Laporan Modul 2 Blok Xiii

88
LAPORAN MODUL 2 BLOK XIII PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK Disusun oleh : Kelompok III Tatik Handayani Nurul salamah Retnaningtyas Febrian Juventianto Lidya Allodatu Turupadang Nanik Herlina HP Rizal Lutfi Aulia Restya Meisya Siti Mu’awannah

description

laporan tutorial kelainan thorax terbaru

Transcript of Laporan Modul 2 Blok Xiii

Page 1: Laporan Modul 2 Blok Xiii

LAPORAN MODUL 2 BLOK XIII

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2009

Disusun oleh : Kelompok III

Tatik HandayaniNurul salamahRetnaningtyas

Febrian JuventiantoLidya Allodatu Turupadang

Nanik Herlina HPRizal Lutfi AuliaRestya Meisya

Siti Mu’awannah

Tutor : dr. Yudanti R,M.kes

Page 2: Laporan Modul 2 Blok Xiii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

anugrah dan kasih-Nyalah laporan “Penyakit Paru Obstruksi Kronik” ini dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah

sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara garis besar

berisikan tentang Penyakit Paru Obstruksi Kronik dan diagnose diferensialnya.

Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih

kepada:

1. dr. Yudanti,M.kes selaku tutor kelompok III yang telah

membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil pada

modul 2 ini.

2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada

kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil

diskusi kelompok kecil ini.

3. Teman-teman kelompok III yang telah mencurahkan pikiran, tenaga

dan waktunya sehingga diskusi kelompok kecil (dkk) 1 dan 2 dapat

berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi

kelompok kecil (dkk) ini.

4. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman

angkatan 2007 yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai

materi yang kita bahas.

Dan tentunya kami sebagai penyusun mengharapkan agar laporan ini dapat

berguna baik bagi penyusun maupun bagi para pembaca di kemudian hari.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari

sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun

harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok

kecil (dkk) ini.

Hormat Kami,

Penyusun

Page 3: Laporan Modul 2 Blok Xiii

DAFTAR ISI

Halaman judul………………………………………………………………. 1

Kata pengantar……………………………………………………………… 2

Daftar isi……………………………………………………………………. 3

I. Pendahuluan

Latar belakang………………………………………………………..4

Manfaat………………………………………………………………4

II. Isi

Step 1 ……………………………………………………………….5

Step 2………………………………………………………………..5

Step 3………………………………………………………………..6

Step 4………………………………………………………………..8

Step 5………………………………………………………………..9

Step 6………………………………………………………………..9

Step 7………………………………………………………………..9

III. Penutup

Kesimpulan dan Saran………………………………............…….. 33

Daftar pustaka………………………………………………….….. 34

Page 4: Laporan Modul 2 Blok Xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia kebiasaan merokok masih merupakan perilaku hidup

yang sulit dihentikan, disamping polusi udara dan masalah kebersihan

lingkungan. Kebiasaan ini sudah terlihat sejak usia muda, bahkan sudah mulai

masuk di kalangan anak sekolah dasar. Padahal rokok dan polusi udara lainnya

merupakan faktor penting terjadinya penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).

PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan

treatable. Pada penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi

kronis terhadap partikel gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan

nafas yang tidak sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu

kelainan ini juga memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna

sehingga memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi

akibat obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi

parenkim (emfisema). Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar

attachment terhadap jalan nafas kecil dan menurunnya elastic recoil paru

sehingga kemampuan jalan nafas tetap membuka saat ekspirasi menjadi

terganggu.

Oleh karena dibutuhkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai

penyakit ini, terutama penanganannya, karena PPOK merupakan penyakit

yang menjadi tantangan di masa akan datang.

B. Manfaat

Setelah menyelesaikan pembelajaran dan diskusi pada modul ini,

mahasiswa lebih mengerti dan memahami tentang penyakit paru obstruksi

kronik, terlebih mengenai penegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya,

sehingga kedepannya dapat mengatasi dan mencegah penyakit ini.

Page 5: Laporan Modul 2 Blok Xiii

BAB II

ISI

STEP 1

Terminologi asing

1. Wheezing (mengi): merupakan bunyi bernada tinggi abnormal pada saluran

pernapasan yang terdengar saat ekspirasi, disebabkan oleh obstruksi parsial

saluran napas. Biasanya disebabkan bronkospasme, edema, hilangnya

penyokong elastic, dan berliku-likunya saluran pernapasan.

2. Ronki : bunyi singkat yang tidak kontinu, timbul karena adanya

cairan, di bronkus dan terdapat kolaps saluran napasdistal dan bronkus,

biasanya pada edema, gagal jantung kongestif, dll.Ronki ada dua yaitu:

Ronki basah, yang terdengar putus-putus karena terdapat lendir. Dibagi

menjadi ronki basah kasar (terjadi di saluran napas besar), ronki basah

sedang (terjadi si saluran napas kecil), dan ronki halus (krepitasi)

terjadi di saluran napas kecil karena terbukanya asinus.

Ronki kering, terdengar tidak terputus-putus. Dibagi menjadi ronki

kering nada tinggi (wheezing), dan nada rendah.

3. Emfisema :suatu keadaan dimana paru berisi banyak udara, hal ini

dikarenakan adanya destruksi parenkim paru bagian alveoli, pelebaran air

space abnormal di bagian bronkiolus distal, dimana sifatnya irreversible.

Terbagi menjadi emfisema panacinar (pada defisiensi α antitrypsin) dan

sentrolobuler (pada perokok).

STEP 2

Identifikasi masalah

1. Apa hubungan merokok dengan keluhan-keluhan pak Dori?

2. Apa hubungan lingkungan pekerjaan dan usia dengan penyakit/ keluhan Pak

Dori?

3. Hubungan riwayat penyakit dahulu (alergi debu dan cuaca dingin) dengan

keluhan penyakit sekarang?

4. Interpretasi pemeriksaan fisik dan foto thorax?

5. Mengapa Pak Dori tidak sembuh-sembuh (3 tahun) dan apakah bisa sembuh?

6. Apa diagnosa penyakitnya berdasarkan keluhan-keluhan yang dialami Pak Dori?

Page 6: Laporan Modul 2 Blok Xiii

7. Bagaimana penatalaksanaannya?

8. Komplikasi apa yang mungkin terjadi?

9. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyakit yang di derita Pak Dori?

STEP 3

Brain storming

1. Rokok mengandung berbagai zat berbahaya (tar, nikotin, dan CO) yang bila

dihirup melalui saluran pernapasan menyebabkan terjadi reflex batuk untuk

membersihkan saluran napas dari zat-zat/ partikel yang dianggap asing oleh

tubuh. Karena adanya paparan yang terlalu sering ( merokok sejak usia muda)

menyebabkan kerusakan system pertahanan saluran napas, berupa kekakuan

silia, perubahan epitel saluran napas, dan gangguan enzim saluran napas,

sehingga terjadi reaksi radang kronis di saluran napas (bronchitis kronik)

yang menyebabkan penumpukan sel radang untuk penyembuhan yang

ujungnya bisa menyebabkan peningkatan otot polos di bronkus, sehingga

terjadi obstruksi saluran napas, paparan asap rokok juga menyebabkan ketidak

seimbangan antara enzim protease dan enzim α-antitripsin (anti protease),

dimana protease yang dihasilkan oleh neutrofil meningkat, sedangkan

inhibitornya tetap, dan ditambah adanya efek oksidatif oleh asap rokok,

sehingga menghancurkan enzim inhibitor, hal-hal ini menyebabkan jaringan

elastis alveoli mengalami destruksi, sehingga kehilangan daya recoilnya.

Dengan tidak ada daya recoil, paru sulit untuk mengeluarkan CO2. Udara

terperangkap di alveoli yang melebar (emfisema) dan paru menjadi besar

terisi udara ( tampak pelebaran ICS), dan diikuti dengan penurunan

diafragma yang terorong oleh paru, dengan demikian posisi jantung pada foto

thorax juga berubah mengikuti pendesakan paru dan penurunan diafragma.

Dengan adanya obstruksi pada jalan napas ditambah terisinya paru oleh udara

yang banyak, sehingga daya tampungnya semakin sedikit, sedangkan difusi

O2 dan CO2 dan kebutuhan O2 tetap, menimbulkan sesak pada penderita.

2. Dengan lingkungan pekerjaan (pabrik semen) yang sering terpapar dengan

debu, menyebakan banyak partekel asing (debu) yang memperberat keadaan

system imun yang telah rusak oleh rokok, apalagi bila saat bekerja tidak

menggunakan APD (alat perindungan diri). Usia yang semakin tua juga

Page 7: Laporan Modul 2 Blok Xiii

mempengaruhi keadaannya, karena daya tahan/ system imun juga mulai

menurun.

3. Riwayat penyakit dahulu (alergi terhadap cuaca dingin dan debu)

menyebabkan proses radang semakin berat di saluran pernapasan, sehingga

memperberat keadaan umumnya

4. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan foto thorax

BB turun : akibat penurunan nafsu makan, karena rokok

mempengaruhi system syaraf, sehingga pengosongan lambung

semakin lama, nafsu semakin turun.

Tekanan darah normal

RR meningkat : karena tubuh merasa membutuhkan oksigen,

sedangkan daya tampung di paru sedikit, karena sudah terpenuhi

dengan udara.

Suhu normal

Suara napas menurun : pertukaran udara sedikit, sehingga suara napas

menurun

Wheezing +/+ : kedua paru terdengar suara wheezing, berarti terjadi

obstruksi di saluran napas kedua paru.

ICS melebar : karena peningkatan volume paru

Gambaran jantung Tear drops : karena adanya pendesakan dari paru

yang berisi banyak udara dan adanya penurunan diafragma ( diafragma

mendatar)

Paru tampak emfisema : volume udara banyak, paru membesar dan

panjang, berwarna hitam, sinus tumpul, jantung tear drops, diafragma

datar.

5. Penyakit Pak dori menjadi kronis, dan sulit sembuh, karena daya recoil paru

sudah tidak ada (destruksi alveoli permanent). Selain itu, faktor resiko juga

tidak dihilangkan (perokok aktif, pekerjaan), dan mungkin selama ini

keluhannya dibiarkan saja karena masih keluhan ringan, namun saat sesak

napas baru terasa berat.

6. Diagnosis

Berdasarkan lamanya ,keluhan, dan pemeriksaan fisik, diagnosis yang

mungkin adalah:

3 tahun (penyakit kronis) : PPOK, asma bronkial

Page 8: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Ada hubungan dengan rokok : PPOK, penyakit jantung, dan tumor

paru

Sesak napas : PPOK,asma, emfisema, pneumothorax, penyakit jantung

Batuk kronis : PPOK

Wheezing : PPOK, asma, tumor

Gambaran jantung tear drops : emfisema

ICS melebar : PPOK, emfisema, asma, pneumothorax

Berdasarkan keterangan tersebut diagnosis sementara adalah PPOK.

7. Penatalaksanaan

Suportif : nutrisi dan oksigen

Medicamentosa : bronkodilator

Edukasi : hindarkan FR ( rokok, debu, cuaca dingin,dll)

Rehabilitasi

8. Komplikasi yang mungkin terjadi :

Gagal napas

Kor pulmonal/Gagal jantung

9. Pencegahan :

Hindari FR

Edukasi untuk hidup sehat (olahraga, dll)

Mengkonsumsi suplemen ( meningkatkan daya tahan tubuh)

Step 4

Strukturisasi

Step 5

Penentuan learning objective

Adapun LO yang kami rumuskan adalah

Mengetahui :

- Definisi

- Etiologi

- Patogenesa

- Gejala & Tanda

- Diagnosa

Page 9: Laporan Modul 2 Blok Xiii

- Diagnosa Banding

- Pemeriksaan Penunjang

- Penatalaksanaan, dan

- Komplikasi

Dari

- PPOK (bronchitis kronik, emfisema)

- Asma bronkial

- Bronkiektais

- Fibrosis kistik

- Gagal jantung

- SOPT (sindrom obstruksi pasca TB)

STEP 6

Belajar mandiri

Pada tahap ini masing- masing mahasiswa mencari materi yang menjadi learning

objective dari berbagai sumber referensi dan akan di diskusikan pada step selanjutnya.

STEP 7

Sintesis Masalah

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Definisi

PPOK adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang

bersifat non reversibel atau reversibel parsial. Hambatan aliran udara biasanya

progresif dan ada hubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap noxius

dan gas.

Faktor risiko

Meliputi faktor-faktor host dan paparan lingkungan dan penyakit biasanya

muncul dari interaksi antara kedua faktor tersebut.

Faktor host:

Genetik

Faktor risiko genetik yang telah diketahui adalah: defisiensi alfa 1 anti tripsin.

Suatu kelainan herediter yang jarang ditemukan. Gen lain yang terlibat

patogenesis PPOK sampai saat ini belum ditemukan

Page 10: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Hiperreaktivitas bronkus

Asma dan hiperreaktivitas bronkus saluran nafas merupakan faktor risiko

yangmemberi andil timbulnya PPOK. Bagaimana pengaruh kedua kelainan

tersebut mempengaruhi timbulnya PPOK tidak diketahui.

Faktor lingkungan:

Asap tembakau

Merokok merupakanfaktor risiko utama. Perokok sigaret mempunyai prevalensi

yang tinggi kelainan faal paru, keluhan respirasi dan penyakit obstruksi saluran

nafas kronis. Pada perokok pipa dan cerutu dijumpai mortalitas dan morbiditas

PPOK > dari bukan perokok, tetapi < dari perokok sigaret. Tidak semua perokok

timbul PPOK secara klinis. Hal ini mengesankan bahwa faktor-faktor genetik

harus memodifikasi tiap-tiap risiko individu.

Occupational dusts and chemicals

Paparan yang cukup intens dan lama dari occupational dust dan chemical dapat

menyebabkan PPOK tidak tergantung faktor rokok dan meningkatkan risiko

PPOK dengan adanya merokok sigaret.

Polusi udara

Peranan polusi udara outdoor tidak jelas, nampaknya pengaruh < dari merokok

sigaret. Poluis udara indoor dari bahan bakar biomasa, asap dapur dan pemanasan

pada ruangan dengan ventilasi jelek merupakan faktor risiko untuk PPOK.

Infeksi

Riwayat infeksi saluran nafas berat sewaktu anak-anak menyebabkan penurunan

faal paru dan keluhan respirasi sewaktu dewasa.

Status sosial

Mortalitas dan morbiditas PPOK berbanding terbalik dengan status sosial dan

lebih tinggi pada blue colar daripada white colar worker.

Patogenesis

Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran nafas,

parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Di berbagai bagian paru dijumpai

peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8+) dan neutrofil. Sel-sel radang yang

teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF, dan

lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi

neurofilik. Di samping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu imbalance

proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.

Page 11: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Patologi

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran nafas besar

(central airway), saluran nafas kecil (peripheral airway), parenkim paru, dan vaskuler

pulmonal.

Saluran nafas besar

Dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang

mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini

menyebabkan hipersekresi mukus.

Saluran nafas kecil

Inflamasi kronis menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding

saluran nafas. Proses repair akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding

saluran nafas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan

ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi saluran nafas

permanen.

Parenkim paru

Dekstruksi parenkim paru secara khas terjadi emfisema sentrilobuler. Kelainan

tersebut lebih sering di bagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa

terjadi di seluruh lapangan paru dan juga terjadi dekstruksi pulmonary capillary

bed.

Perubahan vaskuler pulmonal

Ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal

perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama kali adalah penebalan

intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh

sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikans

dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.

Manifestasi klinis

Dua keluhan utama adalah sesak nafas dan batuk.

Sesak nafas

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih

lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak nafas bertambah berat

mendadak menandakan adanya eksaserbasi.

Suara mengi (wheezing)

Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan

komponen reversibel penyakitnya. Bronkospasme bukan satu-satunya penyebab

Page 12: Laporan Modul 2 Blok Xiii

wheezing. Banyak pasien PPOK mengeluh mengi pada pengerahan tenaga

(exertion) mungkin oleh karena udara lewat saluran nafas yang sempit oleh radang

atau sikatrik.

Batuk kronis

Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memperberat waktu pagi.

Dahak biasanya mukoid tetapi berubah purulen bila eksaserbasi.

Batuk darah

Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran nafas

yang radang dan khasnya “blood-streaked purulen sputum”. Penyebab batuk darah

yang lain seperti tumor, bronkiektasis, tuberkulosis, dan dekompensasi kordis

perlu dicari.

Nyeri dada

Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK. Nyeri dada bisa oleh karena

pleuritis, pneumothoraks, dan emboli paru.

Anoreksia dan penurunan berat badan

Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.

Karakteristik PPOK adalah adanya eksaserbasi. Bila penyakit progresif, interval di

anratara eksaserbasi akut makin dekat.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat hambatan aliran udara, berat

ringan hiperinflasi paru dan bentuk tubuhnya. Awalnya hanya ekspirasi

memanjang dan wheezing pada ekspirasi paksa. Bila obstruksi lanjut akan tanpak

hiperinflasi dan barrel chest.suara nafas menurun, ekspirasi memanjang, suara

jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot pernafasan tambahan

atau pursed-lips breathing menandakan obstruksi aliran udara berat. Oedem

tungkai, JVP meningkat, hepar teraba, dan tanda hipertensi pulmonal adalah tanda

kor pulmonal kronikum dekompensata.

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis berupa riwayat penyakit, faktor

risiko, dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang rutin serta khusus. PPOK

harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk dengan dahak atau sesak

nafas dan atau riwayat terpapar faktor risiko. Diagnosis dipastikan dengan

pemeriksaan objektif adanya hambatan aliran udara (dengan spirometri).

Pemeriksaan penunjang rutin:

Page 13: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Faal paru; spirometri merupakan pemeriksaan gold standar. Parameternya adalah

FEV1 dan ratio FEV1/FVC. Hasil post bronkodilator FEV1 < 80% prediksi dan

FEV1/FVC < 70% menunjukan obstruksi yang tidak reversibel penuh. Bila

spirometri tidak tersedia dapat digunakan PEF (Peak Expiratory Flow).

Uji bronkodilator; menggunakan spirometri atau PEF. Setelah pemberian

bronkodilator inhalasi 8 isap, 15-20 menit dilihat perubahan FEV1 atau PEF.

Perubahan FEV1 atau PEF < 20% atau 200 ml menunjukan obstruksi saluran nafas

tidak reversibel.uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Uji bronkodilator

reversibilitas umumnya dikerjakan satu kali waktu diagnosis.

Darah rutin yang meliputi hemoglobin, hematokrit, dan leukosit.

Foto thoraks posisi PA dan lateral. Pada PPOK ringan foto thoraks normal. Bila

lanjut pada emfisema akan dijumpai: diafragma datar, volume paru tambah besar,

bayangan jantung ramping (tear drops), ruang retrosternal melebar, dan

bronkovaskuler patern meningkat (pada bronkitis kronis)

Pemeriksaan penunjang khusus:

Faal paru: RV meningkat, FRC meningkat, TLC meningkat, DLCo menurun, dan

variabilitas harian PEF < 20%

Uji latih kardio pulmonal: sepeda statis dan treadmil

Uji provokasi bronkus, untuk menilai derajat hiperreaktivitas bronkus. Sebagian

kecil penderita PPOK dijumpai hipereaktivitas bronkus

Tes kortikosteroid, untuk menilai perbaikan faal paru setelah pemberian

kortikosteroid oral; yaitu: FEV1 meningkat > 20% dan minimal 250 ml post

bronkodilator

Analisa gas darah; untuk menilai gagal nafas

Radiologi: HR CT scan dada

EKG

Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan kadar alfa 1 antitripsin

Diagnosis banding

Asma bronkiale

Gagal jantung kronis

Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain seperti bronkiektasis

Penatalaksanaan

Page 14: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Tujuan

Mengurangi gejala

Mencegah eksaserbasi berulang

Menperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kwalitas hidup

Modalitas terapi terdiri :

Edukasi

Obat-obatan

Oksigen

Ventlasi mekanik

Nutrisi

Rehabilitasi

Penatalaksanaan PPOK Stabil

Secara umum Karakteristiknya : intensitasnya terapi ditingkatkan berdasarkan

berat penyakit

1. Edukasi

Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat :

Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakitnya dan status

kesehatan

Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok

2. Obat-obatan

Tidak ada obat-obatan untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah

penurunan faal paru jangka panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk mengurangi

keluhan dan atau kompikasi.

Terdiri dari :

a. Bronkodilator agonis beta 2 : salbutamol,terbutalin, fenoterol

Antikolinergis : patropium bromide

Derivat santin : aminofilin, teofilin

Terapi inhalasi lebih dianjurkan

Pemilihan antara agonis beta 2, antikolinergik dan santin atau terapi

kombinasi tergantung dari obat yang tersedia dan respon individu terhadap

terapi dan ESO ( efek samping obat).

Page 15: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Diberikan kalau perlu atau kontinyu untuk mencegah atau mengurangi

gejala

Obat kombinaso dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan resio ESO di

banding peningkatan dosis obat tunggal.

b. Kortikosteroid

Terapi rutin kortikosteroid inhalasi hanya diberikan :

Bila terbukti responnya yang diukur dengan faal paru atau

PPOK dengan FEV1<50 % prediksi

Atau eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotika atau kortikosteroid

berulang.

Dose-response relationship dan keamanan jangka panjang kortikosterod

untuk PPOK tidak diketahui.

Kortikosteroid oral jangka panjang tidak dianjurkan.

c. Mukolitik

Pada beberapa pasien dengan sputum yang kental mukolitik bermanfaat,

namun secara keseluruhan manfaatnya kecil. Oleh seba itu sampai saat ini

penggunaan secar luas tidak dianjurkan

d. Antioksidan – N Asetil sistein

Telah menunjukan manfaatnya menurunkan frekwensi dan beratnya

eksaserbasi dan mempunyai peran dalam terapi ada penderita dengan

eksaserasi berulang. Perlu penilaian lebih lanjut sebelum direkomendasikan

untuk digunakan secara rutin.

3. Oksigen

Oksigen jangka panjang (>15 jam/hari) pada PPOK dengan gagal nafas kronis

terbukti dapat meningkatkan survival

Indikasi : Pa02< 55 mmHg (7,3 kPA) atau SaO2 88 % dengan atau tanpa

hiperkapni atau

Pa02 antara 55 mmHg (7,3 kPA) dan 60 mmHg (8,0 kPA) atau SaO2 89

% tetapi ada hipertensi pulmonal. Udem perifer yang dicurigai karena

congestive heart failure atau polisitemia ( Hct > 55 % )

4. Ventilator

Page 16: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya

peranan pada penatalaksanaan rutin PPOK stabil

5. Rehabilitasi medik

Dengan reha medik semua pasien menunjukan manfaat dari exercise training

progam. Ada perbaikan exercise tolerance dan keluhan sesak nafas dan capek.

Rehab paru komprehensif terdiri atas : - exercise training

- Konsultasi nutrisi

- Edukasi

-

6. Operasi

Bulektomi

Pada pasien-pasien tertentu tindakan operasi ini efektif menurunkan sesak

nafas dan memperbaiki faal paru.

Transplantasi paru

Pada PPOK stadium lanjut yang terseleksi dengan tepat, transplantasi

terbukti memperbiki kwalitas hidup dan kapasitas fungsional.

BRONKITIS KRONIK

Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar di

Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran napas

dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis masih

menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tersering.

Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya

insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang

industri dan transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu

polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk

yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis

kronik.

Bronkitis kronik termasuk kelompok penrakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Di negara maju penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar, karena

bertambahnya jumlah penderita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 di Amerika

Serikat ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan pada tahun 1977 kematian yang

Page 17: Laporan Modul 2 Blok Xiii

disebabkan oleh PPOK berjumlah 45.000 orang. Penyakit ini merupakan penyebab

kematian urutan ke lima.

Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas yang bersifat

ireversibel dan progresif. Bila penyakit telah terjadi, maka akan berlangsung seumur

hidup dan memburuk dari waktu ke waktu. Perburukan akan lebih cepat terjadi bila

timbul fase-fase eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis lebih dini,

pencegahan eksaserbasi akut, serta penatalaksanaan yang baik akan bermanfaat

memperlambat perjalanan penyakit sehingga penderita dapat hidup lebih baik.

Definisi

Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang

mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan penyakit ini sebagai suatu gangguan

batuk berdahak yang terjadi tiap hari selama paling kurang enam bulan dan jumlah

dahak minimal satu sendok teh. Definisi yang banyak dipakai adalah definisi dari

American Thoracic Society, yaitu penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan

dahak yang banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama

dua tahun berturut-turut. Produksi dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh

penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis kronik sering terdapat

bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.

Bronchitis kronik dapat dibagi atas:

1) Simple chronic bronchitis: bila sputum bersifat mukoid.

2) Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis: bila sputum bersifat

mukopurulen.

3) Chronic obstructive bronchitis: bila disertai obstruksi saluran napas yang

timbul apabila terpajan zat iritan atau ada infeksi saluran napas akut.

Epidemiologi

Bronchitis kronik lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita. Hal

ini kemungkinan disebabkan karena penyebab utamanya sampai saat ini adalah

merokok, dan laki-laki lebih banyak yang merokok dibandingkan dengan wanita. Di

Indonesia jumlah perokok menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga 1996 adalah

53% laki-laki dan 4% wanita.

Saat ini diperkirakan 20% laki-laki dewasa menderita bronchitis kronik, dan

pada wanita dewasa lebih sedikit. Namun karena wanita yang merokok terus

meningkat maka angka bronchitis kronik pada wanita akan meningkat pula.

Page 18: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Patogenesis

Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan

iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini,

asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang

terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik

dan kepekaan yang bersifat familial. Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan

pada sebagian penderita PPOK, dan persentasenya bervariasi.

Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel.

Setiap hembusan asap rokok mengandung 10 radikal bebas yaitu radikal hidroksida

(OH-). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini

merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Kerusakan parenkim paru oleh oksidan

ini terjadi karena:

1) Kerusakan dinding alveolus.

2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.

Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi

ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.

Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi

mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier.

Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa

bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi

mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada

epitel mukosa bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk

menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi

silia menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang

berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan.

Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Di

samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous

plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel.

Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi

epitel serta pembentukan jaringan parut. Di samping itu terjadi pula metaplasia

skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan

obstruksi saluran napas yang bersifat ireversible.

Page 19: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Skema Patogenesis Bronkitis Kronik

Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur akan terjadi penurunan

faal paru, yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebanyak rata-rata 28

ml per tahun. Pada penderita PPOK penurunan ini lebih besar yaitu antara 5080 ml

setiap tahun. Perburukan fungsi paru akan cepat terjadi bila timbul fase-fase

eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat memperburuk perjalanan penyakit. Faktor itu

adalah:

1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta memperburuk penyakit

seperti merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi dan perubahan cuaca.

2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi komponen yang

memungkinkan terdapatnya reversibilitas.

3) Tahap perjalanan penyakit.

4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran napas bawah seperti

sinusitis dan faringitis kronik.

5) Keteraturan penderita berobat.

Patologi

Kelainan utama pada bronkus yaitu hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus

bronkus. Terjadi sekresi mucus yang berlebihan dan lebih kental. Secara histologist

Iritasi bronkus (asap rokok, polusi)

Paralisis silia Bronkospasme Hipertrofi, hiperplasi kelenjar mukus

Produksi mucus bertambah

Obstruksi saluran napas yang reversible

Statis mukus

Infeksi kuman (sekunder)

Erosi epitel, pembentukan jaringan parut, metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan skuamosa

Obstruksi saluran napas yang ireversible

Page 20: Laporan Modul 2 Blok Xiii

dapat dibuktikan dengan membandingkan tebalnya kelenjar mucus dan dinding

bronkus (indeks Reid).

Selain itu terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuclear di

submukosa trakeobronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. Pada pasien

yang sering mengalami bronkospasme otot polos saluran napas bertambah dan timbul

fibrosis peribronkial. Yang penting juga adalah perubahan pada saluran napas kecil

(small airways) yaitu hyperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan submukosa,

edema fibrosis peribronkial, penyumbatan mucus intraluminal dan penambahan otot

polos.

Manifestasi Klinis

Bronchitis kronik merupakan penyakit menahun, yang mana terjadi sedikit

demi sedikit selama bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang pasien perokok

berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun kemampuan kerja beratnya mulai

menurun dan mulai timbul perubahan pada saluran napas kecil serta fungsi paru juga

mulai berubah antara lain berupa kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul

batuk yang produktif dan VEP1 (volume ekspirasi paksa selama 1 detik) atau FEV1

(forced expiratory volume 1 second) menurun. Sesak napas, hipoksemia dan

perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien sering sering

mendapat infeksi saluran napas bagian atas berulang-ulang sehingga sering atau sama

sekali tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang

dapat menyebabkan kegagalan napas dan meninggal dunia.

Diagnosis

1) Anamnesis

Keluhan utama pada bronchitis kronik adalah batuk berdahak dan sesak.

Menurut Burrows dkk 75% bronchitis kronik dimulai dengan batuk, 22% dimulai

dengan sesak.

Pasien dengan bronchitis kronik dominan mempunyai riwayat batuk-batuk

dengan sputum produktif yang sering dikatakannya karena merokok. Pasien

sendiri tidak menganggap sebagai keluhan, kecuali bila kita tanya langsung.

Makin lama batuk makin sering, berlangsung lama dan makin berat, timbul siang

maupun malam, sehingga pasien terganggu tidurnya. Bila timbul infeksi saluran

napas, batuk-batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi teratasi.

Page 21: Laporan Modul 2 Blok Xiii

2) Pemeriksaan fisik

Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang terdengar

ronki pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar

ronki pada saat ekspirasi maupun inspirasi, kadang disertai bising mengi. Selain

itu, didapatkan juga tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, diameter

anteroposterior dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan

supra sterna kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subcostal bertambah.

Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru

hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara napas dan suara jantung

lemah. Bila sudah ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung kedua akan lebih

keras, terutama di ruang interkostal dua dan tiga sebelah kiri.

Pasien dengan bronchitis kronik, pada stdium lanjut biasanya terlihat

gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat dan otot-otot pernapasan

tambahannya pun tidak digunakan. Sering disertai tanda payah jantung kanan.

PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau naik. Penurunan PaO2 menstimulasi

eritropoesis dan vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga kor-pulmonalnya

bertambah berat.

3) Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan radiologis

Menurut Fraser dan Pare > 50% pasien bronchitis kronik mempunyai

foto dada yang normal. Tetapi secara radiologis ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan:

a. Tubular shadows atau tram lines tarlihat bayangan garis-garis yang

parallel, keluar dari hilus menuju apex paru. Bayangan tersebut adalah

bayangan bronkus yang menebal.

b. Corak paru bertambah.

- Pemeriksaan faal paru

Terdapat VEP1 dan KV menurun, VR yang bertambah dan KTP yang

normal.

- Analisis gas darah

Pasien bronchitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan

baik, sehingga PaCO2 naik, saturasi Hb menurun dan timbul sianosis. Terjadi

juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoesis.

Page 22: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi

tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan

mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum

ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih baik,

menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran

napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi

kebutuhan cairan.

Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi.

Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.

Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik. Obat ini tidak saja

diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk memperbaiki obstruksi

yang terjadi. Adanya respons sesudah pemberian bronkodilator merupakan petunjuk

penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator hendaklah selalu dicoba pada

penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan adalah golongan antikolinergik agonis

beta-2 dan golongan xanthin.

Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan secara

inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid. Obat ini mempunyai beberapa keuntungan

dibandingkan go-

longan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar, tidak menimbulkan

fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek samping tremor dan palpitasi, tidak

mempengaruhi sistem pembersihan mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 68

jam dan theurapetic margin of safety nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak

diabsorpsi.

Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan

efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi

mengurangi efek samping ini, selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak. Obat

ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya produksi

siklik AMP dan menimbulkan relaksasi

otot polos saluran napas.

Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan

menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik

AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan

Page 23: Laporan Modul 2 Blok Xiii

berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya tahan

terhadap kelelahan otot pada penderita PPOK.

Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombinasi, tiga macam obat

lebih baik dari dua macam obat, oleh karena mereka mempunyai efk sinergis.

Pemberian secara kombinasi memberikan efek yang optimal dengan dosis yang lebih

rendah dibandingkan pemberian monoterapi, selain itu dosis yang rendah memberikan

efek samping yang minimal.

Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak dan

pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian antibiotika

diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang baru pada foto

toraks. Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin atau kotrimoksasol

selama 710 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi perbaikan perlu dilakukan

pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit

diberikan antibiotika untuk gram negatif.

Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis. Pemberian dilakukan

secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan hipoksemi.

Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru.

Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan. Pada

penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi

menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka

lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan akut pemberian steroid

jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 47 hari,

kemudian diturunkan secara bertahap selama 710 hari. Pemberian dosis tinggi kurang

dari 7 hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara bertahap.

Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami hipoksemi kronik

dapat menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan

hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen merupakan

keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaQ2 < 55 mmHg) pemberian oksigen

konsentrasi rendah 13 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,

koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur.

Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk

dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi

CO2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada penderita ini

rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi disebabkan oleh

Page 24: Laporan Modul 2 Blok Xiii

peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi. Pemberian oksigen

tinggi dapat menghilang-kan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat

napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh asidosis

respiratorik.

Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi

pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas

menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif.

Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi

kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas

dan takut. Pemakaian obat-obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan

pusat napas.

Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan pekerjaan

sesuai dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan mengembalikan

penderita pada tingkat

yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara subjektif bermanfaat

buat penderita dan dapat mengurangi hari perawatan di rumah sakit serta biaya

perawatan dan pengobatan, tetapi tidak mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas

darah.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit

adalah :

· Menghentikan kebiasaan merokok.

· Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya

iritasi saluran napas.

· Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak terjadi

eksaserbasi akut.

· Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih reversibel dapat

dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi

kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.

· Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan obat-obat

yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal.

· Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK selain berguna

sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk melihat laju penyakit serta

meramalkan

prognosis penderita

Page 25: Laporan Modul 2 Blok Xiii

.

Peranan N-Asetilsistein pada bronchitis kronik

Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi

mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.

Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion

superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi

oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak

berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok.

N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.

Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru

oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti oksidan,

obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah

dikeluarkan.

Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik

memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum, banyaknya

eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.

EMFISEMA

Definisi

Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru – paru yang ditandai dengan

melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkhiolus terminal,

disertai kerusakan/destruksi dinding alveolus. Emfisema dapat didiagnosis dengan

menggunakan CT scan resolusi tinggi. Emfisema yang menyeluruh adalah dilatasi

permanent berbagai bagian asinus pernafasan dengan destruksi jaringan tanpa

jaringan parut. Emfisema menyebabkan hilangnya recoil elastic jaringan paru dan

menurunkan kekuatan ekspirasi.

Etiologi

1. Faktor idiopatik (tidak diketahui)

2. Predisposisi genetic

3. Merokok

4. Polusi udara

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya emfisema paru :

1. Rokok

Page 26: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis kronik dan emfisema paru.

Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (Volime

Ekspirasi Paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia

kelenjar mucus bronkus dan metaplasoia sel skuamus saluran pernafasan. Juga

dapat menyebabkan bronkikonstriksi akut. Merokok juga dapat menimbulkan

inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofag alveolar, dan surfaktan.

2. Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya pun lebih

bertambah. Infeksi saluran nafas bagian atas pada seirang pasien bronkitis

hampi selalu menuebabkan infeksi paru bagian bawah, serat menyebabkan

kerusakan paru bertambah.

3. Polusi udara dapat menyebabkan emfisema karena menyebabkan obstruksi

saluran nafas.

4. faktor genetuk

faktor genetik mermpunyaiu peran pada PPOK, terbukti bahwa pada survei

terakhir didapatkan bahwa anak-anak dari orang tua yang merokok mempunyai

kecendeungan mengalami PPOK lebih sering dan berat, serta insiden PPOK pada

grup tersebut tinggi.

Faktor genetik tersebut di antaranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya

eosinofilia atau peningkatan kadar IgE serum, adanya hiperresponsif bronkus,

riwayat penyakit PPOK dalam kjeluarga, dan defisiensi protein alga 1 antitriopsin.

Penyakit dengan defisiensi alfa 1 antitripsin (ATT) yaitu suatu kelaianan yang

diturunkan secara autosom resesif, terutama pada pasien dengan gen S atau Z

sering menderita emfisema paru. ATT merupakan suatu protein yang menetralkan

enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada inflamasi dan merusak jaringan,

termasuk jaringan paru. Dengan demikian, AAT dapat meilindungi paru dari

kerusakan jaringan yang disebabkan enzim proteolitik. Orang yang punya nilai

AAT kurang dari 35% normal, tidak mampu memberikan perlindumgan yang

sadekuat dan kerusakan parenkim paru dapat terjadi.

5. Hipotesis Elastase – anti Elastase

Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan

antielastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.perubahan keseimbangan akan

menimbulkan kerusakan jaringan elastic pru. Arsitektur paru akan berubah dan

Page 27: Laporan Modul 2 Blok Xiii

timbul emfiseama. Sumber elastase penting adalah pankreas, sel PMN, dan

makrofag alveolar. Perangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan

infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase

yaniti sistem alfa 1 protease inhibitor terutama env\zim alfa 1 antitripsin (alfa 1

globulin) menjadi menurun. Akibat tidsak ada lagi keseimbangan antara elastase

dan antielastase akan terjadi kerusakan jaringan elastik paru dan kemudian

emfisema.

Patofisiologi

Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan

saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas

yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu

protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan

dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari

kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru

antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan.

Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur

paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah

pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah

banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease

inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada

lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan

jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal

terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang

disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang

menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru. Pada orang normal sewaktu

terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang

sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema

saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya

saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi

dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli

dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara

pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul

hipoksia dan sesak nafas.

Page 28: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Pembagian Emfisema

Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola

morfologik dari emfisema yaitu:

1. CLE (emfisema sentrilobular) CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian

bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung

dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih

distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas

paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada

pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang

tidak merokok(Sylvia A. Price 1995).

2. PLE (emfisema panlobular) Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang,

dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami

pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu

tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil

penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia

tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah

diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti

protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap

protease yang terbentuk secara alami( Cherniack dan cherniack, 1983). PLE dan CLE

sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula timbul

akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen

bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan

mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut

kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.

Manifestasi Klinis

Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-

bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun.

Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi

paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55

tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60

tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan

meninggal dunia.

Page 29: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Diagnosa

1. Pemeriksaan fisik :

Inspeksi:

- Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada berbentuk

barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis dorsal.

Palpasi :

- Ruang antar iga melebar, taktik vocal fremitus menurun,

Perkusi :

- Terdengar hipersonor, peningkatan diameter dada anterior posterior.

Auskultasi :

- Suara napas berkurang, ronkhi bisa terdengar apabila ada dahak

2. Pemeriksan radiologis

Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan

menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru

Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu :

* Gambaran defisiensi arteri

- overinflasi Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.

- oligoemia Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan

kedistal.

* corakan paru yang bertambah Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema

sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.

3. Pemeriksaan fungsi paru

Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi

berkurang.

4. Analisis Gas Darah

Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien

emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien

hampir mencukupi.

5. Pemeriksaan EKG

Page 30: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat

kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III,

dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S

kurang dari 1.

Penatalaksanaan

Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :

1. penyuluhan

2. pencegahan

3. terapi farmakologi

4. fisioterapi dan rehabilitasi

5. Pemberian O2 dalam jangka panjang

Penyuluhan

Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal

yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.

Pencegahan

1. menghindari rokok

Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus

dilakukan

2. menghindari lingkungan polusi

Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada

pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran

nafas

3. Vaksin

Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan

infeksi pneumokokus.

TERAPI FARMAKOLOGI

Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai

komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan :

1. pemberian bronkodilator

2. pemberian kortikosteroid

3. mengurangi sekresi mucus

Page 31: Laporan Modul 2 Blok Xiii

1. Pemberian bronkodilator

a. golongan teofilin

Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan

kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L

b. golongan agonis B2

Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi

menghilang dengan pemberian agak lama.

2. Pemberian kortikosteroid

Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi

saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian

kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.

3. Mengurangi sekresi mucus

- Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap

kuning pucat.

- Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan

amonium klorida.

- Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan

mengencerkan sputum.

- Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.

Fisioterapi dan Rehabilitasi

Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan

kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan

vokasional.

Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :

- Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.

- Memperbaiki efisiensi ventilasi.

- Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis

Pemberian O2 jangka panjang

Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan

toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu

tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan

mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

Page 32: Laporan Modul 2 Blok Xiii

ASMA BRONKIAL

Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel

inflamasi dengan akibat penyempitan saluran nafas yang bervariasi, ditandai dengan

wheezing, sesak napas, rasa berat di dada, batuk terutama pada malam atau pagi hari.

Penyempitan dan gejala dapat bersifat reversible baik secara spontan.

Etiologi

1. Rangsangan alergi. Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat menghirup

allergen atau setelah mengkonsumsi bahan alergik tersebut.

2. Rangsangan bahan toksik dan iritan. Kelompok ini meliputi asap rokok,

polutan, pembuangan pabrik, gasoline dan uap cat.

3. Infeksi. Pada umunya infeksi virus, jamur dan bakteri dapat memicu

timbulnya serangan asma namun dapat pula bertindak sebagai allergen.

Sinusitis bacterial dan infeksi virus (common cold) merupakan factor

terjadinya serangan asma.

4. Obat. Banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan serangan asma. Golongan

terbanyak adalah penisilin dan golongan vaksen. Penderita yang sensitive

terhadap aspirin umumnya 20 menit setelah konsumsi timbul serangan.

5. Penyebab lainnya. Factor fisik dan psikologis. Misalnya kelelahan, perubahan

cuaca dan kesedihan.

Faktor Resiko

Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara factor host dengan factor

lingkungan. Interaksi factor denetik /penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui

kemungkinan :

Pajanan lingkungan hanya meningkatkan resiko asma pada individu

genetic sama

Lingkungan maupun genetic masing-masing meningkatkan resiko penyakit

asma.

1. Faktor pejamu

Page 33: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Asma adalah penyakit yang diturunkan. Fenotip yang berkaitan dengan

asma, dikaitkan dengan ukuran subjectif (gejala) dan objectif (hipereaktiviti

bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Banyak gen yang terlibat dalam

pathogenesis asma antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, reseptor

beta agonis : dan gen yang telibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu

IRF2,IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2, GRL1, CD14, HLAD, TMOD, dan

sebagainya.

Genetik mengontrol respons imun

Gen yang berlokasi pada kompleks HLA mempunyai cirri dalam

memberikan respons imun terhadap aeroallergen. Kompleks gen HLA

berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I,II dan III dan lainnya

seperti gen TNF-α.

Genetic mengontrol sitokin proinflamasi

Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalamm

berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom

11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-, niast cell growth

factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi

berkesinambungan menunjukkan ada ikatan postif antara petanda-petanda

pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.

Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam

menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE pleh sel

B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen

yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.

Faktor lingkungan

Page 34: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan

adalah penyebab utama asma, dengan perngertian factor lingkungan tersebut

pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan memperthankan kondisi asma

tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya

gejala.

Patogenesis Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel

inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag ,

neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai factor lain berperan

sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.

Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten

maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma

seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang di cetuskan

aspirin.

INFLAMASI AKUT

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah factor antara

lain allergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut

terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma

tipe lambat.

Reaksi Asma Tipe Cepat

Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan

terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan

preformed mediator seperti histamine, protease dan newly generated mediator

seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot

polos bronkus, sekresi mucus dan vasodilatasi.

Page 35: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Reaksi Fase Lambat

Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi allergen dan

melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan

makrofag.

INFLAMASI KRONIK

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut

ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot

polos bronkus

Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtype

Th2. Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan

mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF.

Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-

sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE, IL-3, IL-5 serta GM-

CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup

eosinofil.

Epitel

Sel epitel yang terkativasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada

penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran m arkers seperti

molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.

Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya

masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil

granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym

dan metaloprotease sel epitel.

EOSINOFIL

Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi

tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma

adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan

Page 36: Laporan Modul 2 Blok Xiii

mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa

serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan

GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan

hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil

cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase

(EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel

saluran napas.

Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-

linking reseptor IgE dengan ‘’factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast.

Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti

histamine dan protease serta newly generated mediators antara lain

prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara

lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

Makrofag

Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada

orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh

percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara

lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses

inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran

melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF

dan TGF-β.

AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan

jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing

process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel sel

mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan

regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim

Page 37: Laporan Modul 2 Blok Xiii

yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan

penyambung yang menghasilkan jaringan skar.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan

remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling.

Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen

lainnya seperti maktriks ekstraselular, membrane reticular basal, maktriks

interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya pembuluh

darah, otot polos, kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi :

Hipertrofi dan hyperplasia otot polos jalan napas

Hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus

Penebalan membrane reticular basal

Pembuluh darah meningkat

Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

Perubahan struktur parenkim

Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan

tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah

distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga

pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma

terutama pencegahan dan pengobata dari proses tersebut.

Gambaran Klinik

Umumnya penderita asma mengeluh sesak napas kumat-kumatan, dada terasa

berat, sukar bernapas disertai batuk tanpa dengan dahak. Gejala demikian mungkin

timbul satu tahun sekali atau dua kali. Atau tiap bulan sekali, atau satu minggu sekali

atau setiap hari.

Keluhan timbul setelah melakukan aktifitas, paska menghirup bahan allergen,

makan,minum,marah,ketawa, batuk, olahraga, atau kecewa.

Pada serangan suara nafas berbunyi “wheezing”, kedua tapak tangan tertumpu

ke kursi, wajah berkeringat dan flushing, pergerakan cuping hidung, bibir dan ujung

jari kebiruan (cyanosis).

Page 38: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Diagnosis Asma

Umumnya, diagnosis asma tidaklah sulit, tetapi pada kasus tertentu kadang-

kadang sukar dibedakan dengan penyakit lain yang memberikan gejala yang serupa.

Ada kalanya gejala yang muncul hanya batuk atau sesak atau mungkin hanya rasa

berat di dada. Maka untuk kasus-kasus seperti ini diperlukan pemeriksaan yang lebih

cermat dan mungkin perlu beberapa pemeriksaan penunjang.

Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma,

terdiri dari: anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk

menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga

berguna untuk menyususn srategi pengobatan pada penderita asma. Pada anamnesis

akan kita jumpai adanya keluhan, batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di dada

yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan.

Tetapi adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan batuk-batuk saja yang

umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani ataupun hanya pada

musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya riwayat alrgi baik pada

penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik atopic dapat

membantu menegakakan diagnosis.

Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan

mengetahui factor pencetus kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat

dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma, terdiri dari:

•Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu

binatang, kapas, debu kopi atau the, maupun yang berupa makanan seperti udang,

kepiting, zat pengawet, zat pewarna dan sebagainya.

•Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa

dan sebagainya.

•Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.

•Ketegangan atau tekanan jiwa.

•Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya.

•Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum

dan sebagainya.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka seseorang dicurigai menderita asma apabila:

Page 39: Laporan Modul 2 Blok Xiii

•Sesak atau batuk yang berkepanjangan setelah menderita influenza

•Batuk-batuk setelah olahraga, terutama pada anak-anak atau rasa berat atau tercekik

pada dada sehabis olahraga (yang terbukti tidak ada kelainan jantung)

•Sesak atau batuk-batuk pada waktu ruang berdebu atau berasap

•Batuk-batuk setelah mencium bau tertentu

•Batuk-batuk atau sesak yang sering timbul pada malam hari dan tidak berkurang

sesudah duduk.

Dengan kata lain, bila seseorang mengeluh sesak, batuk atau mengi yang tidak

bisa diterangkan penyebabnya, kita perlu mencurigai itu suatu asma. Atau yeng

membedakan asma dengan penyakit paru lain yaitu pada asma serangan dapat hilang

dengan atau tanpa obat. Artinya, serangan asma ada yang hilang dengan sendirinya

tanpa pengobatan. Tetapi, membiarkan penderita asma dalam srangan tanpa obat

selain tidak etis, juga bisa membahayakan nyawa penderita.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan

menyingkirkan diagnosis banding, juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit

yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari

kepala sampai ke kaki.

Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas

(beratnya serangan) dan saat pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa

naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, mengi (wheezing) sering

dapat terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik atau 3 kali

lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang

terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada, dimana pada

perkusi akan terdengan hipersonor. Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan

pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga tanpak retraksi suprasternal,

supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung.

Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma,

tetapi batuk, sesak ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita

asma, untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan

diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang

Page 40: Laporan Modul 2 Blok Xiii

1.Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total sering meningkat

pada pasien asma, dan hal ini dapat membantu untuk membedakan asma dengan

bronchitis kronik. Jumlah eosinofil menurun dengan pemberian kortikosteroid,

sehingga dipakai juga untuk patokan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang

dibutuhkan pada pasien asma.

Pada pemeriksaan sputum, dimana sputum eosinofil sangat karakteristik untuk

asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk

melihat adanya eosinofil, Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann,

pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.

Pemeriksaan analisis gas darah, hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada

fase awal serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg)

kemudian pada fase yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai

normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia

(PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.

2.Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis dada ditujukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang

memberikan gejala serupa, seperti ggal jantung kiri, atau menemukan penyakit lain

yang menyertai asma seperti tuberculosis, atau mendeteksi adanya komplikasi asma

seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.

3.Uji Kulit

Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui adanya antibody IgE yang spesifik pada

kulit, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibody yang serupa pada

saluran napas penderita asma. Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena allergen

yang menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan pencetus serangan asma,

demikian pula sebaliknya.

4.Pemeriksaan Spirometri

Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.

Pemeriksaan ini sangat penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma

maupun dalam pengololaan dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan

Page 41: Laporan Modul 2 Blok Xiii

tensimeter dalam diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes

mellitus.

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah

dengan melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.

Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat

dinilai dengan meningkatnya FEV1 dan atau FVC sebanyak 20% atau lebih sesudah

pemberian bronkodilator. Tetapi tidak adanya peningkatan sebesar 20% tidak berarti

bukan asma. Hal ini dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal atau mendekati

normal. Respons mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang

berat oleh karena dosis tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek seperti yang

diharapkan mungkin perlu pemberian obat kombinasi (agonis beta 2, teofilin dan

kortikosteroid).

Penilaian beratnya obstruksi dapat dilihat pada rendahnya FEV1 dan FEV1/FVC

atau perbandingan FEV1 yang diukur dengan FEV1 yang prediktif.

Derajat obstruksi FEV1 (liter) FEV1/FVC FEV1/FEV1p

Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan dapat dilakukan tes

pemantauan faal paru untuk jangka waktu 1-3 minggu dengan Miniright Peak

Flowmeter, dimana APE diukur tiga kali sehari ditambah ekstra pada saat munculnya

sesak. Apabila selisih APE yang tertinggi dengan yang terendah 20% atau lebih

merupakan petanda asma.

5.Tes Provokasi Brokial

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas

bronkus dilakukan tes provokasi bronkus. Tes ini tidak dilakukan apabila tes

spirometri menunjukkan resersibilitas 20% atau lebih.

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi bronchial seperti tes

provokasi histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan

udara dingin bahkan inhalasi dengan aqua destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau

lebih setelah tes provokasi merupakan pertanda adanya hiperaktivitas bronkus.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan asma :

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

Page 42: Laporan Modul 2 Blok Xiii

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible

7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan

terkontrol bila :

1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam

2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise

3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak

diperlukan)

4. Variasi harian APE kurang dari 20%

5. Nilai APE normal atau mendekati normal

6. Efek samping obat minimal (tidak ada)

7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :

1. Edukasi

2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala

3. Identifikasi dan mengendalikan factor pencetus

4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6. Control secara teratur

7. Pola hidup sehat

Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dangan bahasa yang

mudah dan dikenal dengan 7 langkah mengatasi asma. Yaitu :

1. Mengenal seluk beluk asma

2. Menentukan klasifikasi

3. Mengenali dan menghindari pencetus

4. Merencanakan pengobatan jangka panjang

5. Mengatasi serangan asma dengan cepat dan tepat

6. Memeriksa diri dengan teratur

Page 43: Laporan Modul 2 Blok Xiii

7. Menjaga kebugaran dan olahraga

OBAT ASMA

Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu antiinflamasi

merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah

serangan dikenal dengan pengontrol dan bronkodilator yang merupakan pengobatan

saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal dengan pelega.

Obat asma yang tersedia di Indonesia :

golongan nama genetik bentuk/kemasan obat

  flutikason propionat IDT

steroid inhalasi budesonide IDT, TURBUHALER

  kromolin IDT

  Nedokromil IDT

sodium kromoglikat Zafirlukast Oral

nedokromil metilprednison oral, injeksi

antileukotrien prednisolon oral

kortikosteroid sistemik prokaterol oral

agonis beta-2 kerja lama bambuterol oral

  formoterol turbuhaler

   

  salbutamol oral, IDT

agonis beta-2 kerja

singkat terbutalin

oral, IDT,

TURBUHALER,

SOLUSIO,

AMPUL(INJEKSI)

  prokaterol IDT

  fenoterol IDT, solusio

   

  ipratropium bromide IDT, solutio

antikolinergik teofilin oral

metilsantin aminofilin oral, injeksi

Page 44: Laporan Modul 2 Blok Xiii

  teofilin lepas lambat oral

   

  formoterol turbuhaler

agonis beta-2 kerja lama metilprednison oral, injeksi

kortikosteroid sistemik prednison oral, injeksi

BRONKIEKTASIS

Definisi

Adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan

elastic penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans

kronis.

Bronkiektasis merupakan kelainan saluran nafas yang seringkali tidak berdiri sendiri,

akan tetapi dapat merupakan sebagian dari suatu syndrome atau sebagai akibat

(penyulit) dari kelainan paru yang lain. Sekali terbentuk, bronkiektasis menimbulkan

kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum purulen dalam

jumlah besar. Diagnosis bergantung pada riwayat yang sesuai dan pembuktian adanya

dilatasi bronkus pada radiografi. Insidens bronkiektasis cenderung menurun dengan

adanya kemajuan pengobatan antibiotika. Akan tetapi perlu diingat bahwa insidens ini

juga dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara, dan kelainan congenital.

Etiologi

1. sebagai gejala sisa infeksi paru

Pneumonia nekrotikans atau supuratif, terutama akibat organisme virulen, seperti

staphylococcus aureus atau klebsiella spp, dapat mempermudah bronkiektasis.

Dahulu, bronkiektasis pascainfeksi kadang-kadang menjadi sekuele dari

pneumonia pada anak yang menjadi penyulit campak, batuk rejan, dan influenza,

tetapi hal ini telah jauh berkurang berkat keberhasilan imunisasi. Bronkiektasis

pascatuberkulosis masih merupakan penyebab morbiditas yang bermakna di

daerah endemic.

2. obstruksi bronkus. Penyebab yang sering adalah tumor, benda asing, dan

kadang-kadang sumbatan mucus. Pada keadaan ini, bronkiektasis terletak di

Page 45: Laporan Modul 2 Blok Xiii

segmen paru yang tersumbat. Bronkiektasis juga dapat menjadi penyulit asma

atopik dan bronchitis kronis.

3. kelainan congenital atau herediter

o pada fibrosis kistik, terjadi bronkiektasis berat yang luas akibat obstruksi dan

infeksi karena sekresi mucus yang terlalu kental. Ini adalah penyulit yang

penting dan serius.

o Pada keadaan imunodefisiensi, terutama defisiensi immunoglobulin,mudah

terjadi bronkiektasis karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri

berulang,dapat terjadi bronkiektasis local atau difus.

o Syndrome Kartagener, suatu gangguan resesif autosomal, sering berkaitan

dengan bronkiektasis dan sterilitas pasa laki-laki. Kelainan structural silia

menghambat pembersihan jalan nafas oleh mukosilia sehingga terjadi infeksi

persisten dan berkurangnya mobilitas spermatozoa. Syndrome kartagener

terdiri dari trias : bronkiektasis, sinusitis, dan dekstro kardi/ situs inversus.

4. Atelektasis

Patogenesis

1. Faktor Radang dan Nekrosis

Radang pada saluran pernapasan menyebabkan silia dari epitel bronkus tidak

berfungsi. Epitel kolumnar mengalami degenerasi dan diganti menjadi epitel

bertatah. Selanjutnya elemen kartilago muskularis mengalami nekrosis dan

jaringan elastis yang terdapat di sekitarnya mengalami kerusakan sehingga

berakibat dinding bronkus menjadi lemah, melebar tidak beraturan dan permanent.

Bila ulserasi mengenai pembuluh darah, dapat terjadi batuk darah berulang. Selain

itu, timbul hipertrofi dari pembuluh darah serta terbentuk banyak anastomosis

antara vena bronkialis dengan vena pulmonalis (right to left shunt) dengan akibat

timbul hipoksemia kronis dan berakhir dengan kor pulmonal kronis.

2. Faktor Mekanik

o Distensi mekanik sebagai akibat dinding bronkus yang lemah, secret yang

menumpuk dalam bronkus, adanya tumor atau pembesaran kelenjar limfe.

o Peningkatan tekanan intra bronchial distal dari penyempitan akibat batuk.

o Penarikan dinding bronkus oleh karena fibrosis jaringan paru, sebagai akibat

timbulnya perlekatan local yang permanent dari dinding bronkus

Page 46: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Factor intrinsik juga mempuyai peranan, sebab tidak semua penderita dengan

infeksi disertai obstruksi bronkus akan berakibat menjadi bronkiektasis. Pelebaran

bronkus dapat mmbentuk sakuler,tubuler dan varikosis

Terdapat dua proses penting yang saling terkait dalam patogenesis bronkiektasis:

obstruksi dan infeksi persisten kronis .salah satu dari keduanya dapat terjadi lebih

dahulu. Mekanisme pembersihan normal terhambat oleh obstruksi, sehingga

segera terjadi infeksi sekunder, sebaliknya, infeksi kronis pada saatnya

menyebabkan kerusakan dinding bronkus sehingga terjadi perlemahan dan

dilatasi. Sebagai contoh, obstruksi akibat karsinoma bronkogenik atau benda asing

mengganggu pembersihan sekresi sehingga terbentuk lahan yang subur bagi

infeksi. Peradangan yang terjadi merusak dinding bronkus dan eksudat yang

tertimbun semakin melebarkan jalan napas sehingga terjadi dilatasi irreversible.

Sebaliknya, peradangan nekrotikans persisten di bronkus atau bronkiolus dapat

menghasilkan sekresi obstruktif, peradangan diseluruh dinding (disertai fibrosis

peribronkus dan traksi jaringan parut terhadap dinding ) dan akhirnya rangkaian

kejadian yang telah dijelaskan di atas. Pada kasus yang biasa, dapat dibiakan

beragam flora dari bronkus yang terkena, termasuk stafilokokus, streptokokus,

pneumokokus, organisme enteric, bakteri anaerob dan mikroaerofilik dan

(terutama pada anak) Haemophilus influenzae dan Pseudomonas aeruginosa.

Manifestasi klinis

Gejala klinis timbul sabagai akibat gangguan fungsi silia dan adanya stasis secret

sehingga memungkinkan secret terkumpul di segmen yang mengalami dilatasi.

Penderita bronkiektasis mengeluh batuk hebat persisten disertai pengeluaran sputum

mukopurulen, kadang-kadang berbau busuk. Sputum mungkin mngandung bercak-

bercak darah, dapat terjadi hemoptoe. Gejala sering episodic dan dipicu oleh infeksi

saluran nafas atas tau masuknya patogen baru. Pada kasus bronkiektasis parah dan

luas, disetai hipoksemia, hiperkapnea, hipertensi pulmonalis dan (jarang) kor

pulmonal. Dahak yang dihasilkan pada penyakit ini bila ditampung dalam gelas

transparan dan di diamkan akan tampak tiga lapisan yaitu:

o Ekspektorasi timbal dengan perubahan posisi tubuh yang memungkinkan

pengaliran sputum dari segmen bronkiektasis misalnya waktu bangun tidur,

miring kekiri tau kekanan.

Page 47: Laporan Modul 2 Blok Xiii

o Batuk darah

Timbal pada 50% penderita, sering perdarahan cukup banyak tetapi jarana fatal.

Kebanyakan abtuk darah pada anak disebabkan oleh brokiektasis.

o Penderita tampak kurus,astenia dan anorexia

o Panas badan timbal sebagai akibat infeksi seunder

o Sesak nafas timbal bila ada stegnasi sputum yang luas pada saluran napas dan

keradangan akut

o Foetor ex ore memberikan efek psikologis yang kurang baik

Diagnosis

1. Anamnesis

2. pemeriksaan fisik

penderita tampak kurang Gizo, anemia, dipsnue, kadang-kadang sianosis dan

sering di dapatkan jari tabú pada tangan dan kaki. Ronki basah persisten pada

lobus interior paru seringkali merupakan kelainan yang Amat penting. Gejala

tersebut lebih jelas terdengar bila pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah

posisi drainase postural dan penderita disuruh batuk. Gejala pneumonia mingkin

ditemukan bila ada infeksi akut.

3. pemeriksaan laboratorium

tidak khas, Hb dapat rendah (anemia), dapat pula tinggi bila tidak ada polisitemia

sekunder sebagai akibat dari insufisiensi paru. Lekositosis dengan laju endap

darah yang tinggi sering dijumpai bila ada infeksi sekunder.

4. pemeriksaan radiologi

o foto torak PA dan lateral : tampak infiltrat pada paru bagian basal dengan

daerah radiolusen yang multiple menyerupai sarang lebah (Honey Comb

Appearance)

o bronkografi : merupakan sarana diagnosis pasti untuk bronkiektasis, karena

dengan bahan kontras yang dimasukan kedalam saluran napas atas akan

tampak kelainan ektasis

5. bronkoskopi

tidak dapat digunakan intuk melihat ektasis, akan tetapi dapat untuk mengetahui

adanya tumor atau benda asing, sumber batuk darah, sputum dan perdarahan.

6. pemeriksaan faal paru

Page 48: Laporan Modul 2 Blok Xiii

untuk melihat kelainan retriksi dan atau obstruksi

Diagnosis banding

1. Bronkitis kronis

Bronkitis kronis menunjukan gambaran bronkus yang normal pada pemeriksaan

bronkografi

2. tuberkulosis paru

tampak gambaran radiologis yang berbeda dengan bronkiektasis, terlebih lagi

dijumpai basil tuberkulosis dan sputum. Akan tetapi perlu dingat bahwa

bronkiektasis dapat merupakan penyulit dari tuberkulosis paru

3. abses paru

pada radiologis tampak gambaran abses yang dapat dibedakan dari gambaran

bronkiektasis

4. tumor paru

tampak gambaran masa yang padat pada paru, bila proses keganasan memberi

gambaran infiltrat, maka perlu dibedakan dengan proses pneumonia

Penyulit

1. batuk darah masif

2. kor pulmonal kronikum dekompensa

3. infeksi sekunder : pneumonia dan abses

Terapi

- konservatif

1. mengobati penyakit dasar

2. drainase postural

3. pemggunaan entibiotika yang tepat dan segera

4. mukolitik dan ekspektoran, terutama bila sputum kental sehunnga sukar

dikeluarkan.dibatukkan

- suportif

1. memperbaiki keadaan umum

2. psikoterapi agar tidak menarik diri dari lingkungan

- pembedahan

paling ideal dilakuakn reseksi pada bagian yang sakit

Page 49: Laporan Modul 2 Blok Xiii

indikasi : batuk darah berulang,proses ektasis yang lokal/soliter

kontraindikasi: pada bronkiektasis yang difus, faal paru yang jelek

Prognosis

Tergantung dari penyebab, lokasi, luas proses, derajat gangguan faal paru dan adanya

penyulit. Penggunaan antibiotika yang tepat dan tindakan bedah sangat berpengaruh

trhadap prognosis. Tanpa pengobatan penderita ektasis jarang dapat hidup melewati

umur 10-15 thn. Kebanyakan penderita meninggal pada umur < 40 tahun, karena

adanya penyulit.

Pencegahan

1. vaksinasi terhadap pertusis dan morbili

2. bila ada obstruksi bronkus =, harus dihilangkan

3. higiene saluran nafas : udara pernapasan bebas polusi termasuk rokok

GAGAL JANTUNG KONGESTIF (CHF)

A. Pengertian

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai

pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.

Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif

terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada

fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan

spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya mengakibatkan

gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat menunda atau

bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.

Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal

sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk

melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal

kelainan dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai,

termasuk perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal

jantung kongetif adlah keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal

jantung dan mekanisme kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu

Page 50: Laporan Modul 2 Blok Xiii

dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu. Gagal sirkulasi, yang hanya

berarti kelebihan beban sirkulasi akibat bertambahnya volume darah pada gagal

jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti transfusi yang berlebihan atau

anuria.

B. Etiologi dan Patofisiologi

Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis

penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang

menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan

beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-

keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat

septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi

stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun

pada imfark miokardium dan kardiomiopati.

Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui

penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan

infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Pennganan yang efektif terhadap gagal

jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap

mekanisme fisiologis dan penykit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-

faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.

C. Patofisiologi

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal

jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan

ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi

curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.

Tekanan rteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap

peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan

tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seprti yang terjadi

pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan

terjdi kongesti sistemik dan edema.

Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat

dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub trikuspidalis atau

mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari

Page 51: Laporan Modul 2 Blok Xiii

annulus katub atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot

papilaris dan kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.

Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga meknisme primer yang

dapat dilihat; meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban

awal akibat aktivasi istem rennin-angiotensin-aldosteron dan hipertrofi ventrikel.

Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curh jantung.

Meknisme-meknisme ini mungkin memadai untuk mempertahnkan curah jantung

pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, pada keadaan

istirahat. Tetapi kelainan pad kerj ventrikel dan menurunnya curah jantung

biasanya tampak pada keadaan berktivitas. Dengn berlanjutny gagal jantung

maka kompensasi akan menjadi semakin luring efektif.

D. Penanganan

Gagal jantung ditngani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban

kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi

miokardium, baik secar sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal,

kontraktilitas dan beban akhir.Penanganan biasanya dimulai ketika gejala-gejala

timbul pad saat beraktivitas biasa. Rejimen penanganan secar progresif

ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut

dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat

menjadi alasan untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang

lebih agresif .

Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang

sederhan namun sangat tepat dalam pennganan gagal jantung. Tetapi harus

diperhatikan jngn sampai memaksakan lrngan yng tak perlu untuk menghindari

kelemahan otot-otot rangka. Kini telah dikethui bahwa kelemahan otot rangka

dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktifitas

yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian

antikoagulansia mungkin diperlukan pad pembatasan aktifitas yang ketat untuk

mengendalikan gejala.

E. Pemeriksaan Diagnostik

1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san

kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial.

Page 52: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard

menunjukkan adanya aneurime ventricular.

2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam

fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.

3. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan

dinding.

4. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu

membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau

insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan

kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan

kontrktilitas.

FIBROSIS KISTIK

Pendahuluan

Fibrosis kistik adalah kelainan genetic yang bersifat resesif heterogen dengan

gambaran patobiologik yang mencerminkan mutasi pada gen regulator

transmembrana fibrosis kistik (CFTR). Penyakit ini ditandai dengan infeksi saluran

napas kronik yang akhirnya menimbulkan bronkiektasis serta bronkiolektasis,

insufisiensi kelenjar eksokrin pancreas dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar

keringat yang abnormal dan disfungsi urogenital.

Patogenesis

Dasar genetika. Fibrosis kistik merupakan penyakit autosomal resesif akibat

mutasi gen yang terletak pada kromosom 7. Mutasi gen tersebut menyebabkan

hilangnya fenilamin pada rantai asam amino 508 gen fibrosis kistik, yang dikenal

sebagai regulator transmembrana fibrosis kistik (CFTR).

Protein CFTR merupakan rantai asam amino yang berfungsi sebagai saluran

Cl- diatur AMP siklik. Proses pembentukan CFTR seluruhnya ditemukan pada

membrane plasma epitel normal. Mutasi DF508 menyebabkan proses yang tidak

benar dan pemecahan protein CFTR intraseluler, sehingga tidak ditemukannya protein

CFTR pada lokasi selular.

Epitel yang dirusak oleh fibrosis kistik memperlihatkan fungsi yang berbeda.

Dimana pada kelenjar keringat konsentrasi Na+ dan Cl- disekresikan ke lumen kelenjar

normal, tetapi epitel yang melapisi duktus kelenjar tidak permeable terhadap Cl-.

Page 53: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Keringat bergerak menuju permukaan reabsorbsi normal Cl- melalui CFTR yang

diikuti kation Na+ terjadi kegagalan. Ini proses yang menjelaskan mengapa

konsentrasi NaCl yang tinggi di keringat pasien fibrosis kistik.

Penyebab utama karena obstruksi mukosa kelenjar eksokrin. Terdapat secret

yang tebal dan lengket menyumbat saluran napas distal dan kelenjar submukosa pada

paru manusia. Gambaran patologi yang khas yaitu pelebaran dari saluran kelenjar

(sumbatan mucus) dan ditutupinya permukaan saluran napas oleh debris yang tebal,

kental, dan berupa mukopurulen yang mengandung banyak neutrofil. Hiperflasia

kelenjar submukosa sangat menonjol dan dikelilingi oleh inflamasi peribronkial dan

jaringan parut.

Manifestasi Klinis

Pasien mengeluh batuk yang kronik dan berdahak, dan sering berulang,

menggambarkan infeksi saluran napas yang memburuk. Selama fase eksaserbasi ini,

batuk menjadi lebih parah dan dahak makin banyak dan purulen dan kadang-kadang

bercampur darah. Juga dijumpai anoreksia, berat badan menurun, dan demam. Faal

paru terganggu dan dijumpai sesak napas. Akhirnya, keadaan ini menyebabkan

hipertensi paru dan kor pulmonal, diikuti gagal napas dan kematian.

Terdapat juga pneumotoraks dan hemoptisis. Adanya mengi dan bukti adanya

obstruksi saluran napas yang reversible pada tes faal paru merupakan kunci penting

adanya ABPA ( Allergic bronchopulmonary aspergilosis ). Komplikasi pada pasien

dewasa yaitu sinusistis dan polip hidung.

Manifestasi di luar paru adalah malabsorbsi oleh karena kekurangan eksokrin

pancreas, diabetes mellitus, pancreatitis, obstruksi usus, intususepsi, kolelitiasis,

sirosis bilier, dan azoospermia.

Pemeriksaan fisis. Pasien biasanya kurus. Toraks berbentuk tong (barrel

chest), menggambarkan keadaan paru yang hiperinflasi. Terdapat ronki pada

auskultasi terutama pada bagian apex. Terdapat juga mengi yang disebabkan karena

sumbatan mekanis saluran napas oleh mucus atau oleh karena spasme bronkus. Pasien

juga terlihat memakai otot-otot bantu pernapasan, sianosis, bukti adanya hipertensi

paru dan tanda dari gagal jantung kanan, menunjukkan kelainan paru lanjut.

Diagnosis Fibrosis Kistik

Criteria diagnostic yang baku untuk fibrosis kistik yang klasik telah

dibakukan, yakni: peningkatan konsentrasi yang menetap dari elektrolit pada kelenjar

Page 54: Laporan Modul 2 Blok Xiii

keringat ditambah dengan gambaran klinis yang khas (tipe gastrointestinal atau tipe

paru dan kadang-kadang azoosperma obstruktif) atau adanya riwayat family.

Uji laboratorium

1. Uji keringat. Uji yang menunjukkan positif kuat (Cl3 80 mmol/l), dengan

manifestasi klinis yang khas, memastikan diagnose. Harus dibedakan denagn

keadaan lain yang juga meningkatkan elektrolit keringat, antara lain

hipotiroid, insufisiensi adrenal, dan malnutrisi.

2. Foto toraks. Menunjukkan hiperinflasi, dengan diafragma yang mendatar.

Dinding bronkus menebal, dalam potongan melintang terlihat seperti cincin,

dalam posisi longitudinal terlihat seperti garis yang parallel. Pada penyakit

lebih lanjut, perubahan-perubahan kistik akan dijumpai dan sering pada lobus

atas. Jika kista penuh berisi pus, gambaran kista akan terlihat sebagai nodul.

3. Uji faal paru. Gambaran khasnya berupa gambaran obstruktif. Volume residu

meningkat, mencerminkan udara yang terperangkap. Kapasitas difusi tetap

normal dan menurun pada tahap lanjut. Analisa gas darah arteri normal pada

keadaan ringan, tapi muncul hipoksemia yang progresif oleh karena gangguan

faal paru; hiperkapnia dijumpai dalam fase lanjut.

4. Analisa semen. Azoosperma obstruktif adalah bukti yang kuat dari fibrosis

kistik. Harus dikonfirmasi dengan biopsy testis, dan harus tidak ada penjelasan

lain untuk keadaan azoosperma tersebut (misalnya vasektomi)

5. Foto sinus. Pansinusitis sering dijumpai. Keadaan ini sangat kuat menyokong

diagnosis. Sinus yang normal pada foto adalah sangat kuat walau bukan

absolute, bukti bahwa tidak dijumpainya fibrosis kistik.

6. Uji fungsi kelenjar eksokrin. Respon pasien yang memiliki keluhan dan

tanda malnutrisi sangat baik terhadap pemberian enzim pancreas.

Membuktikan adanya kekurangan eksokrin pancreas. Hasil uji tidak langsung

(absorbsi asam paraaminobenzoat, kadar enzim dalam feses, kadar karoten

serum, kadar kuantitatif lemak dalam feses, dan USG pancreas) dapat

menolong diagnosis. Tapi standar emas (intubasi, isolasi saluran pancreas dan

analisa dari sekresi sebelum dan sesudah perangsangan dengan secretin dan

cholecystokinin) mungkin diperlukan untuk mendeteksi kelainan yang lebih

detail.

7. Bronchoalveolar Lavage (BAL). BAL selalu menunjukkan persentase yang

tinggi dari neutrofil (≥ 50 % pada pasien fibrosis kistik) dan jumlah neutrofil

Page 55: Laporan Modul 2 Blok Xiii

sangat tinggi. Tidak diperlukan pada keadaan yang berat. Pada pasien yang

klinisnya tidak khas tetapi tanpa penyakit paru yang nyata, adanya neutrofil

dalam jumlah besar dalam cairan lavage, walau tidak ada bakteri pathogen,

adalah bukti kuat adanya penyakit ini. Termasuk ditemukannya Pseudomonas

aeroginosa, juga menyokong diagnosis. Kadar antibody terhadap

pseudomonas yang meninggi dalam serum dapat dipakai untuk menduga

adanya infeksi walau kultur negative.

8. Pengukuran beda potensial nasal. Dilakukan dengan mengukur beda

potensial antara electrode yang dipasang di lengan dan di cavum nasi. Tidak

boleh dilakukan bila ada infeksi akut. Normal -24,7 ± 0,9 mV; abnormal -53 ±

1,8 mV. Pengukuran beda potensial nasal (termasuk respons terhadap

amiloride, cairan bebas Cl, dan isoproterenol) yang menunjukkan CFTR yang

tidak normal lebih dipercaya daripada uji keringat.

Pengobatan

Antibiotika. Terdiri dari 2 antibiotika diberikan secara parenteral selama 14-

21 hari, ditambah pembersihan saluran napas dan pemberian bronkodilator.

Antibiotika pilihannya adalah kombinasi penisilin semi sintetik atau sefalosporin

generasi III dan aminoglikosida. Antibiotika diberikan secara oral dan siprofloksasin

sering dipakai.

Bronkodilator. Β2-agonis dan anti-kolinergik memperbaiki ekspirasi, lebih

baik diberikan bersamaan. Diberikan juga pada keadaan eksaserbasi.

Steroid. Pada anak usia 1-2 tahun, diberikan prednisone dosis tinggi (3

mg/kgBB). Diberikan selama 12 minggu dapat memperbaiki faal paru. Tidak dapat

diberikan dalam jangka panjang karena efek samping seperti gangguan pertumbuhan

dan lain-lain.

Menurunkan kekentalan dahak. Recombinant human desoxyribonuclease I

(rhDNase I) yang dapat memakan DNA ekstraselulare menurunkan kekentalan

sputum secara in vitro.

Pengobatan gen. hasil uji klinisnya belum memuaskan.

Modulasi farmakologi dari transport ion. Amiloride bekerja menghambat

absorbsi Na, diberikan secara aerosol untuk mencapai apeks (kerja maksimal) dan

diberikan paling sedikit 4 kali sehari untuk mempertahankan konsentrasi efektif di

permukaan saluran napas apeks paru. Pemberian nucleotide triphospate (UTP =

Page 56: Laporan Modul 2 Blok Xiii

uridine triphospat dan ATP) merangsang sekresi Cl dengan mengaktifkan reseptor P2.

Pemberian amiloride pada selaput hidung yang diikuti peningkatan konsentrasi UTP

dan ATP akan menginduksi sekresi Cl dan meningkatkan beda potensial transepitel.

Fisioterapi. Membersihkan secret pada saluran napas dengan cara drainase

postural, perkusi dinding dada, latihan napas dan olahraga. Memerlukan waktu yang

lama dan tenaga yang terlatih.

BAB III

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Dikutip dari Buku Penatalaksanaan Asma Bronkhial, Diagnosis Asma; karangan

Samsu. Hal 22.

Page 57: Laporan Modul 2 Blok Xiii

Amin Z. dan Bahar A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed IV. Jakarta :

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Laboratorium Parasitologi. 2006. Diktat Parasitologi. Malang : FK Unibraw

Diktat Parasitologi FK Unmul.

Gandahusda S. 1998. Parasitologi Kedokteran ed III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Tjokroprawiro A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : FK Unair

dan RS Pendidikan Dr.Soetomo.

www.depkes.go.id

Robbins & Kumar. 2007. Patologi volume 1 edisi 7. Jakarta : EGC