LAPORAN KASUS Kepada Yth · 2018. 7. 20. · pada usia antara 65-71 tahun.1,3 Secara epidemiologi,...
Transcript of LAPORAN KASUS Kepada Yth · 2018. 7. 20. · pada usia antara 65-71 tahun.1,3 Secara epidemiologi,...
0
1
LAPORAN KASUS Kepada Yth:
Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal : / Januari 2018
Jam : WITA
SATU KASUS KERATOAKANTOMA DENGAN
TINDAKAN BEDAH EKSISI ELIPS
Oleh:
Venny Tandyono
Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2017
2
PENDAHULUAN
Keratoakantoma (KA) merupakan tumor epitelial kulit yang berasal dari unit
pilosebasea, dengan karakteristik pertumbuhan yang cepat, dan cenderung
mengalami regresi spontan.1,2
Hingga saat ini klasifikasi KA masih menjadi
perdebatan karena berada diantara tumor jinak dan ganas.3 Beberapa ahli
berpendapat KA sebagai tumor kulit jinak dengan prototipe “pseudomalignant”
dan ahli lain menyatakan bahwa KA sebagai tumor kulit ganas dan dianggap
sebagai varian karsinoma sel skuamosa (KSS).1,3
Keratoakantoma sering ditemukan pada orang berkulit putih (tipe kulit
Fitzpatrick I dan II), lebih sering terjadi pada laki-laki, dan umumnya ditemukan
pada usia antara 65-71 tahun.1,3
Secara epidemiologi, keratoakantoma menyebar
sporadis, insidennya pada populasi di Australia dan Hawai sekitar 150 per
100.000 penduduk per tahun.2 Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah
Denpasar pada periode Januari 2015 hingga Desember 2016 didapatkan 4 kasus.4
Etiologi keratoakantoma masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor yang berperan dalam terjadinya KA antara lain predisposisi genetik,
paparan sinar ultraviolet, trauma, merokok, paparan bahan kimia karsinogenik,
radiasi, dan kondisi imunosupresi seperti infeksi human immunodeficiency virus
(HIV), transplantasi sumsum tulang, konsumsi obat kemoterapi, leukemia.3,5
Manifestasi klinis keratoakantoma pada umumnya berupa papul sewarna
kulit atau kemerahan berbentuk bulat dan konsistensi keras, kemudian tumbuh
cepat dalam waktu 4-6 minggu menjadi nodul berdiameter 1-2 cm, bentuk kubah
yang ditengahnya berisi sumbatan keratin tertutup krusta, bila sumbatan keratin
diangkat maka akan tampak seperti kawah atau “volcano like appearance”.
Sekitar 5-6 bulan KA mengalami regresi spontan, dan terbentuk jaringan parut.
Predileksi KA terjadi di area yang sering terpapar sinar matahari.5,6
Keratoakantoma cenderung mengalami regresi spontan sehingga sebagian
para ahli berpendapat untuk hanya melakukan observasi terhadap perkembangan
lesi ini. Namun beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa keratoakantoma perlu
diterapi karena KA seringkali sulit dibedakan dengan karsinoma sel skuamosa
(KSS), dan sekitar 20% dapat berkembang menjadi KSS hingga metastasis.7,8,9
3
Bedah eksisi merupakan terapi baku emas untuk KA karena selain merupakan
tehnik yang mudah dan efektif, terapi ini juga dapat mengangkat lesi secara utuh
untuk pemeriksaan histopatologi, sehingga dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis KA.3,7
Berikut dilaporkan satu kasus keratoakantoma yang diterapi dengan bedah
eksisi elips. Kasus ini dilaporkan karena merupakan kasus yang jarang, sehingga
diharapkan dapat menambah pemahaman tentang gambaran klinis dan
penegakkan diagnosis keratoakantoma, serta penatalaksanaannya, khususnya
mengenai bedah eksisi elips.
KASUS
Seorang laki-laki berusia 73 tahun, ras Kaukasian, Warga Negara Perancis,
dengan nomor rekam medis 17.04.89.43 datang ke Subdivisi Tumor Bedah Kulit
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah pada tanggal 14 November 2017
dengan keluhan utama benjolan pada pelipis kanan.
Berdasarkan anamnesis, didapatkan muncul benjolan pada pelipis kanan
sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya benjolan berukuran kecil, sebesar jarum pentul,
teraba keras, dan berwarna merah muda. Benjolan kemudian dirasakan semakin
membesar (sebesar kacang polong) dan menonjol sejak 3 bulan yang lalu.
Benjolan ini tidak dirasakan gatal, nyeri, maupun mudah berdarah. Satu bulan
yang lalu, pasien mengamati muncul luka pada benjolan akibat kadang
dimanipulasi oleh pasien, sehingga bagian tengah benjolan tampak lebih datar dan
luka meninggalkan keropeng berwarna kuning-kecoklatan. Kemudian pasien
berobat ke spesialis kulit dan dilakukan elektrokauter pada lesi tersebut serta
diberikan obat oles (nama lupa). Riwayat munculnya luka/ trauma pada kulit
sebelum keluhan muncul disangkal.
Pasien mengaku keluhan ini baru pertama kali dialami, dan tidak ada
riwayat penyakit kulit yang pernah diderita sebelumnya. Riwayat penyakit
jantung, hipertensi, diabetes melitus, ataupun keganasan disangkal. Riwayat
penurunan berat badan, dan diare lebih dari satu bulan serta batuk lama tidak ada.
Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat pengencer darah maupun antiradang
4
jangka lama, dan tidak pernah mengalami gangguan perdarahan, seperti sering
mimisan maupun gusi berdarah. Riwayat luka yang sembuh dengan menimbulkan
bekas parut yang membesar (keloid) disangkal. Tidak ada riwayat alergi obat,
makanan, maupun asma.
Pasien sering beraktivitas di luar ruangan tanpa menggunakan tabir surya.
Pasien sebelumnya tinggal di Perancis dan bekerja sebagai pelayar, namun sudah
tidak bekerja sejak 8 tahun yang lalu. Sejak tahun 2010 pasien pindah ke bali, dan
menikah lagi dengan orang Bali. Sejak saat itu pasien memulai bisnis travel agent
dan sering beraktivitas diluar ruangan. Pasien sesekali mengkonsumsi alkohol dan
merokok saat berkumpul bersama dengan teman-temannya.
Keluhan penyakit yang sama pada keluarga disangkal. Riwayat alergi obat
pada pasien maupun keluarga disangkal. Riwayat penyakit jantung, hipertensi,
diabetes melitus, ataupun penyakit kulit lain pada keluarga disangkal.
Pemeriksaan status present didadapatkan kesadaran kompos mentis,
keadaan umum baik, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 80 kali/menit,
frekuensi pernafasan 20 kali/menit, temperatur aksila 36,5◦C. Berat badan 78 kg,
tinggi badan 185 cm, dan body mass index 22,79. Status generalis didapatkan
kepala normosefali, mata tidak terdapat tanda-tanda anemia dan ikterus. Pada
pemeriksaan leher, kelenjar getah bening preaurikular, retroaurikular,
submandibula dan supraklavikula tidak teraba pembesaran. Pemeriksaan telinga,
hidung, tenggorokan tidak terdapat kelainan. Pemeriksaan thoraks didapatkan
suara jantung S1S2 tunggal, reguler, tidak terdengar murmur, pada paru suara
nafas vesikuler, tidak terdengar ronkhi maupun wheezing. Pemeriksaan abdomen
terdengar bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba, ekstremitas atas dan
bawah teraba hangat dan tidak didapatkan edema serta deformitas. Pemeriksaan
mukosa dan kuku tidak ditemukan kelainan.
Status dermatologis pada lokasi malar dekstra didapatkan efloresensi
nodul eritema soliter, bentuk oval, ukuran 0,8 x 1,5 x 0,3 cm, dengan permukaan
datar, berskuama, dan disertai telangiektasia pada kulit sekitarnya. Pada palpasi,
benjolan teraba keras, padat, melekat pada dasar, tanpa nyeri tekan. Pasien
mempunyai tipe kulit Fitzpatrick II (Gambar 1).
5
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis banding
keratoakantoma dan karsinoma sel skuamosa (KSS). Pemeriksaan dermoskopi
dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang, didapatkan gambaran keratin pearl-
like structures di bagian sentral, dikelilingi dengan berbagai morfologi pembuluh
darah berupa hairpin, glomerular, dan branching vessels, di atas background
warna putih. Tampak telangiektasia dibagian bawah lesi. (Gambar 2).
Diagnosis kerja pasien adalah keratoakantoma. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah bedah eksisi elips. Pada pasien direncanakan pemeriksaan
histopatologi jaringan paska operasi.
Pada tahapan operasi, pertama pasien diberikan penjelasan tentang
tindakan yang akan dilakukan dan komplikasi yang mungkin terjadi. Setelah
pasien memahami tentang tindakan yang akan dilakukan, pasien diminta untuk
menandatangani surat persetujuan operasi. Selanjutnya dilakukan persiapan alat-
alat yang akan digunakan, kemudian pasien diminta berbaring di meja operasi
Gambar 1. Pada malar dekstra tampak nodul soliter, bentuk oval dengan permukaan datar
berskuama dan telangiektasia di sekitarnya.
Gambar 2. Tampak keratin pearl-like structures di bagian tengah, pembuluh darah bentuk
hairpin & glomerular (lingkaran) dan branching vessels (panah) di atas background warna
putih. Telangiektasia tampak di bagian bawah (segitiga).
1b
2
1c
6
dengan posisi miring kiri, dan dilakukan pemetaan (marker) pada area yang akan
dieksisi. Operator dan asisten mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan
steril. Setelah itu, dilakukan desinfeksi pada area yang akan dilakukan
pembedahan dengan menggunakan larutan povidon iodin 10% dan kemudian
dipasang duk steril untuk mempersempit area operasi. Selanjutnya dilakukan
anestesi lokal dengan lidokain 2% dengan tehnik infiltrasi. Setelah anestesi
bekerja, dilakukan eksisi elips pada lesi sampai kedalaman subkutis sesuai marker
yang sudah dibuat, dengan safety margin 5 mm, rasio panjang berbanding lebar
3:1, dan sudut elips 30o. Lesi dilepaskan dari jaringan dibawahnya dengan skalpel,
kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi larutan buffer formalin 10% untuk
pemeriksaan histopatologi. Perdarahan dihentikan dengan bebat tekan dan
elektrokoagulasi. Kulit dijahit dengan teknik simple interrupted sutures
menggunakan benang nilon monofilamen 5-0 sesuai pola rules of halves sebanyak
8 jahitan dengan panjang 3 cm. Setelah terjahit, luka dibersihkan dengan cairan
NaCl 0,9% dan dioleskan salep gentamisin 0,3%, lalu ditutup dengan Duoderm
extrathin (Gambar 3). Tindakan selesai dan spesimen dikirim ke bagian Patologi
Anatomi (PA) untuk pemeriksaan histopatologi.
Gambar 3. Tindakan bedah eksisi elips. 3a. Persiapan alat. 3b. Desinfeksi
lapangan operasi menggunakan povidone iodine dan lapangan operasi
dipersempit dengan duk steril
Gambar 3c. Penyuntikan anestesi lokal dengan lidokain. 3d. Bedah eksisi elips.
3a
3c
3b
3d
7
Setelah tindakan operasi, pasien diberikan analgetik asam mefenamat tablet 500
mg setiap 8 jam per oral diminum bila nyeri. Pasien diberikan komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) untuk menjaga luka tetap kering dan kontrol
kembali untuk rawat luka setelah 3 hari.
PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI KETIGA PASKA TINDAKAN): 17
NOVEMBER 2017
Pasien tidak mengeluh nyeri ataupun gatal. Tidak didapatkan keluhan bengkak
pada bekas luka operasi, tidak ada demam. Pasien tidak mengeluhkan bekas luka
operasi mengeluarkan nanah, maupun kemerahan di sekitar lokasi jahitan. Status
present dan generalis didapati dalam batas normal.
Pemeriksaan dermatologi pada lokasi malar dekstra didapatkan luka
jahitan berbentuk linier, panjang 3 cm dengan 8 jahitan dan tidak didapatkan
hematoma, eksudat, maupun edema. (Gambar 4).
Gambar 3e. Proses pemisahan tumor dari jaringan sekitarnya. 3f. Penghentian
perdarahan.
Gambar 3g. Penjahitan luka dengan teknik simple interrupted suture dan
rule of halves. 3h. Luka paska tindakan bedah eksisi elips.
3f 3e
3g 3h
8
Pasien didiagnosis kerja dengan keratoakantoma diagnosis banding KSS paska
bedah eksisi elips hari ketiga. Penatalaksanaan pada pasien meliputi rawat luka
dan penggantian perban, analgetik asam mefenamat 500 mg tablet yang
dikonsumsi tiap 8 jam apabila merasa nyeri. Pasien diberikan KIE untuk menjaga
kebersihan daerah luka, mengurangi aktivitas di bawah paparan sinar matahari
pada pk 10.00-14.00, dan menggunakan tabir surya dan pelindung fisik bila
beraktivitas di luar ruangan. Pasien direncanakan kontrol hari keenam paska eksisi
tanggal 20 November 2017.
PENGAMATAN LANJUTAN II (HARI KEENAM PASKA TINDAKAN):
20 NOVEMBER 2017
Pasien datang untuk kontrol dan membawa hasil pemeriksaan histopatologi. Dari
anamnesis tidak didapatkan keluhan demam, nyeri, bengkak, maupun nanah pada
luka jahitan. Status present dan generalis dalam batas normal. Status dermatologi
pada lokasi pelipis kanan menunjukkan luka jahitan berbentuk linier, panjang 3
cm dengan 8 buah jahitan dan tidak didapatkan nanah, hematoma, nekrosis
maupun edema (Gambar 5).
Gambar 4. Luka paska tindakan bedah eksisi elips hari ketiga. Tidak tampak edema, hematom,
maupun pus.
4
9
Hasil pemeriksaan histopatologi tanggal 14 November 2017 dengan nomor
spesimen 4235/PP/2017 didapatkan gambaran morfologi sesuai dengan
keratoakantoma diagnosis banding well-differentiated squamous cell carcinoma.
Terdapat pola pertumbuhan eksoendofitik dengan diferensiasi sel-sel skuamoid
yang sebagian melibatkan infundibulum folikel. Tampak parakeratosis dan
gambaran shallow crater dan bagian tepi lesi membentuk lipping. Lesi relatif
berbatas tegas dan simetris dengan ekspansi bulbus pada bagian dasar. Tampak
beberapa fokus infiltrasi sel-sel tersebut pada stroma yang tidak melewati kelenjar
ekrin. Sel-sel pada bagian basal epidermis mengalami atipia berat, kromatin kasar,
anak inti prominen, membran inti ireguler. Mitosis terjadi di basal hingga
suprabasal. Sitoplasma glassy eosinofilik tampak pada sel-sel bagian superfisial.
Pada dermis tampak solar elastosis dengan sebaran sel radang limfosit dan sel
plasma.
Pasien didiagnosis dengan keratoakantoma paska bedah eksisi hari
keenam. Penatalaksanaan pada pasien adalah lepas jahitan, pemberian asam
mefenamat 500 mg tablet tiap 8 jam apabila merasa nyeri, dan antibiotika topikal
gentamisin 0.3% salep tiap 12 jam. Pasien diberikan edukasi untuk menjaga
kebersihan daerah luka, mengurangi aktivitas di bawah paparan sinar matahari
pada pk 10.00-14.00, dan menggunakan tabir surya dan pelindung fisik bila
Gambar 5. Luka paska tindakan bedah eksisi elips setelah dilakukan pengangkatan jahitan
5
10
beraktivitas di luar ruangan. Pasien diinformasikan untuk memonitor secara ketat
adanya lesi kulit baru timbul.
PEMBAHASAN
Keratoakantoma (KA) merupakan tumor epitelial kulit yang berasal dari unit
pilosebasea, tumbuh cepat, dan cenderung mengalami regresi spontan.1,2
KA juga
dikenal sebagai “molluscum sebaceum”, “pseudotumor”, dan “self-healing
squamous cell carcinoma”, karena hingga saat ini KA berada diantara neoplasma
jinak dan ganas dan seringkali KA sulit dibedakan dengan karsinoma sel
skuamosa (KSS).3
Etiologi keratoakantoma masih belum jelas. Beberapa faktor yang
berperan dalam terjadinya KA antara lain kerentanan genetik, paparan sinar
ultraviolet, radiasi, trauma, paparan bahan kimia karsinogenik, dan kondisi
imunosupresi seperti terinfeksi HIV, transplantasi sumsum tulang, konsumsi obat
Gambar 6a. Tampak diferensiasi sel-sel skuamoid yang sebagian melibatkan infundibulum
folikel, parakeratosis, gambaran shallow crater dengan lipping di bagian tepi. 6b. Pola
pertumbuhan eksoendofitik sel skuamoid, dengan infiltrasi di bagian stroma yang tidak melewati
kelenjar ekrin. Keratinosit superfisial memiliki sitoplasma glassy eosinofilik. 6c. Atipia berat sel
skuamosa dengan kromatin kasar, anak inti prominen, membran inti ireguler pada bagian basal
epidermis.
6c
6a 6b
11
kemoterapi, leukemia.3,5
KA lebih sering mengenai individu berkulit putih (tipe
kulit Fitzpatrick I dan II), dapat mengenai semua usia dengan puncak usia antara
65-71 tahun, dan lebih sering dijumpai pada laki-laki dengan rasio perbandingan laki-
laki dan perempuan 2:1.1,3
Pada kasus, pasien seorang laki-laki usia 73 tahun, ras Kaukasia, dengan
tipe kulit Fitzpatrick II. Pasien memiliki beberapa faktor risiko, seperti riwayat
sering terpapar sinar matahari, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.
Keratoakantoma memiliki predileksi pada area yang sering terpapar
matahari, seperti wajah dan ekstremitas. Lesi yang khas ditandai dengan lesi
soliter hiperkeratotik yang berkembang pesat dalam beberapa minggu dan
kemudian mengalami involusi lambat selama beberapa bulan. Terdapat tiga
tahapan klinis pada keratoakantoma yaitu tahap proliferasi, matur, dan regresi.
Pada tahap proliferasi, lesi awal berupa papul sewarna kulit atau kemerahan
berbentuk bulat dan konsistensi keras, kemudian tumbuh cepat dalam waktu 4-6
minggu menjadi nodul berdiameter 1-2 cm. Pada stadium matur, lesi berupa
nodul eritematosa atau serwarna kulit, bentuk kubah yang ditengahnya berisi
sumbatan keratin tertutup krusta, bila sumbatan keratin diangkat maka akan
tampak seperti kawah atau “volcano like appearance Pada tahap regresi, lesi
ditandai dengan nodul keratotik yang menjadi semakin datar dan akhirnya
mininggalkan jaringan parut hipopigmentasi.5,6
Varian lesi KA soliter lainnya
adalah giant KA, KA subungual, dan KA pada area mukosa. Giant KA dapat
mencapai ukuran hingga 15 cm yang cenderung terjadi di hidung dan bagian
dorsal tangan. KA subungual yang berada di distal nail bed dan dapat
menyebabkan kehancuran seluruh ruas tulang dari jari yang terkena. KA pada
daerah mukosa, terutama mukosa oral berupa lesi seperti kawah yang tumbuh
lambat hingga bertahun-tahun. Selain lesi soliter, dapat pula ditemukan varian lesi
KA multipel berupa KA sentrifugum marginatum, KA tipe ferguson-smith dan
tipe grzybowski. Pada KA sentrifugum marginatum, lesi multipel mempunyai tepi
berbentuk poliskilik maupun sirkuler. KA multipel tipe ferguson-smith, bersifat
familial yang diturunkan secara autosomal dominan dengan onset pada masa
remaja dan dewasa muda. KA erupsi generalisata grzybowski, lesi berupa papul
12
folikular keratotik, berjumlah ratusan hingga ribuan pada seluruh tubuh, yang
disertai dengan gejala pruritus. 1,3
Pada kasus, pasien mengeluh muncul benjolan pada pelipis kanan sejak 6
bulan yang lalu, awalnya benjolan kecil, keras dan bewarna merah muda yang
kemudian semakin membesar dan teraba keras dalam 3 bulan terakhir. Pada status
dermatologis pada lokasi pelipis kiri didapatkan nodul eritema soliter, bentuk
oval, ukuran 0,8 x 1,5 cm, dengan permukaan datar, berskuama, dan disertai
telangiektasia pada kulit sekitarnya. Pada palpasi, benjolan teraba keras, padat,
melekat pada dasar, tanpa nyeri tekan. Dari gambaran klinis tersebut, maka pasien
didiagnosis banding dengan keratoakantoma dan karsinoma sel skuamosa.
Salah satu kelainan kulit yang secara klinis sering kali sulit dibedakan
dengan keratoakantoma adalah karsinoma sel skuamosa.11
Gambaran klinis kedua
lesi tersebut tumpang tindih, keduanya memiliki manifestasi klinis berupa lesi
hiperkeratotik dengan debris seluler, ulserasi, dan dasar yang berbatas tegas.
Tidak terdapat tanda patognomonik yang dapat membedakan KSS dengan
keratoakantoma dengan mudah.9
Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma
ganas berasal dari keratinosit epidermal suprabasal dan bersifat infiltratif yang
bermetastasis sehingga dapat menyebabkan kematian. KSS berkaitan dengan usia
lanjut (meningkat setelah usia 40 tahun), cenderung pada jenis kelamin laki-laki
dan orang berkulit putih (tipe kulit Fitzpatrick I dan II). Beberapa faktor yang
berkaitan dengan KSS antara lain paparan sinar ultraviolet, adanya lesi prekursor
(aktinik keratosis, penyakit bowen), radiasi sinar x dan karsinogen lingkungan
(herbisida, insektisida, arsen, hidrokarbon), infeksi human papilloma virus (HPV),
kondisi imunosupresi, merokok, dan alkohol, serta adanya skar kronis.
Manifestasi klinis KSS biasanya muncul soliter berasal dari lesi prekursor, kecuali
pada penderita imunosupresi.12,13
Predileksi KSS seringkali pada area yang
terpapar sinar ultraviolet seperti kepala, leher, punggung, ekstremitas atas dan
bawah. KSS umumnya asimtomatik, tetapi dapat juga bergejala seperti nyeri, dan
mudah berdarah.13
Morfologi KSS bervariasi, dapat berupa papul maupun plak
keratotik sewarna kulit maupun eritema hingga hiperpigmentasi. Gambaran
lainnya dari KSS yaitu ulkus, nodul lunak, cutaneous horn yang tebal, verukosa,
13
abses periungual.12,13
Selain itu, manifestasi klinis KSS juga dapat dibedakan
berdasarkan sifat diferensiasinya yaitu terdiferensiasi baik berupa papul, plak
tebal berskuama, dan terdiferensiasi buruk berupa lesi yang lunak, tidak
berskuama, mudah berdarah, ulserasi.13
Pasien secara klinis didiagnosis banding dengan keratoakantoma dan KSS
karena disamping lesi sudah ada sejak 6 bulan yang lalu, namun berkembang
cukup cepat dan membesar dalam waktu 3 bulan, serta memiliki gambaran klinis
berupa nodul eritema keratotik padat dan melekat pada dasar. Selain itu, pasien
juga memiliki faktor predisposisi untuk kedua kondisi tersebut, yaitu adanya
riwayat paparan sinar ultraviolet yang berlebihan, konsumsi alkohol dan merokok,
serta kulit fototipe Fitzpatrick II.
Dermoskopi merupakan pemeriksaan penunjang yang bermanfaat
untuk membantu menegakkan diagnosis keratoakantoma. Namun, karsinoma sel
skuamosa dan keratoakantoma tidak dapat dibedakan secara jelas dengan
pemeriksaan dermoskopi karena memiliki gambaran dermoskopi yang serupa.
Pada karsinoma sel skuamosa dan keratoakantoma, gambaran dermoskopik yang
sering ditemukan meliputi massa keratin tidak berstruktur berwarna putih-
kekuningan di bagian tengah, dan dikelilingi oleh pembuluh darah dengan
berbagai bentuk dan lingkaran putih (whitish halo, yang menyebabkan tumor
seolah-olah berada dalam latar belakang berwarna putih).14,15
Keratin memiliki
sensitivitas tertinggi untuk karsinoma sel skuamosa dan keratoakantoma (79%)
dan lingkaran putih memiliki spesifisitas tertinggi (87%). Keratin sentral paling
sering ditemukan pada keratoakantoma dibandingkan dengan karsinoma sel
skuamosa (51.2% vs 30.0%).16
Studi yang dilakukan oleh Pyne dkk, pada 510
kasus keratoakantoma dan karsinoma sel skuamosa didapatkan gambaran
dermoskopi pembuluh darah yang bercabang (branching vessels) lebih banyak
ditemukan pada kasus keratoakantoma dibanding dengan karsinoma sel skuamosa
(20% vs 12.4%).17
Pada kasus, dermoskopi menunjukkan gambaran keratin pearl-like
structures di bagian sentral, dikelilingi pembuluh darah yang polimorfik berupa
hairpin, glomerular dan branching vessels di atas background warna putih.
14
Tampak telangiektasia dibagian bawah lesi. Gambaran ini dapat menyerupai
gambaran keratoakantoma dan karsinoma sel skuamosa. Oleh karena itu, masih
diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut dengan histopatologi.
Pemeriksaan histopatologi dari KA dapat ditemukan gambaran lesi
eksoendofitik dengan invaginasi epitel skuamosa berdiferensiasi baik pada bagian
tepi dan dasar dari lesi. Terdapat gambaran menyerupai kawah berisi keratin di
bagian sentral, disertai dengan epidermis pada bagian tepi yang secara simetris
melingkupi kawah tersebut membentuk gambaran lipping (dikenal juga dengan
butressing). Didapatkan pula hiperplasia epidermis, dengan sel-selnya mempunyai
sitoplasma eosinofilik glassy, yang akan membesar seiring perkembangan sel ke
arah sentral. Sel atipia dapat ditemukan terutama pada batas bawah dari lesi. Pada
lapisan dermis dapat ditemukan infiltrat sel inflamasi campuran, terutama
neutrofil, sel plasma, limfosit, histiosit, dan eosinofil. Tidak ditemukan
perkembangan ke arah stroma yang lebih dalam dari kelenjar ekrin.18
Sedangkan
pada KSS, akan tampak infiltrasi dan perluasan keratinosit atipikal dari epidermis
ke dermis. Sarang tumor menunjukkan berbagai derajat anaplasia dan
keratinisasi. Sel atipikal ditandai dengan peningkatan jumlah mitosis, inti
hiperkromasia dan hilangnya jembatan interseluler.19,20
Diferensiasi keratinisasi
skuamosa terlihat sebagai suatu fokus keratinisasi berbentuk cincin konsentris
yang disebut horn pearl (mutiara tanduk). Hilangnya diferensiasi berhubungan
dengan produksi keratin yang menurun. 12,18
Tanda yang dapat membantu diferensiasi histologis antara keratoakantoma
dan KSS, antara lain: pada keratoakantoma memiliki gambaran morfologi
arsitektur seperti kawah (flask-like configuration) dan sumbatan keratin di bagian
sentral. Pola keratinisasi sel makin ke tengah makin besar dan pucat, dengan
sitoplasma eosinofilik. Atipia sel skuamosa dapat menginfiltrasi stroma, namun
tidak melewati kelenjar ekrin, serta terdapat batas tegas antara sarang tumor dan
stroma. Tanda-tanda tersebut tidak diamati pada KSS.20,21,22
Karsinoma sel
skuamosa berasal dari epitel permukaan, sedangkan keratoakantoma berasal dari
dinding folikel rambut tepat di atas muara duktus sebasea.22
15
Pada kasus, pemeriksaan histopatologi menunjukkan hiperplasia
keratinositik berbatas tegas dan simetris, dengan diferensiasi sel-sel skuamoid
yang membentuk pola eksoendofitik, dan sebagian melibatkan infundibulum
folikel. Tampak gambaran shallow crater dan bagian tepi lesi membentuk lipping.
Tampak beberapa fokus infiltrasi sel skuamus pada stroma, yang tidak melewati
kelenjar ekrin. Sel-sel pada bagian basal epidermis mengalami atipia berat,
kromatin kasar, anak inti prominen, membran inti ireguler, sedangkan sel-sel di
bagian superfisial memiliki sitoplasma glassy eosinofilik. Pada dermis tampak
solar elastosis dengan sebaran sel radang limfosit dan sel plasma. Dengan
demikian, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
histopatologi pasien didiagnosis dengan keratoakantoma.
Hubungan keratoakantoma dengan KSS masih dalam perdebatan.1
Keratoakantoma sering disebut sebagai varian KSS yang berdiferensiasi baik
(well-differentiated) yang dapat sembuh sendiri, karena keratoakantoma memiliki
perjalanan alamiah yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Namun, masih
merupakan pertanyaan apakah keratoakantoma termasuk pseudokarsinoma jinak,
atau sebaiknya dikategorikan sebagai suatu keganasan. Berbagai laporan yang
menyatakan adanya destruksi jaringan lokal dan metastasis pada keratoakantoma
cenderung menggolongkan tumor ini sebagai sebuah varian KSS. Maka dari itu,
biopsi dan terapi definitif terhadap kasus-kasus keratoakantoma sangat
dianjurkan.16
Berbagai modalitas terapi untuk KA antara lain bedah eksisi, Mohs
Micrographic Surgery (MMS), kuretase diikuti elektrodesikasi, krioterapi, laser
ablasi, radioterapi, injeksi intralesi metotreksat atau bleomisin, sistemik retinoid,
dan terapi topikal.1,7
Dari berbagai modalitas terapi tersebut, bedah eksisi
merupakan terapi baku emas untuk KA karena mudah dilakukan, memberikan
hasil kosmetik yang baik, jaringan yang dieksisi dapat diperiksa histopatologi
untuk membantu menegakkan diagnosis KA.3,7
Bedah eksisi elips atau fusiformis, sebagai salah satu prosedur bedah pada
bidang dermatologi yang paling sering dikerjakan, bertujuan untuk mengangkat
tumor dengan margin yang tepat dan mencapai hasil yang baik secara kosmetik.23
Indikasi bedah eksisi adalah untuk mengangkat neoplasma jinak ataupun ganas
16
yang berukuran kecil hingga sedang. Salah satu keuntungan bedah eksisi adalah
jaringan yang diambil dapat secara utuh dilakukan pemeriksaan histopatologis
untuk menentukan batas bebas tumor (clear margin). Margin untuk mengangkat
keseluruhan lesi tergantung dari diagnosis klinis. Sebagian besar lesi jinak dapat
diangkat secara komplit dengan margin 1-2 mm dari tepi tumor. Sedangkan pada
lesi yang dicurigai ganas, seperti KSS, maka diperlukan margin sebesar 4-6 mm.
Tidak ada margin spesifik untuk KA, namun dapat digunakan batas margin sesuai
dengan KSS non-invasif, yaitu 5mm, untuk mendapatkan kemungkinan 95%
pengangkatan lesi secara komplit.3 Eksisi dilakukan pada keseluruhan tebal kulit
sampai lemak subkutis, dan luka ditutup dengan jahitan primer.23,24,25,26
Pada kasus, penatalaksanaan yang dipilih adalah bedah eksisi elips dengan
safety margin 5 mm.
Elemen yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan bedah eksisi
antara lain penggunaan teknik yang steril, anestesi lokal, merencanakan arah
eksisi dengan memperhatikan garis tegangan kulit, tehnik atraumatik dalam
melakukan insisi dan undermining, hemostasis dan penjahitan, serta perawatan
luka dan kontrol nyeri paska operasi.23,27,28
Eksisi elips memberikan kosmetik
yang baik dengan meminimalkan pengangkatan jaringan, pergerakan kulit dan
panjang insisi. Tehnik eksisi elips didasarkan pada rasio optimal panjang dan
lebar 3:1 yang dapat ditingkatkan menjadi 4:1 atau lebih pada lokasi dengan
distensibilitas jaringan kurang. Tehnik ini menghasilkan sudut sekitar 30o pada
ujung elips.29
Aksis panjang eksisi harus diorientasikan paralel dengan garis
tegangan kulit (Relaxed Skin Tension Line/ RSTL), untuk mencapai hasil
kosmetik yang optimal.23,24,28
Kedalaman eksisi harus mencapai subkutis agar tepi
luka dapat diaproksimasi dengan baik. Undermining diperlukan untuk
meningkatkan mobilitas jaringan sekitar, membantu eversi luka, mengurangi
tegangan pada tepi luka sehingga defek dapat ditutup dan mengurangi kontraksi
jaringan parut.23,29
Undermining harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusak struktur anatomi penting, dan penggunaan skin hook sangat membantu
karena mengangkat tepi luka dengan kerusakan jaringan yang minimal.29
17
Pada kasus, eksisi elips dibuat dengan rasio panjang berbanding lebar 3:1
dengan sudut 30o dengan arah sesuai dengan RSTL wajah. Pada saat memisahkan
lesi dengan jaringan kulit sekitarnya, dilakukan undermining dan penggunaan skin
hook pada ujung luka untuk menghindari trauma pada struktur sekitarnya.
Penutupan luka dengan teknik simple interrupted suture dan pola rules of
halves bertujuan untuk mendapatkan aproksimasi dan hemostasis yang baik.23,24
Tehnik ini dapat mencegah terjadinya wound dehiscence dan mengurangi
tegangan pada tepi luka. Tehnik ini mempunyai kekuatan regangan lebih besar,
serta memiliki risiko edema, indurasi dan gangguan mikrosirkulasi yang lebih
rendah dibandingkan dengan running suture.24,30
Rules of halves adalah pola
penjahitan pertama kali dimulai dari tengah luka, dan kemudian diikuti oleh
penjahitan berikutnya dengan pola yang sama, sehingga dapat mencegah
terjadinya dog-ear.23
Untuk menjahit jaringan superfisial, digunakan benang yang
tidak dapat diserap (seperti nilon atau polipropilen). Umumnya benang ukuran 5-0
atau 6-0 dipakai di area dengan tegangan rendah seperti wajah, kelopak mata dan
telinga.24
Penutupan luka paska eksisi pada kasus dilakukan jahitan primer dengan
teknik simple interrupted suture dan pola rule of halves menggunakan benang
nilon monofilamen 5-0.
Paska tindakan bedah eksisi, rawat luka merupakan hal yang penting. Luka
dioleskan antibiotik topikal, kemudian ditutup dengan kasa perban untuk menjaga
hemostasis selama 24-48 jam.23,31
Penggunaan balut luka tertutup membuat
penyembuhan 3-4 hari lebih cepat. Selama jahitan belum diangkat, luka dijaga
tetap kering, bersih dan tertutup untuk mengurangi kontaminasi bakteri,
meningkatkan reepitelisasi, dan menjaga hidrasi kulit serta mempercepat
penyembuhan.23,31
Pengangkatan jahitan harus dilakukan pada waktu yang tepat
untuk mendapatkan hasil luka yang sudah menutup, namun tidak terlalu lama
untuk menghindari infeksi, terhambatnya penyembuhan luka, serta komplikasi
bekas jalur jahitan. Jahitan pada area wajah dan telinga diangkat dalam waktu 5-7
hari, pada area leher dan kulit kepala diangkat dalam waktu 7-10 hari, pada area
badan dan ekstremitas diangkat dalam waktu 10-14 hari.30
18
Pada kasus, setelah terjahit, pada luka operasi diberikan gentamisin topikal
dan kemudian ditutup dengan balut tertutup dengan duoderm extrathin.
Pengangkatan jahitan pada kasus dilakukan setelah hari keenam paska bedah
eksisi, dan didapatkan penutupan luka yang sudah baik.
Komplikasi jangka pendek paska tindakan bedah eksisi dapat berupa
infeksi, dermatitis kontak, nyeri, perdarahan dan hematoma, nekrosis, dan wound
dehiscence. Komplikasi jangka panjang sampai satu tahun meliputi munculnya
jaringan parut hipertrofik, suture track marks, depressed or furrow-like scars, dan
gangguan pigmentasi pada tempat dilakukannya pembedahan.23,24
Pada kasus, tidak ditemukan adanya komplikasi jangka pendek paska
tindakan bedah eksisi, sedangkan komplikasi jangka panjang belum dapat
dievaluasi.
Keratoakantoma yang diterapi dengan pembedahan eksisional memiliki
prognosis yang sangat baik dengan angka kesembuhan mencapai 97%.1,32
Meskipun lesi keratoakantoma sudah dihilangkan, sekitar 1-8% keratoakantoma
dapat mengalami rekurensi, dan dapat timbul kembali pada lokasi yang diterapi
dalam 1 minggu - 8 bulan paska terapi karena fenomena koebner.3 Pasien
dianjurkan untuk menghindari faktor pencetus, terutama paparan matahari yang
berlebihan, dan disarankan untuk melakukan evaluasi berkala pada area
predisposisi.3 Selain itu, transformasi maligna KA menjadi KSS dapat terjadi
terutama pada pasien usia tua (> 85 tahun) yang disertai kondisi
imunokompromais.18
Pada kasus, prognosis pasien adalah dubius ad bonam karena lesi KA
dapat diangkat secara utuh dengan eksisi elips, luka menutup dengan baik, dan
tidak didapatkan komplikasi paska tindakan. Namun, oleh karena pada beberapa
kasus dapat ditemukan rekurensi, maka masih diperlukan follow up hingga 8
bulan paska terapi. Pada kasus sudah diberikan edukasi untuk menghindari
paparan matahari yang berlebihan, menggunakan tabir surya dan pelindung fisik
(topi, payung, pakaian) saat aktivitas sehari-hari, serta menghindari konsumsi
alkohol dan mengurangi kebiasaan merokok. Pasien disarankan untuk melakukan
evaluasi secara ketat apabila muncul lesi kulit yang baru.
19
SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus keratoakantoma yang diterapi dengan bedah
eksisi elips pada seorang laki-laki berusia 73 tahun dengan tipe kulit Fitzpatrick
II. Diagnosis KA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya benjolan pada pelipis
kanan sejak 6 bulan yang lalu, awalnya kecil kemudian dalam 3 bulan terakhir
membesar dengan cepat. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya nodul eritema
soliter, berbentuk oval, dengan permukaan datar berskuama, dan disertai dengan
telangiektasia pada kulit sekitarnya. Dari dermoskopi didapatkan gambaran
menyerupai keratoakantoma maupun KSS, yaitu berupa keratin sentral berbentuk
pearl-like structures, dikelilingi oleh pembuluh darah polimorfik pada bagian tepi,
di atas background halo berwarna putih. Dari pemeriksaan histopatologi
didapatkan morfologi yang sesuai dengan KA; yaitu didapatkan adanya shallow
crater dengan epidermis di bagian tepinya membentuk gambaran lipping,
hiperplasia epidermis dengan pola eksoendofitik yang berbatas tegas dan simetris,
keratinosit dengan sitoplasma glassy eosinofilik pada bagian superfisial, atipia
pada bagian basal, serta beberapa fokus infiltrasi pada stroma yang tidak melebihi
kelenjar ekrin. Pasien diterapi dengan bedah eksisi elips dengan arah sesuai
dengan garis lipatan kulit dan penjahitan luka secara simple interrupted suture
dengan pola rules of halves. Luka paska bedah eksisi menunjukkan hasil yang
baik, setelah 6 hari dilakukan pengangkatan jahitan, dan tidak didapatkan
komplikasi paska tindakan. Prognosis pada pasien adalah dubius ad bonam karena
lesi KA dapat diangkat secara utuh, jaringan luka menutup dengan baik dan tidak
didapatkan komplikasi paska tindakan. Pasien diberikan KIE untuk menghindari
faktor pencetus serta melakukan monitor rutin apabila terdapat lesi kulit yang
baru.