Laporan Kasus Eko

36
BAB I PENDAHULUAN Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun 1 Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi. 2 Urologi meliputi ginjal, ureter, uretra, buli-buli, prostat. Operasi pada lower abdominalis termasuk bedah urologi sering menggunakan anestesi regional baik spinal

Transcript of Laporan Kasus Eko

BAB I

PENDAHULUAN

Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi

penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat

berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi

nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang

mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan

keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup

dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri

menahun1

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)

harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi

pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu pra

anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,

menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap

penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan

pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.2

Urologi meliputi ginjal, ureter, uretra, buli-buli, prostat. Operasi pada lower

abdominalis termasuk bedah urologi sering menggunakan anestesi regional baik

spinal maupun epidural. Tidak menutup kemungkinan juga menggunakan anestesi

umum bila terdapat indikasi tertentu.3 Ureter merupakan struktur retroperitoneal dan

mempunyai inervasi simpatik dan nociceptive projection ke saraf spinal yang nyaris

sama dengan ginjal. Segmen spinal ini juga menyediakan inervasi somatic ke daerah

lumbal, flank, area ilioinguinal, dan scrotum atau labia. Nyeri dari ginjal dan ureter

berasal dari area itu. Saraf parasimpatik dari S2-4 saraf spinal mempersarafi ureter.4

Ureterolithiasis adalah di dalam ureter. Penyebab pembentukan batu meliputi

idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran kemih oleh

mikroorganisme berdaya membuat urease, dehidrasi, benda asing, jaringan mati dan

multifaktor. Terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif dan terapi

intervensi.4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM

Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi

regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu

inhalasi inhalasi dan parenteral.

Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, yaitu

meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat

reversible. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan

menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,

induksi, maintenance dan lain-lain.1

Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran

dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari

: (1) hipnotik (2) analgesia (3) relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke

pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama

terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti

otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan

sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium

anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah

terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan zat

anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter) :

Stadium I : analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga

hilangnya kesadaran.

Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya

respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.

Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya

respirasi. Dibagi 4 plane:

Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya

pergerakan bola mata.

Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga

mulainya paralisis interkostal.

Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis

interkostal.

Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis

diafragma.

Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga

cardiac arrest.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani

operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,

induksi, maintenance, dan lain-lain.

A.1 Persiapan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan

pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk

keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:1

Mengetahui status fisik pasien praoperatif.

Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.

Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang

sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau

pasca bedah.

Mempersiapkan obat/alat guna menanggulangi penyulityang

diramalkan.

Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology):1

i. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah

terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris.

Angka mortalitas 2%.

ii. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan

sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau

proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

iii. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat

sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

iv. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang

mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :

insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas

68%.

v. ASA V :Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.

Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan

hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka

mortalitas 98%.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda

darurat1

Macam-macam teknik anestesi yang dapat digunakan :

a. Open drop method : cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap,

peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas

yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak

diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara

terbuka.

b. Semi open drop method : hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik, digunakan masker. Karbondioksida

yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.

Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x

dari minimal volume udara semenit.

c. Semi closed method : udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni

yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga

kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan

dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan

memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari

dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100 % kebutuhan.

d. Closed method : cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi

dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang

mengandung anestetik dapat digunakan lagi. 2

A.2 Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan

dari premedikasi antara lain :5

Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien.

Memudahkan dan memperlancar induksi.

Mengurangi dosis anestesia.

Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar.

2. Obat-obatan Premedikasi

a. Sulfas Atropin

Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk

mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial yang

berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan

operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek,

menurunkan spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa mual serta

muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan

kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal maupun regional.

Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan

kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian

prostigmin 1 –2 mg intravena.5

Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.

Dosis : 0,01 mg/ kgBB.

Pemberian : SC, IM, IV

b. Pethidin

Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk

premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan

induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra

dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan ,

dan dapat diantagonis dengan naloxon.6

Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat

menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila

digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan

depresi pusat pernapasan di medula yang dapat ditunjukkan dengan respon

turunnya CO2. mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik

pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi efek

tersebut.6

Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.

Dosis : 1 mg/ kgBB.

Pemberian : IV, IM

c. Midazolam

Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin

dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine.

Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP.

Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat di

berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum

system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit

setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat

narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya.6

Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi

anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan

yang dilakukan di bawah anestesi local serta induksi dan pemelharaan

selama anestesi. Obat ini dikontra indikasikan pada keadaan sensitive

terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan,

acut narrow-angle claucoma.6

Dosis premedikasi sebelum operasi :

Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri

sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan

antikolinergik atau analgesik.

Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaan

umum pasien, lazimnya diberikan 5mg.

Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05 mg/ kg BB (IM).

Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit

sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5

mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.

Midazolam mempunyai efek samping :

Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapat

mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas pada

ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut jantung.

Efek yang berat dan ireversibel : selain depresi SSP yang

berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping yang

ireversibel

Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement, bingung,

pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis dan

trombosis.

Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid, simetidin,

ketamin.4

3. Induksi

Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat

dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur

dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa

premedikasi.6

Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara

cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang

disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus

propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik

inhalasi lain.

Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi

efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah

jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.6

Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,

metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan

propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi

yang minimal.6

Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi

pernapasan, apnea, brokospasme dan laringospasme. Pada sistem

kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi.

Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan,

kejang, mual dan muntah.3

4. Pemeliharaan

a. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,

tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan

tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai

sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi

dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak

mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen

dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP

menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa

pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam

ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian

oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.

Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan

oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi

N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.6

b. Ethrane ( Enflurane)

Merupakan anestesi yang poten. Dapat mendepresi SSP menimbulkan

efek hipnotik. Pada kontrasepsi inspirasi 3 – 3,5 % dapat menimbulkan

perubahan EEG yaitu epileptiform, karena itu sebaiknya tidak digunakan

pada pasien epilepsi. Dan dapat meningkatkan aliran darah ke otak. Pada

anestesi yang dalam dapat menurunkan tekanan darah disebabkan depresi

pada myokardium. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan adrenalin untuk

infiltrasi relatif aman. Pada sistem pernafasan, mendepresi ventilasi

pulmoner dengan menurunkan volume tidal dan mungkin pula

meningkatkan laju nafas. Tidak menyebabkan hipersekresi dari bronkus.

Pada otot, Ethrane menimbulkan efek relaksasi yang moderat.

Menyebabkan peningkatan aktivitas obat pelumpuh otot non depolarisasi.

Penggunaan Ethrane pada operasi sectio cesaria cukup aman pada

konsentrasi rendah (0,5 - 0,8 vol %) tanpa menimbulkan depresi pada

fetus. Berhati-hati pada penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat

menimbulkan relaksasi otot uterus.1

Untuk induksi, Ethrane 2 – 4 vol % dikombinasikan O2 atau campuran

N2O-O2, sedangkan untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5 – 3 %.

Keuntungan dari Ethrane adalah harum, induksi dan pemulihan yang

cepat, tidak ada iritasi, sebagai bronkodilator, relaksasi otot baik, dapat

mempertahankan stabilitas dari sistem kardiovaskuler serta bersifat non

emetik. Sedangkan kerugiannya bersifat myocardial depresan, iritasi pada

CNS, ada kemungkinan kerusakan hati. Sebaiknya dihindari

pemberiannya pada pasien dengan keparahan ginjal.1

c. Halothane (Fluothane)

Berbentuk cairan jernih, sangat mudah menguap dan berbau manis,

tidak tajam dan mempunyai titik didih 50 C. Konsentrasi yang digunakan

untuk anestesi beragam dari 0,2 – 3%. Merupakan zat yang poten sehingga

membutuhkan vaporizer yang dikalibrasi untuk mencegah dosis yang

berlebihan. Karena kurang larut dalam darah dibandingkan dengan eter,

maka saturasi dalam darah lebih cepat, sehingga induksi inhalasi relatif

lebih cepat dan menyenangkan untuk pasien. Jika persediaan terbatas

maka sebaiknya Halothane digunakan untuk menstabilkan setelah indeuksi

intravena. Pada kondisi klinis halothane tidak mudah terbakar dan

meledak.

Halothane memberikan induksi anestesi yang mulus, tetapi

mempunyai sifat analgesi yang buruk. Penggunaan zat ini untuk anestesi

secara tunggal akan menyebabkan depresi kardiopulmoneryang ditandai

dengan sianosis, kecuali bila gas inspirasi mengandung oksigen dengan

konsentrasi tinggi. Halothane mempunyai efek relaksasi otot yang lebih

kecil daripada eter, merupakan suatu bronkodilator. Depresi pusat

pernafasan oleh halothane ditandai dengan pernafasan yang cepat dan

dangkal, peningkatan frekuensi pernafasan ini lebih kecil bila diberikan

premedikasi dengan opium. Efek pada kardiovaskuler adalah depresi

langsung pada miokardium dengan penurunan curah jantung dan tekanan

darah, tetapi terjadi vasodilatasi kulit sehingga mungkin perfusi jaringan

lebih baik. Kerugian dari halothane dapat diatasi dengan dikombinasikan

dengan N2O (50 – 70%) atau trikloroetilen (0,5-1%).7

5. Obat Pelumpuh Otot

a. Suksametonium (Succynil choline).

Terutama digunakan untuk mempermudah/ fasilitas intubasi trakea

karena mula kerja cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (3 – 5

menit). Juga dapat dipakai untuk memelihara relaksasi otot dengan cara

pemberian kontinyu per infus atau suntikan intermitten. Dosis untuk

intubasi 1-2 mg/kgBB/I.V.

Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah (1) bradikardi,

bradiaritma dan asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat serta

pada anak-anak; (2) takikardi dan takiaritmia; (3) lama kerja memanjang

terutama bila kadar kolinesterase plasma berkurang; (4) peningkatan

tekanan intra okuler; (5) hiperkalemi; (6) dan nyeri otot fasikulasi.

Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg.

Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml

sehingga membentuk larutan 2 %. Cara pemberian I.V/I.M/ intra lingual/

intra bukal.1

b. Atrakurium besylate (tracrium)

Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang

memiliki beberapa keuntungan antara lain bahwa metabolisme di dalam

darah (plasma) melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang

tidak tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak mempunyai efek

kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi

kardiovaskuler yang bermakna.

Menurut Chapple DJ dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada

binatang atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada CBF, CMR

O2 atau ICP. Metabolitnya yang disebut laudanosin, menembus blood

brain barrier dan dapat menimbulkan kejang EEG, tetapi kadar laudanosin

pada dosis klinis atracurium tidak menimbulkan efek ini. Lanier dkk

mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang kejang dengan lidokain

pada kucing yang diberikan atracurium. pancuronium, atau vecuronium.

Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan perubahan ICP.

Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dan dosis pemeliharaan

adalah 5-10 ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5 ml yang berisi 25 mg

dan 50 mg atrakurium besylate. Mula kerja pada dosis intubasi 2-3 menit

sedangkan lama kerjanya pada dosis relaksasi 15-35 menit.1

6. Intubasi Endotrakeal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga

jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea

bertujuan untuk :1

Mempermudah pemberian anestesi.

Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

Pemakaian ventilasi yang lama.

Mengatasi obstruksi laring akut.

7. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus

mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan

perioperatif bertujuan untuk :

Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama

operasi.

Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang

diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,

penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti

pada ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan

cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap

kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan

cairan pada dewasa untuk operasi :

Ringan= 4 ml/kgBB/jam.

Sedang= 6 ml / kgBB/jam

Berat = 8 ml / kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang

dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak

3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %

maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan

dosis 1-2 kali darah yang hilang.

c. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan

selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.

8. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan

anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room

yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar

merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih

memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca

operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena

operasi atau pengaruh anestesinya.1,2

BAB III

PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Umur : 27 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : jl. Katulistiwa Gg. Usaha Keluarga no. 08

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Tanggal Operasi : 16 Januari 2015

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI

1. Anamnesa

a. Keluhan utama : patah pada tangan kanan

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada lengan atas kanan dan

pergelangan tangan kanan. Tiga hari yang lalu pasien kecelakaan, pasien

mengendarai sepeda motor dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam dan

diserempet truk dari arah sebelah kiri ketika pasien hendak menyusul.

Bagian tangan tersentuh oleh truk, lalu pasien jatuh ke arah kanan. Bagian

yang terdahulu menyentuh aspal adalah tangan kanan. Saat kejadian

pasien menggunakan helm dan tidak ada benturan di kepala. Saat jatuh

pasien tidak sadarkan diri, tidak ada keluar darah dari telinga, mulut,

hidung. Tidak ada mual dan muntah. Hanya terasa bengkak dan nyeri

pada lengan atas kanan. Kemudian pasien di bawa ke UGD RSUD dr.

Soedarso dan di sana tidak dilakukan operasi, hanya di pasang spalk.

Karena tidak dilakukan operasi di sana, pasien di rujuk ke RS TNI AU

Lanud Supadio.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat trauma sebelumnya tidak ditemukan

Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya

Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya

Riwayat hipertensi disangkal, DM disangkal, asma dan penyakit jantung

disangkal.

d. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat trauma dalam keluarga (-)

Riwayat operasi dalam keluarga (-)

Riwayat DM dan hipertensi (-)

e. Alergic : pernah mengalami gatal-gatal setelah mengonsumsi

paramex.

Medication : tidak ada mengomsumsi obat apapun dalam beberapa

waktu terakhir.

Past illness : gastritis

Last meal : pasien makan terakhir 6 jam sebelum operasi

Environment : tidak ada keluhan

2. Pemeriksaan Fisik:

a. Breath

Jalan napas baik, napas spontan, RR : 20 x/menit, suara napas dasar

vesikuler, tidak ada suara napas tambahan, pembukaan mulut ± 3 jari,

kriteria mallampati I, jarak tiromental > 7 cm, tidak ada gigi palsu.

b. Blood

Nadi : 80 x/menit, TD : 140/80 mmHg, perfusi : kering-merah-hangat,

CRT < 2 detik, pemeriksaan fisik jantung dalam batas normal.

c. Brain

GCS: E4V5M6, tidak ada kelainan neurologis.

d. Bladder

Buang air kecil lancar, tidak terpasang kateter.

e. Bowel

Timpani pada seluruh kuadran abdomen, bising usus positif normal,

abdomen soefl, distensi (-), hepar dan lien tidak teraba.

f. Bone

Tidak ada kelainan tulang belakang.

Status lokalis:

Look : terdapat deformitas berupa pembengkakan pada regio brachii

dextra dan regio antebrachii dextra.

Feel : didapatkan adanya nyeri tekan, suhu sama dengan bagian

yang normal, teraba hangat, sensibilitas (+).

Move : ROM shoulder joint, elbow joint, dan wrist joint terbatas,

karena sakit bila digerakkan.

3. Pemeriksaan penunjang :

a. Laboratorium

Hemoglobin

Ht

Eritrosit

Leukosit

:

:

:

:

12,7 gr %

35 vol %

3,69/juta

8000/mm3

BT

CT

Trombosit

:

:

:

3’

4’30”

172.000/mm

b. Foto x-ray

Foto x-ray humerus

Kesan : Tampak soft tissue swelling. Tampak fraktur humerus 1/3 medial

Foto x-ray radius-ulna dextra

Kesan : tampak fraktur pada distal radius

4. Diagnosis Pra Bedah : closed fracture complete 1/3 medial humerus dextra

dan closed fracture colles dextra

5. Status fisik ASA : 1 (Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun

sistemik selain penyakit yang akan dioperasi).

C. RENCANA ANESTESI

1. Persiapan Operasi

- Informed consent

- Persetujuan operasi tertulis (+)

- Puasa 6 jam

2. Jenis pembedahan : open reduction and internal fixation + reposisi tertutup

3. Jenis Anestesi : Anestesi umum

4. Teknik Anestesi : GA intubasi, ET no. 7

5. Obat-obatan : sulfas atropine 0,25 mg, midazolam 5 mg, fentanyl 100

µg, propofol 150 mg, atracurium besilat 30 mg, asam

traneksamat, tramadol 50 mg, ketorolac 30 mg,

ondansetron 8 mg

6. Maintenance : O2 2 lpm, N20 2 lpm, isoflurance 1,5 vol %

7. Monitoring : tanda-tanda vital, kedalaman anestesi dan perdarahan

8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

D. TATALAKSANA ANESTESI

1. Di ruang persiapan

- Pasien masuk ke ruang persiapan operasi

- Pemeriksaan kembali : identitas pasien, persetujuan operasi, lama puasa 6

jam.

- Pastikan pasien telah terpasang infus dan lancar.

- Persiapkan peralatan dan obat-obatan anestesi.

2. Di ruang operasi

- Pasien masuk ke ruang operasi, manset dan indikator saturasi oksigen

dipasang serta monitor menyala.

- Dilakukan premedikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 µg

secara IV.

- Dilakukan induksi dengan propofol 150 mg IV, segera kepala

diekstensikan, facemask didekatkan pada hidung dengan O2 4 lpm.

Setelah refleks bulu mata menghilang, atracurium besilat 30 mg

diinjeksikan secara IV. Dilakukan pemompaan ambu hingga saturasi

100%. Setelah otot-otot pasien relaksasi, dilakukan intubasi dengan

endotrakeal tube no. 7. Setelah terpasang dengan baik dihubungkan

dengan mesin anestesi untuk mengalirkan O2 2 lpm, N2O 2 lpm dan

isoflurance 1,5 vol %. Nafas dikendalikan dengan pemompaan manual.

- Setelah anestesi berjalan dengan baik, operasi dimulai.

- Tanda-tanda vital terus dimonitor sampai operasi selesai dan pasien

dipindahkan ke ruang pemulihan sebelum dibawa kembali ke bangsal.

Monitoring Selama Anestesi

Jam Tensi Nadi Sa02

15.10 120/78 90 100%

15.15 135/68 95 100%

15.20 130/75 96 100%

15.25 130/75 96 100%

15.30 145/78 96 100%

15.35 150/80 96 100%

15.40 160/80 96 100%

15.45 165/75 96 100%

15.50 170/68 96 100%

15.55 168/64 96 100%

16.00 158/64 96 100%

16.05 145/64 96 100%

16.10 150/65 96 100%

16.15 145/65 96 100%

16.20 120/55 96 100%

16.25 130/55 96 100%

16.30 148/55 85 100%

16.35 150/59 85 100%

16.40 130/58 84 100%

16.45 135/64 85 100%

16.50 135/65 85 100%

16.55 130/65 85 100%

17.00 135/65 96 100%

17.05 135/68 96 100%

17.10 135/69 96 100%

17.15 135/70 96 100%

17.20 135/70 96

17.25 135/68 96

17.30 145/65 96

17.35 145/70 96

17.40 125/64 96

17.45 136/69 96

17.50 132/69 96

17.55 118/60 96

18.00 130/70 96

3. Instruksi Pasca Anestesi

a. Diet oral

b. Infus RL + (ketorolac 30 mg, ondansetron 8 mg, tramadol 50 mg)

c. Obat injeksi : cefoperazone 2x1 gram, kalnex 2x500 mg, ranitidine

3x50 mg

d. Obat oral : hibone forte 2x1

e. Foto control

BAB IV

PEMBAHASAN

Operasi dilakukan pada pasien Tn. B yang berusia 27 tahun. Sebelum

pembedahan, dilakukan anestesi untuk menghilangkan rasa sakit pasien selama

proses operasi. Anestesi dilakukan mulai dari pemeriksaan pre anestesi hingga

penatalaksanaan pasien pasca operasi.

Pada kasus ini, pasien datang karena mengalami patah tulang pada tangan

kanan karena kecelakaan lalu lintas 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.

Setelah dilakukan pemerksaan radiologi, pasien didiagnosis mengalami fraktur

humerus tertutup pada bagian 1/3 medial (closed fracture 1/3 medial humerus

dextra) dan fraktur tertutup pada radius bagian distal (closed fracture colles dextra).

Prosedur anestesi memerlukan persiapan yang baik, terutama persiapan pasien,

karena itu harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

yang diperlukan.

Berdasarkan anamnesis, pasien menyangkal adanya riwayat penyakit sistemik

seperti diabetes mellitus, hipertensi, asma atau sesak napas serta penyakit jantung.

Penilaian riwayat penyakit penting untuk mengetahui pemilihan obat apa yang tepat

serta mempertimbangkan pemilihan teknik anestesi untuk mengurangi kemungkinan

terburuk, baik selama operasi maupun pasca operasi.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hasil dalam batas normal pada breath,

blood, brain, bladder, dan bowel, sedangkan pada bone didapakan adanya fraktur

sesuai yang dikeluhkan pasien saat ini. Penilaian ini dilakukan sebelum operasi dan

dikenal dengan pra anestesi. Klasifikasi status fisik menuru ASA (American Sociey

Anesthesiology) adalah sebagai berikut:

a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faal,

biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

b. ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai

akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian

terbatas. Angka mortalitas 38%.

d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak

selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap.

Angka mortalitas 68%.

e. ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak

ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan

operasi. Angka mortalitas 98%.

Berdasarkan klasifikasi tersebut, status fisik pasien ini adalah ASA I, artinya

pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang akan

dioperasi.

Pada pasien ini dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi

endotrakeal napas kendali. Keuntungan tindakan ini antara lain: jalan napas yang

aman dan dapat dikendalikan karena terpasang ETT.

Untuk mencapai trias anestesi yaitu analgesia, hypnosis dan relaksasi otot

maka setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL (ringer Laktat) sebagai

loading mulai dimasukkanlah obat-obat premedikasi, midazolam 5 mg bertujuan

untuk memberikan efek sedasi dan amnesia retrograde, fentanyl 100 mcg sebagai

analgetik opioid, sulfas atropine 0,25 mg untuk mengurangi sekresi saliva, propofol

150 mg sebagai obat induksi anestesia, muscle relaksan dengan golongan non-

depolarisasi jenis intermediete acting yaitu atrakurium besilat dosis 30 mg. Sebagai

obat anestesi inhalasi diberikan isofluran 1,5 vol % dengan tambahan O2 2 lpm dan

N2O 2 lpm. Selama operasi juga diberikan obat-obatan seperti asam traneksamat 1

ampul untuk mengurangi pendarahan.

Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang perawatan. Tatalaksana

pasien post operasi meliputi pemberian obat-obatan analgesik, antiemetik, antibiotik,

obat oral hi-bone sebagai suplemen untuk memelihara kesehatan tulang, dan terapi

cairan.

a. Defisit cairan karena puasa 6 jam adalah = 2 x 75 x 6 = 900 cc

b. Kebutuhan cairan selama operasi sedang selama 2,6 jam =

(kebutuhan dasar selama operasi/maintenan + kebutuhan stress operasi

sedang) =

(2 ml x 75 x 2,6) + (6 ml x 58 x 2,6) = 390 + 904,8 = 1.294,81.295 ml

c. Perdarahan yang terjadi kira-kira 300 ml

EBV = 70 ml x 75 = 5.250 ml

Darah yang hilang = 300/5.250 x 100% = 5,7 % EBV (< 10%)

Bila perdarahan 10% dari EBV maka dapat diberikan kristaloid subsitusi

dengan perbandingan 1 : 2-4 ml cairan kristaloid. Jadi pada pasien ini :

= 1 : 2-4 ml

= 300 : 600 ml – 1200 ml kristaloid.

Jadi perdarahan saat operasi yang keluar sekitar 300 ml dapat diganti dengan

kristaloid sebesar 600 ml – 1200 ml.

d. Kebutuhan cairan total = 900 + 1.295 + (600-1200) = 2.795 ml – 3.395 ml.

e. Cairan yang sudah diberikan

- Pra anestesi = 500 ml

- Saat operasi = 1000 ml

f. Total cairan yang masuk = 1500 ml

Jadi kekurangan cairan sebesar 1.295 ml sampai 1.895 ml (kebutuhan cairan total

dikurangi total cairan yang masuk) maka penambahan cairan masih diperlukan

saat pasien dibangsal ditambah kebutuhan cairan per hari selama 24 jam.