diidentifikasi sebagai berikut:

1. Kebiasaan diet rendah serat.

2. Polyposis familial

3. Ulcerasi colitis

4. Deversi colitis

C. Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui namun telah dikenali beberapa faktor predisposisi

yang penting yang berhubungan dengan carsinoma recti.

1. Diet

Makanan yang banyak mengandung serat misalnya sayur-sayuran akan

menyebabkan waktu transitbolus di intestin akan berkurang, sehingga kontak

zat yang potensial karsinogen pada mukosa lebih singkat. Selain itu makan

makanan yang berlemak dan protein hewani yang tinggi dapat memicu

terjadinya Ca. Rekti

2. Kelainan di colon

- Adenoma di kolon, t.u bentuk villi dapat mengalami degenerasi maligna

menjadi adenokarsinoma

- Familial poliposis merupakan kondisi premaligna dimana + 7 %

polipasis akan mengalami degenerasi maligna

- Kolitis ulserativa, mempunyai resiko besar yang terjadi Ca. Rekti

3. Herediter

Hasil penelitian menunjukkan anak – anak yang berasal dai ortu yang

menderita Ca.kolateral mempunyai frekuensi 3,5 x lebih besar daripada anak

yang mempunyai ortu yang sehat

D. Patofisiologi

Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui secara

pasti. Polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas tetapi

dianggap bukan sebagai penyebab langsung. Asam empedu dapat berperan

sebagai karsinogen yang mungkin berada di kolon. Hipotesa penyebab yang lain

adalah meningkatnya penggunaan lemak yang bisa menyebabkan kanker

kolorektal.

Tumor-tumor pada Recti dan kolon asendens merupakan lesi yang pada

umumnya berkembang dari polip yang meluas ke lumen, kemudian menembus

dinding kolon dan jaringan sekitarnya. Penyebaran tumor terjadi secara

limfogenik, hematogenik atau anak sebar. Hati, peritonium dan organ lain

mungkin dapat terkena.

Menurut P. Deyle perkembangan karsinoma kolorektal dibagi atas 3 fase.

Fase pertama ialah fase karsinogen yang bersifat rangsangan, proses ini berjalan

lama sampai puluhan tahun. Fase kedua adalah fase pertumbuhan tumor tetapi

belum menimbulkan keluhan (asimtomatis) yang berlangsung bertahun-tahun

juga. Kemudian fase ketiga dengan timbulnya keluhan dan gejala yang nyata.

Karena keluhan dan gejala tersebut berlangsung perlahan-lahan dan tidak sering,

penderita umumnya merasa terbiasa dan menganggap enteng saja sehingga

penderita biasanya datang berobat dalam stadium lanjut.

Stadium kanker colorectal dibagi sebagai berikut:

1. Stadium 0: Kanker ditemukan hanya pada lapisan terdalam di kolon atau

rektum. Carcinoma in situ adalah nama lain untuk kanker colorectal Stadium

0.

2. Stadium I: Tumor telah tumbuh ke dinding dalam kolon atau rektum. Tumor

belum tumbuh menembus dinding.

3. Stadium II: Tumor telah berkembang lebih dalam atau menembus dinding

kolon atau rektum. Kanker ini mungkin telah menyerang jaringan di

sekitarnya, tapi sel-sel kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening,

4. Stadium III: Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di sekitarnya,

tapi belum menyebar ke bagian tubuh yang lain.

5. Stadium IV: Kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang lain, misalnya hati

atau paru-paru.

6. Kambuh: Kanker ini merupakan kanker yang sudah diobati tapi kambuh

kembali setelah periode tertentu, karena kanker itu tidak terdeteksi. Penyakit

ini dapat kambuh kembali dalam kolon atau rektum, atau di bagian tubuh

yang lain.

Menurut klasifikasi duke berdasarkan atas penyebaran sel karsinoma dibagi

menjadi :

1. Kelas A : Tumor dibatasi mukosa dan submukosa.

2. Kelas B : Penetrasi atau penyebaran melalui dinding usus.

3. Kelas C : Invasi kedalam sistem limfe yang mengalir regional.

4. Kelas D : Metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas.

( Brunner & Suddarth,buku ajar keperawatan medikal bedah,hal. 1126 ).

E. Gambaran Klinis

Semua karsinoma kolorektal dapat menyebabkan ulserasi, perdarahan,

obstruksi bila membesar atau invasi menembus dinding usus dan kelenjar-

kelenjar regional. Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses

dalam peritoneum. Keluhan dan gejala sangat tergantung dari besarnya tumor.

Tumor pada Recti dan kolon asendens dapat tumbuh sampai besar sebelum

menimbulkan tanda-tanda obstruksi karena lumennya lebih besar daripada kolon

desendens dan juga karena dindingnya lebih mudah melebar. Perdarahan biasanya

sedikit atau tersamar. Bila karsinoma Recti menembus ke daerah ileum akan

terjadi obstruksi usus halus dengan pelebaran bagian proksimal dan timbul nausea

atau vomitus. Harus dibedakan dengan karsinoma pada kolon desendens yang

lebih cepat menimbulkan obstruksi sehingga terjadi obstipasi.

Manifestasi klinis :

1. Perdarahan sejak peranal : BAB berdarah segar

2. BAB berdarah lender : karena darah yang dikeluarkan oleh kanker tesebut

telah bercampur dengan tinja

3. Obstruksi saluran pencernaan

o Perut kembung makin lama makin tegang

o Tidak dapat BAB dan tidak ada flatus

o Ukuran feses kecil seperti feses kambing

o Tenesmus rasa tidak puas setelah BAB

4. Lain-lain

- Anoreksia

- BA turun

- Nyeri perut ditempat kanker

- BAB tidak teratur

- Tenesmus rasa tidak puas setelah BAB dan rasa yeri pada saat BAB

F. Prosedur Diagnostik

Untuk menegakkan diagnosa yang tepat diperlukan:

1. Anamnesis yang teliti, meliputi:

§ Perubahan pola/kebiasaan defekasi baik berupa diare maupun konstipasi

(change of bowel habit)

§ Perdarahan per anum

§ Penurunan berat badan

§ Faktor predisposisi:

Riwayat kanker dalam keluarga

Riwayat polip usus

Riwayat kolitis ulserosa

Riwayat kanker pada organ lain (payudara/ovarium)

Uretero-sigmoidostomi

Kebiasaan makan (tinggi lemak rendah serat)

2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian pada:

§ Status gizi

§ Anemia

§ Benjolan/massa di abdomen

§ Nyeri tekan

§ Pembesaran kelenjar limfe

§ Pembesaran hati/limpa

§ Colok rektum(rectal toucher)

3. Endoskopi

• Untuk mengetahui adanya tumor/kanker di kolon/rectum

• Untuk menentukan sumber pendapatan

• Untuk mengetahui letak obstruksi

4. Radiologi

• Foto dada : Untuk melihat ada tidaknya metastasis kanker paru

Untuk persiapan pembedahan

• Foto colon (Banum enema)

- Dapat terlihat suatu filling deffect pada suatu tempat/suatu striktura

- Dapat menentukan lokasi tempat kelainan

5. USG

• Untuk mengetahui apakah ada metastasis kanker ke kelenjar getah bening di

abdomen dan hati

• Gambaran metastasis kanker dihati akan tampak massa multi nodular dengan

gema berdensitas tinggi homogen

6. Endosonggrafi

Pada karsinoma akan tampak massa yang hypoechoic tidak teratur mengenai

lapisan dinding kolon

7. Histopatologi

Gambaran histopatologi pada karsinoma recti C adenokarsinoma dan perlu

ditentukan differensiasi sel

8. Laboratorium

• Hb : menurun pada perdarahan

• Tumor marker (LEA) > 5 mg/ml

• Pemeriksaan tinja secara bakteriologis ; terdapat sigela dan amoeba

G. Pengobatan

Pengobatan pada stadium dini memberikan hasil yang baik.

a) Pilihan utama adalah pembedahan

b) Radiasi pasca bedah diberikan jika:

a. sel karsinoma telah menembus tunika muskularis propria

b. ada metastasis ke kelenjar limfe regional

c. masih ada sisa-sisa sel karsinoma yang tertinggal tetapi belum ada metastasis

jauh.

Radiasi pra bedah hanya diberikan pada karsinoma rektum).

c) Obat sitostatika diberikan bila:

a. Inoperable

b. operabel tetapi ada metastasis ke kelenjar limfe regional, telah menembus

tunika muskularis propria atau telah dioperasi kemudian residif kembali.

Obat yang dianjurkan pada penderita yang operabel pasca bedah adalah:

a. Fluoro-Uracil 13,5 mg/kg BB/hari intravena selama 5 hari berturut-turut.

Pemberian berikutnya pada hari ke-36 (siklus sekali 5 minggu) dengan total 6

siklus.

b. Futraful 3-4 kali 200 mg/hari per os selama 6 bulan

Terapi kombinasi (Vincristin + FU + Mthyl CCNU)

Pada penderita inoperabel pemberian sitostatika sama dengan kasus operabel

hanya lamanya pemberian tidak terbatas selama obat masih efektif. Selama

pemberian, harus diawasi kadar Hb, leukosit dan trombosit darah.Pada stadium

lanjut obat sitostatika tidak meberikan hasil yang memuaskan.

ANEMIA

A. PENGERTIAN

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih

rendah dari normal. Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah Hb

dalam 1mm3 darah atau berkurangnya volume sel yang didapatkan (packed red

cells volume) dalam 100 ml darah. (Ngastiyah.1997).

B. KLASIFIKASI ANEMIA

Anemia dapat dibedakan menurut mekanisme kelainan pembentukan, kerusakan

atau kehilangan sel-sel darah merah serta penyebabnya:

1. Anemia pasca perdarahan : akibat perdarahan massif seperti kecelakaan,

operasi dan persalinan dengan perdarahan atau perdarahan

menahun:cacingan.

2. Anemia defisiensi: kekurangan bahan baku pembuat sel darah. Bisa karena

intake kurang, absorbsi kurang, sintesis kurang, keperluan yang bertambah.

3. Anemia hemolitik: terjadi penghancuran eritrosit yang berlebihan. Karena

faktor intrasel: talasemia, hemoglobinopatie, sferositisis kongenital, dsfisiensi

enzim erotrosit dll. Sedang factor ekstrasel: intoksikasi, infeksi –malaria,

reaksi hemolitik transfusi darah.

4. Anemia aplastik disebabkan terhentinya pembuatan sel darah oleh sumsum

tulang (kerusakan sumsum tulang).

(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, 1985)

Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:

1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah

disebabkan oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:

a. Anemia aplastik

Penyebab:

agen neoplastik/sitoplastikterapi radiasi

antibiotic tertentuobat anti konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason

benzeneinfeksi virus (khususnya hepatitis)

↓Penurunan jumlah sel eritropoitin (sel induk) di sumsum tulang

Kelainan sel induk (gangguan pembelahan, replikasi, deferensiasi)Hambatan humoral/seluler

↓Gangguan sel induk di sumsum tulang

↓Jumlah sel darah merah yang dihasilkan tak memadai

↓Pansitopenia

↓Anemia aplastik

Gejala-gejala:

Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)

Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan

saluran cerna, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf

pusat.

Morfologis: anemia normositik normokromik

b. Anemia pada penyakit ginjal

Gejala-gejala:

- Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl

- Hematokrit turun 20-30%

- Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi

Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah merah

maupun defisiensi eritopoitin

c. Anemia pada penyakit kronis

Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia

jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna

yang normal). Kelainan ini meliputi artristis rematoid, abses paru,

osteomilitis, tuberkolosis dan berbagai keganasan

d. Anemia defisiensi besi

Penyebab:

Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil, menstruasi

Gangguan absorbsi (post gastrektomi)Kehilangan darah yang menetap

(neoplasma, polip, gastritis, varises oesophagus, hemoroid, dll.)↓

gangguan eritropoesis↓

Absorbsi besi dari usus kurang↓

sel darah merah sedikit (jumlah kurang)sel darah merah miskin hemoglobin

↓Anemia defisiensi besi

Gejala-gejalanya:

- Atropi papilla lidah

- Lidah pucat, merah, meradang

- Stomatitis angularis, sakit di sudut mulut

- Morfologi: anemia mikrositik hipokromik

e. Anemia megaloblastik

Penyebab:

Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folatMalnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor (aneia rnis st gastrektomi) infeksi

parasit, penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang terinfeksi, pecandu alkohol.

↓Sintesis DNA terganggu

↓Gangguan maturasi inti sel darah merah

↓Megaloblas (eritroblas yang besar)

↓Eritrosit immatur dan hipofungsi

2. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah

disebabkan oleh destruksi sel darah merah:

Pengaruh obat-obatan tertentuPenyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik kronik

Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenaseProses autoimunReaksi transfusi

Malaria↓

Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit↓

Antigen pada eritrosit berubah↓

Dianggap benda asing oleh tubuh↓

sel darah merah dihancurkan oleh limposit↓

Anemia hemolisis

C. PATOFISIOLOGI

Timbulnya anemia mencerminkan adanya keggagalan sumsum atau

kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum

(misal.berkuranganya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi,

pejanantoksik, invasi tumor, atau kebnyakan penyebab yang tidak diketahui. Sel

darah merah dapat hilang melalui peradarahan atau hemolisis( destruksi). Pada

kasus yang disebut terakhir, masalahnya dapat akibat defek sel darah merah yang

tidak sesuai dengan ketahahan sel darah merah normal atau akibat beberapa

faktor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau

dalam sistem retikuloendotelia, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil

samping proses ini bilirubin yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran

darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah segera direfleksikan dengan

peningkatan bilirubin plasma ( konsentrasi normalanya 1 mg/ dl atau kurang ;

kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sklera)

Apabila sel darah merah mengalami pengancuran dalam sirkulasi, seperti

yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka akan muncul dalam

plasma( hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasma melebihi kapasitas

haptoglobin plasma(protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat

semuanya (mis. Apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dl ) hemoglobin

kan terdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria). Jika

ada atau tidak adanya hemoglobinemia atau hemoglobinuria dapat memberikan

informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal pada pasien

dengan hemolisi dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat proses

hemolitik tersebut (Suddart and Brunner, 2001).

D. MANIFESTASI KLINIS

Tanda-tanda umum anemia:

1. Pucat

2. Tacicardi

3. bising sistolik anorganik

4. bising karotis

5. pembesaran jantung

Manifestasi khusus pada anemia:

1. Anemia aplastik: ptekie, ekimosis, epistaksis, ulserasi oral, infeksi bakteri,

demam, anemis, pucat, lelah, takikardi.

2. Anemia defisiensi: konjungtiva pucat (Hb 6-10 gr/dl), telapak tangan pucat

(Hb < 8 gr/dl), iritabilitas, anoreksia, takikardi, murmur sistolik, letargi, tidur

meningkat, kehilangan minat bermain atau aktivitas bermain. Anak tampak

lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat, sakit kepala, anak tak tampak

sakit, tampak pucat pada mukosa bibir, farink,telapak tangan dan dasar kuku.

Jantung agak membesar dan terdengar bising sistolik yang fungsional.

3. Anemia aplastik : ikterus, hepatosplenomegali.

(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, 1985)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Kadar Hb.

Kadar Hb <10g/dl. Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata < 32% (normal:

32-37%), leukosit dan trombosit normal, serum iron merendah, iron binding

capacity meningkat.

2. Indeks eritrosit

3. jumlah leukosit dan trombosit

4. hitung retikulosit

5. sediaan apus darah

6. pameriksaan sumsum tulang

7. Kelainan laborat sederhana untuk masing-masing tipe anemia :

a. Anemia defisiensi asam folat : makro/megalositosis

b. Anemia hemolitik : retikulosit meninggi, bilirubin indirek dan total

naik, urobilinuria.

c. Anemia aplastik : trombositopeni, granulositopeni, pansitopenia, sel

patologik darah tepi ditemukan pada anemia aplastik karena

keganasan.

(Petit, 1997)

F. KOMPLIKASI

1. Cardiomegaly

2. Congestive heart failure

3. Gastritis

4. Paralysis

5. Paranoia

6. Hallucination and delusion

7. Infeksi genoturia

(Hand Out Nurhidayah, 2004)

Anemia↓

viskositas darah menurun↓

resistensi aliran darah perifer↓

penurunan transport O2 ke jaringan↓

hipoksia, pucat, lemah↓

beban jantung meningkat↓

kerja jantung meningkat

↓payah jantung

G. PENATALAKSANAAN

1. Anemia pasca perdarahan: transfusi darah. Pilihan kedua: plasma ekspander

atau plasma substitute. Pada keadaan darurat bisa diberikan infus IV apa saja.

2. Anemia defisiensi: makanan adekuat, diberikan SF 3x10mg/kg BB/hari.

Transfusi darah hanya diberikan pada Hb <5 gr/dl.

3. Anemia aplastik: prednison dan testosteron, transfusi darah, pengobatan

infeksi sekunder, makanan dan istirahat.

HIPOKALEMIA

A. Pengertian

Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana kadar atau serum mengacu pada

konsentrasi dibawah normal yang biasanya menunjukkan suatu kekurangan nyata

dalam simpanan kalium total. (Brunner dan Suddarth, 2002).

Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium serum yang kurang dari

3,5mEq/L. (Price & Wilson, 2006)

B. Etiologi

1. Asupan kalium dari makanan yang menurun.

2. Kehilangan melalui saluran cerna.

3. Kehilangan melalui ginjal.

4. Kehilangan yang meningkat melalui keringat pada udara panas.

5. Perpindahan kalium kedalam sel.(Price & Wilson, 2006).

6. Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia : muntah

berulang-ulang, diare kronik, hilang melalui kemih (mineral kortikoid

berlebihan obat-obat diuretik). (Ilmu Faal, Segi Praktis, hal 209)

C. Patofisiologi

Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari

simpanan tubuh (3000-4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-kira

70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal

adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang

sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel,

sehingga berperan penting dalammenahan cairan di dalam sel dan

mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipunhanya merupakan bagian

kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalamfungsi neuromuskular.

Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan

oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.Rasio kadar kalium

ICF terhadap ECF adalah penentuan utama potensial membran selpada jaringan

yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot rangka. Potensial membran

istirahat mempersiapkan pembentukan potensial aksi yang penting untuk fungsi

saraf dan otot yang normal. Kadar kalium ECF jauh lebih rendah dibandingkan

kadar di dalam sel, sehingga sedikit perubahan pada kompartemen ECF

akanmengubah rasio kalium secara bermakna. Sebaliknya, hanya perubahan

kalium ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini secara bermakna.

Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia berat yang

dapat dikurangikegawatannya dengan meingnduksi pemindahan kalium dari ECF

ke ICF. Selain berperan penting dalam mempertahankan fungsi nueromuskular

yang normal, kalium adalahsuatu kofaktor yang penting dalam sejumlah proses

metabolik.Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara

ECF dan ICF,juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran.

Beberapa faktor hormonal dan nonhormonal juga berperan penting dalam

pengaturan ini, termasuk aldostreon, katekolamin, insulin, dan variabel asam-

basa.Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-100

mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel dalam

beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi melalui ginjal

akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (lebih kecil dari20%) akan

diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium kedalam

sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal merupakan

rangkaian mekanisme yangpenting untuk mencegah hiperkalemia yang

berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium

tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron dirangsang oleh

jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan kalium serum

diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun.

Sebagian besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di

reabsorpsipada tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan

lebih banyak kalium yang terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran

bagi reabsorpsi natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan

dalam urine. Sekresi kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus

pengaliran, sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus

distal (poliuria) juga akan meningkatkan sekresi kalium.Keseimbangan asam basa

dan pengaruh hormon mempengaruhi distribusi kalium antaraECF dan ICF.

Asidosis cenderung untuk memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan

alkalosis cenderung memindahkan dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan

meingkat jika terjadi gangguan metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada

alkalosis dibandingkan dengan asidosis. Beberapa hormon juga berpengaruh

terhadap pemindahan kalium antara ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin

merangsang perpindahan kalium ke dalam sel. Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik

menghambat masuknya kalium kedalam sel. Hal ini berperan penting dalam

klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik. (Price & Wilson, edisi 6, hal 341)

D. Manifestasi klinis

1. CNS dan neuromuskular; lelah, tidak enak badan, reflek tendon dalam

menghilang.

2. Pernapasan; otot-otot pernapasan lemah, napas dangkal (lanjut)

3. Saluran cerna; menurunnya motilitas usus besar, anoreksia, mual mmuntah.

4. Kardiovaskuler; hipotensi postural, disritmia, perubahan pada EKG.

5. Ginjal; poliuria,nokturia.(Price & Wilson, 2006, hal 344)

E. Pemeriksaan Diagnostik

1. Kalium serum : penurunan, kurang dari 3,5 mEq/L

2. Klorida serum : sering turun, kurang dari 98 mEq/L.

3. Glukosa serum : agak tinggi.

4. Bikarbonat plasma : meningkat, lebih besar dari 29 mEq/L.

5. Osmolalitas urine : menurun.* GDA : pH dan bikarbonat meningkat (Alkalosit

metabolik).(Doenges 2002, hal 1049)

F. Penatalaksanaan

Adapun penatalaksanaan penyakit hipokalemia yang paling baik adalah

pencegahan.Berikut adalah contoh-contoh penatalaksanaannya :

1. Pemberian kalium sebanyak 40-80 mEq/L.

2. Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-100

mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis, pisang,

aprikot, jeruk,advokat, kacang-kacangan, dan kentang).

Pemberian kalium dapat melalui oral maupun bolus intravena dalam botol infus.

Pada situasi kritis, larutan yang lebih pekat (seperti 20 mEq/L) dapat diberikan

melalui jalur sentral bahkan pada hipokalemia yang sangat berat, dianjurkan bahwa

pemberian kalium tidak lebih dari 20-40 mEq/jam ( diencerkan secukupnya) : pada

situasi semacam ini pasien harus dipantua melalui elektrokardigram (EKGdan

diobservasi dengan ketat terhadap tanda-tanda lain seperti perubahan padakekuatan

otot.(Brunner & Suddarth, 2002, hal 260).

Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan, perlu

disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa menyebabkan

hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi

kadar kalium serum.

a) Jumlah Kalium

Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk mengganti

kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk menghitung jumlah

kalium yang dibutuhkan pasien. Namun, 40—100 mmol K+ suplemen

biasa diberikan pada hipokalemia moderat dan berat.

Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20

mmol per hari dan pasien dianjurkan banyak makan makanan yang

mengandung kalium. KCL oral kurang ditoleransi pasien karena iritasi

lambung. Makanan yang mengandung kalium cukup banyak dan

menyediakan 60 mmol kalium 5.

b) Kecepatan Pemberian Kalium Intravena

Kecepatan pemberian tidak boleh dikacaukan dengan dosis. Jika kadar

serum > 2 mEq/L, maka kecepatan lazim pemberian kalium adalah 10

mEq/jam dan maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah terjadinya

hiperkalemia. Pada anak, 0,5—1 mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak

boleh melebihi dosis maksimum dewasa.

Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan kecepatan 40 mEq/jam melalui

vena sentral dan monitoring ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl

tidak boleh dilarutkan dalam larutan dekstrosa karena justru mencetuskan

hipokalemia lebih berat.

c) Koreksi Hipokalemia Perioperatif

KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K+, karena juga

biasa disertai defisiensi Cl-. Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau

kalium sitrat mungkin lebih sesuai. Terapi oral dengan garam kalium

sesuai jika ada waktu untuk koreksi dan tidak ada gejala klinik.

Penggantian 40—60 mmol K+ menghasilkan kenaikan 1—1,5 mmol/L

dalam K+ serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K+ akan berpindah

kembali ke dalam sel. Pemantauan teratur dari K+ serum diperlukan

untuk memastikan bahwa defisit terkoreksi.

d) Kalium IV

KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan mengalami

hipokalemia berat. Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol

infus. Gunakan sediaan siap-pakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia

berat (< 2 mmol/L), sebaiknya gunakan NaCl, bukan dekstrosa.

Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum

sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh

glukosa.

Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40

mmol K+ /L. Ini harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+.

Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban

cairan. Jika ada aritmia jantung, dibutuhkan larutan K+ yang lebih pekat

diberikan melalui vena sentral dengan pemantauan EKG. Pemantauan

teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak sebelum memberikan > 20

mmol K+/jam. Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui

vena perifer, karena cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.

DAFTAR PUSTAKA

AJ Nicholls & IH Wilson. Perioperative Medicine : managing surgical patients with

medical problems. OXFORD University Press; 2000.

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC,

Jakarta

Cohn JN, Kowey PR, Whelton PK, Prisant LM. New Guidelines for potassium

Replacement in Clinical Practice. Arch Intern Med 2000;160:2429-2436.

Dochterman & Bulecheck. 2004 (Ed). Nursing Interventions Classification (NIC),

Fourth Edition. USA: Mosby Elsevier.

Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans.

Guidelines for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made

Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC. Jakarta.

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.

Gennari F.J. Hypokalemia: Current Concept. The New England Journal of Medicine

1998 Aug 13;339(7): 451-458

Halperin ML, Goldstein MB. Fluid Electrolyte and Acid-Base Physiology. A problem-

based approach. WB Saunders Co. 2nd ed., p 358

Harlatt, Petit. (1997). Kapita Selekta Hematologi. Edisi 2. Jakarta, EGC.

Herdman, T.H. 2012 (Ed). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and

Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.

Moorhead, et al. 2008 (Ed). Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition.

USA: Mosby Elsevier.

Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Cetakan I. Jakarta, EGC.

Nurhidayah, 2004. Hand Out Asuhan Keperawatn Hyperchromic Macrocytic Anemia.

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4,

EGC, Jakarta

Salah E. Gariballa, Thompson G. Robinson and Martin D. Fotherby. Hypokalemia

and Potassium Excretion in Stroke Patients. Journal of the American

Geriatrics Society 1997;45(12).

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta :

EGC.

Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI, Jakarta.

Sunil Gomber and Viresh Mahajan. Clinico-Biochemical Spectrum of Hypokalemia.

Indian Pediatrics 1999;36:1144-1146

Tannen R.L. Potassium Disorders. In Kokko & Tannen. Fluid and ELectrolytes. WB

Saunders Company 3rd ed., p.123

Zwanger M. Hypokalemia. emedicine.com/emerg/topic273.html