laporan pemicu 4
-
Upload
jenny-ismyati -
Category
Documents
-
view
132 -
download
7
Transcript of laporan pemicu 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Klarifikasi dan Definisi
1. Nyeri
Suatu sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan/ berpotensial menimbulkan kerusakan jaringan.
2. Infeksi
Proses inflasi oleh mikroorganisme dan berproliferasidalam tubuh dan
menyebabkan sakit.
3. Dosis
Kadar obat yang mempengaruhi suatu organisme secara biologis untuk
tujuan terapi.
Kata kunci:
1. Laki-laki 40 tahun
2. Luka infeksi
3. Nyeri pada otot tungkai 1 tahun yang lalu
4. Penanganan obat sendiri
5. Dosisnya ditingkatkan
6. Ketergantungan obat
7. Pusing, mual dan nyeri berlebihan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh konsumsi obat yang terus menerus dalam jangka waktu
yang lama terhadap sistem saraf dan respon nyeri akibat luka infeksi?
1.3. Analisis Masalah
Laki-laki 40 tahun
luka terinfeksi
nyeri
hilang
kembali
efek samping
Ketergantungan:1. faktor2. penganggulangan3. mekanisme
sembuh
Tidak diberi obat
Obat analgesik dengan peningkatan dosis
Mediator jenis fisiologi gated control theory
Neuroregenerasi Patogenesis infeksi
1.4. Hipotesis
Konsumsi obat yang terus menerus dalam jangka waktu lama
mengakibatkan neuron dan neurotransmitter beradaptasi terhadap kondisi
tersebut sehingga menyebabkan respon nyeri pada luka infeksi dapat
menurun.
1.5. Pertanyaan Diskusi
1. Infeksi
a. Patogenesis infeksi
b. Reaksi imunologik
2. Nyeri
a. Klasifikasi
b. Proses nyeri
c. Reseptor
d. Mediator
e. Gated control theory
3. Pengobatan nyeri
a. Farmakologik
b. Nonfarmakologik
4. Apakah usia mempengaruhi lamanya keluhan nyeri?
pengobatan
farmakologik
farmakokinetik farmakodinamik
nonfarmakologik
5. Pengaruh konsumsi obat dalam jangka waktu yang lama serta
peningkatan dosisnya terhadap sistem saraf dan respon nyeri.
6. Prinsip kerja obat adiktif.
7. Proses neuroregenerasi pada saraf yang mengalami kerusakan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Infeksi
a. Patogenesis infeksi
Tahapan dalam patogenesis masuknya virus ke dalam tubuh inang
pembawa sering terjadi melalui selaput lendir saluran napas dan dapat
pula terjadi melalui selaput lendir pencernaan atau saluran kemih,
namun terkadang dapat pula akibat suntikan langsung virus ke dalam
aliran darah melalui suntikan atau gigitan serangga
Sedangkan tahapan patogenesis bakteri:
1. Bakteri masuk ke dalam tubuh
2. Adhesi-kolonisasi
3. Invasi
4. Kehidupan intraselular
5. Perusakan organ/ jaringan
Pada keadaan normal, otak dan medula spinalis dilindungi dari
lingkunga eksternal oleh tulang penutup, jaringan ikat, dan kulit. Agen
infeksius dapat memperoleh akses ke sistem saraf melalui salah satu
dari beberapa rute.rute tersebut antara lain:
1. Hematogen
2. Implantasi langsung saat trauma atau pada malformasi kongenital
SSP (misal, defek neuralis tube)
3. Perluasanj lokal infeksi di struktur sekitar (misal telinga tengah dan
sinus)
4. Invasi melaluisaraf perifer seperti pada kasus rabies.
Terjadinya infeksi di dalam SSP dipengaruhi oleh paling sedikit dua
faktor, yang bekerja sendiri-sendiri ataupun bersamaan yaitu:
1. Sifat agen infeksius
2. Integritas pertahanan normla penjamu.
Adapun contohnya pada infeksi sistem saraf antara lain
1. Infeksi epidural dan subdural
2. Leptomeningitis
a) Leptomeningitis akut (purulen)
b) Meningitis limfositik (virus) akut
c) Menignitis kronik
3. Infeksi parenkim (termasuk ensefalitis)
a) Abses otak
b) Tuberkulosis dan toksoplasmosis
c) Ensefalitis virus
d) Ensefalopati spongioform
b. Reaksi imunologik
Sistem Imun merupakan semua sel dan molekul sebagai suatu kesatuan
fungsional untuk melawan substansi asing yang masuk ke dalam
tubuh. Respon Imun merupakan Tanggapan terhadap substansi asing
yang masuk ke dalam tubuh. 2 aktifitas yang saling mempengaruhi,
yaitu:
1) Pengenalan (recognition), untuk:
- Mengenal dan mendeterminasi substansi asing secara spesifik
- Menyeleksi molekul yang bersifat imunogenik
- Membedakan komponen sendiri (self) dari substansi asing
(nonself)
2) Tanggapan (respon), untuk:
- Mengerahkan bermacam-macam sel dan molekul sehingga
menghasilkan reaksi yang sesuai dan tepat untuk melawan dan
menetralkan substansi/organisme yang masuk.
Komponen Imunitas Tubuh terdiri dari dua yaitu:
1) Imunitas natural (Innate immunity)
- Udah ada sejak fetus/dilahirkan
- Bersifat nonspesifik
- Berperan sebagai garis pertahanan pertama terhadap invansi
substansi asing
2) Imunitas didapat (Acquired/adaptive immunity)
- Bersifat spesifik
- Berkembang karena diinduksi oleh intervensi substansi asing
yang masuk (= antigen)
Imunitas natural Imunitas didapat
Resistensi Resistensi tidak berubah pada
interaksi berikutnya
Resistensi menjadi lebih baik pada
infeksi berikutnya
Soluble factors Lisozim, komplemen, interferon Antibodi, sitokin
Cells Epitel permukaan & mukosa,
fagosit, sel NK
Limfosit T dan Limfosit B
Adapun reaksi immunologik yang terjadi saat infeksi adalah
mikroorganisme yang menginfeksi pertama akan dicerna oleh lisozim
yang terdapat dalam epitel di permukaan kulit dan mukosa. Lisozim
merupakan zat kimia yang mampu mengurai dinding sel
mikroorganisme. Apabila mikroorganisme tidak mampu di urai oleh
lisozim maka, mikroorganisme akan masuk ke jaringan tubuh sistem
respon innate akan bekerja dalam “melawan mikroorganisme yang
masuk”. Sistem innate tubuh yang bekerja adalah sel granuler sel darah
putih ( neutrofil ). Neutrofil akan pergi ke jaringan terinfeksi melalui
pembuluh darah. Neutrofil dapat bermarginasi melalui pembuluh darah
sehingga neutrofil dapat langsung pergi ke jaringan terinfeksi. Selain
neutrofil, sel yang berperan dalam sistem innate adalah makrofag.
Makrofag akan pergi ke jaringan infeksi dan memfagositosis
mikroorganisme dan menghancurkannya. Apabila makrofag tidak
mampu menghancurkan mikroorganisme, maka makrofag akan
menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF-alfa dan interleukin-1.
Sitokin ini berfungsi sebagai sinyal proses inflamasi dan membantu
proses dilatasi pembuluh darah sehingga proses marginasi neutrofil
dapat berlangsung lebih gencar. Selain itu sel NK juga berperan dalam
menghancurkan sel-sel yang terinfeksi mikroorganisme melalui sistem
pengenalan MHC 1. Sel yang terinfeksi biasanya akan menghasilkan
MHC kelas 1, melalui inilah sel NK dapat mengenali sel terinfeksi dan
menghancurkan sel itu. Apabila sistem innate tidak mampu
menterminasi mikroorganisme, maka respon imun selanjutnya
dilakukan oleh sistem imun spesifik. Mikroorganisme yang masuk
melalui epitel akan diikat oleh sel dendritik untuk selanjutnya di bawa
ke kelenjar getah bening dam limpa. Selain sel dendritik, makrofag juga
dapat berperan dalam mengantar mikroorganisme yang tidak mampu
dia hancurkan ke kelenjar getah bening dan limpa. Di kelenjar getah
bening dan limpa, mikroorganisme ini akan dikenalkan pada sel T
immature. Fungsi sel dendritik dan makrofag sebagai pengenal
mikroorganisme terhadap sel T immature merupakan fungsi sel sebagai
Antigen Presenting Cell .
Selanjutnya sel T immature akan berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel T helper dan sel T sitotoksik. Sel T helper yang memiliki
banyak fungsi seperti mengaktifkan sel B yang immature agar menjadi sel
plasma yang menghasilkan antibody yang spesifik untuk menghancurkan
First exposure to antigen
Antigens engulfed anddisplayed by dendritic cells
Activate
Humoral immune responseCell-mediated immune response
HelperT cell
Gives rise to
Antigens displayedby infected cells
Activate
CytotoxicT cell
Gives rise to
Secretedcytokinesactivate
Activate
Gives rise to
B cells
Intact antigens
mikroorganisme, berubah menjadi sel T helper memori, dan mengaktifkan
sel T sitotoksik yang immature menjadi sel T sitotoksik aktif, an sel T
sitotoksik memori. Sel T sitotoksik inilah yang nantinya akan keluar dari
kelenjar getah bening ke jaringan terinfeksi untuk menghancurkan sel-sel
yang terinfeksi mikroorganisme(reaksi selular). Sedangkan antibody yang
dihasilkan oleh sel plasma berperan untuk menghancurkan
mikrooorganisme bebas yang berada di luar sel pada jaringan terinfeksi.
(Abbas, litchman. 2004. Basic immunology. edisi ke 2. Elsevier)
2. Nyeri:
a. Jenis nyeri dapat dinyatakan dalam beberapa hal, seperti: berdasarkan
mekanisme nyeri, berdasarkan kemunculan nyeri dan berdasarkan
klasifikasi nyeri wajah.
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),
nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
1. Nyeri akut, nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian atau
kondisi yang dapat dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan
suatu gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor (reseptor
rasa nyeri) karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat
penyakit atau trauma. Nyeri ini biasanya berlangsung sementara,
kemudian akan mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus
pada nosiseptor dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Contoh nyeri akut ialah nyeri akibat kecelakaan atau nyeri pasca
bedah.
2. Nyeri kronik, nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak dengan
fenomena patofisiologik yang dapat diidentifikasi dengan mudah,
berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan proses dari
suatu penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan
patologis yang telah berlangsung terus menerus atau menetap
setelah terjadi penyembuhan penyakit atau trauma dan biasanya
tidak terlokalisir dengan jelas. Nyeri wajah atipikal adalah salah
satu nyeri kronik.
Berdasarkan mekanisme nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis
yaitu
1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat
yang tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan
menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah
terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi
nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang
dialami.
2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat
kuat sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami
inflamasi dan menyebabkan fungsi berbagai komponen nosiseptif
berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan
berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin,
prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau
mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.
Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi
nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan
salah satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar
pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien
mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat
stimuli, misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau
saat makan, sendi yang sakit semakin hebat bila digerakkan.
3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan
adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang
diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan
metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada
Serabut Saraf Aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang
dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga
menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan
tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA
(mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya
menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral).
b. Proses nyeri
Serat-serat nyeri aferen primer akan bersinaps dengan antarneuron
ordo kedua spesifik di tanduk dorsal medula spinalis. Serat-serta ini
akan mengeluarkan neurotransmitter sebagai respon terhadap potensial
aksi yang terjadi akibat rangsangan. Terdapat dua jenis
neurotransmitter yaitu substansi P dan glutamat.
Substansi P akan mengaktifkan jalur-jalur asendens yang
mengaktifkan dinyal nosiseptif ke tingkat lebih tinggi untuk
pemrosesan lebih lanjut. Terdapat tiga tujuan yaitu korteks, talamus,
dan formatio retikularis. Daerah korteks akan menentukan lokasi nyeri,
sedangkan di talamus, nyeri tetap dapat dirasakan tanpa adanya
korteks. Formatio retikularis dapat meningkatkan kewaspadaan yang
berkaitan dengan rangsangan yang mengganggu. Interkoneksi dari
talamus dan formatio retikularis ke hipotalamus dan sistem limbik
memicu respons perilaku dan emosi yang menyertai pengalaman yang
menimbulkan nyeri.
Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik utama. Terdapat dua
reseptor utama glutamat. Pertama adalah AMPA, dimana jika glutamat
berikatan dengan reseptor ini akan menyebabkan adanya perubahan
permeabilitas yang akhirnya menyebabkan pembentukan potensial aksi
di sel tanduk dorsal. Selanjutnya potensial aksi ini akan menyalurkan
pesan nyeri ke pusat-pusat yang lebih tinggi. Kedua adalah NMDA,
pengikatan glutamat dengan reseptor ini akan menyebabkan masuknya
Ca2+ ke dalam sel tanduk dorsal. Jalur ini tidak terlibat dalam transmisi
pesan nyeri. Ca2+ malah akan memicu sistem pembawa pesan kedua
yang membuat neuron tanduk dorsal lebih peka daripada biasanya
membuat hipereksitabilitas. Hipereksitabilitas ini akan meningkatkan
sensitivitas daerah yang cedera terhadap pajanan rangsang nyeri yang
berikutnya atau bahkan rangsangan normal yang tak nyeri, misalnya
sentuhan ringan.
Mekanisme lain di luar hipereksitabilitas neuron tanduk dorsal
yang ditimbulkan oleh glutamat juga berperan menyebabkan
supersensitivitas suatu daerah yang cedera. Kepekaan yang berlebihan
ini mungkin bertujuan untuk mengurangi aktivitas yang dapat semakin
merusak dan mengganggu penyembuhan daerah cedera.
Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC Penerbit
buku Kedokteran
c. Reseptor
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap
stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nociceptor , secara anatomis reseptor nyeri (nociceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nociceptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus) dan juga di jaringan
tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi dan falks serta
tentorium tempurung kepala. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nociceptor
kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu
1) Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yangmemungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeritersebut dihilangkan.
2) Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapatpada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
3) Salah satu temuan baru adalah isolasi reseptor vaniloid-1 (VR-1).
Vanilin adalah sekelompok senyawa, termasuk kapsaisin, yang
menimbulkan nyeri. Temuan ini mengharuskan dilakukannya
revisi terhadap konsep bahwa hanya terdapat satu jalur yang
menyalurkan nyeri ke korteks serebri. Reseptor VR-1 berespons
tidak saja terhadap bahan-bahan yang menimbulkan nyeri seperti
kapsaisin, tetapi juga terhadap proton dan suhu yang berpotensi
membahayakan di atas 430C. Reseptor lain, VRL-1, yang
berespons terhadap suhu di atas 500C.
Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Tiga jenis stimulus yang merangsang reseptor nyeri yaitu mekanis,
suhu dan kimiawi. Rasa nyeri dapat di rasakan melaui berbagai jenis
rangsangan. Semua ini di kelompokan sebagai rangsangan nyeri
mekasin, suhu dan kimia. Pada umumnya, nyeri cepat di peroleh
melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan nyeri lambat
dapat di peroleh melalui rangsangan mekanis, suhu dan kimia.
Sifat nonadaptif reseptor rasa nyeri, berpeda dengan kebanyakan
reseptor sensorik tubuh lainnya, reseptor nyeri sedikit sekali beradaptasi
dan kadang tidak beradaptasi sama sekali. Ternyata, pada beberapa
kondisi, eksitasi serabut rasa nyeri menjadi semakin bertambah secara
prgresif, terutama rasa nyeri mual, menusuk dan lambat karena stimulus
rasa nyeri berlangsung terus-menerus. Keadaan ini akan meningkatkan
sinsitivitas reseptor rasa nyeri dan disebut hiperalgesia.
Sumber: Guyton & hall. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
d. Mediator nyeri
1) Glutamat
Diduga glutamat merupakan subtansi neurotransmitter yang
disekresikan melalui medula spinalis pada ujung-ujung serabut
saraf tipe Aδ. Hal ini adalah satu dari sekian banyak transmitter
eksitasi yang banyak di gunakan dalam sistem saraf pusat, biasanya
memiliki masa kerja yang berlangsung hanya beberapa milidetik.
2) Subtansi P
Pada serabut saraf tipe C yang memasuki medulla spinalis
mengeluarkan neurotransmitter suptansi P jauh lebih lambat,
mencapai pemekatan dalam waktu beberapa detik atau beberapa
menit.
Sumber: Guyton & hall. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
3) Prostaglandin
Semua nosiseptor dapat ditingkatkan kepekaannya oleh adanya
prostaglandin, yang sangat meningkatkan respon reseptor terhadap
rangsangan yang mengganggu (terasa lebih sakit jika ada
prostaglandin). Cedera jaringan, antara lain, dapat menyebabkan
pelepasan lokal prostaglandin. Bahan-bahan kimia ini bekerja pada
ujung perifer nosiseptor untuk menurunkan ambang pengaktifan
reseptor.
4) Bradikinin
Bradikinin merupakan suatu bahan yang normalnya inaktif dan
menjadi aktif oleh enzim-enzim yang dikeluarkan ke dalam CES
dari jaringan yang rusak. Bradikinin ini memicu perasaan nyeri
diikuti oleh sensasi pegal tumpul yang lokalisasinya tidak jelas dan
menetap lebih lama disertai rasa tidak nyaman (jalur nyeri lambat).
Bradikinin dan senyawa-senyawa terkait tidak saja memicu nyeri,
mungkin dengan merangsang nosiseptor polimodal, tetapi juga
berperan dalam respons peradangan terhadap cedera jaringan.
Menetapnya bahan-bahan kimia ini dapat menjelaskan mengapa
nyeri pegal terus berlangsung setelah terhentinya rangsangan
mekanis atau suhu penyebab kerusakan jaringan.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
e. Gated control theory ( cara tubuh mengendalikan rasa sakit)
Sistem saraf pusat memiliki sistem analgesic penekan nyeri inheren
yang menekan penyaluran impuls di jalur nyeri sewaktu impuls
tersebut masuk ke medulla spinalis. Dua region diketahui menjadi
bagian dari jalur analgesic desendens. Rangsangan listrik pada
substansi grissea periakuaduktus menghasilkan analgesic kuat,
demikaian jga stimulasi formasio retikularis di dalam batang otak.
Sistem analgesic ini menekan nyeri denganmenghambat pelepasan
substansi P dari ujung serat nyeri aferen
Secara spesifik, sistem analgesic bergantung pada keberadaan
reseptor opiate. Orang telah lama mengetahui bahwa morfin, suatu
komponen dalam tanaman opium, adalah suatu analgesic kuat. Para
peneliti beranggapan bahwa kecil kemungkinannya bahwa tubuh
dianugrahi reseptor opiate hanya untuk berinteraksi dengan bahan
kimia yang berasal dari sejenis bunga. Karenannya mereka mulai
melakukan penelitian untuk mencari bahan yang secara normal
berikatan dengan reseptor opiate ini. Hasilnya adalah penemuan opiate
endogen-endorfin, enkaflin, dan dinorfin-yang penting dalam sistem
analgesic alami di tubuh. Opiate-opiat endogen ini berfungsi sebagai
neurotransmitter analgesic; mereka dibebaskan dari jalur analgesic
desendens dan berikatan dengan reseptor opiate di ujung serat nyeri
aferen. Pengikatan ini menekan pelepasan substansi P melalui inhibisi
prasinaps, sehingga transmisi lebih lanjut sinyal nyeri dihambat.
Morfin berikatan dengan reseptor opiate yang sama, yang menjelaskan
sifat analgesiknya.
Faktor-faktor yang diketahui memodulasi nyeri adalah olahraga,
stress, dan akupuntur. Para peneliti percaya bahwa endorphin
dibebaskan selama olahraga berkepanjangan dan mungkin
menimbulkan “runner’s high”. Beberapa jenis stress juga
mengakibatkan analgesia.
(Sherwood, laurelee. 2012. Fisiologi manusia. Edisi ke 6. Jakarta:EGC
penerbit buku kedookteran)
3. Pengobatan Nyeri
a. Farmakologi
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan:
1. Analgesik nonopioid
2. Analgesik opioid
Kedua jenis analgetik ini berbeda dalam hal mekanisme dan target
aksinya. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis obat analgetik
tersebut.
1) Analgesik Nonopioid/Perifer (nonopioid analgesics)
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada
enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam
sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin.
Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim
COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi
pembentukan mediator nyeri. Mekanismenya tidak berbeda dengan
NSAID dan COX-2 inhibitors.
Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah
gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan
ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya
disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis
besar.
Beberapa nama obat nonopioid analgesics (generic name) ini
yaitu: Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib, Diclofenac, Etodolac,
Fenoprofen, Flurbiprofen, Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen,
Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid, Nabumetone,
Naproxen, Oxaprozin, Oxyphenbutazone, Phenylbutazone,
Piroxicam, Rofecoxib, Sulindac, dan Tolmetin.
Deskripsi Obat Analgesik Non-opioid
a) Salicylates
Contoh dari obat salicylates ialah aspirin. Aspirin
mempunyai kemampuan menghambat biosintesis
prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase
secara ireversibel, pada dosis yang tepat, obat ini akan
menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan
A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan
lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil
dengan penyangga yang cocok (minum aspirin bersama
makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).
b) p-Aminophenol Derivatives
Contoh dari obat p-Aminophenol Derivatives ialah
acetaminophen (Tylenol). Acetaminophen (Tylenol) adalah
metabolit dari fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin
yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-
inflamasi yang bermakna.Obat ini berguna untuk nyeri ringan
sampai sedang seperti nyeri kepala,mialgia,nyeri pasca
persalinan dan keadaan lain.efek samping kadang-kadang
timbul peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat
menimbulkan pusing,mudah terangsang, dan disorientasi.
c) Indoles and Related Compounds
Contoh dari obat Indoles and Related Compounds ialah
indomethacin (Indocin). Indomethacin (Indocin) merupakan
obat yang lebih efektif daripada aspirin, merupakan obat
penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan
efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare,
pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis serta menimbulkan
nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati.
d) Fenamates
Contoh dari obat fenamates yaitu Meclofenamate
(Meclomen), merupakan turunan asam fenamat ,mempunyai
waktu paruh pendek,efek samping yang serupa dengan obat-
obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan lain yang
melebihinya. Obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral.
Dikontraindikasikan pada kehamilan.
e) Arylpropionic Acid Derivatives
Contoh dari obat ini yaitu Ibuprofen (Advil), tersedia bebas
dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang.obat ini
dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung,
angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin.
Efek samping, gejala saluran cerna.
f) Pyrazolone Derivatives
Contoh dari obat ini yaitu Phenylbutazone (Butazolidin),
untuk pengobatan artristis rmatoid dan berbagai kelainan otot
rangka.obat ini mempunya efek anti-inflamasi yang kuat, tetapi
memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis,
anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.
g) Oxicam Derivatives
Contoh dari obat ini yaitu Piroxicam (Feldene), obat
OAINS dengan struktur baru. Waktu paruhnya panjang untuk
pengobatan artristis rematoid dan berbagai kelainan otot
rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala dan
rash.
h) Acetic Acid Derivatives
Contoh dari obat ini yaitu Diclofenac (Voltaren), obat ini
adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek
antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Waktu paruhnya
pendek. Dianjurkan untuk pengobatan artristis rematoid dan
berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya distres saluran
cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak lambung.
i) Miscellaneous Agents
Contoh dari obat ini yaitu Oxaprozin (Daypro), obat ini
mempunyai waktu paruh yang panjang. Obat ini memiliki
beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat
OAINS lain.
2) Analgetik Opioid
Analgetik opioid merupakan golongan obat yang memiliki
sifat seperti opium/morfin. Sifat dari analgesik opiad yaitu
menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh
karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal:
1. Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin
2. Tanpa bahaya adiksi
a. Obat yang berasal dari opium-morfin
b. Senyawa semisintetik morfin
c. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin
Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang
sangat kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat
(SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan menimbulkan
perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda
nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri
yang hebat.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh
sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang
belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem
ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan,
misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa
dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang
dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen.
Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri
endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi
penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia,
termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan
toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur
homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak,
dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh
terhadap rangsang eksternal. Baik opioid endogen dan analgesik
opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik
nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis reseptor opioid yang telah diketahui
dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru
ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-
receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan
e-receptor, namum belum jelas fungsinya). Reseptor μ memediasi
efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik
dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan
pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan
dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi
terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam
efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini
tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan
reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin,
sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid analgesic.
Mekanisme umum kerja obat analgesik opioid yaitu:
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan
masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula
hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam
sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah
terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan
peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan
mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid
diantaranya:
1. Analgesik
2. Medullary effect
3. Miosis
4. Immune function and Histamine
5. Antitussive effect
6. Hypothalamic effect
7. GI effect
Efek samping yang dapat terjadi yaitu seperti toleransi dan
ketergantungan, depresi pernafasan, hipotensi dan lain-lain.
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi
menjadi:
1. Agonis opioid menyerupai morfin (pada reseptor μ, κ).
Contoh: Morfin, fentanil
2. Antagonis opioid. Contoh: Nalokson
3. Menurunkan ambang nyeri pada pasien yang ambang nyerinya
tinggi
4. Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin,
buprenorfin, malbufin, butorfanol
Berikut contoh obat-obatan opioid analgesik (generic name):
Alfentanil, Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine,
Dextromethorphan, Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine,
Diphenoxylate, Fentanyl, Heroin, Hydrocodone, Hydromorphone,
LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol, Loperamide,
Meperidine, Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene,
Naloxone, Naltrexone, Noscapine, Oxycodone, Oxymorphone,
Pentazocine, Propoxyphene, dan Sufentanil.
1. Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat
opioid dengan mengikat reseptor opioid dan menghambat
pengaktivannya. Nalokson, suatu antagonis opiod murni,
menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson
digunakan untuk melawan efek kelebihan narkotik, yaitu
depresi pernapasan dan sedasi. Obat opioid lain adlah
kombinasi agonis dan antagonis, seperti pentazosin dan
butorfanol. Agonis-anatgonis opioid adalah analgetik efektif
apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya,
depresi pernapasan) dibandingkan dengan agonis opioid murni.
2. Adjuvan/Koanalgesik
Obat Adjuvan atau koanalgesik adalah obat yang semula
dikembang untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi
kemudian ditemukan memiliki sifat analgetik atau efek
komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri.
Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan
nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespons terhadap
opioid..
Craig, R. Craig and Robert E. Stitzel. 2007. Modern Pharmacology With Clinical
Application-6th Ed, Lippncott Williams & Wilkin, Virginia.
Goodman and Gilman. 2006. The Pharmacologic Basis of Therapeutics – 11th
Ed. McGraw-Hill Companies. Inc, New York.
Katzung, G. Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmacology – 10th Ed. The
McGraw-Hill Companies. Inc, New York.
Neal, J. Michael. 2002. Medical Pharmacology at a glance-4th Ed., Blackwell
science Ltd,London
d. Pendekatan Non-Faramakologik
Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan nonfarmakologis untuk
menanggulangi nyeriada pula tindakan nonfarmakologis untuk
mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan
berdasarkan :
1) Terapi dan Modalitas Fisik
Mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf
dengan listrik, akupuntur, aplikasi panas/dingin, olahraga).Dasar
stimulus kulit adalah teori pengendalian gerbang pada transmisi
nyeri. Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif
yang berdiamater besar untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat
berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat
dikurangi. Dihipotesiskan bahawa stimulasi kulit juga dapat
menyebabkan tuguh mengeluarkan endorphin dan neurotransmitter
lain yang menghambat endorphin.
2) Strategi Kognitif Perilaku
Mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku
nyeri dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk
mengendalikan nyeri.Strategi ini mencakup:
a) Relaksasi
b) Umpan balik biologis, adalah terapi yang dilakukan dengan
memberikan individu/penderita informasi tentang respon nyeri
fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap
respon itu.
c) Hipnotis, membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti positif.
d) Distraksi, mengalihkan perhatian tehadap nyeri. Ada 3 jenis
distraksi :
- Distraksi visual, contoh nonton TV, baca koran.
- Distraksi pendengaran, mendengarkan musik. Musik yang
dianjurkan adalah musik klasik.
- Distraksi Pernafasan
e) Imajinasi terbimbing, meminta klien berimajinasi
membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Tindakan ini
memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta
konsentrasi dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan,
tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan hanya pada
saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.
4. Usia merupakan variabel yang penting mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak-anak dan lansia. Cara lansia berespon terhadap nyeri dapat
berbeda dengan cara berespon dengan orang yang berusia lebih muda.
Namun individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami
situasi-situasi yang membuat mereka merasakan nyeri. Karena lansia
hidup lebih lama, mereka kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami
kondisi patologis yang menyertai nyeri maka ia dapat mengalami
gangguan fungsi yang serius.
Pengkajian keperawatan pada individu dengan nyeri termasuk
deskripsi nyeri juga faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi nyeri
yaitu pengalaman masa lalu, ansietas, usia serta respon individu terhadap
strategi pereda nyeri (Smeltzer, S. C & Bare, B.G, 2001).
5. Toleransi obat, ketergantungan dan gejala putus obat
Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada
gangguan medis/psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk
obat-obat psikotropika, dapat berangkat dari terjadinya toleransi, dan
akhirnya ketergantungan.Menurut konsep neurobiologi, istilah
ketergantungan (dependence) lebih mengacu kepada ketergantungan
fisik, sedangkan untuk ketergantungan secara psikis istilahnya adalah
ketagihan (addiction).Toleransi obat sendiri dapat dibedakan menjadi 3
jenis, yaitu : toleransi farmakokinetik, toleransi farmakodinamik, dan
toleransi yang dipelajari (learned tolerance).
Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau
metabolisme suatu obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis
obat yang diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin
berkurang dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian
pertama kali. Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan
kecepatan metabolisme obat tersebut.Contohnya adalah obat golongan
barbiturat.Ia menstimulasi produksi enzim sitokrom P450 yang
memetabolisir obat, sehingga metabolisme/degradasinya sendiri
ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan membutuhkan dosis obat yang
semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang sama dalam
darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,
penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan
metabolisme obat lain yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan
dosis yang meningkat pula.
Toleransi farmakodinamika merujuk pada perubahan adaptif
yang terjadi di dalam system tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga
respons tubuh terhadap obat berkurang pada pemberian berulang. Hal ini
misalnya terjadi pada penggunaan obat golongan benzodiazepine, di
mana reseptor obat dalam tubuh mengalami desensitisasi, sehingga
memerlukan dosis yang makin meningkat pada pemberian berulang
untuk mencapai efek terapetik yang sama.
Toleransi yang dipelajari (learned tolerance) artinya
pengurangan efek obat dengan mekanisme yang diperoleh karena adanya
pengalaman terakhir.
Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan
ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya
obat, dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom)
jika penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan obat tidak selalu
berkaitan dengan obat-obat psikotropika, namun dapat juga terjadi pada
obat-obat non-psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan
golongan vasodilator nitrat.
Sumber : Katzung
6. Prinsip kerja obat adiktif