Laporan Magang Etno Bahasa

download Laporan Magang Etno Bahasa

of 24

Transcript of Laporan Magang Etno Bahasa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Percakapan adalah jenis komunikasi manusia yang paling tua. Percakapan bisa terjadi secara verbal dan non verbal. Percakapan verbal terjadi sepanjang sejarah perkembangan manusia. Manusia saling memberi isyarat dengan suara dan dibantu dengan alat komunikasi bila suara tidak bisa menjangkau untuk direspon orang lain. Bahasa hanya dimengerti oleh kelompok yang menyepakatinya. Misal, orang Indonesia sepakat dengan bahasa Indonesia dan hanya masyarakat Indonesia yang memahaminya, bukan kelompok masyarakat lain. Bahasa menjadi bagian dan ciri khas suatu budaya.

Bahasa menjadi proses awal manusia berinteraksi dan saling mengerti. Interaksinya bisa bersifat sosiokultural. Pembicaraan bisa terkait dengan emosi, makna, kepentingan dan karenanya sering diketahui adanya percakapan yang terjadi secara serius dan candaan, bahkan ada golongan yang bisa sepakat meski ada seseorang yang marah maka orang lain mengerti jika orang yang marah tadi sedang melakukan candaan. Semuanya tergantung kesepakatan dan budaya pada suatu wilayah tertentu.

Karena percakapan merupakan syarat terjadinya interaksi antar manusia maka percakapan merupakan hal yang tidak bisa diremehkan untuk dianalisis. Percakapan bisa mengakibatkan berbagai kejadian sosial seperti sedih, marah hingga tawa. Terkadang percakapan juga bisa terjadi salah arti antar sebagian orang. Percakapan tidak hanya sebatas komunikasi wicara tetapi juga aspek lain seperti aksen wajah, bentuk bibir, dan tatapan mata serta perilaku lain yang menandakan orang itu sedang bercanda atau benar-benar marah.

Bagaimanapun, sejauh orang memiliki kode untuk menyampaikan maksudnya tetap membutuhkan kesepakatan yang disepakati secara kultur kelompok. Sebagian orang menganggap berbicara kotor itu adalah hal yang tidak baik dan tidak berbudaya, sebagian lain menganggap itu adalah cara untuk memberikan arti kepada seseorang mengenai hal-hal tertentu.

Kesepakatan itulah yang menjadi suatu ciri yang khas dari beberapa kelompok yang mereproduksi sebuah percakapan dan maknanya. Kesepakatan ini bisa diakui secara spontan ataupun dengn menjelaskannya langsung pada orang yang tidak mengerti tentang maksud-maksud percakapan dan tidak akan sama jika disejajarkan dengan pengguna bahasa di lingkungan lain.

Masyarakat sudah semakin kompleks dan semakin terbagi-bagi dalam banyak hal. Budaya misalnya, aka melahirkan sub budaya pada keadaan dan situasi tertentu sesuai lingkungan dimana seseorang hidup, bisa tempat kerja, tempat nongkrong dan lingkungan keluarga. Terutama pada masa kontemporer ini, yang mana pembagian kerja berdasarkan spesialisasi sudah semakin banyak, maka budaya baru dan rinci juga terbentuk.

Masyarakat pelabuhan misalnya, yang mana bisa dikatakan sama dengan masyarakat kerja lain dalam hal kepemilikan budayanya sendiri, tetapi berbeda dalam hal bentuk komunikasinya. Secara historis, sebenarnya masyarakat manapun dalam pekerjaan apapun tidak lepas dari budaya yang umum pada wilayah yang lebih luas, hanya saja sebagian orang hanya berinteraksi pada beberapa orang yang lebih memahami perkataan dan karakter maksud seseorang tapi bukan semua orang. Dalam hal ini secara luas berarti bahwa berbagai budaya yang berbeda-beda berarti sejumlah permainan bahasa yang berbeda-beda yang harus dipahami dalam pengertian mereka sendiri (Giddens, 2010:49).

Komunikasi dalam hal ini percakapan bisa bersifat polisemi, artinya sebuah ragam di mana kata yang dimiliki mempunyai makna lebih dari satu ketika dilihat diluar penggunaannya dalam konteks tertentu (Ricoeur, 2012:59). Pada suatu kata akan berbeda makna ketika berada di wilayah konteks yang berbeda, semisal mengatakan kucing ketika sedang membicarakan dunia hewan dengan mengatakan kucing ketika membicarakan hal yang berbau seksual dan wanita. Beberapa orang mengerti maksudnya dan beberapa bisa salah arti.

Komunikasi memiliki definisinya. Menurut Argiris (1994) komunikasi sebagai suatu proses dimana seseorang, kelompok, atau organisasi (sender) mengirimkan informasi (massage) pada orang lain, kelompok, atau organisasi (receiver). Karena komunikasi bersifat luas, maka peneliti akan mempersempit wilayah, juga terkait karena wilayah magang yang ditempati. Dalam hal ini, institusi menjadi sebuah wilayah kajian, meksi begitu, komunikasi perorangan menjadi bahasan utama.

Institusi, dimana di dalamnya terdapat sekelompok orang yang melakukan tugasnya dalam bidangnya masing-masing, tetapi masing-masing bidang ini tidaklah benar-benar terpisah, melainkan saling berkaitan. Kehidupan institusi, terutama karena hubungan antar fungsi (meminjam istilah dari Parson), sebuah tujuan utama dalam institusi tidak akan dapat dicapai ketika komunikasi tidak berjalan. Semakin banyak bagian-bagian yang ada dalam sebuah institusi, semakin banyak juga bahan pembicaraan yang dikomunikasikan, terutama dalam persoalan rasionalitas tujuan dan nalar praktis dari komunikasi tersebut

Dalam laporan ini, penulis akan menjelaskan bagaimana percakapan bisa diartikan secara tepat dalam interaksi sosial, khususnya pada masyarakat pelabuhan. Penulis memiliki alasan kenapa harus masyarakat pelabuhan pada umumnya dan kelompok kerja pelayaran pada khususnya. Masyarakat seperti ini memiliki dunia yang berbeda, meski mereka berasal dari kehidupan yang lumrah-lumrah, tetapi karena mereka terkadang jarang bekerja di daratan dan hanya berkutat di laut dan pesisir, dari segi geografis pembicaraan mereka dapat dikatakan berbeda terlebih dalam persoalan perbedaan pengetahuan karena berbeda jarak dengan masyarakat lain yang berada di tengah daratan.

Pola kuasa dan dominasi juga memengaruhi bagaimana percakapan dimaknai atau bahkan hanya sebatas dimaklumi. Seseorang mengatakan sesuatu dengan lantang dan seolah disahkan ketika ia mendapat legitimasi dan ia memegang suatu kekuatan kuasa pada wilayah tertentu. Kuasa dan dominasi membuat beberapa pemaknaan yang berbeda antara si kuasa dan si yang dikuasai. Bisa karena takut maka si yang dikuasai ini memaklumi perkataan si penguasa, atau bisa juga karena si penguasa mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak baik namun ditiru oleh bawahannya dengan maksud bahwa si bos melakukannya kenapa bawahan tidak, artinya itu diperbolehkan hanya saja dalam hal emosional mungkin terdapat perbedaan.

Komunikasi terutama dalam sebuah organisasi berguna dalam menyepakati atau terlebih dahulu mengetahui berbagai masukan dan pengetahuan yang berdasarkan nalar pada masing-masing anggotanya. Komunikasi ini lantas tak pernah luput dari kuasa dominasi dengan maksud-maksud tertentu. Seperti yang ditulis M. Nasrul M.Si dalam artikelnya yang berjudul kekuasaan, komunikasi, dan pemberdayaan dalam organisasi bahwa organisasi memberikan kesempatan anggotanya membuat keputusan tetapi tidak bebas sama sekali melainkan (kekuasaan) mmberikan pedoman atau kriteria yang harus dipenuhi dalam setiap pengambilan keputusan tersebut.

Dalam laporan ini akan penulis ulas mengenai kehidupan sehari-hari pada pekerja pelabuhan pada saat berada ditempat kerja. Analisis penulis berkutat pada percakapan yang dilakukan oleh para pekerja dan karyawan pelabuhan yang penulis teliti. Percakapan ini secara seperti yang telah dijelaskan, juga memiliki unsur kekuasaan dan karenanya penelitian ini melihat bagaimana nalar rasional digunakan ketika komunikasi verbal terjadi.1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana pola dan rasionalitas dalam percakapan dalam suatu masyarakat terkait dalam penyelesaian masalah?1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pola percakapan dan rasionalitas melalui percakapan masyarakat pelabuhan khususnya para karyawan PT Pelindo Marine Service dalam menyelesaikan masalah1.4 Manfaat penelitian

Sebagai sumbangan teoritik dalam ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya. Penelitian ini diharapkan juga menjadi sebuah karya tulis yang dapat menambah wawasan pengenai perilaku sosial masyarakat secara sempit dalam ranah wilayah.

Adapun tujuan praktisnya adalah untuk memenuhi penyelesaian laporan Magang (Praktek Kerja Lapangan) dan menjadi syarat kelulusan mata kuliah PKL tersebut.

BAB II

TINJAUAN TEORI2.1 Teori Tindakan Komunikatif

Teori ini diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf kenamaan Jerman yang juga merupakan Generasi Kedua Mazhab Frankfurt. Dia juga dipandang sebagai pembela Modernitas dan proyek pencerahan dengan menawarkan perubahan dan bukan malah menghapus kaidah Modern seperti yang dilakukan para Postmodernis.

Teori tindakan komunikatif ia tawarkan dan jelaskan mengenai penalaran rasionalitas dan membedah persoalan rasionalitas dengan mengkaitkan bahasa dengan norma sebagai acuan. Konsep tindakan komunikatif mengandaikan bahasa sebagai media bagi tercapainya pemahaman, yang didalamnya partisipan, ketika berhubungan dengan dunia, secara timbal balik mengajukan klaim validitas yang dapat diterima atau ditentang (Habermas, 2012:129). Konsep tersebut berarti adanya suatu interaksi subjektif dan objektif, suatu tindakan komunikatif yang digunakan untuk mencari konsensus secara subjektif dengan melihat kondisi objektif.

Thomas McCharty dalam pengantar buku Teori Tindakan Komunikatif jilid 1 menjelaskan bahwa kompetensi komunikatif bukan hanya soal kemampuan memproduksi kalimat, tetapi juga menceritakan maksud, hasrat, dan mengklaim validitas apa yang dikatakan seperti klaim kebenaran menyangkut dunia objektif atau ketepatan wicara terhadap nilai, norma bersama kehidupan serta ekspresi manifes maksud dan perasaan. Dengan menggunakan teori tindakan komunikatif dimaksudkan untuk menganalisis percakapan dan argumen mengenai ketepatan seseorang berargumen dan mencocokkannya dengan norma atau ketepatan logis yang ada dalam suatu wilayah. Penulis juga akan menganalisis bagaimana tindakan dapat dikatakan rasional dalam sebuah argumen sebelum seseorang melakukan sesuatu.

Sebagai pemikir, sosiolog dan kritikus yang besar di Frankfurt School, Habermas tidak bisa dilepaskan dari pemikiran kritisnya terutama dalam hal komunikasi yang mana harus bebas dari kekuasaan sehingga akan tercipta komunikasi yang emansipatoris. Berbicara tentang komunikasi yang bebas dari kekuasaan, kita dapat mengkaitkan sebuah kritik Habermas atas gagasan revolusi utopis kaum Marxis yang mana sebuah struktur harus dirubah dengan melakukan perlawanan dan gerakan revolusi kaum proletar. Dalam Between Philosophy and Science: Marxism as Critique, Habermas mengkritik konsep Marx dengan melihat kondisi masyarakat yang berbeda antara jaman Marx dan masa kini. Ia memaparkan salah satu dari empat alasan kritiknya sebagai berikut: bahwa dalam masyarakat kapitalisme lanjut, standar hidup sudah berkembang sedemikian jauh sehingga revolusi tidak dapat lagi dikobarkan secara langsung melalui istilah ekonomis (Hardiman, 2009:90).

Melihat konteks yang ada sekarang, benar jika kita membaca pemikiran Habermas bahwa kapitalisme kini sudah lanjut dan kelas sosial juga semakin terintegrasi ke dalam keseluruhan masyarakat. Penulis bisa menuliskannnya secara logis seperti ini: bahwa masyarakat juga membutuhkan uang, tidak ada lagi yan g harus diperjuangkan selain kehidupan diri sendiri dan bukannya kelas. Dalam penelitian ini pun akan dilihat pula nantinya bahwa komunikasi yang tertindas sekalipun juga bukan merupakan satu-satunya cara yang baik dalam revolusi komunikasi emansipatoris-nya Habermas. Komunikasi yang terdistorsi kiranya juga bernasib sama dengan revolusi ekonomisnya Marx, mengingat sebuah institusi umumnya berbentuk hirarkis yang mana selalu ada kekuasaan di dalamnya dan komunikasi emansipatoris juga tidak bisa tercipta dengan baik meski dalam bentuknya, kebebasan berkomunikasi masih ada. Namun, perbedaannya hanya dalam taraf legitimasi.

Meski tindakan komunikatif merupakan bentuk revolusioner baru, akan tetapi Habermas tidak menjadikan teorinya sebagai suatu hal yang radikal melainkan lebih kepada rasio dan norma yang mana Habermas ingin meneruskan kembali tradisi pencerahan (aufklarung). Habermas menjadikan teori masih dalam taraf norma yang berkaitan dengan komunikasi manusia yang mana hal inilah yang disebutnya emansipatoris. Komunikasi berdasarkan rasio tetapi rasio manusia harus bertumpu pada suatu dasar pengetahuan universal. Meski bertentangan sekalipun, komunikasi harus dilandasi sebuah argumen yang jelas tentang maksud dan tujuan seseorang dalam menyampaikan sesuatu melalui bahasa dan segala alasannya didasarkan pada kebenaran secara empiris.

Hardiman menyadur pernyataan Habermas mengenai interaksi komuniatif sebagai berikut:

dengan interaksi dilain pihak, saya maksudkan tindakan komunikatif, interaksi simbolik. Tindakan komunikatif itu ditentukan oleh norma-norma konsensual yang mengikat yang dimengerti oleh dua atau lebih subjek yang bertindak. Norma-norma sosial diberlakukan lewat sanksi-sanksi. Makna dari norma-norma itu diobjektifkan dalam komunikasi lewat bahasa sehari-hari. Sementara kesahihan aturan-aturan tergantung pada kesahihan proposisi-proposisi yang secara analitis tepat dan secara empiris benar

Dari sini dapat dilihat bahwa maksud dari teori komunikatif adalah untuk menemukan sebuah konsensus dari sebuah pembicaraan yang mana masing-masing orang harus memiliki dasar empiris dan sesuai dengan pengetahuan umum (suatu lingkup sosial).

2.2 Etnometodologi

Sebagai dukungan sekaligus pendekatan dalam penelitian ini, etnometodolgi dilakukan lebih awal sebelum menelaah data dengan teori tindakan komunikatif. Fokusnya adalah kepada percakapan dan tanggapan rasional atas konsensus yang ingin dicapai.

Etnometodologi adalah metode dan pendekatan yang diciptakan Harold Garfinkel sebagai kritik atas kajian sosiologi yang konvensional yang mengabaikan realitas empirik dan hal-hal yang berada di luar norma dan keteraturan. Etnometodologi sebagai suatu pendekatan yang fokus pada percakapan dirasa relevan dalam penelitian ini, terlebih, persoalan percakapan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang mana fenomena tersebut yang juga menjadi fokus pendekatan etnometodologi. Sebagaimana dimaklumi bahwa isu utama dalam etnometodologi Garfinkel adalah detail aktivitas sehari-hari yang kerap dikemas dalam ungkapan indeksikal, baik ekspresi indeksikal maupun tindakan indeksikal. Dalam hal ini, Garfinkel mengatakan bahwa melalui analisis percakapan itulah akan bisa dimengerti bagaimana cara (metode) setiap subjek ataupun aktor dalam menjelaskan tindakannya itu secara rasional. Dengan begitu, melalui penalaran praksisnya atau pengetahuan common sense, aktor dapat menjadikannya sebagai piranti, prosedur, dan cara dalam menjelaskan.

Etnometodolog tidak berfokus kepada para aktor atau individu, tetapi lebih tepatnya kepada para anggota. Akan tetapi, para anggota dipandang bukan sebagai individu, tetapi secara ketat dan semata-mata, sebagai kegiatan-kegiatan keanggotaan praktik-praktik cerdik yang mereka gunakan untuk menghasilkan hal yang bagi mereka merupakan struktur organisasi berskala besar dan struktur interaksional atau personal berskala kecil (Hilbert dalam Ritzer, 2012:670). BAB IIILOKASI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, tidak terlepas dari observasi di lapangan. Metode kualitatif menurut Borgan dan Taylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dari subjek dan perilaku yang diamati. Dengan menggunakan metode kualitatif diharapkan dapat menghasilkan uraian secara mendalam dari individu mengenai ungkapan atau perilaku dalam sudut pandang utuh.3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berkutat pada bidang operasional dan logistic PT Pelindo Marine Service Surabaya dimana lokasi tersebut adalah juga sebagai lokasi Praktek Kerja Lapangan penulis. Lokasi tersebut menjadi lokasi observasi dan pengamatan.

PT Pelindo Marine Service adalah perusahaan jasa pelayanan keperluan pelabuhan mulai dari kapal bantu tunda, dermaga, perawatan dan perbaikan kapal. Lokasinya berada di wilayah Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Lokasi tersebut dipilih karena beberapa alasan, yang pertama karena pertimbangan jarak lokasi dengan penulis. Kedua, karena kemudahan akses masuk lokasi tersebut.

3.3. Observasi

Dikarenakan penelitian ini dilakukan sebagian dari kegiatan magang, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian partisipan. Dalam arti, peneliti berada secara langsung dalam lingkup sosial lokasi penelitian tepatnya di lingkungan PT Pelindo Marine Service. Peneliti berada dalam lokasi selama 9 jam kali 14 hari intensif. Peneliti sembari bekerja membantu para karyawan sembari mengamati keadaan lingkungan sosial di lokasi tersebut.

Observasi menurut Burn (1990) menempatkan peneliti sebagai pihak yang dapat mendokumentasikan dan merfleksi secara sistematis terhadap kegiatan dan interaksi subjek penelitian (dalam Basrowi & Suwandi, 2008:93). Metode observasi digunakan untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar peneliti memperoleh gambaran yang lebih luas tentang permasalahan yang diteliti (Ibid, 94). Observasi dilakukan untuk melihat keadaan alamiah yang terjadi tanpa campur tangan peneliti untuk mendapatkan data yang murni. Alasannya adalah karena dalam penelitian adalah menganalisis percakapan antar individu di lingkungan penelitian, diharapkan tidak ada campur tangan peneliti dalam memunculkan interaksi. Peneliti bisa turun tangan tetapi menjadi seperti masyarakat yang diteliti tanpa membedakan dan memberi batas. Ditambah lagi karena peneliti merupakan siswa magang.

Observasi merupakan proses yang kompleks yang mana observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar (Basrowi & Suwandi, 2008:94). Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi untuk melihat perilaku para karyawan yang secara khusus dititik beratkan pada percakapan dan tanggapan secara timbal balik dari masing-masing karyawan.

Jenis Observasi yang peneliti lakukan adalah observasi partisipan (berperan serta). Observasi ini melibatkan peneliti dalam kegiatan sehari-hari orang yang diamati (Basrowi & Suwandi, 2008:106). Dalam hal ini kegiatan sehari-hari ini hanya berfokus pada permasalahan yang akan diteliti saja, yakni kegiatan pekerjaan dan percakapan dalam kegiatan kerja saja dan terbatas pada jam kerja. 3.4 Pendekatan

Laporan ini menjelaskan tentang pola percakapan tersituasi yang terjadi secara natural. Pendekatan yang dipakai disini adalah dengan menggunakan etnometodologi Harold Garfinkel. Etnometodologi lebih mencurahkan perhatian pada analisis percakapan dimana karena perhatian khususnya adalah pada laporan dan menganalisisnya. Sebagaimana yang dijelaskan Ritzer yakni etnometodolgi mencurahkan perhatian pada analisis atas laporan orang, sekaligus bagaimana laporan-laporan tersebut diberikan dan diterima (atau ditolak) oleh orang lain (Ritzer, 2011:418). Disamping itu, etnomoetodologi berusaha menganalisis kehidupan sehari-hari suatu kelompok masyarakat dalam menjalani kegiatan praktis yang berjalan terus menerus.Laporan dalam hal ini adalah sebuah percakapan. Laporan dimaksudkan sebagai tindakan berbicara atas sesuatu kepada orang lain yang mendengarkannya. Karena etnometodologi digunakan untuk menganalisis percakapan, maka interaksi dan perilaku manusia harus berjalan secara alamiah. Seperti Garfinkel sendiri tidak memiliki ketertarikan dalam mengembangkan jenis analisis motif yang didukung penulis semisal Schutz, tetapi lebih memberi perhatian pada bagaimana sikap alamiah direalisasikan sebagai fenomena oleh para aktor dalam kehidupan sehari-hari (Giddens, 2010:24).

Berkaitan dengan lokasi penelitian dan fokus penelitian, penulis berusaha mengkaitkan teori dengan pengamatan. Percakapan merupakan bentuk praktis dimana terdapat juga penalaran praktis yang dapat membuat orang lain menilai apakah rasional atau tidak sebuah argumen. Dalam hal ini sebagaimana yang dikatakan Ritzer mengenai etnometodologi:orang dipandang rasional, namun mereka menggunakan penalaran praktis, dan bukannya logika formal, untuk menjalani kehidupan sehari-hari. (Ritzer, 2011:417)

Dalam hal ini, pengamatan yang akan penulis lakukan adalah tentang percakapan dan interaksi praktis, tetapi penulis juga akan memformulasikannya dengan rasionalitas dan analisis tindakan komunikatif Habermas. Pada sisi lain, penulis juga akan menjelaskan mengenai pola percakapan yang menjadi sumber interaksi utama dan kaitannya dengan kesalahan-kesalahan makna.

Hubungan pendekatan dengan teknik observasi berperan serta ini mungkin akan memiliki ambiguitas. Di satu sisi peneliti berperan serta dalam lingkungan, tapi disisi lain yakni dalam pendekatan etnometodologi, peneliti bersifat otonom atau terpisah dari aktor. Maksudnya ialah, meski berada dalam satu lingkungan dan berperan sebagai aktor, peneliti merupakan subjek yang otonom, dalam artian tidak memengaruhi atau menyetting percakapan atau kegiatan sehari-hari yang wajar. Namun, bukan berarti peneliti tidak berada di dalam lingkungan yang diteliti.

Peneliti melihat dan menjadi bagian dari lingkungan dengan maksud agar tidak ada jarak dengan aktor sehingga aktivitas berjalan seperti biasannya tanpa ada settingan. Otonom disini merupakan posisi peneliti yang mana juga seperti aktor yang diteliti, memiliki rasionalitas praktis tersendiri seperti halnya aktor yang diteliti. Ini dengan tegas diungkapkan Garfinkel bahwa etnometodologi berusaha keras menunjukkan bahwa sosiolog, sebagaimana orang lain, juga memberikan laporan. Etnometodologi mempelajari laporan sosiolog dengan cara yang sama sebagaimana mempelajari laporan-laporan orang awam. Dengan begitu, tidak hanya sosiolog, para elit kelas juga termasuk masyarakat sewajarnya yang dapat dianalisis sebagaimana menganalisis orang awam.

Mengenai analisis percakapan, Zimmerman merinci lima prinsip cara kerja dasar analisis percakapan (Ritzer, 2012:674). Pertama, analisis percakapan memerlukan himpunan dan analisis atas data yang sangat rinci mengenai percakapan. Data tersebut mencakup kata-kata, keraguan, penyelaan, pengulangan, kebisuan, penghelaan napas, tawa, mendehem, hingga persajakan. Kedua, aspek pertanyaan tidak hanya ditata oleh peneliti melainkan kegiatan metodis aktor sosial itu sendiri. Ketiga, interaksi dalam percakapan merupakan prestasi para aktor dan otonom dari proses kognitif dan konteks yang lebih besar dari tempat mereka. Keempat, percakapan dibentuk oleh konteks sekuensial yang mendahului percakapan. Kelima, percakapan merupakan dasar bagi bentuk hubungan antarindividu.BAB IVPEMBAHASAN

Telah dijelaskan dalam latar belakang laporan ini, bahwa percakapan adalah bentuk interaksi yang paling umum dan sudah menjadi bentuk dasar komunikasi manusia dengan ragam bahasa dalam wicara. Bahasa merupakan alat tukar simbolis yang bersuara, verbal dan dipahami. Bahasa tidaklah jelas secara langsung dan memiliki tujuan makna secara tepat. Bahasa penuh idiom, pemaknaan, perumpamaan dan bahkan melebih-lebihkan. Bahasa juga dapat mengandung unsur emosi ketika dikatakan.

Percakapan tidak saja hanya sebatas hubungan interaksi verbal dua atau lebih individu, melainkan juga persoalan pemecahan masalah dalam sebuah institusi atau lingkup tertentu. Dalam hal ini manusia banyak memerlukan diskusi yang panjang dan bahkan melibatkan sejumlah pertimbangan dalam menentukan mufakat dan kata deal-nya. Percakapan begitu luas dan banyak ragam, mulai dari yang paling membuat pusing hingga yang menyenangkan.

Bagaimanapun bahasa dan percakapan tidak pernah lepas dengan apa yang disebut dengan wewenang atau kewenangan seseorang. Percakapan juga bukan soal komunikasi verbal semata, tetapi juga persoalan legitimasi dan persetujuan khalayak dengan pertimbangan rasio. Jurgen Habermas banyak berbicara tentang tindakan komunikatif ini.

Berikut ini, penulis akan membahas mengenai norma dan pengalaman dalam sebuah percakapan yang juga tidak lepas dari pemikiran rasionalitas aktor serta kekuasaan yang menjadi latar seseorang.

Norma dan kuasa vs pengalaman dan nalar praktis

Kuasa dan wewenang sangat terkait dengan rasio dan rasionalitas. Rasio ini bersifat universal namun hanya terletak pada wilayahnya sendiri dan tidak hanya itu, rasio ini juga bukan saja berasal dari kewenangan melainkan juga sistem pada suatu wilayah yang telah disetujui keberadaannya dan sebagai rujukan tentang apa yang akan dibahas dalam percakapan. Rasio ini memiliki legitimasi khusus dan terkadang manusia cenderung menjadikannya sebagai landasan atau menolaknya dengan pemikiran subjektif manusia. Rasio ini memberi kuasa atas kuasa.

Kekuasaan yang mana Marx sebagai kepemilikan modal dan benda produksi tidak sama dengan kekuasaan yang penulis maksud. Kekuasaan bersifat lebih abstrak dan bukan hanya persoalan kepemilikan materiil melainkan persoalan bahasa dan beragam tindakan komunikatifnya. Kuasa ini dimiliki seseorang dengan bentuk seperti mengklaim kebenaran yang ia katakan atau menyanggah pemikiran orang lain dalam sebuah diskusi dimana orang yang berada dibawahnya akan merasa tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk menerapkan gagasannya dan lebih bertujuan untuk mencari persetujuan dan legitimasi dari pihak yang berada diatasnya. Namun, penguasa bahasa tersebut tidak sepenuhnya memegang kendali rasionya. Standart rasio ini bersifat abstrak dan berada pada ranah sistem, bukan manusia. Standart tersebut bisa saja adalah norma yang berlaku:

Dalam filsafat etika, telah disepakati bahwa klaim validitas yang terkait dengan norma-norma tindakan, menjadi landasan perintah atau kalimat-kalimat hendaknya,... Dan ini analog (identik) dengan klaim kebenaran.

Norma tindakan ini dimaksudkan untuk melandasi seseorang dalam memerintah, diperintah, menjalankan atau menolah perintah bahkan menolak perintah. Adapun norma ini bukanlah norma dalam pengertian budaya, atau pun agama, melainkan norma yang lebih spesifik dalam artian sebagai sebuah landasan. Landasan ini bergantung apa yang diaturkan dalam sebuah institusi masyarakat dalam lingkupnya yang kecil dan khas.

Sebuah institusi selalu terkait dengan kekuasaan. Umumnya ditujukan pada si pemegang wewenang, dalam hal ini pimpinan atau seseorang yang berada di posisi tertinggi dalam sebuah institusi, beserta dengan wewenangnya. Namun, pimpinan ini belum sepenuhnya berkuasa, karena norma yang berasaskan logika masih memiliki tempat tertinggi, hanya saja norma ini bisa dibantah karena sebuah pengalaman empirik sang aktor, siapapun itu dan dari posisi manapun. Ini terkait dengan pengalaman dan persepsi yang berasal dari masa lalu. Dalam pembahasan mengenai prima facie, Giddens berpendapat bahwa sebuah refleksi atas masa kini akan memperlihatkan kekurangan pandangan seperti itu. Masa kini (present) tidak dapat diungkapkan atau ditulis tanpa kembali ke masa lalu (Giddens, 2010:70).

Pengalaman dapat merenggut sebuah norma dan kuasa. Seorang aktor dapat melakukan pengrusakan pendapat mapan ketika aktor tersebut mengalami kenyataan yang berbeda. Pengalaman dalam hal ini sangat bersifat empiris bagi aktor. Tidak peduli salah atau benar, melainkan tepat atau tidaknya dalam mencapai sebuah tujuan. Jelas dalam sebuah perdebatan, yang paling menonjol adalah pertimbangan yang didasarkan pada pengalaman, namun bukan berarti pengalaman itu sendiri tidak terikat oleh norma. Seperti apa yang penulis temukan dalam sebuah perdebatan antara manager dengan bagian operasional teknis. Contoh kasus:

Manager: bagaimana rencananya ? bagaimana soal pengisian bahan bakar di kapal yang ada di dermaga timur?

Teknis: kita tetap mengisi agar tangki tidak berkarat pak.

Manager: ya sudah, isi penuh saja

Teknis: apa sebaiknya tidak mengisi secukupnya saja pak ? kan lebih hemat, lagipula kapal jarang beroperasi.

Manager: ini uang kan sudah dijatah untuk bahan bakar satu kapal, ngapain dihemat segala?Teknis: ya kan agar hemat dan bisa digunakan untuk keperluan operasional lain

Manager: memangnya kamu mau isi berapa? Jatahnya kan untuk 200 liter

Teknis: dipakai 150 saja pak,

Manager: trus yang 50 liternya itu buat apa? Apa kamu minum? Jangan-jangan kamu main-main.Teknis: ya bukan begitu pak,

Manager: ya sudah bilang ke logistic

Teknis: (sedang berbicara keras menyampaikan keperluannya ke bidang logistic) , itu kapal di utara isi 150 saja ya, menurut saya itu tepat.

Manager: (yang awalnya mengetes, sekaligus mendengar percakapan itu dan memanggil teknis), hei sini kamu, kamu bilang itu tepat menurut kamu ?

Teknis: iya pak

Manager: dasarannya apa kamu bilang gitu?

Teknis: kan saya tadi sudah bilang kalau untuk dihemat

Manager: saya tahu tujuanmu ini gak buruk, Cuma ya kamu harus mengerti, ini kan sudah dijatah dari bidang keuangan untuk jatah penuh 200 liter. Itu sudah dicatat dibuku besar itu, nah kalau kamu isi 150, uang yang untuk 50 liter itu kamu kemanain? Kecuali kalo bukan jatah, boleh isi semaumu. Lagi pula, kapal, gak bakal imbang jalannya seperti kejadian bulan lalu. Bisa diisi 150 tangki kanan 75 tangki kiri 75. Tapi siapa yang mau mengukur? Udahlah, isi 200 saja, biar tidak ribet urusannya sama bidang keuangan, nanti malah kita dikira makan duit jatah BBM, kamu mau tanggung jawab?

Diskusi berakhir dengan persetujuan pihak teknis untuk mengisi BBM sesuai pendapat manager.

Sekarang penulis akan masuk dalam bagian analisis. Sampai pada pembahasan ini, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan alasannya tetap saja memiliki celah untuk dibantah. Kiblat untuk membantah dan mempertahankan kekuatan argumen selalu memiliki landasan dari norma yang sama tetapi dengan bentuk yang berbeda. Alasan-alasan yang digunakan bisa bersifat pengalaman dan mungkin alasan yang tidak bisa para analis perkirakan seperti niat jahat atau permainannya akan hal-hal tertentu seperti agar mendapat keuntungan.

Alasan yang kuat ini bisa berlandaskan moral, tetapi dalam temuan percakapan diatas, kekuatan yang paling bisa untuk digunakan sebagai alasan adalah alasan institusional. Alasan ini memang tidak menyangkut moral, tetapi menyangkut kemapanan sistem dan kelancaran berjalannya administrasi seperti pencatatan keuangan. Bisa dipertegas bahwa alasan administratif ini sangat umum mengingat uang keluar dan uang masuk harus ada dalam pencatatan dan realisasinya harus jelas. Ketika nominal sekian harus digunakan, maka tidak boleh dilebihi atau dikurangi. Pencatatan ini bertujuan untuk kelancaran arus keuangan.

Kedua aktor yang bercakap-cakap yang disebut diatas memiliki landasan rasional yang kuat. Di satu sisi moral dari tujuan berhemat adalah hal yang bisa disetujui terkait dengan pengelolaan keuangan, di sisi lain, menghemat akan mengacaukan laju pencatatan keuangan oleh bidang administrasi. Si manager adalah orang yang menurut penulis paling realis dengan keadaan yang sedang dijalani, bukan masa lalu ataupun kepentingan masa berikutnya. Ia benar-benar secara tegas menggunakan suatu amanah penggunaan uang setepat-tepatnya tanpa ada pengacauan seperti melebihi atau mengurangi, sedangkan si bagian teknik ini juga memikirkan hal baik meski bukan soal moral, melainkan pemikirannya jauh kedepan atas kegunaan efektif dari sisa uang.

Berdasarkan apa yang penulis amati selama jangka tertentu, latar belakang pemikiran mereka berbeda dan terbentuk karena posisi yang berbeda juga dalam institusi tersebut. Yang satu terbiasa memanage sesuatu berdasarkan porsinya, yang lain terbiasa membatasi suatu hal yang dipikirnya cukup mendapatkan beberapa bagian saja. Perbedaan ini menyebabkan pertentangan hebat dalam sebuah komunikasi yang mana dalam batasan aturan, mereka sebenarnya sama benarnya dalam memberi keputusan. Akan tetapi, tetap saja, keputusan terakhir yang diterima adalah keputusan yang berasal dari posisi yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, Habermas sebagaimana pemikirannya yang mengharapkan tidak adanya kekuasaan dan dominasi dalam sebuah lingkungan menjadi gagal untuk diterapkan. Jelas jika jawabannya adalah karena institusi tersebut hirarkis dan sangat sarat dengan kuasa dan institusi tersebut bukan ruang publik. Biar bagaimanapun, komunikasi tetaplah terjadi karena pengetahuan masing-masing orang bisa tersampaikan meski pada saat keputusan akan didapati unsur yang berbau status dan otoritas. Meski begitu, syarat dan kesahihan komunikasi yang terjadi dalam contoh kasus tadi telah dapat kita temukan yakni mengenai analisa empirik masing-masing subjek penelitian. Seperti Ritzer dalam menuliskan tentang subjek dalam pendekatan etnometodologi bahwa orang dipandang rasional, namun mereka menggunakan penalaran praktis, dan bukannya logika formal, untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Masing-masing memberi penjelasan yang sama-sama benar dan meski begitu kebenaran akan absah bilamana yang dilegitimasi adalah salah satu dan bukan semua. Mufakat didapat demi mendapatkan satu keputusan yang mana tidak adanya kemungkinan untuk mengambil dua keputusan sekaligus terkait dengan pertentangan seperti dana atau kondisi kapal.

Mengenai klaim kebenaran, dasar dari suatu kebenaran ini selalu berkait dengan norma. Kedua subjek tidak memiliki standar norma melainkan pengalaman dan analitik empiriknya selama ini. Selain karena tidak ada norma yang mengatur hal tersebut, dan juga tidak ada lagi jalan selain mencari mufakat, maka komunikasi lebih tepat dilakukan dan meski aktor yang berada pada posisi bawah sadar bahwa akan sia-sia ia berdebat dengan aktor dengan posisi yang lebih tinggi. Tidak ada acuan mendasar selain bagaimana suatu uneg-uneg dapat disatukan untuk mencari sebuah jawaban final.Tawa dan Pembicaraan bebas

Peneliti akan meninggalkan analisa yang berkenaan dengan tindakan komunikatif. Dalam hal ini analisa etnometodologi akan lebih dominan dalam membahas komunikasi non visual atau tanpa tatap muka. Radio adalah alat paling umum dalam dunia perkapalan. Alat ini digunakan untuk berkomunikasi namun dengan radius terbatas dan tentunya hanya beberapa orang yang berkepentingan yang dapat masuk jaringan komunikasi, khususnya yang masih ada dalam lingkungan perkapalan, siapaun itu aktor yang berada di kapal maupun di dermaga.

Pembicaraan melalui radio cenderung searah meski bisa dibalas. Maksudnya, seperti handy talkies, orang yang mengudara dan memberi informasi atau meminta bantuan bisa terdengar oleh siapa saja di radio dalam keadaan siaga. Namun, si pendengar masih bisa membalas dan menerima panggilan dari radio tersebut dan dapat saling berkomunikasi. Si pembalas dan penerima pun pada prinsipnya juga terdengar oleh orang-orang yang radionya standby di radius tersebut. Percakapan bisa terdengat oleh banyak orang.

Nah, bagaimanapun etnometodologi tidak lepas dari analisa seperti ini. Kita dapat melihat fakta sosial khas etnometodologi yang berbeda dengan fakta sosial Durkheim. Jika fakta sosial khas Durkheim adalah bersifat memaksa individu, maka dalam etnometodologi, fakta sosial atau objektivitas fakta sosial dengan pencapaian para anggota sebagai kegiatan metodologis para anggota (Ritzer, 2012:667). Dengan demikian, aktor yang berbahasa, berwicara dan bertindak secara praktis adalah fakta yang paling objektif dan reflektif.

Hubungannya dengan komunikasi non verbal dan non visual, adalah ketika aktor secara spontan, dengan atau tanpa niat mengucapkan sesuatu adalah objektif terlepas dari konteks atau berkenaan dengan konteks.

Selanjutnya akan peneliti analisis bentuk wicara manusia yang sepele dan bentuk wicara keseharian yang bebas tanpa adanya tekanan. Komunikasi ini terdengar garing karena panggilan tidak dibalas, tetapi efek-efeknya ada pada pendengar yang mendengar panggilan tersebut. Radio ini sifatnya umum, yang artinya bisa didengar oleh orang di seluruh ruangan dan ketika operator tidak ada ditempat, maka anggota lain bisa menjawab dengan kebijakan yang telah disiapkan.Contoh kasus 2:

KM Jayengrono: PMS, PMS, informasi dari Jayengrono, terdapat kapal masuk, segera mengonfirmasi dimana akan dilabuhkan, ganti. (panggilan pertama dan kedua berlangsung seperti ini sampai ada akhirnya pihak PMS menjawab).PMS

: Jayengrono, labuhkan kapal di utara, ganti.KM Jayengrono: PMS, terlambat mengonfirmasi, wah, nang endi ae rek (dengan bahasa lokal dan nonformal).

Pembicaraan bebas dimulai dari sini.

PMS

: mohom maaf Jayengrono, terlalu sibuk dibagian logistik mengurusi masalah kapal karam kemarin. GantiKM Jayengrono: wah wah, banjir duit ini, ada yang lagi banyak pesanan, sampai lupa yang di laut. Mesakno (kasihan)

PMS

: santai pak bos, segera ambil cuti, masa kerjaannya cuma lihat laut sama bau oli.(seluruh orang di bagian logistik tertawa, seolah-olah keformalan hilang meski ada di lingkungan formal).

KM Jayengrono: ya sudahlah bos, masih lama, ini masih ngurusi ikan hiu, gara-gara dia, saya gak ikut lebaran, jaga di laut. Gak ada ketupat dilaut, yang ada rumput laut. Oke bos, selamat bekerja, selamat menikmati kehidupan yang indah di daratan.(semua orang tertawa dan komunikasi berakhir)

Dari contoh diatas, percakapan yang terjadi bersifat lokal, artinya, bukan hanya bahasa formal maupun non formal, melainkan juga bahasa yang menjadi kesepakatan mereka seperti guyonan-guyonan yang tidak dapat dimengerti orang lain termasuk peneliti karena hanya mereka yang mengetahuinya berdasarkan konteks kehidupan sehari-hari mereka. Guyonan tersebut bagi peneliti adalah guyonan yang garing atau memang peneliti yang bukan merupakan bagian dari mereka sehingga tidak mengetahui guyonan khas mereka dengan tema tertentu yang pada akhirnya hanya mereka yang mengetahuinya.

Kita dapat melihat siikan hiu. Mungkin akan menemukan kebingungan antara ikan hiu dengan hari lebaran. Dengan demikian, ikan hiu adalah julukan bagi seorang rekan kerja yang ada bersamanya. Sindiran soal laut dan daratan menjadi olokan khas mereka mengingat beberapa orang yang bekerja di laut tidak akan sebahagia yang bekerja di darat yang mana bisa pulang dan bertemu keluarga. Dengan demikian, pekerjaan di laut adalah pekerjaan yang dianggap suatu kesialan meski dengan bayaran besar tetapi hidup diselimuti kebosanan di kapal.

Kini peneliti sedikit akan membahas tentang kekuasaan. Berbeda dengan contoh pertama yang mana percakapan sengit dilakukan dengan nalar praktis, contoh kedua lebih kepada percakapan biasa. Sama seperti yang pertama, percakapan ini terdengar seperti tidak formal dan bebas kuasa. Sedikit memotong pembahasan, peneliti perlu mengingatkan bahwa bagian logistik memang berisi pekerja yang latar belakangnya sedikit berbeda dengan bagian yang ada di kantor pusat yang cendering formal dan ketat. Di logistik, hanya ada pekerjaan. Segala macam sifat, tata bicara, tidak dipentingkan dalam lingkungan tersebut. Perbedaan yang sangat jelas, bukan hanya dari segi aturan, melainkan juga geografis yang mana kantor mereka terpisah meski dalam satu naungan.

Percakapan tanpa kuasa tadi bukan hanya diimbangi dengan latar belakang yang sama, melainkan juga sikap loyal dan saling menghargai pekerja yang mengalami suatu hal yang tidak menyenangkan. Meski pada akhirnya, sindiran dilakukan tetapi lebih bertujuan untuk bercanda dan menghibur. Aksen wajah mereka yang sedang berkomunikasi, seperti yang peneliti amati juga tidak menunjukan sentimen seperti yang terjadi pada kasus pertama, mereka cenderung biasa dan berusaha membuka pembicaraan yang menyenangkan banyak orang. Pihak yang tidak dapat diamati, dalam hal ini, seseorang dari KM Jayengrono juga tidak menunjukkan tanda marah, malah memberi ucapan selamat tinggal yang bersifat guyonan dibalut sindiran pula. Sangat tidak ada batas kuasa dalam kasus kedua ini.KESIMPULAN

Dalam kasus yang telah dibahas, kita mendapati hal terpenting dalam menentukan keputusan lebih-lebih jika urusan tersebut fatal dan terkait dengan kebutuhan perusahaan komersil. Kesepakatan yang dibutuhkan juga membutuhkan aturan dan karena aturan tidak ada, maka tetap saja mufakat harus didapat. Komunikasi penting dalam hal ini.

Logika formal menjadi tidak penting atau ketika logika formal tersebut tidak dapat digunakan maka penalaran praktis menjadi kunci dalam menyelesaikan suatu masalah. Berbeda dengan teori sistem pada umumnya, yang mana satu komponen sistem keluar sistema akan mengakibatkan terjadinya kekacauan sistem, teori tindakan komunikatif lebih mengutamakan komunikasi berdasarkan rasio dan empiriknya subjek bukan aturan dalam sebuah tatanan, terlebih apabila tatanan yang ada tidak menyeluruh dalam mengatasi masalah. Aktor menjadi penting dalam hal ini.

Aktor sebagaimana yang terdapat dalam ruang lingkup sistem tidak harus mengikuti alur sistem. Terkadang sistem tidak memberi kelegaan dalam mencapai keputusan. Aktor yang lebih dari satu dapat melakukan komunikasi dalam mencapai mufakat, tidak penting itu untuk kepentingan diri sendiri atau publik yang pasti dengan komunikasi segala ide dan masukan dapat disatukan atau minimal tersampaikan dalam sebuah pemecahan masalah. Tindakan komunikasi meski masih dibalut dengan suatu kekuasaan dan posisi hirarkis mungkin masih bisa dimaklumi daripada sang aktor harus merasa terpuruk dalam sistem dan sebagai manusia, manusia masih memiliki daya pikir di luar logika formal dan menggunakan penalaran praktis sebagai alternatifnya.

Aktor menjadi bebas dalam menuangkan pemikirannya dan pada akhirnya konsensus tunggal tercipta tanpa adanya aturan formal. Dengan demikian komunikasi menjadi penting bukan hanya menjawab berbagai masalah melainkan memunculkan jalinan hubungan yang sebelumnya tidak ada. DAFTAR PUSTAKA

Literatur:

Bagong Suyanto (Ed). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya Media

Basrowi & Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Rineka Cipta

Giddens, A. 2010. Metode Sosiologi: Kaidah-kaidah Baru. Yogyakarta: Pustaka PelajarHabermas, Jurgen. 2012. Teori Tindakan Komunikatif: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Hardiman, F. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap pertautan pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Kanisius: Yogyakarta

Ricoeur, Paul. 2012. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi WacanaRitzer, G. 2011. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai perkembangan terakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi WacanaRitzer, G. 2012. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai perkembangan terakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Pustaka PelajarJurnal dan artikel

Nasrul, M. 2003. Kekuasaan, Komunikasi dan Pemberdayan dalam Organisasi. MEdik nomor 3. September Desember 2009. 37-38

Nurrohim, Hassa & Lina Anatan. 2009. Efektivitas Komunikasi Dalam Organisasi. Jurnal Manajemen, Vol. 7, No. 4, Mei 2009. 1-9

Nurrohim, Hassa & Lina Anatan. 2009. Efektivitas Komunikasi Dalam Organisasi. Jurnal Manajemen, Vol. 7, No. 4, Mei 2009. 1-9

Nasrul, M. 2003. Kekuasaan, Komunikasi dan Pemberdayan dalam Organisasi. MEdik nomor 3. September Desember 2009. 37-38

McCharty, Thomas dalam pengantar Teori Tindakan Komunikatif, rasio dan rasionalisasi masyarakat. Jurgen Habermas. Kreasi Wacana. Hal xi

Hardiman, F Budi. Kritik Ideologi. Hal 90

Amal, M. Khusna dalam Bagong Suyanto (Ed). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. 202

Ibid. 202-203

ibid

Hakim, M. Lukman dalam Bagong Suyanto (Ed). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. 227

Ritzer, G. 2011. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai perkembangan terakhir Teori Sosial Postmodern. 419

Habermas, Jurgen. Teori Tindakan Komunikatif 1, Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat. Kreasi Wacana. Hal 24. Dalam kurung adalah tambahan