LAPORAN METODE SEISMIK

download LAPORAN  METODE SEISMIK

of 58

Transcript of LAPORAN METODE SEISMIK

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Metode seismik merupakan salah satu metode geofisika aktif yang memanfaatkan

    penjalaran gelombang berdasarkan sifat elastisitas mediumnya. Konsep dasar teknik seismik

    dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu apabila suatu sumber gelombang dibangkitkan di

    permukaan bumi. Akibat material bumi yang bersifat elastik maka gelombang seismik yang

    terjadi akan dijalarkan ke dalam bumi dalam berbagai arah. Pada bagian batas antar lapisan,

    gelombang ini sebagiannya dipantulkan dan sebagian lain dibiaskan untuk diteruskan ke

    permukaan bumi. Dipermukaan bumi gelombang tersebut akan diterima oleh serangkaian

    detektor (geophone) yang umumnya disusun membentuk garis lurus dengan sumber ledakan

    (profil line), selanjutnya dicatat/direkam oleh suatu alat seismogram. Dengan didapatkan

    waktu tempuh gelombang dan jarak antar geophone dan sumber ledakan, maka struktur

    lapisan geologi di bawah permukaan bumi dapat diperkirakan berdasarkan besar

    kecepatannya.

    Metode seismik ini terdiri dari seismik refraksi (bias) dan seismik refleksi (pantul).

    Seismik refraksi digunakan dalam pengukuran bentuk lapisan dibawah permukaan, perlapisan

    bawah permukaan diketahui berdasarkan cepat rambat gelombang seismik pada setiap

    lapisan. Metode ini dipergunakan untuk mendeteksi perlapisan dangkal, sehingga metode ini

    tidak dapat dipergunakan pada daerah dengan kondisi geologi yang kompleks. Untuk seismik

    refleksi untuk penentuan struktur lapisan bumi yang dalam sehingga metode seismik refleksi

    memberikan kontribusi yang besar dalam menentukan titik pemboran minyak dan gas bumi

    serta telah menunjukkan keberhasilannya dalam meningkatkan success ratio dalam penemuan

    migas.

    Mengingat kemampuannya yang baik untuk menggambarkan bidang batas perlapisan

    di bawah permukaan. Sebagai seorang mahasiswa geofisika tentunya menjadi suatu hal yang

    wajib untuk mempelajari metode seismik ini, dan untuk mendukung pembelajaran terhadap

    metode seismik, diyang dapat membantu mahasiswa dalam pemahaman metode seismik serta

    penerapannya di lapangan.

  • 1.2 Tujuan

    Adapun tujuan dari praktikum metode seismik ini adalah agar praktikan dapat:

    1. Memahami konsep dasar beserta prinsip dasar metode seismik

    2. Melakukan akuisisi data metode seismik refreksi maupun reflaksi dengan benar

    3. Menginterpretasikan data metode seismik refreksi maupun reflaksi

    1.3 Manfaat

    Adapun manfaat yang dapat diambil setelah melakukan praktikum metode seismik ini

    adalah mahasiswa geofisika universitas brawijaya dapat memahami konsep dasar dari mulai

    akuisisi, pengolahan serta interpretasi data metode seismik refraksi maupun reflaksi sebagai

    pengalaman langsung dilapangan

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Teori Dasar

    2.1.1 Gelombang Seismik

    Gelombang seismik merupakan gelombang elastik yang menjalar ke seluruh bagian

    dalam bumi dan melalui permukaan bumi akibat adanya lapisan batuan yang patah secara tiba

    -tiba atau adanya ledakan. Gelombang utama gempabumi terdiri dari dua tipe yaitu

    gelombang badan (body wave) dan gelombang permukaan (surface wave).

    Gelombang Badan (Body wave).

    Gelombang badan merupakan gelombang menjalar melalui bagian dalam bumi dan

    biasanya disebut free wave karena dapat menjalar ke segala arah di dalam bumi.

    Gelombang badan terdiri dari gelombang primer dan gelombang sekunder.

    Gelombang primer

    Gelombang primer Gelombang primer merupakan gelombang longitudinal

    atau gelombang kompresional, gerakan partikel sejajar dengan arah

    perambatannya.Sedangkan gelombang sekunder merupakan gelombang

    transversal atau gelombang shear, gerakan partikel terletak pada suatu bidang

    yang tegak lurus dengan arah penjalarannya.

    Gelombang kompresional disebut gelombang primer (P) karena

    kecepatannya paling tinggi antara gelombang lain dan tiba pertama

    kaligelombang atau getaran yang merambat di tubuh bumi dengan kecepatan

    antara 7-14 km/detik. Getaran ini berasal dari hiposentrum

    Gelombang Primer (P Wave) ini menjalar akibat adanya penekanan dan

    peregangan. Kalau dilihat di gambar terlihat bergetar menekan dan meregang.

    kalau anda menghadap ke kiri maka goyangan tersebut berarah kiri-kanan atau

    maju-mundur (tergantung dimana arah menghadapnya). Gelombang primer ini

    memiliki kecepatan rambat sekitar 8 km/detik. Gelombang inilah yg akan

    dirasakan lebih dahulu ketika gempa, karena dia akan datang lebih dulu dibanding

    penjalaran gelombang yang lain.

  • Gelombang sekunder

    Gelombang sekunder (gelombang transversal) adalah gelombang atau

    getaran yang merambat, seperti gelombang primer dengan kecepatan yang sudah

    berkurang,yakni 4-7 km/detik. Gelombang sekunder tidak dapat merambat

    melalui lapisan cair. gelombang shear disebut gelombang sekunder (S) karena

    tiba setelah gelombang P

    Gelombang Sekunder (S Wave) ini menjalar seperti gelombang air yang

    mengalun-alun. Menjalar naik-turun. Jadi gelombang ini melempar-lemparkan

    keatas kebawah ketika anda merasakan adanya gempa. Gelombang Sekunder ini

    memilki kecepatan penjalaran sekitar 4 Km/detik, tentunya akan dirasakan lebih

    lambat dari Gelombang Primer. Namun gelombang sekunder ini memiliki lebar

    goyangan (amplitudo) yg besar sehingga gelombang ini akan memilki kekuatan

    yg sangat besar dalam merontokkan bangunan, juga mengakibatkan longsoran

    tebing-tebing yang curam.

    Gelombang Permukaan (Surface wave).

    Gelombang permukaan merupakan gelombang elastic yang menjalar melalui

    permukaan bebas yang disebut sebagai Tide Waves. Gelombang permukaan terdiri dari :

    Gelombang Love

    Gelombang love merupakan gelombang yang menjalar di permukaan bumi

    yang karakteristiknya memiliki pergerakan yang mirip dengan gelombang S, yaitu

    arah pergerakan partikel medan yang dilewati arahnya tegak lurus terhadap arah

    perambatan gelombang. Yang membedakan adalah lokasi perambatan gelombang

    cinta terdapat di permukaan bumi. Dan getarannya secara lateral (mendatar)

    Gelombang Rayleigh

    Gelombang Rayleigh gelombang permukaan juga yang arah pergerakan

    partikelnya bergerak berputar di permukaan.

  • 2.1.2 Hukum Dasar

    Bentuk muka gelombang seismik untuk jarak yang jauh dari sumber dapat dianggap

    datar. Dengan demikian rambatan gelombang seismik dapat diperlakukan bagaikan sinar

    seismik. Berkas sinar seismik di dalam medium mematuhi pula hokum-hukum fisika pada

    sinar optic seperti hukum Snellius, hokum Huygens dan Azas Fermat, yang secara singkat

    dapat dikatakan sebagai berikut:

    a. Azas fermat

    sinar gelombang selalu melintas pada lintasan optik yang terpendek (garis lurus).

    b. Hukum Huygens

    setiap titik pada muka gelombang akan menjadi sumber gelombang baru

    c. Hukum Snellius

    1) Gelombang datang, gelombang pantul dan gelombang bias terletak pada

    satu bidang

    2) Sudut pantul sama dengan sudut datang

    3) Sinus sudut bias sama dengan sinus sudut datang kali perbandingan

    kecepatan medium pembias terhadap kecepatan medium yang dilalui

    gelombang datang.

    2.1.3 Asumsi Dasar

    Medium bawah permukaan bumi :

    a. Medium bumi dianggap berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang

    seismik dengan kecepatan berbeda.

    b. Makin bertambahnya kedalaman batuan lapisan bumi maka lapisannya makin padat.

    Penjalaran gelombang seismik :

    a. Panjang gelombang seismik jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan ketebalan

    lapisan bumi. Sehingga memungkinkan setiap lapisan bumi akan terdeteksi.

    b. Gelombang seismik dipandang sebagai sinar seismik yang memenuhi Hukum

    Snellius dan Prinsip Huygens.

    c. Kecepatan gelombang bertambah dengan bertambahnya kedalaman

  • d. Pada bidang batas antar lapisan, gelombang seismik menjalar dengan kecepatan

    gelombang pada lapisan bawahnya.

    2.2 Seismik Refraksi

    Bila gelombnag elastik yang menjalar dalam medium bumi menemui bidang batas

    perlapisan dengan elastisitas dan densitas yang berbeda, maka akan terjadi pemantulan dan

    pembiasan gelombang tersebut. Bila kasusnya adalah gelombang kompresi (gelombang P)

    maka terjadi empat gelombang yang berbeda yaitu, gelombang P-refleksi (PP1), gelombang

    S-refleksi (PS1), gelombang P-refraksi (PP), gelombang S-refraksi (PS). Dari hukum Snellius

    yang diterapkan pada kasus tersebut diperoleh :

    Gambar 1: Pemantulan dan pembiasan gelombang

    2.2.1 Pembiasan pada Bidang Batas Lapisan

    Perinsip utama metode refraksi adalah penerapan waktu tiba pertama gelombang baik

    langsung maupun gelombang refraksi. Mengingat kecepatan gelombang P lebih besar

    daripada gelombang S maka kita hanya memperhatikan gelombang P. Dengan demikian

    antara sudut datang dan sudut bias menjadi :

    Pada pembiasan kritis sudut r = 90 sehingga persamaan menjadi :

  • Hubungan ini dipakai untuk menjelaskan metode pembiasan dengan sudut datang

    kritis. Gambar 2 memperlihatkan gelombang dari sumber S menjalar pada medium V,

    dibiaskan kritis pada titik A sehingga menjalar pada bidang batas lapisan. Dengan memakai

    perinsip Huygens pada bidang batas lapisan, gelombang ini dibiaskan ke atas setiap titik

    pada bidang batas itu sehingga sampai ke detektor P1 yang ada di permukaan.

    Gambar 2: Pembiasan dengan sudut datang kritis

    Jadi gelombang yang dibiaskan di bidang batas yang datang pertama kali di titik P pada

    bidang batas diatasnya adalah gelombang yang dibiaskan dengan sudut datang kritis.

    2.2.2 Travel Time Gelombang Langsung, Bias dan Pantul

    Bila dibandingkan waktu tempuh gelombang langsung, bias dan pantul maka pada

    jarak relatif dekat TL < TB < TP, dengan TL, TB, dan T berturut-turut adalah waktuh tempuh

    gelombang langsung, bias dan pantul. Sedangkan pada jarak yang relatif jauh TB < TL < TP .

    Jelas bahwa gelombang pantul akan sampai di titik penerima dalam waktu yang paling lama.

    Gambar 2.3 : Hubungan jarak dan waktu tempuh gelombang langsung, bias dan pantul.

    2.2.3 Penjalaran Gelombang Pada Medium Dua Lapis Horizontal (Datar)

    Untuk menentukan kedalaman di bawah sumber gelombang dari medium dua lapis

    horizontal, dapat dilakukan pengukuran seperti pada Gambar berikut:

  • Gambar 4: lintasan penjalaran gelombang bias

    Pada titik A diadakan getaran sehingga timbul gelombang seismik yang menjalar ke arah

    penerima (geophone) di titik D. Dengan mengamati waktu tiba dapat dibuat grafik

    hubungan jarak dengan waktu tiba sebagaimana ditunjukkan pada Gambar dibawah:

    Gambar 5 Grafik hubungan jarak dan waktu tiba

    Berdasarkan grafik hubungan jarak dengan waktu tiba dapat ditentukan harga V1,V2, Ti, dan

    Xo. V1 adalah kecepatan gelombang seismik pada medium 1 sedang V adalah kecepatan

    gelombang seismik pada medium 2, T adalah waktu penggal (intercept time), dan Xo adalah

    jarak kritis. Untuk menentukan kedalaman di bawah sumber gelombang h, ditinjau terlebih

    dahulu tentang lintasan penjalaran gelombang bias waktu yang diperlukan untuk penjalaran

    dari lintasan A-B-C-D adalah T.

  • Dengan menggunakan persamaan pada hokum Snellius maka persamaan dapat

    disederhanakan menjadi:

    Kedalaman lapisan di bawah geophone dapat ditentukan dengan dua cara yaitu:

    1. Berdasarkan Waktu Penggal (intercept time) Ti

    Dari persamaan diatas, untuk X=0 maka besarnya T=Ti adalah

    Atau

    Nilai Ti dicari dari grafik hubungan antara waktu tiba dengan jarak.

    2. Berdasarkan Jarak Kritis X0

    Pada gambar 5, grafik T1 dan T2 berpotongan di titik (Xo, To). Di titik potong ini

    berlaku T1 = T2 = To dan X = Xo . Dengan demikian besarnya h adalah:

    Harga Xo ditentukan dari titik potong grafik T1 dan T2 dari data yang diperoleh.

    2.2.4 Penjalaran Gelombang Pada Medium Tiga Lapis Horizontal

    Penjalaran gelombang pada medium tiga lapis horizontal dapat dilihat pada Gambar 6

    sebagai berikut:

  • Gambar 6: Penjalaran gelombang seismik untuk medium tiga lapis horizontal

    Kecepatan penjalaran gelombang seismik masing-masing lapisan adalah h1 (lapisan

    1), dan h2 (lapisan 2). Gambar 7 adalah grafik hubungan jarak dengan waktu tempuh untuk

    medium tiga lapis horizontal. Waktu yang diperlukan untuk penjalaran gelombang adalah T,

    yang besarnya :

    Atau

  • Gambar 7 : Grafik hubungan jarak vs- waktu tiba untuk tiga lapis horizontal.

    Kedalaman lapisan kedua di bawah sumber dapat ditentukan dengan dua cara yaitu:

    1. Menggunakan Waktu Penggal (intercept time) Ti2 Untuk X=0, maka diperoleh harga T = Ti2 yang besarnya adalah :

    2. Menggunakan Jarak Kritis Xc2 Cara ini menggunakan titik potong antara grafik T2 dan T3. Kedua grafik T2 dan T3

    berpotongan di titik (XC2, TC2). T2 grafik hubungan antara waktu tiba dengan jarak untuk

    lapisan kedua. Sedangkan grafik T3 untuk lapisan ketiga.

    Sehingga lapisan ketiga adalah:

    Untuk sejumlah n refraktor datar, secara umum dapat waktu rambat gelombangnya

    sebagai :

    2.3 Seismik Refleksi

    2.3.1 Pengolahan data seismik

    Salah satu metoda geofisika yang sering digunakan dalam eksplorasi migas adalah

    metoda seismik refleksi. Ada tiga tahapan dalam eksplorasi pada metoda ini yaitu :

    a) Akuisisi, yaitu pengambilan data lapangan yang hasilnya berupa rekaman hasil

    respon dari gelombang seismik yang dikirim ke dalam bumi. Proses perekamannya

    dilakukan dipermukaan bumi.

    b) Pengolahan, yaitu pengolahan data dari lapangan dan hasilnya ditampilkan dalam

    bentuk penampang seismik yang siap diinterpretasi.

  • c) Interpretasi, yaitu menterjemahkan data seismik ke dalam bahasa geologi dengan

    menerapkan konsep konsep geologi.

    Pengolahan data seismik ini bertujuan menghasilkan penampang seismik yang

    mempunyai resolusi yang cukup tinggi untuk melihat zona target yang diinginkan, dan dapat

    menampilkan kondisi bawah permukaan yang sesuai dengan interpretasi kondisi geologi

    daerah tersebut. Tahapan utama dalam pengolahan data

    seismik refleksi (Yilmaz,1994), yaitu : Dekonvolusi, Stack dan Migrasi. Dekonvolusi

    membantu dalam memperbaiki resolusi temporal dengan cara mengkompresi wavelet. Stack

    merupakan hasil rekaman yang dilakukan dengan menggabungkan beberapa tras seismik dari

    rekaman yang berbeda. Penerapan migrasi bertujuan untuk mengembalikan reflektor pada

    posisi yang sebenarnya dan menghilangkan difraksi. Yilmaz (1994) juga menguraikan

    tentang urutan dasar pengolahan data seismik. Urutan tersebut adalah sebagai berikut :

    Pra-pengolahan (Preprocessing) Dekonvolusi Pemilahan menurut CMP Analisis Kecepatan Koreksi NMO Pengolahan Poststack Migrasi

    Pra-pengolahan data mengutamakan persiapan data yang akan diproses pada tahap

    selanjutnya. Persiapan ini misalnya mengubah data lapangan menjadi format yang sesuai

    dengan sistem atau perangkat lunak yang akan digunakan untuk pengolahan data tersebut.

    Pemindahan data geometri dari laporan lapangan menjadi data yang akan dibaca pada tahap

    selanjutnya. Tahap ini juga meliputi pengeditan tras seismik, misalnya muting dan kill trace.

    Dekonvolusi

    Dekonvolusi adalah sebuah proses yang berguna untuk memperbaiki resolusi

    temporal dari data seismik. Untuk memahami dekonvolusi, pertama perlu ditinjau suatu

    lapisan litologi di bawah permukaan. Bumi tersusun oleh lapisan batuan dengan litologi

    dan sifat fisik yang berbeda. Perbedaan impedansi lapisan batuan yang berdekatan

    menyebabkan adanya refleksi dan terekam sepanjang permukaan. Kebalikan dari sebuah

    proses konvolusi untuk memperoleh respon reflektivitas disebut dengan dekonvolusi.

    Persamaan untuk model konvolusi adalah sebagai berikut :

    x(t): rekaman seismik, w(t) : wavelet seismik e(t) : respon dari bumi, n (t) adalah noise

    dan * adalah konvolusi

    Pemilahan menurut CMP

    Setelah pengolahan diatas kemudian data diubah dari source receiver menjadi

    midpoint offset koordinat. Dalam tahapan ini sangat dibutuhkan informasi geometri di

  • lapangan. Istilah common depth point (CDP) juga digunakan untuk menggantikan CMP.

    CMP gather identik dengan CDP gather jika depth point berada pada bidang reflektor

    yang horizontal dan medium diatasnya merupakan lapisan yang horizontal.

    Analisis kecepatan

    Pada prinsipnya, masing - masing CMP mempunyai informasi kecepatan, tetapi

    dalam prakteknya dipilih CMP CMP tertentu setiap beberapa kilometer sepanjang panampang tersebut. Jika memungkinkan analisis ini seharusnya dipilih yang mempunyai

    hubungan dengan geologi daerah tersebut dan berusaha untuk menghindari daerah

    anomali kecepatan seperti bidang sesar. Proses migrasi akan sangat tergantung dari

    analiss kecepatan ini.

    Koreksi MNO

    Normal Moveout (NMO) bertujuan meluruskan suatu reflektor pada CMP gather

    untuk memperbaiki rasio S/N data yang distack. Dalam suatu limit, kecepatan bumi

    mendekati kecepatan konstan, persamaan NMO harus mendekati hasil yang nyata,

    Dimana to merupakan waktu zero-offset dan v adalah kecepatan pada mediannya.

    Normal Moveout (NMO) ini dapat menyebabkan terjadinya peregangan (stretching)

    yang menyebabkan terjadinya distorsi frekuensi. Karena itu sebelum dilakukan

    penjumlahan beberapa CMP gather (stack) perlu dilakukan penghapusan atau muting.

    Persamaan Normal Moveout (NMO) menurut Yilmaz, 1994 adalah :

    t(x) : waktu tempuh dari sumber reflektor dan reflektor penerima.

    t(0) : two-way time waktu tempuh vertikal dari

    permukaan reflektor.

    x = jarak antara sumber dan penerima

    V = kecepetan gelombang pada media

    Pengolahan Poststack

    Salah satu proses yang diterapkan pada tahap ini adalah Automatic Gain Control

    (AGC) yang berguna untuk memperkuat refleksi refleksi yang lemah. AGC ini juga dapat dilakukan setelah migrasi.

    Migrasi

  • Migrasi merupakan suatu proses yang memindahkan amplitudo seismik dari

    posisi rekaman ke posisi titik refleksi. Proses ini juga berguna untuk menghilangkan

    difraksi.

    2.3.2 Preserved Amplitude

    Pengolahan data untuk preserved amplitude Pada prinsipnya tidak jauh berbeda

    dengan pengolahan standar. Pada pengolahan ini dilakukan penambahan tahapan surface

    consistent amplitude dan surface consistent deconvolution. Surface consistent amplitude

    berguna untuk mengestimasi amplitudo relatif yang dipengaruhi oleh sumber, penerima, jarak

    bin, CDP dan channel pada suatu permukaan yang tetap.

    Amplitudo dari beberapa tras adalah sebuah kombinasi dari sejumlah faktor yang

    meliputi kekuatan tembakan, respon dan gabungan geophone, kualitas dari amplifier channel,

    jarak dari tras, densitas dan perbedaan kecepatan pada bidang reflektor dan juga noise.

    Energi adalah jumlah kuadrat amplitudo dari sebuah wavelet. Amplitudo tersebut dikalikan

    dengan sebuah konstanta dimana hal ini sering dihilangkan. Jika wavelet bt adalah :

    Dan energi adalah:

    dimana : E = energi

    b = amplitudo

    k = konstanta

    Untuk keperluan analisis, energi ini akan digunakan untuk melihat perbedaan antara

    pengolahan standar dengan pengolahan preserved amplitude. Rekaman seismik berasal dari

    sebuah konvolusi dari sinyal dan sumber dengan respon bumi. Respon bumi ini mencakup

    beberapa efek yang tidak diharapkan seperti reverberation, attenuation dan ghosting. Tujuan

    dari dekonvolusi adalah mengestimasi efek efek tersebut. Rumusan untuk surface

    consistent deconvolution sebagai berikut :

    Dimana:

    x(t) : seismogram

    Sij(t) : komponen gelombang yang berasosiasi

    dengan lokasi sumber j

    qi(t) : komponen gelombang yang berasosiasi

    dengan lokasi receiver

    h (t) : komponen gelombang yang berasosiasi

    dengan offset

    e(t) : respon bumi pada lokasi titik tengah

    sumber penerima (i+j)/2 n (t) : komponen noise

  • BAB III

    METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Tempat

    Praktikum metode seismik ini untuk seismik reflaksi digunakan data sekunder dari

    asisten sedangkan untuk sesimik refreksi dilaksanakan di belakang masjid Universitas

    brawijaya yang belum jadi pada bulan Desember 2014 dan untuk prosesing data dilaksanakan

    3 kali pertemuan.

    3.2 Peralatan

    Pada praktikum seismik refraksi digunakan beberapa peralatan sebagai berikut:

    1. OYO McSeis 3 model 1817 : 1 unit

    2. Geophone : 3 buah

    3. GPS : 1 unit

    4. Battery size AA : 4 buah

    5. Kamera digital : 2 unit

    6. Palu pemicu getaran : 1 buah

    7. Lempeng besi : 1 buah

    8. Peta geologi daerah riset : 1 lembar

    9. Meteran : 1 buah

    10. Peralatan menulis : 1 set

    3.3 Akuisisi Data

    3.3.1 Seismik Refraksi

    Akuisisi seismik refraksi ini digunakan 3 geophone dengan jarak antar geophone yaitu

    2 meter. Prngukuran dilakukan dengan bentang garis yaitu segaris antara sumber seismik

    dengan 3 geophonnya. Pengukuran juga dilakukan dengan dua konfigurasi yaitu forward dan

    reverse. Untuk forward, sumber seismik berada di depan geophone (off end spread)

    sedangkan reverse, sumber seismik berada di belakang geophone (end on spread).

    Sumber seismik yang digunakan yaitu dengan dentuman palu godam yang sudah

    disiapkan beserta lempengan besi. Parameter yang diukur dan dicatat adalah waktu tiba

    pertama gelombang seismik atau first break time yang terekam pada alat OYO McSeis 3.

  • Gambar 3.1: Alat OYO McSeis 3 beserta geophon

    Gambar 3.2: rangkaian alat saat pengambilan data seismik refraksi

    3.3.2 Seismik Refleksi

    Dikarenakan keterbatasan peralatan, waktu dan lain sebagainya, maka untuk praktikum

    seismik refleksi digunakan data sekunder. Oleh karena itu disisni penulis tidak menjelaskan

    akuisisi untuk seismik refleksi

    3.4 Pengolahan Data

    3.4.1 Seismik Refraksi

    Raw data pada akuisisi refraksi adalah berupa waktu tiba gelombang yang dibaca

    sebanyak tiga kali. Pengolahan data dilakukan menggunakan bantuan Ms Excel dengan cara

    merata-ratakan nilai pembacaan waktu tiba gelombang. Kemudian dibuat grafik hubungan

    antara waktu tiba gelombang dengan jarak geophone dari sumber. Dari grafik tesebut

    ditentuikan gradient-nya. Besarnya gradient sama dengan 1/V, sehingga kecepatan

    gelombang dapat ditentukan. Selanjutnya kedalaman medium dapat ditentukan dengan dua

  • cara, yaitu dengan menggunakan waktu penggal dan jarak kritis, namun pada laporan ini

    digunakan cara dengan jarak kritis.

    Setelah diketahui nilai kecepatan dan kedalaman tiap lapisan, selanjutnya dibuat

    model 2D-nya secara sederhana pada program paint untuk melihat bentuk perlapisan bawah

    permukaan.

    3.4.2 Seismik Refleksi

    Umumnya pengolahan data seismik refleksi dibagi menjadi 3 yaitu:

    1. Pre-processing

    Proses yang dilakukan pada tahapan pre-processing adalah meliputi:

    a) True Amplitude Recovery

    Tahapan ini diperlukan untuk memulihkan kembali besaran-besaran amplitudo

    karena kehilangan energi yang disebabkan oleh hal-hal tersebut di atas agar seolah-

    olah energi adalah sama pada setiap titik. Adapun proses pemulihan amplitudo ini

    adalah dengan cara mengaplikasikan nilai koreksi amplitudo konstan dengan nilai

    koreksi sebesar 1,6 dB/sec.

    b) Edit Trace

    Prinsip dari proses editing ini adalah membuang atau menghapus sinyal-sinyal

    yang tidak diinginkan (noise) dalam processing data seismik. Pada tahapan ini, ada

    dua buah proses editing yang dilakukan, yaitu proses killing trace, dimana pada proses

    ini dilakukan penghapusan trace-trace yang mengandung noise dalam bentuk 1

    dimensi saja (dimensi waktu).

    Proses yang kedua adalah muting, dimana pada proses ini dilakukan

    pembuangan sinyal-sinyal noise yang tidak diinginkan dalam bentuk 2 dimensi.

    Muting ini biasanya membuang sinyal-sinyal noise yang muncul sebelum first break

    time. Adapun jenis mute yang dipakai pada proyek ini adalah top mute.

    Selain itu, proses muting ini juga dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengecek

    (QC) hasil dari geometry assignment yang telah dilakukan sebelumnya. Apabila

    terjadi kesalahan dalam proses geometry assignment, maka hasil plotting dari nilai-

    nilai mute yang kita berikan akan tidak cocok dengan data. Hal ini terjadi dikarenakan

    bentangan yang terjadi di lapangan berbeda dengan pattern yang telah kita set

    sebelumnya pada geometry assignment. Jika terjadi kesalahan semacam ini, maka

    perlu dilakukan perbaikan ulang pada proses geometri assignment dengan nilai-nilai

    pattern yang benar.

    c) Filtering

    Pada prinsipnya, frekuensi sinyal seismik di lapangan mempunyai bandwith

    yang cukup lebar. Pada projek A5.43 ini bandwith frekuensi yang dihasilkan

  • mempunyai range frekuensi 1 250 Hz. Oleh karena itu, dari sekian range bandwith

    frekuensi yang dihasilkan tersebut, tidak semuanya merupakan data-data sinyal

    seismik, sebagian merupakan sinyal-sinyal noise. Untuk itu diperlukan suatu proses

    yang dapat memisahkan range frekuensi antara sinyal sesimik dengan sinyal noise

    yang biasa dikenal dengan proses Filtering. Band-pass filter adalah metoda yang

    mudah untuk menekan noise yang ada di luar spektrum frekuensi dari sinyal yang

    diinginkan.

    Adapun filter digital yang dipakai pada projek ini merupakan filter digital

    bandpas filter dengan range nilai frekuensi 8 10 40 50 (Hz). Nilai parameter ini

    didapat dari hasil try & error tes parameter di awal pengerjaan.

    d) Dekonvolusi

    Dekonvolusi dilakukan sepanjang sumbu waktu (time axis) yang bertujuan

    untuk meningkatkan resolusi temporal dengan mengkompresi wavelet seismik asal

    sampai mendekati bentuk spike dan meminimalkan reverberasi gelombang. Untuk

    itulah, maka pada awal pengerjaan dekonvolusi diperlukan suatu time gate dimana di

    dalam gate tersebut diusahakan tercakup nilai-nalai sinyal to noise rasio yang cukup

    baik agar dihasilkan operator dekonvolusi yang tepat. Biasanya nilai signal to noise

    rasio yang masih cukup baik terdapat antara first break time sampai beberapa

    milisecond di bawahnya, dimana amplitudo sinyal masih dapat terlihat cukup

    kuat. Adapun jenis dekonvolusi yang dipakai pada pengolahan data kali ini adalah

    tipe spike / predictive dekonvolusi, dimana konsep dari metode ini yaitu dengan

    menggunakan teori filter Wiener yang merupakan sebuah operasi matematik yang

    menganut azas kuadrat terkecil dalam menjalankan operasinya.

    e) Koreksi Statik

    Tujuan dari koreksi statik ini adalah untuk menghilangkan pengaruh topografi

    terhadap sinyal-sinyal seismik yang berasal dari reflektor. Pada flow ini dilakukan

    perhitungan koreksi statik berdasarkan metode refraksi statik. Sebelum menjalankan

    refraksi statik, user harus menjalankan subflow apply elevation statics terlebih dahulu

    untuk menghasilkan harga koreksi statik source dan receiver.

    Koreksi statik yang telah telah dihasilkan tersebut akan disimpan di dalam database

    source dan receiver sebagai koreksi statik ketinggian (elevation statics), yang

    diperlukan untuk perhitungan koreksi refraksi statik sisa (residual refraction statics).

    2. Processing

    Pemrosesan data seismik adalah untuk mengolah data hasil perekaman yang

    merupakan proses awal yang hanya membaca data produksi yang berada di dalam

    tape dari Labo. Data dari Labo tersebut kemudian diolah menggunakan data koordinat

    topografi, sehingga menghasilkan data berupa penampang melintang stack yang

    selanjutnya data ini akan diproses.

  • Data yang disimpan dalam disket berupa XPS (informasi nomor record, Shot

    Point, dan active channel), SEG (koordinat trace), SPS (informasi data mengenai

    uphole, waktu tembak, dan SP), RPS (informasi nomor trace dan koordinat), OBS

    (data seperti laporan), dan RAW (informasi mengenai kegiatan Labo).

    Tahapan awal dalam pemrosesan data adalah pengecekan terhadap data yang terekam

    dalam cartridge, disket, dan observer report. Setelah itu dilakukan proses geometri

    yaitu pemberian titik koordinat pada data tersebut. Kemudian dilakukan pengecekan

    terhadap posisi penembakan.

    Setelah data mengalami pengecekan dan sesuai dengan kondisi semestinya,

    dilakukan tahap preprocessing yaitu proses penyempurnaan data dengan cara true

    amplitudo recovery dan deconvolution. Tahapan selanjutnya dengan melakukan

    velocity analysis, NMO, dan terakhir proses brute satck. Penampang brute stack ini

    menampilkan model struktur lapisan bumi berdasarkan domain waktu.

    Ada beberapa contoh peranan topografi terhadap pengolahan data seismik antara lain:

    a) Kontrol Geometri

    Sebagai contoh pemrosesan data memerlukan koordinat berformat SEG untuk

    penentuan quality control geometri yang akan berpengaruh pada hasil stack

    (penjumlahan record dari tiap trace yang berada pada CDP yang sama).

    b) Koreksi statik

    Koreksi statik ini menggunakan elevasi yang diukur oleh topografi. Koreksi

    ini dilakukan untuk menyamakan datum dari receiver sehingga diperoleh arrival time

    yang terletak pada satu bidang horizontal yang sama.

    c) Plotting Final Stack

    Pada plotting final stack dibutuhkan data crossing line yang berfungsi untuk

    mengikat antara 2 line yang saling berpotongan. Lebih jauh lagi data crossing line ini

    dibutuhkan interpreter untuk menginterpretasi awal supaya interpreter dapat melihat

    penampang seismik baik itu secara inline maupun crossline secara tepat.

    Hasil akhir dari pemrosesan data adalah berupa hasil stack yang merupakan

    gambaran yang berada di bawah permukaan yang terekam oleh receiver dimana noise-

    noise yang ada sudah difilter, sehingga hasil final stack ini dapat diinterpretasi lebih lanjut

    oleh interpreter.

    3. Post-processing

    a) Koreksi Residual Statik

    Dalam flow ini akan dilakukan koreksi statik sisa, yang disebut residual statics

    correction. Input dari flow ini pada dasarnya adalah koreksi statik ketinggian dari

    source dan receiver yang telah dihasilkan sebelumnya dari subflow apply elevation

    statics di dalam flow refraction statics. Sebelum masuk ke residual statics, flow

  • pengolahan data seismik masuk dulu ke trace display, agar dapat dilakukan static

    horizon picking yang nantinya akan digunakan sebagai time gate pada pengaplikasian

    koreksi statik sisa tersebut. Static horizon picking dilakukan dengan membuat picks

    untuk satu ensemble traces pada suatu time, dimana pada time tersebut diperkirakan

    akan terdapat event seismik yang utama/dominan.

    Setelah dilakukan picking autostatic horizon, kemudian hasil dari koreksi

    residual static ini diaplikasikan kembali ke data preprocessing untuk di hitung ulang

    nilai kecepatannya melalui analisa kecepatan tahap 2. Sehingga, setelah melalui

    tahapan proses ini diharapkan data-data yang dihasilkan benar-benar sudah terkoreksi

    secara benar dan menghasilkan penampang seismik yang benar-benar

    merepresentasikan keadaan bawah permukaan bumi dengan tepat. Adapun tampilan

    dari hasil residual static serta analisa kecepatan ke-2 ini dapat ditampilkan / di-display

    ke dalam display Final Stack.

    b) Migrasi

    Untuk mengkoreksi letak titik refleksi pada posisi sebenarnya maka

    digunakanlah metode migrasi. Dalam flow ini akan dilakukan serangkaian tahap

    untuk mengaplikasikan proses migrasi pada data, sehingga akan dihasilkan dataset

    terakhir dari pengolahan data seismik ini berupa data yang telah dimigrasi (migrated

    data). Algoritma migrasi yang akan diaplikasikan dapat dipilih sendiri oleh user,

    disesuaikan dengan kebutuhan dan treatment dari data yang bersangkutan. Dalam

    panduan ini, metode yang akan digunakan untuk migrasi adalah dengan menerapkan

    postack time migration menggunakan finite difference time migration dengan max dip

    70 derajat. Pemilihan ini didasarkan pada hasil pemilihan atau try & error pemilihan

    parameter.

    Sampai dengan tahap ini telah selesai dilakukan serangkaian tahap dalam

    melakukan pengolahan data seismik postack time migration untuk tahap dasar, yaitu

    dari pembacaan raw data seismik sampai dengan dihasilkannya data postack yang

    telah di migrasi. Pada penampang postack hasil migrasi tersebut diatas, sangat terlihat

    adanya efek smile atau swing. Efek tersebut dapat disebabkan oleh adanya noise

    dominan yang belum dibersihkan secara optimal pada saat proses trace editing.

    Adanya hal tersebut sekaligus untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa kurang

    optimalnya (atau bahkan kesalahan) dalam pengolahan data seismik di suatu tahap

    (atau flow) akan sangat mempengaruhi hasil pengolahan dari tahap lainnya, hingga

    pada akhirnya kesalahan-kesalahan itu akan terakumulasi pada hasil akhir pengolahan

    data seismik, yang dalam konteks ini adalah penampang postack hasil migrasi.

    Sebagai tahapan akhir dari field processing, dilakukan suatu tahapan akhir berupa

    plotting, dimana plotting ini dilakukan sebagai alat untuk menampilkan hasil akhir

    data berupa penampang seismik dalam bentuk wiggle lengkap dengan attribut-atribut

    keterangan yang menyertainya.

  • BAB IV

    PEMBAHASAN

    4.1 Seismik Refraksi

    = Reverse

    = Forward

    Dari grafik yang telah di plot dari percobaan forward dan reverse didapatkan 3

    perlapisan dengan kecepatan rambat yang berbeda. Kecepatan gelombang merupakan nilai

    kebalikan dari gradient (gradient = 1/V), sementara ketebalan lapisan dapat diperoleh dari

    perhitungan menggunakan jarak kritis, dengan persamaan sebagai berikut:

    Dengan analisa kecepatan dari gradient grafik dan penentuan ketebalan menggunakan

    persamaan di atas, maka diperoleh nilai kecepatan dan kedalaman tiap lapisan seperti pada

    table berikut:

    0

    0,5

    1

    1,5

    2

    2,5

    3

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

    t (m

    s)

    X (meter)

    R

    f

  • Tabel hasil perhitungan kecepatan dan ketebalan

    Lapisan Forward Reverse

    Kecepatan (m/s) Ketebalan (m) Kecepatan (m/s) Ketebalan (m)

    1 6000 2,47 13330 2,2

    2 1140 0,68 3000 1719,16

    3 3330 - 8000 -

    Dari perhitungan diatas, dibuatlah perlapisan 2D sebagai berikut:

    Dari hasil perhitungan diatas terdapat ketimpangan dengan dasar teori. Bisa dilihat

    dari pemodelan diatas kecepatan nya semakin dalam lapisan semakin turun kecepatan

    rambatnya.

    Sedangkan dari pemodelan diatas terjadi ketimpangan akan kedalamannya yang

    sampai 1719,16 m. Padahal untuk seismik refraksi hanya untuk eksplorasi 40-50 meter saja.

    Keanehan yang terakhir adalah nilai kecepatan rambat gelombang yang sangat besar

    mencapai 8000 m/s. Jika dibandingkan dengan table kecepatan rambat gelombang, nilai

    kecepatan gelombang pada lapisan sedimen atau lapisan lapuk berkisar antara 1400-1800

    m/s, seperti yang ditunjukkan pada table di bawah.

  • Tabel Massa jenis dan kecepatan gelombang di lapisan sedimen

    Beberapa hal yang mungkin mempengaruhi hasil interpretasi seismik refraksi ini

    sehingga mengakibatkan ketimpangan adalah proses dan lokasi akuisisi yang tidak

    memungkinkan sehingga akuisisi data dilakukan seadanya. Hal ini mungkin menjadi salah

    satu faktor mengingat lokasi akuisisi yang curam dan dengan panjang line yang hanya 8

    meter. Selain itu, proses pengolahan data juga memberikan andil dalam kesalahan interpretasi

    ini, seperti kurang tepatnya parameter yang digunakan untuk menentukan gradient data pada

    grafik dan kurang sesuainya rumus perhitungan yang digunakan untuk menentukan

    ketebalanan lapisan.

    4.2 Seismik Refleksi

    4.2.1 Tahapan Pengolahan Data Seismik

    Beberapa tahapan yang biasa dilalui didalam pengolahan data seismik:

    1. Edit Geometri

    Data sebelumnya di-demultiplex dan mungkin di-resampel kemudian di-

    sorting didalam CDP (common depth point) atau CMP (common mid

    point). Informasi mengenai lokasi sumber dan penerima, jumlah penerima, jarak

    antara penerima dan jarak antara sumber di-entry didalam proses ini.

    2. Koreksi Statik

  • Koreksi statik dilakukan untuk mengkoreksi waktu tempuh gelombang

    seismik yang ter-delay akibat lapisan lapuk atau kolom air laut yang dalam.

    3. Automatic Gain Control (AGC)

    Kompensasi amplitudo gelombang seismik akibat adanya divergensi muka

    gelombang dan sifat attenuasi bumi.

    4. Dekonvolusi (Pre-Stack)

    Dekonvolusi dilakukan untuk meningkatkan resolusi vertikal (temporal) dan

    meminimalisir efek multiple.

    5. Analisis Kecepatan (Velocity Analysis) dan Koreksi NMO

    Analisis kecepatan melibatkan semblance, gather, dan kecepatan konstan

    stack. Informasi kecepatan dari velocity analysis digunakan untuk koreksi NMO

    (Normal Move Out)

    6. Pembobotan tras (Trace Weighting)

    Teknik ini dilakukan untuk meminimalisir multiple yang dilakukan dalam

    koridor CMP sebelum stacking. Proses ini menguatkan perbedaan moveout antara

    gelombang refleksi dengan multiplenya sehingga dapat mengurangi kontribusi

    multiple dalam output stack.

    7. Stack

    Penjumlahan tras-tras seismik dalam suatu CMP tertentu yang bertujuan untuk

    mengingkatkan rasio sinyal terhadap noise. Nilai amplitudo pada waktu tertentu

    dijumlahkan kemudian dibagi dengan akar jumlah tras.

    8. Post-Stack Deconvolution

    Dekonvolusi mungkin dilakukan setelah stacing yang ditujukan untuk

    mengurangi efek ringing atau multipel yang tersisa.

    9. Migrasi F-K (F-K Migration)

    Migrasi dilakukan untuk memindahkan energi difraksi ke titik asalnya. Atau

    lapisan yang sangat miring ke posisi aslinya. Mingrasi memerlukan informasi

    kecepatan yang mungkin memakai informasi kecepatan dari velocity analysis.

    Gambar dibawah menunjukkan karakter rekaman seismik sebelum dan sesudah

    migrasi.

    10. Data Output

  • 4.2.2 Pengolahan Data Seismik Menggunakan Seismic Unix

    Untuk mengolah data seismik reflaksi pada praktikum ini digunakan software Seismic

    Unix, berikut tahapan pengolahan data seismik reflaksi menggunakan software Seismic Unix

    yang diambil dari studi kasus pada literatur ensiklopedi seismik oleh Agus Abdullah:

    Tahap1:

    Ambil data seismik 2D dengan format segy

    Tahap2:

    Simpanlah file tersebut dalam folder tertentu, katakanlah processing, lalu ekstrak sehingga

    kita akan memperoleh beberapa file berikut: Line_001.sgy, Line_001.SPS, Line001.RPS,

    Line_001.XPS, dan Line_001.TXT. File dengan ektensi SPS dan RPS berisikan informasi

    sumber-penerima seperti indeks (nomor), koordinat, elevasi, statik, dll. File XPS berisikan

    informasi hubungan sumber-penerima (relational) dan TXT berisikan informasi tentang

    parameter survey. Berikut adalah isi dari Line_001.TXT:

  • Tahap 3:

    Untuk melakukan processing dengan Seismic Unix, terlebih dahulu kita melakukan konversi

    format data seismik dari segy ke su.

    segyread tape=Line_001.sgy verbose=1 endian=0 > Line_001.su

    Pada perintah di atas, saya mendefiniskan endian=0 karena saya menggunakan mesin little

    endian (Laptop/PC). Jika anda menggunakan workstation anda harus medefinisikan

    endian=1.

    Tahap 4:

    Analisa header data su dengan perintah

    surange < Line_001.su

    Sehingga diperoleh:

  • Dari informasi di atas terlihat bahwa data seismik ini memiliki jumlah trace 71284, ep adalah

    shot number dari 32 sampai 282 = 251 shots, serta indeks trace dalam setiap shot tracf dari -1

    sampai 282. Dengan kata lain jumlah trace dalam setiap shot adalah 284.

    Tahap 5:

    Untuk mengevaluasi data yang kita miliki lakukan peritah berikut:

    suwind < Line_001.su key=ep min=32 max=32 | suxwigb perc=80

    Perintah di atas, kita memilih data dengan suwind untuk shot ke 32, lalu ditampilkan sebagai

    wiggle dengan suxwigb dengan persentase amplitudo 80.

    Gambar di bawah ini adalah hasil dari perintah di atas, serta zoom in (kanan) dari trace-trace

    awal. Terlihat bahwa 2 trace pertama adalah data source signature yang didefinisikan dengan

    tracf=-1 dan tracf=0.

  • Lakukanlah proses ini untuk beberapa tempat dengan ep berbeda. Kesimpulan yang saya

    peroleh adalah semua shot memiliki 284 trace dengan 2 trace pertama sebagai source

    signature yang ditanamkan pada setiap shot record.

    Tahap 6:

    Pada tahapan ini, lalu menghilangkan (kill), trace vibroseis dengan key=tracf -1 dan 0. Dari

    surange, kita mengetahui bahwa rentang tracf dimulai dari -1,0,1,2,3...,282. Perintah berikut

    adalah cara untuk tidak melibatkan trace vibroseis yang tertanam pada shot gather.

    suwind < Line_001.su key=tracf min=1 max=282 > Line_001_kill_vibro.su

    Coba tampilkan dengan perintah berikut lalu zoom in dengan meng-klik left button, tahan dan

    geser untuk memastikan trace vibroseis telah hilang (untuk meng-unzoom, klik pada window

    xwigb).

    suwind < Line_001_kill_vibro.su key=ep min=32 max=32 | suxwigb perc=80

    Lalu jika ingin menampilkan shot 32 dalam bentuk image,

    suwind < Line_001_kill_vibro.su key=ep min=32 max=32 | suximage perc=80

  • Dari gambar di atas terlihat sebuah rekaman yang masih penuh dengan noise seperti ground

    roll, air blast, direct wave, coherent noise, trace yang tidak koheren (time shift), amplitudo

    yang tidak sama antara zona dangkal dan dalam (akibat geometrical spreading), dll.

    Tahap 7:

    Perintah berikut ini adalah cara untuk mengkompensasi penurunan amplitudo dengan AGC

    (Automatic Gain Control). Perlu diingat bahwa AGC merupakan operasi trace by trace, bisa

    digunakan hanya untuk interpretasi bukan untuk analisis AVO. Untuk analisis AVO

    sebaiknya digunakan dB/sec gain setelah koreksi NMO.

    sugain < Line_001_kill_vibro.su agc=1 wagc=0.2 > Line_001_kill_vibro_agc.su

    Tampilkan:

    suwind < Line_001_kill_vibro_agc.su key=ep min=32 max=32 | suximage perc=80

  • Gambar di atas adalah shot gather AGC

    Tahap 8:

    Sebagaimana yang kita perhatikan pada tahapan sebelumnya, shot gather yang kita miliki

    masih mengandung berbagai macam noise, diantara noise yang paling dominan adalah

    ground roll.

    Untuk mengeliminasi ground roll, pada tahapan ini kita akan melakukan F-K filtering.

    Dimana F-K merupakan spectrum frekuensi (F) terhadap bilangan gelombang (K). Fungsi

    Seismic Unix untuk melakuan F-K filtering adalah sudipfilt.

    Sebelum melakukan F-K filtering, data yang kita miliki harus memiliki sampling spatial (d2)

    yang pada hakikatnya merupakan jarak antara trace atau geophone interval (dalam hal ini 25

    meter atau 0.025km).

    sushw < Line_001_kill_vibro_agc.su key=d2 a=0.025 > Line_001_kill_vibro_agc_d2.su

    Setelah memasukkan d2 terhadap trace header (perintah di atas), marilah kita melakukan test

    dengan memilih shot gather 32 (ep=32).

    suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2.su key=ep min=32 max=32 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_shot32.su

    Didalam terminal ketiklah gedit & lalu copy-paste dan save kode berikut lalu berilah

    nama testfk

  • #!/bin/sh slopes=-0.5,-0.3,0.3,0.5 amps=1,1,1,1 bias=0.0 dx=0.025 dt=0.002 sudipfilt < Line_001_kill_vibro_agc_d2_shot32.su dt=$dt dx=$dx \ slopes=$slopes amps=$amps bias=$bias | suximage title="slope=$slopes amps=$amps bias=$bias" \

    windowtitle="Shot 32" \ label1="Samples" label2="Trace" f1=1 d1=1 f2=1 d2=1 perc=80& sudipfilt < Line_001_kill_vibro_agc_d2_shot32.su dt=$dt dx=$dx \ slopes=$slopes amps=$amps bias=$bias | suspecfk | suximage title="F-K Spectrum of Shot 32" \ windowtitle="F-K" label1="Frequency" label2="K" legend=1 cmap=hsv1 perc=97&

    Lalu ketik pada terminal linux sh testfk. Maka anda akan memperoleh gambar seperti di

    bawah ini. Data seismik sebelum F-K filter (kiri) dan Spektrum F-K (kanan). Klik untuk memperbesar gambar.

    Parameter utama dari operasi F-K filtering adalah slopes, amps, bias. Slopes adalah

    kemiringan dari F-K spectrum, amps=1,1,1,1 (tidak melakukan filter), amps=1,0,0,1 (reject

    filter), amps=0,1,1,0 (pass filter). dx adalah geophone interval dalam km dan dt adalah time

    sampling interval dalam detik. Sedangkan bias adalah parameter aliasing. Bias=0 artinya data

    yang kita miliki tidak memiliki aliasing. Coba anda lakukan test jika bias=0,25 lalu lihat

    perbedaannya. Gambar dibawah ini adalah hasil nya:

    slopes=-0.5,-0.3,0.3,0.5, amps=0,1,1,0, bias=0.0, dx=0.025, dt=0.002

  • Bandingkan shot gather diatas (setelah F-K) dengan shot gather sebelumnya (sebelum F-K),

    perhatikan ground roll yang sudah mulai tereliminasi

    Gambar dibawah ini adalah jika dipilih amps=1,0,0,1 (reject filter). Kita melihat bahwa inilah

    noise yang kita kehendaki untuk di-reject.

    Untuk analisa F-K, anda bisa melakukan test dengan berbagai macam slopes katakanlah

    slopes=-1,-0.5,0.5,1. Lihat hasilnya, lalu anda putuskan mana yang paling baik. Lakukanlah

    untuk beberapa lokasi ep, jika sudah memperoleh hasil yang terbaik dengan parameter

    tertentu, maka anda bisa melakukan F-K filter untuk seluruh shot gather yang kita miliki

    dengan mengetikkan kode berikut (buat satu baris).

    sudipfilt < Line_001_kill_vibro_agc_d2.su dt=0.002 dx=0.025 slopes=-0.5,-0.3,0.3,0.5 amps=0,1,1,0

    bias=0 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk.su

    Tahap 9:

  • Setelah kita melakukan eliminasi groundroll dengan F-K filtering, pada tahapan ini kita akan

    melakukan eliminasi noise-noise yang lainnya dengan menggunakan bandpass filter (sufilter).

    Didalam bandpass filter terdapat empat parameter frekuensi yang harus kita tentukan f1,f2,f3

    dan f4. Pemilihan rentang frekuensi yang akan diloloskan merupakan hal yang sangat krusial,

    jangan sampai proses ini menghilangkan data reflektor yang anda miliki. Untuk menghindari

    hal ini anda harus memperhatikan spektrum frekuensi serta rekaman reflektor yang dilihat

    pada shot gather.

    Didalam terminal linux, ketiklah gedit & lalu copy, paste dan save kode berikut lalu beri

    nama filter

    #!/bin/sh #memilih shot dengan ep=80 suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk.su key=ep min=80 max=80 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80.su

    #menampilkan shot dengan ep=80 suximage < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80.su perc=80 & #memilih shot dengan ep=80 dan tracf 100-105 suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80.su key=tracf min=100 max=105 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80_tracf100_105.su #spectrum untuk shot dengan ep=80 dengan tracf 100-105 suspecfx < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80_tracf100_105.su | suxwigb &

    #melakukan filter untuk shot dengan ep=80 sufilter < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80.su f=10,15,50,60 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80_flt.su #menampilkan shot yang telah difilter suximage < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80_flt.su perc=80 & #memilih shot yang telah difilter dengan tracf 100-105 suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80_flt.su key=tracf min=100 max=105 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80_flt_tracf100_105.su #spectrum untuk shot dengan ep=80 dengan tracf 100-105 setelah filter

    suspecfx < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_ep80_flt_tracf100_105.su | suxwigb &

    Lalu ketik sh filter sehingga kita memperoleh gambar berikut:

  • Gambar di atas adalah shot gather dengan ep=80 (kiri) serta spektrum frekuensi untuk shot

    gather tersebut dengan tracf ke 100 sampai 105 (kanan). Perhatikan noise yang terdapat pada

    data, serta rentang frekuensi yang masih full bandwidth dari 8 sampai 100Hz (sumbu vertikal

    pada gambar sebelah kanan adalah frekuensi dalam Hz). Alasan dipilih tracf ke 100 sampai

    105 karena trace tersebut adalah mid offset, dari surange pada tahapan-tahapan sebelumnya

    kita mengetahui bahwa tracf yang kita miliki dimulai dari 1 s/d 282.

    Gambar di bawah ini adalah hasil setelah difilter dengan bandpass filter 10,15,50,60Hz, yang

    berarti saya hanya meloloskan frekuensi dari 10 sampai 60Hz. Anda mungkin berargumen

    bahwa pemilihan cut off frekuensi 10Hz sangat membahayakan data seismik yang kita miliki,

    akan tetapi alasannya bahwa untuk kasus data ini, walaupun cut off 10Hz, reflektor yang saya

    miliki masih bisa terselamatkan (lihat shot gather). Tentu saja sebelumnya dilakukan test

    dengan berbagai kombinasi frekuensi dari mulai 3,6,50,60Hz, 4,8,50,60Hz, 5,10,50,60Hz dan

    seterusnya.

    Lakukanlah proses di atas untuk beberapa lokasi ep, jika anda sudah memperoleh hasil yang

    paling baik, maka anda dapat menerapkannya untuk seluruh data yang kita miliki dengan

    perintah sbb:

    sufilter < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk.su f=10,15,50,60 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt.su

    Tahap 10:

    Pada tahapan ini kita akan menerapkan proses deconvolusi yang bertujuan untuk

    meningkatkan resolusi temporal dari reflektor serta menekan multiple. Namun sebelum

    melakukan deconvolusi, saya akan menerapkan autocorrelation terlebih dahulu yang sangat

    membantu mempelajari perilaku multiple. Kode di bawah ini adalah kode untuk melakukan

    test autocorrelation dan deconvolusi. Parameter utama yang harus kita perhatikan adalah

    minlag dan maxlag, sedangkan ntout adalah jumlah sampel hasil autocorrelasi yang akan

    dihasilkan. Anda bisa melakukan test dengan pnoise yang berbeda.

    Pada terminal linux ketik gedit, copy paste kode berikut lalu save dengan nama decon

  • #!/bin/sh minlag=0.02 maxlag=0.1 pnoise=0.001 ntout=120

    #memilih data dengan ep=150 suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt.su key=ep min=150 max=150 > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_ep150.su #menampilkan data dengan ep=180 suximage < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_ep150.su perc=80 & #melakukan autocorrelation dan menampilkan autocorrelation-nya suacor < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_ep150.su suacor ntout=$ntout | suximage perc=80 & #melakukan deconvolusi

    supef < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_ep150.su > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_ep150_decon.su minlag=$minlag maxlag=$maxlag pnoise=$pnoise #menampilkan hasil deconvolusi suximage < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_ep150_decon.su perc=80 & #melakukan autocorrelation dari data yang telah di-deconvolusi suacor < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_ep150_decon.su suacor ntout=$ntout | suximage perc=80 &

    Lalu pada terminal linux ketik sh decon. Gambar dibawah ini adalah gather sebelum

    deconvolusi (kiri) serta autocorrelation (kanan)

    Untuk menentukan minlag dan maxlag, lihatlah penampang autocorrelation. minlag dihitung

    dari peak amplitude sampai zero crosing yang kedua. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

    peak amplitude data ini adalah sekitar 0.12s dan zero crossing yang kedua sekitar 0.14s,

    dengan demikian minlag=0.14-0.12=0.02, sedangkan maxlag 0.1 dipilih karena reverberasi

    masih terulang sampai sekitar 0.22s. sehingga maxlag=0.22-0.12=0.1s.

    Gambar di bawah ini adalah hasil deconvolusi serta autocorrelation-nya. Perhatikan bentuk

    wavelet setelah deconvolusi yang lebih ramping (meningkat resolusi temporal), serta

    reverberasi yang sudah tereliminasi. Hal ini bisa kita lihat baik pada shot gather walaupun

    pada autocorrelation.

  • Setelah anda puas dengan hasil test, maka terapkanlah deconvolusi untuk seluruh data,

    dengan perintah sbb (satu baris):

    supef < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt.su > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon.su

    minlag=0.02 maxlag=0.1 pnoise=0.001

    Tahap 11:

    Pada tahapan ini, saya akan menunjukkan bagaimana caranya melakukan edit geometry. Edit

    geometry sangat penting dilakukan karena bermanfaat untuk sorting dari shot gather ke CMP

    gather, koreksi statik, regularisasi bin, dll. Jika kita melakukan surange, berikut adalah key

    yang kita miliki:

    Dari hasil surange di atas terlihat bahwa data tersebut belum memiliki informasi geometri

    seperti koordinat sumber, penerima, offset, cdp, dll. Marilah kita lihat kembali 3 file geometri

    untuk data ini i.e. Line_001.SPS (sumber), Line_001.RPS (receiver), Line_001.XPS

  • (relational). Jika kita membuka file Line_001.SPS dengan gedit, maka akan diperoleh

    informasi sbb:

    Di dalam file Line_001.SPS, baris ke 1 s/d 20 merupakan header yang menjelaskan lokasi

    kolom (COLS) untuk setiap parameter sumber: point number (nomor sumber), Static

    Correction, Map grid easting (X coordinate), Map grid northing (Y coordinate), Surface

    Elevation, dll.

    Data ini memiliki point number (shot number) 701, 703, 705, ...1201. Informasi 1V1

    bukanlah bagian dari point number (lihat kembali header, COLS dari point number adalah

    18-25), dengan gedit informasi posisi baris (Ln) dan kolom (Col) bisa dilihat di pojok kanan

    bawah. Dari sini kita mengetahui bahwa jumlah sumber (shot) adalah (1201-701)/2+1 = 251

    shots. Koreksi statik untuk shot pertama dan seterusnya: -50, -50, -51, dst. Koordinat X shot

    pertama: 688081.8, koordinat Y shot pertama: 3838302.1, dan elevasi shot pertama: 46.0.

    Demikian juga dengan file Line_001.RPS (informasi receiver):

  • Point number (receiver number) adalah 561, 562, ..., 1342. Koreksi statik untuk receiver 561:

    -48, Koordinat X untuk receiver 561:684590.2, koordinat Y receiver 561:3837867.6, dan

    elevasi receiver 561:41.0. Sedangkan file Line_001.XPS, memuat informasi hubungan

    sumber penerima:

    Perhatikan informasi di atas dengan sebaik-baiknya:

    Point Number (COLS 30-37): 701, 703, ...1201 merupakan penomoran untuk shot pertama,

    kedua, dst. From receiver untuk shot 701: 561 (receiver pertama untuk shot 701)

    To receiver untuk shot 701:842 (receiver terakhir untuk shot 701)

    From Channel : 1 dan To Channel: 282 untuk semua shot adalah sama artinya setiap shot

    memiliki jumlah trace 282.

  • Setelah kita memahami konfigurasi file di atas, saya akan membuat sebuah matrix dengan

    jumlah kolom 10 i.e. [sx,xy,selev,sstat,gx,gy,gelev,gstat,cdp,offset] dengan jumlah baris

    sebanyak jumlah trace yang saya miliki (70782).

    Dengan menggunakan gedit copy-lah kode berikut, save, lalu beri nama geom

    #!/bin/sh

    # skip header dengan (NR>20), remove 1V1

    # ekstrak source number (col2), sx (col8),sy (col9), selev (col10),sstat (col3)

    awk ' gsub(/1V1/,"") {if (NR > 20) {print $2,$8, $9, $10,$3 }}' Line_001.SPS > sps.txt

    # skip header dengan (NR>20), remove 1G1

    # ekstrak receiver number (col2), gx (col8),gy (col9), gelev (col10),gstat (col3)

    awk ' gsub(/1G1/,"") {if (NR > 20) {print $2,$8, $9, $10,$3 }}' Line_001.RPS > rps.txt

    Pada terminal linux ketik sh geom. Lalu dengan gedit copy-lah kode berikut, save, lalu beri

    namageomoctave.m

    %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

    %%%%%%%

    clear; clc

    load sps.txt

    load rps.txt

    % Ingat no of shots: 251,no of receiver in each shot: 282,total number of traces is 251*282=70782

    %%%menyusun matrix sps untuk seluruh trace (70782)%%%%%%

    for i=1:251

    sps_for_traces_in_each_shot{i}=repmat(sps(i,:),282,1);

    end

    sps_all_traces=cell2mat(sps_for_traces_in_each_shot');

    %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

    %%%%%

    %%%menyusun matrix rps untuk seluruh trace (70782)%%%%%%

    for i=1:251

    rps_for_traces_in_each_shot{i}=rps([(i*2)-1:281+(i*2)-1]',:);

    end

    rps_all_traces=cell2mat(rps_for_traces_in_each_shot');

    %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

    %%%%%

    %%%% menghitung offset

    sx=sps_all_traces(:,2);

    sy=sps_all_traces(:,3);

  • selev=sps_all_traces(:,4);

    sstat=sps_all_traces(:,5);

    gx=rps_all_traces(:,2);

    gy=rps_all_traces(:,3);

    gelev=rps_all_traces(:,4);

    gstat=rps_all_traces(:,5);

    ox=gx-sx;

    oy=gy-sy;

    offset=sqrt(ox.^2+oy.^2);

    %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

    %%%%%%%%%%

    %%%menghitung cdp untuk masing-masing trace

    %%%dikarenakan interval geophone 25m dan interval sumber 50m, maka:

    %%%cdp untuk shot pertama adalah 1 s/d 282

    %%%cdp untuk shot kedua adalah 5 s/d 286

    %%%cdp untuk shot ketiga adalah 9 s/d 290 dst....(lihat ilustrasi stacking diagram dibawah untuk

    memahaminya)

    for i=1:251

    cdp_each_shot{i}=[(4*i-3):281+(4*i-3)]';

    end

    cdp_all_traces=cell2mat(cdp_each_shot');

    geom_header=[sx,sy,selev,sstat,gx,gy,gelev,gstat,cdp_all_traces,offset];

    save -ascii geom_header.txt geom_header

    %%%%plot koordinat sumber dan penerima

    plot(sx,sy,'r*'); hold on

    plot(gx,gy,'b^')

    %%%%akhir dari kode

    Lalu ketik octave untuk memasuki terminal octave. Jika belum memiliki octave (octave

    adalah open source yang mirip dengan Matlab), anda bisa menginstall dengan mengetik sudo

    apt-get install octave3.2

    Pada terminal octave ketik geomoctave untuk mengeksekusi kode di atas sehingga kita akan

    memiliki matriks geom_header.txt dan plot koordinat sumber dan penerima. Keluarlah dari

    octave dengan menekan ctrl+z

    Gambar dibawah ini adalah ilustrasi stacking chart untuk interval sumber 2X interval

    receiver. Perhatikan CDP yang pertama untuk shot kedua terletak pada CDP ke 5 dari shot

    pertama, CDP yang pertama untuk shot ketiga terletak pada CDP ke 9 untuk shot kedua, dst.

  • Gambar di bawah ini adalah koordinat sumber (merah) dan penerima (biru). Perhatikan

    bahwa posisi sumber dan penerima tidak benar-benar berada dalam satu garis lurus, hal

    demikian terjadi karena kondisi medan yang bersangkutan. Jadi, walaupun secara teoritik kita

    menghendaki group interval 25m dan shot interval 50m, tetapi pada kenyataannya sangat

    sulit untuk diwujudkan.

    Selanjutnya, ubahlah format dari geom_header.txt menjadi binary dengan mengetikkan: a2b < geom_header.txt n1=10 > geom_header.bin

    a2b adalah perintah untuk mengubah format ascii ke binary, n1=10 adalah jumlah kolom

    dalam matriks geom_header.txt

    Check-lah dengan mengetikkan ls -l, lihat jika ukuran file geom_header.bin adalah 2831280

    byte atau 4*10(kolom)*70782(jumlah baris = jumlah trace). Setelah itu anda siap untuk

    menuliskan geom_header.bin ke dalam trace header dari data anda dengan perintah di bawah

    ini (buat dalam satu baris):

    sushw < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon.su infile=geom_header.bin

  • key=sx,sy,selev,sstat,gx,gy,gelev,gstat,cdp,offset > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom.su

    Dengan perintah

    surange < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom.su

    Perhatikan bahwa informasi geometry dan cdp sudah berada dalam trace header data seismik

    anda. Untuk keperluan sorting dari shot gather ke CMP gather, dua informasi penting yang

    harus dimiliki adalah cdp dan offset.

    Data ini memiliki cdp: 1 1282 (1 - 1282), jika angka yang berada di luar kurung sama dengan

    yang berada di dalam kurung maka penomoran cdp data ini benar, sedangkan jika kita lihat

    nilai offset: 12 3525 (3518 - 3509), rentang angkanya berbeda. Hal ini terjadi karena angka

    offset yang exact sangat sulit diperoleh akibat medan akuisi (lihat plot x-y coordinate

    sebelumnya). Oleh mengantisipasi hal ini, saya akan melakukan 'regularisasi' offset.

    Kita mengetahui dari shot gather bahwa geometri akuisisi data tersebut adalah split-spread

    dengan interval geophone = 25m dan jarak dari sumber ke geophone pertama=25m.

    Ketik gedit copy, paste kode di bawah ini dan save dengan nama regoff.m

    clear; clc %%%offset regularization... right=[25:25:3525]'; left=[-3525:25:-25]'; offset_each_shot=[left;right];

    offset_all_shot=repmat(offset_each_shot,251,1); %%%mengganti offset pada geom_header.txt dengan offset yang baru load geom_header.txt geom_header_reg_offset=[geom_header(:,[1:9]),offset_all_shot]; save -ascii geom_header_reg_offset.txt geom_header_reg_offset %%%%%

  • Ketik octave, lalu pada terminal octave ketik regoff

    Keluar dari octave dengan ctrl+z, lalu pada terminal linux ketik:

    a2b < geom_header_reg_offset.txt n1=10 > geom_header.bin

    Ulangi perintah sushw di atas, lalu dengan surange diperoleh:

    Dari hasil surange di atas, terlihat bahwa cdp dan offset memiliki nilai yang sama antara di

    luar kurung dan dalam kurung.

    Tahap 12:

    Pada tahap ini, kita akan melakukan sorting dari shot ke cmp gather dengan

    perintah susort berikut (buat dalam satu baris):

    susort cdp offset

    Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp.su

    Lalu pilihlah cdp tertentu dan tampilkan:

    suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp.su key=cdp min=1000 max=1002 |

    suxwigb perc=95

    Sehingga diperoleh gambar sbb:

  • Tahap 13:

    Pada tahap ini akan ditunjukkan bagaimana caranya melakukan koreksi NMO dan membuat

    Brute Stack.

    Pada Seismic Unix, koreksi NMO dilakukan dengan perintah sunmo. Informasi penting untuk

    sunmo yang harus kita berikan adalah pasangan kecepatan(m/s) dan waktu(s).

    Untuk kasus data ini, saya melakukan trial and error untuk mencari 3 pasangan waktu dan

    nilai velocity yang paling optimal (yang ditentukan dengan reflektor yang flat). Test ini

    dilakukan pada CMP 1000 s/d 1002 (lihat tahapan sebelumnya untuk melihat CMP yang

    belum dikoreksi NMO). Pasangan kecepatan dan waktu yang diperoleh adalah

    vnmo=1700,2750,3000 dan tnmo=0.1,1.0,2.0

    Berikut adalah kode untuk koreksi NMO (buat dalam satu baris)

    sunmo vnmo=1700,2750,3000 tnmo=0.1,1.0,2.0 <

    Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp.su >

    Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_nmo_v1.su

    Lalu ditampilkan hasilnya:

    suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_nmo_v1.su key=cdp min=1000

    max=1002 | suxwigb perc=95

    Sehingga diperoleh gambar sbb :

  • Pada gambar di atas terlihat bahwa reflektor pada CMP 1000-1002 sudah terlihat cukup flat.

    Disamping itu proses muting nampaknya telah dilakukan secara otomatis bersamaan dengan

    nmo. Muting tersebut dilakukan untuk event yang mengalami NMO strech yang signifikan.

    Tahap 14:

    Setelah kita cukup puas dengan hasil NMO, maka kita siap untuk memproduksi brute stack

    dengan perintah:\

    sustack < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_nmo_v1.su > Line001_brute_stack.su

    Lalu ditampilkan dengan:

    suximage < Line001_brute_stack.su cmap=hsv17 perc=90

    Sehingga diperoleh penampang seismik dibawah ini:

    Untuk mengubah skala warna pada brute stack, kita bisa melakukannya dengan mengubah

    parameter cmap. Berikut adalah contoh jika saya menggunakan cmap=hsv4.

  • Tahap 15:

    Pada tahapan ini, akan ditunjukkan bagaimana melakukan velocity analysis

    dengan Interactive Velocity Analysis.

    Lakukan pemilihan setiap 50 CMP pada data input berikut:

    Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp.su, yang kita miliki sebelumnya.

    suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp.su key=cdp min=200 max=1000 j=50 > inva_every_50cmp.su

    Jika proses picking telah dilakukan untuk seluruh cmp yang dimiliki, maka secara otomatis

    akan terbentuk file inva_every_50cmp.par

    Tahap 16:

    Setelah diperoleh model kecepatan, maka kita siap untuk melakukan koreksi NMO untuk

    seluruh CMP.

    sunmo < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp.su > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_nmo_v2.su par=inva_every_50cmp.par

    Dengan output Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_nmo_v2.su

    Setelah itu lakukan proses stacking: sustack < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_nmo_v2.su > Line001_stack_vel2.su

    Lalu tampilkan dengan perintah:

    suximage < Line001_stack_vel2.su cmap=hsv17 perc=90 title='Setelah Velocity Picking' &

  • Gambar di atas adalah stack dengan menggunakan velocity analysis yang saya pick.

    Bandingkan hasilnya dengan brute stack yang dihasilkan pada tahapan sebelumnya

    Berikut adalah animasi perbandingan antara brute stack (kecepatan tunggal) dengan stack

    dari velocity pick

  • Pada bagian ini, akan ditunjukkan bagaimana caranya melakukan elevation statics dan

    residual statics untuk data seismik yang kita miliki. Elevation statics umumnya dilakukan

    sebelum koreksi NMO pada tahap 13. Akan tetapi untuk melihat efek elevation statics

    terhadap citra seismik, saya lakukan setelah memperoleh citra yang terbaik. Hal ini sah-sah

    saja untuk dilakukan, mengingat kita masih memiliki peluang untuk terus memperbaiki citra

    tersebut diantaranya dengan analisa kecepatan pada interval CMP yang lebih rapat, analisa

    pada super gather, dll.

    Informasi yang harus kita miliki untuk melakukan elevation statics adalah elevasi sumber-

    penerima relatif terhadap datum serta kecepatan sedimen di bawah sumber-penerima

    sehingga diperoleh waktu tempuh gelombang dari elevasi yang bersangkutan terhadap datum.

    Untuk data ini, waktu tempuh sumber dan penerima (elevation statics) telah dilakukan dan

    sudah diselipkan ke dalam trace header. Sehingga, jika kita melakukan surange diperoleh

    hasil sbb:

    Dari hasil surange di atas, terlihat elevation statics dari sumber (selev) dan penerima (gelev)

    telah berada pada trace header. Jika kita tidak memiliki informasi gelev dan selev, maka kita

    harus menghitungnya melalui first break picking dari gelombang refraksi.

    Elevation statics dilakukan dengan perintah:

    sustatic < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom.su > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_elev_stat.su hdrs=1

    sustatic adalah perintah untuk elevation static, hdrs=1 menunjukkan bahwa data statics berada

    pada trace header. Untuk mempelajari options atau parameter yang digunakan pada sustatic,

    ketiklah sustatic pada terminal linux.

    Gambar dibawah ini adalah shot gather sebelum elevation static:

  • Gambar dibawah ini adalah shot gather setelah elevation statics yang ditampilkan dengan

    perintah: suwind < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_elev_stat.su key=ep min=32 max=32

    |suxwigb perc=80 &

    Perbandingannya

    Gambar dibawah ini menunjukkan stack sebelum elevation statics yang kita peroleh

    sebelumnya:

  • Gambar di bawah ini adalah stack setelah elevation statics dengan dengan mengunakan

    model kecepatan dari analisa kecepatan sebelumnya. Lakukan proses yang sama (Tahap 16),

    dengan mengganti data input dan output. Dilakukan sorting dari shot ke cmp dengan perintah:

    susort cdp offset < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_elev_stat.su > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev.su

    Lalu, pada nmo.sh: Input: Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev.su Output: Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2.su

    Run dengan mengetikkan sh nmo.sh

    Lakukan stacking:

    sustack < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2.su > Line001_stack_vel2_elev.su

    Tampilkan: suximage < Line001_stack_vel2_elev.su cmap=hsv17 perc=90 title='After Elevation Statics' &

    Berikut perbandingannya:

  • Tahap 17:

    Pada Seismic Unix, residual static dilakukan dengan perintah suresstat dimana metoda yang

    digunakan mengacu pada Ronen dan Claerbout, Geophysics 50, 2759-2767 (1985). Berbeda

    dengan elevation statics, residual statics dilakukan setelah koreksi NMO, akan tetapi harus

    dilakukan pada domain shot gather dengan key=fldr.

    Berikut adalah tahapan untuk melakukan residual statics: Lakukan sorting:

    susort < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2.su > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2_fldr.su fldr offset

    Hitung residual statics: suresstat < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2_fldr.su ssol=sstats rsol=rstats ntraces=70782 ntpick=50 niter=5 nshot=481 nr=282 nc=70782 sfold=282 rfold=282 cfold=284

    ntraces=70782 (jumlah seluruh trace pada data)

    ntpick=50 (banyaknya sample maksimum untuk melakuan shifting dalam korelasi)

    niter=5 (jumlah iterasi, pada mesin 32bit dengan Intel Core Duo, 1.5GB Mem

    memerlukan waktu 12-15 menit)

    nshot=481 (fldr maksimum, lakukan surange untuk melihat semua key)

    nr=282 (jumlah receiver maksimum pada shot)

    nc=70782 (harus sama dengan banyaknya seluruh trace) sfold=282 (harus sama

    dengan nr)

    rfold=282 (maksimum ep)

    cfold=284 (maksimum cdpt)

    Perintah di atas akan menghasilkan dua file i.e. sstats and rstats yang masing-masing

    berisikan source and receiver statics. Terapkankanlah statics tersebut dengan perintah:

    sustatic < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2.su > Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2_rstat.su \ hdrs=3 sou_file=sstats rec_file=rstats ns=481 nr=1282

  • hdrs=3 (Angka 3 memerinta sustatic untuk membaca statics dari file)

    sou_file=sstats (file source statics)

    rec_file=rstats (file receiver statics)

    ns=481 (harus sama dengan nshot pada command sebelumnya)

    nr=1282 (banyaknya cdp didalam stack data)

    Gambar di bawah ini adalah stack sebelum elevation dan residual statics.

    Gambar di bawah ini adalah penampang setelah elevation dan residual statics.

    Lakukan perintah-perintah sbb:

    Stacking:

    sustack < Line_001_kill_vibro_agc_d2_fk_flt_decon_geom_cdp_elev_nmo_v2_rstat.su > Line001_stack_vel2_elev_rstat.su

    Dikarenakan kedua koreksi statics tersebut mengakibatkan time shifting, maka untuk

    kenyamanan dalam membandingkan hasilnya, saya lakukan shiting dengan perintah:

    suresamp < Line001_stack_vel2_elev_rstat.su > Line001_stack_vel2_elev_rstat_shift.su ns=1501 dt=0.002 tmin=0.25

    ns=1501 (banyaknya sample)

    dt=0.002 (samping interval dalam detik)

    tmin=0.25 (di shifting ke atas 0.25 detik)

    Tampilkan: suximage < Line001_stack_vel2_elev_rstat_shift.su cmap=hsv17 perc=90 title='After Elevation and

    Residual Statics' &

  • Dan perbandingannya:

    Dari perbandingan di atas, terlihat bahwa residual statics masih belum memberikan hasil

    yang optimal, walaupun di beberapa tempat memberikan hasil yang lebih baik. Anda masih

    bisa memperbaiki hasilnya dengan melakukan perubahan dari parameter-parameter yang saya

    pilih sebelumnya.

    Tahap 18:

    Pada tahapan ini, akan ditunjukkan bagaimana melakukan PoSTM (Post Stack Time

    Migration) dengan menggunakan Seismic Unix. Seismic Unix menyediakan fungsi migrasi

    dengan menggunakan beberapa metodologi diantaranya Stolt Migration, Gazdag atau Phase-

    Shift Migration, Claerbout's Migration, dll. Teknik-teknik migrasi tersebut memiliki

    kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Disini akan diterapkan PoSTM pada data telah

    distack dengan menggunakan velocity analysis dan juga telah mengalami koreksi statik.

    Dipilih Metoda Stolt, karena metoda ini sangat cepat dan cukup robust.

    Sebelumnya, diterapkan mute dan tapering (walaupun pada sustolt sendiri diterapkan

    tapering) sehingga diperoleh ujung lintasan kiri, kanan dan atas yang lebih gradual. Hal ini

    penting dilakukan karena perbedaan amplitudo yang tiba-tiba akan

  • menghasilkan migration artifacts. Setelah itu migrasi diterapkan dengan menggunakan

    kecepatan RMS (yang saya ambil dari CMP ke 1000) dari hasil velocity analysis sebelumnya.

    Berikut ini adalah kode Bourne Shell untuk melakukan mute, menampilkan stack sebelum

    migrasi, melakukan Stolt Migration dan sekaligus menampilkan hasilnya:

    #!/bin/sh sumute < Line001_stack_vel2_elev_rstat.su key=tracl xmute=1,150,1132,1132 tmute=3.0,0.2,0.2,3.0

    ntaper=50 > Line001_stack_vel2_elev_rstat_mute.su suximage < Line001_stack_vel2_elev_rstat_mute.su key=cdp perc=90 title='Before Stolt Migration' & time=0.0187891,0.494781,0.914405,1.37787,1.94781,2.90605 vels=1992.35,2211.92,2488.77,2765.61,2975.64,3319.31 sustolt < Line001_stack_vel2_elev_rstat_mute.su \ cdpmin=1 cdpmax=1282 dxcdp=50 \ tmig=$time vmig=$vels \ smig=0.6 vscale=1 lstaper=50 lbtaper=50 | suximage title="After Stolt Migration" key=cdp min=100 max=1100 perc=90 verbose=0 &

    exit

    Copy-lah code di atas dengan menggunakan text editor (vi, pico, gedit, atau nedit) lalu save

    dengan nama tertentu katakanlah stoltmig. Lalu ketik sh stoltmig. Berikut adalah stack

    sebelum migrasi (untuk mengubah skala warna, tekan hurup r pada ximage yang aktif, untuk

    mengeksplorasi lebih jauh ketik ximage pada terminal linux).

    Setelah Migrasi:

  • BAB V

    PENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Dari hasil kegiatan praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa

    persiapan matang sangat perlu dilakukan guna mengefisiensikan waktu, dana, tenaga dan

    tentunya kualitas data. Dengan melakukan perencanaan terlebih dahulu maka dapat

    mengurangi resiko kegagalan proyek. Maka dari itu hasil perhitungan dan pemodelan yang di

    buat seberapa sesuai dengan dasar teori yang ada.

    Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa metode seismic refraksi efektif digunakan

    untuk target dangkal sedangkan metode seismic refleksi akan efisien digunakan untuk target

    yang dalam.

    5.2 Saran

    Diharapkan untuk asisten lebih memperjelas jadwal praktikum agar praktikannya

    tidak malas untuk datang praktikum. Juga diharapkan untuk lebih mengenalkan software-

    software yang digunakan untuk pegolahan data seismik.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abdullah, Agus. 2010. http://ensiklopediseismik.blogspot.com/2010/11/seismic-processing-

    with-seismic-unix.html: diakses tanggal 31 Desember 2013

    Mukaddas, Abdullah. 2005. ANALISIS PERBEDAAN PENAMPANG SEISMIK

    ANTARA HASIL PENGOLAHAN STANDAR DENGAN PENGOLAHAN

    PRESERVED AMPLITUDE. Meknek Library

    Susilawati. ( 2004). Seismik refraksi (dasar teori dan akuisisi data), USU Digital Library.

    Telford, Geldart and Sheriff, 1976, Applied Geophysics, 2nd

    edition, Cambridge University

    Press, New York.

    Yilmaz, O., 1994, Seismic Data Processing, Society of Exploration Geophysicists, Tulsa.

  • KATA PENGANTAR

    Puji Tuhan, atas kasih karunia-Nya sehingga Laporan Praktikum Metode Seismik ini

    dapat terselesaikan. Laporan ini berisikan berbagaivinformasivhasil kegiatan praktikum

    Metode Seismik yang dilaksanakan di wilayahvUniversitasvBrawijaya.

    Mengingat ketidaksempurnaan yang masih banyak terdapat dalam laporan ini, maka

    penulis sangat terbuka pada kritik yang membangun untuk perbaikan laporan-laporan

    berikutnya. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga yang menjadi

    motivasi terbesar bagi penulis, dan seluruh teman-teman maupun kakak-kakak tingkat yang

    sudah membantu dalam penyelesaian laporan ini baik secara langsung maupun melali

    dukungan moral.

    Akhir kata semoga laporan ini dapat memberikan informasi sebanyak-banyaknya

    kepada para pembaca sehingga dapat berguna untuk menambah khasanah pengetahuan kita

    bersama. Terimakasih.

    Malang, 6 Januari 2014

    Penulis

  • LAPORAN PRAKTIKUM METODE SEISMIK

    Di susun oleh :

    M. Tajul Arifin

    115090700111008

    LABORATORIUM GEOFISIKA

    PRODI GEOFISIKA

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

    ALAM

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG