Laporan Kasus Sip

32
TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi Tetanus (lock jaw) adalah penyakit yang ditandai dengan kejang paralitik akut atau spasme otot tanpa disertai penurunan kesadaran yang disebabkan eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan bakteri Clostridium tetani yang berefek pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuromuskular junction dan saraf otonom. 1,2 2. Etiologi Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif yang mampu membentuk spora anaerob dan habitat alaminya adalah di tanah, debu, dan saluran pencernaan berbagai hewan. 2 Pada bagian ujung Clostridium tetani, terdapat spora sehingga secara mikroskopis bakteri ini tampak seperti raket tenis. Spora tetanus dapat bertahan dalam suhu tinggi, desinfektan, atau kekeringan, namun sel-sel vegetatif dapat dibunuh oleh antibiotik, pemanasan, dan disinfektan biasa. 1,2 Tidak seperti Clostridia lainnya, C. tetani tidak menginvasi jaringan dan menimbulkan penyakit melalui efek racun tunggal, yaitu tetanospasmin atau sering disebut neurotoksin. Tetanospasmin adalah substansi paling beracun kedua yang diketahui, selain toksin botulinum berdasarkan potensinya. Dosis mematikan toksin tetanus pada manusia diperkirakan 10 -5 mg / kg. 2,3,4,5 1

Transcript of Laporan Kasus Sip

Page 1: Laporan Kasus Sip

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Tetanus (lock jaw) adalah penyakit yang ditandai dengan kejang paralitik akut

atau spasme otot tanpa disertai penurunan kesadaran yang disebabkan eksotoksin

(tetanospasmin) yang dihasilkan bakteri Clostridium tetani yang berefek pada sinaps

ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuromuskular junction dan saraf

otonom.1,2

2. Etiologi

Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif yang mampu membentuk

spora anaerob dan habitat alaminya adalah di tanah, debu, dan saluran pencernaan

berbagai hewan. 2

Pada bagian ujung Clostridium tetani, terdapat spora sehingga secara

mikroskopis bakteri ini tampak seperti raket tenis. Spora tetanus dapat bertahan dalam

suhu tinggi, desinfektan, atau kekeringan, namun sel-sel vegetatif dapat dibunuh oleh

antibiotik, pemanasan, dan disinfektan biasa. 1,2

Tidak seperti Clostridia lainnya, C. tetani tidak menginvasi jaringan dan

menimbulkan penyakit melalui efek racun tunggal, yaitu tetanospasmin atau sering

disebut neurotoksin. Tetanospasmin adalah substansi paling beracun kedua yang

diketahui, selain toksin botulinum berdasarkan potensinya. Dosis mematikan toksin

tetanus pada manusia diperkirakan 10-5 mg / kg. 2,3,4,5

3. Patogenesis

Perkembangan tetanus terjadi setelah spora tumbuh, berkembang biak, dan

menghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah dari tempat yang

terinfeksi. Dalam jaringan anaerob ini, terjadi penurunan tekanan oksigen jaringan

akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, atau adanya benda asing akibat trauma. 1,2

Toksin dilepaskan setelah kematian sel vegetatif bakteri dan sel menjadi lisis.

Terdapat dua macam toksin, yaitu tetanospasmin and tetanolysin. Tetanolysin tidak

berefek signifikan terhadap klinis tetanus, sedangkan tetanospasmin merupakan

1

Page 2: Laporan Kasus Sip

neurotoksin dan menimbulkan gejala klinis dari tetanus. Toksin tetanus berikatan

pada neuromuskular junction dan memasuki saraf motorik secara endositosis, setelah

itu mengalami transportasi aksonal retrograde ke sitoplasma motoneuron. Dalam saraf

sciatic, kecepatan transportasi menjadi 3,4 mm/jam. Toksin keluar dari motoneuron

di sumsum tulang belakang dan selanjutnya masuk interneuron inhibitor sekitar

tulang belakang. Toksin ini mencegah pelepasan neurotransmitter glisin γ-

aminobutyric acid (GABA), sehingga menghambat jalur inhibisi normal otot

volunter. Selain itu, melalui mekanisme inhibisi enzim, kolinesterase menjadi tidak

aktif sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi di celah sinaps. Oleh karena

itu, otot yang terkena mengalami kontraksi maksimal (spastik) dan tidak bisa

beristirahat. 1,2,3,4,5

Karena C. tetani bukan kuman invasif, maka tokin yang dihasilkannya akan

bertahan pada sumber infeksi dan menimbulkan manifestasi peradangan lokal dan

dapat menimbulkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lainnya. 2

4. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi tetanus biasanya adalah 2-14 hari, tetapi dapat juga baru

bermanifestasi setelah 1 bulan infeksi. Dalam tetanus umum, gejala yang muncul

pertama kali adalah sakit kepala, trismus (kejang otot masseter, atau kejang mulut)

dan diikuti kuduk kaku. Selain itu pada awal juga dapat ditemukan gelisah, dan lekas

marah, kemudian diikuti dengan kekakuan, kesulitan mengunyah, disfagia, dan

kejang otot leher. Senyum sinis tetanus atau risus sardonicus terjadi akibat kejang

pada otot wajah dan bukal. 2,3

Jika kelumpuhan meluas ke perut, pinggul lumbal, dan otot paha, pasien

mungkin menunjukkan postur melengkung akibat hiperekstensi dari tubuh

(opistotonus). Opistotonus merupakan posisi yang dihasilkan dari kontraksi otot yang

berlawanan, yang semuanya menampilkan kekakuan seperti papan yang ditemukaan

khas pada tetanus. Kejang otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi

jalan napas dan sesak napas. 2

Karena toksin tetanus tidak mempengaruhi saraf sensoris atau fungsi kortikal,

pasien tetap sadar, dalam rasa sakit yang hebat. Kejang terjadi secara mendadak,

kontraksi tonik berat dari otot-otot, dengan mengepalkan tinju, fleksi dan aduksi pada

lengan dan hiperekstensi pada kaki. 2

2

Page 3: Laporan Kasus Sip

Tanpa perawatan, kejang berkisar dari beberapa detik hingga beberapa menit

dengan periode istirahat, tetapi pada tahap lanjut kejang dapat menjadi terus menerus.

Rangsangan minimal pada penglihatan, pendengaran, atau sentuhan dapat memicu

kejang tetanus. Disuria dan retensi urin dapat terjadi akibat spasme sfingter vesika

urinaria. Demam dapat mencapai 40°C, akibat tingkat metabolisme yang tinggi

terutama pada otot-otot yang kejang. 2

Efek otonom yaitu takikardia, disritmia, hipertermia, keringat berlebihan,

hipotensi, hipertensi dan vasokonstriksi pada kulit. Kelumpuhan akibat tetanus dapat

menjadi lebih parah dalam 1 minggu setelah onset, stabil di minggu ke-2, dan

berkurang secara bertahap dalam 1-4 minggu berikutnya. 1,2

Tetanus neonatal (tetanus neonatorum) merupakan bentuk infantil dari tetanus

generalisata, biasanya bermanifestasi dalam 3-12 hari setelah kelahiran. Infeksi

disebabkan oleh kontaminasi baketri C. tetani pada tali pusat selama persalinan yang

tidak steril atau pada ibu yang tidak mendapat imunisasi TT selama kehamilannya.

Karakteristik tetanus tipe ini berupa kelumpuhan atau berkurangnya gerakan, mulut

seperti mencucu sehingga tidak dapat menyusu, kekakuan pada sentuhan, dan

spasme, dengan atau tanpa opistotonus. Pada pusar dapat ditemukan sisa-sisa kotoran,

darah beku atau serum, atau mungkin tampak tenang. 2,3,4

Tetanus terlokalisasi bermanifestasi sebagai kejang otot-otot yang nyeri

disekitar lokasi luka dan dapat mendahului tetanus generalisata. Cephalic tetanus

adalah bentuk yang jarang dari tetanus terlokalisasi melibatkan otot-otot bulbar yang

terjadi dengan luka atau benda asing di kepala, lubang hidung, atau wajah. Hal ini

terjadi terkait dengan otitis media kronis atau trauma pada kepala. Cephalic tetanus

ditandai dengan kelumpuhan saraf cranial, kelopak mata ditarik ke belakang, trismus,

risus sardonicus, dan kelumpuhan spastik pada lidah dan otot-otot faring. 2,3

5. Diagnosis

Diagnosis tetanus ditegakkan secara klinis. Khas pada pasien adalah tidak ada

riwayat imunisasi disertai trismus, otot kaku lainnya, dan sensorium jelas. Perlu

ditanyakan adanya riwayat infeksi telinga, adanya luka tusuk, patah tulang terbuka,

atau gigitan binatang, riwayat imunisasi dasar lengkap dan selang waktu antara gejala

klinis pertama dengan kejang pertama. 1,2

3

Page 4: Laporan Kasus Sip

Dari pemeriksaan perlu dicari adanya gigi berlubang dan pemeriksaan teliti

pada telinga. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin biasanya normal. Leukositosis

perifer dapat disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder dari luka. C. tetani tidak selalu

terlihat pada pewarnaan gram. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal normal,

walaupun pada kontraksi otot yang berat dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Gambaran EEG atau EMG menunjukkan pola yang khas. 1,2

6. Diagnosis Banding

Trismus dapat diakibatkan dari abses parafaringeal, retrofaringeal, gigi, atau

jarang ditemukan pada ensefalitis akut yang melibatkan batang otak. Baik rabies atau

tetanus dapat terjadi setelah gigitan hewan, dan rabies dapat hadir sebagai trismus

dengan kejang. Namun, rabies dapat dibedakan dari tetanus akibat gigitan dengan

gejala disfagia, kejang terutama klonik, dan pleositosis. 2

Meskipun keracunan strychnine dapat mengakibatkan kejang otot tonik dan

aktivitas kejang umum, tetapi gejala trismus tidak ditemukan dan berbeda dari

tetanus, relaksasi umum biasanya terjadi antara kejang. Hipokalsemia dapat

menghasilkan tetani yang ditandai dengan kejang laring dan carpopedal, tapi tidak

ditemukan trismus. 2

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan mencakup : 2

1) Pemberantasan C. tetani dan lingkungan luka yang kondusif untuk

perkembangbiakkan anaerobik.

2) Netralisasi toksin tetanus.

3) Mengendalikan kejang dan respirasi.

4) Pencegahan kekambuhan..

7.1. Terapi umum

Luka eksisi bedah dan debridemen sering dibutuhkan untuk menghilangkan

benda asing atau jaringan mati yang menciptakan kondisi anaerob. Pembersihan

luka harus dilakukan segera setelah pemberian anti tetanus serum dan antibiotik. 2,5

4

Page 5: Laporan Kasus Sip

Pada tahap awal, perlu dilakukan pemasangan infus untuk pemberian

cairan intravena sekaligus obat-obatan. Jika dalam 3 hari infus belum dapat

dilepas, maka perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi parenteral. Saluran napas

juga perlu dijaga agar tetap bebas. Tambahan O2 juga perlu diberikan untuk

menjaga perfusi ke jaringan. 1

Golongan benzodiazepine merupakan obat paling efektif yang menjadi

pilihan utama pada spasme otot karena bekerja dengan meningkatkan fungsi

inhibisi GABA. Diazepam merupakan obat pilihan karena efektif mengatasi

kejang, menurunkan anxietas, memberikan efek sedasi dan merelaksasi otot

secara bersamaan tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang

direkomendasikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai dengan

gejala klinis. Untuk usia kurang dari 2 tahun, diberikan dosis 8 mg/kgBB/hari

dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam peroral. Untuk bayi, diberikan dosis inisial 0,1-

0,2 mg/kgBB IVuntuk menghilangkan spasme akut diikuti infus kontinu 15-40

mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari, diazepam dapat diturunkan bertahap 5-10

mmg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. 1,4

Magnesium sulfat (75 mg/kgBB dosis awal dan diikuti dosis maintenance

2-3 gr/hari), benzodiazepin lainnya (midazolam), klorpromazin, dantrolene, dan

baclofen juga digunakan. Baclofen intratekal berefek relaksasi otot seluruh tubuh

sehingga menimbulkan apnea dan harus digunakan hanya pada pusat kesehatan

dengan fasilitas perawatan intensif. 2,4

Jika ditemukan dan dicurigai sumber infeksi bersal dari otitis media atau

caries dentis, maka infeksi ini juga harus ditatalaksana hingga tuntas dengan

konsultasi dengan dokter THT dan dokter gigi. 1

7.2. Terapi khusus

7.2.1. Antibiotik

Lini pertama adalah metronidazol IV/PO dengan dosis inisial 15

mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval 6 jam

selama 7-10 hari. Metronidazol aktif untuk mengurangi C. tetani bentuk

vegetatif. Sebagai lini kedua, dapat digunakan penisilin prokain 50.000-

100.000 IU/kgBB/hari selama 7-10 hari. Jika terdapat hipersensitif terhadap

5

Page 6: Laporan Kasus Sip

penisilin, maka dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (anak > 8

tahun). 1

7.2.2. Anti serum

Toksin tetanus tidak dapat dinetralisir oleh Tetanus Imounglobulin

(TIG) manusia jika telah terjadi penjalaran aksonal ke sumsum tulang

belakang. TIG manusia harus diberikan sesegera mungkin untuk menetralisir

racun yang berdifusi dari luka ke dalam sirkulasi sebelum toksin berikatan

dengan otot yang jauh. Injeksi tunggal 500 IU TIG manusia IM cukup untuk

menetralisir toksin tetanus sistemik, dengan dosis total hingga 3.000 – 6.000

IU. Infiltrasi TIG manusia ke dalam luka kini dianggap tidak perlu. 2,3,5

Alternatif lain adalah Anti Tetanus Serum (ATS) yang berasal dari kuda.

Dosis umum dari ATS adalah 50.000-100.000 IU, dimana setengahnya

diberikan secara intramuskuler dan setengahnya lagi secara intravena, tetapi

dosis 10.000 IU mungkin sudah cukup. Sebelum menggunakan ATS perlu

dilakukan pemeriksaan sensitivitas. 1,2

TIG manusia lebih dipilih karena waktu paruhnya yang lama (30 hari)

dan hampir tidak ditemukan reaksi alergi. Pemberian TIG manusia secara

intratekal untuk menetralsir toksin tetanus pada sumsum tulang belakang,

tidak efektif dan tidak dianjurkan.2

7.3. Supportif

Karena kejang tetanus dapat dipicu oleh rangsangan ringan, maka

lingkungan yang tenang dan gelap, suara-suara yang tidak perlu harus dihidari,

dan sentuhan serta manipulasi terapeutik harus dilakukan hati-hati, terjadwal dan

terkoordinasi. Intubasi endotrakeal mungkin tidak diperlukan, tetapi dapat

dilakukan untuk mencegah aspirasi sekret sebelum spasme laring berkembang.

Intubasi endotrakeal dan suction mudah memprovokasi kejang rangsang tetanus

dan kejang umum. 2

Pemantauan kardiorespirasi, suction berkala, dan pemeliharaan elektrolit,

dan kebutuhan kalori mendasar juga harus diperhatikan. Perawatan mulut, kulit,

kandung kemih, dan fungsi usus penting dilakukan untuk menghindari ulserasi,

infeksi, dan sembelit. 2

6

Page 7: Laporan Kasus Sip

8. Prognosis

Pemulihan tetanus terjadi melalui regenerasi sinapsis dalam medula spinalis

sehingga terjadi relaksasi otot. Namun, karena infeksi tetanus tidak memproduksi

antibodi penetral racun, imunisasi aktif dengan tetanus toksoid tetap perlu dilakukan. 2

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi prognosis adalah kualitas

perawatan pendukung. Kematian tertinggi terjadi pada usia sangat muda atau sangat

tua. Prognosis baik ditandai dari masa inkubasi yang panjang, tidak adanya demam,

dan kelainan lokal. Prognosis kurang baik terkait dengan jarak onset dengan

munculnya trismus yang kurang dari 7 hari dan jarak trismus dan timbulnya kejang

umum yang kurang dari 3 hari. Tingkat kematian yang dilaporkan pada kasus tetanus

generalisata adalah 5-35%, dan untuk tetanus neonatorum berkisar dari < 10% pada

perawatan intensif sampai > 75% tanpa perawatan intensif. Cephalic tetanus memiliki

prognosis yang buruk karena kesulitan bernapas dan intake yang sulit. 2

9. Pencegahan

Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah. Imunisasi aktif harus

dimulai pada masa bayi awal dengan vaksin gabungan toksoid difteri pertusis-tetanus

toksoid-aselular (DTaP) pada usia 2, 4, dan 6 bulan dan booster pada usia 4-6 tahun

dan interval 10 tahun sesudahnya. Imunisasi toksoid tetanus pada wanita mencegah

tetanus neonatorum, sesuai yang disarankan WHO dengan 2 dosis toksoid tetanus. 2

Untuk anak usia lebih dari 7 tahun yang belum diimunisasi, imunisasi primer

terdiri dari 3 dosis toksoid yang diberikan secara intramuskular, dengan jarak

pemberian kedua 4-6 minggu setelah pemberian pertama dan pemberian ketiga 6-12

bulan setelah pemberian kedua. Reaksi Arthus (reaksi hipersensitivitas tipe III),

berupa vaskulitis ditempat deposisi kompleks imun dan komplemen, dilaporkan

jarang terjadi pada vaksinasi tetanus. 2

Manajemen Luka

Langkah-langkah pencegahan tetanus setelah trauma terdiri dari induksi

kekebalan secara aktif terhadap toksin tetanus dan secara pasif memberikan antibodi

profilaks tetanus. Tetanus toksoid harus selalu diberikan setelah gigitan anjing atau

gigitan binatang lain, meskipun C. tetani jarang ditemukan di flora mulut anjing.

Dalam setiap situasi (misalnya, pasien dengan riwayat imunisasi tidak diketahui atau

7

Page 8: Laporan Kasus Sip

tidak lengkap, luka tusuk, luka yang terkontaminasi oleh air liur, tanah, atau feses,

cedera avulsi, patah tulang), TIG 250 IU harus diberikan secara intramuskular,

dengan pemberian 500 IU untuk luka tetanus berbahaya, yaitu pada kasus yang tidak

dilakukan debridement, luka dengan kontaminasi bakteri, atau luka yang lebih dari 24

jam. Jika TIG tidak tersedia, maka 3.000-5.000 IU ATS dapat diberikan intra

muskuler setelah uji sensitivitas. 2,5

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : M H E

Umur : 5 tahun 4 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Ayah / Ibu : Tn. M / Ny. R

ANAMNESIS

Seorang anak laki-laki berumur 5 4/12 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr.

M. Djamil Padang tanggal 21/6/2012 dengan :

Keluhan utama :

8

Page 9: Laporan Kasus Sip

Kejang sejak 2 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Telapak kaki kiri tertusuk kaca 10 hari SMRS saat anak bermain di pantai. Luka

ukuran 3 x 1 x 2 cm, dijahit di praktek bidan dan diberi obat Ciprofloksasin 2x1 tab,

Asam Mefenamat 3x1 tab, Dexamethasone 3x1 tab dan Vitamin C 3x1 tab. Anak

tidak diberi suntikan anti tetanus.

Kejang sejak 2 hari SMRS, frekuensi 6-8 kali/hari, lama + 30 detik, anak sadar saat

kejang. Saat kejang, tubuh anak kaku dan punggung melengkung. Kejang terutama

bila dipegang. Kejang spontan tidak ada.

Mulut tidak bisa membuka sejak 2 hari SMRS. Masih bisa makan nasi dan prekedel

yang dilumatkan sebanyak + 1-2 suap tiap 1-2 jam.

Demam tidak ada.

Sesak nafas tidak ada.

Muntah tidak ada.

Batuk pilek tidak ada.

Tidak ada riwayat digigit anjing, kucing atau binatang liar sebelumnya.

Gigi geraham kanan bawah berlubang, tapi anak tidak pernah mengeluhkan sakit gigi.

Riwayat telinga berair tidak ada.

Riwayat terbentur pada kepala tidak ada

Buang air kecil, jumlah dan warna biasa.

Buang air besar, konsistensi dan warna biasa.

Anak sudah dibawa berobat ke klinik di Indarung dan diberi suntikan anti kejang dan

dibolehkan pulang dengan diberi obat makan (nama obat lupa), karena tidak ada

perbaikan, anak dibawa ke RS Bhayangkara Jati diberi obat makan (nama obat lupa)

dan dianjurkan untuk dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil, namun pasien menolak karena

alasan biaya. Satu hari kemudian, karena masih tetap kejang, anak dibawa ke RST

dan diberi O2 2L/ menit dan dipasang infus RL 10 tetes/menit, kemudian dirujuk ke

RSUP Dr. M. Djamil dengan keterangan tetanus. Di IGD RSUP Dr. M. Djamil, anak

9

Page 10: Laporan Kasus Sip

sudah di konsulkan ke Bagian Bedah dan hasil konsul rawat luka secara terbuka dan

debridement.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Tidak pernah menderita kejang dengan atau tanpa demam sebelumnya.

Riwayat Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita kejang dengan atau tanpa demam.

Riwayat Kebiasaan, Sosial dan Ekonomi :

Anak adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Lahir spontan, ditolong bidan, BBL 3500 gram, PBL lupa, langsung menangis kuat.

Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap. Hanya mendapat BCG 1 kali (scar +) dan

Polio 1 kali.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal.

Higiene dan sanitasi kurang baik.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : sakit berat Tinggi Badan : 108 cm

Kesadaran : sadar Berat Badan : 17 kg

Tekanan darah : 100/60 BB/U : 91,89 %

Nadi : 101x/menit TB/ U : 99,08 %

Nafas : 41x/ menit BB/TB : 91,89 %

Suhu : 37,3 oC Kesan : gizi baik

Kulit : teraba hangat

KGB : tidak ada pembesaran KGB

Kepala : normocephal, simetris

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil ukuran 2mm/2mm,

refleks cahaya +/+

Telinga : tidak ditemukan kelainan

10

Page 11: Laporan Kasus Sip

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Tenggorokan : tonsil dan faring sukar diperiksa

Mulut : trismus (+) 1 cm; mukosa mulut dan bibir basah.

Leher : kuduk kaku ada, JVP sukar dinilai.

Thoraks

Pulmo :

Inspeksi : normochest, simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : vesikuler di kedua lapangan paru, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung :

Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada

Abdomen :

Inspeksi : distensi tidak ada

Palpasi : tegang, hepar dan lien sukar dinilai

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : opistotonus (+), + 2 cm

Genitalia : tidak ditemukan kelainan; status pubertas A1P1G1

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Refleks fisiologis dan patologis tidak diperiksa.

regio plantar pedis sinistra : tampak luka bekas dijahit sepanjang 3 cm,

hiperemis ada.

LABORATORIUM

11

Page 12: Laporan Kasus Sip

Darah :

Hb : 12,8 gr%

Leukosit : 13.800/mm3

Hitung jenis : 0/0/0/80/18/2

Urin

Makroskopik Mikroskopik

Warna : kuning jernih Leukosit : tidak ada

Protein : negatif Eritrosit : tidak ada

Reduksi : negatif Epitel gepeng : 1-2 /LPB

Bilirubin : negatif Kristal : tidak ada

Urobilin : positif Silinder : tidak ada

Feses

Makroskopik Mikroskopik

Warna : kuning jernih Leukosit : tidak ada

Konsistensi : lunak Eritrosit : tidak ada

Darah : tidak ada Amuba : tidak ada

Lendir : tidak ada Telur cacing : tidak ada

Sisa makanan : tidak ada Parasit lain : tidak ada

DIAGNOSIS KERJA

Tetanus

DIAGNOSIS BANDING

Gangguan elektrolit

TATALAKSANA

O2 2L/ menit

12

Page 13: Laporan Kasus Sip

IVFD KaEN 1 B 4 tetes/menit (makro)

Makanan cair 8 x 125 cc/NGT

Metronidazol 250 mg IV, dilanjutkan 4 x 150 mg IV

ATS 20.000 IU IM

Diazepam 6 x 1,7 mg IV

RENCANA PEMERIKSAAN

Elektrolit darah

FOLLOW UP (22 Mei 2012). Rawatan hari ke-2

S/ Demam ada, tidak tinggi

Kejang ada, frekuensi 4 x, lama + 10 dtk.

Kejang rangsang masih ada. Kejang spontan tidak ada.

Intake masuk perNGT

Muntah tidak ada

BAK ada, BAB belum ada

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 104 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 38 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus (+) 1 cm

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : tegang, BU (+) N

Punggung : opistotonus (+) 2 cm

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Bekas luka kering.

Kesan/ Masih kejang rangsang

Febris

Terapi :

13

Page 14: Laporan Kasus Sip

O2 2 L/menit (nasal) ATS 20.000 IU IM

IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit Diazepam 6 x 3,4 mg

MC 8 x 125cc / NGT Paracetamol 200 mg (T > 38,5oC)

Metronidazol 4 X 150 mg

FOLLOW UP (23 - 24 Mei 2012). Rawatan hari ke-3 dan 4

S/ Demam masih ada

Kejang ada, frekuensi 4 x, lama + 10 dtk.

Kejang rangsang masih ada. Kejang spontan tidak ada.

Intake masuk perNGT

Muntah tidak ada

BAK ada, BAB belum ada

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 106 x/i; Nafas 27 x/i; Suhu 37,8 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus (+) 1 cm

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : tegang, BU (+) N

Punggung : opistotonus (+) 2 cm

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Bekas luka kering.

Kesan/ Masih kejang rangsang

Febris

Terapi :

O2 2 L/menit (nasal) Metronidazol 4 x 150 mg IV

IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit Diazepam 8 x 3,4 mg IV

MC 8 x 125cc / NGT Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC)

14

Page 15: Laporan Kasus Sip

FOLLOW UP (25 - 26 Mei 2012). Rawatan hari ke-5 dan 6

S/ Demam masih ada

Kejang rangsang masih ada, frekuensi 6-7 x, lama + 10 dtk. Kejang spontan tidak ada.

Intake masuk perNGT

Muntah tidak ada

BAK jumlah dan warna biasa

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 106 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 37,8 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus (+) 1,5 cm

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik. Bekas luka kering.

Kesan/ Masih kejang rangsang, bertambah.

Febris

Terapi :

O2 2 L/menit (nasal) Metronidazol 4 x 150 mg IV

IVFD KaEN 1B 6 tetes / menit Diazepam 8 x 5 mg IV

MC 8 x 75cc / NGT Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC)

FOLLOW UP (27 – 28 Mei 2012). Rawatan hari ke-7 dan 8

S/ Demam masih ada

Kejang rangsang masih ada, frekuensi 4 x, lama + 10 dtk. Kejang spontan tidak ada.

Intake masuk perNGT

15

Page 16: Laporan Kasus Sip

Muntah tidak ada

Bekas infus bengkak di tangan kiri

BAK jumlah dan warna biasa

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 90/60 mmHg; Nadi 98 x/i; Nafas 26 x/i; Suhu 37,7 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus (+) 2 cm

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N

Punggung : laserasi (+)

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.

tangan kiri, flebitis (+)

Kesan/ Masih kejang rangsang

Febris

Flebitis manus sinistra

Terapi :

O2 2 L/menit (nasal) Amoxicillin 3x500 mg IV

IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit Diazepam 8 x 5 mg

MC 8 x 100 cc / NGT Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC)

Metronidazol 4 x 150 mg IV Fusilex cream

FOLLOW UP (29 – 30 Mei 2012). Rawatan hari ke-9 dan 10

S/ Demam masih ada

Kejang rangsang masih ada, frekuensi 2 x, lama + 10 dtk. Kejang spontan tidak ada.

Intake masuk perNGT

Muntah tidak ada

16

Page 17: Laporan Kasus Sip

Terdapat luka lecet di punggung dan panggul

BAK jumlah dan warna biasa

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 96 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 37,6 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus (+) 2,5 cm

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N

Punggung : laserasi (+)

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.

Kesan/ Masih kejang rangsang

Febris

Decubitus

Terapi :

O2 2 L/menit (nasal) Amoxicillin 3x500 mg IV

IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit Diazepam 6 x 4,5 mg IV

MC 8 x 100 cc / NGT Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC)

Metronidazol 4 x 150 mg IV Fusilex cream

FOLLOW UP (1 – 3 Mei 2012). Rawatan hari ke-11 sampai 13

S/ Demam masih ada

Kejang rangsang tidak ada. Kejang spontan tidak ada.

Intake masuk perNGT

Muntah tidak ada

Kedua kaki masih kaku

BAK jumlah dan warna biasa

17

Page 18: Laporan Kasus Sip

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 102 x/i; Nafas 28 x/i; Suhu 38,6 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus (+) 3 cm

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.

Kesan/ Febris

Terapi :

O2 1 L/menit (nasal) Amoxicillin 3x500 mg IV

IVFD KaEN 1B 4 tetes / menit Diazepam 6 x 3,5 mg

MC 8 x 100 cc / NGT Paracetamol 200 mg (bila T > 38,5 oC)

Metronidazol di stop Fusilex cream

FOLLOW UP (4 – 6 Mei 2012). Rawatan hari ke-14 sampai 16

S/ Demam tidak ada

Kejang tidak ada. Kejang spontan tidak ada.

Muntah tidak ada

Intake masuk per oral

Kedua kaki masih kaku

BAK jumlah dan warna biasa

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 82 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 36,9 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus tidak ada

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

18

Page 19: Laporan Kasus Sip

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.

Kesan/ Hemodinamik stabil

Terapi :

ML 500 kkal Diazepam 6 x 3,5 mg

diturunkan 6 x 2,5 mg po

MC 6 x 150 cc / NGT Fusilex cream

FOLLOW UP (7 – 11 Mei 2012). Rawatan hari ke-17 sampai 21

S/ Demam tidak ada

Kejang tidak ada

Muntah tidak ada

Intake masuk per oral

Kaki kiri masih kaku, anak bisa berdiri dengan bantuan tapi belum bisa berdiri

sendiri.

BAK jumlah dan warna biasa

O/ Sakit sedang; Sadar; TD 100/60 mmHg; Nadi 92 x/i; Nafas 24 x/i; Suhu 37 oC

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Mulut : trismus tidak ada

Thoraks : cor : irama teratur, bising tidak ada

pulmo : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : distensi tidak ada, BU (+) N

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik.

Kesan/ Hemodinamik stabil

Terapi :

ML 1400 kkal Diazepam 6 x 2,2 mg, diturunkan 3 x 2,2 mg

19

Page 20: Laporan Kasus Sip

Fusilex cream

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang anak laki-laki umur 5 tahun 4 bulan, dirawat di Bangsal

Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang selama 25 hari dengan keluhan kejang sejak 2 hari

SMRS. Dari anamnesa diketahui kaki anak luka karena terinjak pecahan kaca di pantai 10

hari SMRS dan tidak diberi suntikan anti tetanus.setelah 8 hari anak mengalami kejang

terutama bila disentuh tanpa adanya penurunan kesadaran. Kejang bersifat spastik dan

disertai punggung melengkung serta mulut kaku tidak dapat membuka.

Dari pemeriksaan fisik, ditemukan trismus 1 cm, opistotonus 2 cm dan luka pada

plantar pedis sinistra panjang 3 cm dan telah dijahit. Dari anamnesis dan pemeriksaan

fisik ini anak didiagnosa kerja dengan tetanus. Selain tetanus, kejang spastic dapat

ditemukan pada tetani (hipokalsemia), keracunan strihnin abses peritonsilar dan rabies.

Pada hipokalsemia, tidak ditemukan trismus dengan riwayat intake yang kurang. Pada

20

Page 21: Laporan Kasus Sip

keracunan strihnin, terdapat riwayat minum tonikum berlebihan, tidak ditemukan adanya

strismus dan diantara kejang, terdapat relaksasi umum otot. Pada abses peritonsilar,

ditemukan spasme otot wajah, namun cenderung asimetris dan unilateral. Pada rabies,

terdapat riwayat gigitan binatang dan ditemukan gejala hidrofobia, aerofobia, dan

fotofobia.

Pada anak dipasang infus untuk mencukupi kebutuhan cairan dan sebagai jalan

masuk obat-obatan intravena. Infus yang dipilih adalah KaEN 1B untuk mencukupi

kebutuhan nutrisi secara parenteral, diberikan 4 tetes/menit (makro) ditambah makanan

cair 8 x 125 cc/NGT sebagai nutrisi enteral untuk mencegah atrofi fili usus.

Anti kejang yang dipilih adalah diazepam karena efektif mengatasi kejang,

menurunkan anxietas, memberikan efek sedasi dan merelaksasi otot secara bersamaan

tanpa menekan pusat kortikal. Untuk mencegah penyebaran toksin lebih lanjut, diberikan

ATS 20.000 IU IM selama 2 hari dan eradikasi kuman Clostridium tetani dipilih

metronidazole karena efektif terhadap kuman anaerob dan belum ditemukan resistensi

terhadap Clostridium tetani.

Kepada pasien diberikan edukasi tentang kondisi penyakit anak sekarang dan

pentingnya kontrol penyakit dan pengobatan secara teratur ke pusat kesehatan hingga

anak dinyatakan sembuh. Selama proses penyembuhan, ibu diajarkan cara melatih

pergerakan persendian anak hingga sendi kembali lemas seperti biasa, kemudian anak

dilatih untuk berdiri dan berjalan agar fungsi motorik dapat kembali lebih cepat dan

mencegah komplikasi kontraktur. Juga diberikan edukasi tentang penggunaan alas kaki

terutama saat berada diluar rumah, penangan luka secara steril dan pemberian anti tetanus

serum jika terjadi luka kotor dan dalam. Setelah kondisi membaik, ibu disarankan untuk

membawa anak ke pusat kesehatan untuk mendapat imunisasi DT.

21

Page 22: Laporan Kasus Sip

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo PS, Garna H, Hadinegoro SR, dkk. Buku ajar infeksi & pediatri tropis.

Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 322-9.

2. Kliegman R, Behrman R, Jenson HB, et al. Nelson textbook of pediatrics 18th ed.

Elsevier Saunders 2007;16.

3. Tetanus. Diakses dari www.emedicine.medscape.com/article/786414; tanggal 12

Juni 2012.

4. Tetanus. Diakses dari www.emedicine.medscape.com/article/229594; tanggal 12

Juni 2012.

5. Tetanus vaccine. Diakses dari www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/

tetanus.pdf 2008; tanggal 12 Juni 2012.

22