Laporan Kuliah Lapang

download Laporan Kuliah Lapang

of 132

Transcript of Laporan Kuliah Lapang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Geofisika adalah bagian dari ilmu pengetahuan alam yang merupakan gabungan antara geologi dan geofisika. Geologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji bumi padat, interiornya dan sejarahnya (Danielson dan Denecke, 1986). Fisika adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempelajari komponen-komponen zat dan interaksinya, menjelaskan sifat-sifat zat serta gejala-gejala alam yang teramati (Alonso dan Finn, 1980). Jadi dapat dikatakan bahwa geofisika adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji bumi dengan menggunakan pengukuranpengukuran fisika pada atau di atas permukaan bumi. Geofisika terbentuk melalui suatu proses perkembangan teknologi dan tuntutan kebutuhan masyarakat akan sumber daya alam bidang Geofisika. Oleh karena itu, selain pemantapan teori dalam kajian geofisika, dibutuhkan pengaplikasian sebagai bentuk penerapan dalam kehidupan sehari-hari (Basdar, dkk, 2010). Oseanografi adalah bagian dari ilmu kebumian (Earth Sciences) yang mempelajari laut dalam segala aspek dengan penekanan laut sebagai suatu lingkungan, atau bisa dikatakan sebagai pendekatan proses yakni pergerakan massa air. Secara umum, oseanografi dapat dikelompokkan ke dalam emapt bidang ilmu utama yaitu : Fisika Oseanografi yang mempelajari masalah-masalah fisis laut seperti arus, gelombang, pasang surut dan temperature air laut; Bologi Oseanografi yang mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan flora dan fauna atau biota di laut; Kimia Oseanografi yang mempelajari masalah-masalah kimiawi di laut; yang terkahir Geologi Oseanografi yang mempelajari lantai samudera atau litosfer di bawah laut. Oseanografi fisis meliputi dua kegiatan utama (1) studi observasi langsung pada samudera dan penyiapan peta sinoptik elemen-elemen yang membangun karakter samudera, serta (2) studi teoritis proses fisis yang diharapkan dapat memberi arah1

dalam observasi samudera. Keduanya tidak dapat berdiri sendiri tanpa informasi dari sisi kimiawi, biologi, dan geologi sebagai bagian dari deskripsi samudera dan sebagai validitas kondisi fisisnya (William, 1962). Melalui Kuliah Lapang (Kulap), mahasiswa melakukan akuisisi data meliputi pengukuran besaran-besaran di alam, seperti geolistrik, topografi, pasang surut air laut, arus laut, gelombang laut serta mengkuantifikasi proses alam. Dan mampu melakukan pemrosesan data, yaitu mengubah informasi yang diperoleh dari observasi dan pengukuran di lapangan ke dalam bentuk yang mudah ditafsirkan. I.2 Ruang Lingkup Data parameter oseanografi meliputi, komponen harmonik pasang surut, arus, dan gelombang. Data tersebut dianalisis secara deskriptif, kemudian ditampilkan dalam bentuk tabulasi; grafik; maupun dipetakan; untuk memperoleh profil kondisi oseanografi dari perairan pantai Tete Kabupaten Bone. Mengetahui dan memahami terminologi topografi pantai, mampu melaksanakan metode standard analisis topografi pantai, dan bagaimana faktor-faktor fisika, geologi-oseanografi yang berpengaruh terhadap pembentukan topografi pantai. Serta membuat model inverse penampang bawah permukaan daerah pesisir pantai Tete dengan menggunakan metode geolistrik konfigurasi Dipole-dipole. I.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui zona akuifer air tanah dengan membuat penampang bawah permukaan dengan mengolah data (processing) hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan software Res2Dinv dan membuat model penampang pada Konfigurasi Dipole-dipole secara 2D. 2. Untuk memahami tentang profil pantai suatu wilayah pesisir di kawasan Bone serta memahami terminologi topografi pantai, mengetahui dan mampu melaksanakan metode standar analisis topografi pantai, mengetahui dan mampu menjelaskan faktor-faktor fisika, geologi-oseanografi yang

berpengaruh terhadap pembentukan topografi pantai.2

3. Untuk mengetahui dan mendapatkan informasi serta proses pengukuran tentang sifat dan karakter pola pasang surut pantai Tete Kabupaten Bone. 4. Untuk mendapatkan data pola dan kecepatan arus pada beberapa kondisi pasang surut. 5. Untuk mendapatkan data gelombang dengan periode ulang tertentu yang terjadi di pantai Tete Kabupaten Bone. 6. Untuk mengetahui proses sedimentasi yang terjadi di pantai Tete Kabupaten Bone.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Geolistrik Metode geolistrik bertujuan untuk mengetahui jenis batuan pada lapisan bumi berdasar besaran resistivitas atau konduktivitasnya dengan cara mengamati potensial listrik dalam batuan yang bersesuai dengan aliran arus listrik yang disuntikan disuatu di permukaan bumi, kemudian mengamati potensial dititik titik disekitar sumber arus tersebut. Selanjutnya dengan memanfaatkan hukum Ohm dan medan potensial yang dihasilkan dapat diidentifikasi jenis batuan yang ada disetiap lapisan, jumlah lapisan, ketebalan lapisan dan tentu saja dengan asumsi bahwa setiap lapisan berbeda sifat kelistrikannya dengan lapisan lain dan umum didekati dengan asumsi setiap lapisan bersifat homogeny (homogen) dan isotropis. Metode ini dapat menginvestigasi sampai pada beberapan lapisan bumi bergantung pada metode dan hasil yang ingin dicapai (Syamsuddin dan Lantu,. 2009) Metode geolistrik merupakan metode yang menggunakan prinsip aliran arus listrik dalam menyelidiki struktur bawah permukaan bumi. Aliran arus listrik dalam mengalir didalam tanah melalui batuan-batuan dan sangat dipengaruhi oleh adanya air tanah dan garam yang terkandung didalam batuan serta hadirnya mineral logam maupun panas yang tinggi. Oleh karena itu, metode geolistrik dapat digunakan pada penyelidikan hidrogeologi seperti penentuan aquifer dan adanya kontaminasi, penyelidikan mineral, survei arkeologi dan deteksi hotrocks pada penyelidikan panas bumi. Berdasarkan asal sumber arus listrik yang digunakan, metode resistivitas dapat dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu (Prasetiawati,. 2004. Dalam M.N. Rohim, dkk,. 2010 ): 1. Metode pasif Metode ini menggunakan arus listrik alami yang terjadi di dalam tanah (batuan) yang timbul akibat adanya aktivitas elektrokimia dan elektromekanik dalam4

materi-materi penyusun batuan. Metode yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya Potensial Diri/Self Potensial (SP) dan Magneto Teluric (MT). 2. Metode aktif Yaitu bila arus listrik yang diinjeksikan (dialirkan) didalam batuan, kemudian efek potensial yang ditimbulkan arus buatan tersebut diukur di permukaan. Metode yang termasuk kedalam kelompok ini diantaranya metode resistivity dan Induced Polarization (IP). II.1.1 Sifat Kelistrikan Batuan Batuan mempunyai sifat kelistrikan karena batuan merupakan suatu jenis materi. Sifat kelistrikan batuan adalah karakteristik dari batuan bila dialirkan arus listrik ke dalamnya. Arus listrik ini dapat berasal dari alam itu sendiri akibat terjadinya ketidakseimbangan arus listrik yang sengaja dimasukkan ke dalamnya. Dalam pengukuran resistivitas, yang dipakai sebagai media penghantar adalah batuan. Pada bagian batuan, atom atom terikat secara ionik atau kovalen. Karena adanya ikatan ini maka batuan memiliki sifat penghantar listrik (Latif, 2011).. Aliran arus listrik di dalam batuan/ mineral dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara elektrolitik dan konduksi secara dielektrik. Kondisi secara elektronik terjadi jikaa batuan/ mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan/ mineral tersebut oleh elektron elektron bebas itu. Konduksi elektrolitik terjadi jika batuan/ mineral bersifat porus dan pori pori tersebut terisi oleh cairan cairan elektrolitik. Pada konduksi ini arus listrik dibawa oleh ion ion elektrolit. Sedang konduksi dielektrik terjadi jika batuan/ mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik yaitu terjadi polarisasi saat bahan dialiri listrik (Latif, 2011). II.1.2 Metode Geolistrik Resistivity Metode geolistrik merupakan metode yang menggunakan prinsip aliran arus listrik dalam menyelidiki struktur bawah permukaan bumi. Aliran arus listrik dalam5

mengalir di dalam tanah melalui batuan-batuan dan sangat dipengaruhi oleh adanya air tanah dan garam yang terkandung di dalam batuan serta hadirnya mineral logam maupun panas yang tinggi. Oleh karena itu, metode geolistrik dapat digunakan pada penyelidikan hidrogeologi seperti penentuan aquifer dan adanya kontaminasi, penyelidikan mineral, survei arkeologi dan deteksi hotrocks pada penyelidikan panas bumi. Berdasarkan asal sumber arus listrik yang digunakan, metode resistivitas dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu (Prasetiawati, 2004 dalam Rohim, 2010): 1. Metode pasif Metode ini menggunakan arus listrik alami yang terjadi di dalam tanah (batuan) yang timbul akibat adanya aktivitas elektrokimia dan elektromekanik dalam materi-materi penyusun batuan. Metode yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya Potensial Diri/ Self Potensial (SP) dan Magneto Teluric (MT). 2. Metode aktif Yaitu bila arus listrik yang diinjeksikan (dialirkan) di dalam batuan, kemudian efek potensial yang ditimbulkan arus buatan tersebut diukur di permukaan. Metode yang termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya metode resistivity dan Induced Polarization (IP). Menurut Syamsuddin dan Lantu (2009), berdasarkan pada tujuan penyeledikannya metode geolistrik tahanan jenis dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu: 1. Metode resistivitas mapping. Metode resistivitas mapping bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas bawah permukaan secara horisontal. Oleh karena itu pada metode ini digunakan konfigurasi elektroda yang sama untuk semua titik pengamatan dipermukaan bumi. Setelah itu baru dibuat kontur resistivitasnya. 2. Metode resistivitas sounding Metode resistivitas sounding biasa juga disebut metode resistivitas drilling. Tujuan dari metode ini adalah mempelajari variasi resistivitas bawah6

permukaan secara vertikal. Pada metode ini pengukuran potensial dilakukan dengan cara mengubah-ubah jarak elektrode. Pengubahan jarak elektrode ini tidak dilakukan secara sembarangan tapi dari jarak terkecil kemudian diperbesar secara gradual. Jarak ini sebanding dengan kedalaman lapisan batuan yang ingin dideteksi. Pembesaran elektrode dapat dilakukan bila dimiliki peralatan geolistrik yang memadai yakni alat geolistrik tersebut harus menghasilkan arus listrik yang besar atau memiliki sensivitas yang tinggi artinya dapat membaca perbedaan beda potensial yang kecil. Metode ini sering digunakan untuk eksplorasi air tanah karena sifat kelistrikan batuan (lapisan bumi) sangat dipengaruhi oleh keberadaan air tanah yang terkandung di dalamnya. Sifat kelistrikan batuan yang relatif resistif akan menjadi relatif konduktif jika tersaturasi air. Hal ini cukup bermanfaat dalam memprediksikan keberadaan lapisan bumi yang tersaturasi air (akuifer). Metode resistivitas ini juga digunakan untuk mengetahui kemenerusan zona crack berdasarkan kontras nilai resistivitasnya. Rekahan yang terdapat di permukaan tanah terisi oleh udara kosong, sehingga kontras nilai resistivitas yang didapat relatif tinggi bila dibandingkan dengan material di sekitar zona rekahan (Akhasyah, 2011). Metode resistivitas pada dasarnya adalah pengukuran harga resistifitas (tahanan jenis) batuan. Prinsip kerja metode ini adalah dengan menginjeksikan arus ke bawah permukaan bumi sehingga diperoleh beda potensial, yang kemudian akan didapat informasi mengenai tahanan jenis batuan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan keempat elektroda yang disusun sebaris, salah satu dari dua buah elektroda yang berbeda muatan digunakan untuk mengalirkan arus ke dalam tanah, dan dua elektroda lainnya digunakan untuk mengukur tegangan yang ditimbulkan oleh aliran arus tadi, sehingga resistivitas bawah permukaan dapat diketahui. Resistivitas batuan adalah fungsi dari konfigurasi elektroda dan parameter-parameter listrik batuan. Arus yang dialirkan di dalam tanah dapat berupa arus searah (DC) atau arus bolak-balik (AC) berfrekuensi rendah. Untuk menghindari potensial spontan, efek polarisasi dan menghindarkan pengaruh7

kapasitansi tanah yaitu kecenderungan tanah untuk menyimpan muatan maka biasanya digunakan arus bolak balik yang berfrekuensi rendah (Bhattacharya & Patra,. 1968. Dalam M.N. Rohim, dkk,. 2010).

Gambar 2.1 Prinsip Kerja Metode Resistivitas (M.N. Rohim, dkk,. 2010)

II.1.3 Resistivitas Semu Pengukuran resistivitas dilakukan terhadap permukaan bumi yang di anggap sebagai suatu medium yang homogen isotropis. Pada kenyataannya, bumi tersusun atas komposisi batuan yang bersifat heterogen baik ke arah vertikal maupun horisontal. Akibatnya objek batuan yang tidak homogen dan beragam akan memberikan harga resistivitas yang beragam pula. Sehingga resistivitas yang diukur adalah resistivitas semu. Harga tahanan jenis semu ini tergantung pada tahanan jenis lapisanlapisan pembentuk formasi dan konfigurasi elektroda yang digunakan. Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai (M.N. Rohim, dkk,. 2010): .(2.1) dengan K adalah faktor geometri susunan elektroda yang berdimensi panjang. Menurut Prasetiawati (2004), beberapa hal yang mempengaruhi nilai resistivitas semu adalah sebagai berikut : 1. Ukuran butir penyusun batuan, semakin kecil besar butir maka kelolosan arus akan semakin baik, sehingga mereduksi nilai tahanan jenis.

8

2. Komposisi mineral dari batuan, semakin meningkat kandungan mineral clay akan mengakibatkan menurunnya nilai resisivitas. 3. Kandungan air, air tanah atau air permukaan merupakan media yang mereduksi nilai tahanan jenis. 4. Kelarutan garam dalam air di dalam batuan akan mengakibatkan meningkatnya kandungan ion dalam air sehingga berfungsi sebagai konduktor. 5. Kepadatan, semakin padat batuan akan meningkatkan nilai resistivitas. II.1.4 Resistivitas Batuan Nilai resistivitas batuan tergantung dari derajat kekompakan dan besarnya persentase kandungan fluida yang mengisi batuan. Bagaimana pun nilai dari beberapa jenis batuan biasanya overlap. Hal ini disebabkan karena resistivitas dari batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, porositas batuan, derajat saturasi dan konsentrasi garam yang terlarut (Latif, 2011).

Tabel 2.1 Daftar Tahanan Jenis Beberapa Batuan dan Air Batuan dan Air Resistivitas (m) Air dalam lapisan alluvial 10 30 Air sumber 50 100 Pasir dan kerikil 1000 10000 Pasir dan kerikil yang mengandung air tawar 50 500 Pasir dan kerikil yang mengandung air asin 0,5 5 Lempung 2 20 Napal 20 - 200 Batu gamping 300 10000 Batu pasir lempung 50 300 Batu pasir kuarsa 300 10000 Tufa gunung api 20 100 Lava 300 10000 Serpih mengandung grafit 0,5 5 Serpih lempung selingan 100 300 Serpih 300 3000 (Sumber: Kurniawan, 2004 dalam Achmad Rivai Latif, 2011)

9

Tabel 2.2 Nilai Resisitivitas Batuan Material Air (udara) Sandstone Sand Clay Ground water Sea water Dry gravel Alluvium Gravel 0 200 - 800 1 - 1000 1 - 100 0,5 - 300 0,2 600 - 10000 10 - 800 100 600 (Sumber: Halliday dkk, 1991 dalam eriwidi46.blogspot.com) Resistivitas (m)

Gambar 2.2 Nilai Resistivitas Berbagai Material (Todd, D.K, 1976 dalam anonim, 2011 eriwidi46.blogspot.com)

10

Tabel 2.3 Nilai Resistivity Berbagai Batuan dan Sedimen Rock Type Granite porphyry Feldspar porphyry Syenite Diorite Porphyry Porphyrite Carbonatized Porphyry Quartz diorite Porphyry (various) Dacite Andesite Diabase (various) Lavas Gabbro Basalt Olivine norite Peridotite Hornfels Schists (calcareous and mica) Tuffs Graphite schist Slates (various) Gneiss (various) Marble Skarn Quartzites (various) Consolidated shales Argillites Conglomerates Sandstones Limestones Dolomite Unconsolidated wet clay Marls Clays Oil sands Resistivity Range (m) 4,5 x 103 (wet) 1,3 x 106 (dry) 4 x 103 (wet) 102 - 106 1,9 x 103 (wet) 2,8 x 104 (dry) 10 5 x 104 (wet) 3,3 x 103 (dry) 2,5 x 103 (wet) 6 x 104 (dry) 2 x 104 - 2 x 106 (wet) 1,8 x 105 (dry) 60 - 104 2 x 104 (wet) 4,5 x 104 (wet) 1,7 x 102 (dry) 20 5 x 107 102 5 x 104 103 - 106 10 1,3 x 107 (dry) 103 6 x 104 (wet) 3 x 103 (wet) 6,5 x 103 (dry) 8 x 103 (wet) 6 x 107 (dry) 20 - 104 2 x 103 (wet) 105 (dry) 10 - 102 6 x 102 4 x 107 6,8 x 104 (wet) 3 x 106 (dry) 102 2,5 x 108 (dry) 2,5 x 102 (wet) 2,5 x 108 (dry) 10 2 x 108 20 2 x 103 10 - 8 x 102 2 x 103 - 104 1 6,4 x 108 50 - 107 3,5 x 102 5 x 103 20 3 - 70 1 - 100 4 - 800 (Sumber : Telford, 1990)11

II.1.5 Konfigurasi Elektroda Metode Tahanan Jenis Ada beberapa cara pengaturan elektroda ini yaitu metoda Wenner, metoda Polepole, metoda Pole-dipole, metoda Dipole-dipole dan metoda Schlumberger. Dengan C1 dan C2 adalah elektroda-elektroda arus, P1 dan P2 adalah elektrodaelektroda potensial, a adalah spasi elektroda, n adalah perbandingan jarak antara elektroda C1 dan P1 dengan spasi a (Nur Rohim dkk, 2010).

Gambar 2.3 Beberapa konfigurasi elektroda yang digunakan dalam survey metoda geolistrik tahanan jenis (Nur Rohim dkk, 2010).

Selain konfigurasi Wenner dan Wenner-Schlumberger, konfigurasi yang dapat digunakan adalah Pole-pole, Pole-dipole dan Dipole-dipole. Pada konfigurasi Pole-pole, hanya digunakan satu elektrode untuk arus dan satu elektrode untuk potensial. Sedangkan elektrode yang lain ditempatkan pada sekitar lokasi penelitian dengan jarak minimum 20 kali spasi terpanjang C1-P1 terhadap lintasan pengukuran. Sedangkan untuk konfigurasi Pole-dipole digunakan satu elektrode arus dan dua elektrode potensial. Untuk elektrode arus C2 ditempatkan pada sekitar lokasi penelitian dengan jarak minimum 5 kali spasi terpanjang C1-P1.12

Sehingga untuk penelitian skala laboratorium yang mungkin digunakan adalah konfigurasi Dipole-dipole (Setiawan, 2011). II.1.6 Konfigurasi Dipole-Dipole Metoda geolistrik dipole-dipole diterapkan untuk tujuan mendapatkan gambaran bawah permukaan pada objek yang penetrasinya relatif lebih dalam dibandingkan dengan metoda sounding lain : Wenner dan Sclumberger (Laesanpura dkk, 2008). Konfigurasi dipole-dipole mendasarkan pengukuran kepada kontinuitas

pengukuran dalam satu penampang dan hasilnya suatu pseudosection. Pengukuran ini dilakukan dengan memindahkan elektroda potensial pada suatu penampang dengan elektroda arus, I, tetap, kemudian pemindahan elektroda arus pada spasi n berikutnya diikuti oleh pemindahan elektroda potensial, V, sepanjang penampang, seterusnya hingga pengukuran elektroda arus pada titik terakhir di penampang itu (Laesanpura dkk, 2008). Pada konfigurasi Dipole-dipole, dua elektrode arus dan dua elektrode potensial ditempatkan terpisah dengan jarak na, sedangkan spasi masing-masing elektrode a. Pengukuran dilakukan dengan memindahkan elektrode potensial pada suatu penampang dengan elektrode arus tetap, kemudian pemindahan elektrode arus pada spasi n berikutnya diikuti oleh pemindahan elektrode potensial sepanjang lintasan seterusnya hingga pengukuran elektrode arus pada titik terakhir di lintasan itu (Tri Susanto Setiawan, 2011).

Gambar 2.4 Konfigurasi Dipole-Dipole (Tri Susanto Setiawan, 2011)

13

Sehingga berdasarkan gambar, maka faktor geometri untuk konfigurasi Dipoledipole adalah (Tri Susanto Setiawan, 2011) : ( Nilai tersebut diperoleh dari : .(2.3) )( ) (2.2)

Dimana :

r1 = C1 P1 = n.a r2 = C2 P1 = a(n+1) r3 = C1 P2 = a(n+1) r4 = C2 P2 = a(n+2)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

((

)(

)) (

( )(

) )

(

)

(

)(

)

( ( )(

)( )

) ..... (2. 4)

Sehingga berlaku hubungan ( )( ) . (2. 5)14

Gambar 2.5 Stacking Chart Konfigurasi Dipole-Dipole (Phillips, 1999) II.2 Perpetaan Topografi adalah studi tentang bentuk permukaan bumi dan objek lain seperti planet, satelit alami (bulan dan sebagainya), dan asteroid. Dalam pengertian yang lebih luas, topografi tidak hanya mengenai bentuk permukaan saja, tetapi juga vegetasi dan pengaruh manusia terhadap lingkungan, dan bahkan kebudayaan lokal. Topografi umumnya menyuguhkan relief permukaan, model tiga dimensi, dan identifikasi jenis lahan. Penggunaan kata topografi dimulai sejak zaman Yunani kuno dan berlanjut hingga Romawi kuno, sebagai detail dari suatu tempat. Kata itu datang dari kata Yunani, topos yang berarti tempat, dan graphia yang berarti tulisan. Objek dari topografi adalah mengenai posisi suatu bagian dan secara umum menunjuk pada koordinat secara horizontal seperti garis lintang dan garis bujur, dan secara vertikal yaitu ketinggian. Mengidentifikasi jenis lahan juga termasuk bagian dari objek studi ini. Studi topografi dilakukan dengan berbagai alasan, diantaranya perencanaan militer dan eksplorasi geologi. Untuk kebutuhkan konstruksi sipil, pekerjaan umum, dan proyek reklamasi membutuhkan studi topografi yang lebih detail. Survei secara langsung Survei membantu studi topografi secara lebih akurat suatu permukaan secara tiga dimensi, jarak, ketinggian, dan sudut dengan memanfaatkan berbagai instrumen topografi. Meski penginderaan jarak jauh sudah sangat maju, survei secara15

langsung masih menjadi cara untuk menyediakan informasi yang lebih lengkap dan akurat mengenai keadaan suatu lahan. Penginderaan jarak jauh Penginderaan jarak jauh adalah studi mengenai pengumpulan data bumi dari jarak yang jauh dari area yang dipelajari. Penginderaan jarak jauh dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan satelit, radar, radar inframerah, seismogram, sonar, dan lain-lain (Anonim, 2009). II.2.1 Peta Peta adalah bayangan rupa bumi yang digambarkan di bidang datar (bidang gambar) dengan skala tertentu, jadi peta topografi adalah peta yang memperlihatkan unsur-unsur asli dan buatan manusia di atas permukaan bumi. Unsur-unsur tersebut dapat dikenal maupun diidentifikasi dan pada umumnya untuk memperlihatkan keadaan yang sesungguhnya. Pengertian lain mengenai peta topografi ada dua, yaitu: 1. Peta yang menggambarkan relief permukaan bumi beserta bangunan alami maupun buatan manusia yang ada di atasnya. 2. Peta yang menggambarkan relief/sifat permukaan bumi yang digambarkan dengan garis kontur. Peta topografi memetakan tempat-tempat dipermukaan bumi yang berketinggian sama dari permukaan laut menjadi bentuk garis-garis kontur, dengan satu garis kontur mewakili satu ketinggian. Peta topografi mengacu pada semua ciri-ciri permukaan bumi yang dapat diidentifikasi, apakah alamiah atau buatan, yang dapat ditentukan pada posisi tertentu. Oleh sebab itu, dua unsur utama topografi adalah ukuran relief (berdasarkan variasi elevasi axis) dan ukuran planimetrik (ukuran permukaan bidang datar). Peta topografi menyediakan data yang diperlukan tentang sudut kemiringan, elevasi, daerah aliran sungai, vegetasi secara umum dan pola urbanisasi. Peta topografi juga menggambarkan sebanyak mungkin ciri-ciri permukaan suatu kawasan tertentu dalam batas-batas skala.16

Peta topografi dapat juga diartikan sebagai peta yang menggambarkan kenampakan alam (asli) dan kenampakan buatan manusia, diperlihatkan pada posisi yang benar. Selain itu peta topografi dapat diartikan peta yang menyajikan informasi spasial dari unsur-unsur pada muka bumi dan dibawah bumi meliputi, batas administrasi, vegetasi dan unsur-unsur buatan manusia (Anonim). II.2.2 Topografi Pantai Pantai adalah perbatasan antara daratan dan laut, daerah peralihan antara daratan dan lautan sering ditandai dengan adanya suatu perubahan kedalaman yang berangsur-angsur. Disini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu continental shelf, continental slope dan continental rise. Continental Shelf adalah lereng landai yang mempunyai kemiringan 0,4%, Continental slope adalah pantai yang mempunyai lereng yang lebih terjal, yaitu antara 3% - 6%. Sedangkan Continental rise adalah daerah yang mempunyai lereng yang kemudian menjadi datar pada dasar lautan, biasanya berada pada daerah kepulauan dan lepas pantai Venezuela bagian utara (Hutabarat,1985). Wilayah pesisir merupakan daerah yang mencakup wilayah darat sejauh masih mendapat pengaruh laut dan sejauh mana wilayah laut masih mendapat pengaruh dari darat (aliran air tawar dan sedimen) (Sutikno, 1999). Garis pantai (shore line) dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu fore shore adalah bagian pantai pulai dari muka air laut terendah sampai muka air laut pasang tertinggi (pasang naik), back shore adalah merupakan bagian dari pantai mulai dari muka air laut tertinggi sampai pada batas wilayah pesisir (coast), offshore adalah merupakan daerah yang meluas dari titik pasang surut terendah ke arah laut. Faktor-faktor yang mempengaruhi topografi pantai adalah gelombang dan pasang surut air laut, pada pantai landai biasanya tak banyak terdapat gelombang, sedangkan pada pantai yang lebih curam biasanya banyak terdapat gelombang karena berrada pada laut bebas. Sedangkan kenjeran merupakan pantai yang17

landai karena kemiringannya kurang dari 1,440, dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan tidak ada gelombang karena kenjeran bukan merupakan laut bebas karena merupakan selat (Sunarto, 1992). II.2.3 Hubungan Antara Keadaan Topografi Pantai Dengan Ombak Dan Sedimen Kemampuan tanah terbawa air erosi dipengaruhi oleh topografi suatu wilayah. Kondisi wilayah yang dapat menghanyutkan tanah sebagai sedimen erosi secara cepat adalah wilayah yang memiliki kemiringan lereng yang cukup besar. Sedangkan pada wilayah yang landai akan kurang intensif laju erosifitasnya, karena lebih cenderung untuk terjadi penggenangan. Topografi pantai dan letak geografis pantai juga berpengaruh terhadap besarnya ombak yang dapat berdampak terhadap banyak atau tidaknya erosi dan pengikisan pantai, dan pada akhirnya hasil dari pengikisan pada pantai juga akan berdampak balik terhadap kondisi topografi pantai, sehingga pada dasarnya antara keadaan topografi, ombak (gelombang), letak geografis saling berkaitan membentuk sebuah siklus yang selalu berkelanjutan. Jenis pantai ada 3 yaitu landai, sedang dan curam, pantai landai adalah pantai yang mempunyai kemiringan kurang dari 1,440 (0,4%), pantai sedang mempunyai kemiringan 10,80 21,60, sedangkan pantai curam adalah pantai yang kemiringannya lebih dari 220(Sutikno,1999). Pantai landai diakibatkan oleh adanya pasang surut yang dapat mempengaruhi profil pantai, yaitu karena pasir yang halus lebih mudah terbawa arus. Pada saat pasang air berada pada ketinggian maksimum dan membawa pasir ikut naik ke atas, sedangkan pada saat surut, ketinggian air turun perlahan-lahan membuat pasir yang terbawa mengendap hingga membuat pantai landai. Sedangkan pantai yang didominasi dengan gelombang-gelombang akan mengakibatkan profil pantai yang lebih curam (Sutikno, 1999).

18

II.2.4 Theodolit Theodolit adalah salah satu alat ukur tanah yang digunakan untuk menentukan tinggi tanah dengan sudut mendatar dan sudut tegak. Berbeda dengan waterpass yang hanya memiliki sudut mendatar saja. Di dalam theodolit sudut yang dapat di baca bisa sampai pada satuan sekon (detik). Di dalam pekerjaan pekerjaan yang berhubungan dengan ukur tanah, theodolit sering digunakan dalam bentuk pengukuran polygon, pemetaan situasi, maupun pengamatan matahari. Theodolit juga bisa berubah fungsinya menjadi seperti Pesawat Penyipat Datar bila sudut verticalnya dibuat 90. Dengan adanya teropong pada theodolit, maka theodolit dapat dibidikkan kesegala arah. Di dalam pekerjaan bangunan gedung, theodolit sering digunakan untuk menentukan sudut siku-siku pada perencanaan / pekerjaan pondasi, theodolit juga dapat digunakan untuk menguker ketinggian suatu bangunan bertingkat (Anonim). II.2.4.1 Bagian-bagian dari Theodolit

Gambar 2.6 Theodolite (Rikkiputra, 2010)19

Secara umum, konstruksi theodolit terbagi atas dua bagian : 1. Bagian atas, terdiri dari : Teropong / Teleskope Nivo tabung Sekrup Okuler dan Objektif Sekrup Gerak Vertikal Sekrup gerak horizontal Teropong bacaan sudut vertical dan horizontal Nivo kotak Sekrup pengunci teropong Sekrup pengunci sudut vertical Sekrup pengatur menit dan detik Sekrup pengatur sudut horizontal dan vertikal

2. Bagian Bawah terdiri dari : Statif / Trifoot Tiga sekrup penyetel nivo kotak Unting unting Sekrup repitisi Sekrup pengunci pesawat dengan statif

II.2.4.2 Syarat syarat Theodolite Syarat syarat utama yang harus dipenuhi alat theodolite sehingga siap dipergunakan untuk pengukuran yang benar adalah sbb : 1. Sumbu kesatu benar benar tegak / vertical. 2. Sumbu Kedua haarus benar benar mendatar. 3. Garis bidik harus tegak lurus sumbu kedua / mendatar. 4. Tidak adanya salah indeks pada lingkaran kesatu. II.2.4.3 Macam Macam Theodolit Dari konstruksi dan cara pengukuran, dikenal 3 macam theodolite :20

1. Theodolite Reiterasi Pada theodolite reiterasi, plat lingkaran skala (horizontal) menjadi satu dengan plat lingkaran nonius dan tabung sumbu pada kiap. Sehingga lingkaran mendatar bersifat tetap. Pada jenis ini terdapat sekrup pengunci plat nonius. 2. Theodolite Repetisi Pada theodolite repetisi, plat lingkarn skala mendatar ditempatkan sedemikian rupa, sehingga plat ini dapat berputar sendiri dengan tabung poros sebagai sumbu putar. Pada jenis ini terdapat sekrup pengunci lingkaran mendatar dan sekrup nonius. 3. Theodolite Elektro Optis Dari konstruksi mekanis sistem susunan lingkaran sudutnya antara theodolite optis dengan theodolite elektro optis sama. Akan tetapi mikroskop pada pembacaan skala lingkaran tidak menggunakan system lensa dan prisma lagi, melainkan menggunkan system sensor. Sensor ini bekerja sebagai elektro optis model (alat penerima gelombang elektromagnetis). Hasil pertama system analogdan kemudian harus ditransfer ke system angka digital. Proses penghitungan secara otomatis akan ditampilkan pada layer (LCD) dalam angka desimal. II.2.5 Kontur Kontur adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang berketinggian sama dari permukaan laut. ada beberapa cara dalam melukiskan kontur yaitu cara hachures, cara kontur, dan shading. mungkin untuk lebih jelasnya dapat di kupas dilain tulisan. Kontur memiliki sifat-sifat yaitu antara lain : Satu garis kontur mewakili satu ketinggian tertentu. Garis kontur berharga lebih rendah mengelilingi garis kontur yang lebih tinggi. Garis kontur tidak berpotongan dan tidak bercabang. Kontur mempunyai interval tertentu(misalnya 1m, 5m, 25m, dst).21

Rangkaian garis kontur yang rapat menandakan permukaan bumi yang curam/terjal, sebaliknya yang renggang menandakan permukaan bumi yang landai.

Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "U" menandakan punggungan gunung. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "V" terbalik menandakan suatu lembah/jurang. Kontur dapat memepunyai nilai positif (+), nol (0), atau negatif (-). Kontur yang rapat-rapat garisnya berarti daerah tersebut curam. Kontur yang renggang garis-garisnya berarti daerah tersebut landai. Kontur tidak pernah bercabang. Pada jalan yang lurus dan menurun, ,maka kontur cembung kearah turun. Pada sungai yang lurus dan menurun, maka kontur cekung kearah turun. Kontur tidak memotong bangunan atau melewati ruangan didalam bangunan.

Garis kontur adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian yang sama terhadap bidang refrensi yang digunakan. Kecuraman dari suatu lereng (stepness) dapat ditentukan dengan adanya interval kontur dan jarak antara dua kontur, sedangkan jarak horizontal antara dua garis kontur dapat ditentukan dengan cara interpolasi. Garis kontur tidak boleh saling berpotongan satu sama lain. Selain itu garis kontur harus merupakan garis yang tertutup baik di dalam maupun di luar peta.

22

Pada gambar berikut ditunjukan jenis-jenis garis kontur: (a)+ 400 + 450 + 500 +550 + 600

(b)+ 110 + 107,5 + 105 + 102,5

(c)+ 200 + 300

+ 400

+ 500

Gambar 2.7 Jenis-jenis garis kontur : (a) Kontur sebuah bukit; (b) Kontur sebuah sungai; (c) Kontur pada daerah datar (Sony Noviansyah, 2009)23

Garis kontur merupakan ciri khas yang membedakan peta topografi dengan peta lainnya dan digunakan untuk penggambaran relief atau tinggi rendahnya permukaan bumi yang dipetakan. Dari pengertian di atas dapat dipahami betapa pentingnya garis kontur antara lain untuk pembuatan trace jalan/rel dan menghitung volume galian dan timbunan (Sony Noviansyah, 2009). II.2.7 Pengukuran Titik Detail Titik detail adalah semua penampakan yang ada di muka bumi baik alamiah maupun buatan manusia. Pada pengukuran ini tidak mungkin dilakukan secara lengkap dan terperinci, oleh karena itu harus diambil titik detail seefektif mungkin yang dapat mewakili dalam penggambaran peta situasi nantinya. a. Cara-cara pengambilan titik detail Dalam pengukuran titik detail dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain : 1. Pengukuran Titik Detail dengan Cara Memancar

Gambar 2.8 Pengukuran Titik Detail dengan Cara Memancar (Sony Noviansyah)

Cara ini dipakai jika jarak antara titik pasti berdekatan. A dan B adalah titik pasti. Dari gambar di atas pesawat diletakan di titik A lalu diambil a1, a2, a3,, sedangkan arah sumbu masing-masing menjauhi titik A, begitu juga titik B.

24

2. Pengukuran Titik Detail dengan Cara Melompat TD1

Gambar 2.9 Pengukuran Titik Detail dengan Cara Melompat (Sony Noviansyah, 2009). Adakalanya kita mengalami kesulitan jika menggunakan metode memancar dalam mengukur titik detail karena titik pasti berjauhan, sehingga diperlukan cara melompat. 3. Pengukuran Titik Detail dengan Cara Grid Dilakukan dengan membuat grid-grid tiap jarak tertentu. b. Data yang harus diukur Data pengukuran titik detail yang diperlukan adalah azimuth, zenith, benang atas, benang bawah, benang tengah, dan tinggi alat serta sketsa pengukuran titik tersebut. Data tersebut digunakan untuk mencari jarak dan beda tinggi antara tempat alat didirikan dengan titik detail yang diukur. Kelebihan peta topografi: 1. Untuk mengetahui ketinggian suatu tempat. 2. Untuk memperkirakan tingkat kecuraman atau kemiringan lereng. Beberapa ketentuan pada peta topografi: 1. Makin rapat jarak kontur yang satu dengan yang lainnya menunjukkan daerah tersebut semakin curam. Sebaliknya semakin jarang jarak antara kontur menunjukkan daerah tersebut semakin landai.

25

2. Garis

kontur

yang

diberi

tanda

bergerigi

menunjukkan

depresi

(lubang/cekungan) di puncak, misalnya puncak gunung yang berkawah. 3. Peta topografi menggunakan skala besar, antara 1 : 50.000 sampai 1 : 100.000. Berikut ini beberapa contoh peta topografi.

Gambar 2.10 Garis kontur dengan interval (jarak antara 2 kontur) 40 meter (Sulaiman, 2008).

Gambar 2.11 Jarak Kontur (Sulaiman, 2008).

26

Jarak kontur Perhatikan gambar diatas : Berdasarkan jarak antara kontur dan tanda pada kontur, Anda dapat menyimpulkan bahwa: Pada peta 1A adalah daerah curam karena jarak antara garis konturnya rapat dan B adalah daerah landai karena jarak konturnya jarang. Sedangkan pada peta 2,D adalah daerah curam karena jarak konturnya rapat,E adalah daerah landai karena jarak konturnya jarang, dan C adalah daerah depresi (lubang/cekungan) di puncak karena diberi tanda bergerigi. Pada gambar dibawah menunjukkan kenampakan gunung dengan puncaknya yang digambarkan menjadi peta kontur. Pada gambar tersebut, A daerah curam, B daerah landai dan C daerah cekungan di puncak (Sulaiman, 2008).

Gambar 2.12 Perubahan penurunan dari kenampakan akan menjadi peta kontur (Sulaiman, 2008) II.3 Pasang Surut Muka Air Laut Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua27

kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Pariwono, 1989). Menurut Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil. Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Harga periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit. Pasang purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang surut purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani (neap tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pasa saat bulan 1/4 dan (Dronkers, 1964).

28

Gambar 2.13 Spring Tide dan Neap Tide (Dronkers, 1964) II.3.1 Teori Pasang Surut A. Teori Kesetimbangan (Equilibrium Theory) Teori kesetimbangan pertama kali diperkenalkan oleh Sir Isaac Newton (16421727). Teori ini menerangkan sifat-sifat pasut secara kualitatif. Teori terjadi pada bumi ideal yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air dan pengaruh kelembaman (Inertia) diabaikan. Teori ini menyatakan bahwa naik-turunnya permukaan laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut. Untuk memahami gaya pembangkit passng surut dilakukan dengan memisahkan pergerakan sistem bumi-bulan-matahari menjadi 2 yaitu, sistem bumi-bulan dan sistem bumi matahari (King, 1966). Pada teori kesetimbangan bumi diasumsikan tertutup air dengan kedalaman dan densitas yang sama dan naik turun muka laut sebanding dengan gaya pembangkit pasang surut atau GPP (Tide Generating Force) yaitu Resultante gaya tarik bulan dan gaya sentrifugal, teori ini berkaitan dengan hubungan antara laut, massa air yang naik, bulan, dan matahari. Gaya pembangkit pasut ini akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua lokasi (Gross, 1987). B. Teori Pasut Dinamik (Dynamical Theory) Pond dan Pickard (1978) menyatakan bahwa dalam teori ini lautan yang homogen masih diasumsikan menutupi seluruh bumi pada kedalaman yang konstan, tetapi gaya-gaya tarik periodik dapat membangkitkan gelombang dengan periode sesuai dengan konstitue-konstituennya. Gelombang pasut yang terbentuk dipengaruhi29

oleh GPP, kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi, dan pengaruh gesekan dasar. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Laplace (1796-1825). Teori ini melengkapi teori kesetimbangan sehingga sifat-sifat pasut dapat diketahui secara kuantitatif. Menurut teori dinamis, gaya pembangkit pasut menghasilkan gelombang pasut (tide wive) yang periodenya sebanding dengan gaya pembangkit pasut. Karena terbentuknya gelombang, maka terdapat faktor lain yang perlu diperhitungkan selain GPP. Menurut Defant (1958), faktor-faktor tersebut adalah : Kedalaman perairan dan luas perairan Pengaruh rotasi bumi (gaya Coriolis) Gesekan dasar Rotasi bumi menyebabkan semua benda yang bergerak di permukaan bumi akan berubah arah (Coriolis Effect). Di belahan bumi utara benda membelok ke kanan, sedangkan di belahan bumi selatan benda membelok ke kiri. Pengaruh ini tidak terjadi di equator, tetapi semakin meningkat sejalan dengan garis lintang dan mencapai maksimum pada kedua kutub. Besarnya juga bervariasi tergantung pada kecepatan pergerakan benda tersebut (Pond dan Pickard, 1978). Menurut Mac Millan (1966), berkaitan dengan dengan fenomeana pasut, gaya Coriolis mempengaruhi arus pasut. Faktor gesekan dasar dapat mengurangi tunggang pasut dan menyebabkan keterlambatan fase (Phase lag) serta mengakibatkan persamaan gelombang pasut menjadi non linier semakin dangkal perairan maka semaikin besar pengaruh gesekannya. II.3.2 Faktor Penyebab Terjadinya Pasang Surut Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan teori kesetimbangan adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan terhadap matahari, revolusi bumi terhadap matahari. Sedangkan berdasarkan teori dinamis adalah kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi (gaya coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa faktor lokal yang dapat mempengaruhi pasut disuatu perairan seperti, topogafi dasar laut, lebar selat,30

bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga berbagai lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan (Wyrtki, 1961). Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi. Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, yaitu sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Priyana,1994). Bulan dan matahari keduanya memberikan gaya gravitasi tarikan terhadap bumi yang besarnya tergantung kepada besarnya masa benda yang saling tarik menarik tersebut. Bulan memberikan gaya tarik (gravitasi) yang lebih besar dibanding matahari. Hal ini disebabkan karena walaupun masa bulan lebih kecil dari matahari, tetapi posisinya lebih dekat ke bumi. Gaya-gaya ini mengakibatkan air laut, yang menyusun 71% permukaan bumi, menggelembung pada sumbu yang menghadap ke bulan. Pasang surut terbentuk karena rotasi bumi yang berada di bawah muka air yang menggelembung ini, yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan permukaan laut di wilayah pesisir secara periodik. Gaya tarik gravitasi matahari juga memiliki efek yang sama namun dengan derajat yang lebih kecil. Daerah-daerah pesisir mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama periode sedikit di atas 24 jam (Priyana,1994).

31

Gambar 2.14 Gaya Gravitasi (Priyana,1994) II.3.3 Tipe Pasang Surut Perairan laut memberikan respon yang berbeda terhadap gaya pembangkit pasang surut,sehingga terjadi tipe pasut yang berlainan di sepanjang pesisir. Menurut Dronkers (1964), ada tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu : 1. Pasang surut diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi satu satu kali pasang dan satu kali surut. Biasanya terjadi di laut sekitar katulistiwa. 2. Pasang surut semi diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya. 3. Pasang surut campuran. Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk pasut diurnal. Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 yaitu : 1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide) Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata 2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide) Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman.

32

3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal) Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat. 4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur. Tipe pasut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap harinya. Hal ini disebabkan karena perbedaan respon setiap lokasi terhadap gaya pembangkit pasang surut. Jika suatu perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasut harian tunggal (diurnal tides), namun jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari, maka tipe pasutnya disebut tipe harian ganda (semidiurnal tides). Tipe pasut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda disebut dengan tipe campuran (mixed tides) dan tipe pasut ini digolongkan menjadi dua bagian yaitu tipe campuran dominasi ganda dan tipe campuran dominasi tunggal.Selain dengan melihat data pasang surut yang diplot dalam bentuk grafik, tipe pasang surut juga dapat ditentukkan berdasarkan bilangan Formzal (F) yang dinyatakan dalam bentuk: F = [A(O1) + A(K1)]/[A(M2) + A(S2)] .. (2.4) Dengan Ketentuan : F 0.25 = Pasang surut tipe ganda (semidiurnal tides) 0,25