LAPORAN PENDAHULUAN
-
Upload
azalikairsantiputri -
Category
Documents
-
view
45 -
download
1
description
Transcript of LAPORAN PENDAHULUAN
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
a. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis adalah infeksi pada meningen yang
disebabkan oleh basil tahan asam Mycobacterium tuberculosis (Gilroy,
2000).
Suriadi (2001: 89) mengatakan meningitis tuberkulosis adalah
peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal kolumna
yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat.
Menurut Arief Mansyur, dkk (2000 : 11) meningitis tuberkulosis
adalah penyebaran tuberkulosis primer dengan fokus infeksi ditempat lain.
Sedangkan pengertian meningitis tuberkulosis menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi, 1996 : 181) adalah komplikasi
infeksi primer dengan atau tanpa penyebaran milier.
Dari keempat pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis
tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang mengenai selaput otak, parenkim
otak dan pembuluh darah otak, disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan merupakan infeksi sekunder sebagai akibat penyebaran
infeksi tuberkulosis ditempat lain umumnya paru-paru.
b. Tuberkulosis (TB)
TB adalah penyakit infeksi menular dan menahun yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, kuman tersebut biasanya masuk
kedalam tubuh manusia melalui udara (pernafasan) kedalam paru-paru,
kemudian kuman tersebut menyebar dari paru-paru ke organ tubuh yang lain
melalui penyebaran darah, kelenjar limfe, saluran pernafasan, penyebaran
langsung ke organ tubuh lain (Sylvia Anderson 1995 : 753)
2. Etiologi
Penyakit meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis humanus, sedangkan menurut peneliti yang lain dalam literatur
yang berbeda meningitis Tuberkulosis disebabkan oleh dua micobacterium yaitu
Mycobacterium tubeculosis dan Mycobacterium bovis yang biasanya
menyebabkan infeksi pada sapi dan jarang pada manusia.
Mycobacterium tuberculosis merupakan basil yang berbentuk batang,
berukuran 0,2-0,6m x 1,0-10m, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.
Mycobacterium tuberculosis bersifat obligat aerob, hal ini menerangkan
predileksinya pada jaringan yang oksigenasinya tinggi seperti apeks paru, ginjal
dan otak. Mycobacterium tidak tampak dengan pewarnaan gram tetapi tampak
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Basil ini bersifat tahan asam, artinya tahan
terhadap pewarnaan carbolfuchsin yang menggunakan campuran asam klorida-
etanol. Sifat tahan asam ini disebabkan karena kadar lipid yang tinggi pada
dinding selnya. Lipid pada dinding sel basil Mycobacterium tuberculosis
meliputi hampir 60% dari dinding selnya, dan merupakan hidrokarbon rantai
panjang yang disebut asam mikolat. Mycobacterium tuberculosa tumbuh lambat
dengan double time dalam 18-24 jam, maka secara klinis kulturnya memerlukan
waktu 8 minggu sebelum dinyatakan negatif.
3. Manifestasi Klinik
Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan.
Terdapat riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki TB
aktif atau riwayat batuk lama, berkeringat malam dan penurunan berat badan
beberapa hari sampai beberapa bulan sebelum gejala infeksi susunan saraf pusat
muncul.
Gejala meningitis tuberkulosis sangat bervariasi, gejala awal biasanya
mirip dengan infeksi umum lainnya yaitu berupa kelemahan umum (malaise),
demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri kepala yang hilang timbul dan muntah.
Setelah gejala awal berlangsung selama sekitar 2 minggu timbul gejala nyeri
kepala yang persisten dan nyeri tengkuk yang berhubungan dengan rangsang
meningeal, timbul tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial dan defisit
neurulogik fokal (parese pada nervus kranial dan hemiparese). Inflamasi arteri
pada basis kranii disertai penyempitan dan pembentukan trombus pada
lumennya menimbulkan iskemik dan infark serebri dengan berbagai defisit
neurologi sebagai akibatnya. Saraf kranial II, III, IV, VI, VII dan VIII sering
mengalami kompresi oleh eksudat yang kental. Pada stadium lanjut terjadi
gerakan involunter, hemiplegi, kesadaran yang semakin menurun dan terjadi
hidrosefalus.
Ensefalopati tuberkulosis secara klinis memberikan sindrom berupa
kejang, stupor atau koma, gerakan involunter, paralise, deserebrasi atau rigiditas
dengan atau tanpa tanda klinis meningitis atau kelainan cairan serebrospinalis.
4. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya sebagai penyebaran infeksi
tuberkulosis primer ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru-paru.
Tuberkulosis secara primer merupakan penyakit pada manusia. Reservoir infeksi
utamanya adalah manusia, dan penyakit ini ditularkan dari orang ke orang
terutama melalui partikel droplet yang dikeluarkan oleh penderita tuberkulosis
paru pada saat batuk. Partikel-partikel yang mengandung Mycobacterium
tuberculosis ini dapat bertahan lama di udara atau pada debu rumah dan terhirup
masuk kedalam paru-paru orang sehat. Pintu masuk infeksi ini adalah saluran
nafas sehingga infeksi pertama biasanya terjadi pada paru-paru. Transmisi
melalui saluran cerna dan kulit jarang terjadi.
Droplet yang terinfeksi mencapai alveoli dan berkembang biak dalam
ruang alveoli, makrofag alveoli maupun makrofag yang berasal dari sirkulasi.
Sejumlah kuman menyebar terutama ke kelenjar getah bening hilus. Lesi primer
pada paru-paru berupa lesi eksudatif parenkimal dan kelenjar limfenya disebut
kompleks “Ghon”. Pada fase awal kuman dari kelenjar getah bening masuk
kedalam aliran darah sehingga terjadi penyebaran hematogen.
Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi, terbentuklah respon imunitas
selular terhadap infeksi tersebut. Limfosit-T distimulasi oleh antigen basil ini
untuk membentuk limfokin, yang kemudian mengaktivasi sel fagosit
mononuklear dalam aliran darah. Dalam makrofag yang diaktivasi ini organisme
dapat mati, tetapi sebaliknya banyak juga makrofag yang mati. Kemudian
terbentuklah tuberkel terdiri dari makrofag, limfosit dan sel-sel lain mengelilingi
jaringan nekrotik dan perkijuan sebagai pusatnya.
Setelah infeksi pertama dapat terjadi dua kemungkinan, pada orang yang
sehat lesi akan sembuh spontan dengan meninggalkan kalsifikasi dan jaringan
fibrotik. Pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah, penyebaran
hematogen akan menyebabkan infeksi umum yang fatal, yang disebut sebagai
tuberkulosis millier diseminata. Pada keadaan dimana respon host masih cukup
efektif tetapi kurang efisien akan timbul fokus perkijuan yang besar dan
mengalami enkapsulasi fibrosa tetapi menyimpan basil yang dorman. Klien
dengan infeksi laten memiliki resiko 10% untuk berkembang menjadi
tuberkulosis aktif. Reaktivasi dari fokus perkijuan akan terjadi bila daya tahan
tubuh host menurun, maka akan terjadi pembesaran tuberkel, pusat perkijuan
akan melunak dan mengalami pencairan, basil mengalami proliferasi, lesi akan
pecah lalu melepaskan organisme dan produk-produk antigen ke jaringan
disekitarnya. Apabila hal-hal yang dijelaskan di atas terjadi pada susunan saraf
pusat maka akan terjadi infeksi yang disebut meningitis tuberkulosis.
Fokus tuberkel yang berlokasi dipermukaan otak yang berdekatan
dengan ruang sub arakhnoid dan terletak sub ependimal disebut sebagai “Focus
Rich”. Reaktivasi dan ruptur dari fokus rich akan menyebabkan pelepasan basil
Tuberkulosis dan antigennya kedalam ruang sub arakhnoid atau sistem ventrikel,
sehingga terjadi meningitis tuberkulosis.
PATHWAY
Patofisiologi Meningitis TuberkulosisInhalasi kuman TB
Paru-paru
Penyebaran limfohematogen
TB paru primer Dorman di otak Organ lain
Pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang
Tuberkel melunak dan pecah
Kuman masuk ke ruang sub arakhnoid dan ventrikulus
Terjadi peradangan difus pada pia, arakhnoid, LCS, ruang sub arakhnoid dan ventrikulus
Penyebaran sel-sel leukosit PMN ke dalam ruang sub arakhnoid
Terbentuk eksudat
Beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dalam minggu ke-2
Eksudat yang terbentuk terdiri dari 2 lapisan : - lapisan luar mengandung fibrin dan leukosit PMN
- lapisan dalam mengandung makrofag
Proses radang terjadi juga pada pembuluh darah di korteks
Trombosis, infark otak, oedema otak, degenerasi neuron-neuron
Tombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrinopurulen. Kelainan nervus kranial II, III, IV, VI, VII, VIII
Organisasi di ruang sub arakhnoid superfisial yang dapat menghambat aliran dan absorpsi LCS
Hidrosefalus komunikan
Bagan 1 Patofisiologi
5. Klasifikasi
Menurut Smeltzer. S.C and Brenda. G. Bare (2001 : 2175) klasifikasi
meningitis dibagi menjadi 3 tipe utama yaitu meningitis asepsis, sepsis dan
tuberkulosis.
a. Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis,
limfoma, leukemia, atau darah di ruang sub arakhnoid.
b. Meningitis sepsis menunjukan meningitis yang disebabkan oleh organisme
bakteri seperti meningokokus,stafilokokus, atau basilus influenza.
c. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mikobakterium
tuberkulosis.
Sedangkan menurut Arief Mansyur (2000 : 11) berdasarkan perubahan
yang terjadi pada cairan otak, meningitis dibagi dalam 2 golongan yaitu :
a. Meningitis serosa adalah radang selaput otak, arakhnoid, dan piamater yang
disertai cairan otak yang jernih penyebab tersering adalah Mycobacterium
tuberculosis, penyebab lain adalah virus, toxoplasma dan ricketsia.
b. Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piamater yang
meliputi otak dan medulaspinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus
pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok),
Streptococcus haemoliticus, Staphylococcus coli, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa.
Klasifikasi atas dasar gejala klinik yang dapat meramalkan prognosis
penyakit menurut Medical Research Council of Great Britain sebagai berikut :
Stadium I : Klien menunjukan sedikit atau tanpa gejala klinis
meningitis, tanpa parese, dalam keadaan umum yang baik
dan kesadaran yang penuh.
Stadium II : Klien dengan keadaan diantara stadium I dan III
Stadium III : Klien tampak sakit berat, kesadaran stupor atau koma dan
terdapat parese yang berat (hemiplegi atau paraplegi).
6. Dampak Meningitis Terhadap Sistem Tubuh Lain
a. Sistem Pernafasan
Penderita meningitis dapat mengalami kerusakan saraf pengatur pernafasan
sehingga kontrol sistem pernafasan tidak adekuat. Pola nafas berubah
sehingga pengambilan oksigen dari atmosfir dapat berkurang, yang berakhir
dengan kondisi hipoksia. Kerusakan vaskular pada jaringan susunan saraf
pusat akan menghambat proses transportasi oksigen sehingga otak
kekurangan oksigen yang berdampak terjadinya kematian sel-sel jaringan
otak, distres pernafasan terjadi akibat penekanan pusat pernafasan di medulla
oblongata oleh peningkatan tekanan intrakranial.
b. Sistem Kardiovaskular
Proses peradangan pada meningen menyebabkan perubahan pada jaringan
selaput otak sehingga menghambat sirkulasi darah. Gangguan pola nafas
menyebabkan kadar oksigen darah berkurang sehingga perfusi jaringan
menurun yang ditandai dengan adanya sianosis pada beberapa bagian tubuh
tekanan darah meningkat atau menurun dan frekuensi nadi meningkat.
c. Sistem Pencernaan
Terjadi oedema serebral mengakibatkan kompensasi tubuh untuk menangani
dengan mengeluarkan steroid adrenal melalui perangsangan dari hipotalamus.
Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan sekresi asam lambung yang
menyebabkan hiper asiditas yang akan menimbulkan mual, muntah dan nafsu
makan berkurang. Pada kondisi yang kronis keadaan ini akan menimbulkan
iskemi mukosa lambung dan kerusakan barier mukosa sehingga terjadilah
perdarahan lambung (stress ulcer) maka pada kondisi tersebut asupan nutrisi
klien tidak adekuat yang menimbulkan klien kurang nutrisi.
d. Sistem Perkemihan
Pada sistem urinaria terjadi retensi urine dan inkontinensia urine. Pada
kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena proses katabolisme
terutama jika dalam kondisi kekurangan kalori protein (KKP).
e. Sistem Persarafan
Proses peradangan meningen dapat menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial, dimana akan terjadi kerusakan saraf pusat pengontrol kesadaran
yang dapat menimbulkan penurunan kesadaran dan terjadi penekanan pada
saraf pusat pernafasan yang dapat mengakibatkan pola nafas tidak efektif.
Pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek
menelan, nervus optikus yang dapat mengganggu fungsi visual, kerusakan
nervus III, IV, VI yang dapat mengganggu pergerakan bola mata, kerusakan
nervus VIII yang dapat mengganggu fungsi pendengaran. Pada proses
peradangan akan menimbulkan respon nyeri yang akan merangsang korteks
sesebri dan dalam keadaan lanjut dapat menimbulkan iritasi meningen yang
ditandai dengan adanya kaku kuduk, kernig positif, brudzinski I dan II, serta
laseque positif.
f. Sistem muskuloskeletal
Proses inflamasi pada susunan saraf menimbulkan berbagai hambatan dalam
perangsangan neuromuskuler sehingga dapat timbul kelemahan otot-otot dan
terjadi paralise. Hal ini memungkinkan klien tidak dapat melakukan aktifitas
gerak tubuhnya secara optimal bahkan terjadinya kontraktur dapat
memperberat kondisi.
g. Sistem Integumen
Peningkatan metabolisme mengakibatkan peningkatan suhu tubuh sehingga
timbul demam, yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan, selain itu klien
dengan meningitis seringkali terjadi penurunan kesadaran sehingga klien
harus berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi gangguan integritas
kulit sebagai dampak dari berbaring yang lama.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada meningitis tuberkulosis meliputi
pemeriksaan Rontgent thorax, CT-scan, MRI.
Pada klien dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan
gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgent thoraks,
kadang-kadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan dan MRI dapat terlihat adanya
hidrosefalus, inflamasi meningen dan tuberkoloma. Gambaran rontgent
thoraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis.
b. Tes Tuberkulin
Tuberkulin hanya mendeteksi reaksi hipersensitifitas lambat, tidak
menandakan adanya infeksi aktif sehingga penggunaannya untuk
mendiagnosis infeksi aktif dan meningitis tuberkulosis masih kurang
sensitif. Namun pemeriksaan tuberkulin yang positif pada anak memiliki
nilai diagnostik, sementara pada orang dewasa hanya menandakan adanya
riwayat kontak dengan antigen tuberkulosis, dan dapat memberikan arah
untuk pemeriksaan selanjutnya.
c. Cairan Serebrospinal
Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnostik yang efektif
untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Gambaran cairan serebrospinal
yang karakteristik pada meningitis tuberculosis adalah:
1) Cairan jernih sedikit kekuningan atau xantocrom.
2) Pleositosis yang moderat biasanya antara 100-400 sel/mm3 dengan
predominan limfosit.
3) Kadar glukosa yang rendah 30-45 mg/dL atau kurang dari 50% nilai
glukosa darah.
4) Peningkatan kadar protein.
d. Bakteriologi
Identifikasi basil tuberkulosis pada cairan serebrospinal memiliki
akurasi yang sangat tinggi hingga 100% dalam mendiagnosis meningitis
tuberkulosis. Untuk mendiagnosis basil tersebut dapat dilakukan dengan
cara pemeriksaan apus langsung BTA dengan metode Ziehl-Neelsen dan
dengan cara kultur pada cairan serebrospinal.
e. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan ini untuk mengukur sifat tertentu dari mycobacterium atau
respon tubuh penderita terhadap mycobacterium. Yang tergolong
pemeriksaan biokimia antara lain:
1) Bromide Partition Test (BPT)
2) Adenosine Deaminase Activity (ADA)
3) Tuberculostearic Acid
f. Tes Immunologis
Yang mendeteksi antigen atau antibody mikobakterial dalam cairan
serebrospinal, metoda yang sering digunakan dalam tes imunologis antara
lain:
1) ELISA (enzym linked immuno sorbent assay)
2) Polymerase Chain Reaction (PCR)
8. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan meningitis tuberkulosis terdiri dari:
a. Perawatan umum
Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan
dengan sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit,
kebutuhan nutrisi, posisi klien, perawatan kandung kemih, dan defekasi serta
perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi klien.
b. Kemoterapeutik dengan obat anti tuberkulosis
Tujuan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis adalah
menyembuhkan penderita dari penyakit tuberkulosis yang dideritanya,
mencegah kematian akibat tuberkulosis, mencegah terjadinya relaps,
mencegah penularan dan sekaligus mencegah terjadinya resistensi terhadap
obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan.
Prinsip pengobatan meningitis tuberkulosis tidak banyak berbeda
dengan terapi bentuk tuberkulosis yang lain. Syarat terpenting adalah bahwa
pilihan OAT harus dapat menembus sawar darah otak dalam konsentrasi
yang cukup untuk mengeliminir basil intra dan ekstraselular. Beberapa obat
yang biasa digunakan untuk meningitis tuberkulosis adalah :
1) Isoniazida (INH) diberikan dengan dosis 400 mg / hari.
2) Rifampisin, diberikan dengan dosis 450-600 mg / hari.
3) Pyrazinamid, diberikan dengan dosis 1500 mg / hari.
4) Ethambutol, diberikan dengan dosis 25 mg / kg BB / hari sampai dengan
1500 mg / hari.
5) Streptomisin, diberikan intra muskular selama 3 bulan dengan dosis 30-
50 mg / kg BB / hari.
6) Kortikosteroid, biasanya digunakan dexametason secara intra vena
dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam, pemberian dexametason ini terutama
jika terdapat oedema otak, apabila keadaan membaik maka dosis dapat
diturunkan secara bertahap.
Efek samping OAT
(a) Isoniazid (H)
Efek samping berat yaitu terjadi hepatitis dan terjadi pada kira-kira 0,5%
dari kasus. Bila terjadi maka pengobatan dihentikan, dan setelah
pemeriksaan faal hati kembali normal pengobatan dapat dilaksanakan
kembali
Efek samping ringan berupa
(1) Tanda-tanda keracunan saraf tepi, kesemutan, anastesia dan nyeri
otot
(2) Kelainan yang menyerupai syndroma pellagra
(3) Kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal
(b) Rifampisin (R)
Efeksamping berat jarang terjadi seperti : sesak nafas yang kadang-
kadang disertai kollaps atau syok, anemia hemolitik, purpura dan gagal
ginjal
Efek samping ringan seperti : gatal-gatal, kemerahan, demam, nyeri
tulang, nyeri perut, mual muntah dan kadang-kadang diare.
(c) Pyrazinamid (Z)
Efek samping utama adalah hepatitis, dapat terjadi nyeri sendi dan
kadang-kadang serangan penyakit gout.
(d) Ethambutol (E)
Dapat menyebabkan gangguan penglihatan, berkurangnya ketajaman
penglihatan, kabur dan buta warna merah dan hijau.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Meningitis
Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami
gangguan sistem persarafan, perawat dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir
kritis, karena tidak jarang kliennya mengalami penurunan kesadaran, sehingga
perawat bekerja sepihak. Walaupun kondisinya demikian perawat tetap harus
menggunakan metoda pendekatan pemecahan masalah (problem solving) melalui
proses keperawatan.
Proses keperawatan yaitu serangkaian perbuatan atau tindakan untuk
menetapkan, merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam
rangka membantu klien untuk mencapai dan memelihara kesehatan secara
optimal.tindakan keperawatan tersebut dilaksanakan secara komprehensif yang
saling berkesinambungan dan berkaitan satu sama lain dari mulai pengkajian,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dimana pada
tahap ini perawat melakukan pengumpulan data yang diperoleh dari hasil
wawancara, pemeriksaan fisik, laporan teman sejawat, catatan keperawatan
atau tim kesehatan lainnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisa untuk
mendapatkan diagnosa keperawatan yang merupakan masalah klien. Tahap
pengkajian ini terdiri dari :
a. Pengumpulan data
1) Identitas
a) Identitas klien
Identitas klien yang berhubungan dengan penyakit meningitis
adalah:
- Umur : meningitis adalah penyakit sistem persarafan yang dapat
terjadi pada semua umur, dewasa maupun anak.
- Pendidikan : Pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi terhadap
pengetahuan klien tentang penyakit meningitis
- Pekerjaan : Ekonomi yang rendah akan berpengaruh karena dapat
menyebabkan gizi yang kurang sehingga daya tahan tubuh klien
rendah dan mudah jatuh sakit.
b) Identitas penanggung jawab meliputi:
Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan
klien.
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Pada umumnya klien dengan meningitis keluhan yang paling utama
adalah adanya nyeri kepala atau penurunan kesadaran yang disertai
kejang.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian meliputi keluhan pada saat datang ke rumah sakit dan
keluhan pada saat pengkajian, dikembangkan dengan menggunakan
analisa PQRST.
P: Provokatif/paliatif
Apakah yang meyebabkan keluhan dan memperingan serta
memberatkan keluhan. Nyeri kepala pada penyakit meningitis biasanya
disebabkan oleh adanya iritasi meningen. Nyeri di rasakan bertambah
bila beraktivitas dan berkurang jika beristirahat.
Q : Quantity / Quality
Seberapa berat keluhan dan bagaimana rasanya serta berapa sering
keluhan itu muncul. Nyeri kepala dirasakan menetap dan sangat berat.
R: Region / Radasi
Lokasi keluhan dirasakan dan juga arah penyebaran keluhan sejauh
mana.
S : Scale
Intensitas keluhan dinyatakan dengan keluhan ringan, sedang dan
berat. Nyeri kepala pada klien meningitis sangat berat (skala : 5),
dikarenakan adanya iritasi meningen yang disertai kaku kuduk.
T : Timing
Kapan keluhan dirasakan, seberapa sering, apakah berulang-ulang,
dimana hal ini menentukan waktu dan durasi. Keluhan nyeri dirasakan
menetap/terus menerus karena iritasi meningen.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Kaji kebiasaan klien : merokok, minum-minuman beralkohol, riwayat
batuk lama / infeksi saluran nafas kronis, batuk berdahak atau tanpa
dahak (dahak berdarah / tidak). Riwayat kontak dengan penderita TBC.
Apakah klien punya riwayat trauma kepala atau tulang belakang.
Riwayat infeksi lain seperti Otitis media dan mastoiditis.
d) Riwayat kesehatan keluarga.
Kaji riwayat keluarga apakah ada keluarga klien yang menderita
penyakit yang sama dengan klien, riwayat demam disertai kejang.
Adanya penyakit menular seperti TBC.
3) Pemeriksaan fisik
a) Sistem pernafasan
Gejala yang ditemukan biasanya didapatkan pernafasan cepat dan
dangkal, penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi dada positif, adanya batuk berdahak, ronkhi
positif.
b) Sistem Kardiovaskuler
Suara jantung lemah, adanya peningkatan tekanan darah atau penurunan
tekanan darah dan peningkatan frekuensi denyut nadi. Pada kasus lebih
lanjut akral menjadi dingin, terjadi sianosis dan capillary refil time
(CRT) lebih dari 3 detik.
c) Sistem Percernaan
Pada sistem pencernaan ditemukan keluhan mual dan muntah serta
anoreksia bahkan ditemukan adanya kerusakan nervus kranial pada
nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek menelan. Pada
kondisi ini akan menimbulkan hipersekresi HCl iskemia mukosa
lambung dan kerusakan barrier mukosa erosi hemoragik lambung
(perdarahan lambung) sehingga terjadi penurunan berat badan dan jatuh
pada kondisi kurang kalori protein (KKP).
d) Sistem Perkemihan
Pada sistem urinaria dapat terjadi retensi urine dan inkontinensia urine.
Pada kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena proses
katabolisme terutama jika dalam kondisi KKP.
e) Sistem Muskuloskeletal
Pengkajian pada sistem muskuloskeletal perlu diarahkan pada
kerusakan motorik, kelemahan tubuh, massa otot, dan perlu di kaji
rentang gerak dari ekstremitas.
f) Sistem Integumen
Penting mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh sebagai dampak
infeksi sistemik, selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi
penurunan kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat
tidur dan dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak dari
berbaring yang lama.
g) Sistem persarafan
Gangguan yang muncul pada klien meningitis yang berkaitan dengan
sistem persarafan sangat kompleks. Pada penyakit meningitis terjadi
peradangan selaput otak dan parenkim otak yang merupakan pusat
sistem persarafan. Gangguan yang muncul tersebut antara lain:
kerusakan saraf pengontrol kesadaran yang dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran, pola nafas tidak efektif akibat peningkatan
tekanan intrakranial yang menekan pusat pernafasan dan kerusakan
pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan
reflek menelan, nervus kranial lain yang umum terkena adalah nervus I,
III, IV, VI, VIII. Pada penyakit meningitis terdapat tanda yang khas
yaitu tanda-tanda iritasi meningen: kaku kuduk positif, brudzinski I, II
positif, kernig dan laseque positif. Selain itu gejala awal yang sering
terjadi pada meningitis adalah sakit kepala dan demam yamg
diakibatkan dari iritasi meningen, juga didapat adanya manifestasi
perubahan perilaku yang umum terjadi, yaitu letargik, tidak responsif
dan koma. Kejang sekunder dapat terjadi juga akibat area fokal kortikal
yang peka. Alasan yang tidak diketahui, klien meningitis juga
mengalami "foto fobia" atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Pola aktivitas sehari-hari
a) Nutrisi
Biasanya klien kehilangan nafsu makan, mual, muntah, anoreksia dan
bila pasien mengalami penurunan kesadaran, reflek menelan terjadi
penurunan, sehingga klien harus dipasang naso gastric tube (NGT).
b) Eliminasi
Pada umumnya klien dengan penurunan kesadaran akan terjadi
inkontinensia urine sehingga harus dipasang dower kateter.
c) Istirahat tidur
Istirahat tidur terganggu akibat adanya sesak nafas, nyeri kepala hebat
akibat peningkatan tekanan intra kranial. Hal ini merupakan
mecanoreceptor terhadap reticular activating system ( RAS ) sebagai
pusat tidur jaga.
d) Personal hygiene
Bisa mengalami gangguan pemenuhan ADL termasuk personal
hygiene akibat kelemahan otot terutama pada klien dengan penurunan
kesadaran.
5) Data psikologis
Pada umumnya klien merasa takut akan penyakitnya, cemas karena
perawatan lama di rumah sakit dan perasaan tidak bebas di rumah sakit
akibat hospitalisasi.
Konsep diri klien: persepsi klien terhadap tubuhnya dapat berubah akibat
perubahan bentuk dan fungsi tubuh, klien merasa tidak berharga, rendah
diri dan kehilangan peran.
Ideal diri klien banyak yang tidak tercapai. Sebagian besar penyakit
meningitis dapat membatasi kehidupan klien sehari-hari.
6) Data sosial
Perlu dikaji tentang tidak tanggapnya terhadap aktifitas disekitarnya baik
ketika di rumah atau di rumah sakit. Klien biasanya menjadi tidak peduli
dan lebih banyak diam akan lingkungan sekitarnya.
7) Data spiritual
Pengkajian ditujukan terhadap harapan kesembuhan,
kepercayaan dan penerimaan mengenai keadaan sakit serta keyakinan
yang dianut oleh klien ataupun keluarga klien.
8) Data Penunjang
a) Laboratorium
(1) Pemeriksaan darah leukosit meningkat bila terjadi infeksi.
(2) Analisis cairan serebrospinalis melalui lumbal fungsi.
Karakteristik cerebro spinalis fluid (CSF) pada meningitis
tuberkulosis adalah :
(a) Warna CSF jernih
(b) Jumlah sel eritrosit dan leukosit meningkat.
(c) Biokimia:
- Kalium meningkat
- Klorida menurun
- Glukosa menurun
- Protein meningkat
b) Radiologi dengan thorak foto melihat kemungkinan adanya penyakit
saluran nafas sebagai infeksi primer.
c) Foto tulang wajah untuk melihat adanya skelet dan rongga sinus
yang mengalami sinusitis.
d) Scanning / CT Scan untuk menemukan adanya patologi otak dan
medulaspinalis.
b. Analisa Data
Analisa data adalah kemampuan mengaitkan dan menggabungkan data
tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang relevan untuk membuat
kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan klien.
Merupakan suatu proses berpikir yang meliputi kegiatan pengelompokkan
data dan menginterpretasikan kelompok data dan membandingkan dengan
standar yang normal serta menentukan masalah atau penyimpangan yang
merupakan suatu kesimpulan.
c. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitis adalah:
Menurut Doenges, 1993 : 311-319
1) Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi
kuman patogen.
2) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan oedema serebral.
3) Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran
4) Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf
pusat.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler.
6) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf.
7) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
8) Kurang pengetahuan tentang penyebab infeksi dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Menurut Tucker (1993:522-524).
9) Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran.
10) Gangguan keseimbangan suhu tubuh, hypertermia berhubungan
dengan proses inflamasi.
11) Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah
baring lama.
2. Perencanaan
Perencanaan adalah proses penentuan tujuan merumuskan intervensi dan
rasional secara sistematis dan spesifik disesuaikan dengan kondisi, situasi dan
lingkungan klien.
a. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman
patogen secara hematogen.
Tujuan : Penyebaran infeksi tidak terjadi.
Kriteria :
- Suhu tubuh normal 36-37°C
- Klien ditempatkan di ruang isolasi
No
.
Intervensi Rasional
1 2 3
1. Berikan tindakan isolasi sebagai
tindakan pencegahan
Pada fase awal meningitis
meningokokus atau infeksi
ensepalitis lainnya, isolasi mungkin
diperlukan sampai organismenya
diketahui/dosis antibiotik yang
cocok telah diberikan untuk
menurunkan resiko penyebaran
pada orang lain.
2. Pertahankan teknik aseptik dan
teknik cuci tangan yang tepat
baik klien atau pengujung
maupun staf. Pantau dan batasi
pengunjung/staf sesuai kebutuhan.
Menurunkan resiko klien terkena
infeksi sekunder. Mengontrol
penyebaran sumber infeksi,
mencegah pemajanan pada
individu terinfeksi (misalnya:
individu yang mengalami infeksi
saluran pemafasan atas).
3. Pantau suhu secara teratur. Catat
munculnya tanda-tanda klinis dari
proses infeksi.
Terapi obat biasanya akan
diberikan terus selama kurang dari
5 hari setelah suhu turun (kembali
normal) dan tanda-tanda klinisnya
jelas. Timbulnya tanda klinis yang
terus menerus merupakan indikasi
perkembangan dari
meningokosemia akut yang dapat
bertahan sampai berminggu-
minggu/berbulan-bulan atau terjadi
penyebaran patogen secara
hematogen/sepsis.
4. Teliti adanya keluhan dari dada,
berkembangnya nadi yang tidak
teratur/disritmia atau demam yang terus
menerus.
Infeksi sekunder seperti
miokarditis/perikarditis dapat
berkembang dan memerlukan
intervensi
1 2 3
lanjut.
5. Auskultasi suara nafas. Pantau
kecepatan pernafasan dan usaha
pernafasan.
Adanya rorchi/mengi, takhipne dan
peningkatan kerja pernafasan
mungkin mencerminkan adanya
akumulasi sekret dengan resiko
terjadinya infeksi pernafasan.
6. Ubah posisi klien dengan teratur dan
anjurkan untuk melakukan nafas dalam.
Mobilisasi sekret dan
meningkatkan kelancaran sekret
yang akan menurunkan resiko
terjadinya komplikasi terhadap
pernafasan.
7. Catat karakteristik urine, seperti warna,
kejernihan dan bau
Urine statis, dehidrasi dan
kelemahan umum meningkatkan
resiko terhadap infeksi kandung
kemih/ginjal/awitan sepsis.
8. Kolaborasi
Berikan terapi antibiotik IV sesuai
indikasi: penisilin G, Ampisilin,
Kloramfenikol, Gentamisin,
Amfoterisin B.
Obat yang dipilih tergantung pada
tipe infeksi dan sensitifitas
individu. Catalan: Obat intratekal
mungkin diindikasikan untuk
basilus Gram-negatif, jamur,
amuba.
b. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan oedema serebral.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi serebral
Kriteria :
- Tingkat kesadaran membaik
- Tanda-tanda vital stabil
- Tidak adanya nyeri kepala
- Tidak adanya tanda peningkatan TIK
No
.
Intervensi Rasional
1 2 3
1. Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan keadaan tertentu
atau yang menyebabkan koma /
penurunan perfusi jaringan otak dan
potensial peningkatan TIK
Menentukan pilihan intervensi. Penurunan
tanda/gejala neurologis atau kegagalan
dalam pemulihannya setelah serangan awal
menunjukan klien itu perlu dipindahkan ke
perawatan intensif untuk mementau tekanan
TIK atau pembedahan.
2. Pantau status neurologis secara teratur
dan bandingkan dengan nilai standar
(misalnya: GCS)
Mengkaji adanya kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
TIK dan bermanfaat dalam menentukan,
lokasi, perluasan dan perkembangan
kerusakan SSP.
3. Pantau tanda-tanda vital meliputi TD,
Nadi, Respirasi
Peningkatan tekanan darah sistemik yang
diikuti oleh penurunan tekanan darah
diastolik merupakan tanda adanya
peningkatan TIK nafas yang tidak teratur
dapat menunjukan lokasi gangguan serebral
dan tanda adanya peningkatan serebral.
4. Bantu klien untuk menghindari
manuver valsava, seperti batuk,
mengejan.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan
intra thoraks yang akan meningkatkan TIK
5 Perhatikan adanya gelisah yang
meningkat, peningkatan keluhan dan
tingkah laku yang tidak sesuai.
Petunjuk non verbal ini menunjukan adanya
peningkatan TIK atau adanya nyeri kepala.
6 Kaji adanya peningkatan rigiditas,
regangan, peka rangsang, serangan
kejang.
Merupakan indikasi dari iritasi meningeal
yang dapat terjadi sehubungan dengan
kerusakan dari duramater atau
perkembangan infeksi.
7 Tinggikan kepala klien 15-45 derajat
sesuai indikasi yang dapat ditoleransi.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala
sehingga akan mengurangi kongesti dan
oedema atau resiko peningkatan TIK.
8 Kolaborasi untuk pemberian obat
sesuai indikasi seperti dexametason
Menurunkan inflamasi yang selanjutnya
menurunkan oedema jaringan.
c. Resiko tinggi terhadap injuri / trauma berhubungan dengan adanya kejang
akibat iritasi korteks serebral.
Tujuan : Trauma / injuri tidak terjadi.
Kriteria : Tidak mengalami kejang / kejang dapat diatasi.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Monitor adanya kejang/ kedutan pada
tangan, kaki dan mulut atau otot wajah
yang lain.
Mencerminkan adanya iritasi SSP
secara umum yang memerlukan
evaluasi segera dan intervensi yang
mungkin untuk mencegah
komplikasi.
2. Berikan keamanan pada klien
dengan memberi bantalan pada
penghalang tempat tidur,
pertahankan penghalang
tempat tidur tetap terpasang
dan pasang jalan nafas buatan
plastik atau gulungan lunak
dan alat penghisap.
Melindungi klien jika terjadi kejang.
Catatan: Memasukan jalan nafas
buatan/ gulungan lunak hanya jika
rahangnya relaksasi, jangan dipaksa,
memasukan ketika giginya mengatup
karena dapat merusak jaringan lunak.
3. Kolaborasi dengan medik untuk
pemberian obat sesuai indikasi,
seperti Fenitoin (dilantin),
diazepam (valium),
fenobarbital (luminal)
Merupakan indikasi untuk
penanganan dan pencegahan kejang.
Catatan: Fenobarbital dapat
menyebabkan depresi pernafasan dan
sedatif serta menutupi tanda/ gejala
dari peningkatan TIK.
d. Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat.
Tujuan : Nyeri hilang
Kriteria :
- Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
- Menunjukan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Berikan lingkungan yang tenang,
ruangan agak gelap sesuai indikasi
Menurunkan reaksi terhadap
stimulasi dari luar atau sensitivitas
pada cahaya dan meningkatkan
istirahat/relaksasi.
2. Letakan kantung es pada kepala,
pakaian dingin di atas mata.
Meningkatkan vasokontriksi,
menumpulkan persepsi sensori yang
selanjutnya akan menurunkan nyeri.
3. Dukung untuk menemukan posisi yang
nyaman, seperti kepala agak tinggi
sedikit.
Menurunkan iritasi meningeal,
resultan ketidak nyamanan lebih
lanjut.
4. Berikan latihan rentang gerak
aktif/pasif secara tepat dan lakukan
massase otot daerah bahu atau leher.
Dapat membantu merelaksasikan
ketegangan otot yang meningkatkan
reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman
tersebut.
e. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak akibat
kelemahan atau kerusakan neuromuskular.
Tujuan : Mobilisasi fisik terpenuhi.
Kriteria : Klien mampu melakukan mobilisasi.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Periksa kembali kemampuan dan
keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi.
Mengidentifikasi kemungkinan
kerusakan secara fungsional dan
mempengaruhi dan pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2. Kaji derajat imobilisasi klien
dengan menggunakan skala
ketergantungan
Klien mampu mandiri (nilai 0) atau
memerlukan bantuan/ peralatan yang
minimal (nilai 1); memerlukan bantuan
sedang dengan pengawasan / diajarkan
(nilai 2); memerlukan bantuan / peralatan
yang terus menerus dan alat khusus (nilai
3); atau tergantung secara total pada
pemberian asuhan (nilai 4). seseorang da
lam semua kategori sama-sama
mempunyai resiko kecelakaan namun
kategori dengan nilai 2-4 mempunyai
resiko terbesar untuk terjadinya bahaya
tersebut sehubungan dengan imobilisasi.
3. Berikan atau bantu untuk
melakukan latihan rentang
gerak/ROM.
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi
sendi / posisi normal ekstremitas dan
menurunkan terjadinya vena yang statis
4. Berikan perawatan kulit dengan
cermat, masase dengan pelembab
dan ganti linen / pakaian yang
basah dan pertahankan linen
tersebut tetap bersih dan bebas
dari kerutan.
Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas
kulit dan menurunkan resiko terjadinya
ekskoriasi kulit
f. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf.
Tujuan : Tidak terjadi perubahan sensori
Kriteria :
- Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan
fungsi persepsi
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Evaluasi secara teratur perubahan
orientasi, kemampuan berbicara, alam
perasaan/afektif, sensorik dan proses
pikir.
Fungsi serebral bagian atas biasanya
terpengaruh lebih dulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi.
2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon
sentuhan, panas/dingin, tajam/tumpul,
dan kesadaran terhadap gerakan dan
letak tubuh, perhatikan adanya masalah
penglihatan atau sensasi yang lain.
Informasi penting untuk keamanan
klien. Semua sistem sensorik dapat
terpengaruh dengan adanya
perubahan yang melibatkan
peningkatkan atau penurunkan
sensitifitas atau kehilangan
sensasi/kemampuan untuk
menerima dan berespon secara
sesuai dengan stimulus.
3. Berikan stimulasi yang bermanfaat
secara verbal, penciuman, taktil,
pendengaran .
Membantu klien untuk memisahkan
pada realitas dari perubahan
persepsi, gangguan fungsi kognitif
dan atau penurunan penglihatan
dapat menjadi potensi timbulnya
disorientasi dan ansietas.
4. Berikan kesempatan yang lebih banyak
untuk berkomunokasi dan melakukan
aktifitas.
Menurunkan frustrasi yang
berhubungan dengan perubahan
kemampuan atau pola respon yang
menunjang.
g. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan
kesadaran.
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria :
- Frekuensi nafas normal 16 - 20 x /mt
- Irama nafas reguler.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Kaji dan pantau frekuensi pola dan
irama nafas
Perubahan pola nafas tidak efektif
merupakan tanda berat adanya
peningkatan tekanan intrakranial
yang menekan medulla oblongata
2. Pertahankan jalan nafas efektif dengan
melakukan pembersihan jalan nafas
seperti pengisapan lendir dan oral
hygiene.
Lendir yang berlebihan akan
menumpuk dan menimbulkan
obstruksi jalan nafas.
3. Berikan O2 sesuai order dan monitor
efektifitas pemberian oksigen tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dalam darah dan jaringan.
4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
dengan leher dan posisi netral.
Posisi leher yang ekstensi /
menekuk mengakibatkan jalan
nafas terhambat.
h. Gangguan keseimbangan suhu tubuh hipertermia berhubungan dengan
proses inflamasi
Tujuan : Keseimbangan suhu tubuh terpenuhi.
Kriteria : Suhu tubuh 36 - 37 °C, keringat berkurang, klien tidak merasakan
panas badan.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Berikan kompres dingin pada daerah
yang banyak pembuluh darah sampai
suhu badan kembali normal.
Kompres dingin dapat
menimbulkan proses konduksi
dimana terjadi perpindahan panas
dari satu objek ke objek lain dengan
kontak fisik antara kedua objek
tersebut.
2. Anjurkan pada klien untuk
mengenakan pakaian tipis dan
menyerap keringat.
Dengan pakaian tipis
memudahkan penyerapan keringat
dan memberi rasa nyaman.
3. Observasi tanda-tanda vital suhu,
tensi, respirasi, dan nadi.
Untuk mengetahui lebih lanjut
tindakan yang akan dilakukan.
4. Kolaborasi pemberian terapi
antipiretik.
Antipiretik berfungsi
menghambat panas pada
hipotalamus.
i. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah
baring lama.
Tujuan : Ganguan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria : Tidak tampak tanda-tanda gangguan integritas kulit seperti :
kemerahan dan lecet pada kulit.
No
.
Intervensi Rasional
1 2 3
1. Atur dan rubah posisi tidur klien
setiap 2 jam.
Dapat mengurangi tekanan yang terus
menerus yang menimbulkan sirkulasi
yang optimal pada daerah penekanan.
2. Berikan bantalan pada area tubuh yang
menonjol dan berada pada permukaan
tempat tidur.
Dengan diberikan bantalan pada daerah
penekanan akan mengurangi tekanan
efek sirkulasi yang tidak lancar.
3. Lakukan masase pada daerah
penekanan seperti bokong, siku dan turn
it setiap hari.
Tindakan masase sebagi stimulus
terhadap vasodilatasi bagi vaskuler
yang mengalami kontriksi pada
permukaan sehingga akan membantu
melancarkan sirkulasi pada daerah
tersebut.
4. Observasi tanda dekubitus seperti
lecet, kemerahan pada siku, tumit,
bokong dan daerah punggung setiap hari
Bila ditemukan tanda-tanda dekubitus
segera ambil tindakan untuk
mengantisipasi terjadinya kerusakan
jaringan kulit yang berlebihan.
j. Gangguan rasa aman: cemas klien atau keluarga berhubungan dengan
kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan klien dirumah.
Tujuan : cemas dapat diatasi
Kriteria :
- Klien atau keluarga mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
- Klien atau keluarga tampak rileks (tidak memperlihatkan kecemasan
seperti gelisah)No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Kaji status mental dan tingkat ansietas dari
klien/keluarga. Catat tanda-tanda verbal
atau non verbal.
Gangguan tingkat kesadaran dapat
mempengaruhi ekspresi rasa takut tapi
tidak menyangkal keberadaannya.
Derajat ansietas akan dipengaruhi
bagaimana informasi tersebut diterima
oleh individu.
2. Berikan penjelasan hubungan antara proses
penyakit dan gejalanya.
Meningkatkan pemahaman,
mengurangi rasa takut karena
ketidaktahuan dan dapat membantu
menurunkan ansietas.
3. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan
prosedur sebelum dilakukan.
Dapat meringankan ansietas terutama
ketika pemeriksaan tersebut melibatkan
otak.
4. Libatkan klien/keluarga dalam
perawatan, perencanaan
kehidupan sehari-hari,
membuat keputusan sebanyak
mungkin.
Meningkatkan perasaan kontrol terhadap
diri dan meningkatkan kemandirian.
k. Perubahan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan reflek menelan (disfagia) atau adanya rasa rnual,muntah dan
anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- Disfagia dapat diatasi
- Tidak terjadi aspirasi.
- Mual, muntah dan anoreksia tidak ada.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Timbang berat badan seminggu
sekali.
Untuk mengetahui efektivitas therapi.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
membantu perencanaan makanan.
Ahli gizi adalah spesialis nutrisi yang
dapat membantu kebutuhan nutrisi
klien dan langsung mempersiapkan
kebutuhan nurisi kliennya.
3. Jika masukan makanan hanya
sedikit, BB terus menerus turun
selama 5 hari, status
menunjukkan kekurangan
nutrisi kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian nutrisi
parenteral total (NPT).
NPT mensuplai protein dan
kalori,asam lemak dan vitamin dapat
diberikan IV bersama-sama larutan
NPT, protein, Karbohidrat dan lemak
penting untuk fungsi dan
perkembangan sel.
4. Bila terjadi disfagia kolaborasi
dengan dokter untuk pemasangan
NGT.
Dengan NGT dapat menghindari
terjadinya aspirasi karena kelemahan
reflek menelan.
5. Kolaborasi pemberian obat H2
reseptor antagonis sesuai advis.
H2 reseptor antagonis dapat
menghambat produksi HCl atau
menetralisir asam lambung.
l. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan : dehidrasi
berhubungan dengan kehilangan cairan, penurunan masukan oral dan
peningkatan suhu tubuh.
Tujuan : Kekurangan volume cairan tubuh tidak terjadi.
Kriteria :
- Membran mukosa lembab.
- Turgor kulit baik.
- Pengisian kapiler cepat.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Kaji perubahan tanda vital. Peningkatan suhu /
demam meningkatkan laju dan
kehilangan cairan tubuh melalui
evaporasi.
2. Kaji turgor kulit, kelembaban membran
mukosa.
Indikator langsung keadekuatan
volume cairan, meskipun
membran mukosa mulut mungkin
kering karena nafas melalui mulut
dan oksigen tambahan.
3. Catat / lapor keluhan mual atau muntah. Adanya gejala menurunkan
masukan oral.
4. Pantau intake dan output Berikan informasi tentang
keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan pengganti.
5. Tekankan cairan sedikitnya 2500
ml/hari sesuai kondisi
Pemenuhan kebutuhan dasar cairan.
6. Berikan obat sesuai indikasi,
misalnya antipiretik,
antiemetik.
Berguna untuk menurunkan
kehilangan
cairan.
7. Berikan cairan tambahan melalui IV
sesuai dengan kebutuhan.
Adanya penurunan masukan/banyak
kehilangan, penggunaan parenteral
dapat memperbaiki / mencegah
1 2 3
kekurangan cairan.
3. Pelaksanaan
Merupakan tahap pelaksanaan tindakan dari rencana perawatan yang telah
ditetapkan untuk mengatasi masalah yang ditemukan.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap pengukuran keberhasilan perawatan dalam
memecahkan masalah yang ditemukan dalam kebutuhan klien dengan cara
menilai tujuan yang ditetapkan.