Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2
-
Upload
ds-putri-nastiti -
Category
Documents
-
view
557 -
download
11
description
Transcript of Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Etiologi
Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit inflamasi superfisial kronis
yang mengalami remisi dan eksaserbasi dengan area seboroik sebagai area
predileksi. Area seboroik adalah bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar
sebasea yaitu kulit kepala, telinga bagian luar, saluran telinga, badan bagian atas
(presternum, interskapula, areolla mammae) dan daerah lipatan ( ketiak, lipatan di
bawah mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital, dan lipatan pantat)
(Pohan, 2005).
Dermatitis seboroik memiliki karakterisitk efloresensi berupa eritema
yang ditutupi dengan skuama berminyak, predileksi pada area tubuh yang banyak
mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, wajah, dada, punggung, dan
area lipatan-lipatan (Valia, 2006). Berdasarkan penelitian pada 1.116 anak,
dermatitis seboroik terjadi pada 10% anak laki-laki dan 9,5% pada anak
perempuan, dengan prevalensi tertinggi pada usia 0-3 bulan (Schwartz, 2006).
Dermatitis seboroik merupakan penyakit dermatosis papuloskuamus
dengan karakteristik khas untuk penegakan diagnosisnya. Penyakit ini dapat
dialami pasien dari berbagai usia mulai dari neonatus hingga dewasa yang
diakibatkan oleh peningkatan produksi sebum (seborrhea). Kulit yang terkena
akan tampak kemerahan, edematous, serta ditutupi dengan skuama dan krusta
kuning kecoklatan. Terdapat beberapa variasi klinis dari dermatitis seboroik mulai 3
4
dari ringan sampai berat, termasuk bentuk-bentuk psoriasiform, pitiriasiform, dan
eritroderma. Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi kulit yang banyak
ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV. Sehingga, penyakit ini termasuk
dalam spektrum lesi premonitory dan harus dievaluasi dengan cermat pada pasien
risiko tinggi. Walaupun banyak teori telah dikemukakan, penyebab pasti dari
dermatitis seboroik masih belum diketahui dengan jelas (Wolff et al, 2008).
Dermatitis seboroik bukan merupakan penyakit yang disebabkan oleh
gangguan kelenjar sebasea. Banyak pasien dewasa normal dengan kulit yang
tampak berminyak tetapi tidak mengalami dermatitis seboroik. Lebih lanjut, dari
penelitian diketahui bahwa laju sekresi sebum pada pasien dermatitis seboroik
masih pada rentang normal (Valia, 2006).
Beberapa faktor seperti hormon, infeksi jamur, defisit nutrisional,
dikaitkan dengan timbulnya dermatitis seboroik. Keterkaitan hormonal ini dpat
menjelaskan alasan mengapa kondisi ini dapat hilang dengan spontan jika terjadi
pada bayi, kemudian muncul lagi pada usia puber. Hubungan kausatif yang lebih
kuat tampak pada proliferasi spesies Malassezia ( e.g Malassezia furfur dan
Malassezia ovalis). Hubungan kausatif ini dikemukakan karena adanya respon
terhadap agen terapi antijamur dan ditemukannya Malassezia pada lesi pasien
dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik juga mungkin terkait dengan defisiensi
nutrisi, tetapi mekanismenya masih belum diketahui (Schwartz, 2006).
Perubahan pola asam lemak esensial merupakan patogenesis penting
dalam dermatitis seboroik infantil. Penelitian terhadapa pola asam lemak esensial
serum pada 30 anak dengan dermatitis seboroik menunjukkan adanya gangguan
5
transien fungsi enzim delta-6 desaturase. Teori neurogenik dapat menjelaskan
hubungan antara dermatitis seboroik dengan parkinsonisme dan gangguan
neurologis lainnya termasuk post CVA, epilepsy, trauma sistem saraf pusat,
kelumpuhan nervus fasialis, dan siringomielia yang diinduksi oleh obat
neuroleptic dengan efek ekstrapiramidal (Schwartz, 2006).
Terdapat peningkatan hifa dari genus Malassezia pada skuama epidermis
penderita dermatitis seboroik. Walaupun sebelumnya telah dikemukakan bahwa
hal ini merupakan akibat sekunder dari adanya skuama yang memberikan habitat
menguntungkan bagi pertumbuhan Malassezia, disetujui pula bahwa adanya hifa
dapat menyebabkan munculnya kondisi ini. Mekanisme induksi inflamasi dan
deskuamasi oleh Malassezia spp. masih belum diketahui dengan pasti (Jones,
2010).
Schuster mengemukakan bahwa organisme Malassezia furfur atau bentuk
hifanya yaitu Pityrosporum ovale merupakan etiologi dermatitis seboroik. Jumlah
organisme ini diketahui meningkat pada pasien dermatitis seboroik dan dapat
diketahui dengan pasti dari kultur lesi. Hasil penelitian eksperimental
menunjukkan bahwa infeksi Malassezia furfur mengakibatkan timbulnya
dermatitis seboroik (Valia, 2006).
2.2 Faktor Predisposisi dan Pencetus
Dermatitis seboroik lebih banyak dijumpai dan bermanifestasi lebih berat
pada pasien dengan infeksi HIV, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 di
bawah 400 sel per millimeter, dan dapat berkurang dengan terapi antiretroviral
aktif. Dermatitis seboroik dilaporkan terkait dengan beberapa kondisi seperti
6
neuroleptic-induced parkinsonism, amyloidosis familial dengan polineuropati, dan
trisomy 21, tetapi meknisme keterkaitannya masih belum diketahui. Kondisi ini
juga dapat dipicu oleh adanya stres emosional. Pasien dermatitis seboroik juga
banyak datang dengan keluhan kondisi yang semakin memberat karena paparan
cahaya matahari (Naldi, 2009).
Kelenjar sebasea lebih aktif saat lahir, tetapi dengan berkurangnya
stimulasi dari androgen maternal, kelenjar ini inaktif selama 9-12 tahun. Hal ini
terkait dengan insidensi dermatitis seboroik yang signifikan pada usia tertentu.
Kondisi ini disebut dermatitis seboroik infantile yang normal terjadi pada bulan-
bulan pertama setelah lahir. Tetapi etiologi karena aktivitas kelenjar sebasea ini
tidak dapat menjelaskan terjadinya dermatitis seboroik pada usia pubertas dan
dewasa. (Jones, 2010). Beberapa penelitian mengemukakan adanya keterkaitan
hormonal yang dibuktikan dengan dermatitis seboroik infantil yang dapat sembuh
spontan dan muncul kembali pada usia pubertas (Schwartz, 2006). Adanya sedikit
perbedaan prevalensi antara laki-laki dan perempuan (10% pada laki-laki, 9.5%
pada perempuan) memberikan gambaran kemungkinan adanya keterkaitan
androgen dalam patogenesis dermatitis seboroik (World Health Organization,
1997).
Kematangan kelenjar sebasea merupakan faktor permisif bagi
berkembangnya dermatitis seboroik, peran seborrhea sendiri dalam patogenesis
penyakit ini masih diperdebatkan (Jones, 2010). Seborrhea adalah kulit yang
tampak berminyak (seborrhea oleosa), karena peningkatan produksi sebum (tidak
selalu dapat ditemukan pada pasien). Walaupun seborrhea merupakan faktor
7
predisposisi, tetapi dermatitis seboroik tidak termasuk dalam penyakit kelenjar
sebasea (Wolff, 2008).
Banyak insidensi dermatitis seboroik didapatkan dari kelompok pasien
dengan AIDS, dan pasien dengan peningkatan seropositive HIV yang belum
menampakkan gejala klinis AIDS. Diabetes Mellitus terutama pada individu
obesitas, sprue, gangguan alabsorbsi, epilepsy, mendapatkan terapi neuroleptic
seperti haloperidol, dan reaksi terhadap arsenic dan emas biasanya memiliki gejala
klinis erupsi berbentuk seperti dermatitis seboroik (James, 2002). Secara
histologis, perbedaan antara dermatitis seboroik primer dengan yang disertai
underlying disease AIDS dapat dilihat dalam tabel berikut :
Sumber : Wolff, 2008.
2.3 Epidemiologi
Dermatitis seboroik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling
sering ditemukan walaupun perkiraan prevalensinya terbatas oleh kurangnya
8
validasi kriteria untuk diagnosis atau grading. Secara global, prevalensi dermatitis
seboroik adalah 3-5%. Dandruff atau ketombe yang merupakan bentuk paling
ringannya lebih umum dijumpai dengan estimasi prevalensi 15-20% populasi
dunia (Selden, 2013).
Bentuk infantil sangat banyak ditemukan, yang biasanya mengenai kulit
kepala (cradle cap), wajah, dan area diaper. Kondisi ini dialami oleh 70% bayi
usia 0-3 bulan dan biasanya sembuh dengan spontan sebelum usia 1 tahun. Survei
oleh National Health and Nutrition Examination, yang mengikutsertakan sampel
dengan rentang usia 1-74 tahun di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa
prevalensi dermatitis seboroik adalah 11.6% secara keseluruhan dan 2.8% (3.0%
laki-laki, 2.6% perempuan) pada kelompok yang signifikan secara klinis.
Prevalensi signifikan secara klinis pada dermatitis seboroik berada pada tingkat
paling rendah pada kelompok usia < 12 tahun (<1%) dan tertinggi pada kelompok
35-44 tahun (4.1%) (Naldi, 2009).
Penelitian lain menunjukkan bahwa dermatitis seboroik ditemukan pada
10% anak laki-laki dan 9.5% anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada usia 0-3
bulan kemudian menurun dengan drastis pada usia 1 tahun dan sedikit meningkat
pada empat tahun berikutnya. Mayoritas pasien (72%) mengalami dermatitis
seboroik skala ringan sampai sedang. Prevalensi menunjukkan perkiraan
peningkatan lebih tinggi secara konsisten pada usia lanjut dibandingkan dengan
populasi umum (Schwartz, 2006).
2.4 Patofisiologi
9
Dermatitis seboroik terkait dengan level normal Malassezia dengan
respon imun abnormal. Pada pasien, ditemukan adanya penurunan Sel T helper,
phytohemagglutinin, dan stimulasi konkanavalin serta titer antibodi dibandingkan
dengan subjek kontrol. Kontribusi spesies Malassezia pada timbulnya dermatitis
seboroik mungkin disebabkan oleh aktivitas lipase (pelepasan asam lemak bebas
inflamatori) dan kemampuannya untuk mengaktivasi jalur komplemen alternatif
(Selden, 2013).
Etiologi dermatitis seboroik memang sangat kompleks, tetapi banyak
peneliti yang menyebutkan adanya keterkaitan kuat dengan hifa lipofilik
Pityrosporum ovale. Densitas hifa menentukan tingkat berat aau ringannya
penyakit, dan penurunan jumlah hifa biasnaya terjadi sebagai respon terhadap
terapi. Sehingga adanya hifa tersebut mungkin merupakan faktor patogenik pada
individu yang memiliki faktor predisposisi. Pasien dengan dermatitis seboroik
menunjukkan adanya peningkatan regulasi interferon γ, ekspresi interleukin 6,
iterleukin 1-α, dan interleuikin 4. Selain itu, juga ditemukan peningkatan ekspresi
ligand sitotoksik aktif dan perekrutan NK sel (James, 2002).
Dalam penelitian lain oleh Antonella, disebutkan bahwa patofisiologi
dermatitis seboroik dalam gambar berikut ini :
10
Gambar 2.1 Patofisiologi Dermatitis Seboroik
Sumber : Antonella, 2012
2.4.1 Seborrhea
Seborea adalah kulit yang tampak berminyak (seborrhea oleosa),
walaupun penignkatan produksi sebum tidak selalu dapat terdeteksi pada pasien.
Seborea merupakan faktor predisposisi, tetapi dermatitis seboroik bukan
merupakan penyakit gangguan kelenjar sebasea. Insidensi tinggi dermatitis
seboroik pada bayi terkait dengan ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada usia
tersebut. Diketahui bahwa bayi baru lahir memiliki kelenjar sebasea yang luas
11
dengan sekresi sebum yang tinggi. Lokasi predileksi (wajah, telinga, kulit kepala,
dan bagian atas pundak) adalah area-area yang kaya folikel-folikel sebasea. Pada
pasien dermatitis seboroik, sering didapatkan kelenjar sebasea yang lebih luas
pada specimen histologis. Penelitian menunjukkan bahwa lemak permukaan kulit
tidak meningkat tetapi komposisi lipid secara khusus memiliki karakteristik
peningkatan proporsi kolesterol, trigliserida, dan paraffin, serta penurunan
squalane, asam lemak bebas, dan wax ester (Wollf, 2008).
2.4.2 Pengaruh Mikrobial
Pada dermatitis seboroik infantil, Candida albicans sering ditemukan
pada lesi kulit dan specimen feses. Walaupun uji intrakutan, antibodi agglutinasi
positif, dan transformasi limfosit positif pada bayi dengan dermatitis seboroik
membuktikan adanya sensitisasi Candida albicans, hal tersebut tidak dapat
menerangkan patogenesis penyakit ini (Wollf, 2008).
Schuster mengemukakan bahwa organisme Malassezia furfur atau bentuk
hifanya yaitu Pityrosporum ovale merupakan etiologi dermatitis seboroik. Jumlah
organisme ini diketahui meningkat pada pasien dermatitis seboroik dan dapat
diketahui dengan pasti dari kultur lesi. Hasil penelitian eksperimental
menunjukkan bahwa infeksi Malassezia furfur mengakibatkan timbulnya
dermatitis seboroik. Malassezia furfur mengakibatkan respon inflamasi dengan
menginduksi produksi sitokin oleh keratinosit atau dengan keterlibatan sel
Langerhans dan aktivasi T-limfosit (Valia, 2006).
12
2.4.3 Faktor Inflamasi
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya inflamasi adalah
aktivitas lipase dari P.Ovale yang dapat menyebabkan lepasnya asam lemak bebas
dari jaringan lemak kulit. Walaupun abnormalitas kualitatif dalam komposisi
sebum tidak terlihat pada dermatitis seboroik, abnormalitas ringan pada
permukaan lipid dapat diakibatkan oleh keratinisasi inefektif yang dapat terlihat
secara histologis. Pada bayi dengan dermatitis seboroik, tampak adanya
peningkatan kadar asam lemak esensial yang tidak terjadi pada anak normal.
Abnormalitas tersebut dapat berubah menjadi normal pada tahap remisi spontan.
Hal ini menguatkan teori mengenai gangguan fungsi enzim delta-6 saturase
transien. Studi lain menunjukkan bahwa pasien dermatitis seboroik memiliki
kadar asam lemak bebas rendah dan peningkatan kadar trigliserida (Valia, 2006).
2.4.4 Disfungsi Imun
Terdapat kemungkinan adanya defek respon imun seluler terhadap
P.Ovale pada pasien dermatitis seboroik, walaupun bukti-bukti pendukungnya
masih belum lengkap, Meskipun hubungan antara dermatitis seboroik dan hifa
Malassezia masih belum dipahami dengan jelas, tetapi hal ini mendukung postulat
bahwa kolonisasi P.ovale yang kuat pada pasien diakibatkan oleh adanya
perubahan sistem imun seluler, sehingga perkembangan dermatitis seboroik
tergantung pada reaksi sistem imun pasien terhadap antigen dari P.ovale (Valia,
2006).
13
2.4.5 Gangguan Nutrisi
Pada dermatitis seboroik infantil, terkait dengan adanya defisiensi biotin
baik yang disebabkan oleh gangguan metabolisme asam lemak bebas maupun
akibat sekunder dari defisiensi holokarboksilase atai biotinidase (Wollf, 2008).
2.5 Gejala Klinis
Pada bayi, gejala dermatitis seboroik khas dengan adanya lesi pada
kepala yang disebut cradle cap, dengan krusta tebal, pecah-pecah dan berminyak
tanpa ada dasar kemerahan dan tidak gatal. Pada lokasi lain, tampak kemerahan
atau merah kekuningan yang tertutup dengan skuama berminyak serta tidak gatal.
Sementara pada dewasa, dermatitis seboroik muncul dengan keluhan gatal. Pada
area seboroik pasien dewasa, tampak macula, folikular atau perifolikular atau
papula kemerahan dan kekuningan dengan derajat ringan sampai berat, inflamasi,
skuama, dan krusta tipis sampai tebal yang kering, basah, atau berminyak (Pohan,
2005).
Terdapat beberapa varian klinis dermatitis seboroik, dapat dilihat pada
tabel berikut :
14
Gambar 2.2 Varian Klinis Dermatitis Seboroik
Sumber : Naldi, 2009
Prevalensi tertinggi dermatitis seboroik memang tampak pada bayi (usia
0-3 bulan) dengan gejala klinis yang sangat khas (crusta lactea, milk crust, atau
cradle cap). Pada bayi, sering didapatkan krusta yang tampak seperti sisik dengan
akumulasi debris epitel yang melekat (James, 2002).
15
Jarang terjadi kerontokan rambut dan inflamasi. Selama perjalanan
penyakit, kulit bayi akan semakin tampak kemerahan, dan area yang berskuama
tampak sangat jelas dibatasi oleh macula eritematosa berbatas jelas yang ditutupi
dengan skuama berminyak. Area lipatan retroaurikular biasanya terkena yang
dapat berkembang dengan komplikasi berupa otitis eksterna. Dengan pakaian
yang lembap dan pemakain popok pada bayi, akan semakin menyediakan
lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri. Area-area yang
banyak terkena karena lembap adalah leher, axila, anogenital, dan selakangan.
Banyak dijumpai kasus dengan infeksi oportunistik C. albicans, S.Aureus, dan
bakteri lainnya (Wollf, 2008).
Leiner’s syndrome adalah bentuk klinis dermatitis seboroik infantil berat
dengan eritematosa dan lesi kulit eksematus ekstensif. Penyakit ini disebabkan
oleh defisiensi komponen komplemen 5 (C5). Sindrom ini disertai dengan
manifestasi klinis seperti diare dan penurunan berat badan (Schwartz, 2006).
Keadaan umum pasien tampak sangat sakit, disertai anemia, diare, dan vomitin.
Biasanya juga ditemukan infeksi bakterial sekunder. Terdapat dua bentuk dari
Leiner’s syndrome, yaitu familial dan non familial. Bentuk nonfamilial
disebabkan oleh defisiensi C5 yang mengakibatkan opsonisasi defektif. Pasien
dengan Leiner syndrome umumnya memberikan respon baik terhadap antibiotik
dan infus fresh frozen plasma atau whole blood. Etiologi dan patofisiologi
penyakit ini masih belum diketahui (Wollf, 2008).
Pada pasien dewasa, dandruff (pityriasis sicca) adalah bentuk ringan dari
dermatitis seboroik. Pitiriasis steatoides adalah bentuk lain dari dermatitis
16
seboroik yang khas dengan lesi berminyak, disertai dengan eritema dan akumulasi
krusta tebal. Bentuk lain dari dermatitis seboroik pada kulit kepala meliputi
macula arcuata, polisiklik, atau berkrusta, dan psoriasiform, serta plak berkrusta
atau eksudatif. Lesi biasanya tersebar di antara rambut-rambut kulit kepala,
telinga, region post-aurikular, dan leher. Pada area-area tersebut akan ditemukan
macula dengan tepi konveks berwarna kuning kemerahan. Pada individu berkulit
hitam, lesi arcuata dan petealoid biasanya ditemukan di kulit kepala. Pada kasus
yang berat, biasanya ditemukan lesi di seluruh kulit kepala dengan krusta yang
tampak kotor dan bau tidak enak (James, 2002).
2.6 Diagnosis Banding dan Penegakan Diagnosis
Diagnosis banding yang paling mendekati untuk dermatitis seboroik
infantile adalah dermatitis atopi. Karakteristik yang paling penting untuk
membedakan antara dermatitis seboroik dan dermatitis atopik adalah dengan
melihat lokasi terbanyak ditemukannya lesi. Lesi banyak ditemukan di lengan atas
dan tungkai adalah khas pada dermatitis atopi sementara lesi ditemukan
meningkat di axilla pada dermatitis seboroik. Lesi yang hanya muncul hanya pada
area diaper lebih condong pada dermatitis seboroik infantile. Pemeriksaan
radioallergosorbent dan kadar immunoglobulin E total berguna untuk
membedakan antara dermatitis atopi pada fase awal dan dermatitis seboroik
infantil. Gejala klinis berupa gatal ringan bahkan tidak ada, menunjukkan
kecenderungan pada dermatitis seboroik. Tetapi, ada beberapa peneliti yang
meyakini bahwa dermatitis seboroik bukan merupakan entitas tersendiri tetapi
17
suatu varian klinis dari dermatitis atopi. Dengan tidak mengesampingkan
kemungkinan scabies, psoriasis, dan histiosis sel Langerhans (Wollf, 2008).
Gambar 2.3 Dermatitis Atopi Infantil
Gambar 2.4 Histiositosis Langerhans
18
Gambar 2.5 Psoriasis pada bayi
Sementara, diagnosis banding untuk dermatitis seboroik pada orang
dewasa adalah pityriasis kapitis, psoriasis vulgaris, dermatitis kontak, rosasea,
kandidiasis intertrigo, eritrasma, tinea kruris, dermatitis kontak alergi, dan erupsi
obat (Pohan, 2005). Berdasarkan predileksi spesifiknya, dapat dilihat dalam tabel
berikut :
19
Sumber : Wolff, 2008
Gambar 2.5 Pitiriasis Kapitis
Gambar 2.6 Psoriasis vulgaris
Gambar 2.6 Pityriasis Rosea
20
Diagnosis terutama ditegakkan dengan adanya gejala klinis yang khas.
Bila meragukan, dilakukan pemeriksaan penunjang seperti:
histopatologis gambaran dermatitis kronis dan spongiosis jelas
KOH 10-20% tampak spora/ blastokonidia, tidak ada hifa
Wood’s lamp fluoresensi negatif
(Pohan, 2005)
Secara histologis, pada epidermis tampak akantosis regular dengan
beberapa penipisan pada suprapapila.Didapatkan berbagai derajat spongiosisdan
eksositosis limfosit. Gambaran karakteristik khas yaitu adanya krusta bersisik
fokal yang menempel pada ostia folikuler (James, 2002). Dapat dilihat pada
gambar berikut ini :
21
Sumber : Antonella, 2012
Tabel perbedaan dermatitis seboroik dengan penyakit lainnya, dapat
dilihat sebagai berikut :
Tabel 2.1 Diagnosis Banding Dermatitis Seboroik dan Perbedaan Gejala
Klinisnya
22
Sumber : Schwartz, 2006
2.7 Terapi
23
Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari American Association of
Family Physician adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Terapi Dermatitis Seboroik rekomendasi AAFP
Sumber : Schwartz, 2006
Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari Fitzpatric’s Dermatology
adalah sebagai berikut :
24
PADA BAYI (INFANTIL DS) DEWASA
Pembersihan krusta dengan Asam
Salisilat 3% dalam olive oil atau larutan
water soluble; kompres dengan olive oil
hangat; pemberian kortikosteroid
potensi rendah topikal (e.g
hidrokortison) selama beberapa hari;
penggunaan sampo bayi; agen
antijamur; perawatan kulit adekuat
dengan krim kulit khusus untuk bayi.
Antijamur
Metronidazol
Litium
Analog vitamin D
Isotreonin
Fototerapi
Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari Pedoman Diagnosis dan
Terapi RSU dr. Soetomo adalah preparat antifungi dan antiinflamasi. Sementara
pada bayi, untuk skuama pada kepala dapat diberikan kompres dengan minyak
mineral hangat 8-12 jam, dan dilanjutkan dengan sampo bayi. Untuk skuama yang
tebal dan difus, dapat dikombinasi dengan coal tar dan keratolitik, losion
kortikosteroid 1-3 kali sehari dan salep acidum salysilicum 5%. Untuk orang
dewasa dengan gejala klinis khas berupa keluhan gatal, terapi pada wajah dapat
diberikan krem ketokonazol 2% dioleskan 1-2 kali sehari untuk menekan eritema
dan gatal. Terapi pada badan dapat diberikan zinc atau coal tar dalam shampoo
atau mandi dengan sabun zinc. DS berat pada dewasa : Tablet kortikosteroid dan
tablet ketokonazol 200 mg 1x1 selama 3 minggu.
25
Rekomendasi terapi menurut WHO adalah penggunaan sampo keratolitik
untuk mengurangi inflamasi dan krusta. Terdapat berbagai jenis sediaan suspensi
berbahan dasar deterjen atau sampo yang mengandung bahan aktif seperti asam
salisilat, coal tar, pyrithione zinc, dan selenium sulfide. Cara penggunaan yang
benar untuk mencpai hasil maksimal adalah dengan mengusapkan sampo di
seluruh bagian kulit kepala kemudian dibiarkan 2-3 menit sebelum dibilas.
Preparat yang mengandung kombinasi sulfur dan asam salisilat dapat digunakan
di area-area lain yang terkena termasuk kulit kepala. Pemberian kortikosteroid
topikal, gentian violet, dan golongan azole seperti kerokonazol dilaporkan efektif
untuk mengurangi keluhan. Tetapi penggunaan ketokonazol kontraindikasi untuk
anak berusia di bawah 2 tahun (World Health Organization, 1997).