Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

61
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Konsep pendidikan tersebut semakin terasa ketika seseorang harus masuk di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang. Pemikiran ini mengandung konsekuensi bahwa penyempurnaan atau perbaikan pendidikan formal (sekolah) untuk mengantisipasi kebutuhan dan tantangan masa depan perlu terus menerus dilakukan, diselaraskan dengan perkembangan kebutuhan dunia usaha, perkembangan dunia kerja serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 1

Transcript of Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Page 1: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang

dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan

pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan

budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat terus

menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.

Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah

pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik sehingga yang

bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang

dihadapinya. Konsep pendidikan tersebut semakin terasa ketika seseorang harus masuk

di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa

yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan

sehari-hari saat ini maupun yang akan datang.

Pemikiran ini mengandung konsekuensi bahwa penyempurnaan atau perbaikan

pendidikan formal (sekolah) untuk mengantisipasi kebutuhan dan tantangan masa depan

perlu terus menerus dilakukan, diselaraskan dengan perkembangan kebutuhan dunia

usaha, perkembangan dunia kerja serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal ini juga tidak terlepas dalam pendidikan dan pembelajaran matematika di sekolah.

Didalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai pembaharuan

kurikulum berbasis kompetensi dituangkan tujuan pembelajaran matematika adalah :

1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, 2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta coba-coba, 3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan 4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan (Puskur Balitbang Depdiknas : 2004 : 18).

Berdasarkan standar kompetensi yang termuat dalam kurikulum tingkat satuan

pendidikan (KTSP), aspek pemecahan masalah merupakan kemampuan yang harus

1

Page 2: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

dimiliki peserta didik sebagai standar yang harus dikembangkan. Pembelajaran di

sekolah harus dapat menyiapkan peserta didik untuk memiliki kemampuan komunikasi

matematis sebagai bekal untuk menghadapi tantangan perkembangan dan perubahan

zaman yang semakin pesat.

Seperti yang dipaparkan The National Council of Teachers of Mathematics

(NCTM), yaitu Princples and Standards for School Mathematics (dalam Zainab, 2011),

semua siswa harus mendapatkan kesempatan untuk mempelajari, mengapresiasi, dan

menerapkan skill-skill, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip matematika baik didalam

ataupun diluar sekolah. Standar NCTM sebagai  standar utama dalam pembelajaran

matematika yaitu komunikasi matematis (problem solving), kemampuan komunikasi

(communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran

(reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Kelima standar tersebut

mempunyai peranan penting dalam kurikulum matematika.

Menurut Van De Walle (dalam Zainab, 2011), belajar berkomunikasi dalam

matematika membantu perkembangan interaksi dan pengungkapan ide-ide di dalam

kelas karena siswa belajar dalam suasana yang aktif. Ketika siswa berpikir, menanggapi,

membahas, menulis, membaca, mendengarkan, dan menanyakan tentang konsep-konsep

matematika, mereka menuai manfaat ganda, mereka berkomunikasi untuk belajar

matematika, dan mereka belajar untuk berkomunikasi matematik.

Secara umum, matematika berfokus pada representasi dan komunikasi dalam

berbagai gagasan, ide, dan hubungan yang bersifat numerik, spesial, serta berkenaan

dengan data. Ada banyak aktivitas pembelajaran yang mendukung tema ini, seperti

siswa yang boleh menginterpretasikan ide, gagasan, ataupun pikiran-pikiran yang

konseptual yang mereka miliki sendiri ke dalam bentuk simbolik dan dapat diubah

ke dalam gambaran verbal dari situasi tersebut. Aktivitas lain bisa dengan menyelidiki

suatu masalah, menuliskan masalah, memberi keterangan (notasi) ataupun dugaan-

dugaan (hipotesis) untuk menjelaskan observasi-observasi dalam matematika. Peranan

komunikasi dalam matematika sangat besar, karena saat para siswa mengkomunikasikan

ide, gagasan ataupun konsep matematika, mereka belajar mengklarifikasi, memperhalus

dan menyatukan pemikiran.

2

Page 3: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Komunikasi matematika (Sinau, 2010), adalah kemampuan menyatakan atau

menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, tabel, dan grafik. Komunikasi

matematika merepleksikan pemahaman matematik dan merupakan bagian dari daya

matematik. Melalui komunikasi, ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai

perspektif, cara berfikir siswa dapat dipertajam, pertumbuhan pemahaman dapat diukur,

pemikiran siswa dapat dikonsolidasikan dan diorganisir, pengetahuan matematika dan

pengembangan masalah siswa dapat ditingkatkan, dan komunikasi matematika dapat

dibentuk. Sesuai dengan tingkatan atau jenjang pendidikan maka tingkat kemampuan

komunikasi matematika menjadi beragam. Komunikasi matematik sangat penting

karena matematika tidak hanya menjadi alat berfikir yang membantu siswa untuk

mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan menarik kesimpulan tetapi juga

sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, ide dan gagasan secara jelas, tepat  dan

singkat.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran matematika

dalam aspek komunikasi matematis siswa masih rendah. Trianto (2009) menyebutkan di

lain pihak secara empiris berdasarkan analisis penelitian terhadap rendahnya hasil

belajar peserta didik yang disebabkan dominannya proses pembelajaran konvensional.

Pola pengajaran terlalu banyak didominasi oleh guru, khususnya dalam transformasi

pengetahuan kepada anak didik. Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak

tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memposisikan diri sebagai sumber yang

mempunyai pengetahuan. Selain itu hambatan maupun kekurangan yang sering

didapatkan diantaranya kurang tepatnya guru dalam memilih strategi pembelajaran

dalam menyampaikan materi, dimana guru sering menggunakan strategi yang sama dan

tidak bervariasi. Hal ini mengakibatkan siswa merasa jenuh dan acuh pada pelajaran

matematika dan keinginannya untuk lebih mendalami matematika terbuang jauh

sehingga nantinya hasil belajar matematika siswa rendah.

Selanjutnya, Sanjaya (2008: 13) mengatakan bahwa salah satu masalah yang

dihadapi dunia pendidikan dalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses

pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir.

Proses pembelajaran di kelas masih diarahkan pada kemampuan anak untuk menghafal

informasi, otak anak dipaksa untuk memahami informasi yang diingatnya untuk

menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.

3

Page 4: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Sehingga dalam proses hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk

melakukan hal-hal secara lancar dan termotivasi. Suasana belajar yang diciptakan guru

harus melibatkan siswa secara aktif. Di sekolah, terutama guru diberikan kebebasan

untuk mengelola kelas yang meliputi strategi, pendekatan, metode, dan teknik

pembelajaran yang efektif, disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran,

karakteristik siswa, guru, dan sumber daya yang tersedia di sekolah.

Namun ada kecendrungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak

akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna

jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang

berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat

jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam

kehidupan jangka panjang.

Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan memahami apa

yang sedang diajarkan dan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang

berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga,

warga negara, siswa dan tenaga kerja. Sedangkan Permendiknas 22 Tahun (2006: 345)

mengatakan bahwa dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya

dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).

Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing

untuk menguasai konsep matematika.

Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan

situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota

keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih

bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan

siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Dalam pembelajaran kontekstual terdapat pembelajaran berbasis masalah.

Dimana dalam pembelajaran berbasis masalah tugas guru adalah membantu siswa

mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada

memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja

4

Page 5: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang

baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

berbasis masalah adalah salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa dan

guru hanya berperan sebagai fasilitator. Selain itu pembelajaran berbasis masalah juga

menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar

mandiri dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan

dna konsep yang esensi dari materi pelajaran. Masalah kontekstual yang diberikan

bertujuan untuk memotivasi siswa, membangkitkan gairah belajar siswa, belajar

terfokus pada penyelesaian masalah sehingga siswa tertarik untuk belajar, menemukan

konsep yang sesuai dengan materi pelajaran, dan dengan adanya interaksi berbagi ilmu

antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan lingkungan siswa,

selain itu siswa juga diajak untuk aktif dalam pembelajaran.

Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang

diharapkan mampu melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran matematika.

Penelitian yang dilakukan dengan judul “Peningkatan Kemampuan Komunikasi

matematis Siswa MAN 1 Medan melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi identifikasi masalah pada

penelitian ini sebagai berikut:

1. Kemampuan komunikasi matematis siswa belum sesuai dengan yang

diharapkan.

2. Pembelajaran yang diterapkan dikelas masih berpusat pada guru sehingga siswa

kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran.

3. Guru kurang mampu mengaktifkan peran siswa dalam pembelajaran

4. Pembelajaran berbasis masalah jarang diterapkan guru di kelas.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas, maka perlu

adanya pembatasan masalah agar penelitian lebih terfokus pada permasalahan yang

akan diteliti. Peneliti hanya meneliti kemampuan komunikasi matematis siswa dengan

pembelajaran berbasis masalah. Sub materi yang diajarkan adalah menyelesaikan model

matematika pada mater peluang. Tempat penelitian adalah MAN 1 Medan.

5

Page 6: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

1.4 Rumusan Masalah

Dari lakar belakang, identifikasi dan batasan masalah diatas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa dapat meningkat melalui

pembelajaran berbasis masalah?

2. Bagaimana proses jawaban komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan

menggunakan pembelajaran berbasis masalah?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, tujuan penelitian ini

adalah untuk:

1. Mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematis siswa dapat meningkat

melalui model pembelajaran berbasis masalah.

2. Mengetahui proses jawaban komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan

menggunakan pembelajaran berbasis masalah.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi siswa, untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

2. Bagi guru, dapat digunakan sebagai bahan masukan tentang suatu alternatif

pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa untuk meningkatkan

komunikasi matematis dalam model pembelajaran berbasis masalah.

3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan

dan bandingan dalam pengembangan penelitian selanjutnya terkait penerapan

paradigma baru pembelajaran disekolah.

4. Bagi sekolah dan lembaga pendidikan, hasil penelitian ini dapat digunakan

dalam mengambil kebijakan penerapan inovasi pembelajaran sebagai upaya

peningkatan kualitas pendidikan disekolah dan merupakan tambahan wawasan

yang dapat diterapkan pada pembelajaran matematika sehari-hari dikelas.

6

Page 7: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.1. Komunikasi Matematik

Komunikasi berasal dari kata “Communicare” (bahasa latin) yang artinya

memberitahukan. Sedangkan menurut bahasa inggris disebut Communication yang

artinya pertukaran informasi konsep, ide, perasaan antara dua atau lebih. Komunikasi

secara umum dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan suatu pesan dari

pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu, pendapat, atau perilaku baik

secara langsung maupun tidak langsung. Abdulhak (dalam Ansari, 2009) memaknai

komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima

pesan melalui saluran tertentu dan untuk tujuan tertentu.

Menurut Artmanda W. (dalam Zainab, 2011), dalam kamus lengkap Bahasa

Indonesia dan Kamus bahasa Indonesia online secara terminology, komunikasi berarti

pengiriman dan penerimaan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang

dimaksud dapat dipahami, hubungan, kontak. Komunikasi adalah cara untuk berbagi

(sharing) ide, gagasan dan mengklarifikasi pemahaman kepada sesama. Dalam ilmu

komunikasi dikenal tiga bentuk komunikasi yaitu komunikasi linier yang sering disebut

juga sebagai komunikasi satu arah (one-way communication), komunikasi relation dan

interaktif yang disebut dengan “Model Cybernetics”, dan komunikasi konvergen yang

bercirikan multi arah.

Terdapat perbedaan konsep antara ketiga bentuk komunikasi tersebut.

Komunikasi linier mengandung arti bahwa hubungan yang terjadi hanya satu arah,

karena penerima pesan hanya mendengar pesan dari pemberi pesan. Sementara itu pada

komunikasi relational terjadi interaksi antara pemberi dan penerima pesan, namun

sangat bergantung pada pengalaman. Pengalaman akan menentukan, apakah pesan yang

dikirimkan diterima oleh penerima sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pemberi

pesan. Apabila pengalaman atau pemahaman penerima pesan tidak mampu menjangkau

isi pesan, maka akan mempengaruhi hasil pesan yang diinginkan. Komunikasi

konvergen adalah komunikasi yang berlangsung secara multi arah, diantara penerima

menuju suatu fokus atau minat yang dipahami bersama yang berlangsung secara

dinamis dan berkembang kearah pemahaman kolektif dan berkesinambungan.

7

Page 8: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Komunikasi konvergen dalam pembelajaran ditujukan untuk meningkatkan

kualitas dan efektifitas pembelajaran. Perbedaannya dengan bentuk komunikasi

sebelumnya adalah pada komunikasi relasional, apabila siswa mendapat kesulitan

belajar, maka itu dikembalikan kepada guru. Tetapi pada pembelajaran yang

memanfaatkan konvergen, jika ada kesulitan atau masalah maka permasalahan

dipecahkan secara bersama-sama dilingkungan peserta belajar, sehingga melahirkan

saling pengertian diantara mereka dan permasalahan diharapkan dapat terselesaikan.

Kusumah (dalam Zainab, 2011),menyatakan bahwa komunikasi merupakan

bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Pentingnya komunikasi

matematik juga dikemukakan oleh Peressini dan Bassett (dalam Zainab, 2011), bahwa

tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan

fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Ini

berarti, komunikasi dapat membantu siswa dalam memahami dan mengeksplorasi

matematika ke dalam konsep dan proses matematika yang mereka pelajari. Selain itu,

Lindquist (dalam Zainab, 2011), mengemukakan jika kita sepakat bahwa matematika itu

merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasa terbaik dalam

komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi matematik merupakan esensi

dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Dari kedua pendapat ini, bahwa

komunikasi matematik merupakan alat bantu berupa bahasa yang sangat diperlukan dan

penting dalam proses pembelajaran, karena tanpa komunikasi matematik maka proses

pembelajaran tidak dapat terjadi.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan komunikasi matematik adalah

proses penyampaian suatu informasi dari satu orang ke orang lain sehingga mereka

mempunyai makna yang sama terhadap informasi tersebut. Melalui komunikasi ide

dapat dicerminkan, diperbaiki, didiskusikan, dan dikembangkan.

2.1.2. Kemampuan Komunikasi Matematik

Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan seorang guru kepada

siswa maupun siswa mendapatkannya sendiri melalui bacaan, maka saat itu sedang

terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan. Respon

yang diberikan komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi tadi.

Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah

8

Page 9: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang

sarat dengan istilah dan simbol. Karena itu kemampuan komunikasi dalam matematika

menjadi tuntutan khusus. Komunikasi dalam matematika juga berkaitan dengan

kemampuan dan keterampilan siswa dalam berkomunikasi.

Menurut Hiebert (dalam Sinau, 2010), setiap kali kita mengkomunikasikan

gagasan-gagasan matematika, kita harus menyajikan gagasan tersebut dengan suatu cara

tertentu. Ini merupakan hal yang sangat penting, sebab bila tidak demikian, komunikasi

tersebut tidak akan berlangsung efektif. Gagasan tersebut harus disesuaikan dengan

kemampuan orang yang kita ajak berkomunikasi. Kita harus mampu menyesuaikan

dengan sistem representasi yang mampu mereka gunakan. Tanpa itu, komunikasi hanya

akan berlangsung dari satu arah dan tidak mencapai sasaran.

Sulivan dan Mousley (dalam Marzuki, 2012) mengemukakan bahwa

kemampuan komunikasi matematik tidak hanya sekedar menyatakan ide tertulis tetapi

lebih luas lagi, yaitu merupakan bagian kemampuan siswa dalam hal menyatakan,

menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama. Selanjutnya,

Sumarno (dalam Marzuki, 2012) merincikan kemampuan yang tergolong pada

komunikasi matematik diantaranya adalah: menyatakan suatu situasi, gambar, diagram,

atau benda nyata kedalam bahasa, simbol, ide, atau model matematik, menjelaskan ide,

situasi dan relasi matematika secara lisan atau tulisan, mendengarkan, berdiskusi, dan

menulis tentang matematika, membaca dengan pemahaman suatu representasi

matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan

generalisasi, mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam

bahasa sendiri. Selanjutnya Greenes dan Schulman (dalam Anshari, 2009), mengatakan

bahwa :

“Kemampuan komunikasi matematika dapat terjadi ketika siswa (1) menyatakan ide matematika melalui ucapan, tulisan, demonstrasi, dan melukiskan secara visual dalam tipe yang berbeda, (2)memahami, menafsirkan, dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual, (3)mengkonstruk, menafsirkan dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan hubungannya”.

Oleh karenanya komunikasi matematika termasuk komunikasi yang bersifat

konvergen karena mengandung unsur kooperatif (cooperative learning). Ansari (2009)

menggambarkan pengertian komunikasi matematika secara garis besar terdiri dari

9

Page 10: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

komunikasi matematik lisan dan tulisan. Komunikasi matematik lisan dapat diartikan

sebagai suatu peristiwa saling interaksi (dialog) yang terjadi dalam suatu lingkungan

kelas atau kelompok kecil, dan terjadi pengalihan pesan berisi tentang materi matematik

yang sedang dipelajari baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa itu sendiri.

Sedangkan komunkasi matematik tulisan adalah kemampuan atau keterampilan siswa

dalam menggunakan kosa katanya, notasi, dan struktur matematik baik dalam bentuk

penalaran, koneksi, maupun problem solving. Jika dicermati pengertian ini, maka

komunikasi dalam matematika dapat diarikan sebagai suatu peristiwa saling

berhubungan atau dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana terjadi

pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang

dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di lingkungan kelas

adalah guru dan siswa. Sedangkan cara pengalihan pesan dapat dilakukan secara tertulis

maupun lisan.

Kemampuan komunikasi matematik dapat diartikan sebagai suatu kemampuan

siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau

saling hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan.

Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya

berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah. Pihak yang terlibat

dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas adalah pendidik dan siswa. Cara pengalihan

pesannya dapat secara lisan maupun tertulis.

Komunikasi merupakan cara berbagi gagasan dan mengklasifikasikan

pemahaman. Melalui komunikasi, gagasan menjadi objek-objek refleksi, penghalusan,

diskusi, dan perombakan. Proses komunikasi juga membantu membangun makna dan

kelenggangan untuk gagasan-gagasan serta juga menjadikan gagasan-gagasan itu

diketahui publik. Komunikasi matematik merefleksikan pemahaman matematik dan

merupakan bagian dari daya matematik. Siswa-siswa mempelajari matematika seakan-

akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang mereka sedang kerjakan. Mereka

dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, ketika mereka diminta untuk

memikirkan ide-ide mereka, atau berbicara dan mendengarkan siswa lain, dalam berbagi

ide, strategi dan solusi. Menulis mengenai matematika mendorong siswa untuk

merefleksikan pekerjaan mereka dan mengklarifikasi ide-ide untuk mereka sendiri.

10

Page 11: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Indikator komunikasi matematik menurut NCTM (dalam Fachrurazi, 2011)

dapat dilihat dari: (1)Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematik melalui lisan,

tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;

(2)Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematik

baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; (3)Kemampuan dalam

menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk

menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.

Menurut Sumarno (dalam Elfina, 2013), komunikasi matematis merupakan

kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk

berkomunikasi dalam bentuk :

a. Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika

b. Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, grafik,

dan aljabar

c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa dan simbol matematika

d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika

e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis

f. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi

g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Salah satu model komunikasi matematik yang dikembangkan adalah

komunikasi model Cai, Lane, dan Jacobsin (dalam Fachrurazi,2011) meliputi: (1)

Menulis matematik. Pada kemampuan ini siswa dituntut untuk dapat menuliskan

penjelasan dari jawaban permasalahannya secara matematik, masuk akal, jelas serta

tersusun secara logis dan sistematis. (2)Menggambar secara matematik. Pada

kemampuan ini, siswa dituntut untuk dapat melukiskan gambar, diagram, dan tabel

secara lengkap dan benar. (3)Ekspresi matematik. Pada kemampuan ini, siswa

diharapkan mampu untuk memodelkan permasalahan matematik secara benar,

kemudian melakukan perhitungan atau mendapatkan solusi secara lengkap dan benar.

Berdasarkan indikator di atas, maka penulis dapat mendefinisikan kemampuan

komunikasi matematik dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam

mengekspresikan dimana siswa dapat menyatakan ide-ide matematika mengunakan

simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau

11

Page 12: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

gagasan, dapat melukiskan atau menggambarkan dan membaca gambar, diagram, grafik

maupun tabel, serta pemahaman matematika dimana siswa dapat menjelaskan masalah

dengan memberikan argumen terhadap permasalahan matematika yang diberikan.

Tabel 2.1

Indikator Kemampuan Komunikasi Matematik

Aspek Indikator Kemampuan Komunikasi Matematik

Ekspresi

Matematika

Menyatakan ide-ide matematika menggunakan

simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis

sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan

Pemahaman

Matematika

Menjelaskan suatu masalah dengan memberikan

argumentasi terhadap permasalahan matematika

Menggambar

Matematika

Dapat melukiskan dan membaca gambar, diagram,

grafik maupun tabel

2.2 Model Pembelajaran Problem Based Learning (Problem Based Learning)

2.2.1 Pengertian PBL

Menurut Delisle (1997) Problem Based Learning merupakan suatu model

pengajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik. Masalah

autentik dapat diartikan sebagai suatu masalah yang sering ditemukan siswa dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan PBL siswa dilatih menyusun sendiri pengetahuannya,

mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, mandiri serta meningkatkan

kepercayaan diri. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat

membentuk makna dari bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya

dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan lagi. Problem Based

Learning dikenal dengan nama lain seperti pembelajaran proyek (Proyect-based

teaching),  pendidikan berdasarkan pengalaman (Experience - based education), 

pembelajaran autentik (Authentic Learning), dan pembelajaran berakar pada kehidupan

nyata (Anchored Instruction).

Dalam pengajaran berdasarkan masalah guru berperan sebagai panyaji,

mengadakan dialog, membantu dan memberikan fasilitas penyelidikan. Selain itu, guru

juga memberikan dorongan dan dukungan yang dapat meningkatkan pertumbuhan

intelektual siswa. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengajaran berdasarkan

12

Page 13: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

masalah adalah pemberian masalah kepada siswa yang berfungsi sebagai motivasi untuk

melakukan proses penyelidikan. Di sini guru mengajukan masalah, membimbing dan

memberikan petunjuk dalam memecahkan masalah.

2.2.2 Ciri-ciri PBL

Menurut Savin (2004) Pengajaran berdasarkan masalah memiliki karakteristik

sebagai berikut: 1. Pengajuan pertanyaan atau masalah (Pengajaran berdasarkan

masalah diawali dengan guru mengajukan pertanyaan dan masalah yang secara sosial

dianggap penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa). 2. Terintegrasi dengan

disiplin ilmu yang lain (Meskipun PBL berpusat pada mata pelajaran tertentu, masalah

yang akan diselidiki telah ditentukan secara pasti agar dalam pemecahannya siswa

meninjau dari banyak mata pelajaran). 3. Penyelidikan autentik (PBL menuntut siswa

melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah

nyata). 4. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya (PBL menuntut siswa

untuk menghasilkan produk yang mewakili bentuk pemecahan masalah yang mereka

temukan. Produk itu dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program

computer). 5. Kerjasama (PBL mempunyai ciri khusus yaitu siswa bekerja sama dalam

kelompok kecil. Adapun keuntungan bekerja sama dalam kelompok kecil di antaranya

siswa dapat saling memberikan motivasi dalam tugas-tugas kelompok dan dapat

mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir).

2.2.3 Kelebihan PBL

PBL memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan model pengajaran lainnya,

di antaranya sebagai berikut: a. Mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas,

b.Mendorong siswa melakukan pengamatan dan dialog dengan orang lain, c.Melibatkan

siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri. Hal ini memungkinkan siswa menjelaskan

dan membangun pemahamannya sendiri mengenai fenomena tersebut, d. Membantu

siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Bimbingan guru kepada siswa secara berulang-

ulang, mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari

penyelesaian masalah mereka sendiri. Dengan begitu siswa belajar menyelesaikan

tugas-tugas mereka secara mandiri dalam hidupnya kelak.

13

Page 14: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

2.2.4 Kekurangan PBL

Sama halnya dengan model pengajaran yang lain, PBL juga memiliki beberapa

kelemahan/hambatan dalam penerapannya. Kelemahan dari pelaksanaan PBL adalah

sebagai berikut: a. Kondisi kebanyakan sekolah tidak kondusif untuk pendekatan PBL.

Dalam pelaksanaannya, PBL memerlukan sarana dan prasarana yang tidak semua

sekolah memilikinya. Sebagai contoh, banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas

laboratorium cukup memadai untuk kelengkapan pelaksanaan PBL. b. Pelaksanaan PBL

memerlukan waktu yang cukup lama. Standar 40-50 menit untuk satu jam pelajaran

yang banyak dijumpai di berbagai sekolah tidak mencukupi standar waktu pelaksanaan

PBL yang melibatkan aktivitas siswa di luar sekolah. c. Model PBL tidak mencakup

semua informasi atau pengetahuan dasar. Siswa tidak dapat memperoleh pemahaman

materi secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena standar satu jam pelajaran di

sekolah yang tidak mencukupi untuk pelaksanaan PBL.

2.2.5 Sintaks Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 fase dan perilaku. Fase-fase dan

perilaku tersebut merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil

pembelajaran dengan pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat

diwujudkan.

Tabel 2.1 Sintaks Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Fase Aktivitas Guru Aktivitas SiswaFase 1. Orientasi siswa terhadap masalah autentik

Guru mrnyampaikan tujuan belajar, menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotivasi menggunakan kemampuannya memecahkan maslah.

Siswa mendengarkan tujuan belajar yang disampaikan oleh guru dan mempersiapkan logistik yang diperlukan.

Fase 2. Mengorganisasi siswa dalam belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang diangkat.

Siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang di angkat.

Fase 3. Membantu siswa secara individual atau kelompok dalam melaksanakan penelitian

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk memperoleh jawaban yang sesuai atas masalah.

Siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan berusaha menemukan jawaban atas masalah yang di angkat.

Fase 4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan

Siswa merencanakan dan menyiapkan karya, video,

14

Page 15: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

karya seperti laporan, video, model-model dan membantunya untuk menyampaikan kepada teman lain.

dan menyampaikannya pada teman lain.

Fase 5. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah.

Guru membantu siswa melakukan refleksi kegiatan penyelidikannya dan proses yang telah dilakukan

Siswa melakukan refleksi kegiatan penyelidikannya dan proses yang dilakukan.

2.3 Kerangka Konseptual

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari jenjang

pendidikan dasar hingga pendidikan menengah, selain sebagai sumber dari ilmu yang

lain juga merupakan sarana berpikir logis analisis, dan sistematis. Sebagai mata

pelajaran yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak, maka dalam penyajian materi

pelajaran matematika harus dapat disajikan lebih menarik sesuai dengan kondisi dan

keadaan siswa. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar dalam proses pembelajaran siswa

lebih aktif dan termotivasi untuk belajar. Untuk itulah perlu adanya model khusus yang

diterapkan oleh guru.

Akan tetapi pada kenyataannya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih

banyak guru matematika sekarang ini yang masih menganut paradigma transfer of

knowledge dalam hal mengambil keputusan di kelas, dimana interaksi dalam

pembelajaran hanya terjadi satu arah yaitu dari guru sebagai sumber informasi dan

siswa sebagai penerima informasi. Dalam hal ini siswa tidak diberikan banyak

kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di

kelas.

Untuk peningkatan komunikasi matematis siswa, hendaknya guru dapat memilih

dan menerapkan suatu pembelajaran yang efektif dengan memilih model pembelajaran

yang sesuai dalam menyampaikan materi pelajaran guna memperoleh hasil yang lebih

optimal.

2.3.1 Peningkatan Kemampuan Komunikasi matematis melalui Pembelajaran

Berbasis Masalah

Pendidikan matematika berkembang sejalan dengan perkembangan teori belajar,

teknologi dan tuntutan kehidupan sosial. Perubahan ini mulai dirasakan sejak tahun

1980-an di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan Inggris.

Perubahan ini ditandai dengan adanya restrukturisasi kurikulum termasuk juga

15

Page 16: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Indonesia. Faktor lain yang mempengaruhi pendidikan matematika ini adanya

kebutuhan penggunaan matematika dalam persaingan global. Kebanyakan lapangan

kerja dewasa ini menuntut keterampilan intelegensi dan kemampuan menganalisis serta

menginterpretasikan suatu masalah daripada menggunakan keterampilan prosedural dan

mekanistik. Dengan demikian siswa membutuhkan matematika untuk mampu

menyelesaikan suatu masalah dalam kehidupan nyata sebagai tantangan dalam dunia

kerja. Selain sebagai tantangan dalam dunia kerja, dengan pemecahan masalah siswa

menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisisnya dan

akhirnya meneliti hasilnya. Dengan demikian akan timbul kepuasan intelektual dari

dalam, potensi intelektual siswa meningkat dan siswa belajar bagaimana melakukan

penelusuran melalui penemuan.

Ada perbedaan mendasar antara mengerjakan soal latihan dengan menyelesaikan

masalah dalam matematika. Dalam mengerjakan soal-soal latihan, siswa hanya dituntut

untuk langsung memperoleh jawaban, misalkan menghitung seperti operasi

penjumlahan dan perkalian, menghitung nilai fungsi trigonometri, dan lain-lain.

Sedangkan yang dikatakan masalah dalam matematika adalah ketika seseorang siswa

tidak dapat langsung mencari solusinya, tetapi siswa perlu bernalar, menduga dan

memprediksi, mencari rumusan yang sederhana lalu membuktikannya.

Terampil untuk memahami permasalahan serta terampil untuk mencari solusi

dari permasalahan yang ada merupakan ciri dari seorang problem solver. Ini berarti

komunikasi matematis mutlak diperlukan dan harus ada dalam diri setiap pembelajar.

Hal ini sejalan dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang

menekankan pemecahan masalah sebagai tujuan yang mesti digapai oleh siswa sekolah

menengah. KTSP juga mengkehendaki agar setiap pembelajaran selalu diawali dengan

sebuah permasalahan yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Masalah dapat

dipandang sebagai pemicu belajar. Pembelajaran matematika yang dimulai dengan

masalah seperti ini semakin popular dengan adanya penelitian-penelitian yang

menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Dalam proses pembelajaran matematika, baik guru maupun siswa bersama-sama

menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini akan

mencapai hasil yang maksimal apabila pembelajaran berjalan secara efektif. Proses

pembelajaran matematika bukan hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada siswa,

16

Page 17: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

melainkan suatu proses yang dikondisikan atau diuapayakan oleh guru, sehingga siswa

aktif dengan berbagai cara untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri

pengetahuannya, serta terjadi interaksi dan negosiasi antara guru dengan siswa serta

antara siswa dengan siswa , sehingga siswa menemui kemudahan untuk mempelajari

sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.

Pengetahuan dan pemahaman guru mengenai model pembelajaran dan

pelaksanaannya di dalam kelas sangat penting sebagai salah satu upaya pemberian

pengalaman belajar dan pencapaian tujuan belajar siswa yang optimal. Siswa sebagai

subjek pembelajaran merupakan hal yang sangat wajar apabila mereka diaktifkan baik

secara fisik maupun secara mentalnya dalam mengolah dan mengeksplorasi suatu

konsep yang harus mereka kuasai untuk dapat dikembangkan atau diaplikasikan pada

masalah konsep yang lebih tinggi. Guru dituntut agar dapat menggunakan model-model

pembalajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran matematika.

Model pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah salah satu model yang

berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator. Pembelajaran berbasis masalah adalah

pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa

untuk belajar berpikir kritis dan terampil memecahkan masalah serta untuk memperoleh

pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis

masalah melatih siswa untuk menggali konsep awal yang telah dimiliki siswa

sebelumnya, menemukan dan menyusun konsep baru secara mandiri atau kelompok,

sekaligus melatih mereka untuk menghadapi tantangan hidup dengan percaya diri

dengan komunikasi matematis. Diawali dengan mengorientasikan siswa pada masalah,

model pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan kemampuan memahami masalah. Tahap selanjutnya

mengorganisasikan siswa belajar. Pada tahap ini memungkinkan terjadinya pertukaran

ide, gagasan melalui diskusi dalam kelompok kecil. Sedemikian hingga rencana-rencana

untuk menyelesaikan masalah akan dapat diungkapkan dengan terbuka. Tahap

selanjutnya yaitu membantu penyelidikan secara mandiri atau kelompok. Dalam hal ini

dukungan dari orang dewasa atau guru masih diperlukan terutama apabila ada siswa

yang mengalami kesulitan. Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja merupakan

tahapan keempat yang terdapat dalam model pembelajaran berbasis masalah. Pada tahap

ini siswa dilatih untuk terampil mengungkapkan ide dan gagasan yang dikembangkan

17

Page 18: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

dari rencana yang telah dibuat siswa. Terakhir, menganalisis dan mengevaluasi hasil

komunikasi matematis siswa. Hal ini memungkinkan siswa untuk memeriksa kembali,

serta merevisi kembali hasil kerja yang mungkin masih terdapat kekurangan ataupun

kesalahan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berkeyakinan bahwa kemampuan

komunikasi matematis dapat meningkat melalui pembelajaran berbasis masalah.

2.4 Penelitian yang Relevan

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat

meningkatkan hasil belajar siswa pada beberapa kemampuan matematik siswa,

diantaranya:

1. Siti Khayroiyah pada tahun 2012 yang menganalisis perbedaan kemampuan

pemecahan masalah dan penalaran matematika siswa dengan menggunakan

model pembelajaran berbasis masalah dan pembejaran biasa pada siswa SMP.

Adapun hasil yang diperoleh adalah:

Secara keseluruhan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran berbasis

masalah secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa dibandingkan dengan

pembelajaran biasa.

Kemampuan penalaran matematika siswa melalui pembelajaran berbasis

masalah lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran biasa

Respon siswa dengan pembelajaran berbasis masalah lebih positif.

2. Tomsa Marpaung tahun 2013 yang berjudul peningkatan pemahaman konsep

matematis dan sikap terhadap matematika siswa SMP dengan pembelajaran

berbasis masalah yang menemukan:

Secara keseluruhan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran berbasis

masalah secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan

pemahaman konsep matematika siswa dibandingkan dengan

pembelajaran biasa.

Siswa yang bersikap positif terhadap matematika mempunyai

kemampuan pemahaman matematis signifikan lebih baik dibandingkan

siswa yang bersikap negative terhadap matematika.

18

Page 19: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

3. Penelitian Asep Sugiharto terhadap siswa SMP untuk menemukan sebuah

alternatif pemecahan masalah dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran

guna meningkatkan prestasi belajar siswa. Hasil yang diperoleh adalah:

Respon siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan

CTL menunjukkan rata-rata78,8% setuju, 4,55% tidak setuju, 16,65%

tidak tahu.

Respon siswa terhadap soal-soal dalam pembelajaran dengan

pendekatankontekstual rata-rata 75% setuju, 9,93% tidak setuju, 15,07%

tidak tahu.

Beberapa kelemahan pelaksanaan pembelajaran kontekstual diantaranya

tidak semua mampu mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan

sebab hampir semua presentasi hanya ketua kelompoknya saja yang

mempresentasikan.

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka teoritis di atas, maka yang menjadi hipotesis penelitian

adalah : Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siwa MAN 1 Medan

melalui pembelajaran berbasis masalah.

19

Page 20: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen (eksperimen semu) karena pada

eksperimen semu suatu subjek perlakuan sudah terbentuk dimana tanpa menggunakan

kelompok kontrol atau dengan kata lain dilaksanakan pada subjek yang sama. Perlakuan

dalam penelitian ini adalh pembelajaran berbasis masalah dengan variabel yang diamati

kemampuan komunikasi matematis siswa.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di MAN 1 Medan yang beralamat di Jl. Williem

Iskandar no. 7 Medan pada semester ganjil kelas XI MAN 1 Medan Tahun Ajaran

2014/2015.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek/objek yang

mempunyai kulitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono 2009). Populasi pada penelitian ini adalah

semua siswa kelas XI MAN 1 MedanTahun Ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 9 kelas

dan berjumlah 280 orang siswa.

Sampel pada penelitian ini adalah siswa yang terdiri dari satu kelas yang mewakili

populasi. Sampel berada di kelas XI IPS 2 jumlah sampel yaitu 30 siswa. Kelompok

pembelajaran berbasis masalah dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil sebanyak lima

orang perkelompok. Anggota kelompoknya heterogen terdiri dari siswa laki-laki dan

perempuan. Teknik penentuan kelompok berdasarkan penentuan nomor urut.

3.4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada dasarnya merupakan segala suatu yang berbentuk apa

saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang

hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009).

Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :

20

Page 21: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

1. Variabel Bebas : Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

2. Variabel Terikat : Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa.

3.5. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah eksperimen kelompok tunggal, dimana hanya terdiri

dari satu kelompok yang diberikan pretest untuk mengetahui keadaan awalnya lalu

posttest setelah diberikan perlakuan.

X1 O X2

Keterangan:

X1 : Pre-test

X2 : Post Test

O : Pembelajaran Berbasis Masalah

(Sanjaya, 2014)

3.6. Definisi Operasional

1. Kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini adalah kemampuan

komunikasi secara tertulis yang dapat dilihat dari: (1) menyatakan masalah

kehidupan sehari-hari kedalam simbol atau bahasa matematis; (2)

menginterpretasikan gambar kedalam model matematika; (3) menuliskan

informasi dari pernyataan kedalam bahasa matematika.

2. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah model pembelajaran dengan

mengacu pada lima langkah pokok, yaitu : (1) Orientasi siswa pada masalah, (2)

Mengorganisir siswa untuk belajar, (3) Membimbing penyelidikan individual,

(4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan (5) Menganalisis dan

mengevaluasi proses pemecahan masalah.

3.7. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya

pencapaian tujuan penelitian. Langkah-langkah tersebut antara lain :

1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan yang dilakukan adalah :

a. Menentukan tempat dan jadwal penelitian.

b. Menetukan populasi dan sampel penelitian.

21

Page 22: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

c. Menyusun rencana pembelajaran.

d. Menyiapkan alat pengumpul data barupa pre test dan post test.

2. Tahap Pelaksanaan

Dalam penelitian ini tahap pelaksanaan dilakukan dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Mengadakan pre test.

b. Mengadakan pembelajaran berbasis masalah

c. Memberikan post test.

3. Tahap Akhir

Pada tahap akhir yang dilakukan adalah :

a. Mengumpulkan data kasar dari proses pelaksanaan.

b. Menghitung perbedaan antara hasil pre test dan post test.

c. Membuat laporan penelitian dan menarik kesimpulan.

3.8. Teknik Pengumpulan Data

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah tes kemampuan

komunikasi matematis dan proses penyelesaian jawaban siswa. Semua data dianalisis

untuk penarikan kesimpulan.

3.8.1. Tes Kemampuan Komunikasi matematis

Tes kemampuan komunikasi matematis masing-masing terdiri dari 2 soal bentuk

uraian diselesaikan dalam waktu 20 menit dan diperiksa berdasarkan pedoman

penskoran. Tes ini diberikan sebelum dan setelah perlakuan agar dapat melihat

peningkatan kemampuan komunikasi matematis. Pemilihan bentuk tes uraian ini

bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan komunikasi matematis. Pada Tabel 3.1

akan disajikan kisi-kisi tes kemampuan komunikasi matematis sebagai berikut :

Tabel 3.1. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Komunikasi matematis

Aspek Indikator Kemampuan Komunikasi Matematik No.Soal

Ekspresi Matematika

Menyatakan ide-ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan

1,2

Pemahaman Matematika

Menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika

1,2

Menggambar Matematika

Dapat melukiskan dan membaca gambar, diagram, grafik maupun tabel

1,2

22

Page 23: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Penilaian untuk jawaban kemampuan komunikasi matematis siswa disesuaikan

dengan keadaan soal dan hal-hal yang ditanyakan. Adapun pedoman penskoran

didasarkan pada pedoman penilaian rubric untuk kemampuan komunikasi matematis.

Tabel 3.2. Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi matematis

Aspek Komunikasi

Indikator Skor

Penjelasan Matematika

Tidak ada jawaban 0Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika tetapi tidak lengkap dan tidak benar

1

Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika dengan lengkap tetapi tidak benar

2

Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika dengan benar tetapi tidak lengkap

3

Dapat menjelaskan suatu masalah dengan memberikan argumentasi terhadap permasalahan matematika dengan lengkap dan benar

4

Menggambar matematika

Tidak ada jawaban 0Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel tetapi tidak lengkap dan tidak benar

1

Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel dengan lengkap tetapi tidak benar

2

Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel dengan benar tetapi tidak lengkap

3

Dapat melukiskan gambar, diagram, grafik, dan tabel dengan lengkap dan benar

4

Ekspresi Matematika

Tidak ada jawaban 0Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan tetapi tidak lengkap dan tidak benar

1

Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan dengan lengkap tetapi tidak benar

2

Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan dengan benar tetapi tidak lengkap

3

Dapat menyatakan ide matematika menggunakan simbol-simbol atau bahasa matematika secara tertulis sebagai representasi dari suatu ide atau gagasan dengan lengkap dan benar

4

23

Page 24: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

3.9. Teknik Analisis Data

3.9.1. Menghitung Rata-Rata Skor

Menentukan rata-rata hitung masing-masing variabel dengan rumus :

X=∑ X i

N (Sudjana, 2005)

Dimana :

X = skor rata-rata

∑ X i = jumlah skor

N = jumlah sampel

3.9.2. Menghitung Standard Deviasi

Standard deviasi dapat dicari dengan rumus :

S=√ N∑ X i2−(∑ X i)

2

N ( N−1 ) (Sudjana, 2005)

Selanjutnya menghitung varians dengan memangkat duakan standard deviasi.

3.9.3. Analisis Pengujian Hipotesis

Hipotesis yang akan di uji dirumuskan sebagai berikut :

H0 : μ0 = 58.56

Ha : μ0 > 58.56

Dimana :

H0 : Tidak terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah

Ha : Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan

dengan pembelajaran berbasis masalah

µ0 : Rata-rata nilai pretest komunikasi matematis siswa

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika

siswa, terlebih dahulu ditentukan nilai gainnya. Dalam menghitung gainnya digunakan

rumus berikut ini:

24

Page 25: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

g= skor post test−skor pretestskor maksimumidel−skor pre test

(Meltzer, 2002)

Selajutnya digunakan uji t untuk melihat apakah ada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa setelah diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah. Alternatif Pemilihan Uji adalah:

1. Jika jumlah data (n ≤ 30) maka digunakan rumus uji t yaitu :

t=M D

SED

Dimana:M D=¿ Rata-rata Selisih Score Sebelum dan sesuadh perlakuanSED=¿ standar Deviasi Selisih Score Sebelum dan sesuadh perlakuan

(Sudijono:2008)2. Jika jumlah data (n ≥ 30), maka digunakan rumus uji z yaitu :

Z=X−μ0

σ√n

Keterangan :

t,Z = luas daerah yang dicapai

n = banyak siswa pada kelas sampel

S,σ = simpangan baku nilai posttest dikurangi nilai pretest

X = rata-rata nilai posttest komunikasi matematis siswa

µ0 = rata-rata nilai pretest komunikasi matematis siswa

Kriteria pengujian adalah : terima H0 jika thitung < ttabel dan tolak H0 jika thitung ≥ ttabel

dengan dk = (n – 1) dengan peluang (1 – α) dan taraf nyata α = 0,05. Untuk uji Z dapat

dilihat dari tabel Z dengan Z(α).

3.9.4 Pola Jawaban Siswa

Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dianalisis dengan menggunakan

analisis deskriptif untuk melihat pola jawaban siswa. Tahapan analisis yang dilakukan

adalah:

Tahap 1. Informasi dari uraian jawaban siswa

a. Menelaah teori atau konsep penalaran dengan informasi yang ditemukan

b. Mencari dan menemukan konsep baru dari data yang terkumpul

c. Mencari penjelasan apakah konsep tersebut terjadi akibat pengetahuan prasyarat

yang dimiliki siswa.

Tahap 2. Membandingkan pola jawaban

25

Page 26: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tahap 1 dan tahap 2, variasi pola jawaban

siswa sebelum dan sesudah pembelajaran.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan apakah ada peningkatan kemampuan

komunikasi matematis siswa setelah diajarkan dengan menggunakan pembelajaran

berbasis masalah. Tujuan selanjutnya adalah menganalisis proses jawaban siswa dalam

menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematis

siswa pada materi peluang.

4.1.1. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu dimulai dari pelaksanaan

pretest, pelaksanaan pembelajaran, dan pelaksanaan posttest. Pelaksanaan penelitian ini

dilakukan pada semester ganjil di kelas XI MAN 1 Medan, dari tanggal 18 Setember

2014 sampai tanggal 26 September 2014. Dari seluruh kelas XI yang ada, dipilih 1 kelas

sehingga kelas yang terpilih pada kelas XI IPS-2.

4.1.2. Pelaksanaan Pretest

Pada pelaksanaan pretest di kelas XI IPS-2, pretest dilaksanakan dengan

memberikan soal yaitu soal komunikasi matematis, waktu yang diberikan 20 menit

untuk menyelesaikan soal. Adapun hasil pretest untuk komunikasi matematis yang

dikerjakan oleh siswa tersebut, terlampir pada Lampiran 10 halaman 95.

4.1.3. Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan komunikasi matematis melalui

pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan di kelas XI IPS-2 dengan jumlah subyek

penelitian sebanyak 30 orang.

Sebelum pembelajaran, terlebih dahulu dimulai dengan mengulang kembali

materi sebelumnya, menyampaikan informasi mengenai kegunaan materi yang akan

26

Page 27: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

digunakan dalam kehidupan sehari-hari, memberi motivasi melalui tanya jawab yang

berkaitan dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan pembentukan kelompok.

Dari 30 orang terbagi menjadi 6 kelompok, yang mana 6 kelompok terdiri 5 orang.

Selama berlangsungnya pelaksanaan riset mini yang dilakukan pada proses

pembelajaran berbasis masalah, dalam proses pembelajaran tersebut menggunakan

bahan ajar LAS yang telah disusun oleh peneliti. Dalam pelaksanaan riset tersebut tim

riset menemukan bahwa siswa-siswa sangat antusias dalam proses pembelajaran dengan

model pembelajaran berbasis masalah dan siswa menyenangi materi matematika

melalui pembelajaran berbasis masalah, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat

berbeda dengan buku yang dipakai sekarang dari segi isi. Dengan menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di

mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan pembelajaran yang

konvensional dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi

pembimbing dan narasumber.

Terdapat ciri-ciri belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung, yaitu:

1. Di kelas siswa dalam diskusi dengan teman satu kelompoknya dan mengajukan

pertanyaan dan gagasan;

2. Siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok belajar;

3. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

4. Bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan

gagasan dan siswa mau mendengarkan dan menerima gagasan orang lain;

Respon setiap siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung sangat baik, seperti:

1. Siswa senang belajar matematika karena belajar matematikanya dimana diberikan

suatu masalah dan belajar seperti ini siswa lebih mudah memahami matematika.

2. Siswa tidak merasa ragu untuk tampil di depan teman – temannya yang lain.

3. Siswa memahami masalah dan mau berpikir kritis, kreatif, dan produktif untuk

memecahkan masalah yang diberikan oleh guru.

4. Dalam proses pembelajaran juga ada siswa yang kurang respon.

Hasil jawaban LAS setelah presentase berlanjut:

1. Sebagian siswa kurang mampu membuat model matematika dari soal cerita yang

diberikan.

27

Page 28: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

2. Dari seluruh siswa, masih ada siswa yang tidak menyelesaikannya sehingga ada

point yang kosong.

3. Jawaban yang diselesaikan siswa sangat bervariasi

4. Siswa ada yang menjawab hanya dengan jawaban benar atau salah.

4.1.4. Pelaksanaan Posttes

Di kelas, posttest dilaksanakan dengan memberikan soal komunikasi matematis

selama 20 menit untuk 2 soal. Pada pelaksanaannya, posttest dilakukan siswa dengan

mengerjakan soal-soal komunikasi matematis. Adapun hasil posttest siswa untuk

komunikasi matematis tersebut, terlampir pada Lampiran 10 halaman 95.

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian

4.2.1. Hasil Analisis Data Pretest dan Posttest untuk Kemampuan Komunikasi

matematis pada Pembalajaran Berbasis Masalah

Sebagaimana telah disebutkan, subyek pada kelas eksperimen berjumlah 30 orang.

Berdasarkan hasil perolehan skor siswa terhadap komunikasi matematis.

Tabel 4.1 Rata- rata dan Simpangan Baku Skor Pretest

Kemampuan Komunikasi matematis

Kelas

Komunikasi matematis Matematik

Nilai

ideal

Nilai

terendah

Nilai

tertinggi

Jumlah

nilaiRerata S.B

Eksperimen 70 40 89 1757 58,56 12,21

Tabel di atas memperlihatkan secara umum bahwa perolehan skor pretest untuk

komunikasi matematis matematik mencapai rerata 58,56 dan mempunyai simpangan

baku sebesar 12,21. Hasil perhitungan skor pretest komunikasi matematis matematik,

dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 97.

Tabel 4.2 Rata - rata dan Simpangan Baku Skor Posttest

Kemampuan Komunikasi matematis

KelasKomunikasi matematis Matematik

Nilai ideal

Nilai terendah

Nilai tertinggi

Jumlah Nilai

Rerata S.B

Eksperime

n70 60 98

232177,36 9,42

28

Page 29: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Tabel di atas memperlihatkan secara umum bahwa perolehan skor posttest untuk

komunikasi matematis matematik pada kelas eksperimen mencapai rerata 77,36 dari dan

mempunyai simpangan baku sebesar 9,42. Sementara skor terendahnya adalah 60 dan

skor tertingginya 98. Hasil perhitungan skor posttest komunikasi matematis matematik,

dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 97.

Dari hasil perhitungan pretest dan posttest di atas dapat dilihat perbedaan rata-

rata pretest dan posttest. Secara ringkas nilai rata-rata siswa untuk pretest dan posttest

dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Peningkatan Komunikasi matematis

Matematika dari Skor Pretest ke Skor Posttest

KelasSkorIdeal

Pretest Posttest

Jumlah

nilaix̄ S.B

Jumlah

nilaix̄ S.B

Eksperimen 70 1757 58,56 12,21 2321 77,36 9,42

Secara deskriptif ada beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan kemampuan

komunikasi matematis yang dapat diungkap dari Tabel 4.3 di atas, yaitu :

a. Jumlah nilai posttest kemampuan komunikasi matematis (2321) lebih tinggi

dibandingkan dengan pretest komunikasi matematis (1757).

b. Rata-rata posttest kemampuan komunikasi matematis (77,36) lebih tinggi

dibandingkan dengan rata-rata pretest komunikasi matematis (58,56).

c. Selisih jumlah nilai posttest dan pretest adalah 564 dan selisih rata-rata posttest

dan pretest sebesar 18,8.

Untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa sebelum dan

sesudah diberikan perlakuan maka dilakukan analisis indeks gain ternormalisasi yang

terlihat pada table

Table 4.4 data hasil pretes dan postes

Pretes Postes Gain <g> Kategori

58.56 77.36 18.8 0.83 tinggi

Berdasarkan table diatas diketahui bahwa terdapat perubahan skor gain sebesar 0.83, hal

ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan skor rata-rata siswa sebelum dan sesudah

perlakuan sebesar 0,83 tergolong katagori tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan

29

Page 30: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

bahwa pembelajaran berbasis masalah lebih baik dalam meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis siswa.

4.2.2. Pengujian Hipotesis Kemampuan Komunikasi matematis

Setelah dihitung rata-rata posttest, pretest, dan selisih dari posttest dan pretest,

kemudian dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan statistik uji t. Dari

pengujian hipotesis kemampuan komunikasi matematis diperoleh thitung (6,67) > ttabel

(1,70) maka H0 ditolak dan Ha diterima. Data selengkapnya dapat di lihat pada Lampiran

12 halaman 99. Secara ringkas hasil pengujian hipotesis kemampuan komunikasi

matematis disajikan pada Tabel 4.4. berikut.

Tabel 4.4 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis

Kemampuan Komunikasi matematis

Rata-rata(Posttest –

Pretest)

Simpangan Baku

thitung ttabel H0

18,8 7,85 6,67 1,70 Ditolak

Dengan demikian dapat di peroleh bahwa kemampuan komunikasi matematis

siswa meningkat melalui pembelajaran berbasis masalah yang dapat dilihat dari Ha

diterima.

4.3. Analisis Komunikasi Matematis Siswa

Pada bagian ini dipaparkan analisis hasil proses penyelesaian masalah siswa

dalam menyelesaikan tes kemampuan komunikasi matematis. Analisis hasil proses

penyelesaian masalah matematika siswa dilihat dari tiga aspek komunikasi matematis

yang meliputi (1) siswa mengekspresikan matematis siswa berupa menyatakan ide-ide

mateamtika mengunakan symbol matematika (2) siswa mampu memahami matematika

berupa menjelaskan suatu masalah dengan memnerikan argumentasi terhadap

permasalahan marematika; (3) siswa mampu menggambar matematika berupa

melukiskan gambar, grafik ataupun table.

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, khusus aspek memeriksa kembali hasil

perhitungan masih terkendala. Hal ini disebabkan banyak siswa yang hanya menjawab

pertanyaan mengenai pemeriksaan kembali hasil perhitungan tapi tidak memberikan

alasan yang tepat. Bedasarkan hasil proses penyelesaian masalah siswa dalam

30

Page 31: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

menyelesaikan setiap soal kemampuan komunikasi matematis yang diberikan, tidak

semua siswa dapat mengatur proses berpikirnya untuk menyelesaikan masalah. Selain

itu juga dilihat bagaimana siswa belum memahami soal komunikasi matematis untuk

materi peluang. Untuk menuliskan hal yang diketahui dan ditanyakan pada soal, masih

terdapat siswa yang salah dalam menuliskannya. Hal ini terjadi karena siswa tidak

membaca soal secara teliti sehingga proses menjawab soal pemecahan masalah juga

menjadi salah. Beberapa proses penyelesaian jawaban siswa akan dianalisis secara

deskriptif sebagai berikut :

Soal Postest:

1. Jika Nizam memiliki 5 buah kemeja dan 4 buah celana, berapa pasangkah baju

kemeja dan celana yang mungkin dikenakan Nizam? Jelaskan!

(a)

(b)

31

Page 32: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

( c )

Pada jawaban siswa (a) , (b) menunjukkan bahwa siswa sudah menggunakan ekspresi

matematika dengan membuatkan symbol matematis terhadap kemeja dan celana, dan

juga mereka sudah menggambarkan matematikanya, akan tetapi penjelasan terhadap

pemahaman mereka belum secar terstruktur namun jawaban siswa sudah tepat, dan

jawaban siswa (c) lebih baik dari struktur pemahamannya dari pada siswa (a) dan (b).

2. Pak Fadli akan bepergian dari kota Sabang menuju kota Samarinda dengan

melakukan transit (pemberhentian sementara) di Jakarta dan Pontianak. Dari

Sabang ke Jakarta dapat dilalui dengan 3 jalur udara, dari Jakarta ke Pontianak 4

jalur udara dan dari Pontianak ke Samarinda 2 jalur udara. Jika Pak Fadli

kembali lagi ke Sabang setelah selesai urusan di Samarinda, maka ada berapa

keseluruhan jalur pergi dan pulangyang ditempuh oleh Pak Fadli? Jelaskan!

(a)

32

Page 33: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

(b)

©

Pada jawaban siswa (a) belum terlihat ekspresi matematika, menggambar matematika,

serta pemahaman matematika siswa belum terstruktur, (b) dan (c) ekspresi dan

menggambar matematika siswa sudah baik, namun dari segi pemahaman siswa belum

terstruktur.

Soal Pretest

1. Jalur penerbangan sebuah pesawat udara dari Bali ke Jakarta dapat melalui 3

jalur, dari Jakarta ke Medan dapat melalui 2 jalur, dan dari Medan ke London

melalui 4 Jalur. Berapa banyak jalur penerbangan yang dapat dipilih untuk

penerbangan-penerbangan berikut ini:

a. Dari Bali ke Medan Melalui Jakarta

b. Dari Jakarta ke London melalui Medan

c. Dari Bali ke London melalui Medan

33

Page 34: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

(a)

(b)

( c )

34

Page 35: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

Pada jawaban siswa (a) dan (c) siswa belum secara baik dalam penggunaan ekspresi,

pemahaman dan penggambaran matematika siswa, namun pada siswa (b) dari ekspresi,

pemahaman dan penggambaran matematika siswa sudah baik dan benar.

2. Sebuah organisasi terdiri atas 8 anggota putra dan 7 anggota putri. Akan dipilih

2 orang pengurus yang terdiri dari 1 orang anggota putra dan 1 orang anggota

putri. Berapa banyak kah cara untuk memilih susunan pengurus dalam

organisasi itu?

(a)

(b)

Pada jawaban siswa (a) ekspresi, pemahaman dan menggambarkan matematika siswa

sudah baik, namun pada siswa (b) hanya pemahaman matematika siswa yang baik.

35

Page 36: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka

selanjutnya akan diuraikan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa.

4.4.1 Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Hasil penelitian yang dianalisis menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi

matematis siswa meningkat setelah diajarkan dengan pembelajaran berbasis masalah.

Secara teoritis pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan dibandingkan

pembelajaran biasa. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah:

a. Penyajian masalah kontekstual

Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang diawali dengan

pemberian masalah kontekstual kepada siswa. Pemberian masalah kontekstual akan

merangsang siswa untuk aktif berpikir dalam menemukan pemecahan masalah sehingga

dapat mengkomunikasikannya. Dalam proses berpikir tersebut, siswa mampu

menghubungkan konsep-konsep matematika yang telah dipelajari dengan permasalahan

dalam kehidupan sehari-hari. Hasil berpikir siswa ini dituangkan kedalam ide-ide secara

lisan maupun tertulis dalam menyelesaikan masalah. Sehingga siswa terlatih

menggunakan penalarannya. Siswa bebas bertanya dan memberikan pendapat tanpa

batas yang diberikan dalam memecahkan masalah. Dengan demikian pembelajaran ini

dapat mengubah siswa untuk mampu mengenali dan menangani suatu permasalahan

dalam pembelajaran serta terlatih untuk mengkomunikasikan masalah matematis siswa.

b. Media Pembelajaran

Pada pembelajaran berbasis masalah media pembelajaran yang diberikan berupa

benda dalam kehidupan sehari-hari yaitu baju dan celana dari karton. Penggunaan alat

peraga akan mempermudah siswa memahami masalah dengan menggunakan

penalarannya dalam mencari penyelesaian masalah. Pemberian alat peraga juga akan

memberikan keberanian kepada siswa memberikan ide-ide penyelesaian masalah karena

menurut siswa ide tersebut sudah diuji cobakan pada alat peraga tersebut. Hal ini berarti

bahwa dengan media siswa akan termotivasi memberikan bukti atau penjelasan atas

jawaban permasalahan.

Sesuai dengan pendapat Sutikno (2007:19) bahwa salah satu cara yang

disarankan untuk menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar adalah menggunakan alat

36

Page 37: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

peraga yang baik sesuai dengan tujuan pembelajaran. Akhirnya pemberian alat peraga

membuat siswa berpartisipasi lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mereka juga

dapat mengungkapkan ide-ide mereka dengan lebih percaya diri.

c. Guru

Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai fasilitator,

mediator dan sekaligus partner dalam mendampingi siswa untuk mengkonstruksikan

pengetahuan. Pembelajaran juga harus dikembangkan berdasarkan pengetahuan tentang

bagaimana orang itu belajar (Nurhadi, dkk, 2003: 22).

Peran aktif guru dalam pembelajaran dimuai sejak mempersiapkan materi ajar

sampai mempersiapkan diri untuk menjawab berbagai jawaban atas banyaknya

kemungkinan pertanyaan yang muncul dan harus mampu memahami dan memberikan

keputusan ide-ide matematis yang dikemukakan oleh siswa. Selain itu, guru juga harus

kreatif dalam membuat permasalahan kontekstual serta alternatif penyelesaiannya.

Dengan peran guru ini, siswa akan diberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri untuk menemukan alternatif jawaban dari

masalah yang diberikan.

d. Siswa

Pada pemebalajaran berbasis masalah, siswa dibentuk dalam kelompok belajar

dan diberikan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang berisi masalah kontekstual. Siswa

dalam kelompok berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan pada LAS. Siswa

saling berdiskusi dan saling bertukar pendapat dalam tiap kelompok sehingga

menghasilkan ide-ide yang kreatif dalam penyelesaian masalah. Bekerja sama dalam

tim dapat mengevaluasi keberhasilan sendiri, merupakan iklim yang bagus dimana

semua anggota kelompok menginginkan keberhasilan kelompok (Sanjaya, 2006: 245).

Jika terjadi permasalahan dalam kelompok atau ada yang berbeda pendapat

sesama siswa dalam kelompok, maka mereka akan bertanya kepada guru sehingga akan

memberikan bimbingan kepada kelompok tersebut. Peran aktif siswa dalam kelompok

akan membuat kemampuan pemecahan masalah siswa semakin baik dan terlatih. Hal ini

juga didukung oleh pendapat Eggen (1996: 1) bahwa keefektifan pembelajaran terjadi

apabila siswa aktif terlibat dalam mengorganisasikan hubungan diantara informasi yang

diberikan.

37

Page 38: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

4.4.2 Variasi Jawaban Tes kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Berdasarkan variasi jawaban siswa, siswa sudah bisa memahami masalah

walaupun sebagian masih salah atau kurang lengkap dalam menuliskan ekspresi dari

matematika. Siswa terlihat masih kesulitan dalam menuliskan pemahaman mereka

terhadap masalah yang disajikan. Hal ini terlihat dari variasi jawaban siswa yang

menunjukkan siswa langsung menyelesaikan masalah tanpa menuliskan pemahaman

matematik ataupun menggambar matematik yang akan digunakan.

Meskipun demikian, rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa pada

peluang meningkat setelah penggunaan pembelajaran berbasis masalah dalam

pembelajaran yaitu sebesar 83%.

38

Page 39: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di peroleh kesimpulan yaitu : Secara statistik

dengan menggunakan uji-t disimpulkan bahwa kemampuan komuniksi matematis siswa

meningkat melalui pembelajaran berbasis masalah. Hal ini dapat dilihat dari

peningkatan nilai-nilai yang diperoleh siswa dari pretest dan posttest, jumlah nilai

keseluruhan (jumlah nilai pretest 1757 dan jumlah nilai posttest 2321), rata-rata nilai

siswa pada pretest dan posttest, dan pengujian hipotesis dimana thitung (13,11) > ttabel

(2,04).

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang dapat peneliti berikan adalah :

1. Kepada guru matematika dapat menggunakan pembelajaran berbasis

masalah sebagai salah satu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa dalam proses pembelajaran.

2. Kepada guru atau peneliti yang menggunakan pembelajaran berbasis

masalah sebaiknya lebih memperhatikan alokasi waktu yang ada agar

seluruh tahapan pembelajaran dapat dikerjakan dengan baik sehingga

peningkatan terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa lebih

optimal.

3. Agar pembelajaran berbasis masalah lebih efektif diterapkan pada

pembelajaran matematika, sebaiknya guru harus membuat perencanaan

mengajar yang baik dengan daya dukung sistem pembelajaran yang baik

meliputi LAS, RPP, media pembelajaran yang digunakan.

4. Kepada siswa disarankan untuk saling bekerjasama dalam diskusi kelompok

terutama untuk kemampuan komunikasi matematis terhadap materi yang

sedang dipelajari.

5. Kepada calon peneliti berikutnya agar mengadakan penelitian yang sama

dengan tingkatan kelas yang berbeda sehingga hasil penelitian dapat

berguna bagi kemajuan pendidikan khususnya pendidikan matematika.

39

Page 40: Laporan mini riset Pembelajaran Berbasis Masalah

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, Bansu., (2009), Komunikasi Matematika: Konsep dan Aplikasi, Pena, Banda Aceh.

Delisle, Robert., (1997), How to Use Problem Based Learning in The Classroom, ASCD, Virginia, USA

Elfina, H, (2013), Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Bamboo Dancing Terhadap Komunikasi Matematis Siswa Pada Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Kelas VIII SMPHarapan 2 Medan, Skripsi, FMIPA, Unimed, Medan.

Khayroiyah, Siti, (2012), Analisis Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penalaran Matematika Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Biasa Siswa SMP, Tesis, Unimed, Medan

Marpaung, Tomsa, (2013), Peningkatan Pemahaman Konsep Matematis dan Sikap Terhadap Matematika Siswa SMP dengan Pembelajaran Berbasis Masalah, Tesis, Unimed, Medan.

Marzuki, (2012), Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematika antara Siswa yang Diberi Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pembelajaran Langsung, Tesis, FMIPA, Unimed, Medan.

Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. Ames, Iowa: Department of Physics and Astronomy

Salin, Moggi and Claire Howell., 2004, Foundations of Problem Based Learning, Two Penn Plaza, New York

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Sanjaya, W., (2014), Penelitian Pendidikan Jenis, Metode, dan Prosedur, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Sinau, (2010), http://math-heyfun.blogspot.com (diakses September 2014).Sudjana, (2005), Metode Statistika,Tarsito, Bandung.

Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaive, Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung

Trianto, M.Pd, (2009), Mendisain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Zainab, (2011), http://mgmpmatoi.blogspot.com/2011/12/komunikasi-matematis-dalam-pembelajaran.html (diakses September 2014).

40