laporan kasus morbus hansen

36
BAB I ILUSTRASI KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. H Jenis Kelamin: Laki-laki Umur : 16 tahun Alamat : Pisangan Lama Suku Bangsa : Indonesia Pekerjaan : pelajar SMP Tanggal masuk RS : 2 Mei 2013 ANAMNESIS Anamnesis dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Persahabatan pada tanggal 2 Mei 2013, pukul 11.30 WIB secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Keluhan Utama: Baal dan bercak kemerahan pada perut dan punggung yang semakin meluas sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengatakan sejak bulan Desember 2012, ia merasakan terdapat bercak putih pada perut, bercak tersebut dikatakan pasien tidak terasa gatal atau pun nyeri. Kemudian, sekitar bulan Februari 2013 pasien menyadari bercak tersebut menjadi meluas dan juga timbul pada punggung. Lama-kelamaan, bercak putih tersebut disertai kemerahan di sekitarnya dan terasa baal, serta

description

laporan kasus morbus hansen / lepra

Transcript of laporan kasus morbus hansen

BAB I

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 16 tahun

Alamat : Pisangan Lama

Suku Bangsa : Indonesia

Pekerjaan : pelajar SMP

Tanggal masuk RS : 2 Mei 2013

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Persahabatan pada

tanggal 2 Mei 2013, pukul 11.30 WIB secara autoanamnesis dan alloanamnesis.

Keluhan Utama:

Baal dan bercak kemerahan pada perut dan punggung yang semakin meluas sejak 1

bulan sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengatakan sejak bulan Desember 2012, ia merasakan terdapat bercak

putih pada perut, bercak tersebut dikatakan pasien tidak terasa gatal atau pun nyeri.

Kemudian, sekitar bulan Februari 2013 pasien menyadari bercak tersebut menjadi

meluas dan juga timbul pada punggung. Lama-kelamaan, bercak putih tersebut

disertai kemerahan di sekitarnya dan terasa baal, serta terkadang disertai gatal. Gatal

pada bercak dirasakan pasien muncul dan hilang tiba-tiba secara tidak menentu, tetapi

dengan intensitas ringan. Gatal dirasakan pasien tidak dipengaruhi oleh keluarnya

keringat. Pasien mengatakan tidak terdapat kelemahan pada lengan, tangan, tungkai,

maupun kakinya. Pasien sudah berobat ke Puskesmas, dan diberikan bedak dan obat

tablet, tetapi kelainan kulit yang dialami pasien tidak membaik meskipun sudah

meminum obatnya. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami kelainan kulit

seperti ini.

Pasien mengatakan di lingkungan sekitarnya tidak ada yang memiliki keluhan

serupa dengan pasien. Aktivitas sehari-hari pasien adalah sekolah dan bermain bola di

lapangan sekolah yang terbuat dari semen. Pasien dalam sehari mandi 2 kali,

menggunakan sabun, dan setiap kali selesai mandi menggunakan baju bersih. Riwayat

penggunaan alat mandi atau handuk bersama dengan anggota keluarga lainnya tidak

ada. Sehari-hari pasien tidak memelihara binatang atau pun berkontak dengan

binatang. Riwayat bercocok tanam, berkebun, atau bermain di tempat tanah dikatakan

pasien tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pada keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

STATUS GENERALIS (2 Mei 2013)

Kesadaran : compos mentis

Keadaan umum : tampak tidak sakit

Jantung : tidak diperiksa

Paru : tidak diperiksa

Abdomen : tidak diperiksa

Ekstremitas : tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat

KGB : tidak ada pembesaran KGB

STATUS NEUROLOGIS

- GCS : 15 (E4M6V5)

-Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)

-Kekuatan motorik :

- Refleks fisiologis:

- Pemeriksaan saraf perifer:

o Nervus aurikularis magnus: tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri

o Nervus ulnaris : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri

o Nervus poplitea lateralis : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri

o Nervus tibialis posterior : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri

- Pemeriksaan sensorik: terdapat hipestesi pada lesi di perut, dada, dan

punggung.

5555 5555

5555 5555

+2 +2

+2 +2

STATUS DERMATOLOGIKUS

Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada

tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip,

dan persebarannya diskret.

Pada regio punggung kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi eritematosa,

multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval, berbatas

sirkumskrip, dan persebarannya diskret.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Bakterioskopik (1 Mei 2013 di RSCM)

a. Indeks Bakteri : 11/5

b. Indeks Morfologi : 5/500 x 100% = 1,0%

Diagnosis: MH - BL

RESUME

Pasien laki-laki, 16 tahun, dengan keluhan baal dan kemerahan yang semakin meluas

sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Baal dan bercak kemerahan pada perut

dan punggung yang semakin meluas sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.

Awalnya bercak muncul saat bulan Desember 2012 berupa bercak putih, kemudian

lama-kelamaan bercak putih disertai kemerahan dan sedikit gatal yang sifatnya hilang

timbul tidak menentu. Tidak terdapat kelemahan pada ekstremitas atau bagian tubuh

lainnya. Pasien sudah pernah berobat ke Puskesmas dan diberikan bedak dan obat

tablet, tetapi keluhan tidak membaik. Keluhan belum pernah dialami sebelumnya.

Tidak terdapat orang lain dengan keluhan serupa. Tidak ada riwayat kontak dengan

hewan atau berkontak dengan tanah.

DIAGNOSIS

Morbus Hansen Borderline Lepromatosa

DIAGNOSIS BANDING

Tinea korporis

PEMERIKSAAN ANJURAN

Kerokan kulit KOH

PENGOBATAN/TATALAKSANA:

- Non-medikamentosa

o Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatan bekepanjangan

o Teratur meminum obat dan kontrol setiap bulan

o Menjaga hygiene sepeti mengganti baju dan mandi setiap kali

berkeringat

o Menjaga kontak dengan orang lingkungan sekitar untuk mencegah

penularan

o Menjaga kebersihan lesi dari luka atau kotoran, dengan melakukan

pengecekan setiap hari

o Tanggap akan efek samping obat dan reaksi obat dan segera berobat ke

dokter.

- Medikamentosa

o MDT-MB program WHO (12-18 bulan)

Hari ke-1 (dari 28 hari)

Rifampisin 1x 600 mg/hari

DDS 1x100mg/hari

Klofazimin 1x300mg/hari

Hari ke-2 sampai 28 (dari 28 hari)

DDS 1x100 mg/hari

Klofazimin 1x50mg/hari

PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam : Dubia ad Bonam

Ad fungsionam : Bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

MORBUS HANSEN

Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh

Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus

respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium leprae

merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol, bersifat

intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di medium

artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini.1,2

a. Patogenesis

Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit

kusta. Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan

menimbulkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan-pun

tergantung dari sistem imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M.

leprae memiliki patogenitas dan daya invasi rendah karena penderita yang

terinfeksi lebih banyak kuman belum tentu menimbulkan manifestasi klinis yang

lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa derajat penyakit lebih

dipengaruhi oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat infeksinya. 1,3,4,5

Gambar 1. Patogenesis Lepra dan Respon Imun Selular5

Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya

sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub

tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi

oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu

yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel

ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12

serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di

kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M.

leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.1,3,5

Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag

gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara

mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang

biak di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra

yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta

derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat

ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping

telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). 1,3,5

Gambar 2. Tipe Klinis Lepra Berdasarkan Sistem Imun4

Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai

saat ini, cara penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung

antarkulit yang erat dalam jangka waktu lama serta transmisi airborne (secara

inhalasi) diyakini menjadi jalur penularan penyakit ini. Masa inkubasinya

bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun, namun pada umumnya terjadi dalam 3-5

tahun setelah pertama kali terinfeksi.1

b. Tanda dan Gejala

Gejala klinis timbul sesuai derajat imunitas selular seseorang. Bila imunitas

baik, maka manifestasi klinis yang muncul lebih mengarah pada tipe tuberkuloid.

Sementara jika sistem imun buruk, manifestasi klinis lebih mengarah pada tipe

lepromatosa.1,2,3

Ridley dan Jopling membagi tipe klinis lepra menjadi beberapa kelas sebagai

berikut:

Gambar 3. Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling

Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang

stabil dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid

borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak

stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I)

tidak dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali

sembuh sebesar 70%. Sementara 30% sisanya kemungkinan dapat berkembang

menjadi tipe-tipe di dalam spektrum diatas.1,2,4

Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB) dan

pausibasilar (PB).

Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO

Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari

pemeriksaan slit skin smear. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah

oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan

LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam

multibasilar.1

Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia)

dan kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah

tuberkuloid atau lepromatosa. Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai

dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang dibatasi infiltrat dengan

permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar asimetris,

kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin

mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus,

papul, nodus) dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai

tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan

saraf biasanya lebih luas. 1,3

Gambar 5. Spektrum Klinis dan Respon Imunologi Berdasarkan Tipe Lepra3

Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995

WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan

kerusakan saraf.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1

Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Lesi Kulit

(makula datar,

papul yang meninggi,

nodus)

- Jumlah : 1-5 lesi

- Warna : Hipopigmentasi / eritema

- Distribusi : asimetris

- Anestesia : jelas

- Jumlah : 1-5 lesi

- Distribusi : simetris

- Anestesia : kurang jelas

Kerusakan Saraf - Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan pemeriksaan

fisik untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit yang timbul pada

lepra mirip dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya (misal :

dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll)

sehingga lepra dijuluki sebagai the greatest imitator. Ada tidaknya baal yang dapat

diketahui melalui tes sensitivitas cukup membantu penyingkiran diagnosis banding.

Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk

rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk rangsang

suhu).1,2

Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer

harus diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi

otonom dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi

atau diperiksa dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer

yang diketahui dengan cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan

fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle

test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n.

radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.1

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)

Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ziehl-

neelsen. Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang lesinya

paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah cuping telinga

kiri dan kanan, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling

aktif. Irisan yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui

subepidermal clear zone yang mengandung sel virchow.

M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat

pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks

morfologi (IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah

keseluruhan basil tahan asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis,

nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan

persentase bentuk basil yang solid dibandingkan dengan jumlah keseluruhan

basil (solid + nonsolid).1,3,4

Pemeriksaan Histopatologik

Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah

tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit), kuman

hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe

lepromatosa terdapat sel-sel virchow yang mengandung banyak kuman di

subepidermal clear zone.1,4

Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu

diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit

tidak ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:

- Uji MLPA

- Uji ELISA

- M. leprae dipstick test

- M. leprae flow test1

d. Reaksi Kusta

Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi

setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi

kusta, antara lain:

Reaksi ENL (eritema nodusum leprosum)

Reaksi ENL termasuk dalam reaksi imun humoral (antigen + antibodi +

komplemen). Biasanya terjadi pada tipe lepromatosa dan pada reaksi ini, tidak

terjadi perubahan tipe. Reaksi ENL terjadi akibat banyaknya kuman yang hancur

dan mati ketika mendapatkan pengobatan. Basil yang hancur ini mengeluarkan

banyak antigen sehingga berinteraksi dengan antibodi dan mengaktivasi sistem

komplemen. Komplek imun ini beredar di sirkulasi dan dapat menyerang

berbagai organ. Karakteristik reaksi ENL adalah ditemukannya nodus

eritematosa yang nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai.1,3,5

Reaksi Reversal (reaksi borderline / reaksi upgrading)

Berbeda dengan reaksi ENL, pada reaksi reversal dapat terjadi perubahan tipe

tergantung sistem imun selular. Oleh karena itu, reaksi reversal disebut juga

sebagai reaksi borderline. Reaksi reversal merupakan reaksi hipersensitivitas

tipe lambat. Pada reaksi ini, terjadi peningkatan imunitas sehingga terjadi

perpindahan tipe ke arah tuberkoloid yang terjadi secara cepat dan mendadak.

Biasanya reaksi ini terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Karakteristik

reaksi reversal adalah lesi yang sudah ada semakin aktif dan timbul lesi-lesi

baru. Pada tipe ini, juga dapat muncul gejala neuritis akut yang memerlukan

tatalaksana sesegera mungkin. 1,3,5

Gambar 6. Patogenesis Reaksi ENL dan Reaksi Reversal5

TATALAKSANA KUSTA

a. Obat Utama1 :

1. DDS

Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali

dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964).

Resistensi terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT.

2. Rifampisin

Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT

karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah

hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi

kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.

3. Klofazimin (lamprene)

Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi

relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau

100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu.

Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna

kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin

merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.

4. Protionamid.

Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam

jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.

b. Obat alternatif:1

1. Ofloksasin

Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.

leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek

samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat

(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan

pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.

2. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi

daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg.

Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.

3. Klaritromisin

Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.

leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari

sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.

c. Prinsip penatalaksanaan dengan MDT6 :

1. Vaksinasi BCG

Vaksin BCG dipercaya memiliki faktor pengaruh menurunnya insidens

kusta pada populasi. BCG dikontraindikasikan terhadap ODHA.

2. Pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline

sebelumnya)

3. Pengobatan MDT yang fleksibel

Karena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang

berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka

konsumsi 1 blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun

pasien harus diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait

dosis, frekuensi, dan durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus

diinformasikan untuk kontrol apabila ada gejala yang muncul, atau gejala yang

tidak membaik

d. MDT untuk Multibasilar

Gambar 1. Contoh blister pack MDT MB dewasa.7

Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28

hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18

bulan.1,8,9

Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :

kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2

sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada

periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat

dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1

minggu.

Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan

secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut

RFT (Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis

dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka

dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).

Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada

keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan

bakterioskopis.

e. MDT untuk Pausibasilar

Gambar 2. Contoh blister pack MDT PB dewasa.7

Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan,

dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari.1,8,9 Pengonsumsian

Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan

didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan

dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan

dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.

Apabila negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC

tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan

relaps.

f. Pengobatan Lesi Tunggal

Kasus PB dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg +

Ofloksasin 400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal).

g. Pengobatan Situasi Khusus

1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau

resisten rifampisin).

Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :

- 6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah

dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan

(3) claritromisin 500 mg

- 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah

dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia,

ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.

2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)

Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau

moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti

regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400

mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.

3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS

Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen

pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS,

dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

h. Relaps

Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan

sebesar >3. WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi

lebih dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan

bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara

total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi

adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.

i. Pengobatan Reaksi kusta1,9

1. Reaksi tipe 1 (reversal)

Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah

ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat

Tabel 1. Dosis prednisone harian menurut minggu pemberian1

Minggu pemberian Dosis prednisone harian yang dianjurkan

1-2 40 mg

3-4 30 mg

5-6 20 mg

7-8 15 mg

9-10 10 mg

11-12 5 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan.

Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan

sedatif juga dapat diberikan.

2. Reaksi tipe 2 (ENL)

Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama

pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi

1 mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan

sedatif.

Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan

klofazimin dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12

minggu, dengan tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100

mg selama 12-24 minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik

diperlukan 4-6 minggu untuk klofazimin mengontrol ENL.

j. Kecacatan1,9

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT

mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi

kusta terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi.

Kerusakan saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya

kekuatan otot. Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju,

memergang pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini,

mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Tabel 2. Derajat kecacatan1

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas

Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas

Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan

Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus

sedikit berkurang

Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea

keruh) dan/atau visus sangat terganggu

Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti

penggunaan sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan

luka-luka yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung

diri lain yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan

kacamata untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit

telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang

dapat terjadi.

BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

PEMBAHASAN

a. Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, keluhan utama pasien adalah bercak kemerahan dan

baal pada perut dan punggung yang semakin meluas sejak 1 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Bercak kemerahan yang berada di perut dan punggung, dapat memiliki

berbagai macam diagnosis banding, contohnya adalah tinea korporis, kandidosis,

erisipelas, pitiriasis rosea, utrikaria dan Morbus Hansen (MH).

Berdasarkan lesi yang terlihat pada badan dan tubuh pasien, didapatkan

efloresensi berupa:

“Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada

tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip,

dan persebarannya diskret.”

“Pada regio punggung kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan pinggiran

eritematosa, multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval,

berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret.”

Maka dapat disingkirkan beberapa diagnosis yaitu:

Kandidosis, pada kandidosis, lesi yang didapatkan adalah plak eritematosa

berbatas tegas, bersisik basah yang dikelilingi lesi satelit berupa vesikel dan

pustul dengan tempat predileksi di lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal,

lipat payudara, antara jari tangan, atau kaki, glans penis, dan umbilikus.1 Pada

pasien, lesi berada di punggung, perut dan dada, dan juga tidak didapatkan lesi

satelit.

Erisipelas, merupakan penyakit infeksi akut, dengan lesi merah cerah berbatas

tegas, dan pinggir-pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut.1 Pada

lesi yang terdapat pada tubuh pasien tidak didapatkan tanda-tanda radang akut

yaitu panas, ataupun nyeri dan pada pasien terdapat lesi hipopigmentasi yang

tidak didapatkan pada erisipelas.

Pitiriasis rosea, merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,

dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbatuk eritema dan skuama

halus, yang kemudian disusul oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan

paha atas yang membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga membentuk

pohon cemara terbalik.1 Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk lesi tersebut.

Berdasarkan riwayat penyakit pasien, didapatkan keluhan-keluhan lain berupa;

lesi awal hipopigmentasi, gatal dan baal. Berdasarkan keluhan-keluhan tersebut,

terdapat keluhan yang menjurus menuju penyakit MH, yaitu baal yang merupakan

defisit neurologis. Berdasarkan anamnesis lanjutan, tidak didapatkan tanda-tanda lain

keterlibatan neurologis yang lain seperti kelemahan pada lengan, tangan, tungkai,

maupun kakinya. Akan tetapi diagnosis MH belum dapat disingkirkan.

Diagnosis selanjutnya yang belum dapat disingkirkan adalah tinea korporis.

Tinea korporis merupakan penyakit dermatofitosis yang menyerang jaringan dengan

jaringan tanduk seperti kulit, rambut, dan kuku. Penyakit ini disebabkan oleh

Microsporum, Tricophyton, dan epidermophyton, yang dapat bersifat zoophilic,

antrophilic, dan geophilic. Pada badan disebut tinea korporis dengan gejala klinis

berupa lesi eritematosa, dapat terdapat hiperpigmentasi juga dengan tepi lesi yang

lebih aktif berupa tanda peradangan (lebih eritema, atau dengan vesikel dan papul)

dan terdapatnya skuama, dengan faktor predisposisi berupa kulit yang lembab, sering

berkeringat, dengan hygiene yang kurang.1 Pada pasien, didapatkan faktor

predisposisi berupa seringnya berkeringat, karena aktifitas yang dilakukan pasien

(bermain sepak bola) dan penampakan kulit yang cenderung lembab. Sedangkan

faktor lain seperti resiko penularan dari orang lain (antrophilic), binatang (zoophilic)

dan tanah (geophilic) tidak ditemukan. Sehingga diagnosis tinea korporis belum dapat

disingkirkan ataupun ditegakkan.

Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung

untuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer,

kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, tidak

terdapat adanya pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuaran motorik

pada pasien, akan tetapi terdapat hipestesia pada lesi di punggung dan perut yang

dilakuan dengan pemeriksaan rangsang raba dan nyeri. Penemuan klinis ini mengarah

pada diagnosis morbus hansen.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, maka didapatkan bahwa

diagnosis kerja untuk pasien ini adalah morbus hansen dengan diagnosis banding

tinea korporis yang belum dapat disingkirkan. Pemeriksaan penunjang lain yang arus

dilakukan adalah pemeriksaan slit skin smear untuk memastikan diagnosis kerja

morbus hansen dan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH untuk dapat memastikan

atau menyingkirkan diagnosis banding Tinea korporis.

Pada MH, didapatkan klasifikasi Ridley-Joping, dan World Heatlh

Organization (WHO). Menurut klasifikasi Ridley-Joping,1,10 pada pasien terdapat ciri

lesi mengarah ke lepromatosa dengan lesi polimorfik, berupa plak hipopigmentasi

yang dikelilingi eritematosa, dengan jumlah lesi kurang lebih dari 5, dengan

penampakan yang terlihat sedikit madidans. Akan tetapi terdapat juga lesi yang

mengarah kearah tuberkoloid berupa lesi dengan distribus asimetris, batas jelasm dan

anestesi yang jelas. Sehingga pada pasien klasifikasi Ridley-Joping menurut

penampakan lesi berada pada klasifikasi borderline. Sedangkan menurut Klasifikasi

WHO,1,10 dari penampakannya, pasien lebih mengarah pada pausibasiler, akan tetapi

untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987, telah terjadi perubahan bahwa yang

dimaksud MH-MB adalah semua lesi MH dengan uji Basil Tahan Asam (BTA)

positif. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan BTA terlebih dahulu untuk dapat

menentukan diagnosis ini.

Pemeriksaan yang telah dilakukan adalah pemeriksaan slit skin smear dengan

hasil yaitu Indeks Bakteri (IB) pada pasien adalah 11/5 dengan Indeks Morfologi (IM)

1%. Dengan adanya pemeriksaan ini, maka diagnosis MH dapat ditegakkan dengan

klasifikasi Borderline Lepromatous.

Pemeriksaan lainnya, yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kerokan kulit

KOH untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding tinea korporis.

b. Terapi

Terapi, pada pasien ini untuk terapi nonmedikamentosa adalah dengan

mengedukasi pasien mengenai penyakit dan rencana pengobatannya yang relatif

memakan waktu lama dan memerlukan kerjasama dari pasien untuk teratur minum

obat dan kontrol setiap bulannya. Selain itu pasien juga harus menjaga hygiene dan

ketahanan tubuhnya karena manifestasi dari MH sangat tergantung dari sistem imun

tubuh. Pasien juga harus mencegah penularan kepada orang sekitar. Tanggap akan

keadaan lesi yang terdapat pada tubuh merupakan salah satu cara untuk mencegah

kecacatan karena akibat sensibilitas yang hilang pasien kehilangan rasa nyeri ketika

ada luka ataupun kotoran. Pasien harus tanggap tentang efek samping obat dari ringan

hingga berat dan segera kembali ke dokter tempat ia kontrol agar segera dapat

ditangani, begitu juga dengan reaksi kusta baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2.

Menurut program WHO yaitu dilakukan dengan pengobatan MH-MB dengan

menggunakan blister, yaitu, hari pertama dengan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg,

dan klofazimin 300 mg. Untuk obat pada hari pertama ini, pasien harus meminum

obat langsung didepan petugas kesehatannya. Sedangkan pada hari lainnya, diberikan

klofazimin 50 mg, dan dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2 hingga hari ke 28,

diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien harus datang untuk

mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blister yang sama.

Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan minimal dan maksimal 18 bulan.

Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan

neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek

samping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan

pemeriksaan bakterioskopis setiap 3 bulan sampai selesai pengobatan dengan

memperhatikan indeks bakteri dan indeks morfologis untuk mengetahui kemungkinan

resistensi. Setelah selesai dari pengobatan dilanjutkan masa Release From Treatment

(RFT) selama 5 tahun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pengobatan setiap

tahun. Sebagai dokter umum juga harus sigap jika menemukan indikasi rujukan

yaitu:10

1. Memastikan diagnosis kusta

2. Neuritis aku dan subakut

3. Reaksi kusta yang berat

4. Ulkus kusta

5. Komplikasi pada mata

6. Reaksi terhadap MDT

7. Tersangka resistensi DDS

8. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah rekonstruksi

9. Pasien kusta dengan kondisi umum jelek atau dengan keadaan darurat

lainnya

10. Pasien kusta yang memerlukan terapi okupasi

11. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi

12. Luka besar dan dalam (ulkus/neuropati pada anggota gerak)

13. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septic karena

soteomielitis, sinus yang dalam, fistel dan sebagainya

14. Pasien yang memerlukan protese

15. Pasien yang memerlukan rehabilitasi kerja

16. Indikasi sosial

17. Pasien yang memerlukan klofazimin atau talidomid untuk mengobati

reaksi tipe II berat.

KESIMPULAN

Pada pria berumur 18 tahun dengan lesi pada punggung, dada dan perut, sesuai

dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat diagnosis

sebagai Morbus Hansen tipe Borderline Lepromatosa. Pasien mendapatkan terapi

non-medikamentosa dan medikamentosa berupa MDT-MB.