Laporan OPE Print

download Laporan OPE Print

If you can't read please download the document

Transcript of Laporan OPE Print

BAB I PENDAHULUANOutpatient Encounter (OPE) adalah strategi pembelajaran dan pengajaran yang menggunakan masalah pasien bukan rawat inap sebagai kasus yang harus dipecahkan. Media film digunakan sebagai strategi pembelajaran kali ini. Kasus yang disajikan pada film ini adalah kasus fraktur. Kita ketahui bahwa ada banyak sekali penyebab fraktur. Fraktur yang sudah akrab ditelinga kita mempunyai berbagai macam nama sesuai dengan dasar klasifikasinya. Misalnya saja fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar dan beradasarkan garis fraktur. Proses penyembuhan fraktur juga berpengaruh pada berbagai macam hal. Dari mulai terjadinya fraktur sampai pada cara penatalaksanaan, adalah suatu proses yang panjang. Semua ini akan dibahas pada bab pembahasan laporan OPE film. Untuk mendapatkan diagnosa pasti dalam kasus fraktur, harus dilakukan anamnesis. Anamnesis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, autoanamnesis yang dilakukan langsung kepada pasien jika pasien tersebut sadar. Dan yang kedua adalah aloanamnesis, yaitu anamnesis dengan orang disekitar pasien yang mengetahui kejadian tersebut, jika pasien dalam keadaan tidak sadar. Selain itu, inspeksi, palpasi, cek syaraf, cek pembuluh darah, cek sendi, dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis juga sangat diperlukan dalam menentukan diagnosa pasti. Setelah dipastikan diagnosanya, barulah penatalaksanaan ditegakkan.LAPORAN Outpatient Encounter (OPE) FRAKTUR BLOK DERMATO MUSCULOSCELETAL SYSTEMTutor : dr. Dodi Novrial, Sp.PADisusun oleh : KELOMPOK 2 1. 2. 3. 4. 5. 6. Wienda Dida P Arini Dewi Setyowati Yonifa Anna Wiasri Aulia Rahmawati Lita Hervitasari Agustika Nur Setiyani G1A008010 G1A008025 G1A008045 G1A008069 G1A008083 G1A0081017. Hamidatul Ulfah 8. Elli Dwi Ermawati 9. Edi Rupandi 10. Bintang Getarto Prabowo 11. Brilliant Van FSRG1A008118 G1A008131 G1A008012 G1A008041 G1A008086DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2009 BAB II ISI DAN PEMBAHASAN Daftar pertanyaan: 1. Menjelaskan anatomi sendi, histologi tulang, serta macam-macam sendi. 2. Menjelaskan fraktur dan klasifikasinya. 3. Menjelaskan biomekanika fraktur. 4. Menjelaskan proses penyembuhan fraktur. 5. Menjelaskan kondisi kegawatan yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. 6. Menjelaskan tanda dan gejala fraktur dan respon gejala sekitar. 7. Prinsip dan penatalaksaan fraktur dari tahap konserfatif, kooperatif, dan farmakologi. Pembahasan : 1. Menjelaskan Anatomi sendi, histologi tulang, gerak sendi a. Anatomi sendib. Histologi tulang 1) Jaringan Tulang Secara histologis tulang dibedakan menjadi 2 komponen utama, yaitu : a) Jaringan Tulang Primer Dalam pembentukan tulang atau juga dalam proses penyembuhan kerusakan tulang, maka tulang yang tumbuh tersebut bersifat muda atau tulang primer yang bersifat sementara karena nantinya akan diganti dengan tulang sekunder. Jaringan tulang ini berupa anyaman, sehingga disebut sebagai woven bone. Merupakan komponen muda yang tersusun dari serat kolagen yang tidak teratur pada osteoid. Woven bone terbentuk pada saat osteoblast membentuk osteoid secara cepat seperti pada pembentukan tulang bayi dan pada dewasa ketika terjadi pembentukan susunan tulang baru akibat keadaan patologis. Selain tidak teraturnya serabut-serabut kolagen, terdapat ciri lain untuk jaringan tulang primer, yaitu sedikitnya kandungan garam mineral sehingga mudah ditembus oleh sinar-X dan lebih banyak jumlah osteosit kalau dibandingkan dengan jaringan tulang sekunder. Jaringan tulang primer akhirnya akan mengalami remodelingmenjadi tulang sekunder (lamellar bone) yang secara fisik lebih kuat dan resilien. Karena itu pada tulang orang dewasa yang sehat itu hanya terdapat lamella saja. b) Jaringan Tulang Sekunder Jenis ini biasa terdapat pada kerangka orang dewasa. Dikenal juga sebagai lamellar bone karena jaringan tulang sekunder terdiri dari ikatan paralel kolagen yang tersusun dalam lembaran-lembaran lamella. Ciri khasnya : serabut-serabut kolagen yang tersusun dalam lamellae (lapisan) setebal 3-7 m yang sejajar satu sama lain dan melingkari konsentris saluran di tengah yang dinamakan Canalis Haversi. Dalam Canalis Haversi ini berjalan pembuluh darah, serabut saraf dan diisi oleh jaringan pengikat longgar. Keseluruhan struktur konsentris ini dinamai Systema Haversi atau osteon. Sel-sel tulang yang dinamakan osteosit berada di antara lamellae atau kadang-kadang di dalam lamella. Di dalam setiap lamella, serabut-serabut kolagen berjalan sejajar secara spiral meliliti sumbu osteon, tetapi serabut-serabut kolagen yang berada dalam lamellae di dekatnya arahnya menyilang. Di antara masing-masing osteon seringkali terdapat substansi amorf yang merupakan bahan perekat. Susunan lamellae dalam diaphysis memiliki pola sebagai berikut : Tersusun konsentris membentuk osteon. Lamellae yang tidak tersusun konsentris membentuk systema interstitialis. Lamellae yang melingkari pada permukaan luar membentuk lamellae circumferentialis externa. Lamellae yang melingkari pada permukaan dalam membentuk lamellae circumferentialis interna. Jenis tulang sekunder mempunyai komponen yang sama dengan jenis tulang primer. Hal yang membedakan kedua jenis tulang tersebut adalah susunan serabut kolagen. Tulang primer mempunyai serabut-serabut kolagen yang tersusun secara acak, sedang tulang sekunder tersusun secara teratur.KOMPONEN JARINGAN TULANG Sepertinya halnya jaringan pengikat pada umumnya, jaringan tulang juga terdiri atas unsur-unsur : sel, substansi dasar, dan komponen fibriler. Dalam jaringan tulang yang sedang tumbuh, seperti telah dijelaskan pada awal pembahasan, dibedakan atas 4 macam sel : a) Osteoblas Sel ini bertanggung jawab atas pembentukan matriks tulang, oleh karena itu banyak ditemukan pada tulang yang sedang tumbuh. Selnya berbentuk kuboid atau silindris pendek, dengan inti terdapat pada bagian puncak sel dengan kompleks Golgi di bagian basal. Sitoplasma tampak basofil karena banyak mengandung ribonukleoprotein yang menandakan aktif mensintesis protein. Pada pengamatan dengan M.E tampak jelas bahwa sel-sel tersebut memang aktif mensintesis protein, karena banyak terlihat RE dalam sitoplasmanya. Selain itu terlihat pula adanya lisosom. b) Osteosit Merupakan komponen sel utama dalam jaringan tulang. Pada sediaan gosok terlihat bahwa bentuk osteosit yang gepeng mempunyai tonjolan-tonjolan yang bercabang-cabang. Bentuk ini dapat diduga dari bentuk lacuna yang ditempati oleh osteosit bersama tonjolan-tonjolannya dalam canaliculi. Dari pengamatan dengan M.E dapat diungkapkan bahwa kompleks Golgi tidak jelas, walaupun masih terlihat adanya aktivitas sintesis protein dalam sitoplasmanya. Ujung-ujung tonjolan dari osteosit yang berdekatan saling berhubungan melalui gap junction. Hal-hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pertukaran ion-ion di antara osteosit yang berdekatan. Osteosit yang terlepas dari lacunanya akan mempunyai kemampuan menjadi sel osteoprogenitor yang pada gilirannya tentu saja dapat berubah menjadi osteosit lagi atau osteoklas. c) OsteoklasMerupakan sel multinukleat raksasa dengan ukuran berkisar antara 20 m-100m dengan inti sampai mencapai 50 buah. Sel ini ditemukan untuk pertama kali oleh Kllicker dalam tahun 1873 yang telah menduga bahwa terdapat hubungan sel osteoklas (O) dengan resorpsi tulang. Hal tersebut misalnya dihubungkan dengan keberadaan sel-sel osteoklas dalam suatu lekukan jaringan tulang yang dinamakan Lacuna Howship (H). keberadaan osteoklas ini secara khas terlihat dengan adanya microvilli halus yang membentuk batas yang berkerut-kerut (ruffled border). Gambaran ini dapat dilihat dengan mroskop electron. Ruffled border ini dapat mensekresikan beberapa asam organik yang dapat melarutkan komponen mineral pada enzim proteolitik lisosom untuk kemudian bertugas menghancurkan matriks organic. Pada proses persiapan dekalsifikasi, a) osteoklas cenderung menyusut dan memisahkan diri dari permukaan tulang. (b). resorpsi osteoklatik berperan pada proses remodeling tulang sebagai respon dari pertumbuhan atau perubahan tekanan mekanikal pada tulang. Osteoklas juga berpartisipasi pada pemeliharaan homeostasis darah jangka panjang. Selain pendapat di atas, ada sebagian peneliti berpendapat bahwa keberadaan osteoklas merupakan akibat dari penghancuran tulang. Adanya penghancuran tulang osteosit yang terlepas akan bergabung menjadi osteoklas. Tetapi akhir-akhir ini pendapat tersebut sudah banyak ditinggalkan dan beralih pada pendapat bahwa sel-sel osteoklas-lah yang menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan tulang. d) Sel Osteoprogenitor Sel tulang jenis ini bersifat osteogenik, oleh karena itu dinamakan pula sel osteogenik. Sel-sel tersebut berada pada permukaan jaringan tulang pada periosteum bagian dalam dan juga endosteum. Selama pertumbuhan tulang, sel-sel ini akan membelah diri danmenghasilkan sel osteoblas yang kemudian akan akan membentuk tulang. Sebaliknya pada permukaan dalam dari jaringan tulang tempat terjadinya pengikisan jaringan tulang, sel-sel osteogenik menghasilkan osteoklas. Sel sel osteogenik selain dapat memberikan osteoblas juga berdiferensiasi menjadi khondroblas yang selanjutnya menjadi sel cartilago. Kejadian ini, misalnya, dapat diamati pada proses penyembuhan patah tulang. Menurut penelitian, diferensiasi ini dipengaruhi oleh lingkungannya, apabila terdapat pembuluh darah maka akan berdiferensiasi menjadi osteoblas, dan apabila tidak ada pembuluh darah akan menjadi khondroblas. Selain itu, terdapat pula penelitian yang menyatakan bahwa sel osteoprogenitor dapat berdiferensiasi menjadi sel osteoklas lebih-lebih pada permukaan dalam dari jaringan tulang. 2) Periosteum Bagian luar dari jaringan tulang yang diselubungi oleh jaringan pengikat pada fibrosa yang mengandung sedikit sel. Pembuluh darah yang terdapat di bagian periosteum luar akan bercabang-cabang dan menembus ke bagian dalam periosteum yang selanjutnya samapai ke dalam Canalis Volkmanni. Bagian dalam periosteum ini disebut pula lapisan osteogenik karena memiliki potensi membentuk tulang. Oleh karena itu lapisan osteogenik sangat penting dalam proses penyembuhan tulang. Periosteum dapat melekat pada jaringan tulang karena : Pembuluh-pembuluh darah yang masuk ke dalam tulang. Terdapat serabut Sharpey ( serat kolagen ) yang masuk ke dalam tulang. Terdapat serabut elastis yang tidak sebanyak serabut Sharpey. 3) Endosteum Endosteum merupakan lapisan sel-sel berbentuk gepengyang membatasi rongga sumsum tulang dan melanjutkan diri ke seluruh rongga-rongga dalam jaringan tulang termasuk Canalis Haversi dan Canalis Volkmanni. Sebenarnya endosteum berasal dari jaringan sumsum tulang yang berubah potensinya menjadi osteogenik. 4) Matriks Tulang Berdasarkan beratnya, matriks tulang yang merupakan substansi interseluler terdiri dari 70% garam anorganik dan 30% matriks organic. 95% komponen organic dibentuk dari kolagen, sisanya terdiri dari substansi dasar proteoglycan dan molekul-molekul non kolagen yang tampaknya terlibat dalam pengaturan mineralisasi tulang. Kolagen yang dimiliki oleh tulang adalah kurang lebih setengah dari total kolagen tubuh, strukturnya pun sama dengan kolagen pada jaringan pengikat lainnya. Hampir seluruhnya adalah fiber tipe I. Ruang pada struktur tiga dimensinya yang disebut sebagai hole zones, merupakan tempat bagi deposit mineral. Kontribusi substansi dasar proteoglycan pada tulang memiliki proporsi yang jauh lebih kecil dibandingkan pada kartilago, terutama terdiri atas chondroitin sulphate dan asam hyaluronic. Substansi dasar mengontrol kandungan air dalam tulang, dan kemungkinan terlibat dalam pengaturan pembentukan fiber kolagen. Materi organik non kolagen terdiri dari osteocalcin (Osla protein) yang terlibat dalam pengikatan kalsium selama proses mineralisasi, osteonectin yang berfungsi sebagai jembatan antara kolagen dan komponen mineral, sialoprotein (kaya akan asam salisilat) dan beberapa protein. Matriks anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar terdiri dari kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal hydroxyapatite. Kristal kristal tersebut tersusun sepanjang serabut kolagen. Bahan mineral lain : ion sitrat, karbonat, magnesium, natrium, dan potassium. Kekerasan tulang tergantung dari kadar bahan anorganik dalam matriks,sedangkan dalam kekuatannya tergantung dari bahan-bahan organik khususnya serabut kolagen. gambar histologi tulangc. Macam-Macam Sendi Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain, maupun tidak. Klasifikasi sendi : 1) Berdasarkan spasium yang mengisi sendi a. Sendi Fibrous Sutura : terdiri atas lapisan jaringan ikat fibrous tipis Biasanya memiliki fungsi synarthrosis Syndesmoses : terdiri atas lapisan jaringan ikat yang lebih lebar dalam bentuk membran/ligamen Biasanya memiliki fungsi amphiarthrosis Gomphoses : terdiri atas jaringan ikat fibrous berbentuk kerucut Memiliki fungsi sendi synarthrosis b. Sendi Kartilagenosa Synchondrosis : terdiri atas lempeng kartilago tipis Biasanya memiliki fungsi synarthrosis Symphysis : terdiri atas lapisan kartilago yang lebih tebalBiasanya memiliki fungsi amphiarthrosi c. Sendi Sinovial Planar joint merupakan sendi yang memungkinkan pergerakan berupa pergeseran Hinge joint merupakan sendi monoaksial yang memungkinkan pergerakan angular seperti engsel Pivot joint merupakan sendi monoaksial yang memungkinkan pergerakan rotasi Condylar joint merupakan sendi biaksial yang memungkinkan pergerakan angular 2 aksis Saddle joint merupakan sendi yang memungkinkan pergerakan angular, termasuk sirkumduksi Ball and socket joint merupakan sendi yang memungkinkan semua gerak angular dan rotasi 2) Berdasarkan fungsi a. Synartrosis Persendian yang tidak dapat bergerak Terdiri atas Sutura Synchondrosis Synostosis Gomphosis Sutura : antar tulang kalvaria pada bayi Synchondrosis :kartilago epifisis Synostosis : antar tulang sakrum Gomphosis : antara gigi dengan mandibulaContoh :b. Amphiarthrosis Persendian yang memungkinkan sedikit pergerakan Terdiri atas : Symphysis SyndesmosisContoh : Symphysis : symphysis pubis Syndesmosis : tibiofibular joint distalc. Diarthrosis Persendian yang memungkinkan pergerakan bebas Terdiri atas kapsul sendi berisi cairan sinovial Fungsi cairan sinovial : Lubrikasi Penyerap goncangan Nutrisi Monoaksial : art. Cubiti, art. Talocruralis Biaksial : wrist joint Triaksial : shoulder joint, hip jointStruktur sendi memungkinkan gerak :Gerakan Sendi1. Gerakan lurus (linear motion) - gliding 2. Gerakan sudut (angular motion)* fleksi-ekstensi-hiperekstensi * abduksi-adduksi * sirkumduksi3. Gerakan putar (rotation)* rotasi kanan-kiri * rotasi medial-lateral * pronasi-supinasi4. Gerakan khusus* inversi-eversi * dorsofleksi-plantar fleksi * opposisi * protraksi-retraksi * elevasi-depresi * fleksi lateral2. Menjelaskan definisi dan penyebab fraktur serta klasifikasinya. a. Definisi Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang). b. Penyebab Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal. c. Klasifikasi Fraktur diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Klasifikasi berdasarkan etiologis i.Fraktur traumatik : akibat trauma tiba-tiba. ii.Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang akibat adanya kelainan patologi pada tulang. iii.Fraktur stress : akibat trauma yang terus menerus pada suatu daerah tertentu. 2) Klasifikasi berdasarkan klinis a) Fraktur tertutup : tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. b) Fraktur terbuka : berhubungan dengan dunia luar melalui luka. c) Fraktur dengan komplikasi : fraktur yang disertai komplikasi seperti infeksi, mal-union, delayed union, non-union 3) Klasifikasi berdasarkan radiologis a) Berdasarkan lokalisasi i.Diafiseal ii.Metafiseal iii.Intra-artikuleriv.Fraktur dengan dislokasi b) Berdasarkan konfigurasi garis frakturc) Berdasarkan ekstensi d) Berdasarkan hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnyaSedangkan, menurut Gustilo, Merkou dan Templemen (1990), fraktur tulang diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : 1. Tipe I Fraktur tipe I di tanda dengan luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya, terdapat sedikit kerusakan jaringan. Fraktur simple, transversal, oblik pendek atau sedikit komunitif. 2. Tipe II Fraktur tipe II di tandai dengan laserasi kulit melebihi 1 cm, terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit kontaminasi dari fraktur. 3. Tipe III Fraktur tipe III ditandai adanya kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya disebabkan oleh karena trauma dengan kecepatantinggi. Tipe III ini dibagi menjadi 3, yaitu : a. Tipe III a : Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat. b. Tipe III b : Farktur disertai dengan trauma hebat dengan kerusakan dan kehilangan jaringan, terdapat pendorongan (stripping) periost, tulang terbuka, kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif yang hebat. c. Tipe III c : Farktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak. 3. Menjelaskan biomekanika fraktur Biomekanika Trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian cidera pada suatu jenis kekerasan atau kecelakaan. Biomekanika trauma ini penting diketahui untuk membantu dalam menyelidiki akibat yang di timbulkan trauma dan waspada terhadap perlukaan yang diakibatkan trauma. Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur, terdapat dua tipe : 1. Tipe Ekstensi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi. 2. Tipe Fleksi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut fraktur terbuka. Fraktur di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan fraktur disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Akibat traumapada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Kita harus dapat membayangkan rekonstruksi terjadinya kecelakaan agar dapat menduga fraktur yang dapat terjadi. Setiap trauma yang dapat mengakibatkan fraktur juga dapat sekaligus merusak jaringan lunak di sekitar fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau organ organ penting lainnya. Fraktur bukan hanya persoalan terputusnya kontinuitas tulang dan bagaimana mengatasinya, akan tetapi harus ditinjau secara keseluruhan dan harus diatasi secara simultan. Harus dilihat apa yang terjadi secara menyeluruh, bagaimana, jenis penyebabnya, apakah ada kerusakan kulit, pembuluh darah, syaraf, dan harus diperhatikan lokasi kejadian, waktu terjadinya agar dalam mengambil tindakan dapat dihasilkan sesuatu yang optimal. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah. Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.Mekanisme cidera dibagi menjadi : 1. Cidera langsung, misal kepala dipukul menggunakan martil. kulit kepala bisa robek, tulang kepala bisa retak atau patah, dapat mengakibatkan perdarahan di otak. 2. Cidera perlambatan / deselerasi, misal pada kecelakaan motor membentur pohon. setelah badan berhenti dipohon, maka organ dalam akan tetapbergerak maju, jantung akan terlepas dari ikatannya(aorta) sehingga dapat mengakibatkan ruptur aorta. 3. Cidera percepatan / akselerasi, misalnya bila pengendara mobil ditabrak dari belakang. 4. Cidera kompresi / efek kantong kertas Biomekanika pada kecelakaan mobil Tabrakan/kecelakaan dapat terjadi dengan cara : 1. Frontal / dari depan, pada jenis ini cidera yang dapat terjadi antara lain : patah tulang paha karena tulang berbenturan dengan dashboard, sendi panggul lepas karena dorongan ke belakang, dada dan atau perut menghantam stir dapat mengakibatkan patah tulang iga atau ruptur abdomen, kepala dapat membentur kaca sehingga juga dapat menimbulkan cidera kepala, patah tulang belakang atau bahkan penderita dapat terpental ke luar mobil sehingga menimbulkan multitrauma. 2. Tabrakan dari belakang, tabrakan ini dapat menimbulkan cidera tulang leher akibat gaya pecut (whiplash injury) apalagi bila mobil tidak dilengkapi headrest. 3. Tabrakan dari samping / lateral, trauma yang terjadi bisa dari kepala sampai kaki tergantung dari jenis kendaraan yang menabrak dan letak yang tertabrak. 4. Terbalik, kendaraan yang terbalik secara perlahan dan penumpang menggunakan sabuk pengaman jaramg sekali terdapat cidera yang serius, lain halnya dengan kendaraan yang terguling / roll over apalagi bila tidak menggunakan sabuk pengaman. dalam menangani kasus ini harap hati-hati karena semua bagian dapat mengalami cidera terlebih tulang belakang dan rongga dalam. Biomekanika trauma pada kecelakaan motor Ada 3 cara yang sering terjadi pada saat kejadian kecelakaan : 1. Tabrakan frontal, pada kecelakaan ini pengemudi akan terbentur ke depan, kedua tungkai akan mengenai stang kemudi yang dapat mengakibatkanpatah setelah itu pengemudi akan mengalami terjun bebas dengan cidera yang tak bisa diramalkan. 2. Benturan dari samping, disini yang terbentur terlebih dahulu adalah kaki setelah itu pengemudi akan terpental. 3. Sliding down the bike, pada saat akan terjadi benturan pengemudi dengan sengaja (profesional) atau tidak sengaja menekan motornya ke bawah sehingga motornya akan melesat dan pengemudinya di belakangnya. ini menimbulkan cidera yang paling ringan, namun cidera terhadap jaringan lunak bisa sangat berat apabila pengemudi tidak memakai jaket atau celana tebal. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikerucutkan bahwa biomekanika fraktur disebabkan karena hal sebagai berikut: a. Trauma (benturan) Ada dua trauma/ benturan yang dapat mengakibatkan fraktur, yaitu: - Benturan langsung - Benturan tidak langsung b. Tekanan/stres yang terus menerus dan berlangsung lama Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur (patah tulang) yang kebanyakan pada tulang tibia, fibula (tulangtulang pada betis) atau metatarsal pada olahragawan, militer maupun penari. Contoh: Seorang yang senang baris berbaris dan menghentak-hentakkan kakinya, maka mungkin terjadi patah tulang di daerah tertentu. c. Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang dan usia Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor maka dengan energi kekerasan yang minimal akan mengakibatkan fraktur yang pada orang normal belum dapat menimbulkan fraktur. 4. Menjelaskan proses penyembuhan fraktur. Proses penyembuhan fraktur pada tulang terdiri atas 5 fase: 1) Fase hematoma 2) Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal3) Fase pembentukan kalus 4) Fase konsolidasi 5) Fase remodelingJika terjadi patah tulang, maka kerusakan akan menyebabkan perdarahan yang biasanya akan diikuti oleh pembekuan. Kerusakan juga menyebabkan kerusakan matriks dan sel sel tulang di dekat garis patah. Awal dari proses perbaikan tulang dimulai dengan pembersihan dari bekuan darah, sisa sisa sel dan matriks yang rusak. Periosteum dan endosteum disekitar tulang yang patah menanggapi dengan meningkatnya proliferasi fibroblast sehingga terbentuklah jaringan seluler disekitar garis patah dan di antara ujung ujung tulang yang terpisah. Pembentukan tulang baru berlangsung melalui penulangan endokhondral dan desmal secara simultan. Untuk penulangan endokhondral didahului dengan terbentuknya kartilago hialin yang berasal dari perubahan jaringan granulasi sebagai hasil proliferasi fibroblast. Celah fragmen tulang sekarang diisi oleh jaringan kartilago yang merupakan kalus. Jaringan tulang baru mengisi celahdiantara fragmen tulang membentuk kalus tulang dan menggantikan kalus kartilago. Sel sel osteoprogenitor dari periosteum dan endosteum akan menjadi osteoblas sehingga di daerah tersebut terjadi penulangan desmal. Penulangan enkhondral berlangsung sebagai trabekula dalam jaringan kartilago yang merupakan jaringan penopang sementara dalam perbaikan patah tulang. Tekanan pada tulang selama proses penyembuhan menyebabkan perbaikan bentuk tulang ke bentuk asalnya sehingga benjolan kalus akhirnya akan lenyap melalui resorpsi.5. Menjelaskan kondisi kegawatan yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik .1) Komplikasi umumSyok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa : a. Emboli lemak b. Emboli paru c. Pneumonia Komplikasi pneumonia terjadi karena pereawatan pada periode penyembuhan yang umumnya lebih sering mengenai orang tua. Nyeri pada fraktur iga diikuti pembatasan respirasi dapat menyebabkan pneumonia. Pengobatan 1) Pemberian antibiotik dan latihan pernapasan 2) Membalik penderita secara periodik 3) Penggunaan penghisap bronkus. d. Tetanus Tetanus disebabkan Clostridium tetani dan merupakan salah satukomplikasi trauma terbuka. Masa inkubasi antara 10-14 hari. Etiologi dan patogenesis Clostridium tetani merupakan organisme anaerob yang tumbuh pada jaringan nekrosis yang menghasilkan neurotoksin. Neurotoksin diangkut oleh kelenjar limfa dan aliran darah menuju ke sistem saraf pusat. Kemudian terikat pada cornu anterior yang tidak dapat dinetralisir dengan antitoksin. Pencegahan Pengobatan dengan pemberian tetanus immunoglobin (manusia) secara intravena. Bila ada gangguan respirasi dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal dan respirasi buatan. e. Delirium tremens2) Komplikasi Lokal a. Komplikasi diniKomplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca taruma disebut komplikasi lanjut.Pada Tulang - Infeksi, terutama pada fraktur terbuka. - Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union. Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi. Pada Jaringan lunak - Lepuh : Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik.- Dekubitus : terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.Pada Otot Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus. Pada pembuluh darah Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi. Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot. Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan kematian atau nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia,Pallor (pucat), Pulseness(denyut nadi hilang) dan Paralisis. Secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagi berikut: a) Komplikasi arterial Pembuluh darah kecil dapat robek saat terjadi fraktur. Tetapi hal ini jarang terjadi pada pembuluh darah besar. Walaupun begitu, komplikasi akibat trauma dapat menyebabkan oklusi arteri yang persisten. Trauma arteri, karena: 1) Terputusnya arteri: arteri besar dapat terputus oleh fragmen fraktur tajam dari dalam. Robekan arteri total biasanya beretraksi dan menghentikan perdarahan secara spontan, sedangkan robekan yang tidak total cenderung menyebabkan perdarahan, sehingga ditemukan hematom lokal dan iskemik. 2) Spasme arteri: spasme yang disertai oklusi terjadi akibat traksi berat dan tiba-tiba pada arteri besar. Walaupun arteri tidak terputus, biasanya ditemukan robekan yang menyebabkan trombosis. Spasme arteri sekunder dapat memisahkan bagian proksimal dan distal arteri kolateral. 3) Trombosis arteri: setelah trauma arteri menyebabkan oklusi, dapat terjadi sequel berupa trombosis. Arteriosklerosis terjadi karena kerusakan akibat trombosis arteri pascatrauma. Pengobatan komplikasi arteri: oklusi pada arteri besar membutuhkan suatu operasi darurat dalam beberapa jam. Urutan pengobatan diatur sebagai berikut: 1) Setiap penjepitan arteri akibat lilitan pembalut yang terlalu ketat harus dibuka 2) Setiap distorsi pada fraktur anggota gerak dekat persendian harus dikurangi 3) Bila fraktur diobati dengan kontinu, seluruh traksi harus dikurangi 4) Jika gagal untuk memulihkan sirkulasi perifer yang adekuat,dapat dilakukan arteriografi darurat dan eksplorasi arteri. Pada operasi, jika arteri telah dibuka harus diperbaiki dengan melakukan teknik jahitan langsung. Pembuluh vena yang besar juga harus diperbaiki. Trombus pada arteri harus dihilangkan dan jika mengalami memar pada intima harus dilakukan pemotongan pembuluh darah yang rusak dan dipulihkan dengan teknik jahitan langsung.b) Komplikasi vena Trauma pada vena besar, dibagi atas total dan tidak total, yang disebabkan oleh trauma dari dalam akibat pergeseran fragmen fraktur. Trauma pada vena besar dapat diperbaiki dengan cara operasi untuk mencegah terjadinya sequel akibat kongesti vena distal permanen. Diagnosis: bila terjadi trombosis pada vena betis, keluhan berupa nyeri lokal pada garis tengah posterior betis disertai pembengkakan bagian distal akibat adanya kongesti. Bila trombosis terjadi lebih tinggi, maka seluruh anggota gerak bawah membengkak. Pencegahan trombosis vena: bertujuan untuk mencegah perluasan dengan menghindarkan penekanan lokal yang terus menerus pada vena. Selain itu, pergerakan harus dibatasi setelah penanganan fraktur. Penanganan trombosis vena: segera setelah komplikasi ditemukan, penderita harus diberikan obat antikoagulan. Saat ini, trombosis pada vena femoralis ditangani dengan operasi yang tidak hanya mengurangi risiko emboli paru, tetapi juga untuk mencegah terjadinya sequel pada anggota gerak bawah.b. Komplikasi lanjutPada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau nonunion. Pada pemeriksaan terlihat deformitas yang dapat berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan. 1) Delayed union Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur, Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)2) Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe I (hypertrophic non union) : tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting. Tipe II (atrophic non union) : disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, prosesunion tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama. Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).3) Mal unionPenyambungan4) Osteomielitisfrakturtidaknormalsehingga menimbukandeformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi. Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.5) Kekakuan sendiKekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasanperiengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap. 6. Menjelaskan cara pemeriksaan, tanda dan gejala fraktur serta respon gejala sekitar.a. Riwayat: Setiap patah tulang umumnya mempunyai riwayat trauma yang diikuti pengurangan kemampuan anggota gerak yang terkena. Ingat bahwa fraktur tidak selalu terjadi pada daerah yang mengalami trauma (tekanan). b. Pemeriksaan: 1) Inspeksi (dengan cara membandingkan dengan sisi yang normal) : i.Adanya perubahan asimetris kanan-kiri, ii.Adanya deformitas seperti angulasi (membentuk sudut) atau rotasi (memutar) dan pemendekan, iii.Jejas (tanda yang menunjukkan bekas trauma),iv.Pembengkakan, v.Terlihat adanya tulang yang keluar dari jaringan lunak. 2) Palpasi i.Adanya nyeri tekan pada daerah cedera (tenderness), ii.Adanya krepitasi (suara dan sensasi berkeretak) pada perabaan yang sedikit kuat, iii.Adanya gerakan abnormal dengan perabaan agak kuat. c. Gerakan Terdapat dua gerakan yaitu : 1) Aktif : pemeriksaan gerakan dimana pasien diminta untuk menggerakkan bagian yang cedera. 2) Pasif : dimana penolong melakukan gerakan pada bagian yang cedera. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1) Terdapat gerakan abnormal ketika menggeerakkan bagian yang cedera 2) Korban mengalami kehilangan fungsi pada bagian yang cedera. Apabila korban mengalami hal ini, maka dapat disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu akibat nyeri karena adanya fraktur atau akibat kerusakan saraf yang mempersarafi bagian tersebut (ini diakibatkan oleh karena patahan tulang merusak saraf tersebut). 3) Pemeriksaan Komplikasi (dengan cara memeriksa di bawah daerah patah tulang). Pada pemeriksaan tersebut akan ditemukan : i.Kulit berwarna kebiruan dan pucat; ii.Denyut nadi tak teraba. iii.Selain itu pada bagian yang mengalami fraktur, otot-otot disekitarnya mengalami spasme 7. Prinsip penatalaksanaan fraktur dari mulai konsevatif, operatif dan farmakologi. Pengelolaan secara konservatif dapat dilakukan : 1. Imobilisasi dengan gipsGips mempunyai sifat menyerap air dan bila gips menyerap air, timbul reaksi eksoterm dan gips menjadi keras. Sebelum menjadi keras, gips yang lembek bisa dibalutkan secara melingkar pada tulang yang patah. Untuk mencegah kontak langsung antara gips yang keras dengan kulit, sebelum dipasang gips kulit ditutupi dengan pembalut lunak. Pada tulang yang menonjol diletakkan penahan tekanan berupa lembaran kapas untuk menghindari dekubitus. Gips yang dibalutkan secara melingkar disebut gips sirkuler, sedangkan yang dipasang pada salah satu sisi disebut gips bidai. 2. Penggunaan traksi Traksi dapat berupa traksi kulit dan traksi tulang. Traksi kulit biasanya menggunakan plester yang direkatkatkan kemudian dibalut dan ujung plester dihubungkan dengan tali untuk ditarik. 3. Dengan menggunakan mitela Pengelolaan secara operatif Bisanya dengan menggunakan pin, sekrup, pelat atau alat lain. Perawatan seperti ini sering disebut osteosintesis. Cara ini dilakukan bila perawatan non bedah mengalami kegagalan. Misalnya terjadi pseudoartrosis. Pengelolaan secara farmakologi Pengobatan pada patah tulang, dengan pemberian analgetik. Hal ini ditujukan untuk mengatasi rasa sakit dan apabila rasa sakit telah berkurang, dapat dimulai latihan yang dianjurkan. Terdapat beberapa cara penatalaksanaan patah tulang. Cara pertama, untuk penanganan patah tulang dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal cukup dengan reposisi dan imobilisasi. Contoh pada patah tulang rusuk, klavikula pada anak, dan patah tulang vertebra. Cara kedua ialah imobilisasi luar tanpa reposisi. Imobilisasi bertujuan agartidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga berupa reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragment yang berarti seperti pada patah tulang dengan radius distal. Cara keempat berupa reposisi dengan traksi terus menerus selamam masa tertentu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada patah tulang dengan otot yang kuat, missal pada patah tulang femur. Cara kelima berupa reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa reposisi secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif. Misalnya reposisi patah tulang kolum femur. Cara ketuju berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna. Contohnya pada patah tulang femur, tibia dan humerus. Cara terakhir dengan eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan prosthesis, missal pada patah tulang kolum femur. Kaput femur dibuang dan diganti dengan prosthesis.BAB III KESIMPULAN Fraktur yang akrab dalam kehidupan kita mempunyai berbagi macam mekanisme yang tidak sederhana. Untuk mempelajari fraktur tulang perlu diketahui terlebih dahulu anatomi dan histologi tulang. Dengan mengetaui hal tersebut, dalam mempelajari kasus fraktur akan makin mudah. Proses fraktur dimulai dari terjadinya trauma pada tulang. Trauma pada tulang bepengaruh pada derajat keparahan fraktur. Fraktur dibagi menjadi berberapa macam, dengan dasar klasifikasi yang berbeda-beda. Penyembuhan pada fraktur melibatkan banyak aspek dan melalui tahapan-tahapan yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Jika fraktur tidak segera ditangani maka akan terjadi komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Untuk mengetahui ada tidaknya fraktur dapat dilakukan pemeriksaan berupa inspeksi, palpasi, cek syaraf, cek pembuluh darah, cek sendi, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan gejala dan tanda yaitu deformitas, nyeri tekan, pembengkakan, dan gejala lain yang menyertainya. Setelah diagnosa ditegakkan maka penatalaksaan fraktur harus segera dilakukan untuk meghindari komplikasi.DAFTAR PUSTAKA Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 9. Jakarta : EGC. Lauralee, Sherwood. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar: Bintang Lamumpatue. Sjamsuhidajat R., Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC. S. Rasad, S. Kartoleksono, I. Ekayuda. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi 2. Jakarta : Gaya Baru. http://msjensen.cehd.umn.edu/1135/Links/animations/Flash/0007swf_bone_growth_in.swf http://pustaka.unpad.ac.id/ http://science.jrank.org/pages/4933/Ossification.html http://staff.ui.ac.id/