Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

33
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Etiologi Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit inflamasi superfisial kronis yang mengalami remisi dan eksaserbasi dengan area seboroik sebagai area predileksi. Area seboroik adalah bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar sebasea yaitu kulit kepala, telinga bagian luar, saluran telinga, badan bagian atas (presternum, interskapula, areolla mammae) dan daerah lipatan ( ketiak, lipatan di bawah mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital, dan lipatan pantat) (Pohan, 2005). Dermatitis seboroik memiliki karakterisitk efloresensi berupa eritema yang ditutupi dengan skuama berminyak, predileksi pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, wajah, dada, punggung, dan area lipatan-lipatan (Valia, 3

description

laporan kasus

Transcript of Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

Page 1: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi

Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit inflamasi superfisial kronis

yang mengalami remisi dan eksaserbasi dengan area seboroik sebagai area

predileksi. Area seboroik adalah bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar

sebasea yaitu kulit kepala, telinga bagian luar, saluran telinga, badan bagian atas

(presternum, interskapula, areolla mammae) dan daerah lipatan ( ketiak, lipatan di

bawah mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital, dan lipatan pantat)

(Pohan, 2005).

Dermatitis seboroik memiliki karakterisitk efloresensi berupa eritema

yang ditutupi dengan skuama berminyak, predileksi pada area tubuh yang banyak

mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, wajah, dada, punggung, dan

area lipatan-lipatan (Valia, 2006). Berdasarkan penelitian pada 1.116 anak,

dermatitis seboroik terjadi pada 10% anak laki-laki dan 9,5% pada anak

perempuan, dengan prevalensi tertinggi pada usia 0-3 bulan (Schwartz, 2006).

Dermatitis seboroik merupakan penyakit dermatosis papuloskuamus

dengan karakteristik khas untuk penegakan diagnosisnya. Penyakit ini dapat

dialami pasien dari berbagai usia mulai dari neonatus hingga dewasa yang

diakibatkan oleh peningkatan produksi sebum (seborrhea). Kulit yang terkena

akan tampak kemerahan, edematous, serta ditutupi dengan skuama dan krusta

kuning kecoklatan. Terdapat beberapa variasi klinis dari dermatitis seboroik mulai 3

Page 2: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

4

dari ringan sampai berat, termasuk bentuk-bentuk psoriasiform, pitiriasiform, dan

eritroderma. Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi kulit yang banyak

ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV. Sehingga, penyakit ini termasuk

dalam spektrum lesi premonitory dan harus dievaluasi dengan cermat pada pasien

risiko tinggi. Walaupun banyak teori telah dikemukakan, penyebab pasti dari

dermatitis seboroik masih belum diketahui dengan jelas (Wolff et al, 2008).

Dermatitis seboroik bukan merupakan penyakit yang disebabkan oleh

gangguan kelenjar sebasea. Banyak pasien dewasa normal dengan kulit yang

tampak berminyak tetapi tidak mengalami dermatitis seboroik. Lebih lanjut, dari

penelitian diketahui bahwa laju sekresi sebum pada pasien dermatitis seboroik

masih pada rentang normal (Valia, 2006).

Beberapa faktor seperti hormon, infeksi jamur, defisit nutrisional,

dikaitkan dengan timbulnya dermatitis seboroik. Keterkaitan hormonal ini dpat

menjelaskan alasan mengapa kondisi ini dapat hilang dengan spontan jika terjadi

pada bayi, kemudian muncul lagi pada usia puber. Hubungan kausatif yang lebih

kuat tampak pada proliferasi spesies Malassezia ( e.g Malassezia furfur dan

Malassezia ovalis). Hubungan kausatif ini dikemukakan karena adanya respon

terhadap agen terapi antijamur dan ditemukannya Malassezia pada lesi pasien

dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik juga mungkin terkait dengan defisiensi

nutrisi, tetapi mekanismenya masih belum diketahui (Schwartz, 2006).

Perubahan pola asam lemak esensial merupakan patogenesis penting

dalam dermatitis seboroik infantil. Penelitian terhadapa pola asam lemak esensial

serum pada 30 anak dengan dermatitis seboroik menunjukkan adanya gangguan

Page 3: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

5

transien fungsi enzim delta-6 desaturase. Teori neurogenik dapat menjelaskan

hubungan antara dermatitis seboroik dengan parkinsonisme dan gangguan

neurologis lainnya termasuk post CVA, epilepsy, trauma sistem saraf pusat,

kelumpuhan nervus fasialis, dan siringomielia yang diinduksi oleh obat

neuroleptic dengan efek ekstrapiramidal (Schwartz, 2006).

Terdapat peningkatan hifa dari genus Malassezia pada skuama epidermis

penderita dermatitis seboroik. Walaupun sebelumnya telah dikemukakan bahwa

hal ini merupakan akibat sekunder dari adanya skuama yang memberikan habitat

menguntungkan bagi pertumbuhan Malassezia, disetujui pula bahwa adanya hifa

dapat menyebabkan munculnya kondisi ini. Mekanisme induksi inflamasi dan

deskuamasi oleh Malassezia spp. masih belum diketahui dengan pasti (Jones,

2010).

Schuster mengemukakan bahwa organisme Malassezia furfur atau bentuk

hifanya yaitu Pityrosporum ovale merupakan etiologi dermatitis seboroik. Jumlah

organisme ini diketahui meningkat pada pasien dermatitis seboroik dan dapat

diketahui dengan pasti dari kultur lesi. Hasil penelitian eksperimental

menunjukkan bahwa infeksi Malassezia furfur mengakibatkan timbulnya

dermatitis seboroik (Valia, 2006).

2.2 Faktor Predisposisi dan Pencetus

Dermatitis seboroik lebih banyak dijumpai dan bermanifestasi lebih berat

pada pasien dengan infeksi HIV, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 di

bawah 400 sel per millimeter, dan dapat berkurang dengan terapi antiretroviral

aktif. Dermatitis seboroik dilaporkan terkait dengan beberapa kondisi seperti

Page 4: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

6

neuroleptic-induced parkinsonism, amyloidosis familial dengan polineuropati, dan

trisomy 21, tetapi meknisme keterkaitannya masih belum diketahui. Kondisi ini

juga dapat dipicu oleh adanya stres emosional. Pasien dermatitis seboroik juga

banyak datang dengan keluhan kondisi yang semakin memberat karena paparan

cahaya matahari (Naldi, 2009).

Kelenjar sebasea lebih aktif saat lahir, tetapi dengan berkurangnya

stimulasi dari androgen maternal, kelenjar ini inaktif selama 9-12 tahun. Hal ini

terkait dengan insidensi dermatitis seboroik yang signifikan pada usia tertentu.

Kondisi ini disebut dermatitis seboroik infantile yang normal terjadi pada bulan-

bulan pertama setelah lahir. Tetapi etiologi karena aktivitas kelenjar sebasea ini

tidak dapat menjelaskan terjadinya dermatitis seboroik pada usia pubertas dan

dewasa. (Jones, 2010). Beberapa penelitian mengemukakan adanya keterkaitan

hormonal yang dibuktikan dengan dermatitis seboroik infantil yang dapat sembuh

spontan dan muncul kembali pada usia pubertas (Schwartz, 2006). Adanya sedikit

perbedaan prevalensi antara laki-laki dan perempuan (10% pada laki-laki, 9.5%

pada perempuan) memberikan gambaran kemungkinan adanya keterkaitan

androgen dalam patogenesis dermatitis seboroik (World Health Organization,

1997).

Kematangan kelenjar sebasea merupakan faktor permisif bagi

berkembangnya dermatitis seboroik, peran seborrhea sendiri dalam patogenesis

penyakit ini masih diperdebatkan (Jones, 2010). Seborrhea adalah kulit yang

tampak berminyak (seborrhea oleosa), karena peningkatan produksi sebum (tidak

selalu dapat ditemukan pada pasien). Walaupun seborrhea merupakan faktor

Page 5: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

7

predisposisi, tetapi dermatitis seboroik tidak termasuk dalam penyakit kelenjar

sebasea (Wolff, 2008).

Banyak insidensi dermatitis seboroik didapatkan dari kelompok pasien

dengan AIDS, dan pasien dengan peningkatan seropositive HIV yang belum

menampakkan gejala klinis AIDS. Diabetes Mellitus terutama pada individu

obesitas, sprue, gangguan alabsorbsi, epilepsy, mendapatkan terapi neuroleptic

seperti haloperidol, dan reaksi terhadap arsenic dan emas biasanya memiliki gejala

klinis erupsi berbentuk seperti dermatitis seboroik (James, 2002). Secara

histologis, perbedaan antara dermatitis seboroik primer dengan yang disertai

underlying disease AIDS dapat dilihat dalam tabel berikut :

Sumber : Wolff, 2008.

2.3 Epidemiologi

Dermatitis seboroik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling

sering ditemukan walaupun perkiraan prevalensinya terbatas oleh kurangnya

Page 6: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

8

validasi kriteria untuk diagnosis atau grading. Secara global, prevalensi dermatitis

seboroik adalah 3-5%. Dandruff atau ketombe yang merupakan bentuk paling

ringannya lebih umum dijumpai dengan estimasi prevalensi 15-20% populasi

dunia (Selden, 2013).

Bentuk infantil sangat banyak ditemukan, yang biasanya mengenai kulit

kepala (cradle cap), wajah, dan area diaper. Kondisi ini dialami oleh 70% bayi

usia 0-3 bulan dan biasanya sembuh dengan spontan sebelum usia 1 tahun. Survei

oleh National Health and Nutrition Examination, yang mengikutsertakan sampel

dengan rentang usia 1-74 tahun di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa

prevalensi dermatitis seboroik adalah 11.6% secara keseluruhan dan 2.8% (3.0%

laki-laki, 2.6% perempuan) pada kelompok yang signifikan secara klinis.

Prevalensi signifikan secara klinis pada dermatitis seboroik berada pada tingkat

paling rendah pada kelompok usia < 12 tahun (<1%) dan tertinggi pada kelompok

35-44 tahun (4.1%) (Naldi, 2009).

Penelitian lain menunjukkan bahwa dermatitis seboroik ditemukan pada

10% anak laki-laki dan 9.5% anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada usia 0-3

bulan kemudian menurun dengan drastis pada usia 1 tahun dan sedikit meningkat

pada empat tahun berikutnya. Mayoritas pasien (72%) mengalami dermatitis

seboroik skala ringan sampai sedang. Prevalensi menunjukkan perkiraan

peningkatan lebih tinggi secara konsisten pada usia lanjut dibandingkan dengan

populasi umum (Schwartz, 2006).

2.4 Patofisiologi

Page 7: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

9

Dermatitis seboroik terkait dengan level normal Malassezia dengan

respon imun abnormal. Pada pasien, ditemukan adanya penurunan Sel T helper,

phytohemagglutinin, dan stimulasi konkanavalin serta titer antibodi dibandingkan

dengan subjek kontrol. Kontribusi spesies Malassezia pada timbulnya dermatitis

seboroik mungkin disebabkan oleh aktivitas lipase (pelepasan asam lemak bebas

inflamatori) dan kemampuannya untuk mengaktivasi jalur komplemen alternatif

(Selden, 2013).

Etiologi dermatitis seboroik memang sangat kompleks, tetapi banyak

peneliti yang menyebutkan adanya keterkaitan kuat dengan hifa lipofilik

Pityrosporum ovale. Densitas hifa menentukan tingkat berat aau ringannya

penyakit, dan penurunan jumlah hifa biasnaya terjadi sebagai respon terhadap

terapi. Sehingga adanya hifa tersebut mungkin merupakan faktor patogenik pada

individu yang memiliki faktor predisposisi. Pasien dengan dermatitis seboroik

menunjukkan adanya peningkatan regulasi interferon γ, ekspresi interleukin 6,

iterleukin 1-α, dan interleuikin 4. Selain itu, juga ditemukan peningkatan ekspresi

ligand sitotoksik aktif dan perekrutan NK sel (James, 2002).

Dalam penelitian lain oleh Antonella, disebutkan bahwa patofisiologi

dermatitis seboroik dalam gambar berikut ini :

Page 8: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

10

Gambar 2.1 Patofisiologi Dermatitis Seboroik

Sumber : Antonella, 2012

2.4.1 Seborrhea

Seborea adalah kulit yang tampak berminyak (seborrhea oleosa),

walaupun penignkatan produksi sebum tidak selalu dapat terdeteksi pada pasien.

Seborea merupakan faktor predisposisi, tetapi dermatitis seboroik bukan

merupakan penyakit gangguan kelenjar sebasea. Insidensi tinggi dermatitis

seboroik pada bayi terkait dengan ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada usia

tersebut. Diketahui bahwa bayi baru lahir memiliki kelenjar sebasea yang luas

Page 9: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

11

dengan sekresi sebum yang tinggi. Lokasi predileksi (wajah, telinga, kulit kepala,

dan bagian atas pundak) adalah area-area yang kaya folikel-folikel sebasea. Pada

pasien dermatitis seboroik, sering didapatkan kelenjar sebasea yang lebih luas

pada specimen histologis. Penelitian menunjukkan bahwa lemak permukaan kulit

tidak meningkat tetapi komposisi lipid secara khusus memiliki karakteristik

peningkatan proporsi kolesterol, trigliserida, dan paraffin, serta penurunan

squalane, asam lemak bebas, dan wax ester (Wollf, 2008).

2.4.2 Pengaruh Mikrobial

Pada dermatitis seboroik infantil, Candida albicans sering ditemukan

pada lesi kulit dan specimen feses. Walaupun uji intrakutan, antibodi agglutinasi

positif, dan transformasi limfosit positif pada bayi dengan dermatitis seboroik

membuktikan adanya sensitisasi Candida albicans, hal tersebut tidak dapat

menerangkan patogenesis penyakit ini (Wollf, 2008).

Schuster mengemukakan bahwa organisme Malassezia furfur atau bentuk

hifanya yaitu Pityrosporum ovale merupakan etiologi dermatitis seboroik. Jumlah

organisme ini diketahui meningkat pada pasien dermatitis seboroik dan dapat

diketahui dengan pasti dari kultur lesi. Hasil penelitian eksperimental

menunjukkan bahwa infeksi Malassezia furfur mengakibatkan timbulnya

dermatitis seboroik. Malassezia furfur mengakibatkan respon inflamasi dengan

menginduksi produksi sitokin oleh keratinosit atau dengan keterlibatan sel

Langerhans dan aktivasi T-limfosit (Valia, 2006).

Page 10: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

12

2.4.3 Faktor Inflamasi

Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya inflamasi adalah

aktivitas lipase dari P.Ovale yang dapat menyebabkan lepasnya asam lemak bebas

dari jaringan lemak kulit. Walaupun abnormalitas kualitatif dalam komposisi

sebum tidak terlihat pada dermatitis seboroik, abnormalitas ringan pada

permukaan lipid dapat diakibatkan oleh keratinisasi inefektif yang dapat terlihat

secara histologis. Pada bayi dengan dermatitis seboroik, tampak adanya

peningkatan kadar asam lemak esensial yang tidak terjadi pada anak normal.

Abnormalitas tersebut dapat berubah menjadi normal pada tahap remisi spontan.

Hal ini menguatkan teori mengenai gangguan fungsi enzim delta-6 saturase

transien. Studi lain menunjukkan bahwa pasien dermatitis seboroik memiliki

kadar asam lemak bebas rendah dan peningkatan kadar trigliserida (Valia, 2006).

2.4.4 Disfungsi Imun

Terdapat kemungkinan adanya defek respon imun seluler terhadap

P.Ovale pada pasien dermatitis seboroik, walaupun bukti-bukti pendukungnya

masih belum lengkap, Meskipun hubungan antara dermatitis seboroik dan hifa

Malassezia masih belum dipahami dengan jelas, tetapi hal ini mendukung postulat

bahwa kolonisasi P.ovale yang kuat pada pasien diakibatkan oleh adanya

perubahan sistem imun seluler, sehingga perkembangan dermatitis seboroik

tergantung pada reaksi sistem imun pasien terhadap antigen dari P.ovale (Valia,

2006).

Page 11: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

13

2.4.5 Gangguan Nutrisi

Pada dermatitis seboroik infantil, terkait dengan adanya defisiensi biotin

baik yang disebabkan oleh gangguan metabolisme asam lemak bebas maupun

akibat sekunder dari defisiensi holokarboksilase atai biotinidase (Wollf, 2008).

2.5 Gejala Klinis

Pada bayi, gejala dermatitis seboroik khas dengan adanya lesi pada

kepala yang disebut cradle cap, dengan krusta tebal, pecah-pecah dan berminyak

tanpa ada dasar kemerahan dan tidak gatal. Pada lokasi lain, tampak kemerahan

atau merah kekuningan yang tertutup dengan skuama berminyak serta tidak gatal.

Sementara pada dewasa, dermatitis seboroik muncul dengan keluhan gatal. Pada

area seboroik pasien dewasa, tampak macula, folikular atau perifolikular atau

papula kemerahan dan kekuningan dengan derajat ringan sampai berat, inflamasi,

skuama, dan krusta tipis sampai tebal yang kering, basah, atau berminyak (Pohan,

2005).

Terdapat beberapa varian klinis dermatitis seboroik, dapat dilihat pada

tabel berikut :

Page 12: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

14

Gambar 2.2 Varian Klinis Dermatitis Seboroik

Sumber : Naldi, 2009

Prevalensi tertinggi dermatitis seboroik memang tampak pada bayi (usia

0-3 bulan) dengan gejala klinis yang sangat khas (crusta lactea, milk crust, atau

cradle cap). Pada bayi, sering didapatkan krusta yang tampak seperti sisik dengan

akumulasi debris epitel yang melekat (James, 2002).

Page 13: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

15

Jarang terjadi kerontokan rambut dan inflamasi. Selama perjalanan

penyakit, kulit bayi akan semakin tampak kemerahan, dan area yang berskuama

tampak sangat jelas dibatasi oleh macula eritematosa berbatas jelas yang ditutupi

dengan skuama berminyak. Area lipatan retroaurikular biasanya terkena yang

dapat berkembang dengan komplikasi berupa otitis eksterna. Dengan pakaian

yang lembap dan pemakain popok pada bayi, akan semakin menyediakan

lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri. Area-area yang

banyak terkena karena lembap adalah leher, axila, anogenital, dan selakangan.

Banyak dijumpai kasus dengan infeksi oportunistik C. albicans, S.Aureus, dan

bakteri lainnya (Wollf, 2008).

Leiner’s syndrome adalah bentuk klinis dermatitis seboroik infantil berat

dengan eritematosa dan lesi kulit eksematus ekstensif. Penyakit ini disebabkan

oleh defisiensi komponen komplemen 5 (C5). Sindrom ini disertai dengan

manifestasi klinis seperti diare dan penurunan berat badan (Schwartz, 2006).

Keadaan umum pasien tampak sangat sakit, disertai anemia, diare, dan vomitin.

Biasanya juga ditemukan infeksi bakterial sekunder. Terdapat dua bentuk dari

Leiner’s syndrome, yaitu familial dan non familial. Bentuk nonfamilial

disebabkan oleh defisiensi C5 yang mengakibatkan opsonisasi defektif. Pasien

dengan Leiner syndrome umumnya memberikan respon baik terhadap antibiotik

dan infus fresh frozen plasma atau whole blood. Etiologi dan patofisiologi

penyakit ini masih belum diketahui (Wollf, 2008).

Pada pasien dewasa, dandruff (pityriasis sicca) adalah bentuk ringan dari

dermatitis seboroik. Pitiriasis steatoides adalah bentuk lain dari dermatitis

Page 14: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

16

seboroik yang khas dengan lesi berminyak, disertai dengan eritema dan akumulasi

krusta tebal. Bentuk lain dari dermatitis seboroik pada kulit kepala meliputi

macula arcuata, polisiklik, atau berkrusta, dan psoriasiform, serta plak berkrusta

atau eksudatif. Lesi biasanya tersebar di antara rambut-rambut kulit kepala,

telinga, region post-aurikular, dan leher. Pada area-area tersebut akan ditemukan

macula dengan tepi konveks berwarna kuning kemerahan. Pada individu berkulit

hitam, lesi arcuata dan petealoid biasanya ditemukan di kulit kepala. Pada kasus

yang berat, biasanya ditemukan lesi di seluruh kulit kepala dengan krusta yang

tampak kotor dan bau tidak enak (James, 2002).

2.6 Diagnosis Banding dan Penegakan Diagnosis

Diagnosis banding yang paling mendekati untuk dermatitis seboroik

infantile adalah dermatitis atopi. Karakteristik yang paling penting untuk

membedakan antara dermatitis seboroik dan dermatitis atopik adalah dengan

melihat lokasi terbanyak ditemukannya lesi. Lesi banyak ditemukan di lengan atas

dan tungkai adalah khas pada dermatitis atopi sementara lesi ditemukan

meningkat di axilla pada dermatitis seboroik. Lesi yang hanya muncul hanya pada

area diaper lebih condong pada dermatitis seboroik infantile. Pemeriksaan

radioallergosorbent dan kadar immunoglobulin E total berguna untuk

membedakan antara dermatitis atopi pada fase awal dan dermatitis seboroik

infantil. Gejala klinis berupa gatal ringan bahkan tidak ada, menunjukkan

kecenderungan pada dermatitis seboroik. Tetapi, ada beberapa peneliti yang

meyakini bahwa dermatitis seboroik bukan merupakan entitas tersendiri tetapi

Page 15: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

17

suatu varian klinis dari dermatitis atopi. Dengan tidak mengesampingkan

kemungkinan scabies, psoriasis, dan histiosis sel Langerhans (Wollf, 2008).

Gambar 2.3 Dermatitis Atopi Infantil

Gambar 2.4 Histiositosis Langerhans

Page 16: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

18

Gambar 2.5 Psoriasis pada bayi

Sementara, diagnosis banding untuk dermatitis seboroik pada orang

dewasa adalah pityriasis kapitis, psoriasis vulgaris, dermatitis kontak, rosasea,

kandidiasis intertrigo, eritrasma, tinea kruris, dermatitis kontak alergi, dan erupsi

obat (Pohan, 2005). Berdasarkan predileksi spesifiknya, dapat dilihat dalam tabel

berikut :

Page 17: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

19

Sumber : Wolff, 2008

Gambar 2.5 Pitiriasis Kapitis

Gambar 2.6 Psoriasis vulgaris

Gambar 2.6 Pityriasis Rosea

Page 18: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

20

Diagnosis terutama ditegakkan dengan adanya gejala klinis yang khas.

Bila meragukan, dilakukan pemeriksaan penunjang seperti:

histopatologis gambaran dermatitis kronis dan spongiosis jelas

KOH 10-20% tampak spora/ blastokonidia, tidak ada hifa

Wood’s lamp fluoresensi negatif

(Pohan, 2005)

Secara histologis, pada epidermis tampak akantosis regular dengan

beberapa penipisan pada suprapapila.Didapatkan berbagai derajat spongiosisdan

eksositosis limfosit. Gambaran karakteristik khas yaitu adanya krusta bersisik

fokal yang menempel pada ostia folikuler (James, 2002). Dapat dilihat pada

gambar berikut ini :

Page 19: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

21

Sumber : Antonella, 2012

Tabel perbedaan dermatitis seboroik dengan penyakit lainnya, dapat

dilihat sebagai berikut :

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Dermatitis Seboroik dan Perbedaan Gejala

Klinisnya

Page 20: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

22

Sumber : Schwartz, 2006

2.7 Terapi

Page 21: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

23

Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari American Association of

Family Physician adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Terapi Dermatitis Seboroik rekomendasi AAFP

Sumber : Schwartz, 2006

Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari Fitzpatric’s Dermatology

adalah sebagai berikut :

Page 22: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

24

PADA BAYI (INFANTIL DS) DEWASA

Pembersihan krusta dengan Asam

Salisilat 3% dalam olive oil atau larutan

water soluble; kompres dengan olive oil

hangat; pemberian kortikosteroid

potensi rendah topikal (e.g

hidrokortison) selama beberapa hari;

penggunaan sampo bayi; agen

antijamur; perawatan kulit adekuat

dengan krim kulit khusus untuk bayi.

Antijamur

Metronidazol

Litium

Analog vitamin D

Isotreonin

Fototerapi

Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari Pedoman Diagnosis dan

Terapi RSU dr. Soetomo adalah preparat antifungi dan antiinflamasi. Sementara

pada bayi, untuk skuama pada kepala dapat diberikan kompres dengan minyak

mineral hangat 8-12 jam, dan dilanjutkan dengan sampo bayi. Untuk skuama yang

tebal dan difus, dapat dikombinasi dengan coal tar dan keratolitik, losion

kortikosteroid 1-3 kali sehari dan salep acidum salysilicum 5%. Untuk orang

dewasa dengan gejala klinis khas berupa keluhan gatal, terapi pada wajah dapat

diberikan krem ketokonazol 2% dioleskan 1-2 kali sehari untuk menekan eritema

dan gatal. Terapi pada badan dapat diberikan zinc atau coal tar dalam shampoo

atau mandi dengan sabun zinc. DS berat pada dewasa : Tablet kortikosteroid dan

tablet ketokonazol 200 mg 1x1 selama 3 minggu.

Page 23: Laporan Kasus Dermatitis seboroik bab 2

25

Rekomendasi terapi menurut WHO adalah penggunaan sampo keratolitik

untuk mengurangi inflamasi dan krusta. Terdapat berbagai jenis sediaan suspensi

berbahan dasar deterjen atau sampo yang mengandung bahan aktif seperti asam

salisilat, coal tar, pyrithione zinc, dan selenium sulfide. Cara penggunaan yang

benar untuk mencpai hasil maksimal adalah dengan mengusapkan sampo di

seluruh bagian kulit kepala kemudian dibiarkan 2-3 menit sebelum dibilas.

Preparat yang mengandung kombinasi sulfur dan asam salisilat dapat digunakan

di area-area lain yang terkena termasuk kulit kepala. Pemberian kortikosteroid

topikal, gentian violet, dan golongan azole seperti kerokonazol dilaporkan efektif

untuk mengurangi keluhan. Tetapi penggunaan ketokonazol kontraindikasi untuk

anak berusia di bawah 2 tahun (World Health Organization, 1997).