LAPORAN KEMAJUAN RISET KOMPETENSI DOSEN UNPAD...
Transcript of LAPORAN KEMAJUAN RISET KOMPETENSI DOSEN UNPAD...
Bidang Riset: Lingkungan Hidup
Rumpun Ilmu: 475-Teknik Geologi
LAPORAN KEMAJUAN
RISET KOMPETENSI DOSEN UNPAD (RKDU)
KORELASI HIDROLOGI DAN INTENSITAS CURAH HUJAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG:
SUATU PEMAHAMAN UNTUK MITIGASI BANJIR DI KAWASAN
CEKUNGAN BANDUNG
TIM PENGUSUL
Ketua:
Dr. Ir. Agung Mulyo, M.T.
NIDN: 0011035909
Anggota 1:
Dr. Eng. Ir. Agus Didit Haryanto, M.T.
NIDN: 0010036602
Anggota 2:
Drs. Sunggoro Trirahardjo, MSi., Psikolog
NIDN: 0018126101
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
AGUSTUS, 2018
1
2
RINGKASAN
KORELASI HIDROLGI DAN INTENSITAS CURAH HUJAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG:
SUATU PEMAHAMAN UNTUK MITIGASI BANJIR DI KAWASAN
CEKUNGAN BANDUNG
Agung Mulyo, Agus Didit Haryanto dan Sunggoro Trirahardjo
Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran
Kontak Email: [email protected]
DAS Cikapundung merupakan salah satu DAS penting di Jawa Barat, karena selain
berfungsi sebagai daerah resapan air untuk air tanah, irigasi, pembangkit listrik,
juga sebagai penyumbang yang sangat signifikan terhadap terjadinya banjir di
Cekungan. Secara alami air sungai adalah berasal dari air hujan yang turun di
Catchment Area , yaitu wilayah atau derah tangkapan air hujan, yang selanjutnya
terakumulasi dan mengalir sebagai aliran sungai. Dengan demikian, semakin besar
intensitas curah hujan yang terjadi, maka akan semakin besar pula debit aliran
sungainya.
Tata guna lahan di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung kini tidak lagi
alami, sudah banyak berubah digunakan untuk pertanian, perumahan, dan berbagai
sarana / prasarana lainnya sehingga dapat merubah bentuk morfometri. Dengan
demikian berbagai persamaan matematik standar (lama) yang digunakan untuk
memprediksi besarnya banjir Sungai Cikapundung tidak dapat lagi digunakan.
Diperlukan usaha baru untuk mengetahui korelasi yang lebih akuran antara
intensitas air hujan yang turun dengan debit air sungai yang ditimbulkannya
berkaitan dengan kondisi tata guna lahan dan kondisi morfometri yang ada saat ini
Kata kunci: Cikapundung, curah hujan, daerah aliran sungai, debit air sungai,
hidrogeologi
3
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan atas hidayahnya kegiatan penelitian ini dapat terlaksana
dengan baik hingga tersusunnya laporan kemajuan ini. Kegiatan penelitian ini
sepenuhnya di danai oleh hibah riset dosen unpad (RKDU) dari anggaran tahun
2018. Laporan ini dibuat untuk diajukan sebagai laporan kemajuan agar sisa dana
di term selanjutnya dapat cair hingga penelitian ini berjalan lancar hingga selesai.
Ucapan terima kasih disampaikan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Rektor
Unpad atas dukungan dana dan fasilitas yang diberikan demi kelancaran kegiatan
penelitian ini. Tidak lupa juga diucapkan terima kasih kepada Ibu Dekan Fakultas
Teknik Geologi yang telah memberikan kepercayaan kepada Tim peneliti untuk
melakukan penelitian ini.
Dalam melaksanakan penelitian ini, berbagai kendala seperti mendapatkan jurnal
internasional untuk rujukan dan kesulitan selama survey di lapangan yang ada dapat
dihadapi dan dilalui dengan baik.
Harapannya semoga penelitian ini berjalan sesuai rencana hingga dapat
menghasilkan output yang terbaik dan maksimal sesuai yang ditargetkan, yaitu
terbit di jurnal internasional dan mendapatkan buku ajar.
Hormat Kami,
Peneliti
4
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ····································································· 1
Ringkasan ·················································································· 2
Prakarta ····················································································· 3
Daftar Isi ···················································································· 4
Bab I Pendahuluan ········································································· 5
1.1 Latar Belakang ········································································· 5
1.2 Rumusan Masalah ····································································· 5
Bab 2 Tinjauan Pustaka ··································································· 5
2.1 Kondisi Fisik ··········································································· 5
2.1.1 Fisiografi Jawa Barat ······························································· 5
2.1.2 Stratigrafi Regional ································································· 8
2.1.3 Struktur Geologi Regional ························································· 10
2.1.4 Geologi ··············································································· 11
2.1.5. Klimatologi dan Hidrologi ….............................................................. 13
2.1.6 Tataguna Lahan ………………………………………………………….. 14
2.2 Landasan Teoritis ······································································ 14
2.2.1 Geomorfologi ········································································ 14
2.2.1.1 Morfologi ·········································································· 15
2.2.1.2 Morfometri DAS ·································································· 17
2.2.1.3 Pola Pengaliran Sungai··························································· 24
2.2.1.4 Morfotektonik ····································································· 26
BAB 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ················································· 27
3.1 Tujuan Riset ············································································ 27
3.2 Luaran Riset ············································································ 27
Bab 4 Metode Penelitian ································································· 28
4.1. Tahap Studi Pustaka ·································································· 28
4.2. Tahap Pengumpulan Data ··························································· 28
4.3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data (studio dan laboratorium) ·············· 28
4.4. Tahap Penyusunan Laporan ························································· 29
Bab 5. Hasil dan Luaran yang Dicapai·················································· 30
Bab 6 Rencana Tahapan Berikutnya ···················································· 30
Bab 7 Kesimpulan dan Saran ····························································· 31
Daftar Pustaka ·············································································· 31
LAMPIRAN (bukti luaran yang didapatkan)
5
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sampai saat ini perhitungan banjir rencana (design flood), diantaranya
memperkirakan berapa besarnya debit banjir yang akan terjadi pada suatu sungai
akibat hujan di suatu DAS, masih harus dilakukan secara terestrial, yaitu dengan
observasi secara langsung di lapangan. Metoda perhitungan yang dikembangkan
selama ini oleh beberapa lembaga dan instansi yang menangani masalah pengairan
masih membutuhkan data MAF (Mean Annual Flood), yaitu data banjir tata-rata
terbesar tahunan. Untuk mendapatkan data MAF tersebut diperlukan pengamatan
dan pengukuran debit banjir sungai secara langsung di lapangan selama bebeberapa
tahun, biasanya minimal 10 tahun.
Pada kenyataannya sangatlah sulit mendapatkan data debit aliran sungai (MAF)
untuk suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang akan dikembangkan. Keadaan yang
demikian sangat banyak dijumpai di Indonesia, termasuk diantaranya beberapa
sungai-sungai yang terdapat di dalam wilayah Cekungan Bandung. Untuk
mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan usaha dan cara lain yang lebih
sederhana untuk menentukan MAF dengan hasil yang cukup memadai.
1.2. Rumusan Masalah
Daur hidrologi merupakan suatu sistem yang kompleks karena melibatkan
banyak faktor seperti curah hujan, kelembaban udara, tekanan udara, vegetasi,
morfologi, sifat fisik batuan atau tanah, dan sebagainya. Karena itu untuk
mempelajari karakteristik hidrologi suatu daerah diperlukan beberapa disiplin ilmu,
diantaranya Meeteorologi, Klimatologi, Hidrolika, Geografi, Geologi dan Statistika.
Dalam proposal ini permasalahannya dibatasi hanya akan melakukan penelitian
tentang karakteristik morfometri dan pengaruhnya terhadap sifat dan karakter debit
aliran Sungai Cikapundung. Dengan demikian rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana karakteristik morfometri dan hubungannya dengan kondisi geologi,
terutama yang berkaitan dengan jenis batuan penyusun dan pelapukan
batuannya.
6
2. Unsur-unsur morfometri apa saja yang berpengaruh signifikan terhadap aliran
air sungai di daerah penelitian
3. Bagaimanakah karakteristik curah hujan dan debit aliran sungai di daerah
penelitian mempengaruhi hidrograf aliran air sungainya.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Fisik
2.1.1. Fisiografi Jawa Barat
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi empat daerah
fisiografi, yaitu Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona
Bogor (Bogor Zone), Zona Bandung (Bandung Zone), dan Pegunungan
Selatan Jawa Barat (Southern Mountain of West Java). Adapun uraian
pembagiannya adalah sebagai berikut (Gambar 2.1):
Gambar 2.1. Pembagian Zona Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949)
1. Dataran Pantai Jakarta yang menempati bagian utara Jawa Barat,
memanjang dengan arah barat-timur, dari Serang sampai Cirebon. Daerah
7
ini tersusun atas endapan sungai, hasil erupsi gunungapi muda, endapan
banjir, dan endapan pantai.
2. Zona Bogor, terletak di sebelah selatan Dataran Pantai Jakarta, membentang
dari Rangkasbitung sampai ke Bumiayu. Zona ini tersusun oleh batuan yang
berumur Neogen yang terlipat kuat, karena telah mengalami tektonik yang
kuat, sehingga terlipatkan dan membentuk antiklinorium yang cembung ke
utara dan cukup rumit. Selain itu muncul tubuh-tubuh intrusi yang
umumnya berelif terjal.
3. Zona Bandung merupakan jalur yang memanjang mulai dari Sukabumi
sampai ke Segara Anakan di Pantai Selatan Jawa Tengah. Zona ini
merupakan hasil depresi barat - timur dengan dibatasi deretan gunungapi di
utara dan selatannya. Zona Bandung didominasi oleh hasil erupsi gunungapi
yang berumur Resen.
4. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat, terletak di sebelah selatan Jawa Barat.
Jalur ini membentang dari Pelabuhan Ratu di sebelah barat sampai Pulau
Nusakambangan di sebelah timur, dengan lebar rata-rata 50 km. Pada ujung
sebelah timur Pulau Nusakambangan terjadi penyempitan, sehingga
lebarnya hanya beberapa kilometer saja.
Berdasarkan pembagian zona fisiografi Jawa Barat tersebut, maka daerah
penelitian secara regional termasuk ke dalam Zona Bandung dan Gunungapi
Kuarter (lihat Gambar 2.1).
Secara fisik, bentang alam wilayah Bandung dan sekitarnya yang termasuk
ke dalam Cekungan Bandung, merupakan cekungan berbentuk lonjong (elips)
memanjang berarah timur tenggara – barat barat laut. Cekungan Bandung ini
dimulai dari daerah Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah ba-
rat dengan jarak horizontal lebih kurang 60 km. Sementara itu, jarak utara – selatan
mempunyai lebar sekitar 40 km. Cekungan Bandung ini hampir dikelilingi oleh
jajaran kerucut gunungapi berumur Kuarter, di antaranya di sebelah utara terdiri
atas kompleks Gunung Burangrang – Sunda – Tangkubanparahu, Gunung
8
Bukittunggul, tinggian batuan Gunungapi Cupunagara, Gunung Manglayang, dan
Gunung Tampomas. Batas timur berupa tinggian batuan Gunungapi Bukitjarian,
Gunung Karengseng – Gunung Kareumbi, kompleks batuan gunungapi Nagreg
sampai dengan Gunung Mandalawangi. Batas selatan terdiri dari kompleks
Gunungapi Kamojang, Gunung Malabar, Gunung Patuha dan Gunung Kendeng.
Hanya di sebelah barat, Cekungan Bandung dibatasi oleh batuan gunungapi
berumur Tersier dan batugamping yang termasuk ke dalam Formasi Rajamandala
(Sudjatmiko,1972; dalam Sutikno Bronto dan Udi Hartono 2006 ).
Dilihat dari pembagian zona fisiografi mengikuti Van Bemmelen (1949),
Daerah penelitian yang terletak di Cekungan Bandung Bagian Utara, termasuk
kedalam bagian fisiografi Zona Bandung.
2.1.2. Stratigrafi Regional
Menurut Silitonga (1973), endapan tertua pada wilayah daerah penelitian
secara regional merupakan endapan hasil vulkanik tua tak teruraikan (Qvu) dengan
litologi breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang-seling. Satuan ini berumur
Pleistosen Atas dan satuan ini pula disamakan kepada Formasi Cikapundung oleh
Koesoemadinata dan Hartono (1981) dan merupakan bagian dari Zona Pegunungan
Kompleks Sunda Yang Telah Padam pada stratigrafi oleh Bemmelen(1949).
Selanjutnya, Silitonga (1973) mengatakan bahwa endapan tersebut diikuti
oleh Endapan Hasil Vulkanik Muda Tak Teruraikan (Qyu) dengan litologi pasir
tufaan (Qyd) , lapili, breksi, lava, dan agglomerat, dan tuffa berbatuapung (Qyt).
Satuan ini berumur Holosen dan satuan ini disamakan dengan Formasi Cibeureum
dan Formasi Kosambi pada Koesoemadinata dan Hartono (1981) serta merupakan
bagian muda dari Zona Pegunungan Kompleks Sunda Yang Telah Padam pada
stratigrafi oleh Bemmelen (1949).
9
Gambar 2.2. Peta Geologi Regional DAS Cikapundung Hulu berdasarkan Peta Geologi
Regional Lembar Bandung (Silitonga, 1973).
Tabel 2.1 Kolom Stratigrafi dari Beberapa Peneliti.
Endapan setelahnya diikuti oleh Endapan Kolovium yang terdiri dari
reruntuhan hasil volkanik tua, endapan ini disamakan dengan Formasi Cikadang
pada Koesoemadinata dan Hartono (1981) Endapan Kolovium dan Endapan
10
Aluvium merupakan satuan yang berumur Holosen, dimana Endapan Kolovium
relatif lebih tua dari pada Endapan Aluvium.
2.1.3. Struktur Geologi Regional
Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyebutkan terdapat 4 pola struktur
dominan yang berkembang di Pulau Jawa, diantaranya adalah (Gambar 2.3):
1. Pola Meratus
Pola Meratus berarahtimurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentukpada 80 sampai
53 jutatahun yang lalu (Kapur Akhir – Eosen Awal), sangat dominan di daerah
lepas pantai Jawa Barat dan menerus hingga ke Banten.
2. Pola Sunda
Pola Sunda berarahutara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 jutatahun yang
lalu (EosenAwal – OligosenAwal).
3. Pola Sumatera
Pola Sumatera berarah Barat laut -Tenggara sejajar dengan arah sumbu panjang
Sumatera. Pola ini tidak terlalu dominan di Daerah Jawa Barat. Pola ini
mungkin hanya melibatkan batuan dasar dan ditafsirkan sebagai kelanjutan dari
jejak tektonik yang tua di Sumatra (Asikin, 1997).
4. Pola Jawa
Pola Jawa berarah Barat-Timur (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun
yang lalu merupakan pola struktur yang paling muda, memotong dan
merelokasi Pola Struktur Meratus dan Pola Struktur Sunda.
11
Gambar 2.3. Peta Pola Sesar Pulau Jawa Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994).
Sedangkan Gejala struktur di daerah Bandung utara kemungkinan ada
kaitannya dengan tektonik yang terbentuk di daerah penelitian. Gejala struktur yang
paling berarti ini yaitu sesar Lembang dengan morfogi berupa gawir sesar (fault
scarp) dengan dinding gawir menghadap ke utara sepanjang 22 km (Gambar 2.3)
melintang dari arah timur ke barat,tinggi gawir sesar yang mencerminkan besarnya
pergeseran sesar (loncatan vertical/throw maupun dislokasi) berubah dari sekitar
450-an meter di ujung timur (Maribaya, G.pulusari) hingga 40-an meter disebelah
barat (Cisarua) dan menghilang di ujung barat utara Padalarang (Brahmantyo,2005).
Menurut silitonga (1973), sesar lembang merupakan sesar normal dengan blok utara
relatif turun. Sesar lembang ini terbentuk akibat adanya aktifitas runtuhnya Gunung
Sunda yang mengakibatkan depresi berupa sesar Lembang yang berarah barat –
timur dilereng bagian selatan dan pembentukan patahan melengkung di bagian
utara Gunung Tangkubanparahu.
Daerah penelitian merupakan kawasan yang dekat dengan sesar lembang,
aktifitas tektonik di daerah penelitian kemungkinan karena pengaruh dari aktifitas
tektonik aktif sesar Lembang, hal ini diyakini karena terbentuknya morfologi
berupa gawir sesar yang memiliki arah umum yang sama dengan Sesar Lembang.
12
2.1.4. Geologi
Secara fisik, bentang alam wilayah Bandung dan sekitarnya yang termasuk
ke dalam Cekungan Bandung, merupakan cekungan berbentuk lonjong (elips)
memanjang berarah timur tenggara – barat barat laut. Cekungan Bandung ini
dimulai dari daerah Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah ba-
rat dengan jarak horizontal lebih kurang 60 km. Sementara itu, jarak utara – selatan
mempunyai lebar sekitar 40 km. Cekungan Bandung ini hampir dikelilingi oleh
jajaran kerucut gunung api berumur Kuarter, diantaranya di sebelah utara terdiri
atas kompleks Gunung Burangrang – Sunda – Tangkubanparahu, Gunung
Bukittunggul, tinggian batuan Gunungapi Cupunagara, Gunung Manglayang, dan
Gunung Tampomas. Batas timur berupa tinggian batuan Gunungapi Bukitjarian,
Gunung Karengseng – Gunung Kareumbi, kompleks batuan Gunungapi Nagreg
sampai dengan Gunung Mandalawangi. Batas selatan terdiri dari kompleks
gunungapi Kamojang, Gunung Malabar, Gunung Patuha dan Gunung Kendeng.
Hanya di sebelah barat, Cekungan Bandung dibatasi oleh batuan gunungapi
berumur Tersier dan batugamping yang termasuk ke dalam Formasi Rajamandala
(Sudjatmiko, 1972 dalam Sutikno Bronto dan Hartono, 2006).
Menurut pembagian geomorfologi yang dibuat oleh Pannekoek (1949)
daerah penelitian terletak dalam rangkaian pegunungan tinggi Gunung
Tangkubanperahu hingga Bukittunggul yang merupakan bagian dari Zona Utara
Jawa Barat. Sedangkan berdasarkan klasifikasi Desaunettes (1977) terdiri atas
Kerucut volkanik (V 22), Lereng volkanik berbukit (V 74), Dataran tinggi (V 71)
dan Lereng volkanik bergelombang kasar (V 73). Seluruh daerah tersebut terletak
pada elevasi lebih dari 1.000 meter diatas muka laut.
DAS Cikapundung hulu disebut juga Cekungan Lembang, bentuknya
berupa cekungan yang relatif lebih panjang ke arah barat – timur sejajar dengan
arah sesar Lembang yang merupakan pembatas DAS pada bagian selatan. Selain
Cikapundung sebagai sungai induk, sungai-sungai utama lainnya yaitu Sungai
Cigulung, Sungai Cibuntu, Sungai Cicukang, Sungai Ciputri, Sungai Cikawari,
Sungai Cipanengah, Sungai Cibodas dan Sungai Cisarua.
13
Sebagai pembatas DAS, pada bagian barat terdapat puncak Gunung
Tangkuban perahu (+ 2.076 m) dan Pasir Ipis. Pada bagian utara sampai batas timur
diantaranya terdapat, Gunung Lingkung, Gunung Cikandung, Gunung Cikoneng,
Bukit Tunggul (+ 2.209 m), Gunung Sanggara dan Gunung Pangparang (+ 1.953
m). Batas bagian selatannya adalah tebing berarah barat – timur yang terbentuk
akibat foot wall yang naik dari sesar Lembang. Puncak-puncak bukit yang terdapat
sepanjang jalur sesar ini adalah Pasir Malang, Pasir Pangukusan, Pasir Malang dan
Gunung Pulasari.
Berdasarkan laporan dari Silitonga (1973), Hartono dan Koesoemadinata
(1981), Sunardi (1997) dan beberapa laporan lainnya terbitan Direktorat
Volkanologi, maka disimpulkan bahwa secara umum litologi daerah penelitian
dapat dibedakan menjadi lima satuan batuan yang berumur dari Plistosen Bawah
sampai Holosen. Kelima satuan batuan tersebut dari tua ke muda yaitu Satuan
Breksi Gunungapi (Formasi Cikapundung), Endapan Gunungapi Tua, Satuan Tuf–
Batuapung (Formasi Cibeureum), Satuan Tuf Pasir (Formasi Cikidang) dan
Koluvium. Pada Formasi Cikidang dapat dipisahkan lagi adanya aliran lava basalt
yang dapat dibedakan dengan jelas terhadap batuan lainnya pada formasi tersebut.
Struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian adalah sebuah sesar
normal Lembang. Sesar ini membentang dari timur ke barat sampai keluar daerah
penelitian dengan blok bagian utara relatif turun terhadap bagian selatan (Silitonga,
1973). Tjia (1968) menyatakan bahwa sesar Lembang adalah sesar mendatar (strike
slip fault) dengan gerakan mengiri (sinistral). Delinom (1991) menyatakan bahwa
Sesar Lembang merupakan batas penahan laju air tanah dari DAS Cikapundung
Hulu ke Cekungan Bandung.
Struktur kekar kolom dan berlembar banyak dijumpai pada aliran lava
andesit dan basalt (Formasi Cikapundung) dan Satuan Tufa Pasiran (Formasi
Cikidang). Tidak dijumpai struktur perlapisan batuan yang secara tegas. Dari
orientasi fragmen batuan dan perubahan warna bagian atas dan bawahnya maka
dapat diketahui bahwa batuan penyusun di daerah Bandung Utara (termasuk di
14
dalamnya daerah penelitian) mempunyai kemiringan ke arah selatan sekitar 8o –
13o.
2.1.5. Klimatologi dan Hidrologi
Seperti layaknya daerah-daerah di Pulau Jawa yang lainnya, daerah
penelitian, yaitu kawasan Lembang dan sekitarnya termasuk dalam iklim tropis
yang dipengaruhi oleh angin barat dan angin timur. Tiupan kedua angin ini
menyebabkan terjadinya musim yang berbeda dalam setahun. Bulan Mei sampai
September adalah musim kemarau, sedangkan bulan Oktober sampai April
merupakan musim hujan. Suhu rata-rata bulanan sekitar 22,9o C dengan perubahan
sekitar 0,55o C untuk setiap perbedaan tinggi 100 meter (BMG, Bandung ; DHV &
IWACO, 1985).
Sungai Cikapundung merupakan sungai yang berair sepanjang tahun
(perimial..?). dengan debit banjir di stasion Gandok 90,5 m3/detik pada perioda
ulang 10 tahun dan 120 m3.detik pada perioda ulang 25 tahun (Laporan P3A
tentang Penelitian Debit Banjir Perioda Ulang Citarum Hulu, 1998 / 1999).
Lapisan akifer umumnya tersusun oleh material berbutir kasar dengan
transmisifitas 400 – 800 m2/hari untuk Formasi Cibeureum, antara 100 – 900
m2/hari untuk Formasi Cikidang dan antara 100 – 250 m2/hari untuk Formasi
Cikapundung (IWACO, 1990). Koesoemadinata & Hartono (1982) menyatakan
bahwa Formasi Cibeureum merupakan penyalur utama air tanah Kota Bandung.
2.1.6. Tataguna Lahan
Tataguna lahan daerah Lembang dan sekitarnya memiliki ciri penggunaan
yang beraneka ragam. Berdasarkan pada ketampakannya (present landuse) pola
penggunaan lahan di daear ini tidak hanya bercirikan pedesaan dengan fungsinya
sebagai kawasan pertanian dan perkebunan, namun pada daerah ini juga
berkembang pusat-pusat pemukiman yang terencana (real-estat).
Tataguna lahan di daerah ini terdiri atas kebun sayuran, kebun campuran,
sawah teknis dan tadah hujan, hutan lebat, permukiman, areal wisata, dan setempat-
setempat telah menjadi kawasan industri (LP–Unpad, BPN Kab. Bandung).
15
Dalam melakukan analisis geomorfologi didasarkan pada tiga
karakterisitik yaitu Morfografi, Morfometri, dan Pola Pengaliran Sungai.
2.2. Landasan Teoritis
2.2.1. Geomorfologi
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk dan proses
perubahan-perubahan yang terjadi pada permukaan bumi. Geomorfologi biasanya
diterjemahkan sebagai ilmu bentang alam. Proses geomorfologi adalah perubahan-
perubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi.
Penyebab proses terjadinya perubahan roman muka bumi terdiri atas gaya
endogen dan gaya eksogen. Air dan angin merupakan agen geologi (geomorphic
agent) utama dengan dibantu oleh adanya gaya berat, keseluruhannya bekerja
bersama-sama melakukan perubahan terhadap permukaan roman muka bumi.
Analisis geomorfologi didasarkan pada tiga karakterisitik yaitu Morfografi,
Morfometri, dan Pola Pengaliran Sungai.
2.2.1.1. Morfografi
Morfografi suatu daerah dapat ditentukan berdasarkan kenampakan bentuk
lahan dari citra SRTM-DEM dan keadaan di lapangan, ditunjang dengan data
topografi daerah. Pembagian penamaan morfografi didasarkan pada:
1. Bentuk lahan dataran, memiliki kemiringan lereng 0 %-2 % terdiri atas
bentuk asal marin, fluvial, campuran (dataran delta), dan plato.
2. Bentuk lahan perbukitan/pegunungan, perbukitan memiliki ketinggian 50-
500 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan kemiringan lereng antara
7%-20 %, sedangkan pegunungan memiliki ketinggian di atas 500 meter dpl
dengan kemiringan lereng di atas 20 %. Adapun aspek geologi yang
tercermin dari bentuk lahan ini adalah bentuk lahan perbukitan kubah intrusi,
perbukitan kubah rempah gunung api (gumuk tepra), perbukitan kubah karst
(gamping), perbukitan memanjang, serta bentuk lahan pegunungan.
3. Bentuk lahan vulkanik (gunungapi), memiliki ketinggian lebih dari 1000
meter dpl dengan kemiringan lereng yang curam antara 56 % - 140 %.
4. Lembah, terdiri ats jenis lembah U tajam, U tumpul, V tajam, dan V
tumpul
16
5. Bentuk lereng, terdiri atas bentuk lereng cembung, cekung, dan lurus.
6. Pola punggungan, terdiri atas pola punggungan paralel, berbelok,
serta melingkar.
Bentuk suatu lahan diantaranya dapat diketahui dengan cara membuat grid
pada peta dasar (skala 1:25.000) dengan luasan 1 cm x 1 cm, untuk diketahui nilai
kemiringan lereng setiap 1 cm2
nya. Cara menentukan kemiringan lereng dalam
penelitian ini berdasarkan formula dari Elyes (1968) , sedangkan untuk
klasifikasinya didasarkan pada van Zuidam (1983).
Tabel 2.1. Klasifikasi kemiringan lereng (van Zuidam, 1983).
Proyeksi Peta
Sistem proyeksi peta dapat menggunakan sistem UTM dan lintang /
bujur. Penggunaan sistem proyeksi UTM dengan pertimbangan perbedaan
17
jarak dan arah pada peta relatif kecil dibanding ukuran jarak dan arah
dipermukaan bumi. Elipsoid yang digunakan adalah WGS 84. Elipsoid
tersebut sudah merupakan datum resmi pemetaan di Indonesia yang
diberlakukan sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional tahun 1995 (DGN-1995).
Parameter untuk Elipsoid WGS-84 adalah sebagai berikut:
Setengah sumbu panjang (a) : 6.378.138,00 m
Kepipihan (f) : 1/298,257223563
Untuk parameter proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) adalah
sebagai beikut:
Meridian Tengah (CM) : 99° Timur
Faktor Perbesaran di CM : 0,9996
Lintang Awal : 0° Timur (Khatulistiwa)
Bujur Awal : 99° Timur
False Origin Easting : 500.000 m
False Origin Northing : 10.000.000 m
Unit : Meter International
Zone Wilayah : Zone-48
Digital Elevation Model (DEM)
Digital Elevation Model merupakan model visualisasi dari titik-titik
ketinggian (elevvasi) yang berformat digital. DEM didapatkan dari proses
interpolasi untuk mendapatkan titik-titik yang sama sehingga dapat dikelompokkan
dalam garis-garis/sel-sel yang memiliki nilai hasil interpolasi tersebut. DEM ini
digunakan untuk melihat karakter dari geomorfologi dan morfometri, seperti relief
dan kemiringan lereng yang kemudian dikenal dengan DTM atau Digital Terrain
Model.
2.2.1.2. Morfometri DAS
18
Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam bahasa Inggris disebut Watershed,
atau dalam skala luasan kecil disebut Catchment Area adalah suatu wilayah daratan
yang dibatasi oleh punggungan bukit atau batas-batas pemisah topografi, yang
berfungsi menerima, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di
atasnya ke alur-alur sungai dan terus mengalir ke anak sungai dan ke sungai utama,
akhirnya bermuara ke danau/waduk atau ke laut.
Morfometri DAS merupakan ukuran kuantitatif karakteristik suatu Daerah
Aliran Sungai yang terkait dengan aspek geomorfologi. Kirkby (1978) dan Chorley
(1969), membagi aspek morfometri menjadi tiga macam, yaitu Linier, Areal (luas)
dan Relief.
Linear Morfometri
Linear morfometri adalah karakteristk morfometri yang dilihat
berda-sarkan pada parameter-parameter linear DAS seperti:
1. Jumlah segmen tiap orde dan total segmen sungai dalam suatu cekungan.
Jumlah segmen pada setiap orde dperlukan untuk mengetahui nilai nisbah
percabangan (Rb). Total segmen pada suatu cekungan didapat
dengan cara menjum-lahkan seluruh jumlah segmen yang ada. Untuk
mencari jumlah segmen di setiap orde dan totalnya, dilakukan dengan
manual.
2. Panjang total sungai. Merupakan panjang dari seluruh segmen sungai.
Dihitung dengan menggunakan bantuan ruler yan terdapat pada software
map info.
3. Nilai nisbah percabangan (Rb).Persamaan ini merupakan salah satu dari
hukum yang dikemukakan oleh Horton (Horton’s Laws, 1945). Nilai nisbah
percabangan atau bifurcation ratio merupakan nilai rasio antara jumlah
segmen di suatu orde dengan jumlah segmen pada orde berikutnya yang
lebih tinggi dengan menggunakan rumus ini,jumlah alur sungai untuk
suatu orde dapat ditentukan dengan :
19
Strahler (1964; dalam Verstappen, 1983) menyatakan bahwa jika
suatu DAS yang memiliki rasio cabang sungai atau bifurcation ratio (Rb) kurang
dari 3 atau lebih dari 5 maka diindikasikan DAS tersebut telah mengalami
deformasi akibat pengaruh tektonik.
Nilai Rb dapat ditentukan juga dengan telebih dahulu mencari fungsi dari
jumlah orde terhadap logaritma dari jumlah orde. Fungsi didapat dengan cara
memasukkan data dalam microsoft exel kemudian dibuat grafik dan dicari
fungsinya. Fungsi yang keluar adalah y = ax+b. Nilai Rb dapat diketahui dengan
cara mencari logaritma dari a.
Linear morfometri adalah karakteristik morfometri yang dilihat berdasarkan pada
unsur-unsur linear DAS seperti:
- Jumlah segmen sungai dalam setiap orde
- Jumlah total segmen sungai dalam suatu cekungan
- Panjang rata-rata segmen sungai
- Panjang total sungai
- Nilai nisbah percabangan (Rb)
- Nilai nisbah panjang (RL)
- Panjang dari aliran permukaan.
Untuk dapat mengetahui keseluruhan aspek di atas, pertama kita harus
mengetahui orde sungai dari setiap DAS. Orde sungai adalah tingkatan suatu
segmen sungai dalam suatu pola aliran. Banyak ahli telah menentukan cara
20
pemberian nilai orde suatu sungai seperti Horton (1945), Strahler (1952), dan
Shreve (1967).
Metode Strahler merupakan modifikasi dari metode Horton. Menurut
Strahler (1952), segmen yang tidak memiliki percabangan merupakan orde pertama.
Ketika dua segmen orde- pertama bergabung, maka akan terbntuk orde kedua.
Dua segmen orde -2 akan membentuk orde -3. Dua orde -3 akan membentuk orde
-4, dan seterusnya. Setiap segmen dapat ditempel oleh orde dengan nilai yang lebih
kecil namun tidak akan merubah atau meningkatkan nilai ordenya.
Pada linear morfometri, kita akan mengetahui nilai nisbah percabangan
atau Rb suatu DAS. Bifurkasi merupakan pola jaringan yang berkembang karena
adanya perulangan pembagian satu saluran menjadi dua bagian. Menurut Schumm
(1956, dalam Process Geomorphology, 1960), pembentukan bifurkasi atau
percabangan dapat terjadi dalam tiga proses (Gambar 2.3) yaitu :
a) Suatu segmen sungai terbagi menjadi dua bagian, setiap bagian masing-
masing berkembang menjadi dua bagian.
b) Suatu sungai dengan dua cabang, salah satu cabangnya menjadi
dominan dibandingkan dengan cabang lainnya.
c) Sudut segmen sungai mengecil, dan dua cabang bergabung menjadi
satu. Umumnya terjadi pada kemirigan yang curam.
Gambar 2.4. Beberapa cara menentukan orde sungai.
21
Gambar 2 5. Pembentukan Percabangan Sungai (Ritter et all, 1978)
Nilai Rb pada beberapa DAS dengan kondisi geologi yang homogen
akan memiliki rentang antara 3.0 – 5.0.
Nilai RL berfungsi seperti Rb, merupakan perbandingan antara rata-
rata panjang sungai suatu orde terhadap orde berikutnya yang lebih
tinggi. Panjang rata-rata sungai orde u (Lu) yaitu jumlah panjang sungai orde
u (∑Lu) dibagi banyaknya sungai orde u. Sedangkan panjang kumulatif
sungai orde u (Lku) yaitu total panjang sungai orde u beserta anak-anak
sungainya.
Lu = ∑Lu / Nu ....................................... (3)
Lku = ∑Lu .................................................. (4)
RL = Lu / Lu+1 ........................................ (5)
RL dapat digunakan untuk menentukan panjang rata-rata pada orde
yang tidak dihitung (Lo) dan nilai dari panjang total masing-masing orde.
Nilai RL berkaitan dengan hidrologi suatu cekungan DAS dan kemungkinan
banjir daerah cekungan. Banjir akan mungkin terjadi pada cekungan DAS
dengan panjang sungai utama yang lebih pendek.
Areal Morfometri
Karakteristik yang dilihat pada areal morfometri adalah parameter dua
dimensi dari cekungan sub-sub-Das. Parameter- aramter yang dihitung adalah :
a. Panjang area
22
Merupakan dimensi panjang dari cekungan sub-sub-Das, dapat
diketahui dengan menggunakan rumus :
b. Kerapatan aliran (Dd)
Kerapatan sungai adalah suatu angka yang menunjukkan panjang total
sungai suatu daerah tangkapan (catchment) dibagi dengan luas drainase. Kerapatan
aliran mencerminkan hubungan antara kondisi geologi dan iklim.
Tabel 2.2. Klasifikasi Indeks Kerapatan Sungai (Siwi, 2006)
Dd: < 0,25km/km2 Rendah
Dd : 0,25 – 10 km/km2 Sedang
Dd : 10 – 25 km/km2 Tinggi
Dd : > 25 km/km2 Sangat Tinggi
Hal lainnya yang berkaitan dengan areal adalah Luas rata-rata basin
(Au ), Frekwensi sungai (Fu), serta Kebundaran Basin (Rc dan Kc). Luas rata-
rata basin orde u (Au) adalah jumlah luas basin orde u (∑Au) dibagi
23
banyaknya basin orde u. Kebundaran basin (Rc) yaitu faktor bentuk
basin yang dihitung dari luas basin terukur (Ab) dibagi luas basin berdasarkan
perhitungan keliling basin dengan andaian basin berbentuk lingkaran (Ac). Kc
faktor pembaginya ialah luas basin berdasarkan perhitungan dengan andaian
elongasi sebagai garis tengah (Ae).
Au = ∑ Au / Nu ............................................. (8)
Rc = Ab / Ac ............................................... (9)
Kc = Ab / Ae .............................................. (10)
Berdasarkan indeks tersebut, dapat diperkirakan gejala yang
berhubungan dengan ukuran sungai, yaitu :
a) Nilai Dd rendah menggambarkan kondisi alur sungai yang melewati batuan
dengan resistensi keras dan kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga jarak
antara aliran renggang, daerah aliran sulit dikeringkan dan rekasi
hidrologis yang lambat.
b) Nilai Dd sedang menggambarkan kondisi alur sungai yang melewati batuan
dengan resistensi menengah, sehingga jarak antara aliran agak renggang.
c) Nilai Dd tinggi menggambarkan kondisi alur sungai yang melewati batuan
dengan resistensi rendah dan kapasitas infiltrasi yang rendah, sehingga
jarak antara aliran rapat, daerah aliran yang terpotong-potong, sehingga
memberikan reaksi relatif lebih cepat terhadap masuknya curah hujan.
d) Jika nilai Dd sangat tinggi, maka alir sungainya melewati batuan yang
kedap air. Keadaan ini akan menunjukan bahwa air hujan yang menjadi
aliran akan lebih besar jika dibandingkan dengan Dd rendah melewati
batuan yang berpermeabilitas besar.
Kerapatan aliran digunakan juga untuk mengetahui karakterisitk
morfometri lainnya yaitu pada pencarian konstanta aliran dan panjang aliran
permukaan. Kedua karakteristik tersebut menggambarkan hubungan antara faktor
pengontrol erosi permukaan dan pola aliran.
24
Bentuk DAS dibagi menjadi empat kategori (Sosrodarsono dan Takeda,
1987), yaitu:
1. bentuk bulu burung,
2. bentuk menyebar/kipas/lingkaran(radial),
3. bentuk sejajar (paralel), dan
4. bentuk kompleks.
Sedangkan bentuk cekungan terbagi menjadi dua yaitu melingkar dan
memanjang. Bentuk tersebut didasarkan pada keliling dan luas bentuk DAS
Dengan mengetahui bentuk cekungan, kita dapat mengetahui perkiraan
kecepatan air yang masuk dan keluar dalam suatu cekungan. Hal tersebut akan
berhubungan dengan kemungkinan banjir suatu daerah.
Bentuk DAS yang melingkar menggambarkan setiap segmen sungai
memiliki panjang yang sama, kecepatan aliran air yang sama dan waktu air masuk
dan keluar yang sama. Pada bentuk ini, kemungkinan banjir akan lebih besar
karena air masuk dan keluar pada saat yang bersamaan. Bentuk DAS yang
memanjang memiliki panjang segemen sungai yang lebih panjang dari bentuk
DAS melingkar serta panjang tiap segmen sungai berbeda. Hal tersebut
mengakibatkan perbedaan kecepatan dan waktu aliran sungai. Pada bentuk ini akan
terjadi pergantian air yang masuk dan keluar, sehingga kemungkinan banjir akan
lebih kecil.
Kerapatan aliran (Dd) menggambarkan kerapatan setiap segmen sungai
dalam suatu DAS. Dd merupakan bagian pokok dari karakteristik suatu DAS. Nilai
Dd tidak hanya mencerminkan keadaan geologi saja, tapi juga menggambarkan
parameter iklim geomorfologi, vegetasi dan kekuatan batuan serta tanah terhadap
erosi yang bekerja pada daerah tersebut. Dalam kondisi iklim yang sama, batuan
yang kedap air akan menghasilkan nilai Dd yang lebih besar dari nilai Dd pada
batuan yang menyerap air. Pada lingkungan semi- arid yang jarang terdapat
tumbuhan dan aliran permukaan air yang cepat akan menghasilkan nilai Dd
yang lebih besar daripada lingkungan arid dan humid.
25
Relief Morfometri
Aspek ini merupakan aspek geomorfologi ruang suatu cekungan.
Bagian-bagian yang dinilai pada aspek ini adalah :
Rasio Relief
Relief relatif
Tinggi relatif cekungan
Area relatif cekungan
Nilai kekasaran
2.2.1.3. Pola Pengaliran Sungai
Pola pengaliran sungai mencerminkan karakteristik keadaan geologi
daerahnya. Pada penelitian ini, penulis menentukan jenis pola aliran yang
berkembang dalam setiap sub-sub-DAS berdasarkan pada jenis pola aliran
Howard (1967). Howard membagi pola aliran ke dalam 8 jenis pola aliran
(Gambar 2.4, Tabel 2.3) yaitu pola aliran dendritik, rektangular, paralel, trellis,
radial, angular, multi basinal dan contorted.
Pola pengaliran secara regional dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis dan
ketebalan lapisan batuan penyusun, struktur geologi, jenis dan kerapatan vegetasi,
serta kondisi alam. Pola pengaliran yang mudah dikenali dari peta topografi dan
foto udara merupakan hasil kegiatan erosi dan tektonik yang memiliki hubungan
erat dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi erosi, dan sejarah bentuk bumi.
Analisis pola pengaliran dapat dilakukan dengan media peta
topografi sehingga kondisi sungai terlihat jelas lekuk-lekuknya, baik itu sungai
perenial maupun sungai intermitennya.
26
Gambar 2.6. Pola pengaliran dasar Howard, 1967 dalam Ritter et al.,
(1978)
Suatu DAS umumnya terdiri atas sungai besar beserta anak-anak sungainya
yang mengalir di suatu daerah. Suatu DAS terbagi menjadi beberapa sub-DAS,
dan sub-DAS dapat terbagi menjadi beberapa sub-sub-DAS. Batasan suatu sub-
DAS merupakan suatu garis yang ditarik melewati kontur dari elevasi tertinggi
yang mengelilingi sub-DAS tersebut. Untuk menarik garis tersebut, dimulai dari
saluran luar sub-DAS kemudian ke bagian tepi kirinya, garis selalu harus
berada di bagian sudut kanan dari garis kontur dan tidak memotong jalur sungai.
Kemudian ke bagian atas dari bagian pusat jaringan sungai, dan ke titik awal.
27
Tabel 2.3. Karakteristik Pola Aliran Dasar (Howard, 1967 dalam van Zuidam
1988).
2.2.1.4. Morfotektonik
Analisis morfotektonik DAS akan berkaitan dengan sinusitas muka gunung
(Smf), yaitu dapat perbandingan antara panjang muka gunung (Lmf) dan panjang
proyeksi muka gunung ke bidang datar (Ls) (Bull dan McFadden (1977),
dalam Doornkamp, 1986).
Smf = Lmf/Ls .................................. (11)
Berdasarkan persamaan sinusitas muka gunung di atas, aktivitas tektonik
yang terjadi di suatu daerah dapat ditentukan. Jika nilai Smf mendekati nilai 1
maka hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi adanya proses
pengangkatan (uplift) aktif. Klasifikasi derajat aktivitas tektonik selanjutnya dapat
dilihat pada tabel 2.4
28
Tabel 2.4. Klasifikasi derajat aktivitas tektonik berdasarkan indeks sinusitas muka
gunung (Doornkamp, 1986).
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Riset
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui morfometri di area aliran air Sungai Cikapundung
2. Mengetahui kondisi geologi, penyusun batuan, dan pelapukan batuan yang
ada.
3. Mendapatkan unsur-unsur morfometri yang berpengaruh terhadap aliran
sungai.
4. Mengetahui karakteristik curah hujan dan debit aliran sungai
5. Mengetahui hubungan morfometri dan curah hujan serta pengaruhnya
terhadap hidrograf dan debit aliran sungainya.
3.2. Luaran Riset
Sesuai dengan tujuannya, dari segi ilmiah penelitian ini memberikan tambahan
informasi yang lebih lengkap, teruma mengenai kondisi morfometri, geologi, dan
hidrologi Daerah Aliran Sungai Cikapundung. Dengan dapat dibuatnya pola
hubungan antara karakteristik morfometri terhadap pola umum karakter aliran
29
sungainya, maka bila digabung dengan data lainnya yang sejenis nantinya akan
dapat digunakan sebagai bahan untuk mitigasi banjir di Cekungan Bandung.
Target luaran penelitian yang akan dicapai adalah dapat dipublikasikan pada
jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional bereputasi dan bahan ajar.
BAB 4 METODE PENELITIAN
Metoda penelitian yang akan dilakukan adalah secara kualitatif. Data yang
dihasilkan kemudian diolah dan dianalisis serta diinterpretasikan dan dianggap
telah mewakili hasil yang diharapkan. Penelitian yang dilakukan untuk
mendapatkan dan mengumpulkan data dapat dibagi ke dalam empat tahapan
pekerjaan yang meliputi:
4.1. Tahap Studi Pustaka
Tahap studi pustaka berupa pengumpulan data-data sekunder dari kajian
literatur yang berhubungan dengan geologi daerah penelitian dan berdasarkan
teori yang mendukung penelitian ini. Tahap studi pustaka ini sangat penting
dipakai untuk menjadi acuan pertama menentukan karakteristik dari wilayah
yang akan diteliti.
4.2. Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data-data primer antara lain dengan
melakukan deliniasi batas aliran sungai, indikasi geologi lainnya, serta
pengambilan sampel batuan secara grab sampling dan selektif untuk analisis
laboratorium. Sampel batuan ini diamati secara megaskopis, mikroskopis,
XRD, maupun analisis sifat fisik batuan. Pengambilan data curah hujan dan
pengukuran debit air sungai juga dilakukan pada saat tertentu dan waktu
tertentu.
4.3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data (studio dan laboratorium)
Pada tahap ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu:
a). Analisis Petrografi dan XRD
Sampel batuan dan tanah dilakukan pengamatan mikroskopik untuk
mengetahui karakteristik tekstur batuan dan X-Ray Diffraction untuk
mengetahui jenis mineral lempungnya.
30
c) Analisis Sifat Fisik Batuan
Sifat fisik batuan juga dilakukan untuk mengetahui tingkat pelapukan,
porositas dan permeabilitas batuan.
d). Tahap interpretasi data
Interpretasi data dilakukan setelah semua tahapan mulai dari studi pustaka,
pengumpulan data serta tahapan pengolahan dan analisis data yang telah
selesai dilakukan. Interpretasi yang kemudian diharapkan dapat menjawab
semua yang dimaksud dalam tujuan dari penelitian ini.
Untuk kelancaran dan keakuratan data hasil laboratorium, maka kegiatan
analisis sample batuan akan dilakukan dilaboratorium yang telah
terakreditasi atau telah dikenal dengan baik sebagai laboratorium riset.
Analisis petrografi akan dilakukan di laboratoium Petrologi dan Mineralogi,
Fakultas Teknik Geologi UNPAD. Analisis sifat fisik batuan dilakukan di
Laboratorium Geologi teknik FTG Unpad.
4.4. Tahap Penyusunan Laporan
Pada tahap penyusunan laporan akhir juga melakukan pembuatan draft
manuscript untuk artikel di jurnal nasional atau internasional serta membuat
presentasi untuk persiapan mengikuti konferensi internasional.
Penelitian ini dilakukan di lapangan yakni di wilayah DAS Sungai
Cikapundung, Bandung Utara untuk pengukuran dan pengambilan sampel
batuan. Kemudian dilanjutkan di studio dan laboratorium. Waktu pelaksanaan
penelitian untuk tahun pertama di mulai bulan Maret untuk survei dan
pengambilan sampel, bulan April-Mei untuk preparasi dan pemilihan sampel
yang akan dikirim ke laboratorium profesional. Bulan Mei-September
dilakukan analisis laboratorium dan bulan Agustus-Desember untuk studio,
dilanjutkan secara simultan dengan pembuatan manuscript artikel untuk jurnal
nasional dan internasional bulan Oktober-Januari. Di bulan Februari adalah
pembuatan laporan akhir.
BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
31
Sampai saat ini belum ada luaran yang dicapai, namun penyusunan draft manuscript
buku ajar sudah dibuat dan disusun.
BAB 6 RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Hasil dari kegiatan yang telah dilakukan hingga saat ini adalah:
1. Melakukan kajian dari pustaka yang ada, yang berasal dari berbagai jurnal baik
nasional maupun internasional yang terkait dengan tema penelitian.
2. Mengumpulkan dan membuat peta dasar, peta citra landsat, dan
3. Melakukan survey lapangan awal meliputi pengamatan morfologi, litologi, dan
mengetahui batas-batas DAS dan daerah limpah banjir.
4. Mengumpulkan dan mendapatkan data curah hujan dan debit air dari stasiun
pengamatan yang mempengaruhi DAS Cikapundung.
Sesuai dengan urutan tahapan penelitian, kegiatan yang akan direncanakan adalah:
1. Mekanjutkan mengumpulkan data yang diperlukan
2. Melakukan survey lapangan lanjutan
3. Melakukan analisis dan perhitungan dari data pustaka dan data primer yang ada
4. Melakukan analisis dan perhitungan
5. Melakukan sintesa
6. Membuat pemodelan sederhana dari sintesa yang dihasilkan
7. Membuat draft manuscript artikel untuk jurnal internasional (Q4)
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
Sehubungan dengan kegiatan penelitian ini sedang dilaksanakan dan pengumpulan
data masih berlangsung, maka kesimpulan dari penelitian ini belum dibuat dan
belum ada.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, Reinout Willem van. 1949. The Geology of Indonesia: General
Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, the East Indies, Inclusive
of the British Part of Borneo, the Malay Peninsula, the Philippine Islands,
32
Eastern New Guinea, Christmas Island, and the Andaman and Nicobar Isl. US
Government Printing Office.
Doornkamp, J.C., 1986. Geomorphological approaches to the study of
neotectonics. Journal of the geological society, 143(2), pp.335-342.
Harlan, D., 2009. Penentuan Debit Harian Menggunakan Pemodelan Rainfall
Runoff GR4J untuk Analisa Unit Hidrograf pada DAS Citarum Hulu. , 16(1),
pp.1–12.
Howard, A.D., 1967. Drainage analysis in geologic interpretation: a
summation. AAPG bulletin, 51(11), pp.2246-2259.
Junaidi, R., 2015. Parameter Hidrologi dan Hidrogeologis Pada daearah Aliran
Sungai (DAS) Sebagai Landasan Dalam, 1.
Maria, R., 2008. Hidrogeologi dan Potensi Resapan Airtanah Sub Das Cikapundung
Bagian Tengah. , 2(2), pp.21–30.
Meilawati, Y. & Lidya, L., 2016. Towards an Information System of Modeling and
Monitoring of Cikapundung River, Bandung, Indonesia. Procedia
Engineering, 154, pp.353–360.
Puradimaja, D.J. & Lubis, R.F., 2006. Hydrodynamic relationships between
groundwater and river water : Cikapundung River Stream, West Java,
Indonesia. , (488), pp.1–9.
Sukiyah, E., Sudradjat, A. & Hirnawan, R.F., 2007. The Simple Grid Method in
GIS Application for Delineation of Erosion and Flood Zones : Case study at
Bandung Basin 1). , (May), pp.1–10.
Wibowo, M. et al., 2005. Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap
debit sungai (. 6(1), pp.283–290.
Van Zuidam, R.A., 1983. Guide to Geomorphology Arial Photographic
Interpretation.
33
LAMPIRAN (bukti luaran yang didapatkan)
Belum ada artikel ilmiah yang dapat disusun.