Laporan Pemukiman Kumuh
-
Upload
anindya-p-tamara -
Category
Documents
-
view
182 -
download
6
Transcript of Laporan Pemukiman Kumuh
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar BelakangSalah satu masalah besar bagi kota-kota di Indonesia adalah
masalah pemukiman kumuh atau sering disebut dengan slum area.
Timbulnya pemukiman kumuh di kota-kota besar ini menyatakan bahwa
di kota tersebut terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hal
tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Kota yang kondusif
sebaiknya dapat mengurangi kesenjangan antar penduduk.
Menurut data Cipta Karya pada tahun 2008 terdapat 40 hektar
kawasan pemukiman kumuh yang terdapat di Semarang dan 488 hektar
di Jakarta Selatan. Dari data tersebut dapat kita lihat di Jakarta
kesejahteraan penduduk lebih buruk dibanding di Semarang. Ini
menandakan kota besar tidak menjamin tersedianya lahan serta
kesejahteraan bagi penduduk kota tersebut.
Timbulnya pemukiman kumuh menyebabkan berbagai masalah lain
seperti banjir, genangan air atau inundasi, persebaran wabah yang
makin cepat, dan menurunnya kondisi lingkungan. Untuk itu dalam
laporan ini saya membahas tentang pemukiman kumuh dan upaya untuk
mengatasinya.
1.2 Rumusan Masalah
Definisi pemukiman kumuh atau slum area.
Karakteristik dan ciri pemukiman kumuh atau slum area.
Pemicu tumbuhnya pemukiman kumuh atau slum area.
Upaya mengurangi pemukiman kumuh atau slum area.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui definisi pengertian pemukiman kumuh.
Untuk mengetahui karakteristik dan ciri dari kawasan pemukiman
kumuh.
Untuk mengetahui pemicu timbulnya pemukiman kumuh.
Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi
pemukiman kumuh.
Bab II
Pembahasan
2.1 Definisi Pemukiman Kumuh atau Slum Area
Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil,
kemudian mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan
penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya
dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun yang terjadi
dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa pertumbuhan penduduk
tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dan
peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai
kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi
menciptakan permukiman kumuh. Sebagian penghuni kota berprinsip
sebagai alat mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan
demikian prisip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat
mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan
pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sistem
strukturnya (Sobirin, 2001:41).
Menurut UU No. 4 Pasal 22 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman : Permukiman Kumuh adalah Permukiman tidak layak huni
antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam
luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit
lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana
lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan
kehidupan dan penghuninya.
2.2 Karakteristik Pemukiman Kumuh atau Slum Area
Karakteristik Permukiman Kumuh (Menurut Johan Silas) :
1. Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah
standar, rata-rata 6 m2/orang. Sedangkan fasilitas perkotaan secara
langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena
lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas
lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.
2. Permukiman ini secara fisik member.
3. Berdasarkan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah
(opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas
keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.
Hampir setiap orang dapat diterima untuk tinggal di area tersebut
tanpa adanya syarat-syarat dan pembayaran termasuk kalangan
“residu” seperti residivis ataupun WTS.
Untuk ciri – ciri pemukiman kumuh adalah :
Area yang dihuni padat dalam lahan yang sempit.
Tidak dilengkapi dengan sanitasi yang baik.
Bahan pembuatan hunian biasanya berupa papan dan tidak
permanen.
Biasanya terdapat di lahan legal milik pemerintah, namun
pengguna tidak memiliki status kepemilikan lahan.
Tidak tersedianya air bersih di kawasan tersebut.
Jalanan sempit.
Tata bangunan tidak teratur.
2.3 Pemicu Timbulnya Pemukiman Kumuh atau Slum Area
Pemicu timbulnya pemukiman kumuh diawali dari banyaknya
perpindahan penduduk ke daerah yang lebih menjajikan dalam
pekerjaan sehingga daerah tersebut menjadi padat. Dalam lahan yang
terbatas dan tuntutan ekonomi yang kurang mendukung maka
masyarakat membangun pemukiman yang tidak layak atau kumuh di
daerah illegal. Selain itu tingginya harga sewa rumah yang tidak
sebanding dengan penghasilan.
Pemerintah yang kurang tegas dalam menertibkan perpindahan
penduduk serta pembangunan pemukiman non-formal. Peran
Pemerintah juga diperlukan dalam mengatur hak dan keterlibatan
masyarakat dalam penataan perencanaan kota.
Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab
adanya permukiman kumuh adalah:
1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu
tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi
yang tidak memenuhi syarat.
2. Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka
hijau) dan tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga,
kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak
terencana dengan baik.
2.4 Upaya Mengurangi Pemukiman Kumuh atau Slum Area
Menurut UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
peningkatan kualitas permukiman dapat berupa kegiatan-kegiatan,
perbaikan atau pemugaran, peremajaan dan
pengelolaan/pemeliharaan yang berkelanjutan. Program peningkatan
kualitas perumahan dan permukiman yang selama ini menjadi
perhatian pemerintah adalah kawasan perumahan dan permukiman
yang termasuk kategori kawasan kumuh, yang ditandai antara lain
dengan kondisi prasarana dan sarana yang tidak memadai baik
secara kualitas dan kuantitas, kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang rendah, kondisi sosial budaya masyarakat, dan kondisi
lingkungan yang rawan bencana, penyakit dan keamanan (Dirjen
Cipta Karya, 1999).
Berikut merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
mengurangi pemukiman kumuh atau slum area :
Program Pemberdayaan Desa
Pemberdayaan desa ini dimaksudkan meningkatkan lapangan
pekerjaan di desa. Sehingga ketertarikan masyarakat untuk
merantau berkurang, dan persebaran penduduk merata.
Program Rumah Massal
Hemat lahan berupa pembangunan rumah susun sederhana
seperti yang telah dibangun di Jakarta. Nantinya, masyaraka
yang tinggal di pemukiman kumuh akan dipindah ke rumah
susun sederhana dengan membayar harga sewa yang sesuai
dengan keadaan ekonomi mereka.
Revitalisasi Slum Area
Pembangunan kembali area kumuh menjadi lahan hijau atau
bahkan open space bagi masyarakat.
Bab III
Kesimpulan
3.1 Kesimpulan
Pemukiman kumuh tumbuh akibat pembagunan yang tidak diimbangi
oleh sarana yang ada, untuk itu lahan yang ada pun menjadi semakin sulit
didapatkan akhirnya wilayah menjadi padat dan berjubel mengakibatkan area-area
lambat laun menjadi kumuh.
Pemukiman kumuh umumnya memiliki masalah dalam sanitasi, ketersediaan air
bersih, lahan terbatas, bangunan semi permanen yang mudah roboh serta mudah
terbakar, tidak dilengkapi dengan sarana MCK dan listrik yang memadahi.
Terbentuknya pemukiman kumuh ini akibat padatnya lahan dalam wilayah tersebut.
Selain itu tingginya harga tanah dan harga sewa rumah tidak sebanding dengan
pendapatan masyarakat. Persebaran penduduk yang tidak merata, serta kebijakan
pemerintah yang kurang tegas dalam mengatur perencanaan penataan kota.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi pemukiman kumuh diantaranya
Program Pemberdayaan Desa, Program Rumah Massal dan Revitalisasi Slum Area atau
Pemukiman Kumuh.
3.2 Saran
Pemerintah dan masyarakat diharapkan berperan aktif dalam menjaga lingkungan
khususnya dalam mengurangi pemukiman kumuh.atau slum area. Penegakkan peraturan
penggunaan lahan oleh Pemerintah.
Daftar Pustaka
http://ugm.ac.id/id/berita/
2359inundasi.sebabkan.terbentuknya.permukiman.kumuh.di.perkotaan
Diunduh pada 10 Oktober 2013/20.40
http://ciptakarya.pu.go.id/kumuh/main.php?module=detil_artikel&id=32 Diunduh pada 10
Oktober 2013/20.50
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31741/4/Chapter%20II.pdf Diunduh pada 10
Oktober 2013/20.50