Laporan Kasus Mola
-
Upload
nada-soraya -
Category
Documents
-
view
150 -
download
7
description
Transcript of Laporan Kasus Mola
BAB 1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama Pasien : Ny. Evi Tikasari
Usia Pasien : 19 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMP
Alamat : Ds. Datengan - Grogol
Nama Suami ; Tn. Semi
Usia Suami : 28 tahun
Pekerjaan suami : Buruh tani
Pendidikan suami : SMP
Lama Menikah : 5 bulan
Jumlah Pernikahan : 1x
II. MRS : 8 Juli 2013
Rujukan : Poli BKIA RS Gambiran-Kediri
Diagnosa Rujukan : Abortus Mola
III. ANAMNESIS:
Keluhan Utama : keluar darah dari jalan lahir sejak 1 bulan sebelum MRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan Poli BKIA RS Gambiran-Kediri, datang dengan keluhan keluar darah
dari vagina sejak satu bulan sebelum MRS. Darah berwarna kecoklatan seperti flek-
flek, namun saat MRS, jumlah darah bertambah dan warna menjadi kemerahan.
Dalam sehari habis + 3 pembalut. Terdapat nyeri perut, di bagian tengah, sejak 3
minggu ini. Nyeri perut terus-terusan, merasa seperti lapar (kruwes-kruwes), nyeri
berkurang bila dibuat istirahat. Sesak nafas sejak 3 minggu ini, sesak bila untuk
beraktivitas, dan berkurang bila untuk beristirahat, kadang untuk berjalan jauh, sesak
timbul. Dada terasa deg-degan dan kadang sering merasa kedinginan. Terdapat mual,
muntah sejak 2 minggu ini yang menyebabkan pasien tidak nafsu makan, muntah
mengeluarkan sisa makanan, tidak ada darah, nyeri dada -, batuk -.
HPHT: 5 April 2013
UK: 13-14 minggu
Riwayat Penyakit Dahulu : -
Pasien mengaku tidak pernah memiliki riwayat keluhan yang serupa. Pasien juga
menyangkal adanya riwayat penyakit jantung, ginjal, hipertensi, diabetes mellitus,
dan asma. Tidak ada riwayat pengobatan TB. Gastritis (+)
Riwayat Penyakit Keluarga : DM, HT, TB disangkal
Riwayat Alergi : tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan
Riwayat Obstetri :
G1 P0000 A 000, Partus terakhir -, abortus terakhir -, KB tidak
Riwayat Haid:
- Menarche : 15 tahun
- Lama haid : 7 hari
- Siklus : Teratur, + 28 hari, jumlah: banyak
- Nyeri haid : kadang-kadang sebelum haid
- Riwayat ANC : tidak pernah
- Riwayat USG : tidak pernah
IV. STATUS GENERALIS
Keadaan umum : cukup baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
- Tekanan darah : 110/ 70 mmHg
- Frekuensi nadi : 120 x/menit
- Frekuensi napas : 36 x/menit
- Suhu : 36,8 oC
- BB : 39 kg (BB awal 41 kg, dalam waktu ±2bulan turun 3kg)
- TB : 147cm
Pemeriksaan Fisik Umum
- Mata : eksoftalmus (+), anemis (+), ikterus (-)
- Thyroid : tidak teraba
- Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler + + rhonki - - wheezing - -
+ + - -
- -
+ + - - - -
- Hepar : tidak teraba.
- Ekstremitas : edema -/ - akral teraba hangat + /+
V. STATUS GINEKOLOGI
Abdomen
- Inspeksi : abdomen bagian hypogastric tampak mengalami pembesaran,
tidak ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-).
- Palpasi : teraba tinggi fundus uteri 3 cm di bawah pusat, balotement (-),
tidak teraba bagian janin, nyeri tekan (+)
VT
- Dinding vagina normal, massa (-), porsio licin, Ø (-), teraba jaringan (-), nyeri
goyang porsio (-), adneksa parametrium cavum douglas dextra et sinistra dbn,
korpus uteri antefleksi, lunak, V/V darah sedikit.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
WBC : 5.40 [ 10*3/uL]
RBC : 3.63 [10*6/uL]
HB : 10.1 [g/dL]
HCT : 29.2 [%]
MCV : 80.4 [fL]
MCH : 34.6 [g/dL]
MCHC : 34.6 [g/dL]
PLT : 152 [10*3/ uL]
RDW-SD : 34.2 [fL]
RDW-CV : 12.0 [%]
PDW : 14.0 [fL]
MPV : 11,4 [fL]
P-LCR : 35,0 [%]
NEUT# : 3,38x103/uL
NEUT% : 62,5 [%]
LYMPH# : 1,08x103/uL
LYMPH% : 20 [%]
MONO# : 0,90x103/uL
MONO% : 16,7[%]
EO# : 0,02x103/uL
EO% : 0,4 [%]
BASO# : 0,02x103/uL
BASO% : 0,4 [%]
Kimia Darah
GDA : 99 mg/dl
BUN :15 mg/dl
Creatinin :0,5 mg/dl
SGOT : 122 u/l
SGPT :154u/l
HBsAg : (-)
Urine Lengkap
WBC - 0 cell/uL
KET +1 1,5 mmol/L
NIT –
URO +2 66 umol/L
BIL +1 8,6 umol/L
PRO +! 0,3 g/L
GLU 0 mmol/L
BLD - 0cell/uL
pH 6,0
LEUKO : (3-4)
ERY : (1-2)
CYL : (-)
EPTH : (2-3)
KRIST : Amorph (+)
PEMERIKSAAN TIROID
TSH-s : 0,021 ul/ml ()
FT4 : 6,12 ng/dl (↑)
USG KEBIDANAN
-Uterus membesar tepi licin tampak multiple lesi, kistik kecil-kecil di dalam uterus yang
membesar tersebut, tampak G.S/janin
-Daerah adneksa dextra dan sinistra tak tampak kelainan
Kesan:
-Pembesaran uterus sangat mungkin gambaran mola hidatidosa.
FOTO THORAX
- Cor tak tampak membesar
- Pulmo tak tampak kelainan
- Sudut costophrenicus dextra sinistra lancip
EKG
Sinus takikardia
VI. DIAGNOSIS
- Mola hidatidosa komplet
VII.DIAGNOSIS BANDING
- Mola hidatidosa parsial
- Koriokarsinoma
VIII. PENATALAKSANAAN
- MRS
- O2 Masker 6l/menit
- RL 20tpm
- Siapkan WB 4 kolf
- Pasang Kateter
- Pemasangan laminaria
- Pro kuretage
BAB 2
PEMBAHASAN
Terdapat suatu spektrum kelainan proliferasi trofoblastik terkait kehamilan yang
selama bertahun-tahun klasifikasinya terutama didasarkan pada kriteria histologi dan
mencakup mola hidatidosa, mola invasif, dan koriokarsinoma. Kemudian, diajukan suatu
klasifikasi yang terutama didasarkan pada temuan klinis dan serial pemeriksaan kadar
gonadotropin korionik serum yang dikeluarkan oleh jaringan abnormal. Walaupun kedua
klasifikasi ini menimbulkan kebingungan, yang sekarang diterima adalah pendekatan
klinis. (Cunningham, 2005).
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis
langka, vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus
yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan
adalah sebagai segugus buah anggur. (Wiknjosastro, Hanifa, dkk, 2006).
Mola hidatidosa dibagi menjadi dua, yaitu mola hidatidosa komplet dan mola
hidatidosa parsial. Mola hidatidosa komplet adalah perubahan vili korionik menjadi suatu
massa vesikel-vesikel jernih dalam beragam ukuran, mulai dari yang sulit dilihat hingga
yang berdiameter beberapa cm dan menggantung pada tangkai kecil. Temuan
histologisnya dtandai oleh:
1. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus
2. Tidak ada pembuluh darah di vilus yang membengkak
3. Proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi
4. Tidak adanya janin dan amnion
Penyakit trofoblastik gestasional disebabkan oleh gangguan genetik dimana
sebuah spermatozoon memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua
sperma memasuki ovum tersebut.Pada lebih dari 90 persen mola komplit hanya
ditemukan gen dari ayah dan 10 persen mola bersifat heterozigot (John, 2006).
Mola parsial adalah apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang
berkembang dan mungkin tampak sebagian jaringan janin, biasanya paling tidak kantung
amnion. Terjadi pembengkakan hidatidosa yang berlangsung lambat pada sebagian vili
yang biasanya avaskuler. Sementara, vili-vili berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janin
plasenta yang masih berfungsi tidak terkena (Cunningham, 2005). Mola parsial biasanya
terdiri dari kromosom triploid yang memberi kesan gangguan sperma sebagai penyebab
(John, 2006).
Janin pada mola hidatidosa parsial, biasanya memiliki tanda-tanda triploidi, yang
mencakup:
1. Malformasi kongenital multiple
2. Hambatan pertumbuhan
3. Tidak viable (Cunningham, 2005).
Pada tanggal 8 Juli 2013 pasien seorang perempuan berusia 19 tahun,
mengeluhkan bahwa keluar darah dari vagina sejak satu bulan sebelum MRS. Darah
berwarna kecoklatan seperti flek-flek, namun saat MRS, jumlah darah bertambah dan
warna menjadi kemerahan. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pada
mola hidatidosa perdarahan merupakan gejala yang bersifat universal (ditemukan pada
hampir semua kasus mola). Perdarahan dapat terjadi sesaat sebelum abortus. Selain
pengeluaran darah yang terus menerus atau intermiten yang terjadi mulai usia gestasi
sekitar 12 minggu biasanya tidak banyak dan sering cenderung coklat daripada merah
(Cunningham, 2006).
Frekuensi mola hidatidosa ditemukan relatif lebih tinggi pada kehamilan yang
terjadi di awal atau akhir usia subur, hal ini sesuai dengan usia pasien yang masih 19
tahun, Di mana menurut Departemen Kesehatan tahun 2003, pengertian Wanita Usia
Subur (WUS) adalah wanita dalam usia reproduktif, yaitu usia 15-49 tahun baik yang
berstatus kawin, janda maupun yang belum menikah (Departemen Kesehatan, 2003).
Pada kasus ini, faktor resiko terjadinya mola hidatidosa adalah rendahnya
sosioekonomi yang berhubungan dengan faktor makanan yang kurang bergizi, salah
satunya asam folat dan protein di mana kekurangan asam folat dan protein dapat
menyebabkan penyakit trofoblastik gestasional, namun untuk patofisiologi terjadinya
masih belum jelas (Cunningham, 2006). Selain itu anemia defisiensi besi sering dijumpai
dan kadang-kadang terdapat eritropoisis megaloblastik yang mungkin akibat kurangnya
asupan gizi karena mual dan muntah disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas
yang cepat berproliferasi (Cunningham, 2006).
Pasien ini juga mengeluh mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-hCG (Cunningham, 2006).
Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin
(hCG), seharusnya dilakukan pemeriksaan kadar hCG dalam plasma dan urin baik secara
bio assay, imuno assay maupun radio imuno assay (Wiknjosastro, Hanifa, dkk, 2006).
Human Chorionic Gonadotropin (hCG) adalah suatu glikoprotein dengan berat
molekul 36.700 m memiliki kandungan karbohidrat tertinggi (30 persen) dibandingkan
dengan hormon manusia lainnya. Kadar hCG dalam plasma dan urin mungkin sangat
meningkat pada wanita dengan mola hidatidosa atau koriokarsinoma. Kadar hCG plasma
yang relatif tinggi dapat dijumpai pada kehamilan trimester dua dengan sindrom down.
Mual dan muntah selama kehamilan biasa terjadi di pagi hari ataupun kapan saja. Tanda
biasa muncul segera setelah implantasi dan bersamaan saat produksi hCG mencapai
puncaknya, diduga bahwa hormon plasenta inilah yang memicu mual dan muntah dengan
bekerja pada chemoreseptor trigger zone pada pusat muntah (Sherwood, 2001). Muntah
terjadi akibat perangsangan pada pusat muntah yang terletak di daerah postrema medula
oblongata di dasar ventrikel ke empat. Muntah dapat dirangsang melalui jalur saraf aferen
oleh rangsangan nervus vagus dan simpatis atau oleh rangsangan emetik yang
menimbulkan muntah dengan aktivasi chemoreceptor trigger zone. Jalur eferen
menerima sinyal yang menyebabkan terjadinya gerakan ekspulsif otot abdomen,
gastrointestinal dan pernafasan yang terkoordinasi dengan epifenomena emetik yang
menyertai. Pusat muntah secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan pernafasan
sehingga pada waktu muntah sering terjadi hipersalivasi dan gerakan pernafasan (Price,
Wilson, 2005).
Sesak nafas sejak 3 minggu ini, sesak bila untuk beraktivitas, dan berkurang bila
untuk beristirahat, kadang untuk berjalan jauh, sesak timbul. Sesak yang terjadi akibat
metabolisme yang meningkat, antara cadangan oksigen dengan proses pembentukan
energy tidak seimbang, ini menyebabkan tubuh mengadakan kompensasi untuk
meningkatkan kadar oksigen melalui pertambahan frekuensi bernafas. Karena dari
pemeriksaan fisik dan penunjang tidak didapatkan tanda-tanda dekompensasi jantung
(tidak didapatkan edema tungkai maupun JVP meningkat, serta tidak ada suara jantung
tambahan berupa murmur dan gallop, dan dari EKG hanya didapatkan sinus takikardi,
serta dari foto thorax tidak tampak kelainan), maka kemungkinan diagnosis
dekompensiasi jantung dapat disingkirkan.
Hasil pemeriksaan didapatkan status generalis tekanan darah yang rendah, nadi
yang meningkat, hal ini merupakan kompensasi dari perdarahan yang terjadi. Status
lokalis, didapatkan mata eksoftalmus, di mana hal ini sesuai dengan kriteria diagnostik
dari hipertiroidisme berupa hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan
sehingga pada pasien mengeluh lelah, gemetar dan tidak tahan panas, keringat semakin
banyak bila panas, kulit lembab, berat badan turun, sering disertai nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi dan kelemahan serta atrofi otot (Price, Wilson, 2005).
Selain itu menurut teori, manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai oleh mata melotot,
fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Lid lag bermanifestasi sebagai
gerakan kelopak mata yang relatif lebih lambat terhadap gerakan bola matanya sewaktu
pasien diminta perlahan-lahan melirik ke bawah (Ganong, 2003). Eksopthalmus yang
terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital
dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar. (Sherwood, 2001).
Pada pasien ini terdapatnya sesak dan takikardi disebabkan oleh karena hormon
tiroid dosis tinggi menyebakan pembentukan panas tambahan yang berakibat pada
peningkatan ringan suhu tubuh, yang akan mengaktifkan mekanisme pengeluaran panas.
Tahanan tepi menurun karena terjadi vasodilatasi kulit, tetapi curah jantung meningkat
karena kombinasi efek hormon tiroid dan katekolamin pada jantung, jadi tekanan nadi
dan frekuensi jantung meningkat (Ganong, 2003).
Selain itu dalam menegakkan diagnosa hipertiroid, penggunaan Indeks Wayne
mungkin dapat digunakan. Indeks Wayne sendiri merupakan suatu checklist yang berisi
ada atau tidaknya gejala-gejala, seperti palpitasi, mudah lelah, berat badan turun, dan
lain-lain, dengan skor tersendiri untuk masing-masing gejala. Seorang pasien didiagnosis
menderita hipertiroid apabila skor Inseks Wayne lebih dari 19. Di bawah ini telah
dilampirkan Indeks Wayne (Harrison, 2004).
Indeks Wayne:
Objektif:a) Tirod teraba 3
b) Bruit 2
c) Exopthalmus 0
d) Lid retraction 0
e) Lid lag 0
f) Hiperkinesia 0
g) Tangan panas 2
h) Tangan berkeringat 0
i) Tremor 0
j) Tremor halus 1
k) Atrial fibrilasi 0
l) Nadi <80 0
m) Nadi 80-90 0
n) Nadi >90 3
Subjektif
a) Dypsneu de effort 1
b) Palpitasi 1
c) Cepat lelah 2
d) Suka panas 0
e) Suka dingin 5
f) Banyak berkeringat 0
g) Nervous 2
h) Nafsu makan meningkat/menurun 3
i) Berat badan meningkat/menurun 3
Total score : > 19 hipertiroid
Dari pasien tersebut indeks wayne: 20
Oleh karena sifatTSH yang sangat sensitive dan spesifik dalam rangka mendeteksi
jumlahnya dalam darah, maka TSH dapat digunakan sebagai marker dalam mendeteksi
fungsi hormone tiroid. Selain itu, kadar TSH juga berespon secara dinamik apabila
adanya perubahan terhadap kadar T4 dan T3. Oleh sebab itu, kadar TSH menjadi marker
utama dalam rangka menentukan nilai hormone tiroid yang berkurang, normal, maupun
meningkat (Harrison, 2004).
Penemuan tentang nilai TSH yang abnormal haruslah diikuti dengan pengukuran
nilai hormone tiroid dalam darah bagi memastikan lagi diagnosis hipertiroidisme (TSH
yang rendah) dan hipotiroidisme (TSH yang tinggi). Pemeriksaan dengan menggunakan
radioimmunoassay dapat dilakukan bagi mendeteksi kadar T3 dan T4 darah. T3 dan T4
berikatan dengan protein dan terdapat banyak factor yang dapat mempengaruhi kadar
hormone tersebut (penggunaan obat-obatan tertentu, penyakit tertentu serta factor
genetik). Oleh itu, adalah perlu untuk mengukur nilai hormone tersebut dalam kondisi
bebas atau tanpa terikat oleh protein (Harrison, 2004).
Kadar hormon tiroid dapat meningkat apabila kadar TBG meningkat terutama
dalam kondisi kadar estrogen yang meningkat(kehamilan, kontraseptif oral, terapi
hormone replacement, tamoxifen). Juga, dapat berkurang dalam kondisi seperti androgen
tinggi dan sindroma nefrotik. Masalah genetic dan acute illness juga dapat mempengaruhi
kadar hormone tiroid yang berikatan dengan protein dalam darah. Oleh karena hanya
hormone tiroid yang bebas berikatan terdeteksi normal dalam kondisi-kondisi seperti
diatas, adalah disarankan untuk melakukan pemeriksaan hormone tiroid bebas berikatan
dalam rangka menilai kadar hormone tiroid. Pada pasien ini, didapatkan peningkatan T4
(6.12ng/dL) dan penurunan hasil TSH (0.021µIU/mL) (Harrison, 2004).
Pada pasien ini adanya gejala hipertiroid kemungkinan bukan penyakit yang
berdiri sendiri, namun hipertiroid merupakan hipertiroid sekunder akibat peningkatan
hCG. Pada banyak wanita yang mengalami mola hidatidosa atau koriokarsinoma,
kadang-kadang dijumpai bukti hipertiroidisme secara biokimiawi atau klinis. Dahulu
dianggap bahwa pembentukan tirotropin korionik oleh penyakit trofoblas ganas
merupakan penyebab gambaran mirip hipertiroid pada para wanita tersebut. Namun
kemudian dibuktikan bahwa beberapa bentuk hCG berikatan dengan reseptor TSH sel
tiroid. Aktivitas stimulatorik tiroid dalam plasma wanita hamil trimester pertama cukup
bervariasi dari satu sampel ke sampel lainnya. Modifikasi pada oligosakarida hCG
tampaknya penting untuk memberntuk kapasitas hCG untuk merangsang fungsi tiroid.
Sebagian dari bentuk iso hCG yang bersifat asam merangsang aktivitas tiroid, dan
beberapa bentuk yang lebih basa juga merangsang penyerapan iodium. Juga terdapat
bukti awal bahwa reseptor LH atau hCG diekspresikan di tiroid. Dengan demikian,
terdapat kemungkinan bahwa hCG merangsang aktivitas tiroid melalui reseptor LH atau
hCG dan juga melalui reseptor TSH (Cunningham, 2005).
Konjungtiva anemis dapat diakibatkan karena rendahnya kadar hemoglobin,
eritrosit dan hematokrit akibat perdarahan yang menyebabkan anemia. Di mana pada
pasien ini, anemianya tipe normokrom normositer, karena ada penurunan hemoglobin,
eritrosit, dan hematokrit, namun kadar MCH, dan MCV dalam batas normal. Karena
anemia normokrom normositer, maka kemungkinan penyebabnya adalah adanya
hemolitik atau perdarahan. Untuk menyingkirkan diagnosisnya penyebab hemolitik
adalah dengan melakukan pemeriksaan kimia darah berupa kadar bilirubin direct dan
indirect. (Tjokroprawiro, 2007).
Pemeriksaan obstetri, TFU berada 3 cm di bawah pusat, hal ini sesuai dengan
teori di mana pada kasus mola hidatidosa didapatkan ukuran uterus membesar lebih cepat
dari biasanya, padahal usia kehamilan pasien ini 12-13 minggu yang seharusnya ukuran
TFU normalnya adalah sebatas simfisis.
Dalam pemeriksaan ini, USG digunakan untuk mengetahui adanya jaringan mola
yang masih tersisa dalam uterus. Namun gambaran khas berupa snow storm tidak
didapatkan pada pasien ini, namun dari pemeriksaan USG dikatakan terdapat jaringan
yang tampak sebagai multiple lesi, kistik kecil-kecil di dalam uterus yang membesar yang
cukup menggambarkan suatu edema stroma vilus pada mola hidatidosa (Cunningham,
2006).
Terapi mola hidatidosa terdiri dari empat tahap yaitu ;
1. Perbaiki keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk
memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atu mengurangi
penyulit seperti preeklampsi dan tirotoksikosa. Hal ini sesuai dengan
terapi pada pasien yang diberikan transfusi whole blood (WB).
2. Pengeluaran jaringan mola
Pada pasien ini dilakukan kuretase sesuai dengan teori bahwa tindakan
untuk pengeluaran jaringan mola bisa dilakukan dengan dua cara yaitu
vakum kuretase dan histerektomi. Setelah keadaan umum diperbaiki,
dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi
diperlukan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan sendok
kuret biasa yang tumpul, tindakan kuret cukup dilakukan satu kali saja,
asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi. Pada pasien ini
tidak dilakukan histerektomi karena indikasi untuk melakukan
histerektomi yaitu pada wanita yng telah cukup umur dan telah cukup
mempunyai anak. Batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan
anak hidup 3. (Winkjosastro, 2006).
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Pada pasien ini tidak diberikan sitostatika karena indikasi pemberiannya
pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan, missal
umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi
atau kasus mola dengan hasil patologi yang mencurigakan. Biasanya
diberikan methotrexate atau actinomycin D. Goldstein berpendapat bahwa
pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan
metastasis, serta mengurangi korio karsinoma di uterus sebanyak 3 kali.
(Winkjosastro,2006)
4. Pemeriksaan tindak lanjut
Tujuan utama tindak lanjut adalah deteksi dini setiap perubahan yang
mengisyaratkan keganasan. Metode umum tindak lanjut adalah sebagai
berikut :
a. Cegah kehamilan selama masa tindak lanjut sekurang-kurangnya
setahun
b. Ukur kadar hCG setiap 2 minggu. Walaupun sebagian menganjurkan
pemeriksaan setiap minggu, belum terbukti adanya manfaat yang nyata.
c. Tunda terapi selama kadar serum tersebut terus berkurang. Kadar yang
meningkat atau mendatar perlunya evaluasi dan biasanya terapi.
d. Setelah kadar normal (yaitu setelah mencapai batas bawah pengukuran )
pemeriksaan dilakukan setiap bulan selama 6 bulan, lalu setiap 2 bulan
untuk total 1 tahun.
e. Tindak lanjut dapat dihentikan dan kehamilan diizinkan setelah 1 tahun.
(Cunningham, 2006)
Pada pasien ini dapat dilakukan prosedur tindak lanjut untuk
mendeteksi dini adanya suatu keganasan dengan pengukuran kadar hCG
secara serial.
.
DAFTAR PUSTAKA