Laporan Parasitolosi Semester III

22
Laporan Parasitolosi semester III PEMERIKSAAN TINJA SECARA MIKROSKOPIS I. Tujuan Adapun tjuan praktikum ini adalah untuk mengetahui jenis telr cacing yang terdapat pada feses II. Metode Metode yang dignakan pada praktikum ini adalah menggunakan sediaan basah III. Prinsip Dengan penambahan eosin, lugol dan garam fisiologis, maka telur cacing dan unsure-unsur lain yang terdapat dalam tinja terlihat jelas IV. Dasar Teori Dalam sediaan feses, ada empat jenis telur cacing yang biasa ditemukan yaitu: telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides), telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), telur cacing cambuk ((Trichuris trichiura) dan telr cacing pita (Taenia saginata dan Taenia solium). Cacing gelang, hospes satu-satunya adalah manusia. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 sampai 200.000 butir sehari yang terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berukuran 60 x 45 mikron, yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Menjadi bentuk infektif dalam waktu ± 3 minggu. Cacing tambang menyebabkan penyakit nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing betina N.americanus dan A.duodenale kira-kira mengeluarkan 9.000 dan 10.000 butir telur dalam sehari. Telur cacing tambang berukuran ± 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan berdinding tipis. Cacing cambuk menyebabkan penyakit trikuriasis. Cacing betina dierkirakan menghasilkan 3.000-10.000 butir telur setiap hari. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tong dengan opperkulum jernih pada kedua kutubnya. Cacing pita memiliki tubuh yang panjang yeng merupakan ruas-ruas proglotid. Baik Taenia saginata maupun Taenia solium memiliki ribuan telur yang tersimpan dalam proglotid. Telur bulat sempurna dan berdinding tebal. (Tjokronegoro.2003) V. Alat dan Bahan A. Alat-alat - Objek glass - Cover glass - Lidi - Pipet tetes - Mikroskop B. Bahan - Sampel tinja cair - Eosin 2% - Garam fisiologis - Lugol VI. Cara Kerja A. Membuat sediaan dengan pewarna eosin - Disiapkan objek glass dengan dialasi tissue - Diatas objek glass ditetesi 1 tetes tinja kemudian ditambahkan satu tetes eosin. - Sampel diaduk dengan lidi hingga tercampur rata dengan eosin - Sampel pada objek glass ditutup dengan cover glass - Amati dibawah mikroskop B. Membuat sediaan dengan garam fisiologis - Disiapkan objek glass dengan dialasi tissue - Diatas objek glass ditetesi 1 tetes tinja kemudian ditambahkan satu tetes garam fisiologis - Sampel diaduk dengan lidi hingga tercampur rata dengan garam fisiologis - Sampel pada objek glass ditutup dengan cover glass - Amati dibawah mikroskop C. Membuat sediaan dengan Lugol - Disiapkan objek glass dengan dialasi tissue

Transcript of Laporan Parasitolosi Semester III

Page 1: Laporan Parasitolosi Semester III

Laporan Parasitolosi semester III

PEMERIKSAAN TINJA SECARA MIKROSKOPIS

I. Tujuan

Adapun tjuan praktikum ini adalah untuk mengetahui jenis telr cacing yang terdapat pada feses

II. Metode

Metode yang dignakan pada praktikum ini adalah menggunakan sediaan basah

III. Prinsip

Dengan penambahan eosin, lugol dan garam fisiologis, maka telur cacing dan unsure-unsur lain yang

terdapat dalam tinja terlihat jelas

IV. Dasar Teori

Dalam sediaan feses, ada empat jenis telur cacing yang biasa ditemukan yaitu: telur cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), telur cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), telur cacing cambuk

((Trichuris trichiura) dan telr cacing pita (Taenia saginata dan Taenia solium).

Cacing gelang, hospes satu-satunya adalah manusia. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. Seekor

cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 sampai 200.000 butir sehari yang terdiri dari telur yang

dibuahi dan yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berukuran 60 x 45 mikron, yang tidak dibuahi 90 x 40

mikron. Menjadi bentuk infektif dalam waktu ± 3 minggu.

Cacing tambang menyebabkan penyakit nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing betina N.americanus dan

A.duodenale kira-kira mengeluarkan 9.000 dan 10.000 butir telur dalam sehari. Telur cacing tambang

berukuran ± 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan berdinding tipis.

Cacing cambuk menyebabkan penyakit trikuriasis. Cacing betina dierkirakan menghasilkan 3.000-10.000

butir telur setiap hari. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tong dengan

opperkulum jernih pada kedua kutubnya.

Cacing pita memiliki tubuh yang panjang yeng merupakan ruas-ruas proglotid. Baik Taenia saginata

maupun Taenia solium memiliki ribuan telur yang tersimpan dalam proglotid. Telur bulat sempurna dan

berdinding tebal. (Tjokronegoro.2003)

V. Alat dan Bahan

A. Alat-alat

- Objek glass

- Cover glass

- Lidi

- Pipet tetes

- Mikroskop

B. Bahan

- Sampel tinja cair

- Eosin 2%

- Garam fisiologis

- Lugol

VI. Cara Kerja

A. Membuat sediaan dengan pewarna eosin

- Disiapkan objek glass dengan dialasi tissue

- Diatas objek glass ditetesi 1 tetes tinja kemudian ditambahkan satu tetes eosin.

- Sampel diaduk dengan lidi hingga tercampur rata dengan eosin

- Sampel pada objek glass ditutup dengan cover glass

- Amati dibawah mikroskop

B. Membuat sediaan dengan garam fisiologis

- Disiapkan objek glass dengan dialasi tissue

- Diatas objek glass ditetesi 1 tetes tinja kemudian ditambahkan satu tetes garam fisiologis

- Sampel diaduk dengan lidi hingga tercampur rata dengan garam fisiologis

- Sampel pada objek glass ditutup dengan cover glass

- Amati dibawah mikroskop

C. Membuat sediaan dengan Lugol

- Disiapkan objek glass dengan dialasi tissue

Page 2: Laporan Parasitolosi Semester III

- Diatas objek glass ditetesi 1 tetes tinja kemudian ditambahkan satu tetes lugol.

- Sampel diaduk dengan lidi hingga tercampur rata dengan lugol

- Sampel pada objek glass ditutup dengan cover glass

- Amati dibawah mikroskop

VII. Hasil Pengamatan

A. Hasil pengamatan pada sediaan dengan eosin

1. Telur cacing cambuk (Trichuris trichiura)

Ciri-ciri: - berebentuk oval lonjong (seperti tong)

- terdapat opperkulum di kedua ujungnya

- berwarna merah karena eosin

2. Telur cacing tambang

Ciri-ciri: - telur berbentuk lonjong

- dinding tipis bening

- permukaan dinding halus

- berwarna merah karena eosin

3. Telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides)

Ciri-ciri: - telur berbentuk bulat

- dinding telur bergerigi

- berwarna merah karena eosin

4. Telur cacing pita ( T.saginata/T.solium)

Ciri-ciri: - telur berbentuk bulat sempurna

- dinding tebal

B. Hasil pengamatan pada sediaan dengan garam fisiologis

1. Telur cacing cambuk (Trichuris trichiura)

Ciri-ciri: - berebentuk oval lonjong (seperti tong)

- terdapat opperkulum di kedua ujungnya

- berwarna kuning bening

2. Telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides)

Ciri-ciri: - telur berbentuk bulat

- dinding telur bergerigi

- berwarna kuning bening

C. Hasil pengamatan pada sediaan dengan lugol

1. Telur cacing cambuk (Trichuris trichiura)

Ciri-ciri: - berebentuk oval lonjong (seperti tong)

- terdapat opperkulum di kedua ujungnya

- berwarna kuning bening

2. Telur cacing tambang

Ciri-ciri: - telur berbentuk lonjong

- dinding tipis bening

- permukaan dinding halus

- berwarna kuning bening

3. Telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides)

Ciri-ciri: - telur berbentuk bulat

- dinding telur bergerigi

- berwarna kuning bening

VIII. Pembahasan

Preparat dibuat dengan mencampurkan tinja dengan pewarna eosin, lugol atau garam fisiologis. Pewarnaan

dilakukan agar telur cacing dan unsure-unsur lainnya dalam tinja dapat dilihat lebih jelas. Berdasarkan hasil

pengamatan yang telah disampaikan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa pada sampel feses yang diwarnai

dengan eosin ditemukan telur cacing tambang, telur cacing cambuk, telur cacing gelang, dan telur cacing

pita. Pada sampel feses yang diwarnai dengan lugol ditemukan telur cacing cambuk, telur cacing tambang,

dan telur cacing gelang. Sedangkan pada preparat yang ditambahkan garam fisiologis ditemukan telur cacing

cambuk dan telur cacing gelang. Masing-masing telur memiliki cirri-ciri yang khas. Tiga jenis pewarnaan

yang digunakan menyebabkan adanya perbedaa kenampakan sediaan ketika dibaca dengan mikroskop.

Sampel yang diwarnai dengan eosin yang berwarna merah terlihat lebih jelas dibandingkan dengan sampel

Page 3: Laporan Parasitolosi Semester III

yang diwarnai dengan lugol dan garam fisiologis yang berwarna bening kekuningan. Hal ini merupakan alas

an yang mungkin menyebabkan kenapa pada preparat yang diwarnai dengan eosin ditemukan lebih banyak

jenis telur cacing dibandingkan dengan pewarnaan lainnya meskipun menggunakan sampel feses yang sama.

Namun, selain alasan tersebut masih ada banyak faktor lain yang mempengaruhi banyaknya jenis telur

cacing yang ditemukan pada preparat seperti karena faktor ketelitian pembaca, kondisi alat, dan lain

sebagainya.

IX. Kesimpulan

1. Jenis telur cacing yang ditemukan dalam tinja yang digunakan sebagai sampel adalah; telur cacing

tambang, telur cacing gelang, telur cacing pita, dan telur cacing cambuk

PEMERIKSAAN ENTAMOEBA HISTOLYTICA PADA FESES

I. Tujuan

Untuk mengetahui entamoeba histolytica pada feses

II. Metode

Sediaan basah dengan pewarnaan eosin

III. Prinsip

Dengan penambahan zat eosin maka mikroorganisme dan unsure-unsur lain dalam tinja tampak lebih jelas

IV. Dasar Teori

Entamoeba histolytica adalah protozoa parasit anaerob, bagian genus Entamoeba. Dominan menjangkiti

manusia dan kera, E. histolytica diperkirakan menulari sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Tahapan

perkembangan amuba yang aktif (trophozoit) hanya ada di dalam host dan feses yang masih baru

dikeluarkan; cysta amuba hidup di luar host yaitu dalam air, tanah dan pada makanan, terutama dalam

kondisi basah. Cysta amuba mudah dibunuh oleh suhu panas dan dingin, dan hanya bertahan selama

beberapa bulan di luar host. Ketika cysta tertelan, mereka bisa menyebabkan infeksi melalui excysting

(tahap pelepasan trophozoit) dalam sistem pencernaan. Pada tahap ini trophozoit mudah mati dalam

lingkungan asam lambung/perut(Anonim,2009).

Morfologi

Dalam siklusnya terdapat tiga bentuk yaitu: Bentuk histolitika, minuta dan kista. Bentuk histolitika dan

bentuk minuta adalah bentuk trofozoit(Anonim,2009).

a. Bentuk histolitika:

Besarnya 20-40 mikron, inti Entamoeba ada satu dengan kariosom letak sentral, endoplasma dengan vakuol-

vakuol (berbutir halus) biasanya tidak mengandung bakteri atau sisa makanan, tetapi mengandung sel darah

merah, ada eritrosit, ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi sel membentuk pseudopodium yang

dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun,

dibentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat. Bentuk histolitika ini patogen dan dapat hidup dalam

jaringan usus besar, hati, paru, otak, kulit dan vagina. Bentuk ini berkembangbiak secara belah pasang di

jaringan dan dapat merusak jaringan tersebut, sesuai dengan nama spesiesnya Entamoeba histolytica (histo =

jaringan, lysis = hancur).

b. Bentuk minuta:

Bentuk minuta adalah bentuk pokok (esensial); tanpa bentuk minuta daur hidup tidak dapat berlangsung;

Besarnya 10-20 mikron, mempunyai satu inti Entamoeba dengan kariosom letak sentral, endoplasma dengan

vakuol-vakuol (berbutir-butir) yang tidak mengandung sel darah merah tetapi mengandung bakteri dan sisa

makanan, tanpa eritrosit, ektoplasma tidak nyata dan hanya tampak jika membentuk pseudopodium.

Pseudopodium dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat.

c. Bentuk kista :

Bentuk kista dibentuk di rongga usus besar; Besarnya 10-20 mikron, berbentuk bulat atau lonjong,

mempunyai dinding kista, mempunyai satu atau empat inti, terlihat benda kromatoid besar menyerupai

lisong, terdapat vakuol glikogen. Benda kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan

cadangan, karena itu terdapat pada kista muda. Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen

biasanya tidak ada lagi. Bentuk kista ini tidak patogen, tetapi dapat merupakan bentuk infektif.

Jadi, E. Histolytica tidak selalu menyebabkan penyakit. Bila tidak menyebabkan penyakit, ameba ini hidup

sebagai bentuk minuta yang bersifat komensal di rongga usus besar, berkembangbiak secara belah pasang.

Kemudian bentuk minuta dapat membentuk dinding dan berubah menjadi bentuk kista. Kista dikeluarkan

bersama tinja.Dengan adanya dinding kista, bentuk kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar

badan manusia.Bila kista matang tertelan, kista tersebut sampai di lambung masih dalam keadaan utuh

Page 4: Laporan Parasitolosi Semester III

karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga usus halus dinding kista dicernakan, terjadi

ekskistasi dan keluarlah bentuk-bentuk minuta yang masuk ke rongga usus besar. Bentuk minuta dapat

berubah menjadi bentuk histolitika yang patogen dan hidup di mukosa usus besar dan dapat menimbulkan

gejala. Dengan aliran darah, bentuk histolitika dapat tersebar ke jaringan hati, paru dan otak. Infeksi terjadi

dengan menelan kista matang(Anonim,2009).

V. Alat dan Bahan

A. Alat

1. Mikroskop

2. Cover glass

3. Objek glass

4. Pipet tetes

5. Lidi

B. Bahan

1. Sampel feces

2. Eosin

VI. Cara Kerja

1. Kaca objek ditetesi dengan eosin sebanyak 1 tetes

2. Diambil tinja di bagian tengah atau permukaan yang mengandung darah/lendir ± seujung lidi

3. Diaduk sampai rata pada masing-masing larutan

4. Ditutup dengan cover glass

5. Dilihat dibawah mikroskop mula-mula dengan perbesaran 10x

VII. Data Hasil Praktikum

Tidak ditemukannya Entamoeba Histolytica pada sampel (negative)

VIII. Pembahasan

Pemeriksaan tinja secara mikroskopik merupakan metode yang paling banyak dilakukan dalam nediagnosis

infeksi entamoeba hystolitica. Hasil positif dinyatakan jika ditemukan kista atau trofozoit. Namun karena

kista dan trofozoit berada dalam tinja secara, cara pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negative palsu.

Seperti yang ditemukan saat praktikum, dimana sampel feces yang kemarinnya sudah diperiksa dan

menyatakan hasil positif, setelah besoknya ditemukan hasil negate, ini dkarenakan bahwa entamoeba

hystolitica akan pecah jika terkena sinar matahari atau air yang bersifat asam. Oleh karena itu sebaiknya

dilakukan pengambilan sampel feces secara berulang, dan segera diperiksa. Dan jika ditemukan entamoeba

histolitica pada feces pasien, biasanya pasien dalam keadaan mengalami penyakit diare ini karena etamoeb

ahistolytica merupakan jenis protozoa dimana diketahui protozoa sangat susah dibuat sediaan awetan

(preparat awetan).

Jika positif entamoeba histolitica pada sampel feces, biasanya pada pemeriksaan feses dengan mikroskop

dapat dilihat gambar seperti di bawah ini:

IX. Kesimpulan

Pada sampel feces yang digunakan tidak ditemukan adanya entamoeba histolytica

PENGAMBILAN SAMPEL MALARIA, PEMBUATAN,

PEWARNAAN DAN PEMERIKSAAN SEDIAAN MALARIA

I. Tujuan

a. Pengambilan sampel bertujuan untuk memperoleh sampel darah pasien

b. Pembuatan hapusan bertujuan untuk mempermudah pemeriksaan dibwah mikroskop

c. Pewarnaan bertujuan untuk memperjelas jenis-jenis sel darah yang terlihat pada mikroskop

d. Pemeriksaan bertujuan untuk melihat ada tidaknya malaria pada pasien

II. Metode

a. Pada pengambilan sampel digunakan alat otomatis

b. Pada pembuatan hapusan dengan hapusan basah

c. Pada pewarnaan dengan menggunakan pewarna giemsa

d. Pada pemeriksaan menggunakan hapusan kering (hapusan yang telah disediakan)

III. Prinisp

a. Pada pengambilan sampel dan pembuatan hapusan

Page 5: Laporan Parasitolosi Semester III

Alat dilengkapi dengan jarum steril, alat ditempelkan pada jari tengah pasien, ketika ditekan tombol pada

alat, alat akan menusuk sendiri dan lepas sediri dari tangan pasien, tetesan darah pertama dibersihkan

dengan tissue, 3 tetes selanjutnya digunakan untuk membuat hapusan tebal, tetesan selanjutnya digunakan

untuk hapusan tipis.

b. Pewarnaan Giemsa

Giemsa memberikan warna ungu pada sel darah

c. Pemeriksaan

Degan perbesaran 10x untuk memeriksa lapang pandang dan 100x untuk melihat sel-sel yang dicurigai

malaria

IV. Dasar Teori

Malaria cerebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium falciparum yang ditandai demam

yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir

pada kematian jika tidak secepatnya mendapatkan perawatan yang tepat (anonym.2010).

Etiologi (anonym.2010)

Malaria serebral merupakan malaria berat yang umumnya disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Namun,

dalam kejadiannya juga dipengaruhi oleh beberapa penyebab yang menjadi factor yang penting dan kejadian

tersebut berbeda-beda pada tiap daerah satu dengan daerah yang lain, karena:

1. Faktor manusia (rasial).

2. Faktor vektor (nyamuk Anopheles).

Di Indonesia terdapat beberapa vektor yang penting (spesies Anopheles) yaitu : A. aeonitus, A. maeulatus, A,

subpictus, yang terdapat di Jawa dan Bali; A. sundaicus dan A. aconitus diSumatera; A. sundaicus, A.

subpictus di Sulawesi; A. balabacensis di Kalimantan; A. farauti dan A. punctulatus di Irian Jaya.

3. Parasit.

Umumnya adalah Plasmodium falciparum.

4. Faktor lingkungan yang mempengaruhi siklus biologi nyamuk

Manifestasi Klinis Serebral Malaria (anonim.2010)

Manifestasi klinis pada serebral malaria dibagi menjadi dua fase sebagai berikut :

a. Fase prodromal :

1. Gejala yang timbul tidak spesifik, penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul

serta kadang-kadang menggigil, dan sakit kepala.

2. 2. Fase akut :

3. Gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya komplikasi seperti sakit kepala yang

sangat hebat, mual, muntah, diare, batuk berdarah, gangguan kesadaran, pingsan, kejang, hemiplegi dan

dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan cornea mata

divergen, anemia, ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal.

Diagnosis (Anonim.2010)

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan parasit malaria dengan pemeriksaan mikroskopi. Pemeriksaan

mikroskopis dengan sediaan darah tebal dan tipis merupakan pemeriksaan yang terpenting. Interpretasi

pemeriksaan mikroskopis yang terbaik adalah berdasarkan hitung kepadatan parasit dan indentifikasi parasit

yang tepat. Pemeriksaan mikroskopis satu kali yang memberi hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosa

demam malaria dan untuk itu diperlukan pemeriksaan serial dengan interval pemeriksaan diantara satu hari.

Dalam hal ini waktu pengambilan sampel darah sebaiknya pada akhir perode demam. Periode ini tropozoit

dalam sirkulasi mencapai jumlah maksimal dan cukup matur sehingga memudahkan indentifikasi spesies

parasit. Pemeriksaan miroskopis dapat dilakukan dengan menggunakan sediaan darah tebal dan tipis.

Pemeriksaan miroskopis adalah merupakan standard baku dan apabila dilakukan dengan cara yang benar

mempunyai nilai sensitivitas dan spesifitas hampir 100%.33

Cara pemeriksaan sediaan darah tebal

Untuk melihat adanya parasit aseksual dari plasmodium malaria dapat dilakukan dengan mengambil darah

dari jari tangan penderita kemudian diletakkan pada dek gelas dan biarkan kering, kemudian selama 5 –10

menit diwarnai dengan pewarnaan giemsa yaitu cairan giemsa 10 % dalam larutan buffer PH 7,1. Setelah

selesai diwarnai maka sediaan darah dicuci dengan hati- hati selama 1-2 detik lalu biarkan kering dan siap

untuk diperiksa. Pemeriksaan dengan hapusan darah tebal diperlukan untuk menghitung kepadatan parasit.

Cara pemeriksaan sediaan darah tipis

Sediaan darah tipis berguna untuk mengindentifikasi jenis parasit malaria. Cara pengecatan sama dengan

pemeriksaan darah tebal namun sebelum di cat sedian darah difiksasi dulu dengan metanol murni.

Page 6: Laporan Parasitolosi Semester III

Cara menghitung kepadatan parasit

Jumlah parasit aseksual dalam 1 mm3 = (X . Jumlah lekosit /mm3)/200

X = jumlah parasit aseksual per 200 lekosit.

Manajemen Penanganan (anonim.2010)

1. Manajemen terapi atau penanggulangan malaria serebral meliputi:

a. Penanganan Umum

1. Penderita sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif (ICU).

2. Untuk di daerah endemis, terapi diberikan sesegera mungkin, kadang-kadang sebelum konfirmasi

parasitologik.

3. Penderita harus ditimbang untuk menghitung dosis obat antimalaria.

4. Pemberian cairan infus untuk pemeliharaan cairan dan kebutuhan kalori. Semua intake harus direkam

secara hati-hati.

5. Pasang kateter urin untuk mengukur pengeluaran urin seperti halnya mengukur pengeluaran yang lain.

6. Penderita harus diawasi dari muntah dan pencegahan jatuhnya penderita dari tempat tidur.

7. Penderita harus dibolak-balik untuk menghindari decubitus.

b. Terapi Antimalaria

1. Obat-obat terpilih:

a. Kinin dihidroklorida 10 mg/kg BB i.v. dalam NaCl 0,9% (10 cc/kg BB) diberi dalam 4 jam, diulang setiap

12 jam sampai sadar.

b. Hidrokortison 2 X 100 mg/hari i.v.

2. Obat-obat pengganti:

a. Khlorokuin sulfat 250 mg i.v. perlahan-lahan disusul dengan 250 mg dalam 500 cc NaCl 0,9% dalam 12

jam (2 kali).

b. Dexametason 10 mg i.v. (dosis inisial), dilanjutkan dengan 4 mg i.v. tiap 1 jam.

c. Terapi Antikonvulsi

Bila kejang berikan diazepam 0,2 mg /kg BB i.iv atau i.m. dan dapat diulang setiap 5 – 10 menit sampai

kejang-kejangnya terkendali.

V. Alat dan Bahan

A. Alat

1. Alat penusuk otomatis

2. Lancet steril

3. Gelas objek

4. Sediaan kering

5. Pipet ukur 10 ml

6. Ball pipet

7. Gelas beaker

8. Rak pewarna

B. Bahan

1. Oil imersi

2. Aquadest

3. Giemsa

VI. Cara Kerja

1. Pengambilan sampel darah dan pembuaan hapusan

a. Pastikan lancet steril telah terpasang pada alat

b. Ditarik sekali ujung alat

c. Dipilih jari yang akan diambil (jari tengah atau jari manis)

d. Didesinfeksi dengan alcohol 70%

e. Ditempelkan pada jari tengah

f. Ditekan tombol untuk menussukan jarum pada tangan

g. Darah yang keluar pertama dibersihkan dengan tissue

h. 3 tetes darah selanjutnya digunakan untuk membuat hapusan tebal

i. Jari ditekan kembali digunakan untuk membuat hapusan tipis

j. 3 tetes darah diaduk agar menjadi hapusan bulat dan tebal

k. Hapusan tipis dibuat dengan mendorong darah ke depan dengan bantuan gelas obyek yang lain

l. Bekas tusukan pada jari pasien ditutup dengan kapas

Page 7: Laporan Parasitolosi Semester III

2. Pewarnaan

a. Hapusan darah yang kering diwarnai dengan giems

1. Pembuatan giemsa 5%

a) Dipipet 0,5 ml giemsa 5%

b) Diencerkan dengan akuadest 9,5 ml

c) Diaduk sampai merata

b. Hapusan darah diletakkan pada rak pewarna

c. Hapusan darah tipis tidak difiksasi dengan metonal tetapi dengan mencelupkan pada gelas beaker yang

berisi air

d. Hapusan darah tebal ditetesi air

e. Ditunggu ± 10 menit

f. Ditetesi giemsa hingga penuh

g. Ditunggu ± 30 menit

3. Pemeriksaan

a. Dihidupkan mikroskop

b. Ditaruh hapusan pada meja sediaan

c. Diperiksa dengan perbesaran 10x

d. Diperiksa dengan perbesaran 100x untuk memeriksa sel-sel darah yag dicurigai parasit malaria

VII. Data Hasil Praktikum

1. Didapatkan sampel darah yang langsung dibuat hapusan

2. Hapusan berwarna ungu

3. Hasil pemeriksaan

a. No. Kode 1147

Trofozoit muda falciparum

Bentuk cincin

b. No Kode 1147

Trofozoit falciparum

Trofozoit muda

c. Sediaan Tebal

No. Kode 1147

Trofozoit plasmodium falciparum

VIII. Pembahasan

a. Pengambilan sampel darah

Pengambilan darah kapiler dilakukan pada ujung jari tengah atau jari manis, hal ini karena pada ujung-ujung

jari banyak terdapat pembuluh darah yang kecil-kecil sehingga ketika ditusuk akan mengeluarkan lebih

banyak darah daripada di tempat lain pada tubuh.

Praktikum ini menggunakan lancet karena darah yang diperlukan kurang dari 1 ml, jadi tidak perlu

dilakukan pengambilan darah vena dengan spait atau vacuntainer.

b. Pembuatan Hapusan

Darah yang pertama kali keluar tidak digunakan karena tetesan darah pertama masih terdapat sisa-sisa

alcohol.

Pembuatan hapusan ini dibuat dalam dua jenis yaitu hapusan tebal dan hapusan tipis. Hapusan tebal

digunakan karena sediaanya lebih tebal sehingga parasit lebih mudah ditemukan. Hapusan tipis digunakan

untuk identifikasi sel-sel yang terserang parasit (Raihannuri.2010).

c. Pewarnaan Hapusan

Pada hapusan tipis difiksasi dengan methanol, ini bertujuan agar morfologi sel yang ada menjadi lebih tipis

(lebih baik) dibandingkan sediaan darah tebal, jika ditetesi air, hapusan darah akan lisis.

Pada hapusan darah tebal, hanya menggunakan air dan tidak difiksasi dengan metanol, sehingga eritrosit

akan lisis, sel lekosit menjadi tidak khas sehingga akan berpengaruh pada morfologi parasit. Hal ini

menyebabkan sediaan hanya digunakan untuk menemukan parasit.

d. Pemeriksaan

Pada emeriksaan ini, ditemukan trofozoit plasmodium falciparum.

1. Trofozoit Muda

Cirri-cirinya:

Page 8: Laporan Parasitolosi Semester III

a. Eritrosit tidak membesar

b. Satu sel terdapat lebih dari 1 palcifarum

2. Trofozoit muda (bentuk cincin)

Sediaan darah tipis pulasan giemsa

Ciri-cirinya:

a. Eritrosit tampak membesar

b. Tampak titik maurer

c. Cincin agak bear

d. Sitoplasma lebih tebal

Plamodium falciparum

Inti halus dan sitoplasma berbentuk coma da halus. Bila bentuk ring ini baru menginfeksi eritrosit, belum

tampak titik-titik maurernya. Pada ring sedang dan ring besar tampat titik-titik maurernya dan sitoplasma

tebal. Titik-titik maurenya ini lebih besar atau kasar dibandingkan titik-titik schufler. Biasanya jumlah titik

maurer berkisar sampai 12 titik saja.

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi malaria ini beragam mulai dari ringan berupa demam dan sakit

kepala berat berupa penurunan kesadaran, gagal ginjal dan multiple organ failure yang dpat berakhir pada

kematian (anonim.2010)

Siklus hidup parasit malaria dimulai bila seseorang digigit nyamuk Anopheles (betina) yang mengandung

sporozoit. Sporozoit-sporozoit yang masuk bersama ludah nyamuk masuk ke peredaran darah. Dalam waktu

yang sangat singkat (30 menit) semua sporozoit menghilang dari peredaran darah, masuk ke sel-sel

parenkim hati. Dalam sel-sel hati (hepatosit) sporozoit membelah diri secara aseksual, dan berubah menjadi

skizon hati (skizon kriptozoik). Seluruh proses tersebut merupakan fase ekso-eritrositer primer (fase pre-

eritrositik). Siklus tersebut memerlukan waktu antara 6-12 hari untuk menjadi lengkap, tergantung dari

spesies parasit malaria yang menginfeksi. Sesudah skizon kriptozoik dalam sel hati menjadi matang, bentuk

ini bersama sel hati yang terinfeksi pecah dan mengeluarkan antara 5.000-30.000 merozoit, tergantung dari

spesiesnya, yang segera masuk ke peredaran darah tepi dan menyerang/masuk ke sel-sel darah merah.

Tenggang waktu antara saat pertama sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai saat parasit malaria bisa

ditemukan di dalam darah tepi disebut masa pre-paten.

Dalam sel darah, merozoit-merozoit yang dilepas dari sel hati tadi berubah menjadi trofozoit muda (bentuk

cincin). Trofozoit muda tumbuh menjadi trofozoit dewasa, dan selanjutnya membelah diri menjadi skizon.

Skizon yang sudah matang, dengan merozoit- merozoit di dalamnya dalam jumlah maksimal tertentu

tergantung dari spesiesnya, pecah bersama sel darah merah yang diinfeksi, dan merozoit- merozoit yang

dilepas itu kembali menginfeksi sel-sel darah merah lain untuk mengulang siklus tadi. Keseluruhan siklus

yang terjadi berulang dalam sel darah merah disebut siklus erirositik aseksual atau skizogoni darah.

Peristiwa pecahnya skizon-skizon bersama sel-sel darah merah yang diinfeksinya disebut proses sporulasi,

dan ini berkorelasi dengan munculnya gejala-gejala malaria, yang ditandai dengan demam dan menggigil

secara periodik. Satu siklus skizogoni darah berlangsung lengkap antara 24-49 jam untuk P.falciparum, 48

jam untuk P.vivax dan P.ovale, menyebabkan pola periodisitas tertiana (tiap hari ketiga), dan 72 jam untuk

P.malariae, menyebabkan pola kuartana (tiap hari keempat). Tenggang waktu sejak saat masuknya sporozoit

ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala-gejala penyakit malaria disebut masa inkubasi (masa tunas)

dengan waktu yang berbeda tergantung jenis Plasmodium yang menginfeksi dan status imunitas penderita.

Setelah siklus skizogoni darah berulang beberapa kali, beberapa merozoit tidak lagi menjadi skizon, tetapi

berubah menjadi gametosit dalam sel darah merah, yang terdiri dari gametosit jantan (mikrogametosit) dan

gametosit betina (makrogametosit). Siklus terakhir ini disebut siklus eritrositik seksual atau gametogoni.

Jika gametosit yang matang diisap oleh nyamuk Anopheles, di dalam lambung nyamuk terjadi proses

eksflagelasi pada gametosit jantan, yaitu dikeluarkannya 8 sel gamet jantan (mikrogamet) yang bergerak

aktif mencari sel gamet betina (makrogamet). Selanjutnya pembuahan terjadi antara satu sel gamet jantan

dan satu sel gamet betina, menghasilkan zigot dengan bentuknya yang memanjang, lalu berubah menjadi

ookinet yang bentuknya vermiformis dan bergerak aktif menembus mukosa lambung. Di dalam dinding

lambung paling luar ookinet mengalami pembelahan inti menghasilkan sel-sel yang memenuhi kista yang

membungkusnya, disebut ookista. Di dalam ookista dihasilkan puluhan ribu sporozoit, menyebabkan ookista

pecah dan menyebarkan sporozoit-sporozoit yang berbentuk seperti rambut ke seluruh bagian rongga badan

nyamuk (hemosel), dan dalam beberapa jam saja menumpuk di dalam kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit

bersifat infektif bagi manusia jika masuk ke peredaran darah. Seluruh fase perubahan yang dialami

P.falciparum dalam tubuh nyamuk vektornya berlangsung antara 11-14 hari, 9-12 hari untuk P.vivax, 14-15

Page 9: Laporan Parasitolosi Semester III

hari untuk P.ovale, dan 15-21 hari untuk P.malariae.

IX. Kesimpulan

Setelah melakukan praktikum, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pengambilan sampel darah dilakukan pada jari manis atau jari tengah

2. Pembuatan hapusan dibuat dalam 2 jenis yaitu sediaan tebal dan sediaan tipis

3. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan perwarna giemsa, sediaan tipis difiksasi dengan methanol dan

yang tebal hanya menggunakan air

4. Pmemeriksaan mendapat hasil ditemukannya trofozoit muda plasmodium falciparum

PEMERIKSAAN MALARIA

I. Tujuan

a. Untuk mengetahui ada atau tidak malaria pada darah pasien

b. Untuk mengidentifikasi plasmodium sp

II. Metode

Hapusan kering (hapusan yang telah disediakan)

III. Prinsip

Pemeriksaan dilakukan pada perbesaran 100x untuk memeriksa lapang padang dan perbesaran 1000x untuk

memeriksa parasit malaria

IV. Dasar Teori

Infeksi malaria disebabkan oleh empat spesies Plasmodium yaitu P.falciparum, P.vivax, P.ovale dan

P.malariae. Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P.falciparum dan P.vivax

sedangkan P.malariae ditemukan di Propinsi Lampung, NTT dan Papua. P. ovale pernah dilaporkan

ditemukan di Papua (Depkes RI, 2006).

Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama

pada kelompok resiko tinggi yaitu bayi, balita dan ibu hamil. Kematian pada penderita malaria biasanya

disebabkan oleh infeksi P. falciparum, dengan timbulnya malaria serebral. Malaria serebral terjadi sekitar

25% pada penderita non-imun, dengan tingkat mortalitas 20 – 50%. Penelitian lain di Indonesia

menggambarkan mortalitas berkisar 21,5-30,5% (anonym.2010).

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi malaria ini beragam mulai dari ringan berupa demam dan sakit

kepala sampai keadaan berat berupa penurunan kesadaran, gagal ginjal dan multiple organ failure yang

dapat berakhir pada kematian. Dari keempat spesies ini yang memberikan gejala klinis paling berat adalah

infeksi oleh P.falciparum, sehingga banyak menimbulkan kematian (anonym.2010)..

Siklus hidup parasit malaria dimulai bila seseorang digigit nyamuk Anopheles (betina) yang mengandung

sporozoit. Sporozoit-sporozoit yang masuk bersama ludah nyamuk masuk ke peredaran darah. Dalam waktu

yang sangat singkat (30 menit) semua sporozoit menghilang dari peredaran darah, masuk ke sel-sel

parenkim hati. Dalam sel-sel hati (hepatosit) sporozoit membelah diri secara aseksual, dan berubah menjadi

skizon hati (skizon kriptozoik). Seluruh proses tersebut merupakan fase ekso-eritrositer primer (fase pre-

eritrositik). Siklus tersebut memerlukan waktu antara 6-12 hari untuk menjadi lengkap, tergantung dari

spesies parasit malaria yang menginfeksi. Sesudah skizon kriptozoik dalam sel hati menjadi matang, bentuk

ini bersama sel hati yang terinfeksi pecah dan mengeluarkan antara 5.000-30.000 merozoit, tergantung dari

spesiesnya, yang segera masuk ke peredaran darah tepi dan menyerang/masuk ke sel-sel darah merah.

Tenggang waktu antara saat pertama sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai saat parasit malaria bisa

ditemukan di dalam darah tepi disebut masa pre-paten (anonym.2010)..

Dalam sel darah, merozoit-merozoit yang dilepas dari sel hati tadi berubah menjadi trofozoit muda (bentuk

cincin). Trofozoit muda tumbuh menjadi trofozoit dewasa, dan selanjutnya membelah diri menjadi skizon.

Skizon yang sudah matang, dengan merozoit- merozoit di dalamnya dalam jumlah maksimal tertentu

tergantung dari spesiesnya, pecah bersama sel darah merah yang diinfeksi, dan merozoit- merozoit yang

dilepas itu kembali menginfeksi sel-sel darah merah lain untuk mengulang siklus tadi. Keseluruhan siklus

yang terjadi berulang dalam sel darah merah disebut siklus erirositik aseksual atau skizogoni darah.

Peristiwa pecahnya skizon-skizon bersama sel-sel darah merah yang diinfeksinya disebut proses sporulasi,

dan ini berkorelasi dengan munculnya gejala-gejala malaria, yang ditandai dengan demam dan menggigil

secara periodik. Satu siklus skizogoni darah berlangsung lengkap antara 24-49 jam untuk P.falciparum, 48

jam untuk P.vivax dan P.ovale, menyebabkan pola periodisitas tertiana (tiap hari ketiga), dan 72 jam untuk

P.malariae, menyebabkan pola kuartana (tiap hari keempat). Tenggang waktu sejak saat masuknya sporozoit

ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala-gejala penyakit malaria disebut masa inkubasi (masa tunas)

Page 10: Laporan Parasitolosi Semester III

dengan waktu yang berbeda tergantung jenis Plasmodium yang menginfeksi dan status imunitas penderita

(anonym.2010)..

Setelah siklus skizogoni darah berulang beberapa kali, beberapa merozoit tidak lagi menjadi skizon, tetapi

berubah menjadi gametosit dalam sel darah merah, yang terdiri dari gametosit jantan (mikrogametosit) dan

gametosit betina (makrogametosit). Siklus terakhir ini disebut siklus eritrositik seksual atau gametogoni.

Jika gametosit yang matang diisap oleh nyamuk Anopheles, di dalam lambung nyamuk terjadi proses

eksflagelasi pada gametosit jantan, yaitu dikeluarkannya 8 sel gamet jantan (mikrogamet) yang bergerak

aktif mencari sel gamet betina (makrogamet). Selanjutnya pembuahan terjadi antara satu sel gamet jantan

dan satu sel gamet betina, menghasilkan zigot dengan bentuknya yang memanjang, lalu berubah menjadi

ookinet yang bentuknya vermiformis dan bergerak aktif menembus mukosa lambung. Di dalam dinding

lambung paling luar ookinet mengalami pembelahan inti menghasilkan sel-sel yang memenuhi kista yang

membungkusnya, disebut ookista. Di dalam ookista dihasilkan puluhan ribu sporozoit, menyebabkan ookista

pecah dan menyebarkan sporozoit-sporozoit yang berbentuk seperti rambut ke seluruh bagian rongga badan

nyamuk (hemosel), dan dalam beberapa jam saja menumpuk di dalam kelenjar ludah nyamuk. Sporozoit

bersifat infektif bagi manusia jika masuk ke peredaran darah. Seluruh fase perubahan yang dialami

P.falciparum dalam tubuh nyamuk vektornya berlangsung antara 11-14 hari, 9-12 hari untuk P.vivax, 14-15

hari untuk P.ovale, dan 15-21 hari untuk P.malariae (anonym.2010)..

V. Alat dan Bahan

A. Alat

1. Mikroskop

2. Hapusan kering

B. Bahan

1. Oil Imersi

VI. Cara Kerja

a. Dihidupkan mikroskop

b. Ditaruh sediaan pada meja sediaan

c. Diperiksa lapang pandang dengan perbesaran 100x

d. Diperiksa parasit malaria dengan perbesaran 1000x

VII. Data Hasil Praktikum

No No. Sediaan Genus Plasmodium Stadium Lain-lain

(gambar)

1 1520 Plasmodium Falciparum Trofozoit

2 1519 Plasmodium Falciparum Trofozoit

3 1519 Plasmodium Malariae Trofozoit

4 3415 Plasmodium Falciparum Trofozoit

5 0951 Plasmodium Falciparum Gametosit

6 0947 Plasmodium Vivax Trofozoit

Page 11: Laporan Parasitolosi Semester III

7 0947 Plasmodium Falciparum Trofozoit

8 3214 Plasmodium Vivax Trofozoit

9 3214 Plasmodium Falciparum Trofozoit

10 3214 Plasmodium Falciparum Trofozoit

11 3214 Plasmodium Mixed infection Mixed infection

12 3194 Plasmodium Gametosit

VIII. Pembahasan

1. No. Sediaan 1520, 1519, 0947, 3214 ditemukan plasmodium falciparum stadium trofozoit. Cirri-cirinya:

a. cincin agak besar

b. Sitoplasma lebih tbeal

c. Tampak titik maurer

Menurut Sucipto dan Merta dalam bukunya yang berjudul parasiologi klinik protozoologi tertuliskan

tropozoit muda (bentuk ring) dengan inti padat kompak dan sitoplasma halus, sejak merozoit baru

menginfeksi eritrosit sampai berumur 12 jam. Trofozoit medium dengan ditandai menebalnya sitoplasma

dan biasanya berbentuk coma dengan ujung menebal. Umur bentuk ini antara 12-18 jam setelah menginfeksi

eritrosit. Tropozoit besar juga ditandai dengan membesarnya/menebalnya sitoplasma pada umur 18-30 jam.

Tropozoit yang sudah matang atau dewasa jarang dapat dilihat dan biasanya tampak pada sediaan darah dari

penderita malaria berat atau serebral malaria yang diikuti pigmen pada bentuk ini.

2. No. sediaan 1519 ditemukan tropozoit plasmodium malariae

Ciri-cirinya:

a) Tidak membesar

b) Tidak tampak titik-titik

c) Cincin lebih tebal daripada cincin plasmodium falciparum

Trofozoit pada plasmodium falciparum malariae lebih kecil dari trofozoit pada plasmodium vivax. Pada

plasmodium malariae ada bentuk tropozoit khusus yang diesbut band form atau bentuk pita.

3. No. Sediaan 0951 ditemukan gametosit plasmodium falciparum

Ciri-cirinya:

a. Bentuk sosis

b. Plasma merah muda ada warna hijau

c. Inti tidak padat

d. Pigmen tersebar

Gametosis plasmodium falciparum

Pada no. sediaan 3194 ditemukan juga gametosit tetapi praktikan tidak bias mengidentifikasi gametosit

tersebut masuk dalam spesies apa. Cirri-cirinya sitoplasma merah muda dan inti merah tua

Page 12: Laporan Parasitolosi Semester III

Gametosit plasmodium falciparum

a. Pigmen berbentuk batang-batang kasar yang letaknya mengumpul atau satu menyebar pada sitoplasma.

Sering berwarna hitam, kadang coklat tua sampai coklat kekuningan.

b. Dinding sel sitoplasma adalah batas sel yang merupakan garis halus. Gametosit adalah sel kelamin

sehingga mempunyai dinding yang kuat dan sering dapat dilihat utuh. Karena pengaruh haemolisa yang

berlebihan kadang-kadag dinding sel yang dapat dilihat tingga sebgian (rusak)

c. Sitoplasma kompak dan berada di dalam sel, warnanya biru merata

d. Inti sel berwarna merah pucat. Sering inti ini tidak dapat dilihat karena ditutupi oleh pigem

e. Bentuk dan besar gametosit itu sangat tergantung pada umur stadium saat pengambilan darah dilakukan.

Sedangkan warnanya tergantung pada umur stadium saat pengambilan darah dilakukan sedangkan warnanya

tergantung pada proses pewarnaan sedian darah.

4. No. Sediaan 3214, ditemukan plasmodium falciparum trofozoit muda,

Ciri-ciri:

a. Tampat titik maurer

b. Cincin agak tebal

c. Sitoplasma lebih tebal

Inti halus dan sitoplasma berbentuk coma dan halus, bila bentuk ini baru menginfeksi eritrosit, belum

tampak titik-titik maurernya

5. No. Sediaan 0947, 3214 ditemukan trofozoit plasmodium vivax

Cirri-cirinya:

a. Bentuk ameboid (masih mempunyai vakuola)

b. Titik schuffner jelas

Pada stadium trofozoit muda (bentuk cincin), inti tidak selalu bulat, besar seperti titik kasar, bersifat kurang

kompak atau padat, warna merah jelas.

Pada stadium tropozoit dewasa, inti tidak beraturan dengan ukuran agak besar dan cendrung melebar,

semakin tua tropozoit warna kompak pada intinya berkurang.

6. No. Sediaan 3194 ditemukan gabungan plasmodium vivax dan plasmodium falciparum (mixed infection)

Infeksi campuran biasanya terjadi di daerah yang angka penularan (transmission rate-nya) tinggi. Satu

eritrosit dapat diinfeksi lebih dari satu parasit lebih kurang 98% dari sediaan darah positif yang ditemukan

adalah spesien plasmodium falciparum dan plasmodium viva, karena plasmodium malariae dan p. ovale

jarang ditemukan.

IX. Kesimpulan

Ditemukannya plasmodium falciparum dan plasmodium vivaz adalam bentuk tofozoit, mix infection dan

gametosit. Ini menandakan pasien (pasie beragam karena sediaan yang diperiksa juga beragam) mengalami

malaria topikana (disebabkan oleh plasmodium falciparum) dan malaria tertiana (plasmodium vivax)

Diposkan oleh Ni Komang Juniawati di 17.56 Tidak ada komentar:

laporan Hematologi semester III HAPUSAN DARAH TEPI

I.Tujuan

Untuk mengetahui jenis-jenis lekosit, jumlah, bentuk dan kesan dari jenis-jenis lekosit

II.Metode

Metode yang digunakan pada pemeriksaan adalah metode pewarnaan giemsa, yaitu giemsa sebagai pewarna

III.Prinsip

Setetes darah dipaparkan diatas sebuah gelas obyek, kemudian dilakukan pewarnaan selanjutnya dievaluasi.

IV.Dasar Teori

Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu ada dalam

pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai: pembawa oksigen(oksigen carrier),

mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi dan mekanisme hemostatis. Darah terdiri atas dua komponen

Page 13: Laporan Parasitolosi Semester III

utama yaitu plasma darah yang merupakan bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit

dan protein darah, sedangkankan butir darah (blood corpuscles)terdiri atas eritrosit, leukosit dan trombosit.

Pada pembentukan eritrosit yang melalui tahapan sebagai berikut eritroblast, basophilic normoblas,

policromatofilik normoblast, asidofilik normoblas, retikulosit dan eritrosit. Namun hanya retikulosit yang

ditemukan pada darah tepi pada keadaan normal. Sedangkan pada pembentukan leukosit(jalur mieloid) pada

awalnya mieloblast menjadi progranulosit(neutrofil), eosinofil maupun basofil selanjutnya menjadi

promielosit kemudian menjadi metamielosit. Semua aktifitas ini secara normal dijumpai dalam sumsum

tulang dan pada perkembangan di darah tepi akna menjadi stab/band serta segmen. Sedangkan trombosit

terbentuk dari pecahan sitoplasma megakarioblast.

V.Alat dan Bahan

A.Alat

a.Gelas objek

b.Rak pewarna

c.Mikroskop

B.Bahan

a.Sampel darah EDTA

b.Alkohol 96% / Metanol

c.Oli imersi

d.Buffer phosfat pH 6,8

e.Giemsa

VI.Cara Kerja

a.Pembuatan Hapusan

1.Diteteskan satu tetes sampel daah pada salah satu ujung objek gelas

2.Peganglah gelas penghapus sedemikian rupa sehingga sampel darah berada pada sudut antara objek gelas

dan gelas penghapus (300 – 450)

3.Dihapuskan gelas penghapus kearah tetesan darah sehingga menyentuhnya dan tetesan darah tadi akan

merata antara ujung gelas penghapus dan objek

4.Digeser gelas penghapus sedemikian rupa kearah yang bertentangan degan arah pertama. Dengan

demikian tetesan darah tadi akan merata di atas gelas obyek sebagai lapisan yang tipis

5.Hapusan ini segera dikeringkan dengan menggerak-gerakkan di udara tetapi jagan ditiup dengan

hembusan nafas.

b.Pewarnaan Hapusan Darah Tepi

1.Difiksasi hapusan yang tleah kering dengan alcohol

2.Didiamkan selama 3 menit

3.Ditetesi larutan giemsa pada seluruh hapusan

4.Didiamkan 30 menit

5.Diambil hapusan dan dibiarkan kering

6.Diamati dengan mikroskop

VII.Data Hasil Praktikum

Morfologi leukosit

a. Adanya limfosit, stab, segmen dengan bentuk, ukuran dan warna yang normal

b. Adanya eritrosit dengan bentuk dan warna yang normal

VIII. Pembahasan

Ditemukan :

a.Eritrosit dengan ciri-ciri

1.Bentuk : bulat

2.Warna sitoplasma : merah jambu

3.Granularitas : tidak ada

Page 14: Laporan Parasitolosi Semester III

b.Netrofil batang atau stab dengan ciri-ciri:

1.Bentuk sel : oval atau bulat

2.Warna sitoplasma : pink

3.Granularitas : sedikit

4.Bentuk inti : setengah lingkaran

c.Neutrofil segmen

1.Bentuk sel : oval atau bulat

2.Warna sitoplasma : pink

3.Granularitas : sedikit

4.Bentuk inti : berlobus

d.Limfosit

1.Bentuk sel : bulat, kadang-kadang oval

2.Warna sitoplasma : biru

3.Granularitas : tidak ada

4.Bentuk inti : bulat

Berdasarkan bentuk, warna dan jenis sel yang ditemukan adalah sel yang normal. Ini menunjukkan pasien

ini memiliki sel-sel darah normokromik normositer.

IX. Kesimpulan

Setelah melakukan pemeriksaan dan hasil pemeriksaan yang didapat, pasien ini memiliki sel-sel darah

normokromik normositer.

DIFFERENTIAL COUNT I

(HITUNG JENIS LEUKOSIT)

I.Tujuan

Untuk mengetahui jenis-jenis lekosit, jumlah, bentuk dan kesan

II.Metode

Metode yang digunakan dengan sediaan kering

III.Prinsip

Dalam evaluasi HDT dengan cara menghitung jenis lekosit dalam 100 lekosit dan dinyatakan dengan %

IV.Dasar Teori

Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit (differential count) adalah mengidentifikasi dan menghitung jenis

leukosit sekurang kurangnya 100 sel dan dinyatakan dalam persen (%). Dalam penghitungan harus

mengikuti tata cara pelaporan sebagai berikut:

Eosinofi

Basofil

Stab

Segmen

Limfosit

Monosit

Eosinofil pada pemeriksaan dibawah mikroskop akan tampak seperti kaca mata dengan sitoplasma merah

dan bergrandula. Basofil, granulanya memenuhi inti , sangat jarang ditemukan hanya ditemukan pada

mereka yang memiliki penyakit berat. Stab tampak seperti cekungan atau tapal kuda. Segmen, tampak

lobus-lobus yang telah memisahkan diri, minimal tiga. Limfosit tampak bulat memiliki inti padat.

Sedangkan monosit tampak transparan seperti vakuola. (Oka,2007)

V. Alat dan Bahan

Page 15: Laporan Parasitolosi Semester III

A.Alat

1.Mikroskop

2.Bahan

B.Bahan

1.Oli Imersi

2.Sampel 5

VI.Cara Kerja

a.Dihidupkan mikroskop

b.Diperiksa hapusan untuk memeriksa tebah tipisnya hapusan dengan perbesaran 100x

c.Diperiksan jenis-jenis lekosit dengan perbesaran 1000x

d.Dihitung jenis-jenis lekosit

e.Disajikan dalam table

VII.Data Hasil Praktikum

Jenis Sel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jml

Eosinofil

Basofil

Stab 3 2 3 1 2 3 1 2 1 20

Segmen 9 6 7 7 9 7 7 9 8 10 75

Limfosit 1 1 1

Monosit 1

Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Netrofil =95%

Praktikum evaluasi darah tepi, ditemukan jenis-jenis lekosit:

a.stab/netrofil batang yang berjumlah 20 dalam 100 lekosit, cirri-cirinya:

1.Bentuk sel : oval atau bulat

2.Warna sitoplasma : pink

3.Granularitas : sedikit

4.Bentuk inti : setengah lingkaran

b.Segmen/netrofil batang yag berjumlah 75 dalam 100 lekosit

1.Bentuk sel : oval atau bulat

2.Warna sitoplasma : pink

3.Granularitas : sedikit

4.Bentuk inti : berlobus

c.Limfosit yang berjulah 2 dalam 100 lekosit

1.Bentuk sel : bulat, kadang-kadang oval

2.Warna sitoplasma : biru

3.Granularitas : tidak ada

4.Bentuk inti : bulat

d.Monosit yang berjulah 1 buh dalam 100 lekosit

1.Bentuk sel : bulat

2.Sitoplasma : ungu

3.Bentuk inti : sangat tidak teratur

Pada pemeriksaan ini, tidak menemukan basofil dan eosinofil

VIII.Pembahasan

Praktikum ini dengan ID sampel 1009230156 ditemukan jemlah netrofil (stab dan segmen) lebih banyak dari

Page 16: Laporan Parasitolosi Semester III

jumlah normal yaitu 95%. Hal ini menandakan pasien ini mengalami netrofilia yaitu jumlah netrofil diatas

normal.

Netrofilia timbul karena infeksi sistemik (adanya bakteri, jamur, virus dan spirochaetes), kadang-kadang

didahului oleh transient neutropenia. Kostikosteroid netrofil tetapi reaksi penderita terhadap infeksi lebih

lemah karena mobiliasai netrofil ke jaringan menurun.

Jumlah netrofil ada darah tepi dipengaruhi oleh:

a.Netrofil yang masuk ke dalam sirkulasi darah

b.Netrofil yang keluar dari sirkulasi dara

c.Distribusnya

d.Kombinasi ketiga diatas

IX.Kesimpulan

Pasien ini mengalami netrofilia, karea memiliki jumlah netrofil di atas normal.

DIFFERENTIAL COUNT II

(HITUNG JENIS LEUKOSIT)

I.Tujuan

Untuk mengetahui jenis-jenis lekosit, jumlah, bentuk dan kesan dari jenis-jenis leukosit

II.Metode

Metode yang digunakan hapusan kering

III.Prinsip

Pemeriksaan ini dengan menghitung jenis lekosit dalam 100 lekosit dengan perbesaran 100 x

IV.Dasar Teori

Hitung jenis leukosit dilakukan pada counting area, mula-mula dengan pembesaran 100x kemudian dengan

pembesaran 1000x dengan minyak imersi. Pada hitung jenis leukosit hapusan darah tepi yang aakn

digunakan perlu diperhatikan hapusan darah harus cukup tipis sehingga eritrosit dan leukosit jelas terpisah

satu dengan yang lainnya, hapusan tidak boleh mengandung cat,eritrosit tidak boleh bergerombol

(Ripani,2010).

Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relative dari masing- masing jenis sel. Untuk mendapatkan

jumlah absolute dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total. Hitung

jenis leukosit berbeda tergantung umur. Pada anak limfosit lebih banyak dari neutrofil segmen sedangkan

pada orang dewasa kebalikannya. Hitung jenis leukosit juga bervariasi dari satu sediaan hapus ke sediaan

lainnya, dari satu lapang pandang ke lapang pandang yang lain. Kesalahan karena distribusi ini dapat

mencapai 15%. Bila pada hitung jenis leukosit didapatkan eritrosit berinti lebih dari 10 per 1000 leukosit

maka jumlah leukosit per mikro liter perlu dikoreksi. (dr. Boy,2010)

Hitung jenis leukosit(differential count) adalah nilai komponen-komponen sel penyusun sel darah putih. Jadi

sel darah putih terdiri dari beberapa jenis sel yaitu eosinofil, basofil, stab, segmen, monosit, limfosit.

Peningkatan leukosit biasanya disertai peningkatan salah satu atau lebih satu komponen. Mengetehui jenis

komponen sel darah putih yang meningkat dapat membantu menentukan penyebab leukositosis.

Penyebab leukositosis berdasarkan hitung jenis: (Anonim, 2010)

Neutrofilia

Adalah jumlah neutrofil yang meningkat melebihi nilai normal. Neutrofilia sebagian besar diakibatkan oleh

infeksi bakteri. Selain itu neutrofilia dapat disebabkan oleh inflamatori bowel disease., rheumatoid arthritis,

vaskulitis(Kawasaki syndrom), keganasan, pemberian kortikosteroid, splenektomi

Limfositosis

Limfositosis adalah jumlah limfosit meningkat melebihi nilai normal. Penyebab limfositosis biasanya infeksi

Page 17: Laporan Parasitolosi Semester III

virus.

Monositosis

Monositosis adalah monosit meningakat melebihi nilai normal. Monositosis biasanya disebabkan oleh

infeksi bakteri.(tuberkolosis, endokarditis bakterial subakut, brucellosis, infeksi virus, sifilis, infeksi

protozoa, infeksi riketsia, keganasan, sarkoidosis)

Basofilia

Adalah jumlah basofil meningkat melebihi normal disebabkan oleh keganasan.

Eosinofilia

Eosinofilia adalah jumlah eosinofil meningkat melebihi normal. Disebabkan oleh alergi, hipersensitivitas

terhadap obat, infeksi parasit, infeksi virus, keganasan.

V.Alat dan Bahan

A.Alat

1.Mikroskop

B.Bahan

1.Oli imersi

2.Sampel 5

VI.Cara Kerja

1.Dihidupkan mikroskop

2.Diperiksa hapusan untuk memeriksa tebal tipisnya hapusan dengan perbesaran 100x

3.Diperiksa dengan perbesaran 100x

4.Dihitung jenis-jenis lekosit

5.Disajikan dalam tabel

VII.Data Hasil Praktikum

Jenis Sel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jml

Eosinofil 1 1 2 4

Basofil 0

Stab 2 1 2 5

Segmen 1 2 1 1 1 3 2 2 13

Limfosit 6 7 6 8 7 9 8 5 8 8 72

Monosit 2 2 1 1 6

Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

VIII.Pembahasan

Pada sampel 5 (hapusan yang telah disesiakan) didaptkan jumlah limfosit yang melebihi normal yaitu 72%.

Sedangkan batas normal limfosit adalah 40%. Pasen ini mengalami limfositosis.

Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti morbili mononukleosisinfeksiosa, infeksi kronik

seperti tuberculosis, sifilis, pertusis dan oleh kelainan limpoliferatif seoerti leukemia limfositik kronik dan

makroglobulinemia perifer.

Jumlah eosinofil dan monosit dalam keadaan normal. Pasien ini juga mengalami neropenia karena netrofil

berjumlah kurang dari normal.

IX.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, pasien ini memiliki jumlah limfosit yang lebih dari normal (limfositosis). Jumlah

eosinofi, basofil dan monosit dalam keadaan normal.

DIFFERENTIAL COUNT III

(HITUNG JENIS LEKOSIT)

Page 18: Laporan Parasitolosi Semester III

I.Tujuan

Untuk mengetahui jenis-jenis lekosit, jumlah, bentuk dan kesan dari jenis-jenis lekosit

II.Metode

Metode hapusan kering (sediaan kering) yang telah disediakan

III.Prinsip

Pemeriksaan hapusan degan mikroskop dengan menghitung jenis-jenis lekosit dalam 100 leukosit

IV.Dasar Teori

Penilaian kualitas HDT yang digunakan pada hitung jenis leukosit dilakukan dengan pembesaran kecil

(objektif 10x) meliputi lapisan darah harus cukup tipis sehingga eritrosit dan leukosit jelas terpisah antara

satu dengan yang lainnya, hapusan tidak boleh mengandung endapan warna. Leukosit tidak boleh

bergerombol pada bagian akhir HDT. Bila HDT tidak memenuhi syarat tersebut diatas maka harus dibuat

HDT yang baru sehingga memudahkan untuk dievaluasi. Pemeriksaan dengan pembesaran kecil(objektif

10x) untuk penilaian kualitas HDT, penafsiran jumlah leukosit dan eritrosit, penafsiran hitung jenis

leukosit,pemeriksaan adanya sel-sel muda yang abnormal. Sedangkn pada pembesaran 100x untuk eritosit

untuk melihat kelainan atau variasi morfologi leukosit dilakukan untuk menghitung jenis leukosit dan

mencari kelainan morfologi sedangkan untuk trombosit penafsiran dilakukan untuk melihat morfologi dan

jumlahnya.

(oka, 2007)

Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit (differential count) adalah mengidentifikasi dan menghitung jenis

leukosit sekurang kurangnya 100 sel dan dinyatakan dalam persen (%).

Dalam penghitungan harus mengikuti tata cara pelaporan sebagai berikut:

Eosinofi

Basofil

Stab

Segmen

Limfosit

Monosit

Eosinofil pada pemeriksaan dibawah mikroskop akan tampak seperti kaca mata dengan sitoplasma merah

dan bergrandula. Basofil, granulanya memenuhi inti , sangat jarang ditemukan hanya ditemukan pada

mereka yang memiliki penyakit berat. Stab tampak seperti cekungan atau tapal kuda. Segmen, tampak

lobus-lobus yang telah memisahkan diri, minimal tiga. Limfosit tampak bulat memiliki inti padat.

Sedangkan monosit tampak transparan seperti vakuola. (Oka,2007)

V.Alat dan Bahan

A.Alat

1.Mikroskop

B.Bahan

1.Oli imersi

2.Sampel 5

VI.Cara Kerja

a.Dihidupkan mikroskop

b.Diperiksa hapusan untuk memeriksa tebal tipisnya hapusan dengan perbesaran 100x

c.Diperiksa dengan perbesaran 100x

d.Dihitung jenis-jenis lekosit

e.Disajikan dalam tabel

VII.Data Hasil Pengamatan

Jenis Sel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jml

Eosinofil 4 2 2 1 2 4 1 4 1 3 24

Page 19: Laporan Parasitolosi Semester III

Basofil 0

Stab 1 1 2 1 2 7

Segmen 2 5 2 4 5 2 6 3 5 5 39

Limfosit 1 2 3 1 3 4 3 2 2 2 33

Monosit 2 3 2 7

Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

VIII.Pembahasan

Pada pemeriksaan hitung jenis lekosit, didapat:

a.Eosinofil yang berjumlah 24 dalam 100 lekosit

Ciri-cirinya:

1.Benuk sel : oval

2.Warna sitoplasma : merah

3.Terdapat benang kromatin

4.Jumlah normal 1-3%

Pada praktikum ini ditemukan eosinofil sebanyak 24 buah dalam 100 lekosit. Ini menandakan pasien ini

mengalami eosinofilia. Eosinofilia sering dijumpai pada keadaan alergi. Histamine yang dilepaskan pada

reaksi antigen-antibodi merupakan substansi khemotaksis yang menarik eosinofil. Penyebab lain dari

eosinofil adalah penyakit kulit kronik, infeksi dan infestasi dari parasit. Kelainan-kelainan hemopoiesis

seperti polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik.

b.Stab yang berjumlah 7

Ciri-cirinya:

1.Bentuk sel : bulat atau oval

2.Warna sitoplasma : pink

3.Granularitas : sedikit

4.Bentuk ini :setengah lingkaran

5.Jumlah normal : 0-1%

c.Segmen yang berjumlah 39 dalam 100 lekosit

Ciri-cirinya:

1.Bentuk sel : bulat atau oval

2.Warna sitoplasma : pink

3.Granularitas : sedikit

4.Bentuk inti : berlobus

5.Jumlah normal : 50-65 dalam 100 lekosit

Ditemukan netrofil (stab+segmen) sebanyak 46 dalam 100 lekosit. Ini menandakan pasien ini mengalami

netropenia. Penyeab neropenia adalah meingkatknya pemindahan netrofil dar peredaran darah dan gangguan

pembentukan netrofil, infeksi virus, autoimun/idiopatik dan pengaruh obat juga mempengaruhi terjadinya

netropenis.

d.Limfosit yang berjumlah 23 dalam 100 lekosit

Ciri-cirnya:

1.Bentuk : bulat, oval

2.Warna sitoplasma : biru

3.Granularitas : tidak ada

4.Bentuk inti : bulat

5.Jumlah normal : 25-40%

Limfosit pada pasein ini dalam keadaan normal

e.Monosit yang berjumlah 6 dalam 100 lekosit

Cirri-cirnya:

1.Bentuk : bulat

2.Sitoplasma : ungu

Page 20: Laporan Parasitolosi Semester III

3.Inti : sangat tidak teratur

4.Jumlah normal : 4-10 dalam 100 lekosit

Jumlah monosit pada pasien ini normal.

IX.Kesimpulan

Berdasarkan yang telah dibahas diatas dapat disimpulakn bahwa pasien ini mengalami eosinofilia dengan

jumlah eosinofil 24 juga mengalami netropenia dengan jumlah netrofil 46. Limfosit dan monosit berjumlah

normal dan basofil tidak ditemukan.

PEMERIKSAAN ERITROSIT

I.Tujuan

Untuk mengetahui kelainan-kelaian bentuk sel darah merah (eritrosit) pada sampel (sediaan yang telah

disediakan)

II.Metode

Metode yang digunakan metode sediaan kering

III.Prinsip

Pemeriksaan eritrosit dilakukan pada pembesaran 100 x, diamati bentuk-bentuk eritrosit

IV.Dasar teori

Eritrosit atau sering disebut sel darah merah merupakan sel yang berbentuk bikonkaf dengan jumlah: 4,5-

6.100.000 per mikro liter, berat jenis 1,090 dengan pH 7,33-7,51 (rata- rata 7,4). Komposisi eritrosit terdiri

dari 60% air, 28% hemoglobin ynang terdiri dari pigmen darah, sarana transport O2, 96% rantai globin dan

4% heme, 7% lemak serta sisa yang ada merupakan karbohidrat, elektrolit, enzim, metabolit.

Jumlah eritrosit dalam darah ditentukan oleh:

1.Umur eritrosit dalam aliran darah

2.Jumlah eritrosit yang hilang waktu perdarahan

3.Jumlah eritrosit yang dihasilkan oleh sumsum tulang

Ukuran eritrosit dapat:

1.Normal (normosit): anemia aplastik, perdarahan akut, anemia hemolitik,

2.Kecil (mikrosit): anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronis,thalasemia, anemia sideroblastik

3.Besar (makrosit): anemia defisiensi folat dan B12

Adapun dalam pemeriksaan ditemukan adanya ukuran eritrosit bermacam-macam disebut dengan

anisositosis. Sedangkan apabila bentuknya bermacam-macam disebut dengan poikilosistosis.

Untuk menentukan ukuran eritrosit dibandingkan dengan inti limfosit kecil,bila sama(normosit), lebih kecil

(mikrositik), lebih besar(makrositik).

Untuk menentukan warna eritrosit dapat ditentukan dari diameter central pallor (CP) dibandingkan terhadap

diameter eritrosit. Central pallor terjadi karena bentuk eritrosit yang bikonkaf sehingga terjadi cental pallor

karenatipis dan kandungan Hb lebih sedikit akan tercat lebih pucat.

CP kurang dari sama dengan 1/3 diameter eritrosit = normokromik

CP lebih dari ½ diameter eritrosit = hipokromik

Tanda kerusakan eritrosit dapat teramati dengan adanya mikrosferosit, fragmentosit, Poikilosit,

meningkatnya fragilitas osmotic eritrosit, tes positif untuk autohemolisis, umur eritrosit memendek

(Mulyantari,2010).

Beberapa kelainan dan bentuk eritrosit:

Mikrosit : diameter mikrosit jauh lebih kecil daripada limfosit kecil

Makrosit : besar makrosit sebanding dengan limfosit

Hipokrom : adanya central pallor yang menunjukkan lebih daripada sepertiga diameter eritrosit.

Spherocytes : sferosit menunjukkan tidak adanya central pallor, tidak bikonkaf

Sel target : sel darah merah yang mempunyai central gelap

Page 21: Laporan Parasitolosi Semester III

Stomatosit : kepucatan pada central berbebtuk segiempat

Burr Cells : eritrosit dengan tonjolan sitoplasma

Eliptosit : eritrosit yang berbentuk oval

Basophilic stippling : adanya granula sitoplasma halus yang tersebar merata

Pappenhelmer’s bodies : adanya granula biasanya terdapat pada pinggir eritrosit

Howel-jolly bodies : adanya fragmen kromatin bulat yng tinggal dalam

sitoplasma eritrosit dewasa.

Cincin Cabot : adanya cincin cabot disebabkan kegagalan eritropoiesis

dari bagian kumparan mitosis

Sel sabit : memanjang dan melengkung dengan dua kutub meruncing

Leptosit : daerah tengah dengan pucat yang besar dan sitoplasma

yang tipis

Skistosit :eritrosit dengan bentuk tidak teratur

Akantosit : adanya tonjolan sitoplasma runcing dan tidak teratur

Lakrimosit : eritrosit yang berbentuk tetesan air mata.

V.Alat dan Bahan

A.Alat

1.Mikroskop

B.Bahan

1.Sediaan kering

2.Oli Imersi

VI.Cara Kerja

1.Disipakan mikroskop

2.Diletakkan sediaan di meja sediaan

3.Diperiksa dengan perbesaran 100x

4.Diamati kenampakan yang terlihat

5.Dicatat hasilnya

VII.Data Hasil Pengamatan

Ditemukan:

a.Hipokrom

b.Burr Cell

c.Eliptosit

d.Sperosit

e.Tear Drop Cell

f.Basopilic stippling

g.Akantosit

VIII.Pembahasan

Pada praktikum pemeriksaan sel darah merah ini ditemukan:

a.Hipokrom

Ciri-cirinya pucat berlebihan pada bagian tengah, eritrosit melibihi sepertiga diameternya. Disebabkan

hemolobinasi yang tidak ade kuat. Distribusi dalam darah <10% dari eritrosit dalam darah normal. Hal in

dijumpai pada pasien yang kekurangan Hb dan pada anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi adalah

anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis

berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai oleh anemia

hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC meningkat, saturasi, tranferin menurun, ferin serum

menurun, pengecatan besi sumsum tulang negated dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat

besi.

b.Burr Cell

Page 22: Laporan Parasitolosi Semester III

Ciri-cirinya eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang teratur, sel biasanya bikonkaf. Distribusi dalam darah

normal tidak ada. Ditemukan sel ini pada darah menunjukkan efek dari passage through fibri network.

Eritrosit dengan granula biru hitam, granula ini dari kondensasi atau presitipasi RNA ribosom akibat dari

defective hemoglobin sintesis. Adanya basofil pada sel darah menandakan pasien tersebut mengalami

talassemia. Talasemia adalah kelainan darah yag ditandai dengan sintesis hemoglobin abnormal.

c.Eliptosit

Ciri-cirnya eritrosit berbentuk lonjong atau elips. Distribusi dalam darah < 10% dalam darah normal.

Dijumpai eliptosit pada darah menunjukkan pasien mengalami suatu penyakit.salah satunya sindroma

mielodiplasi yaitu suatu kelainan sel induk hematopoiesis dengan karakterisktik adanya manifestasi

kegagalan sumsum tulang dan kecendrungan mengalami transformasi leukemi akut disetai manifestas

patologis morfologi (diplasi) dalam darah tepid dan sumsum tulang. Ditemukan pada pasien yang

mengalami eliptositosis herediter.

d.Sperosit

Sperosit adalah eritrosit yang berbentuk lebih bulat,lebih kecil dan lebih tebal dari eritrosit normal. Ciri-

cirinya: sperosit memiliki diameter lebih kecil daripada normal. Tanpa halo di tengah dan berwara lebih

gelap. Dalam darah normal tidak ditemukan sperosit. Sperosit timbul akibat dari development defect.

Ditemukan pada pasien yang menderita sperosit herediter.

e.Akantosit

Akantosit dengan ciri-ciri: eritrosit dengan tonjolan sitoplasma runcing dan tidak teratur seperti duri. Adanya

dari sitoplasma mengakibatkan berkurangnya daerah pucat di tengah sel. Pada darah normal tidak ditemukan

akantosit. Pada praktikum ini ditemukan akantosit yang merupakan akibat dari defisiensi low-dencity betha

lipoproptein. Pasien yang mengalami sindroma meilodisplasi juga ditemukan akantosit. Penyebab sindroma

mielodisplasi belum diketahui dengan pasti diduga karena apasan senyawa mutagen (benzene, obat-obatan

akilating) dan radiasi.

f.Basofilic Stippling

Cirri-cirnya granula sitoplasma halus yang tersebar rata. Distribusi dalam darah <0,1% dari eritrosit dalam

darah normal. Eritrosit dengan granula biru hitam, granula ini dari kondensasi atau presipitasi RNA

Ribosom akibat defective hemoglobin sintesis. Adanya basofilik pada sel darah menandakan pasien tersebut

mengalamai talasemia. Talasemia adalah kelainan darah yang ditandai dengan sintesis hemoglobin abnormal.

g.Tear Drop Cell

Ciri-cirina bentuk sel ini seperti tetes air mata. Pada darah normal tidak dijumpai sel ini. Hasil pemeriksaan

menemukan tear drop sel, ini menunjukkan pasien mengalami sindrom hemolitik uremik (SHU) merupakan

sekelompok gangguan heterogen dengan gejala klinis yang beragam dan berat.

Dengan ditemukan sel-sel ditas, darah penderita mengalami hipokrom mikrositer anisositosis.

IX.Kesimpulan

Pada praktikum ini ditemukan kelainan-kelainan eritosit antara lain:

1.Hipokrom

2.Burr Cell

3.Basofilic Stippling

4.Eliptosit

5.Sperosit

6.Akantosit

7.Tear drop sel