Laporan Mce - Erwin

40
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MARINCULTURE ENGGINERING OLEH : ERWIN SITUMORANG 26020110120004 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Transcript of Laporan Mce - Erwin

Page 1: Laporan Mce - Erwin

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

MARINCULTURE ENGGINERING

OLEH :

ERWIN SITUMORANG

26020110120004

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2013

Page 2: Laporan Mce - Erwin

LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

No MATERI NILAI

1 TUJUAN

2 TEORI DASAR

3 ANALISIS

4 KESIMPULAN

5 DAFTAR PUSTAKA

6 LAMPIRAN

7 BONUS

Semarang, 17 Oktober 2011

Asisten, Praktikan,

Jauharul Fadli Erwin Situmorang

K2D309001 26020110120004

Mengetahui,

Dosen Mata Kuliah

Dr. Ir. Sunaryo

NIDN. 0012046009

Page 3: Laporan Mce - Erwin

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Bekalang

Air merupakan media kehidupan ikan yang sangat menentukan berhasil

tidaknya dalam suatu usaha budidaya ikan. Faktor penentu ini dikarenakan seluruh

kehidupan ikan sangat bergantung pada kondisi air, antara lain; untuk kebutuhan

respirasi, keseimbangan cairan tubuh, proses fisiologis serta ruang gerak.  Untuk

mengetahui kondisi air yang dibutuhkan ikan, maka diukur dengan parameter air

antara lain; kandungan gas terlarut, kandungan bahan kimia terlarut, suspensi partikel,

suhu, serta debit air.

Kebutuhan kondisi air ini sangat berpengaruh pada pengkondisian kualitas

yang sesuai dengan kebutuhan ikan. Untuk memudahkan pengelolaan dalam kualitas

air, maka parameter kualitas air dibedakan dalam 3 bagian yaitu berdasarkan fisika,

kimia dan biologi.

Kualitas air pada pemeliharaan ikan mudah sekali berfluktuasi yang

dipengaruhi oleh aktifitas kehidupan ikan itu sendiri maupun oleh lingkungan

sekitarnya. Kecenderungan akibat pengaruh ini seringkali dapat menurunkan kualitas

air yang dapat menyebabkan terganggunya fisiologis ikan. Hal ini akibat dari ikan

yang mengeluarkan hasil metabolisme berupa urine dan kotoran serta pencemaran

oleh lingkungan sekitarnya.

Dampak negative yang mengakibatkan dari kegiatan budidaya perairan dapat

dicegah melalui penerapan proses filtrasi yang dilakukan secara fisik. Apabila

kualitas air media pemeliharaan kurang sesuai atau mengalami penurunan, maka

sangat berpengaruh terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan organism budidaya itu

sendiri dan organisme lain di lingkungan perairan tempat pembuangan air limbah

budidaya. Mengingat setiap jenis organism mempunyai daya adaptasi yang berbeda-

beda terhadap kualitas air, oleh karena itu sangatlah penting kiranya untuk dilakukan

praktikum dengan topic penerapan filter fisik media air budidaya terhadap kehidupan

organism dan kualitas lingkungan perairan.

Page 4: Laporan Mce - Erwin

1.2 Tujuan

Tujuan diselenggarakan praktikumuntuk topic penerapan filter fisik terhadap

kehidupan organism dan kualitas lingkungan perairan, dimaksudkan untuk

mengetahui sejauh mana pengaruh penerapan sistem filtrasi media air pemeliharaan

ikan di dalam proses kegiatan budidaya organism terhadap kehidupan organism dan

kualitas lingkungan perairan (kandungan nitrogen) yang dapat dimanfaatkan di dalam

kegiatan kultivasi organism perairan untuk tujuan konservasi

1.3 Manfaat

Setelah mengikuti kegiatan praktikum ini, manfaat yang diperoleh adalah

pengetahuan tentang hubungan parameter perairan ( suhu, salinitas, oksigen terlarut,

pH) terhadap organisme budidaya.

Page 5: Laporan Mce - Erwin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ph

Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam

larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hydrogen ( dalam mol per

liter) pada suhu tertentu atau dapat di tulis :

pH = -Log (H)+

Air murni (H2O) berasosiasi sempurna sehingga memiliki ion H+ dan ion H-

dalam konsentrasi yang sama, dan dalam keadaan demikian pH air murni=7. Semakin

tinggi konsentrasi ion H+, Akan semakin rendah Konsentrasi ion OH- dan pH<7,

Perairan semacam ini bersifat asam. Hal Sebaliknya terjadi jika konsentrasi ion OH -

yang tinggi dan pH > 7, maka perairan bersifat alkalis ( basa).

Semakin Banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi, reaksi bergerak ke

kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang menyebabkan pH air turun.

Reaksi sebaliknya terjadi dengan aktivitas fotosintesis yang membutuhkan banyak ion

CO2, menyebabkan pH air naik.

pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi

kehidupan jasad renik. Perairan asam akan kurang produktif, malah dapat membunuh

ikan budidaya . Pada pH rendah ( keasaman yang tinggi) kandungan oksigen terlarut

akan berkurang, sebagai akibatnya konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernapasan

naik dan selera makan ikan akan berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada suasana

basa. Atas dasar ini , maka usaha budidaya ikan akan akan berhasil baik dalam air

dengan pH ( 6,5 – 9,0 ) dan pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7- 8,5 (Kordi,

2011).

Page 6: Laporan Mce - Erwin

2.2 Suhu

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal

adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme

dan berkembang biak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena

bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan

massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk

menentukan densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat digunakan untuk menentukan

kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada tempat dimana air tersebut berada.

Kenaikan suhu air di badan air penerima, saluran air, sungai, danau dan lain

sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai berikut:

1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun;

2) Kecepatan reaksi kimia meningkat;

3) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.

Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan

dan hewan air lainnya mati. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan

untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat

menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung

yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi

distribusi fitoplankton.

Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air,

stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap

perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran

air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut

adalah 27 – 320C . Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam

air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan

menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan). Selanjutnya

Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara 35 – 40 0C merupakan suhu

kritis bagi kehidupan organisme yang dapat menyebabkan kematian (Afrianto,1990).

Page 7: Laporan Mce - Erwin

2.3 Salinitas

Untuk keperluan budidaya biota laut seperti ikan, salinitas disesuaikan dengan

spesiesbiota yang hendak dibudidayakan .Menurut valikangas dapat disederhanakan

sebagai berikut air tawar 0-0,5 ppt ; air payau 0,5-17 ppt dan air laut di atas 17 ppt

(Nontji, 1987).

Untuk keperluan budidaya biota laut, salinitas disesuaikan dengan spesies

biota yang hendak dibudidayakan. Artinya, lokasi yang dipilih salinitasnya sesuai

dengan spesies yang hendak dikultur.

Umumnya, ikan yang hidup di terumbu karang dan laut terbuka (ikan pelagis)

tumbuh pada salinitas antara 33-35 ppt. Ikan-ikan tersebut cukup toleran terhadap

perubahan salinitas yang lebar (euryhaline), seperti bandeng (Chanos chanos), kakap

jenaha (Lutjanus johnii).

Untuk Jenis ikan Bandeng (Chanos chanos), dapat hidup pada perairan laut,

tambak air payau, maupun di air tawar. Ikan ini dapat berenang mulai dari perairan

laut yang salinitasnya tinggi, 35 ppt atau lebih, kemudian dapat masuk mendekat ke

muara-muara sungai (salinitas 15-20 per mil) dan dapat masuk ke sungai dan danau

yang airnya tawar. Sehingga Bandeng digolongkan sebagai ikan euryhaline (Kordi,

2011).

2.4 DO

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.

Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang

berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak

langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat

membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut digunakan

untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Afrianto,1990).

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup

didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut

di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak

mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung. Asmawi (1983)

Page 8: Laporan Mce - Erwin

menyatakan O2 terlarut yang baik adalah 5–10 mg/l, CO2 bebas tidak lebih dari 12

mg/l dan terendah 2 mg/l serta NH3 yang baik adalah kurang dari 1 mg/l. Pada kadar

NH3 0,053-0,280 mg/l kondisi larva udang masih cukup baik. Gangguan NH3

terhadap larva mulai terlihat pada kadar 0,6 mg/l, kandungan NH3 yang baik untuk

pertumbuhan ikan kurang dari 1 mg/l dan CO2 berkisar 0,0-15,0 mg (Afrianto,1990).

Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan sebaiknya

harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun, konsentrasi

oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang secara normal

komunitas akuatik di periaran . Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha

budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Kordi,2011).

2.5 Amoniak

Amonia biasanya menjadi kendala dalam kegiatan budidaya yang dapat

mengganggu kesehatan ikan atau bahkan bisa mematikan. Hewan akuatik umumnya

mengekskresikan amonia (NH3) sebagai hasil dari proses metabolisme dan sebagai

produk ekskretori (dari ginjal, jaringan insang). Amonia juga sebagai hasil

dekomposisi protein dari sisa pakan atau plankton yang mati. Kadar amonia yang

tinggi umumnya terdapat pada kolam budidaya yang tidak mempunyai sirkulasi air

yang baik atau kolam sistem tertutup. Kadar amonia yang tinggi tersebut dalam

perairan bisa berasal dari limbah budidaya yang berupa kotoran ikan serta berasal dari

sisa pakan yang tidak termakan. Sisa pakan akan mengendap di dasar perairan dan

akan meracuni ikan budidaya. Namun untuk perairan yang luas (terbuka) limbah

amonia yang dihasilkan akan segera tercampur dengan lingkungan sehingga kadarnya

menurun atau tidak ada. Di perairan, ammonia umumnya terlarut dalam bentuk NH4+.

Kemudian, Kadar Amonia di perairan akan meningkat seiring dengan peningkatan

suhu dan pH.

Keberadaan amoniak dalam air dapat menyebabkan berkurangnya daya ikat

oksigen oleh butir-butir darah, hal ini akan menyebabkan nafsu makan ikan menurun.

Kadar oksigen dan amoniak didalam perairan berbanding terbalik, apabila amoniak

meningkat maka kadar oksigen menjadi rendah, kadar amoniak yang baik adalah

Page 9: Laporan Mce - Erwin

kurang dari 1 ppm, sedangkan apabila kadar amoniak lebih dari 1 ppm maka hal itu

dapat membahayakan bagi ikan dan organisme budidaya lainya. (Andrianto, 2005).

Adapun sumber amonia diperairan adalah hasil dari pemecahan nitrogen

organik (protein dan urea) serta nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan

air yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang

telah mati) oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah amonifikasi (Efendi,

2003). Toksisitas amonia meningkat pada saat kelarutan oksigen rendah dan pengaruh

racunnya menurun ketika terjadi peningkatan konsentrasi CO2, sehingga amonia

jarang dijumpai pada perairan dengan kelarutan oksigen yang cukup

Begitu kadar amonia meningkat dalam air, maka ekskresi ammonia oleh ikan

akan menurun dan kadar ammonia dalam darah dan jaringan meningkat. Hasilnya

adalah meningkatnya pH darah dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim

dan stabilitas membran. Ammonia juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh

jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut

oksigen. Perubahan histology terjadi di dalam ginjal, empedu, kelenjar thyroid dan

darah ikan yang terkena konsentrasi sublethal ammonia (Efendi, 2003).

Peningkatan laju ekskresi ammonia pada suhu perairan yang lebih tinggi

mengindikasikan bahwa laju metabolisme yang semakin tinggi pula yang secara

parsial memicu proses deaminasi asam amino dan penurunan bobot tubuh .Tingkatan

spesifik dari ekskresi ammonia dengan peningkatan bobot tubuh merefleksikan

tingkat metabolisme spesifik yang lebih rendah dalam tubuh hewan yang lebih besar

(Efendi, 2003).

2.6 RAS

Sistem resirkulasi air merupakan salah satu cara mempertahankan kondisi

kualitas air pada kisaran yang optimal. Sistem resirkulasi akan menstabilkan kualitas

air seperti oksigen yang tinggi, suhu air yang intervensi akumulasi sisa pakan dan

feses ke dalam media (Anonim, 2013).

Page 10: Laporan Mce - Erwin

Dalam sistem resirkulasi kolam air dialirkan dari tangki ikan ke filter biologi lalu

kembali lagi ke tangki ikan. Filter biologi tersebut adalah bioreactor atau tempat

tumbuhnya bakteri bakteri pengurai Nitrosomonas dan Nitrobacter. Dengan demikian

tujuan dari sistem resikulasi adalah mengeliminasi ammonia dengan cara

mengkonversi nya menjadi nitrit dan nitrat (Anonim,2013).

Sistem resirkulasi terdiri atas 4 subsistem, yaitu:

1. Penyuplai air.

2. Akuarium.

3. Sedimentasi.

4. Filtrasi.

Pada hakekatnya sistem resirkulasi yang diterapkan pada budidaya ikan

adalah untuk mengatasi masalah penyediaan sumber air yang tidak terus menerus

sepanjang tahun. Sistem ini bersipat menghemat penggunaan air bila lahan yang

dikelola terbatas sumber air (Anonim,2013).

Sistem resirkulasi air yang diterapkan pada usaha udang ditambak dibagi atas

beberapa unit petak perlakuan yang pada prinsipnya ialah untuk sterilisasi air yang

telah dipakai selama kegiatan budidaya (Anonim,2013).

2.7 Sistem Kovensional

Tambak konvensional adalah tambak yang berpematang tanah, drainase juga

merupakan aliran arus air laut maupun tawar secara alami, dengan batang pohon api-

api dan bakau di sana-sini. Tambak konvensional, mengandalkan pakan alami berupa

zooplankton maupun phytoplankton. Meskipun hasilnyatidak setinggi tambak semi

intensif dan terlebih tambak modern, namun tambak-tambak tradisioal ini lebih ramah

lingkungan, serta menghasilkan bandeng yang dagingnya lebih padat, dibanding

bandeng yang dibesarkan dengan pelet.

Untuk menumbuhkan phytoplankton dan kemudian zooplankton pada tambak

tradisional, petani tetap harus mengeluarkan biaya. Pertama, tambak yang baru saja

dipanen, harus diberi pestisida alami berupa biji teh atau tembakau krosok, diturap

(lumpurnya dinaikkan ke pematang), kemudian dikeringkan sampai lumpurnya

Page 11: Laporan Mce - Erwin

pecah-pecah dan merekah. Setelah itu ditaburkan pupuk kandang, berupa kotoran

sapi, kerbau, kambing, domba, maupun kuda. Tambak tidak pernah dipupuk dengan

kotoran ayam. Tiap hektar tambak memerlukan 5 ton pupuk kandang. Popuk ini harus

diratakan ke seluruh permukaan tanah, lalu dibiarkan beberapa hari sebelum air

dialirkan menggenangi tambak.Pada awalnya, air payau yang menggenangi tambak

itu tampak jernih. tetapi dalam waktu dua tiga hari, apabila matahari bersinar cukup

terik, maka air itu akan berangsur berwarna hijau. Itulah tandanya phytoplankton

telah mulai tumbuh. Pada waktu itulah urea sebanyak 3 kuintal per hektar ditebarkan.

Setelah ditebari urea, air akan segera menjadi hijau pekat. Pada waktu itulah

zooplankton akan mulai tumbuh. Para petani tambak, biasa menyebut zooplankton ini

dengan kutu air. Setelah pertumbuhan plankton stabil, salinitas dan pH, air juga

sesuai dengan standar, maka nener bisa ditebarkan. Dengan pakan alami plankton,

pertumbuhan nener menjadi bandeng sangat cepat (Anonim, 2011)

Page 12: Laporan Mce - Erwin

BAB III

MATERI METODE

3.1 Materi

Waktu : Senin, 10 Juni 2013. Pukul 02.00 – 22.00 WIB

Tempat : LPWP (Lembaga Pengembangan Wilayah Pantai) Jepara,

Jawa Tengah

3.2 Alat dan bahan

3.1.1 Alat

Alat yang di gunakan pada praktikum Marinculture Engginering adalah :

Nama Alat Fungsi Gambar

1. Tong kerucut 6

buah, masing-

masing Vol. 250 L

Sebagai wadah media

2. Unit aerasi (blower

1 buah, selang aerasi

1 rol, batu aerasi 6

buah, regulator

udara 6 buah,

pemberat 6 buah)

Penambahan jumlah

oksigen

3. Refraktometer (1

buah)

Pengukuran kadar

garam (salinity )

Page 13: Laporan Mce - Erwin

4. DO meter Mengetahui nilai DO

dalam air

5. pH meter Untuk mengukur

tingkat keasaman dan

kebasa-an

6. Termometer Untuk mngukur suhu

air.

3.1.2 Bahan

Bahan yang di gunakan pada praktikum Marinculture Engginering adalah

Nama Bahan Fungsi Gambar

1. Ikan Bandeng Sebagai hewan uji

Page 14: Laporan Mce - Erwin

2. Air payau Sebagai media hewan

uji dan media yang

hendak di analisa

3.3 Metode

Praktikum dilaksanakan secara eksperimental laboratories, dirancang dengan

menggunakan rancangan acak lengkap 2 perlakuan tiga kali ulangan. perlakuan

berupa penggunaan sistem filtrasi secara fisik: A. (tanpa filtrasi); B. (penggunaan

system filtrasi). Parameter pengamatan praktikum dilakukan terhadap kehidupan ikan

Bandeng dan pengukuran kualitas air media pemeliharaan (salinitas, pH, DO, suhu)

ikan Bandeng. Pengukuran Parameter pada selang waktu 4 jam yang dimulai dari jam

02.00-22.00 WIB. Kemudian masukkan data ke tabel yang telah tersedia, kemudian

dianalisa berdasarkan data yang diperoleh.

Page 15: Laporan Mce - Erwin

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Tabulasi data

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T0 T1 T2 T3 T4 T5 T0 T1 T2 T3 T4 T5 T0 T1 T2 T3 T4 T51 27.5 27 29 28 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.52 3.2 4.8 6 5.3 5.2 18 13 11 12 10 112 27.3 27 29 28 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.49 3.4 3.5 6.1 6.9 6.7 18 13 11 12 11 113 27.4 27 29 28 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.48 3.3 3.5 4.8 4.2 6.4 18 13 11 12 11 111 38.4 27 29 29 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.38 3.5 4.3 5.3 4.4 4.7 18 12 11 10 10.5 102 34.7 27 29 30 29 29 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.7 3 3.2 6.6 5 5.3 18 12 11 10 10 103 35.4 28 29 29 28 29 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.53 3.5 3.2 7.7 6.4 6.7 18 12 11 10 12 10

Perlakuan

Konvensi-onal

RAS

Suhu pH

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T0 T1 T2 T3 T4 T5 T0 T1 T2 T3 T4 T5 T0 T1 T2 T3 T4 T51 27.5 27 29 28 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.52 3.2 4.8 6 5.3 5.2 18 13 11 12 10 112 27.3 27 29 28 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.49 3.4 3.5 6.1 6.9 6.7 18 13 11 12 11 113 27.4 27 29 28 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.48 3.3 3.5 4.8 4.2 6.4 18 13 11 12 11 111 38.4 27 29 29 28 28 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.38 3.5 4.3 5.3 4.4 4.7 18 12 11 10 10.5 102 34.7 27 29 30 29 29 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.7 3 3.2 6.6 5 5.3 18 12 11 10 10 103 35.4 28 29 29 28 29 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 6.86 1.53 3.5 3.2 7.7 6.4 6.7 18 12 11 10 12 10

SalinitaspH DO

Ket.

T0 = Jam 02.00

T1 = Jam 06.00

T2 = Jam 10.00

T3 = Jam 14.00

T4 = Jam 18.00

T5 = Jam 22.00

4.1.2 Grafik

Page 16: Laporan Mce - Erwin

T0 T1 T2 T3 T4 T505

10152025303540

Grafik Suhu Pada Sistem Kon-vensional

Waktu

Suhu

(⁰C)

T0 T1 T2 T3 T4 T505

10152025303540

Grafik Suhu Pada Sistem RAS

Waktu

Suhu

(⁰C)

Page 17: Laporan Mce - Erwin

T0 T1 T2 T3 T4 T50

1

2

3

4

5

6

7

Grafik DO Pada SistemKonvensional

Waktu

DO

T0 T1 T2 T3 T4 T5012345678

Grafik DO Pada Sistem RAS

Waktu

DO

Page 18: Laporan Mce - Erwin

T0 T1 T2 T3 T4 T502468

101214161820

Grafik Salinitas Pada Sistem Kon-vensional

Waktu

Salin

itas (

ppm

)

T0 T1 T2 T3 T4 T502468

101214161820

Grafik Salinitas Pada Sistem RAS

Waktu

Salin

itas (

ppm

)

Page 19: Laporan Mce - Erwin

T0 T1 T2 T3 T4 T5012345678

Grafik pH Pada Sistem Konvensional

Waktu

pH

T0 T1 T2 T3 T4 T5012345678

Grafik pH Pada Sistem RAS

Waktu

pH

Page 20: Laporan Mce - Erwin

4.1.3 Korelasi dengan waktu

2.00 6.00 10.00 14.00 18.00 22.0005

10152025303540

f(x) = 0.001180013 x⁴ − 0.063271605 x³ + 1.16937934 x² − 8.596285273 x + 49.13263682R² = 0.993450594750949

f(x) = 0.000358073 x⁴ − 0.0171875 x³ + 0.263802083 x² − 1.345535714 x + 29.11049107R² = 0.642236024844723

Grafik Korelasi Salinitas Pada Sistem Konvensional dan RAS

Konvensional Polynomial (Konvensional)RAS Polynomial (RAS)

Waktu

Salin

itas (

⁰C)

2.00 6.00 10.00 14.00 18.00 22.006.8

6.816.826.836.846.856.866.876.886.89

6.9

f(x) = 1.77049E-19 x⁴ − 1.00721E-17 x³ + 2.02545E-16 x² − 1.68421E-15 x + 6.86R² = 0f(x) = 1.77049E-19 x⁴ − 1.00721E-17 x³ + 2.02545E-16 x² − 1.68421E-15 x + 6.86R² = 0

Grafik Korelasi pH Pada Sistem Kon-vensional dan RAS

KonvensionalPolynomial (Konvensional)RASPolynomial (RAS)

Waktu

pH

Page 21: Laporan Mce - Erwin

2.00 6.00 10.00 14.00 18.00 22.0001234567

f(x) = 0.000122342 x⁴ − 0.006631944 x³ + 0.104715712 x² − 0.225882937 x + 1.716024926R² = 0.862251507496473

f(x) = 0.00003499349 x⁴ − 0.001527778 x³ + 0.010865885 x² + 0.368045635 x + 0.771512277R² = 0.970051176892966

Grafik Korelasi DO Pada Sistem Kon-vensional dan RAS

Konvensional Polynomial (Konvensional)RAS Polynomial (RAS)

Waktu

DO

2.00 6.00 10.00 14.00 18.00 22.000

5

10

15

20

f(x) = 0.0001220703 x⁴ − 0.009886188 x³ + 0.274197049 x² − 3.146136464 x + 23.22434069R² = 0.987328377870673

f(x) = 0.000325521 x⁴ − 0.018904321 x³ + 0.396701389 x² − 3.632054674 x + 23.88153108R² = 0.97784947712867

Grafik Korelasi Sainitas Pada Sistem Konvensional dan RAS

Konvensional Polynomial (Konvensional)RAS Polynomial (RAS)

Waktu

Salin

itas (

ppm

)

Page 22: Laporan Mce - Erwin

4.2 Pembahasan

4.2.1 Standar optimum parameter kualitas air untuk budidaya

Berikut ini merupakan kriteria standar kualitas air untuk tambak menurut

Arifin,2007:

Suhu rata-rata pada bak kerucut pada sistem konvensional relatif stabil,

dengan nilai terendah ada pada 27 0C dan nilai tertinggi adalah 29 0C. Sementara pada

sistem RAS, suhu tertinggi mencapai 38 0C pada awal pengamatan namun kembali

stabil dengan rentang antara 27-29 0C hingga akhir pengamatan. Salah satu faktor

yang dapat menyebabkan data suhu mencapai 38 0C bisa dimungkinkan karena

kesalahan teknis saat melakukan pengukuran. Secara garis besar suhu air tambak

sesuai dengan standar optimal pada kedua sistem.

Nilai DO pada awal pengukuran menunjukkan tidak mencapai nilai 2 mg/L

pada pengukuran awal (T0). Namun pada pengukuran berikutnya nilai DO berangsur

meningkat. Fluktuasi nilai DO berbeda pada kedua sistem. pada sistem konvensional,

nilai DO meningkat secara bertahap hingga pengukuran terakhir dengan rata-rata nilai

DO tertinggi sebesar 6,3 mg/L. Pada kolam RAS, lonjakan nilai DO tertinggi pada

pengukuran ke-3, rata-rata sebesar 6,5 mg/L dari nilai pada pengukuran sebelumnya

Page 23: Laporan Mce - Erwin

(4 jam sebelumnya) dengan rata-rata nilai 3,6 mg/L. Setelah itu hingga pengukuran

terakhir rata-rata berada pada kisaran 5,5 – 5,6 mg/L.

Salinitas pada kedua sistem cenderung tidak berbeda terlalu jauh. Rata-rata

nilai salinitas tertinggi pada awal pengamatan hingga 18 ppm pada kedua sistem.

Setelah itu hingga pengukuran terakhir, rata-rata salinitas pada kedua sistem

cenderung stabil dengan flux yang kecil dengan kisaran 10 – 12 ppm. Rentang

salinitas ini cenderung masih dalam batas optimal.

4.2.2 Pengaruh suhu vs waktu

Dilihat dari tabel dan grafik suhu vs waktu, sepanjang pengukuran fluktuasi

suhu yang paling terlihat adalah pada saat T0 hingga T1 terutama pada nilai rata-rata

suhu pada RAS. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam hal ini adalah galat pada

saat teknis pengukuran. Pada pengukuran suhu menggunakan termometer, hal penting

yang harus diperhatikan adalah untuk meminimalkan kontak langsung kaca

termometer dengan tubuh karena akan mempengaruhi hasil akhir pengukuran suhu

air. Pertimbangannya adalah suhu tubuh dapat mempengaruhi hasil pengukuran suhu

air, sehingga meningkatkan nilai galat pada data.

Mengesampingkan hal tersebut, suhu air cukup stabil hingga T5. Perbedaan

hanya terdapat pada saat T3 dimana rata-rata suhu pada sistem konvensional dan RAS

memiliki selisih 1,3 oC. Dengan sirkulasi air, aerasi, serta kondisi kolam yang cukup

terlindungi, nampaknya tidak terjadi fluktuasi suhu yang begitu signifikan pada

sebagian besar waktu pengamatan.

4.2.3 Pengaruh salinitas vs waktu

Pada grafik dan tabel terlihat secara keseluruhan bahwa rata-rata nilai salinitas

sedikit lebih tinggi pada tambak dengan sistem konvensional. Namun perbedaannya

tidak terlalu signifikan dengan sistem RAS.

Pada T3, salinitas rata-rata pada sistem RAS mengalami penurunan hingga 10

ppm sementara sistem konvensional naik menjadi 12 ppm. Pada sistem konvensional,

media air dipompa langsung dari air dari lingkungan sementara pada RAS, media air

Page 24: Laporan Mce - Erwin

di resirkulasikan dengan proses filter. Lebih tingginya salinitas pada sistem

konvensional mungkin dapat disebabkan karena debit air yang masuk dari lingkungan

memiliki salinitas yang lebih besar. Filter fisik dan biologi pada sistem RAS dapat

mempengaruhi konsentrasi ion pada media yang berpengaruh pada nilai salinitas.

4.2.4 Pengaruh pH vs waktu

Konsentrasi pH dalam perairan dipengaruhi oleh kadar karbondioksida

terlarut. Secara tidak langsung, perubahan nilai pH dipengaruhi oleh proses

fotosintesis dan proses respirasi dari mikroalga di kolom air.

Nilai pH yang tinggi disebabkan oleh penurunan kadar karbondioksida karena

aktivitas fotosintesis. Nilai pH yang rendah disebabkan oleh tingginya kadar CO2

hasil metabolisme mikroalga maupun proses kimia yang terjadi di air. Rendahnya

nilai pH menandakan tingginya keasaman perairan. Perairan yang terlalu asam dapat

membahayakan organisme di dalamnya, dan juga dapat menjadi indikator minimnya

kadar oksigen terlarut.

Rentang pH optimum pada tambak biasanya pada kadar 7 hingga 8,5. Nilai

DO yang tinggi biasanya mencerminkan pH perairan yang cenderung basa (Diatas 7).

Pada tambak RAS dan Konvensional dapat dilihat nilai DO yang cukup stabil

hingga pengamatan terakhir dengan rata-rata nilainya diatas 3,5 mg/L. Hal ini

mencerminkan nilai pH dengan nilai yang cukup basa.

4.2.5 Pengaruh DO vs waktu

Pada grafik terlihat rentang nilai DO yang cukup kecil pada awal pengukuran,

baik pada kolam sistem konvensional maupun RAS. Nilai DO pada RAS melonjak

cukup tinggi pada T3 hingga mencapai angka rata-rata 6,5 mg/L. Sementara untuk

sistem konvensional, nilai DO naik secara bertahap sepanjang waktu hingga T5.

4.2.6 Pengaruh RAS dan konvensional terhadap DO

Sistem RAS menggunakan prinsip resirkulasi air melalui filter fisik dan

biologi, sementara sistem konvensional menggunakan sirkulasi air biasa, yakni

Page 25: Laporan Mce - Erwin

memompa debit air dari lingkungan. Kedua sistem ini memiliki satu tujuan yang

sama, yakni mengganti air media tambak dengan air yang lebih bersih.

Nilai DO berpengaruh dari kandungan bahan organik dalam media. Semakin

tinggi kandungan bahan organik maka nilai DO akan semakin rendah, akibat dari

aktivitas penguraian baik oleh bakteri maupun secara kimiawi yang menggunakan

oksigen dalam reaksinya.

Sistem konvensional sangat bergantung pada kualitas perairan lingkungan

untuk memompa debit air ke kolam tambak. Jika kualitas perairan di lingkungannya

cukup baik serta sirkulasi pergantian air berjalan dengan baik, besar kemungkinan

nilai DO akan semakin baik. Untuk tambak RAS, faktor yang paling berpengaruh

adalah kualitas filternya. Bila filter sukses menyaring zat organik maka air yang di

resirkulasikan tidak akan memiliki masalah kandungan bahan organik yang tinggi.

Pada tambak sistem RAS yang diamati, nilai DO hampir sebanding malah di

satu titik lebih tinggi dari nilai DO dari sistem konvensional. Dapat dilihat bahwa

sistem filter yang dibangun untuk RAS cukup sukses memfilter bahan organik.

4.2.7 Keterkaitan antar parameter

Dari hasil diketahui bahwa:

Hubungan Suhu pada sistem konvensional dengan waktu positif sebesar

(r=0,394) sementara hubungan Suhu pada sistem RAS dengan waktu negatif (r= -

0,564)

Hubungan Waktu dengan DO pada sistem Konvensional dan RAS positif

(r=0,962) dan (r=0,862)

Hubungan Waktu dengan Salinitas pada sistem konvensional dan RAS keduanya

negatif (r= - ,789) dan (r= -0,733)

Suhu pada sistem konvensional berbanding lurus dengan waktu, sementara

suhu pada sistem RAS berbanding terbalik. DO pada sistem konvensional dan RAS

meningkat seiring berjalannya waktu. Sementara salinitas pada kedua sistem

cenderung berbanding terbalik dengan waktu. D.A de Vaus menginterpretasikan

kuatnya hubungan antar variabel sebagai berikut:

Page 26: Laporan Mce - Erwin

Hubungan Suhu perairan kolam dengan waktu cenderung moderat hingga

kuat. Sistem konvensional memiliki hubungan yang moderat dengan waktu sementara

sistem RAS memiliki hubungan suhu dan waktu yang kuat.

Hubungan waktu dengan DO perairan cenderung kuat hingga mendekati

sempurna. Nilai korelasi DO pada sistem konvensional memiliki hubungan yang

mendekati sempurna dengan waktu sementara pada sistem RAS memiliki hubungan

yang sangat kuat.

Meskipun berbanding terbalik dengan waktu, nilai korelasi salinitas pada

kedua sistem memiliki hubungan yang sangat kuat dengan waktu.

Page 27: Laporan Mce - Erwin

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Parameter kualitas air pada sistem Konvensional dan RAS tidak berpengaruh

pada parameter lainnya. Kecuali pada suhu, sangat berpengaruh.

2. Perkembangan fluktuatif DO tidak terlalu tinggi. Dimana kisarannya berkisar 4-5

gr/l. DO lebih di pengaruhi tingkat pemberian aerasi.

3. Salinitas di pengaruhi suhu, namun pengukuran nilai salinitas berdasarkan waktu

yang singkat tidak tampak fluktuatif yang tinggi.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pengamatan parameter kualitas air dengan waktu yang lebih

lama. Supaya dapat melihat perbandingan antara kualitas air pada sistem

Konvensional dan RAS yang lebih signifikan.

2. Sebaiknya memastikan instrument yang digunakan dapat bekerja dengan baik

sebelum melakukan pengamatan kualitas air.

Page 28: Laporan Mce - Erwin

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E., dan E.Liviawaty.1990. beberapa Metode Budi Daya Ikan . Yogyakarta :

Kanisius.

Andrianto, T.T. 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan Nila. Cetakan 1. Absolut,

Yogyakarta, hlm. 7 – 43.

Effendi, H .2003. Telaah Kualitas air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 249 hlm.

Kordi, M.Ghufran H. 2011. Buku Pintar Budidaya 32 Ikan laut Ekonomis ,

Yogyakarta : Penerbit ANDI , 432 hal.

Nontji, A. 1987. Laut nusantara. Jakarta : Djambatan.

Page 29: Laporan Mce - Erwin

L

A

M

P

I

R

A

N

Page 30: Laporan Mce - Erwin

Pengamatan Parameter Perairan