LAPORAN KUNANG-KUNANG

18
PENDAHULUAN Waduk Ir. H. Djuanda atau Waduk Jatiluhur merupakan suatu perairan umum yang luasnya 8300 ha, dengan kedalaman maksimum 90 m, dan fluktuasi permukaan air tahunan kurang lebih 25 m. Waduk ini merupakan hasil pembendungan sungai Citarum yang berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, tempat kegiatan kolam perikanan, pariwisata, olahraga air, pengendali banjir, walaupun fungsi utama dari waduk ini adalah sebagai irigasi (Ekawati et al. 2010). Bendungan Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) dibangun pada tahun 1957 sampai dengan 1967. Bendungan ini dibangun berdasarkan gagasan dari Prof. Dr. Ir. WJ. Van Blommestein pada tahun 1948. Gagasan tersebut, kemudian dikaji ulang sebanyak dua kali pada tahun 1955 dan 1960 oleh Ir. Van Schravendijk dan Abdullah Angudi. Bendungan Ir. H. Djuanda yang terletak hanya sekitar 80 km tenggara Jakarta adalah bendungan serbaguna yang di antaranya berfungsi sebagai penyediaan air minum, irigasi, pembangkit listrik, rekreasi , peternakan ikan dan pengendalian banjir. Terletak pada ketinggian ± 120 mdpl. Berdasarkan koordinat geografis,bendungan ini berada pada 6º31’LS dan 107º23’BT. Luas bendungan ini adalah 8.300 ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 milyar m 3 . Bendungan tersebut terdiri dari beberapa bendungan, yaitu Tower spillway yang berbentuk morning glory atau sering disebut berbentuk bunga kecubung, bendungan utama, pasir gombong saddle dam, Ciganea saddle dam, dan ubrug saddle dam (Sidauruk et al. 2006). 1

description

Studi Lapang

Transcript of LAPORAN KUNANG-KUNANG

Page 1: LAPORAN KUNANG-KUNANG

PENDAHULUAN

Waduk Ir. H. Djuanda atau Waduk Jatiluhur merupakan suatu perairan umum yang

luasnya 8300 ha, dengan kedalaman maksimum 90 m, dan fluktuasi permukaan air tahunan

kurang lebih 25 m. Waduk ini merupakan hasil pembendungan sungai Citarum yang

berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, tempat kegiatan kolam perikanan, pariwisata,

olahraga air, pengendali banjir, walaupun fungsi utama dari waduk ini adalah sebagai

irigasi (Ekawati et al. 2010).

Bendungan Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) dibangun pada tahun 1957 sampai dengan

1967. Bendungan ini dibangun berdasarkan gagasan dari Prof. Dr. Ir. WJ. Van

Blommestein pada tahun 1948. Gagasan tersebut, kemudian dikaji ulang sebanyak dua kali

pada tahun 1955 dan 1960 oleh Ir. Van Schravendijk dan Abdullah Angudi. Bendungan Ir.

H. Djuanda yang terletak hanya sekitar 80 km tenggara Jakarta adalah bendungan

serbaguna yang di antaranya berfungsi sebagai penyediaan air minum, irigasi, pembangkit

listrik, rekreasi , peternakan ikan dan pengendalian banjir. Terletak pada ketinggian ± 120

mdpl. Berdasarkan koordinat geografis,bendungan ini berada pada 6º31’LS dan

107º23’BT. Luas bendungan ini adalah 8.300 ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3

milyar m3. Bendungan tersebut terdiri dari beberapa bendungan, yaitu Tower spillway yang

berbentuk morning glory atau sering disebut berbentuk bunga kecubung, bendungan

utama, pasir gombong saddle dam, Ciganea saddle dam, dan ubrug saddle dam (Sidauruk

et al. 2006).

Kunang-kunang merupakan kumbang suku Lampyridae yang dapat berpendar

memancarkan cahaya dari dalam tubuhnya. Kunang-kunang memiliki organ dan sel khusus

(Photocytes) yang mampu menghasilkan cahaya pada segmen ke-5 pada betina, dan

segmen ke-5 dan ke-6 pada jantan, larva dan telur juga dilaporkan menghasilkan cahaya

(Walker 2001).

Ciri khas dari kunang-kunang dibanding dengan serangga lain adalah cahaya yang

dihasilkan dari abdomennya. Fungsi cahaya ini adalah untuk mencari pasangan atau kawin,

sebagai peringatan adanya bahaya, dan melindunginya dari predator. Masing-masing

spesies kunang-kunang memiliki cahaya yang berbeda yang membedakan mereka

berkomunikasi satu sama lainnya. Warna cahaya yang dihasilkan kuning, oranye,

kehijauan tergantung spesiesnya (Cannings et al. 2010).

1

Page 2: LAPORAN KUNANG-KUNANG

Kunang-kunang merupakan sejenis kumbang yang dapat berpendar memancarkan

cahaya. Kunang-kunang betina bercahaya pada malam hari untuk memikat kunang-kunang

jantan di kegelapan. Proses yang menarik pada makhluk hidup yang mengubah energi

kimia menjadi energi cahaya disebut bioluminisensi. Setiap makhluk hidup mampu

menghasilkan luminisensi untuk tujuan atau fungsi yang berbeda-beda (Barua et al. 2009)

Kunang-kunang dewasa, secara umum ditemui pada habitat yang sama dengan

larvanya. Kebanyakan spesies kunang-kunang ditemukan di daerah dengan kelembaban

tinggi dan hangat seperti kolam, sungai, payau, lembah, parit, dan padang rumput, yang

kemungkinan kelembaban di daerah tersebut lebih lama dibanding daerah sekitarnya.

Meskipun demikian beberapa spesies ditemukan di daerah yang sangat gersang dan kering.

Di daerah gersang ini, kunang-kunang dewasa dan larva dapat dengan mudah ditemukan

setelah hujan (Branham 2003).

Populasi kunang-kunang semakin hari semakin berkurang jumlahnya. Beberapa

waktu yang lalu kunang-kunang sangat mudah ditemukan terutama di desa-desa tetapi

sekarang sangat jarang dapat dilihat. Untuk beberapa tempat, menurut laporan dari

penduduk desa telah terjadi penurunan populasi kunang-kunang yang sangat tajam, bahkan

tidak pernah lagi terlihat keberadaannya. Kemungkinan kehadirannya sudah terancam

karena pembukaan lahan dan hutan (Sari et al. 2014).

Tujuan studi lapang ini adalah sebagai pelatihan kerja di lapangan juga untuk

mengetahui keragaman kunang-kunang di kawasan Waduk Jatiluhur, dan sebagai

pembanding digunakan sampel kunang-kunang yang berasal dari area persawahan

belakang Giant Bubulak, Dramaga, Bogor.

2

Page 3: LAPORAN KUNANG-KUNANG

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi

Studi lapang dilaksanakan pada 28-30 Juli 2015 di Waduk Jatiluhur. Pengambilan

sampel kunang-kunang dilakukan di dekat perkampungan warga sekitar PLTA Waduk

Jatiluhur (Gambar 1) pada pukul 18.30-19.00 WIB. Pengambilan sampel kunang-kunang

kedua dilakukan pada 6 Agustus 2015 di area persawahan belakang Giant Bubulak,

Dramaga (Gambar 2) pukul 22.00-22.30 WIB.

Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel kunang-kunang

di Waduk Jatiluhur

3

Lokasi penangkapan kunang-kunang dekat perkampungan

warga sekitar PLTA

Page 4: LAPORAN KUNANG-KUNANG

Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel kunang-kunang

di Dramaga

Pengambilan Sampel Kunang-Kunang

Kunang-kunang ditangkap dengan menggunakan tangan dan insect net. Kunang-

kunang yang telah ditangkap dimasukkan ke dalam botol film kemudian diberi label. Alat-

alat yang digunakan untuk menangkap kunang-kunang disajikan pada Gambar 3.

Keterangan:

(a) Insect net

(b) Botol film

(c) Label

(a) (b) (c)

Gambar 3 Alat-alat yang digunakan untuk mennangkap kunang-kunang

Pengamatan Morfologi Kunang-Kunang

Pengamatan morfologi dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari setiap bagian

tubuh dan membedakan jenis kelamin kunang-kunang. Bagian tubuh yang diamati meliputi

bagian dorsal, yaitu kepala, pronotum, dan sayap, serta bagian ventral, yaitu antena, mulut,

tungkai, dan abdomen. Bagian-bagian tersebut dipotret dan diukur dengan menggunakan

4

Lokasi penangkapan kunang-kunang di area persawahan

Page 5: LAPORAN KUNANG-KUNANG

aplikasi yang ada pada alat optilab. Alat dan bahan yang digunakan dalam pengamatan

morfologi kunang-kunang disajikan pada Gambar 4.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Keterangan : (a) Cawan petri (d) Alkohol 70% (b) Pinset (e) Mikroskop Stereo (c) Optilab (f) Lampu belajar

Gambar 4 Alat dan bahan yang digunakan untuk mengamati morfologi kunang-kunang

5

Page 6: LAPORAN KUNANG-KUNANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kunang-kunang didapatkan di dua lokasi yang berbeda. Berikut adalah tabel

mengenai jumlah kunang-kunang yang tertangkap dari setiap lokasi.

Tabel 1 Jumlah kunang-kunang yang tertangkap

Lokasi penangkapan Jumlah (sampel)

Lokasi 1 (Jatiluhur) 7

Lokasi 2 (Dramaga, pembanding) 4

Lokasi 1 berada di dekat perkampungan warga sekitar PLTA Waduk Jatiluhur.

Kunang-kunang yang tertangkap dilokasi 1 berjumlah tujuh sampel. Lokasi 2 diambil

sebagai pembanding yaitu di area persawahan belakang Giant Dramaga tertangkap kunang-

kunang berjumlah 4 sampel. Kedua lokasi tersebut merupakan habitat yang lembab dan

berair. Hal tersebut sesuai dengan habitat kunang-kunang yang dapat ditemukan didaerah

lembab dan becek, seperti di pematang sawah, tepian kolam, selokan atau sungai

(Noerdjito 1983).

Kunang-kunang yang berada di dekat perkampungan warga sekitar PLTA Waduk

Jatiluhur memiliki ciri-ciri morfologi yang hampir sama dengan kunang-kunang yang

berada di daerah Dramaga. Perbandingan ciri-ciri morfologi kunang-kunang yang

tertangkap dapat dilihat dalam Tabel 2.

Kunang-kunang yang didapatkan dekat perkampungan warga sekitar PLTA

Waduk Jatiluhur mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di

Dramaga dengan panjang tubuh berkisar 10,75 mm. Kunang-kunang yang ditemukan di

kedua lokasi memiliki jumlah segmen antena yang sama yaitu 11 segmen. Sayap dan

pronotum pada kunang-kunang yang ditemukan di kedua lokasi juga memiliki warna yang

serupa yaitu pada sayap berwarna kuning bergaris hitam dan pronotum memiliki bercak

hitam. Selain itu, segmen abdomen pada kunang-kunang yang ditemukan memiliki jumlah

yang sama yaitu 7 segmen serta pada mulut terdapat sungut. Ukuran tubuh dan bentuk

kepala pada kunang-kunang dari lokasi 1 dan 2 memiliki bentuk yang sama yaitu terlihat

jelas pada bagian ventral tubuhnya. Bagian tubuh kunang-kunang (Luciola) yang

ditemukan di daerah perkampungan sekitar PLTA Waduk Jatiluhur disajikan dalam

Gambar 5.

6

Page 7: LAPORAN KUNANG-KUNANG

Tabel 2 Ciri morfologi kunang-kunang di kedua lokasi

No Karakteristik yang di amati Lokasi 1 Lokasi 2

1 Ukuran tubuh (mm) 10,75 mm 11,83 mm

2 Jumlah segmen antena 11 11

3 Warna pronotum Terlihat bercak hitam Terlihat bercak hitam

4 Bentuk kepala Tertutup dan besar Terlihat dan kecil

5 Warna sayap Kuning bergaris hitam Kuning bergaris hitam

6 Jumlah segmen abdomen 7 7

7 Bentuk mulut Memiliki sungut Memiliki sungut

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

7

Page 8: LAPORAN KUNANG-KUNANG

(g) (h) (i)

Keterangan: (a) ventral (d) mulut (g) sayap dalam (b) dorsal (e) pronotum (h) tungkai (c) antena (f) sayap luar (i) abdomen

Gambar 5 Bagian tubuh kunang-kunang waduk Jatiluhur

Kunang-kunang yang berada di daerah Dramaga memiliki struktur morfologi yang

sama dengan kunang-kunang didarah perkampungan Waduk Jatiluhur. Bagian tubuh

kunang-kunang yang ditemukan di daerah Dramaga disajikan dalam Gambar 6.

(a) (b) (c)

8

sayap dalam

Sayap luar

Page 9: LAPORAN KUNANG-KUNANG

(d)

(e)

(f)

(g) (h) (i)

Keterangan: (a) ventral (d) mulut (g) sayap dalam (b) dorsal (e) pronotum (h) tungkai (c) antena (f) sayap luar (i) abdomen

Gambar 6 Bagian tubuh kunang-kunang Dramaga

Kunang-kunang yang berada di lokasi 1 dan 2 hanya diketahui genusnya saja yaitu

Luciola . Luciola termasuk dalam subfamili Luciolinae. Ciri-ciri dari subfamili Luciolinae

yaitu memiliki bentuk tubuh pipih memanjang, terlihat cembung, bagaian dorsal tubug

ditumbuhi rambut-rambut halus, duri-duri atau setae kecil dengan panjang tubuh 4-18 mm.

Bagian sayap didorsal memiliki dua pasang sayang yaitu sayap bagian luar yang lebih

keras dan sayap bagian dalam yang seperti membran tipis. Bagian ventral terlihat kepala,

bentuk mulut, abdomen, bentuk mulut dengan sungut 11 segmen dengan panjang kurang

dari atau bisa mencapai pertengahan prothoraks, serta tiga pasang tungkai yaitu terdiri atas

femur, tibia, dan tarsus. Mata terdiri dari mata majemuk (faset) dengan ommatidium tipe

exocone, tanpa mata tunggal (ocelli), diameter horizontal mata dua kali dari diameter

vertikal mata. Tipe antena yaitu filiforms atau clavate. Abdomen dengan ventrit abdominal

5-6 ruas. Tergit dan sternit ke-7 dipisahkan oleh sutura (Lawrence et al 1991).

Klasifikasi Luciola yang berada di kedua lokasi (Thacharoen et al. 2007):

Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

9

sayap dalam

Page 10: LAPORAN KUNANG-KUNANG

Ordo : Coleoptera

Famili : Lampyridae

Genus : Luciola

Luciola mempunyai bercak hitam pada pronotum dan di ujung sayap luar dekat

abdomen. Bagian kepala terdapat sungut atau antena dengan 11 segmen. Abdomen

mempunyai 7 segmen diantaranya segmen 1-3 berwarna kecoklatan, segmen 4-5 berwarna

kuning terang dan dua segmen terakhir yaitu segmen 6-7 berwarna putih atau bening yang

biasa digunakan untuk memancarkan cahaya. Ciri tersebut ditemukan pada kunang-kunang

jantan. Kunang-kunang betina pada genus Luciola memiliki segmen yang sama dengan

jantan yaitu 7 segmen . Namun, ukuran tubuh betina lebih besar daripada jantan serta yang

memancarkan cahaya terdapat pada segmen ke-5 sedangkan pada jantan memancarkan

cahaya pada segmen ke-5 dan ke-6. Genus Luciola terutama pada fase larva sebagian besar

berada di disekitar perairan dan banyak tersebar didaerah Asia (Jäch 2003).

Siklus hidup kunang-kunang berawal dari telur lalu berubah menjadi larva

kemudian menjadi pupa dan tumbuh menjadi dewasa. Betina akan meletakan telur sekitar

seratus butir atau lebih di tanah atau didasar pohon. Telur akan menetas dalam 2-4 minggu.

Larva kunang-kunang ditemukan di kayu-kayu yang telah membusuk atau serasah hutan

atau di daerah lembab ditepi sungai dan kolam pada malam hari. Larva bersifat karnifora,

memakan serangga lain, siput dan slug. Larva akan hidup setara satu atau dua tahun dan

kecepatan berenang larva tersebut lebih kurang 0,9 m/jam. Sekitar 1-2 minggu terakhir

dalam masa larva, larva akan berubah menjadi pupa. Tahap selanjutnya pupa kemudian

berubah menjadi kunang-kunang dewasa yang berlangsung selama 10 hari (Sari et al.

2014)

Organ cahaya kunang-kunang terletak pada permukaan ventral abdomen. Organ

cahaya pada kunang-kunang jantan terletak pada segmen ke-5 dan ke-6, sedangkan pada

kunang-kunang betina, organ cahaya terletak pada satu segmen saja yaitu segmen ke-5

(Gambar 7).

Keterangan:

(a) jantan

(b) betina

10

Page 11: LAPORAN KUNANG-KUNANG

(a) (b)

Gambar 7 Organ penghasil cahaya pada kunang-kunang Luciola

Kunang-kunang mampu memancarkan cahaya sendiri karena disebabkan oleh

enzim luciferase yang mengkatalis senyawa luciferin. Reaksi kimia melibatkan tiga

komponen utama, yakni luciferin (substrat), luciferase (enzim) dan molekul oksigen.

Luciferin merupakan substrat yang meelawan suhu panas dan menghasilkan cahaya

sedangkan luciferase merupakan sebuah enzim yang mengkatalis dan oksigen sebagai

bahan bakar (Gajendra et al. 2002). Luciferin diaktifkan oleh ATP dengan bantuan

magnesium dan enzim luciferase untuk memproduksi adenylluciferin. Adenylluciferin

mengalami oksidasi dibantu dengan peroksida organik kemudian seluruhnya meluruh

secara spontan menjadi adenyloxyluciferin yang berenergi rendah yang dapat

memproduksi cahaya. Energi rendah dari adenyloxyluciferin menghasilkan penghambat

bagi reaksi selanjutnya menjadi luciferase dan pyrophosphate. Organ cahaya merangsang

saraf yang dilakukan oleh asetilkolin dan pada bagian akhir saraf bereaksi dengan ATP dan

koenzim untuk menghasilkan pirofosfat kemudian berdifusi ke butiran fagosit dan

merangsang produksi cahaya dengan menghilangkan penghambat luciferase. Luciferase

dalam reaksi tersebut mengalami eksitasi dan kembali ke keadaan dasar sambil

memancarkan cahaya. Keadaan ini merupakan proses fisika yang melibatkan transport

elektron dimana elektron pindah dari keadaan dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi dan

kemudian kembali kekeadaan dasar yang disertai pancaran cahaya. Pancaran cahaya yang

dihasilkan oleh organisme bioluminisensi ini merupakan energi dingin, karena hampir 90%

energi yang dihasilkan dari reaksi luminisensi diubah menjadi energi cahaya (Gilmour

1961).

11

Page 12: LAPORAN KUNANG-KUNANG

SIMPULAN

Kunang-kunang masih ditemukan di kawasan Waduk Jatiluhur dan Dramaga.

Morfologi kunang-kunang dikawasan Waduk Jatiluhur mirip dengan morfologi kunang-

kunang daerah Dramaga. Kunang-kunang yang ditemukan belum dapat ditentukan nama

spesiesnya dan kemungkinan adalah dari genus Luciola dari subfamili Luciolinae.

Perbedaan kunang-kunang jantan dan betina terletak pada organ berpendar penghasil

cahaya dan ukuran tubuh.

12

Page 13: LAPORAN KUNANG-KUNANG

DAFTAR PUSTAKABarua, Gohain A, Hazarika S, Saikia NM, Baruah GD. 2009. Bioluminescence Emission of

A Firefly Luciola praeusta Kieswetter 1874 (Coleoptera: Lampyridae: Luciolinae). India (IN): Gauhati University.

Branham MA, Wenzel JW. 2003. The origin of Photic behavior and the evolution of sexual communication in fireflies (Coleoptera: Elateroidea). Cladistics. 19(1): 1-22.

Cunnings RA., Branham MA, McVickar RH. 2010. The light-producing fireflies (Coleoptera: Lampyridae) of British Columbia. Journal of The Entomological Society of British Columbia. 107: 33-41.

Ekawati D, Astuty S, Dhahiyat Y. 2010. Studi kebiasaan makan nilem (Ostechilus hasselti C.V.) yang dipelihara pada karamba jaring apung di Waduk Jatiluhur[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Gajendra, Babu, Kannan M. 2002. Lightning Bugs. India (IN): Tamil Nadu Agricultural University Coimbatore.

Gilmour D.1961. The Biochemistry of Insects. New York (US): Academic Press.Jäch MA, Ji L. 2003. Zoologisch Botanische Gesellschaft in Ăsterreich and wiener

Coleopterologenverein. Water Beetles of China. 3(1): 539–562.Lawrence JE, Britton EB. 1991. Coleoptera In The Insects of Australia 2nd edition.

Australia (AU): Melbourne University Press.Noerdjito WA, Rochandi PA. 1983. Kunang-kunang. Fauna Indonesia. 1(2): 14-15.Sari M, Ratnawulan, Gusnedi. 2014. Karakteristik fisis pemancaran cahaya kuinang-

kunang terbang (Pteroptyx tener). Pillar of Physic. 1: 113-120.Sidauruk P, Alip, Pratikno B. 2006. Penelitian pola stratifikasi air waduk Jatiluhur dengan

menggunakan teknik perunut isotop alam. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 2(2): 1-12.

Thancharoen A, Ballantyne LA, Branham MA, Jeng ML. 2007. Description of Luciola aquatilis sp. nov., a new aqualitic firefly (Coleoptera: Lampryridae: Luciolinae) from Thailand. Zootaxa. 1611: 55-62.

Walker SM. 2001. Fireflies. Minneapolis (US): Lerner Publications Company.

13