Laporan Kasus Bph
-
Upload
beruangdarat -
Category
Documents
-
view
143 -
download
5
description
Transcript of Laporan Kasus Bph
LAPORAN KASUS
BENIGN PROSTATE HYPERTROPHY
Pembimbing :
Dr.Tri Endah ,Sp.U
Disusun Oleh :
Victhoria Agustha Paragaye
030.07.262
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDI ASIH
PERIODE 31 JANUARI – 7 APRIL 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
2012
PENDAHULUAN
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak
maupun ganas1. Pembesaran prostat jinak (PPJ) merupakan penyakit tersering kedua di klinik
urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini juga dikenal sebagai benign
prostatic hyperplasia (BPH), di mana kelenjar periuretra mengalami hiperplasia, sedangkan
jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah2.
Insiden yang pasti dari pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti. Tetapi,
sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus
pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994--1997) dan di RS Sumber Waras
sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama3.
BAB I
STATUS KEPANITERAAN KLINIK BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
Nama Mahasiswa : Victhoria Agustha Paragaye
NIM : 030.07.262
Dokter Pembimbing : dr. Tri Endah .Sp.U
IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. x Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 65 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : sudah Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : pensiunan Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Kemang timur X
RT 08 RW 03
A. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis, tanggal 29 februari 2011, pukul 09.15 WIB
Keluhan Utama:
Susah buang air kecil
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan susah buang air kecil sejak 3 bulan ini,kencing dirasakan sulit,dan
jika ingin kencing harus mengeden atau dipaksa agar bias kencing dengan lancar sehingga untuk
kencing saja butuh waktu yang lama serta terasa nyeri dan sekalipun sudah dipaksa os masih
merasa belum puas kencing juga.Os juga mengeluh sering kencing malam hari dan diakhir
kencing masih saja ada yang menetes sehingga celana kadang basah.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Os belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
Keluhan ini baru muncul setahun belakangan ini
Os tidak ada riwayat infeksi pada saluhan kemih
Riwayat sakit ginjal disangkal
Riwayat DM dan asma disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi ( + )
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama
Tidak ada yang pernah alami sakit ginjal
Riwayat tekanan darah tinggi,DM dan asma disangkal
Riwayat Penyakit Kebiasaan:
Os sehari-hari makan dengan teratur dan minum air yang cukup dalam sehari,os sering
berolahraga denga berjalan-jalan disekitar kompleks rumahnya,aktivitas harian masih dilakukan
dengan tidak ada hambatan.Os punya riwayat merokok tapi sudah ditinggalkan 20 tahun yang
lalu.
Riwayat Penyakit Pengobatan:
Untuk penyakitnya ini os tidak minum obar sembarang ketika os mulai alami gejala-gejala susah
buang air kecil langsung berobat ke dokter,os pernah berobat akhir tahun 2011 lalu ditangani
dengan pemasangan kateter dan pemberian obar minum.Pada bulan awal januari 2012 os
kembali berobat dengan keluhan yang sama kemudian os dirawat dan dilakukan pemeriksaan lab
dan dilakukan biopsy kelenjar prostat untuk mengetahui pembesaran prostat ini ganas atau jinak.
Serta dilakukan tumor marker.Os tidak ada alergi obat.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : Sakit sedang
Tinggi Badan : 165
Berat badan : 55kg
Gizi : Baik
Tanda Vital
Tekanan darah : 160 / 100
Nadi : 100 x/ menit
Suhu : 36 derajat celcius
Pernapasan : 16 x/menit
Kepala dalam batas normal
Thoraks dalam batas normal
Abdomen batas normal
Leher dalam batas normal
Ekstremitas dalam batas normal
Genitalia
Inspeksi : warna kulit normal sawo matang ,tidak ada udem,tidak ada
luka,tampak perut bawah tidak membuncit karena terpasang kateter sehingga buli
tidak penuh.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Rectal toucher : Teraba masa kenyal,lobus kanan dan kiri simetris,tidak nyeri
Cuma linu,spingter ani masih kuat,batas atasnya tidak bisa diraba.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Lab dari Laboratorium RSUD Budi Asih
Hasil Lab 6/1/2012
Hematologi
Hb : 14,2 g/dL (13.5-17.5g/dL)
Hematokrit : 42 % (40 -51 %)
Trombosit : 174.000/uL ↓ (163.000-337.000/uL)
Leukosit : 5.500/uL ↓ (4.200-9.900/uL)
GDS : 97 mg/dl (60-100)
Fungsi hati
SGOT : 18 (< 32)
SGPT : 24 mmol/L (<24)
Fungsi Ginjal
Ureum : 24 mg/dl (17-43 mg/dl)
Kreatinin : 1 mg/dl (0,4-1,5 mg/dl)
Tumor marker
PSA ( 24 , 15 ) keterangan :
Usia < 40 tahun 0,21 – 1,72
Usia 40 – 50 tahun 0,27 – 2,19
Usia 50 – 60 tahun 0,27 – 3,42
Usia <70 tahun 0,2 -0,7
Tanggal 25/1/2012
Volume prostat 76,33 cc ( < 20 cc)
Diganti kateter kemudian rujuk untuk dibiopsi PA
Tanggal 5/2/2012
Hasil PA BPH
Direncanakn operasi BPH TUR-P
Foto thoraks
Kesan:
Cor dan pulmo dalam batas normal
Hil baik
Ringkasan
Pasien pria usia 65 tahun datang dengan keluhan tidak bias buang air kecil sejak tiga bulan yang
lalu.Kencing dirasakan sulit,harus mengedan dan terasa sakit.Pasien mengeluh sehabis kencing
belum merasa puas,sering kencing malam hari.Pada pemeriksaan fisik TD 160/100,hasil rectal
toucher teraba masa kenyal simetris dan terasa ngilu .Hasil biopsy PA menunjukan adanya
pembesaran prostat.
Diagnosis Kerja
BPH Retensi
Diagnosis Banding
-
Rencana penatalaksanaan
Operasi Trans uretral Resection of prostate (TURP) tanggal 15/3/2012
Prognosis :
Ad vitam : Dubia Ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanasionam : Dubia ad bonam
LAPORAN PEMBEDAHAN
Tanggal : 15/3/2012
Operator : dr.Tri Endah.Sp.U
Diagnosa pra bedah : Retensi Urin Ec BPH
Diagnose pasca bedah : BPH dan Batu Batu Buli
Tindakan Pembedahan : sitiskopi dan TURP
Uraian pembedahan :
Pasien posisi litotomi dalam anastesi spinal
Asepsis dan antisepsis daerah operasi seluruhnya
Lakukan sistografi dengan s 20 fu + lensa 3,7
Tampal bladder neck tinggi
Batu (+),tubulus sedang,masa ( -)
Pada lateralis TURP secara sistematis
Batu dikeluarkan dengan Elliot
Sistoskopi ulang
Pasang fe 24 +3 y +ballon 40 cc
Pasang kateter
Operasi selesai
Instruksi pasca operasi
Spooling diguyur
Kirim jaringan ke PA
Terapi
o Sopirom 2 x 1
o Dycinon 3 x 1
o Ketopain 2 x 1
o Panso 1 x 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak
maupun ganas1. Pembesaran prostat jinak (PPJ) merupakan penyakit tersering kedua di klinik
urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini juga dikenal sebagai benign
prostatic hyperplasia (BPH), di mana kelenjar periuretra mengalami hiperplasia, sedangkan
jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah2.
Insiden dan Epidemiologi
Insiden yang pasti dari pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti. Tetapi,
sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus
pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994--1997) dan di RS Sumber Waras
sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama3.
Etiologi
Penyebab PPJ belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi,
hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase dikonversi
menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.
2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang
pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer PPJ adalah penonjolan
kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. Ia
menyimpulkan bahwa hal ini merupakan reawakening dari induksi stroma yang terjadi pada usia
dewasa.
3. Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan
antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang
menjadi sel aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang
menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya
androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma
dan unsur epitel prostat yang berakibat PPJ. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di
bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan
atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth
factor- b (TGF - b, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan
menghasilkan pembesaran prostat.
Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk terjadinya PPJ, yaitu adanya
dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Pada pasien dengan kelainan kongenital berupa
defisiensi 5-a reduktase, yaitu enzim yang mengkonversi testosteron ke DHT, kadar serum DHT-
nya rendah, sehingga prostat tidak membesar. Sedangkan pada proses penuaan, kadar testosteron
serum menurun disertai meningkatnya konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
periperal. Pada anjing, estrogen menginduksi reseptor androgen. Peran androgen dan estrogen
dalam PPJ adalah kompleks dan belum jelas benar. Tindakan kastrasi sebelum masa pubertas
dapat mencegah PPJ. Pasien dengan kelainan genetik pada fungsi androgen juga mempunyai
gangguan pertumbuhan prostat. Dalam hal ini, barangkali androgen diperlukan untuk memulai
proses PPJ, tetapi tidak dalam hal proses pemeliharaan. Estrogen berperan dalam proses
hiperplasia stroma yang selanjutnya merangsang hiperlpasia epitel1.
Patologi
Perubahan paling awal pada PPJ adalah di kelenjar periuretra sekitar verumontanum.
* Perubahan hiperlpasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul asinar atau nodul
campuran fibroadenomatosa.
* Hiperplasia glandular terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma.
Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan. Sekitar 10—60% sel epitel kelenjar ada yang berbentuk
cribiform pada sepertiga spesimen penderita PPJ. Ini tampak pada kanker prostat walaupun inti
selnya tidak menunjukkan perubahan keganasan.
Sel epitel PPJ serupa dengan prostat normal, yaitu sel yang aktif bersekresi. Dengan teknik
histokimia, tampak aktivitas yang tinggi dari prostat specific antigen (PSA), asam fosfatase,
enzim proteolitik dan enzim lainnya, serta sitrat dan seng dalam kelenjar.
Patofisiologi
Perubahan yang terjadi berjalan lambat. Efek patofisiologi PPJ merupakan akibat interaksi yang
kompleks antara komponen statik berupa resistensi uretra. Juga akibat penekanan uretra oleh
prostat karena meningkatnya volume prostat dengan komponen dinamik, yaitu adanya
peningkatan tonus kelenjar prostat dan leher buli-buli yang diatur oleh sistem saraf otonom
melalui reseptor yang bertanggung jawab untuk proses tersebut, a–1 adrenoceptor. Berbagai
keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra. Selanjutnya hal ini akan
menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi resistensi uretra yang meningkat, mula-
mula otot-otot detrusor mengalami kompensasi dengan terjadinya hipertrofi. Lama-lama
mengalami dekompensasi sehingga tonus otot menurun dan terbentuk divertikel.
Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di antara otot polos
yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Selain itu, terdapat degenarasi sel saraf yang
mempersarafi otot polos. Hal ini mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas pasca fungsional,
ketidakseimbangan neurotransmiter, dan penurunan input sensorik, sehingga otot detrusor tidak
stabil. Karena fungsi otot vesika tidak normal, maka terjadi peningkatan volume residu urin yang
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas1-2.
Gambaran Klinis
Gejala Klinis
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, gejala iritatif, terdiri
dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency), buang air
kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge
incontinence). Kedua, gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil
belum terasa kosong (Incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil
(hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus
(intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
terjadi inkontinen karena overflow1-2.
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis
pengobatan PPJ dan untuk menilai keberhasilan pengobatan PPJ, dibuatlah suatu skoring yang
valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate
Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA).
Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5. Skor AUA terdiri
dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif
mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang,
dan 20-35 berat1. Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-
pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor
dapat berkisar antara 0-29. Skor < 10 ringan, 10-20 sedang, dan > 20 berat. Perbedaannya
dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat
keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari mengapa skor Madsen-Iversen digunakan di Sub
Bagian Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo2.
Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam PPJ adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok
dubur/digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,
walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat
obstruksi. Pada PPJ, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila teraba indurasi
atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan1-2.
Laboratorium
Terdapat dua pemeriksaan yang terpenting, yaitu darah dan urin. Pemeriksaan darah yang perlu
dilakukan khusus untuk prostat adalah kreatinin serum, elektrolit (Natrium dan Kalium), dan
PSA. Pemeriksaan urin yang perlu dilakukan adalah sedimen urin dan kultur2.
Nilai PSA normal di negara-negara yang mempunyai prevalensi kanker prostat yang tinggi
adalah di bawah 4 ng/ml. Nilai PSA 4-10 ng/ml dianggap sebagai daerah kelabu (gray area),
perlu dilakukan penghitungan PSA Density (PSAD), yaitu serum PSA dibagi dengan volume
prostat. Apabila nilai PSAD > 0.15, perlu dilakukan biopsi prostat. Bila nilai PSAD < 0.15, tidak
perlu dilakukan biopsi prostat. Nilai PSA > 10 ng/ml dianjurkan untuk dilakukan biopsi prostat.
Di negara-negara Asia, di mana prevalensi kanker prostat rendah, terdapat perbedaan nilai
normal PSA. Di Indonesia, di mana rata-rata nilai PSA pada penderita PPJ 12.9 + 24.6 ng/ml9,
nilai normal PSA 8 ng/ml, sedangkan nilai daerah kelabu 8-30 ng/ml. Untuk nilai PSAD > 0.20
baru perlu dilakukan biopsi prostat10. Di Taiwan diperoleh angka nilai daerah kelabu 4.1-20.0
ng/ml dengan nilai PSAD > 0.20 baru dilakukan biopsi11. Tingginya angka PSA di Indonesia
berhubungan erat dengan kateterisasi dan volume prostat12, mengingat sebagian besar pasien
datang dalam keadaan retensi dan dalam volume prostat yang besar.
Pencitraan
Pencitraan yang sering digunakan dalam penatalaksanaan PPJ adalah Trans Rectal
Ultrasonography (TRUS). Dengan TRUS dapat diketahui volume prostat dan dapat mendeteksi
kemungkinan keganasan dengan ditemukannya daerah hypoechoic. Selain itu, dengan TRUS
dapat ditemukan adanya bendungan vesika seminalis yang tampak merupakan gambaran kista di
sebelah bawah prostat. Pelebaran vena periprostat yang sering ditemukan pada penderita
prostatitis juga dapat diidentifikasi2.
Ukuran prostat juga dapat dinilai dengan Trans Abdominal Ultrasonography (TAUS). TAUS
dapat digunakan untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-buli, yang dapat dipakai
untuk meramalkan derajat berat obstruksi, selain tentu saja dapat mendeteksi apabila terdapat
batu di dalam vesika2.
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan pencitraan saluran kemih bagian atas, terutama bila
ditemukan tanda-tanda hematuria, infeksi saluran kemih, penurunan fungsi ginjal, riwayat batu
saluran kemih, dan operasi saluran kemih bagian atas. Pemeriksaan pencitraan saluran kemih
bagian atas tersebut ialah foto polos abdomen atau disebut Kiney Ureter Bladder films (KUB
films)-Intra Vena Pyelography (IVP), sistogram bila dicurigai adanya divertikel, Computed
Tomography Scanning (CT scan) atau untuk maksud penelitian ada yang menggunakan
Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Uroflowmetri
Dengan uroflowmetri dapat diukur: (1) pancaran urin maksimal (maximal flow rate-Qmax); (2)
volume urin yang keluar (voided volume). Pengukuran sisa urin yang tertinggal dalam buli-buli
setelah buang air kecil diukur dengan memasang kateter setelah buang air kecil atau dengan
menggunakan TAUS (tidak invasif).
Sistoskopi
Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk menentukan jenis terapi, namun dapat membantu untuk
menentukan jenis operasi pada pasien yang direncanakan untuk operasi terbuka1.
Pemeriksaan Lainnya
Pemeriksaan urodinamik diperlukan pada pasien yang dicurigai dengan kelainan neurologis atau
pada pasien yang telah mengalami kegagalan terapi dengan bedah1.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya: struktur
uretra, kontraktur leher vesika, batu buli-buli kecil, dan kanker prostat atau kelemahan detrusor,
misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik. Sedangkan
pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh instabilitas detrusor,
karsinoma in situ vesika, infeksi saluran kemih, prostatitis, batu ureter distal, atau batu vesika
kecil1.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PPJ yang dibiarkan tanpa pengobatan: Pertama,
trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan intra vesika yang selalu
tinggi akibat obstruksi. Kedua, dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos di antara
serat-serat detrusor. Ketiga, bila sakulasi menjadi besar dapat menjadi divertikel.
Komplikasi lain adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang
air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut
diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Tahap akhir adalah tahap dekompensasi dari detrusor di mana buli-buli sama sekali tidak dapat
mengosongkan diri sehingga terjadi retensi urin total. Apabila tidak segera ditolong, akan terjadi
overflow incontinence.
Penatalaksanaan
Terapi PPJ dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi yang canggih
dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif yang memerlukan
teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan dibahas
penatalaksanaan PPJ berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan
terapi minimal invasif.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS < 7 atau Madsen-
Iversen < 9). Tindakan yang dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan. Pasien diberi
nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia, menghindari
obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan), mengurangi kopi, dan melarang minum minuman
alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga
bulan untuk diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS. Bila terjadi kemunduran, segera
diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga macam
terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan penghambat adrenergik
a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi.
Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot polos
ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi relaksasi
di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan mengurangi derajat
obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif cepat. Efek samping dari
obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan keluhan pusing (dizziness),
lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1
masih menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah
efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat
dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat
dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari.
Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron tidak
diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan prostat
menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan perbaikan
simptom setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan
kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari.
Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase pertama kali
dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor dan peningkatan
Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat
keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain.
Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut1.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan baru-baru ini di
Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis,
Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea
purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan
keamanannya.
Terapi Bedah Konvensional
Open simple prostatectomy
Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100g, atau
bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat dilakukan dengan teknik transvesikal atau
retropubik. Operasi terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada
TUR-P1-2.
Terapi Invasif Minimal
Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Prinsip TUR-P adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan
obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat ini, TUR-P masih
merupakan baku emas dalam terapi PPJ. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat
dilakukan dengan endoskopi. Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia (sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang
adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia (<1%), dan disfungsi ereksi (4-
40%).
Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat
kecil, yang sering terdapat hiperplasia komisura posterior (leher kandung kemih yang tinggi).
Teknik ini meliputi insisi pada arah jam 5 dan 7. Penyulit yang bisa terjadi adalah ejakulasi
retrograd 1,2.
Terapi laser
Terdapat dua sumber energi yang digunakan, yaitu Nd YAG dan holmium YAG. Tekniknya
antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan dengan bantuan
USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial
laser therapy. Keuntungan terapi laser adalah perdarahan minimal, jarang terjadinya sindrom
TUR, mungkin dilakukan pada pasien yang menjalani terapi antikoagulan, dan dapat dilakukan
tanpa perlu dirawat di rumah sakit. Kerugiannya di antaranya tidak didapatkan jaringan untuk
pemeriksaan histopatologi, diperlukan waktu pemasangan kateter yang lebih lama, keluhan
iritatif yang lebih banyak, dan harga yang mahal1,2. Efek samping yang pernah dilaporkan di
Indonesia adalah perdarahan (2%), nyeri pasca operasi (3%), retensi (19%), ejakulasi retrograd
(3%), dan disfungsi ereksi (1%)13.
Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai
suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi1,2.
Trans urethral needle ablation (TUNA)
Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan
2jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi
sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.
High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan
intensitas tinggi dan terfokus1.
Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan
lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan hidup terbatas dan tidak dapat
dilakukan anestesi atau pembedahan.
Transurethral baloon dilatation
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher
kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g, sifatnya
sementara, dan jarang dilakukan lagi.\
Daftar Pustaka
1. Presti JC. Neoplasms of the prostate gland. In: Tanagho EA, Mc Aninch JW, editors.
Smith’s general urology. 15th ed. Conecticut: Mc Graw-Hill; 2000.p.399-406.
2. Rahardjo D. Prostat: kelainan-kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. 1st ed. Jakarta:
AsianMedical;1999.
3. Rahardjo D, Birowo P. Karakteristik penderita pembesaran prostat jinak di RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo dan RS Sumber Waras, Jakarta, tahun 1994-1997. MKI 2000;50(2):
81-5.
4. Anonim, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Ed.III, hal. 329-334. Jakarta: Media
Aeculapius.