laporan pemicu 4

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Klarifikasi dan Definisi 1. Nyeri Suatu sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan/ berpotensial menimbulkan kerusakan jaringan. 2. Infeksi Proses inflasi oleh mikroorganisme dan berproliferasidalam tubuh dan menyebabkan sakit. 3. Dosis Kadar obat yang mempengaruhi suatu organisme secara biologis untuk tujuan terapi. Kata kunci: 1. Laki-laki 40 tahun 2. Luka infeksi 3. Nyeri pada otot tungkai 1 tahun yang lalu 4. Penanganan obat sendiri 5. Dosisnya ditingkatkan 6. Ketergantungan obat 7. Pusing, mual dan nyeri berlebihan.

Transcript of laporan pemicu 4

Page 1: laporan pemicu 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Klarifikasi dan Definisi

1. Nyeri

Suatu sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan

dengan kerusakan jaringan/ berpotensial menimbulkan kerusakan jaringan.

2. Infeksi

Proses inflasi oleh mikroorganisme dan berproliferasidalam tubuh dan

menyebabkan sakit.

3. Dosis

Kadar obat yang mempengaruhi suatu organisme secara biologis untuk

tujuan terapi.

Kata kunci:

1. Laki-laki 40 tahun

2. Luka infeksi

3. Nyeri pada otot tungkai 1 tahun yang lalu

4. Penanganan obat sendiri

5. Dosisnya ditingkatkan

6. Ketergantungan obat

7. Pusing, mual dan nyeri berlebihan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh konsumsi obat yang terus menerus dalam jangka waktu

yang lama terhadap sistem saraf dan respon nyeri akibat luka infeksi?

1.3. Analisis Masalah

Page 2: laporan pemicu 4

Laki-laki 40 tahun

luka terinfeksi

nyeri

hilang

kembali

efek samping

Ketergantungan:1. faktor2. penganggulangan3. mekanisme

sembuh

Tidak diberi obat

Obat analgesik dengan peningkatan dosis

Mediator jenis fisiologi gated control theory

Neuroregenerasi Patogenesis infeksi

Page 3: laporan pemicu 4

1.4. Hipotesis

Konsumsi obat yang terus menerus dalam jangka waktu lama

mengakibatkan neuron dan neurotransmitter beradaptasi terhadap kondisi

tersebut sehingga menyebabkan respon nyeri pada luka infeksi dapat

menurun.

1.5. Pertanyaan Diskusi

1. Infeksi

a. Patogenesis infeksi

b. Reaksi imunologik

2. Nyeri

a. Klasifikasi

b. Proses nyeri

c. Reseptor

d. Mediator

e. Gated control theory

3. Pengobatan nyeri

a. Farmakologik

b. Nonfarmakologik

4. Apakah usia mempengaruhi lamanya keluhan nyeri?

pengobatan

farmakologik

farmakokinetik farmakodinamik

nonfarmakologik

Page 4: laporan pemicu 4

5. Pengaruh konsumsi obat dalam jangka waktu yang lama serta

peningkatan dosisnya terhadap sistem saraf dan respon nyeri.

6. Prinsip kerja obat adiktif.

7. Proses neuroregenerasi pada saraf yang mengalami kerusakan.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Infeksi

a. Patogenesis infeksi

Tahapan dalam patogenesis masuknya virus ke dalam tubuh inang

pembawa sering terjadi melalui selaput lendir saluran napas dan dapat

pula terjadi melalui selaput lendir pencernaan atau saluran kemih,

namun terkadang dapat pula akibat suntikan langsung virus ke dalam

aliran darah melalui suntikan atau gigitan serangga

Sedangkan tahapan patogenesis bakteri:

1. Bakteri masuk ke dalam tubuh

2. Adhesi-kolonisasi

3. Invasi

4. Kehidupan intraselular

5. Perusakan organ/ jaringan

Pada keadaan normal, otak dan medula spinalis dilindungi dari

lingkunga eksternal oleh tulang penutup, jaringan ikat, dan kulit. Agen

infeksius dapat memperoleh akses ke sistem saraf melalui salah satu

dari beberapa rute.rute tersebut antara lain:

1. Hematogen

2. Implantasi langsung saat trauma atau pada malformasi kongenital

SSP (misal, defek neuralis tube)

Page 5: laporan pemicu 4

3. Perluasanj lokal infeksi di struktur sekitar (misal telinga tengah dan

sinus)

4. Invasi melaluisaraf perifer seperti pada kasus rabies.

Terjadinya infeksi di dalam SSP dipengaruhi oleh paling sedikit dua

faktor, yang bekerja sendiri-sendiri ataupun bersamaan yaitu:

1. Sifat agen infeksius

2. Integritas pertahanan normla penjamu.

Adapun contohnya pada infeksi sistem saraf antara lain

1. Infeksi epidural dan subdural

2. Leptomeningitis

a) Leptomeningitis akut (purulen)

b) Meningitis limfositik (virus) akut

c) Menignitis kronik

3. Infeksi parenkim (termasuk ensefalitis)

a) Abses otak

b) Tuberkulosis dan toksoplasmosis

c) Ensefalitis virus

d) Ensefalopati spongioform

b. Reaksi imunologik

Sistem Imun merupakan semua sel dan molekul sebagai suatu kesatuan

fungsional untuk melawan substansi asing yang masuk ke dalam

tubuh. Respon Imun merupakan Tanggapan terhadap substansi asing

yang masuk ke dalam tubuh. 2 aktifitas yang saling mempengaruhi,

yaitu:

1) Pengenalan (recognition), untuk:

- Mengenal dan mendeterminasi substansi asing secara spesifik

- Menyeleksi molekul yang bersifat imunogenik

- Membedakan komponen sendiri (self) dari substansi asing

(nonself)

Page 6: laporan pemicu 4

2) Tanggapan (respon), untuk:

- Mengerahkan bermacam-macam sel dan molekul sehingga

menghasilkan reaksi yang sesuai dan tepat untuk melawan dan

menetralkan substansi/organisme yang masuk.

Komponen Imunitas Tubuh terdiri dari dua yaitu:

1) Imunitas natural (Innate immunity)

- Udah ada sejak fetus/dilahirkan

- Bersifat nonspesifik

- Berperan sebagai garis pertahanan pertama terhadap invansi

substansi asing

2) Imunitas didapat (Acquired/adaptive immunity)

- Bersifat spesifik

- Berkembang karena diinduksi oleh intervensi substansi asing

yang masuk (= antigen)

Imunitas natural Imunitas didapat

Resistensi Resistensi tidak berubah pada

interaksi berikutnya

Resistensi menjadi lebih baik pada

infeksi berikutnya

Soluble factors Lisozim, komplemen, interferon Antibodi, sitokin

Cells Epitel permukaan & mukosa,

fagosit, sel NK

Limfosit T dan Limfosit B

Adapun reaksi immunologik yang terjadi saat infeksi adalah

mikroorganisme yang menginfeksi pertama akan dicerna oleh lisozim

yang terdapat dalam epitel di permukaan kulit dan mukosa. Lisozim

merupakan zat kimia yang mampu mengurai dinding sel

Page 7: laporan pemicu 4

mikroorganisme. Apabila mikroorganisme tidak mampu di urai oleh

lisozim maka, mikroorganisme akan masuk ke jaringan tubuh sistem

respon innate akan bekerja dalam “melawan mikroorganisme yang

masuk”. Sistem innate tubuh yang bekerja adalah sel granuler sel darah

putih ( neutrofil ). Neutrofil akan pergi ke jaringan terinfeksi melalui

pembuluh darah. Neutrofil dapat bermarginasi melalui pembuluh darah

sehingga neutrofil dapat langsung pergi ke jaringan terinfeksi. Selain

neutrofil, sel yang berperan dalam sistem innate adalah makrofag.

Makrofag akan pergi ke jaringan infeksi dan memfagositosis

mikroorganisme dan menghancurkannya. Apabila makrofag tidak

mampu menghancurkan mikroorganisme, maka makrofag akan

menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF-alfa dan interleukin-1.

Sitokin ini berfungsi sebagai sinyal proses inflamasi dan membantu

proses dilatasi pembuluh darah sehingga proses marginasi neutrofil

dapat berlangsung lebih gencar. Selain itu sel NK juga berperan dalam

menghancurkan sel-sel yang terinfeksi mikroorganisme melalui sistem

pengenalan MHC 1. Sel yang terinfeksi biasanya akan menghasilkan

MHC kelas 1, melalui inilah sel NK dapat mengenali sel terinfeksi dan

menghancurkan sel itu. Apabila sistem innate tidak mampu

menterminasi mikroorganisme, maka respon imun selanjutnya

Page 8: laporan pemicu 4

dilakukan oleh sistem imun spesifik. Mikroorganisme yang masuk

melalui epitel akan diikat oleh sel dendritik untuk selanjutnya di bawa

ke kelenjar getah bening dam limpa. Selain sel dendritik, makrofag juga

dapat berperan dalam mengantar mikroorganisme yang tidak mampu

dia hancurkan ke kelenjar getah bening dan limpa. Di kelenjar getah

bening dan limpa, mikroorganisme ini akan dikenalkan pada sel T

immature. Fungsi sel dendritik dan makrofag sebagai pengenal

mikroorganisme terhadap sel T immature merupakan fungsi sel sebagai

Antigen Presenting Cell .

Selanjutnya sel T immature akan berproliferasi dan berdiferensiasi

menjadi sel T helper dan sel T sitotoksik. Sel T helper yang memiliki

banyak fungsi seperti mengaktifkan sel B yang immature agar menjadi sel

plasma yang menghasilkan antibody yang spesifik untuk menghancurkan

First exposure to antigen

Antigens engulfed anddisplayed by dendritic cells

Activate

Humoral immune responseCell-mediated immune response

HelperT cell

Gives rise to

Antigens displayedby infected cells

Activate

CytotoxicT cell

Gives rise to

Secretedcytokinesactivate

Activate

Gives rise to

B cells

Intact antigens

Page 9: laporan pemicu 4

mikroorganisme, berubah menjadi sel T helper memori, dan mengaktifkan

sel T sitotoksik yang immature menjadi sel T sitotoksik aktif, an sel T

sitotoksik memori. Sel T sitotoksik inilah yang nantinya akan keluar dari

kelenjar getah bening ke jaringan terinfeksi untuk menghancurkan sel-sel

yang terinfeksi mikroorganisme(reaksi selular). Sedangkan antibody yang

dihasilkan oleh sel plasma berperan untuk menghancurkan

mikrooorganisme bebas yang berada di luar sel pada jaringan terinfeksi.

(Abbas, litchman. 2004. Basic immunology. edisi ke 2. Elsevier)

2. Nyeri:

a. Jenis nyeri dapat dinyatakan dalam beberapa hal, seperti: berdasarkan

mekanisme nyeri, berdasarkan kemunculan nyeri dan berdasarkan

klasifikasi nyeri wajah.

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),

nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu

1. Nyeri akut, nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian atau

kondisi yang dapat dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan

suatu gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor (reseptor

rasa nyeri) karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat

penyakit atau trauma. Nyeri ini biasanya berlangsung sementara,

kemudian akan mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus

pada nosiseptor dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.

Contoh nyeri akut ialah nyeri akibat kecelakaan atau nyeri pasca

bedah.

2. Nyeri kronik, nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak dengan

fenomena patofisiologik yang dapat diidentifikasi dengan mudah,

berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan proses dari

suatu penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan

patologis yang telah berlangsung terus menerus atau menetap

setelah terjadi penyembuhan penyakit atau trauma dan biasanya

Page 10: laporan pemicu 4

tidak terlokalisir dengan jelas. Nyeri wajah atipikal adalah salah

satu nyeri kronik.

Berdasarkan mekanisme nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis

yaitu

1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat

yang tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan

menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah

terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi

nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang

dialami.

2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat

kuat sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami

inflamasi dan menyebabkan fungsi berbagai komponen nosiseptif

berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan

berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin,

prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau

mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.

Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi

nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan

salah satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar

pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien

mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat

stimuli, misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau

saat makan, sendi yang sakit semakin hebat bila digerakkan.

3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan

adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang

diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan

metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada

Serabut Saraf Aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang

dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh

Page 11: laporan pemicu 4

keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga

menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan

tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA

(mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya

menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral).

b. Proses nyeri

Serat-serat nyeri aferen primer akan bersinaps dengan antarneuron

ordo kedua spesifik di tanduk dorsal medula spinalis. Serat-serta ini

akan mengeluarkan neurotransmitter sebagai respon terhadap potensial

aksi yang terjadi akibat rangsangan. Terdapat dua jenis

neurotransmitter yaitu substansi P dan glutamat.

Substansi P akan mengaktifkan jalur-jalur asendens yang

mengaktifkan dinyal nosiseptif ke tingkat lebih tinggi untuk

pemrosesan lebih lanjut. Terdapat tiga tujuan yaitu korteks, talamus,

dan formatio retikularis. Daerah korteks akan menentukan lokasi nyeri,

sedangkan di talamus, nyeri tetap dapat dirasakan tanpa adanya

korteks. Formatio retikularis dapat meningkatkan kewaspadaan yang

berkaitan dengan rangsangan yang mengganggu. Interkoneksi dari

talamus dan formatio retikularis ke hipotalamus dan sistem limbik

memicu respons perilaku dan emosi yang menyertai pengalaman yang

menimbulkan nyeri.

Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik utama. Terdapat dua

reseptor utama glutamat. Pertama adalah AMPA, dimana jika glutamat

berikatan dengan reseptor ini akan menyebabkan adanya perubahan

permeabilitas yang akhirnya menyebabkan pembentukan potensial aksi

di sel tanduk dorsal. Selanjutnya potensial aksi ini akan menyalurkan

pesan nyeri ke pusat-pusat yang lebih tinggi. Kedua adalah NMDA,

pengikatan glutamat dengan reseptor ini akan menyebabkan masuknya

Ca2+ ke dalam sel tanduk dorsal. Jalur ini tidak terlibat dalam transmisi

pesan nyeri. Ca2+ malah akan memicu sistem pembawa pesan kedua

yang membuat neuron tanduk dorsal lebih peka daripada biasanya

Page 12: laporan pemicu 4

membuat hipereksitabilitas. Hipereksitabilitas ini akan meningkatkan

sensitivitas daerah yang cedera terhadap pajanan rangsang nyeri yang

berikutnya atau bahkan rangsangan normal yang tak nyeri, misalnya

sentuhan ringan.

Mekanisme lain di luar hipereksitabilitas neuron tanduk dorsal

yang ditimbulkan oleh glutamat juga berperan menyebabkan

supersensitivitas suatu daerah yang cedera. Kepekaan yang berlebihan

ini mungkin bertujuan untuk mengurangi aktivitas yang dapat semakin

merusak dan mengganggu penyembuhan daerah cedera.

Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC Penerbit

buku Kedokteran

c. Reseptor

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri

adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap

stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut

juga nociceptor , secara anatomis reseptor nyeri (nociceptor) ada yang

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nociceptor dapat dikelompokkan dalam

beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus) dan juga di jaringan

tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi dan falks serta

tentorium tempurung kepala. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah,

nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nociceptor

kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari

daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor

jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu

1) Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)

yangmemungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang

apabila penyebab nyeritersebut dihilangkan.

Page 13: laporan pemicu 4

2) Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5

m/det) yang terdapatpada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

3) Salah satu temuan baru adalah isolasi reseptor vaniloid-1 (VR-1).

Vanilin adalah sekelompok senyawa, termasuk kapsaisin, yang

menimbulkan nyeri. Temuan ini mengharuskan dilakukannya

revisi terhadap konsep bahwa hanya terdapat satu jalur yang

menyalurkan nyeri ke korteks serebri. Reseptor VR-1 berespons

tidak saja terhadap bahan-bahan yang menimbulkan nyeri seperti

kapsaisin, tetapi juga terhadap proton dan suhu yang berpotensi

membahayakan di atas 430C. Reseptor lain, VRL-1, yang

berespons terhadap suhu di atas 500C.

Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:

EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Tiga jenis stimulus yang merangsang reseptor nyeri yaitu mekanis,

suhu dan kimiawi. Rasa nyeri dapat di rasakan melaui berbagai jenis

rangsangan. Semua ini di kelompokan sebagai rangsangan nyeri

mekasin, suhu dan kimia. Pada umumnya, nyeri cepat di peroleh

melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan nyeri lambat

dapat di peroleh melalui rangsangan mekanis, suhu dan kimia.

Sifat nonadaptif reseptor rasa nyeri, berpeda dengan kebanyakan

reseptor sensorik tubuh lainnya, reseptor nyeri sedikit sekali beradaptasi

dan kadang tidak beradaptasi sama sekali. Ternyata, pada beberapa

kondisi, eksitasi serabut rasa nyeri menjadi semakin bertambah secara

prgresif, terutama rasa nyeri mual, menusuk dan lambat karena stimulus

rasa nyeri berlangsung terus-menerus. Keadaan ini akan meningkatkan

sinsitivitas reseptor rasa nyeri dan disebut hiperalgesia.

Page 14: laporan pemicu 4

Sumber: Guyton & hall. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

d. Mediator nyeri

1) Glutamat

Diduga glutamat merupakan subtansi neurotransmitter yang

disekresikan melalui medula spinalis pada ujung-ujung serabut

saraf tipe Aδ. Hal ini adalah satu dari sekian banyak transmitter

eksitasi yang banyak di gunakan dalam sistem saraf pusat, biasanya

memiliki masa kerja yang berlangsung hanya beberapa milidetik.

2) Subtansi P

Pada serabut saraf tipe C yang memasuki medulla spinalis

mengeluarkan neurotransmitter suptansi P jauh lebih lambat,

mencapai pemekatan dalam waktu beberapa detik atau beberapa

menit.

Sumber: Guyton & hall. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

3) Prostaglandin

Semua nosiseptor dapat ditingkatkan kepekaannya oleh adanya

prostaglandin, yang sangat meningkatkan respon reseptor terhadap

rangsangan yang mengganggu (terasa lebih sakit jika ada

prostaglandin). Cedera jaringan, antara lain, dapat menyebabkan

pelepasan lokal prostaglandin. Bahan-bahan kimia ini bekerja pada

ujung perifer nosiseptor untuk menurunkan ambang pengaktifan

reseptor.

4) Bradikinin

Bradikinin merupakan suatu bahan yang normalnya inaktif dan

menjadi aktif oleh enzim-enzim yang dikeluarkan ke dalam CES

dari jaringan yang rusak. Bradikinin ini memicu perasaan nyeri

diikuti oleh sensasi pegal tumpul yang lokalisasinya tidak jelas dan

menetap lebih lama disertai rasa tidak nyaman (jalur nyeri lambat).

Bradikinin dan senyawa-senyawa terkait tidak saja memicu nyeri,

Page 15: laporan pemicu 4

mungkin dengan merangsang nosiseptor polimodal, tetapi juga

berperan dalam respons peradangan terhadap cedera jaringan.

Menetapnya bahan-bahan kimia ini dapat menjelaskan mengapa

nyeri pegal terus berlangsung setelah terhentinya rangsangan

mekanis atau suhu penyebab kerusakan jaringan.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem.

Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

e. Gated control theory ( cara tubuh mengendalikan rasa sakit)

Sistem saraf pusat memiliki sistem analgesic penekan nyeri inheren

yang menekan penyaluran impuls di jalur nyeri sewaktu impuls

tersebut masuk ke medulla spinalis. Dua region diketahui menjadi

bagian dari jalur analgesic desendens. Rangsangan listrik pada

substansi grissea periakuaduktus menghasilkan analgesic kuat,

demikaian jga stimulasi formasio retikularis di dalam batang otak.

Sistem analgesic ini menekan nyeri denganmenghambat pelepasan

substansi P dari ujung serat nyeri aferen

Secara spesifik, sistem analgesic bergantung pada keberadaan

reseptor opiate. Orang telah lama mengetahui bahwa morfin, suatu

komponen dalam tanaman opium, adalah suatu analgesic kuat. Para

peneliti beranggapan bahwa kecil kemungkinannya bahwa tubuh

dianugrahi reseptor opiate hanya untuk berinteraksi dengan bahan

kimia yang berasal dari sejenis bunga. Karenannya mereka mulai

melakukan penelitian untuk mencari bahan yang secara normal

berikatan dengan reseptor opiate ini. Hasilnya adalah penemuan opiate

endogen-endorfin, enkaflin, dan dinorfin-yang penting dalam sistem

analgesic alami di tubuh. Opiate-opiat endogen ini berfungsi sebagai

neurotransmitter analgesic; mereka dibebaskan dari jalur analgesic

desendens dan berikatan dengan reseptor opiate di ujung serat nyeri

aferen. Pengikatan ini menekan pelepasan substansi P melalui inhibisi

Page 16: laporan pemicu 4

prasinaps, sehingga transmisi lebih lanjut sinyal nyeri dihambat.

Morfin berikatan dengan reseptor opiate yang sama, yang menjelaskan

sifat analgesiknya.

Faktor-faktor yang diketahui memodulasi nyeri adalah olahraga,

stress, dan akupuntur. Para peneliti percaya bahwa endorphin

dibebaskan selama olahraga berkepanjangan dan mungkin

menimbulkan “runner’s high”. Beberapa jenis stress juga

mengakibatkan analgesia.

(Sherwood, laurelee. 2012. Fisiologi manusia. Edisi ke 6. Jakarta:EGC

penerbit buku kedookteran)

3. Pengobatan Nyeri

a. Farmakologi

Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan:

1. Analgesik nonopioid

2. Analgesik opioid

Kedua jenis analgetik ini berbeda dalam hal mekanisme dan target

aksinya. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis obat analgetik

tersebut.

1) Analgesik Nonopioid/Perifer (nonopioid analgesics)

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada

enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam

sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin.

Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok

pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim

COX  pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi

pembentukan mediator nyeri. Mekanismenya tidak berbeda dengan

NSAID dan COX-2 inhibitors.

Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah

gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan

Page 17: laporan pemicu 4

ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya

disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis

besar.

Beberapa nama obat nonopioid analgesics (generic name) ini

yaitu: Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib, Diclofenac, Etodolac,

Fenoprofen, Flurbiprofen, Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen,

Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid, Nabumetone,

Naproxen, Oxaprozin, Oxyphenbutazone, Phenylbutazone,

Piroxicam, Rofecoxib, Sulindac, dan Tolmetin.

Deskripsi Obat Analgesik Non-opioid

a) Salicylates

Contoh dari obat salicylates ialah aspirin. Aspirin

mempunyai kemampuan menghambat biosintesis

prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase

secara ireversibel, pada dosis yang tepat, obat ini akan

menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan

A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan

lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil

dengan penyangga yang cocok (minum aspirin bersama

makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).

b) p-Aminophenol Derivatives

Contoh dari obat p-Aminophenol Derivatives ialah

acetaminophen (Tylenol). Acetaminophen (Tylenol) adalah

metabolit dari fenasetin. Obat ini menghambat prostaglandin

yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti-

inflamasi yang bermakna.Obat ini berguna untuk nyeri ringan

sampai sedang seperti nyeri kepala,mialgia,nyeri pasca

persalinan dan keadaan lain.efek samping kadang-kadang

timbul peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat

menimbulkan pusing,mudah terangsang, dan disorientasi.

Page 18: laporan pemicu 4

c) Indoles and Related Compounds

Contoh dari obat Indoles and Related Compounds ialah

indomethacin (Indocin). Indomethacin (Indocin) merupakan

obat yang lebih efektif   daripada aspirin, merupakan obat

penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan

efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare,

pendarahan saluran cerna, dan pancreatitis serta menimbulkan

nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati.

d) Fenamates

Contoh dari obat fenamates yaitu Meclofenamate

(Meclomen), merupakan turunan asam fenamat ,mempunyai

waktu paruh pendek,efek samping yang serupa dengan obat-

obat AINS baru yang lain dan tak ada keuntungan lain yang

melebihinya. Obat ini meningkatkan efek antikoagulan oral.

Dikontraindikasikan pada kehamilan.

e) Arylpropionic Acid Derivatives

Contoh dari obat ini yaitu Ibuprofen (Advil), tersedia bebas

dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang.obat ini

dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung,

angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin.

Efek samping, gejala saluran cerna.

f) Pyrazolone Derivatives

Contoh dari obat ini yaitu Phenylbutazone (Butazolidin),

untuk pengobatan artristis rmatoid dan berbagai kelainan otot

rangka.obat ini mempunya efek anti-inflamasi yang kuat, tetapi

memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis,

anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.

g) Oxicam Derivatives

Contoh dari obat ini yaitu Piroxicam (Feldene), obat

OAINS dengan struktur baru. Waktu paruhnya panjang untuk

pengobatan artristis rematoid dan berbagai kelainan otot

Page 19: laporan pemicu 4

rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala dan

rash.

h) Acetic Acid Derivatives

Contoh dari obat ini yaitu Diclofenac (Voltaren), obat ini

adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek

antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik.  Waktu paruhnya

pendek. Dianjurkan untuk pengobatan artristis rematoid dan

berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya distres saluran

cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak lambung.

i) Miscellaneous Agents

Contoh dari obat ini yaitu Oxaprozin (Daypro), obat ini

mempunyai waktu paruh yang panjang. Obat ini memiliki

beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat

OAINS lain.

2) Analgetik Opioid

Analgetik opioid merupakan golongan obat yang memiliki

sifat seperti opium/morfin. Sifat dari analgesik opiad yaitu

menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh

karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal:

1. Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin

2. Tanpa bahaya adiksi

a. Obat yang berasal dari opium-morfin

b. Senyawa semisintetik morfin

c. Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin

Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang

sangat kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat

(SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan  menimbulkan

perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda

nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri

yang hebat.

Page 20: laporan pemicu 4

Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh

sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang

belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem

ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan,

misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa

dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang

dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen.

Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri

endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.

Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi

penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia,

termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan

toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur

homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak,

dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh

terhadap rangsang eksternal. Baik opioid endogen dan analgesik

opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik

nonopioid yang target aksinya pada enzim.

Ada beberapa jenis reseptor opioid  yang telah diketahui

dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε.  (dan yang terbaru

ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-

receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan

e-receptor, namum belum jelas fungsinya). Reseptor μ memediasi

efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik

dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan

pernafasan.

Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan

dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi

terhadap μ  opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam

efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini

tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan

Page 21: laporan pemicu 4

reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin,

sedangkan reseptor  μ selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umum kerja obat analgesik opioid yaitu:

Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan

masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula

hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam

sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah

terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan

peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan

mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.

Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid

diantaranya:

1. Analgesik

2. Medullary effect

3. Miosis

4. Immune function and Histamine

5. Antitussive effect

6. Hypothalamic effect

7. GI effect

Efek samping  yang dapat  terjadi yaitu seperti toleransi dan

ketergantungan, depresi pernafasan, hipotensi dan lain-lain.

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi

menjadi:

1. Agonis opioid menyerupai morfin (pada reseptor μ, κ).

Contoh: Morfin, fentanil

2. Antagonis opioid. Contoh: Nalokson

3. Menurunkan ambang nyeri pada pasien yang ambang nyerinya

tinggi

4. Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin,

buprenorfin, malbufin, butorfanol

Page 22: laporan pemicu 4

Berikut contoh obat-obatan opioid analgesik (generic name):

Alfentanil, Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine,

Dextromethorphan, Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine,

Diphenoxylate, Fentanyl, Heroin, Hydrocodone, Hydromorphone,

LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol, Loperamide,

Meperidine, Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene,

Naloxone, Naltrexone, Noscapine, Oxycodone, Oxymorphone,

Pentazocine, Propoxyphene, dan Sufentanil.

1. Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid

Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat

opioid dengan mengikat reseptor opioid dan menghambat

pengaktivannya. Nalokson, suatu antagonis opiod murni,

menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson

digunakan untuk melawan efek kelebihan narkotik, yaitu

depresi pernapasan dan sedasi. Obat opioid lain adlah

kombinasi agonis dan antagonis, seperti pentazosin dan

butorfanol. Agonis-anatgonis opioid adalah analgetik efektif

apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya

menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya,

depresi pernapasan) dibandingkan dengan agonis opioid murni.

2. Adjuvan/Koanalgesik

Obat Adjuvan atau koanalgesik adalah obat yang semula

dikembang untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi

kemudian ditemukan memiliki sifat analgetik atau efek

komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri.

Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan

nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespons terhadap

opioid..

Craig, R. Craig and Robert E. Stitzel. 2007. Modern Pharmacology With Clinical

Application-6th Ed, Lippncott Williams & Wilkin, Virginia.

Page 23: laporan pemicu 4

Goodman and Gilman. 2006. The Pharmacologic Basis of Therapeutics – 11th

Ed. McGraw-Hill Companies. Inc, New York.

Katzung, G. Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmacology – 10th Ed. The

McGraw-Hill Companies. Inc, New York.

Neal, J. Michael. 2002. Medical Pharmacology at a glance-4th Ed., Blackwell

science Ltd,London

d. Pendekatan Non-Faramakologik

Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan nonfarmakologis untuk

menanggulangi nyeriada pula tindakan nonfarmakologis untuk

mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan

berdasarkan :

1) Terapi dan Modalitas Fisik

Mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf

dengan listrik, akupuntur, aplikasi panas/dingin, olahraga).Dasar

stimulus kulit adalah teori pengendalian gerbang pada transmisi

nyeri. Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif

yang berdiamater besar untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat

berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat

dikurangi. Dihipotesiskan bahawa stimulasi kulit juga dapat

menyebabkan tuguh mengeluarkan endorphin dan neurotransmitter

lain yang menghambat endorphin.

2) Strategi Kognitif Perilaku

Mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku

nyeri dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk

mengendalikan nyeri.Strategi ini mencakup:

a) Relaksasi

b) Umpan balik biologis, adalah terapi yang dilakukan dengan

memberikan individu/penderita informasi tentang respon nyeri

fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap

respon itu.

Page 24: laporan pemicu 4

c) Hipnotis, membantu mengubah persepsi nyeri melalui

pengaruh sugesti positif.

d) Distraksi, mengalihkan perhatian tehadap nyeri. Ada 3 jenis

distraksi :

- Distraksi visual, contoh nonton TV, baca koran.

- Distraksi pendengaran, mendengarkan musik. Musik yang

dianjurkan adalah musik klasik.

- Distraksi Pernafasan

e) Imajinasi terbimbing, meminta klien berimajinasi

membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Tindakan ini

memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta

konsentrasi dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan,

tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan hanya pada

saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.

4. Usia merupakan variabel yang penting mempengaruhi nyeri, khususnya

pada anak-anak dan lansia. Cara lansia berespon terhadap nyeri dapat

berbeda dengan cara berespon dengan orang yang berusia lebih muda.

Namun individu yang berusia lanjut memiliki resiko tinggi mengalami

situasi-situasi yang membuat mereka merasakan nyeri. Karena lansia

hidup lebih lama, mereka kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami

kondisi patologis yang menyertai nyeri maka ia dapat mengalami

gangguan fungsi yang serius.

Pengkajian keperawatan pada individu dengan nyeri termasuk

deskripsi nyeri juga faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi nyeri

yaitu pengalaman masa lalu, ansietas, usia serta respon  individu terhadap

strategi pereda nyeri (Smeltzer, S. C & Bare, B.G, 2001).

5. Toleransi obat, ketergantungan dan gejala putus obat

Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada

gangguan medis/psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk

obat-obat psikotropika, dapat berangkat dari terjadinya toleransi, dan

akhirnya ketergantungan.Menurut konsep neurobiologi, istilah

Page 25: laporan pemicu 4

ketergantungan (dependence) lebih mengacu kepada ketergantungan

fisik, sedangkan untuk ketergantungan secara psikis istilahnya adalah

ketagihan (addiction).Toleransi obat sendiri dapat dibedakan menjadi 3

jenis, yaitu : toleransi farmakokinetik, toleransi farmakodinamik, dan

toleransi yang dipelajari (learned tolerance).

Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau

metabolisme suatu obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis

obat yang diberikan menghasilkan kadar dalam darah yang semakin

berkurang dibandingkan dengan dosis yang sama pada pemberian

pertama kali. Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan

kecepatan metabolisme obat tersebut.Contohnya adalah obat golongan

barbiturat.Ia menstimulasi produksi enzim sitokrom P450 yang

memetabolisir obat, sehingga metabolisme/degradasinya sendiri

ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan membutuhkan dosis obat yang

semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang sama dalam

darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,

penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan

metabolisme obat lain yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan

dosis yang meningkat pula.

Toleransi farmakodinamika merujuk pada perubahan adaptif

yang terjadi di dalam system tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga

respons tubuh terhadap obat berkurang pada pemberian berulang. Hal ini

misalnya terjadi pada penggunaan obat golongan benzodiazepine, di

mana reseptor obat dalam tubuh mengalami desensitisasi, sehingga

memerlukan dosis yang makin meningkat pada pemberian berulang

untuk mencapai efek terapetik yang sama.

Toleransi yang dipelajari (learned tolerance) artinya

pengurangan efek obat dengan mekanisme yang diperoleh karena adanya

pengalaman terakhir.

Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan

ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya

Page 26: laporan pemicu 4

obat, dan akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom)

jika penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan obat tidak selalu

berkaitan dengan obat-obat psikotropika, namun dapat juga terjadi pada

obat-obat non-psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan

golongan vasodilator nitrat.

Sumber : Katzung

6. Prinsip kerja obat adiktif