Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

58
MENUJU PEMBARUAN HUKUM DAN PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI DALAM KAWASAN HUTAN (Kertas Posisi Kamar Masyarakat DKN) Disiapkan untuk Kongres Kehutanan Indonesia V 22-24 November 2011

description

Laporan ini merupakan kumpulan berbagai tuntutan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan mengenai bagaimana pengelolaan hutan Indonesia di masa depan yang mampu memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Laporan ini dikerjakan berdasarkan hasil putaran konsultasi publik sekaligus refleksi dari pengalaman pengelolaan hutan selam ini. Semoga bermanfaat

Transcript of Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Page 1: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

MENUJU PEMBARUAN HUKUMDAN

PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI DALAM KAWASAN HUTAN

(Kertas Posisi Kamar Masyarakat DKN)

Disiapkan untuk Kongres Kehutanan Indonesia V22-24 November 2011

Page 2: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Judul: Menuju Pembaruan Hukum dan Penyelesaian Konflik Pertahanan di dalam Kawasan Hutan (Kertas Posisi Kamar Masyarakat DKN)

Penyunting: Bernadinus Steni dan Hedar Laudjeng

Tahun: 2011

Percetakan kertas posisi ini didukung oleh Perkumpulan HuMa, Jakarta

Page 3: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Bagian IMasyarakat & Kawasan Hutan

Data Kementerian Kehutanan tahun 2009 mencatat bahwa diseluruh Indonesia, ada sekitar 31.957 buah desa yang seluruh atau sebagian wilayahnya berada di dalam kawasan hutan miskin. Masyarakat yang tinggal di hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Di luar Jawa, kebanyakan masyarakat pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dianggap miskin.1 Selain itu, 20 juta orang yang tinggal di desa-desa dekat hutan dan enam juta orang di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan. Hutan merupakan sumber daya penting bagi orang miskin. Hutan mutlak diperlukan sebagai sumber pangan, bahan bangunan dan bahan lain bagi rumah tangga termiskin di kawasan hutan. Hutan memungkinkan peladang mempertahankan kesuburan tanah dan pengendalian gulma yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hutan merupakan jaring pengaman ekonomi ketika panen gagal atau pekerjaan upahan tidak ada. Bagi banyak keluarga, berjual hasil hutan dan hasil wanatani (agroforest) merupakan sumber uang utama untuk dapat membiayai sarana produksi pertanian, sekolah dan kesehatan. Masyarakat yang tinggal di hutan cenderung miskin secara menahun. Tidak adanya prasarana, sulitnya komunikasi dan jauhnya jarak hutan dari pasar, sarana kesehatan dan pendidikan sangat membatasi pilihan sumber penghidupan. Akibatnya, sulit bagi masyarakat miskin di hutan untuk dapat keluar dari kemiskinan. 2 Tumpang-tindih wilayah kelola dan tekanan ekonomi, pada gilirannya memicu konflik antara masyarakat setempat dengan aparatur negara.

Sementara itu, kawasan hutan juga merupakan sumber devisa negara yang penting. Untuk itu, Pemerintah memberikan memberikan hak konsesi kepada sejumlah perusahaan untuk menguasai kawasan hutan. Pada akhir 1995, ada 585 buah konsesi penebangan kayu yang mencakup kawasan hutan seluas 62 juta hektar (Brown, 1999). Pada 2009, jumlah unit Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan (IUPHHK) masih sangat signifikan sebanyak 304 unit dengan luasan 25,7 juta hektar, sedangkan jumlah unit Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sampai tahun 2008 sebanyak 227 unit dengan luasan 10,03 juta hektar. Selain konsesi penebangan kayu, Pemerintah juga memberikan konsesi kepada sejumlah perusahaan pertambangan. Hal ini mengakibatkan konflik di dalam kawasan hutan semakin bertambah dan semakin kompleks. Sementara, hak yang diberikan ke masyarakat melalui skema Hkm dan Hutan Desa, hingga kini masih di bawah satu juta hektar. Penguasaan hutan pada akhirnya melanggengkan ketidakadilan penguasaan sumber daya alam yang diwariskan sejak jaman kolonial.

Konflik mengenai sumber daya hutan merupakan isu yang signifikan dan mudah menyebar luas. Namun, tidak seperti masalah mengenai penebangan liar, konflik mengenai sumber daya hutan ini jarang sekali dibahas oleh para pembuat kebijakan, badan-badan donor atau masyarakat umum. Memang berbagai media di Indonesia secara teratur memuat artikel yang membahas konflik mengenai sumber daya hutan ini, namun setelah konflik tersebut diberitakan umumnya tidak ada kelanjutannya. Umumnya konflik-konflik yang disertai dengan tindakan kekerasan jarang sekali dilaporkan. Alasan tidak banyaknya berita mengenai konflik yang disertai tindakan kekerasan antara lain adalah karena kurangnya minat para wartawan untuk meliput topik tersebut, kurangnya kemampuan media untuk melakukan tindak lanjut terhadap berita tersebut, dan adanya penyuapan atau ancaman kekerasan terhadap para wartawan serta editor media yang bersangkutan. Oleh karenanya, korban tindakan kekerasan tidak pernah diketahui. Dapat dikatakan, pada dasarnya dampak deforestasi yang disertai kekerasan pada kehidupan serta penghasilan individu dan masyarakat pada tingkat lokal seringkali

1 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: P. 51/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010-20142 Eva Wllenberg,cs : Mengapa Hutan Penting Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia (Governance Brief), CIFOR, Desember 2004.

Page 4: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

tidak diperhatikan atau dianggap sepi pada tingkat nasional.3 Dalam konflik yang bersifat vertikal tersebut, masyarakat setempat nyaris selalu dalam posisi salah dan kalah, lalu mendapat cap sebagai kriminal. Namun penting untuk dicermati, insiden diberbagai daerah dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari konflik di kawasan hutan sudah mengarah pada penggunaan kekerasan yang bukan hanya memusnahkan sejumlah fasilitas, tetapi juga mengakibatkan korban jiwa.

Di Kalimantan, keributan-keributan yang terjadi biasanya mengakibatkan terjadinya pembakaran kamp-kamp, pengrusakan peralatan dan pemukulan terhadap para pegawai perusahaan. Di Riau kekerasan tingkat rendah terjadi secara merata dan semakin meningkat antara para pendukung perusahaan pulp dan kertas dengan masyarakat setempat. Banyak pemilik pabrik yang mempekerjakan “preman” setempat atau kelompok-kelompok terorganisir. Para pihak keamanan biasanya cenderung lebih memihak kepada para pemilik perusahaan dan kalau perlu dengan melakukan tindak kekerasan. Di Sumatera Utara, protes massal masyarakat berhasil menutup pabrik pulp Indorayon di tahun 1999. Pabrik tersebut ditutup setelah terjadinya pertentangan mengenai masa kerja antara anggota masyarakat dengan perusahaan, dan pencemaran lingkungan yang dilakukan pabrik tersebut. Protes tersebut memakan korban jiwa. Tercatat 12 orang meninggal dunia dan ratusan orang luka-luka. Pada 2003, perusahaan tersebut dibuka kembali dan kini dikenal dengan nama Toba Pulp Lestari (TPL). Protes masyarakat tetap berlanjut. Tindakan kekerasan pun terus digunakan sebagai alat untuk meredam protes. Beberapa model pendekatan kekerasan yang dilakukan antara lain pihak keamanan menembaki pemrotes; secara teratur melakukan penculikan sementara dan pemukulan terhadap para aktivis; dan pihak keamanan meneror masyarakat setempat.

Di Papua Barat, insiden yang terjadi di Wasior dianggap sangat mewakili tipe konflik yang terjadi saat ini dan yang kemungkinan besar juga masih akan terjadi di masa-masa yang akan datang. The International Crisis Group melaporkan bahwa protes yang dilakukan masyarakat setempat terhadap perusahaan HPH telah mengakibatkan tiga orang staf perusahan tersebut dibunuh pada bulan Maret 2001 oleh penduduk Papua yang bersenjata. Polisi diminta bantuannya untuk melacak para pembunuh dan melindungi perusahaan-perusahaan HPH lainnya. Hal ini mengakibatkan banyak penduduk meninggalkan rumah mereka karena takut akan tindakan balas dendam. Pada bulan Mei, beberapa orang polisi menyerang penduduk sipil di wilayah tersebut yang kemungkinan besar baru pulang dari suatu perayaan. Dilaporkan enam orang penduduk meninggal karena ditembak polisi atau tenggelam. Kejadian ini meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut. Kemudian pada bulan Juni, sekelompok penduduk yang bersenjata menyerang pos polisi, sehingga mengakibatkankan tewasnya lima orang polisi dan seorang penduduk sipil. Penyerang kemudian mengambil senjata serta peluru yang terdapat di pos polisi tersebut. Polisi kemudian melakukan balas dendam di desa sekitar; 12 orang Papua meninggal dan 26 orang hilang, besar kemungkinana masih ada yang hidup. Menurut LSM setempat, polisi juga merusak rumah-rumah penduduk dan menangkap 150 orang. Sampai saat ini baru 16 orang didakwa melakukan berbagai pelanggaran melalui pengadilan yang menurut Amnesty International sama sekali tidak adil dan seringkali diikuti dengan penyiksaan atau perlakuan buruk terhadap para tersangka.4

Kalau bentuk-bentuk kekerasan dalam penyelesaian konflik sebagaimana digambarkan di atas terus berlanjut, bukan hanya mengancam kelestarian ekosistem hutan tetapi bisa berakibat lebih jauh, yaitu mengancam kestabilan ekonomi dan politik. Sudah saatnya semua pihak untuk secara serius memikirkan jalan keluar dari lilitan persoalan ini.

3 ARD Inc: Meningkatnya Konflik dan Keresahan di Kawasan Hutan Indonesia (Ringkasan Makalah), USAID, Oktober 2004.4 ARD,Inc : Ibid

Page 5: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Bagian II

Hukum Kolonial di Negara Merdeka

Wilayah Negara Republik Indonesia, adalah bekas wilayah Hindia Belanda. Ini adalah kesepakatan para pendiri Republik Indonesia dalam sidang Dokuritzu Zyunbi Tyiosakai, sebulan sebelum proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu untuk sementara waktu, Pemerintah Republik Indonesia - sebagai pemerintah negara baru yang didirikan di atas wilayah Hindia Belanda - membutuhkan sejumlah perangkat hukum peninggalan dari masa kolonial untuk menjalankan fungsinya.

Sayangnya, akar-akar pikiran yang membentuk hukum kolonial itu begitu dalam tertanam dalam kerangka pikiran para politisi, akademisi dan birokrat Republik Indonesia. Sehingga, meski pun sudah ada sejumlah perundang-undangan baru yang dibuat sebagai pengganti perundang-undangan peninggalan kolonial, perundang-undangan baru tersebut sangat kental dipengaruhi oleh akar-akar pikiran peninggalan colonial. Akibatnya, pengaturan, perintah dan larangan dalam perundang-undangan baru tersebut seringkali terasa begitu aneh bagi masyarakat setempat. Bahkan tidak jarang dirasakan sebagai bentuk penindasan yang nyaris tidak berbeda dengan yang dialami mereka pada masa kolonial. Hal ini sangat terasa dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan kawasan hutan. Maka tidak mengherankan ketika timbul berbagai macam konflik antara pemerintah dengan masyarakat setempat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Uraian singkat di bawah ini, akan menunjukkan bagaimana akar-akar pikiran yang membentuk hukum Hindia Belanda di bidang kehutanan, merasuk ke dalam perundang-undangan Republik Indonesia di bidang kehutanan.

Hukum Kolonial Seiring dengan perkembangan kapitalisme, teknologi pelayaran dan revolusi industri, selama beberapa abad yang lalu, bangsa-bangsa Eropa menjelajah keseluruh penjuru dunia untuk mendapatkan daerah-daerah baru, baik untuk keperluan penanaman modal maupun untuk keperluan pemasaran hasil-hasil produksi mereka. Sejak saat itu, bangsa-bangsa Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol memperoleh kekuasaan yang besar di benua-benua Afrika, Asia dan Amerika. Untuk mengakhiri persaingan di antara perkumpulan-perkumpulan dagang di Negeri Belanda yang mengadakan perdagangan di Nusantara, maka pada tahun 1602 Pemerintah Belanda membentuk sebuah persekutuan dagang yang baru, yaitu Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pemerintah Belanda memberikan hak monopoli kepada VOC untuk melakukan perniagaan di Indonesia. Disamping itu VOC juga diberi semacam hak kenegaraan seperti mengadakan laskar dan armada perang, menduduki daerah-daerah baru, mengadakan perjanjian dagang dan menjalankan peperangan terhadap para penguasa/raja-raja yang menghalangi kepentingan VOC. Dalam praktik, seringkali kepentingan VOC berjalan searah dengan kepentingan raja-raja yang berwatak feodal. Misalnya penguasa Kerajaan Mataram di Pulau Jawa. Tanah dan hutan adalah milik raja. Demikianlah pendirian VOC dan Raja Mataram yang berkuasa di Pulau Jawa pada abad ke -19. Oleh karena Raja Mataram telah menyerahkan kekuasaannya atas sebagian wilayah Pulau Jawa kepada VOC, maka sebagian hutan di pulau tersebut menjadi hak milik (domein) VOC dan sebagian lagi milik Raja Mataram. Hal ini antara lain dapat disimpulkan berdasarkan plakat tanggal 8 September 1803 yang pada pokoknya menyatakan, bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan Kompeni sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorang pun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi

Page 6: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

hukuman badan. Plakat adalah suatu pengumuman tertulis yang kekuatan berlakunya dianggap sama dengan undang-undang. Pendirian tersebut kemudian diikuti oleh Gubernur Jenderal Daendels, yang memerintah Pulau Jawa pada tahun 1808-1811. Antara lain ia tunjukan dengan tindakannya yang menjual tanah-tanah disekitar Jakarta dan Krawang kepada Orang-orang Eropa dan Tionghoa yang kaya, yang juga diberi hak untuk menuntut pekerjaan rodi dari penduduk yang bermukim diatas tanah itu. Inilah asal mula adanya tanah-tanah Partikelir di Pulau Jawa. Raffles sebagai wakil pemerintah Inggris yang berkuasa antara tahun 1811-1816 meneruskan penjualan tanah-tanah di Pulau Jawa, sehingga semakin memperbanyak tanah-tanah Partikelir. Bahkan kemudian memproklamirkan bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik raja. Oleh karena kekuasaan Raja sudah diambil alih oleh pemerintah Inggris, maka tanah adalah milik pemerintah Inggris. Oleh sebab itu petani diwajibkan membayar sewa tanah kepada pemerintah Inggris sebanyak 2/5 dari hasil tanaman. Menurut John Ball, sejak proklamasi Raffles itulah gelombang perampasan hak milik masyarakat lokal dikawasan Asia dimulai. Ketika Belanda kembali berkuasa di Pulau Jawa pada tahun 1816, mereka tetap mengikuti proklamasi Raffles. Seiring dengan perkembangan kekuatan Partai Liberal yang menguasai parlemen Negeri Belanda pada pertengahan abad ke 19 serta pertumbuhan modal di Eropa pada masa itu, maka Pemerintah Belanda berusaha menciptakan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para pemilik modal bangsa Belanda. Untuk itu maka pada tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Agrarische Wet 1870 yang kemudian diikuti dengan Agrarische Besluit 1870 sebagai aturan pelaksanaannya yang kemudian lebih populer disebut Domein Verklaring (Pernyataan Tanah Negara). Lebih kanjut, pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bosordonantie 1927. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut, sangat banyak mempengaruhi pemikiran dan praktik hukum di Indonesia sampai saat ini, terutama di bidang hukum sumber daya alam. Agrarische Wet 1870 Sebelum tahun 1870 pengusaha-pengusaha tidak dapat mendirikan perusahaan pertanian yang besar serta tidak ada kesempatan untuk mengembangkan sayapnya di Indonesia yang pada waktu itu disebut Nederland Indie (Hindia Belanda). Mereka tidak dapat bisa mendapat tanah dengan hak “eigendom” dan hanya dapat menyewa tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar atau tanah kosong (woeste gronden). Itupun dengan waktu yang terbatas, yaitu tidak lebih dari 20 tahun saja. Lagi pula hak sewa menurut hukum Eropa adalah hak yang bersifat pribadi (persoonlijk), yaitu hak yang melekat pada orangnya, tidak terletak pada bendanya (tanah). Bagi kalangan pengusaha, hak sewa tersebut dipandang tidak kuat dan tidak dapat dijadikan tanggungan (hypotheek) untuk mendapatkan pinjaman dibank. Oleh sebab itu, Agrarische Wet 1870 mengintroduksi hak erfpacht dengan jangka waktu maksimum 75 tahun dan masih dapat diperpanjang bila dibutuhkan. Hak erfpacht dipandang lebih memenuhi kebutuhan para pengusaha, karena hak tersebut terlekat pada bendanya (tanah), sehingga dapat dijadikan tanggungan dalam meminjam uang di Bank untuk menambah modal. Kendatipun sudah ada jenis hak yang dapat mengakomodasi kepentingan para pengusaha, belum berarti pemerintah dengan mudah memberikan hak tersebut kepada pengusaha. Karena, hak pemerintah dibatasi oleh hak-hak rakyat yang diperoleh menurut kebiasaan setempat (hak adat). Oleh sebab itu, maka diproklamirkanlah pernyataan tanah negara (Domeinverklaring), melalui Agrarische Besluit tahun 1870 (staatblad 1870 no 118). Proklamasi tersebut pada pokoknya menyatakan, bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom seseorang, adalah tanah milik negara (Domein vanden staat). Dengan demikian, maka semua tanah yang dikuasai oleh bangsa-bangsa pribumi menurut kebiasaan setempat, tergolong tanah milik negara (tanah negara). Karena, tidak satupun jenis hak menurut hukum kebiasaan di Indonesia (hukum adat) dapat disamakan dengan hak eigendom dalam hukum Eropa.

Page 7: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Setelah penegasian hak-hak bangsa pribumi (hak adat) atas tanah, maka pemerintah Hindia Belanda menjadi leluasa dalam memberikan hak-hak erfpacht dan hak-hak lainnya kepada pengusaha untuk mendirikan perusahaan perkebunan. Itulah sebabnya meskipun ada bagian dari Agrarische wet 1870 yang memperingatkan agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda jangan melanggar hak-hak pribumi dalam pemberian hak atas tanah, ketentuan tersebut menjadi tidak banyak berarti. Semula, pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut hanya berlaku di Pulau Jawa -Madura, khususnya didaerah-daerah yang diperintahkan langsung oleh Belanda ( daerah Gubernemen), tetapi tidak berlaku didaerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Belanda / berpemerintahan sendiri (zelfbestuurlandschap/swapraja). Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan kolonial Belanda memperluas wilayah berlakunya Domeinverklaring melalui sejumlah pernyataan khusus, antara lain untuk daerah-daerah gubernemen di Sumatra (staatblad 1874 no 94), Manado (staatblad 1877 no 55), serta Kalimantan Selatan dan Timur (staatblad 1888 no 58). Menurut Schrieke, sampai menjelang kejatuhan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia ada sekitar 93 % pulau Jawa-Madura dan sekitar 40 % wilayah diluar Pulau Jawa Madura, merupakan daerah Gubernemen. Jadi, pernyataan tanah negara sebagaimana diatur dalam besluit tersebut, tidak berlaku untuk sebagian besar daerah diluar Pulau Jawa- Madura yang merupakan daerah swapraja. Di daerah-daerah tersebut, tetaplah berlaku hukum adatnya masing-masing yang tentu saja pluralistik.

Bosch Ordonantie 1927 Pada tahun 1927, pemerintah kolonial Belanda menetapkan ordonansi hutan untuk pulau Jawa dan Madura. Pada prinsipnya ordonansi tersebut menganut asas domein sebagaimana dimaksud dalam Agrarische Besluit 1870. Pada masa tersebut ada upaya untuk menyusun sebuah ordonansi hutan yang menganut asas domei yang akan diberlakukan untuk seluruh daerah luar Pulau Jawa- Madura. Akan tetapi upaya tersebut ditentang oleh banyak pihak yang berpendapat, bahwa asas domein tidak pantas dipakai dalam pengaturan hutan di daerah-daerah di luar Pulau Jawa - Madura. Dengan adanya tantangan dari banyak pihak yang mempersoalkan asas domein tersebut,maka pada tahun 1928 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi yang ditugaskan untuk memberikan advis kepada pemerintah tentang penggunaan asas domein dalam perundang undangan agraria. Setelah melakukan penyelidikan selama kurang lebih tiga tahun, maka pada tahun 1931 komisi ini mengusulkan peninjauan kembali terhadap penggunaan asas domein dalam perundang-undangan agraria. Menurut komisi tersebut, asas domein tidak sesuai dengan kesadaran hukum rakyat bumi putra dibidang agraria. Sampai tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menentukan sikapnya terhadap advis komisi ini. Dengan demikian, sampai keruntuhan pemerintahan kolonial Hindia Belanda kontroversi asas domein tidak terselesaikan. Artinya, betapa pun besarnya semangat pemerintah kolonial untuk melakukan unifikasi hukum serta pengingkaran terhadap hak-hak adat, namun hal itu tidak dapat terwujud sepenuhnya. Masih tersedia “ruang perundang-undangan” dimana masyarakat hukum adat dapat menguasai dan mengelola sumber daya alamnya secara otonom, menurut hukum adat setempat. Ironisnya, “ruang perundang-undangan” tersebut justru semakin menyempit atau bahkan nyaris tertutup sama sekali pada masa kemerdekaan. Yaitu dibawah kekuasaan sebuah negara yang didirikan sebagai antitesa terhadap negara kolonial Hindia Belanda. Kontradiksi Hukum & Bias Hukum Kolonial Sebagaimana lazimnya bangsa yang merasa berhasil menumbangkan kekuasaan penjajahnya, maka segala hal yang berbau penjajah harus dirombak. Semangat perombakan itu, mendominasi sepanjang masa kekuasaan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno. Hal ini antara lain tercermin dalam pidato Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) pada pembahasan Rancangan Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria tahun 1960 (lebih populer disebut UUPA 1960) dalam sidang DPR-GR, yang menyatakan :

Page 8: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

“…….rancangan undang-undang ini selain akan menumbangkan puncak-puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dan aparat-aparat pemerintahan dengan rakyatnya sendiri……”. Dalam konsideran UUPA 1960 antara lain dinyatakan, bahwa perundang-undangan agraria kolonial tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli. Oleh sebab itu diperlukan Undang-undang agraria baru yang berdasarkan hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut , dalam penjelasan umum UUPA 1960 dinyatakan, bahwa asas domein sebagaimana yang dianut Agrarische Besluit 1870 bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia. Berhubung karena itu, maka asas tersebut ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein dicabut kembali.

UUPA 1960 berpangkal pada pendirian, bahwa tidak pada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat bertindak selaku badan penguasa. Isi konsideran dan penjelasan UUPA 1960 tersebut menunjukan, bahwa UUPA 1960 dapat dipandang sebagai monumen pembongkaran terhadap tatanan perundang-undangan agraria peninggalan pemerintah kolonial, dan sekaligus menetapkan hukum adat sebagai “tuan dirumahnya sendiri”. Meski pun UUPA 1960 mencabut Agrarische Wet 1870 beserta segala aturan pelaksanaannya, akan tetapi tidak mencabut Bosch Ordonantie 1927 dan peraturan-peraturan kehutanan yang lainnya. Dengan demikian, maka terjadilah kontradiksi hukum pertanahan yang sangat mendasar. Di satu pihak tanah-tanah yang terletak diluar kawasan hutan diatur menurut UUPA 1960 yang berdasar pada hukum adat serta anti asas domein, sementara di pihak lain tanah-tanah yang terletak didalam kawasan hutan (Jawa-Madura) masih tetap diatur menurut Bosch Ordonantie van Java en Madoera 1927, yang anti hukum adat dan menganut asas domein.

Kontradiksi hukum semakin meluas ketika pemerintah Orde Baru menetapkan Undang-undang Pokok-pokok Kehutanan tahun 1967 (Undang-undang nomor 5/1967).5 Meskipun tidak dinyatakan secara terang-terangan, akan tetapi sesungguhnya undang-undang ini menganut asas domein. Ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, undang-undang tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan keberadaan UUPA 1960. Dengan demikian, maka pembuat undang-undang kehutanan tersebut dengan sengaja mengabaikan UUPA 1960 yang merupakan monumen pembongkaran terhadap asas domein warisan kolonial. Kedua, undang-undang tersebut tidak secara tegas mencabut Bosch Ordonantie 1927 yang menganut asas domein. Ketiga, dalam praktik pelaksanaan undang-undang kehutanan tersebut, sama sekali tidak ada penghargaan terhadap hak-hak adat atas tanah dan hutan. Meskipun tanah dan hutan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat setempat secara turun-temurun, jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia.

Lahirnya UU Kehutanan tahun 1967 yang diikuti dengan kebijakan penanaman modal secara besar-besaran di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan, memicu konflik vertikal di berbagai daerah. Masyarakat setempat di satu pihak, berhadapan dengan aparatur negara di pihak lain. Suatu kajian yang dilakukan di delapan site/komunitas di delapan propinsi di Indonesia menunjukkan, bahwa konflik pertanahan di dalam kawasan hutan dilatarbelakangi oleh adanya konflik antara dua sistem penguasaan (tenure system). Yakni: sistem penguasaan berbasis negara dan sistem penguasaan berbasis masyarakat (community-based tenurial system). Itulah yang kemudian membuahkan ketegangan yang berkepanjangan antara aparatur negara berhadapan dengan masyarakat setempat. Di satu pihak, aparatur negara merasa berhak untuk menguasai tanah dan hutan serta memberikan hak kepada pihak lain untuk mengelola hutan serta mengabaikan keberadaan masyarakat setempat yang bermukim disitu, karena begitulah maksud undang-undang yang dipahaminya. Sementara di pihak

5 Sesungguhnya tidak ada satu kata pun dalam UUPA 1960 dan UU Kehutanan yang membatasi berlakunya UUPA 1960 di dalam kawasan hutan. Namun dalam praktik, UUPA 1960 tidak diberlakukan di dalam kawasan hutan.

Page 9: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

lain, masyarakat setempat merasa berhak untuk menguasai dan memanfaatkan tanah di dalam kawasan hutan karena secara de facto mereka sudah menguasainya jauh sebelum adanya negara Republik Indonesia. Dan, penduduk setempat tersebut merasa tidak tahu bahwa ruang kehidupan dan penghidupannya telah ditunjuk oleh Pemerintah sebagai kawasan hutan, dengan segala konsekuensi hukumnya.

Lahirnya Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak membawa perubahan yang berarti, karena undang-undang ini tidak mengamanatkan pemulihan hak-hak masyarakat setempat (terutama hak-hak adat) yang dirampas pada masa lalu. Bahkan, undang-undang ini mengacaukan logika hukum, tentang hak-hak adat atas tanah dan hutan. Dalam undang-undang ini, hutan adat digolongkan sebagai hutan negara, bukan hutan hak. Ada pun hutan negara menurut undang-undang tersebut adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dengan demikian, oleh karena hutan adat bukan hutan hak, maka tanah tempat tumbuhnya hutan adat tersebut bukan tanah hak, tetapi tanah negara. Jelas, ini adalah permainan kata-kata, yang maksud sesungguhnya adalah untuk mengingkari keberadaan hak-hak adat atas tanah dan hutan, sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda di masa lalu. Seharusnya dirumuskan : Hutan adat adalah hutan hak yang tumbuh di atas tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adat.

Keberadaan asas domein dalam perundang-undangan di bidang kehutanan masih sering diperdebatkan. Ada yang menolak tetapi tidak sedikit pula yang menerima, bahwa perundang-undangan di bidang kehutanan “dirasuki” oleh asas domein. Akan tetapi yang tidak bisa dipungkiri bahwa praktik kebijakan pemerintah di bidang kehutanan, adalah bentuk lain atau metamorfosa dari pelaksanaan asas domein warisan pemerintah kolonial. Hal ini antara lain tercermin dari pengrusakan dan pembakaran  perusakan dan pembakaran terhadap permukiman warga suku Tengger di Dusun Tetelan, Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada bulan Oktober 2011. Kapolsek Senduro menuding warga (Suku Tengger) melakukan kesalahan karena menghuni lahan milik Perhutani, dengan mengatakan: "Kandang kambing warga didirikan di atas lahan yang diklaim Perum Perhutani. Jadi wajar pihak Perhutani membakar kandang itu." Bahkan, Kepolisian Resor Lumajang telah menahan empat warga Tengger dengan tuduhan melakukan perambahan hutan serta pembalakan liar sejak tanggal 11 Oktober 2011. Sementara itu, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Hukum Agraria Kesatuan Pemangkunan Hutan (KPH) Probolinggo yang membawahi Perhutani Lumajang, mengatakan bahwa kawasan seluas 60 hektare yang dihuni warga Tengger termasuk kawasan hutan lindung. Katanya: "Aturannya sudah jelas, dilarang mendirikan permukiman di kawasan hutan lindung.”6 Pernyataan kedua aparat tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan keberadaan Suku Tengger yang secara turun-temurun menghuni kawasan itu, jauh sebelum republik ini didirikan. Rasanya, kita seperti mendengar pernyataan dari marsose dan ambtenaar pada masa kolonial.

Dulu, dengan sebuah pernyataan tanah negara (domeinverklaring) oleh Pemerintah Belanda, maka secara serta-merta semua tanah yang terdapat di dalam wilayah Hindia Belanda adalah tanah Negara. Kecuali tanah-tanah yang bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik) seseorang dan tanah-tanah di wilayah Zelfbestuurlandchap/Swaparaja. Meski pun tanah itu nyata-nyata dikuasai oleh masyarakat setempat secara turun-temurun berdasarkan hukum kebiasaan atau hukum adat setempat. Hari ini, dengan sebuah Surat Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan oleh Pemerintah Indonesia (Menteri Kehutanan), secara serta-merta kawasan itu dianggap sah sebagai kawasan hutan yang selalu dimaknai sebagai kawasan hutan negara yang tumbuh di atas tanah negara. Meski pun tanah itu nyata-nyata dikuasai oleh masyarakat setempat secara turun-temurun berdasarkan hukum kebiasaan atau hukum adat setempat.

Bagian III6 Tempo Interaktif, 16 Oktober 2011.

Page 10: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Bekerjanya Hukum Kolonial

Kehutanan Jawa

Jaman Kolonial

Cerita kehutanan Indonesia modern berawal dari Jawa. Penguasaan hutan Jawa dan relasi ekonomi-politik yang menyertainya pada masa kolonial membentuk apa yang kini disebut dengan kerajaan pengaturan hutan di bawah Departemen Kehutanan. Masyarakat hutan Jawa sejak pra-kolonial bergulat dengan pertarungan akses tidak hanya dalam tataran fisik tetapi juga pada wilayah ideologis. Konsep desa tradisional Jawa yang tertutup dan komunal, dalam catatan Nancy Peluso, merupakan ciptaan Belanda dan dilestarikan terus oleh negara Indonesia modern untuk memudahkan klasifikasi tanah dan mengabsahkan penguasaan negara atas tanah tertentu, termasuk tanah hutan (Peluso, 2006: 44). Perlakuan serupa persis dipindahkan secara utuh ke situasi di luar Jawa; bahwa tradisional adalah sebuah versi yang berbahaya bagi kelestarian hutan dan karena itu harus dididik, ditertibkan oleh penguasa yang lebih pandai dan “selalu berniat baik”.

Jauh sebelum Belanda, Jawa berada di bawah kontrol kerajaan-kerajaan Jawa. Namun klaim Raja Jawa pada masa itu tidak sama persis dengan konsepsi klaim Eropa Raja-Raja Eropa atas wilayah yang secara ketat menguasai tanah dan sumber daya alam di tempat bendera kerajaan dipancangkan. Dalam keadaan ketika penduduk masih relatif langka, yang lebih penting bagi Raja Jawa bukanlah menguasai luas wilayah melainkan menguasai orang yang bermukim di suatu wilayah. Rakyat harus dikerahkan dan digerakan untuk menghasilkan surplus yang diperlukan oleh golongan elit demi melestarikan gaya hidup dan ranah kekuasaan (Peluso, 2006: 49). Kontrol atas sumber daya alam belum menjadi masalah pada masa itu. Karena itu, sebelum kedatangan VOC, ada keseimbangan yang lebih masuk akal antara akses hutan penduduk setempat dan akses hutan orang luar yang memiliki klaim atas hutan. Masa itu, pembatasan akses pun lebih sulit ditegakan dan tidak serta merta menjadi kepentingan penguasa (Peluso, 113-114).

Pada abad ke-17, Amsterdam adalah pusat pelabuhan Eropa. Kekuatan kayu jati Jawa yang mempunyai daya topang yang mengalahkan jenis kayu Eropa juga tersohor di kota pelabuhan tersebut, menjadikan perburuan kayu jati semakin menggebu-gebu. Tahun 1651, kantor dagang Belanda pertama kali didirikan di Jepara, secara geografis berhadap-hadapan dengan sentra hutan jati yang sangat luas. Lambat laun, tidak hanya jati yang dikontrol Belanda tetapi juga buruh yang dimanfaatkan sebagai tenaga kasar penebangan. Masa itu, terdapat suatu kelompok sosial pengembara, disebut dengan orang kalang dan oleh Piegaud dikategorikan sebagai golongan “paria” atau buangan yang hidup mengembara di hutan dan dikenal memiliki keterampilan dalam menebang, mengangkut dan menggergaji jati. Meskipun pada awalnya orang Kalang tidak mau terikat dengan Belanda, namun VOC dengan cerdik memanfaatkan relasinya dengan Susuhunan Mataram untuk mengikat orang-orang tersebut agar menjadi buruh jati (Peluso, 2006: 46-57). Ketika kekuatan politik Belanda menyapu tanah Jawa, kontrol hutan Jati sepenuhnya berada di tangan Belanda.

Monopoli dan ekspansi Belanda bukannya tanpa akibat lingkungan. Tahun 1796, perusakan hutan sudah menjadi begitu menyebar sampai-sampai VOC membentuk komisi untuk menyelidiki keadaan hutan Jepara dan Rembang. Komisi ini merekomendasikan penghentian seluruh penebangan kayu di dua wilayah itu dan mengurangi kuota kayu gelondongan Blora hingga 50% (Peluso, 2006: 62). Ini merupakan kebijakan moratorium pertama di nusantara. Hal ini pula yang menjadi argumen untuk menempatkan posisi negara sebagai pelindung hutan lewat semangat konservasi yang ditiupkan pada penghujung abad ke-19 dan terumuskan dalam bentuk kebijakan resmi lewat Bosch Ordonantie 1927. Semangat itu, membatasi akses sekaligus membebani penduduk dengan pajak bila ingin memanfaatkan hutan. Perlawanan dan ketegangan dengan masyarakat pun mulai muncul. Gerakan samin, misalnya, berakar dalam banyak tradisi petani Jawa. Mereka membuat garis batas yang sangat jelas antara sistem kepercayaan yang mereka yakini dengan apa yang digalakan oleh rimbawan, termasuk dalam hal menghargai hutan. Kepercayaan samin antara lain: “Negara tidak menciptakan

Page 11: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

angin, air, tanah dan kayu; sejak waktu yang lampau petani telah menyadap dan mengolah semua unsur alam tersebut”. Perlawanan memang terus berlanjut, namun kontrol negara terhadap hutan tidak berkurang. Kebijakan kehutanan, kata Peluso, merampas sarana penduduk desa hutan untuk menolong diri sendiri dan menyebabkan kehidupan menjadi lebih sulit (Peluso, 2006: 114).

Menjelang pertengahan abad ke-20, Belanda mulai mengenal istilah keuntungan timbal-balik, ketika tumpang sari menjadi bagian tetap dari reforestasi (Peluso, 2006: 115). Namun, semuanya itu semata-mata berkiblat pada kepentingan Belanda karena penguasa dan tuan tanah secara formal tetap menumpuk di tangan Belanda. Kehadiran penduduk digunakan untuk melegitimasi peran mereka sebagai patron dan sekaligus kepentingan praktis mendapatkan buruh gratis bagi proses penghutanan kembali wilayah-wilayah yang telah babak belur oleh kapitalisme jati yang menjadi kepercayaan resmi ambtenaar dan meneer Belanda.

Indonesia Merdeka

Saat ini, di Pulau Jawa ada sekitar 20 % desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, paling banyak di Jawa Tengah sekitar 25%. Apa artinya fakta ini ? Pertama-tama, model kontrol Belanda atas sumber daya masih dipertahankan dengan sangat baik oleh Pemerintah Indonesia. Semua struktur penguasaan masa lalu di Jawa yang menyingkirkan masyarakat dari hutan, ditaati bahkan diperkuat oleh Indonesia merdeka. Kita bisa bayangkan berapa juta penduduk yang berurusan dengan hutan dan berapa potensi konflik yang terjadi akibat tumpang tindih penguasaan hutan.

Tingginya pertumbuhan penduduk di Jawa tidak disertai dengan ketersediaan lahan karena sejak peralihan dari Belanda ke Indonesia, sebagian besar kawasan hutan dikuasai PERHUTANI. Beberapa masalah yang dihadapi adalah. Pertama, sengketa wilayah. Persoalan ini terjadi karena tidak semua kawasan hutan di Jawa punya tata batas yang jelas. Tata batas yang dirujuk pun masih mengacu pada jaman kolonial. Misalnya BATB (Berita Acara Tata Batas) Perhutani menggunakan tahun 1939 dan belum di-update hingga saat ini. Pada saat itu penduduk belum banyak sehingga tekanan kebutuhan akan tanah tidak terlalu tinggi. Di sisi lain, zonasi kawasan konservasi juga tidak jelas. Hal ini misalnya dialami oleh masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar sekitar Taman Nasional Halimun Salak. Masyarakat menganggap TAMAN NASIONAL maupun Perhutani telah melakukan penyerobotan tanah. Melalui SK Menhut No 175 tahun 2005, kawasan Taman Nasional Halimun Salak diperluas dan mengakibatkan ratusan kampung masuk dalam wilayah Taman Nasional. Kedua, ketimpangan penguasaan lahan dan tidak ada akses masyarakat. Saat ini, banyak petani Jawa yang hidup tanpa tanah di sekitar hutan yang subur dan tak boleh disentuh.

Dalam diskusi nampak perbedaan karakteristik persoalan kehutanan antara regio Jawa dengan Kalimantan. Di Jawa sebagian besar persoalan masyarakat di dalam dan sekitar hutan berkaitan dengan otoritas Perhutani yang sangat kuat dan mengontrol kawasan hutan seperti “negara dalam negara”. Sementara, persoalan di Kalimantan lebih banyak berurusan dengan pengakuan hak masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Ketegangan penguasaan atas hutan memang melahirkan inisiatif etis untuk membuka akses hutan secara terbatas ke komunitas. Sejak diperkenalkannya Hutan Kemasyarakatan pada era awal 1990an, terdapat sejumlah perkembangan signifikan dalam upaya masyarakat menggunakan skema tersebut untuk menguasai hutan sekaligus mengatasi persoalan akses atas hutan. Pengalaman Yogyakarta dalam menggunakan skema Hutan Kemasyarakatan adalah contoh menarik. Dalam diskusi kamar masyarakat DKN 19 – 20 April 2011, Pardiastuti, seorang perwakilan masyarakat sekitar hutan dari Gunung Kidul yang lama berjuang untuk Hkm mengatakan:

Hutan KeMasyarakatan (HKM) di Gunung Kidul untuk IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) memang sudah berjalan di hutan produksi dan hutan lindung.

Namun, akses yang mulai terbuka tersebut bukan tanpa persoalan. Sebagaimana dipaparkan Pardiastuti

Page 12: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

......saat ini pengajuannya (Hkm) harus ada Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Biaya Auditornya sangat besar 83 juta, dan auditor tersebut berasal dari pusat. Untuk kamar pemerintah yang menguasai HKM belum ada sehingga belum ada dialog soal ini...

Tukimin dari gunung kidul mewakili masyarakat di dalam dan sekitar hutan Yogyakarta menggambarkan perkembangan pergulatan mereka mendapatkan hak atas hutan dan penyelesaian konflik sebagai berikut:

HKM di YogyakartaGambaran UmumKegiatan pengelola HKM wilayah daerah DIY yang berada di wilayah kab. Gunung Kidul yang terdiri dari 35 Kelompok Tani HKM ditambah dengan tujuh Kelompok Tani HKM di wilayah Kulon Progo, sehingga jumlahnya menjadi 42 Kelompok Tani. Wilayah HKM mencakup ± 1700 Ha di 125 Desa.

Masalah yang dihadapi masyarakat selama ini, pertama-tama di awal kegiatan tahun 2001 Juklak dan Juknis HKM selalu berubah-ubah dan prosesnya berat. Contoh :

SK Kemenhut No. 31 th 2001 tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No 1/2004 tentang Sosial Forestri, sehingga harus direvisi menjadi Permenhut No 37 tahun 2007.

Dari ijin (5 tahun) ke Ijin Definitif (35 tahun) prosesnya melelahkan dan butuh perjuangan dan kerja keras

Selain dua persoalan kebijakan ini, secara sosial terjadi kecemburuan sosial pada masyarakat pinggir hutan yang tidak masuk dalam anggota kelompok karena luasan pencadangan lahan HKM terbatas.

Untuk mendukung proses pengajuan HKM maka masyarakat menempuh langkah-langkah, antara lain sebagai berikut:

Meminta fasilitasi dari para pihak yang peduli hutan, yaitu LSM, Akademisi, dan Pemerintah (dari Pemerintah Desa sampai dengan Departemen Kehutanan) dalam bentuk pembinaan dan pelatihan. Dukungan akademisi dari Fak Kehutanan UGM juga membantu memperjuangkan agar konsep HKM disatukan dengan konsep social forestry sehingga masyarakat tidak perlu dibuat bingung. Perubahan SK Menhut 31/2001 merupakan hasil dari perjuangan tersebut.

Meningkatkan SDM dari kalangan petani itu sendrii lewat pertemuan-pertemuan kelompok tani

Membentuk dan memperluas jaringan petani hutan

Saat ini hasil yang telah dicapai adalah dikeluarkannya Peraturan Gubernur mengenai HKM dengan mengacu pada Permen 37/2007. Bupati juga sudah memberikan izin HKM. Selain itu, pengetahuan dan proses pembelajaran bagi petani hutan terus meningkat. Misalnya, sudah ada model BAP (Belajar Antar Petani) baik ditingkat kabupaten sampai tingkat nasional. Hal ini juga meningkatkan solidaritas dan gotong royong antarpetani. Hasil yang lain adalah kesejahteraan masyarakat mulai meningkat dari hasil tanaman dan ternak. Pemerintah Daerah juga menunjukan perhatian terhadap upaya-upaya ini dengan menyediakan dukungan pendanaan untuk penguatan kelembagaan melalui APBD Kab dan Propinsi. Ada 7 kelurahan menggarap di dalam kawasan hutan dan mendapat HKM: 4 HKM di hutan produksi dan 3 mengarap di hutan lindung. Penggarapan hutan lindung bahkan lebih maksimal, sehingga tanaman yang ditanam oleh warga diperbolehkan untuk dipanen. Saat ini kelestarian air lebih bagus, karena hutannya bagus. Dari 7 itu, Pemerintah mengalokasikan dana 500 juta tiap

Page 13: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

masing-masing kelompok. Ke depan, dari pengalaman itu, maka lebih baik hutan di Jawa ini dikelola daerah.

Sebetulnya, animo masyarakat terhadap pengelolaan HKM cukup tinggi karena lahan terbatas sehingga ketergantungan masyarakat terhadap hutan sangat tinggi. Tentu, ini merupakan tantangan. Di samping itu, hak milik masyarakat memang sangat kecil dan masyarakat pinggir hutan umumnya masih miskin dan terbelakang. Namun, menurut Tukimin dan perwakilan petani HKM Yogyakarta, Peraturan Gubernur bagi hasil tanaman kayu 60% petani 40% pemerintah sangat menjanjikan bagi masyarakat miskin. Bagi petani, peluang ini merupakan tantangan untuk tetap memelihara, menjaga, mengamankan dan melestarikan hutan. Tantangan lain adalah membentuk koperasi sebagai badan hukum yang menjadi syarat wajib untuk mendapatkan ijin tetap (35 tahun).

Di sebagian besar kawasan lain di Jawa, persoalan utamanya adalah penguasaan perusahaan negara, Perhutani, yang sangat luas. Menurut pengakuan peserta yang hadir dalam diskusi dengan Kamar Masyarakat DKN 19 – 20 April 2011, hampir tidak ada kemajuan signifikan negosiasi penguasaan hutan antara Perhutani dengan masyarakat. Skema yang ditawarkan Perhutani adalah PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Bagi Perhutani, PHBM merupakan salah satu upaya untuk mengatasi penjarahan hutan, karena PHBM melibatkan masyarakat secara partisipatif. Dalam melaksanakan PHBM, dibuat perjanjian antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan Perhutani, meliputi pembagian ruang dan bagi hasil. Selain itu, dikembangkan juga usaha yang menurut Perhutani dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat berupa budidaya tanaman dan beternak.7 Dalam rangka memperkuat kampanye Ketahanan Pangan Nasional, pada 2008, Perhutani dan beberapa BUMN lainnya memulai model tumpang sari kedelai di areal 400 ribu hektare melibatkan 56 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di 50 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Diharapkan rencana itu bisa menghasilkan kedelai 1,3 juta ton (Suara Karya, Selasa, 11 Maret 2008).

Namun menurut masyarakat, Perhutani belum punya niat baik. Peluang kemitraan PHBM memang ada, tetapi ongkosnya sangat tinggi, tidak sepadan dengan keuntungan yang akan diperoleh. Misalnya, menanam rumput gajah seluas 1 hektar dikenakan pungutan Rp. 100.000 oleh Perhutani. Menurut Usep, seorang petani dari Jawa Barat, di Tasikmalaya, pemetaan partisipatif untuk memastikan klaim warga dan wilayah perhutani, sudah dilakukan. Unsur yang terlibat dalam pembuatan peta itu adalah Desa, Muspika termasuk anggota Dewan Komisi A, serta tokoh masyarakat. Akan tetapi, Perhutani tidak mau masuk. Di beberapa wilayah lain, masyarakat secara swadaya melakukan reforestasi dengan berbagai jenis tanaman termasuk buah-buahan di wilayah seluas 500 ha, tetapi sekonyong-konyong Perhutani muncul dan mempertanyakan status hak warga. Ketegangan ini seringkali meletus dalam konflik yang berujung pada kriminalisasi masyarakat. hampir sebagian besar komunitas hutan pernah mengalami kriminalisasi. Ada 1500 orang yang sedang di-BAP di Kepolisian dan 1005 diantaranya ditahan. Sejumlah gerakan untuk menyelesaian persoalan pun berkembang di akar rumput.

Pertama, menguji status hukum dengan meninjau kembali Tata Batas atau BATB. Di Kabupaten Ciamis, dari peta yang diperoleh warga, ternyata ada 200 hektar wilayah yang ditempati masyarakat diakui dan diklaim oleh Perhutani. Langkah lainnya adalah pemetaan partisipatif yang dilakukan di Tasikmalaya. Sementara ada pula negosiasi yang dilakukan di Kendal dan di Batang. Di wilayah TAMAN NASIONAL Gunung Halimun ada negosiasi antara berbagai pihak, baik TAMAN NASIONAL, masyarakat, maupun pemerintah. Kedua, reklaiming. Metode perebutan kembali lahan atau menguasai lahan sudah dilakukan di berbagai tempat, seperti di Garut, Ciamis dan Sukabimi, Cianjur, Mojokerto, dsb. Di Salak, Randuagung di Lumajang, di Randu Blatung dilakukan melalui penguasaan kawasan secara paksa dengan mengambil alih dari penguasaan pemerintah. Ketiga, negosiasi dengan Perhutani. Penguasaan juga dilakukan melalui negosiasi langsung dengan Perhutani.

7 Yuliana Cahya Wuland, Yurdi Yasmi, Christian Purba dan Eva Wollenberg, 2004, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003, Bogor: CIFOR. Hal 47

Page 14: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Pada intinya, akses dapat diperoleh kembali. Pola terakhir ini dilakukan di Batang yakni melakukan negosiasi untuk tetap menggarap. Selain itu, pola kemitraan juga diterapkan di beberapa wilayah melalui PHBM. Baru-baru ini (23 Desember 2010), LBH Semarang juga menandatangani MoU dengan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah mengenai Penyelesaian Masalah Konflik dalam Kawasan Hutan. MoU ini menghentikan untuk sementara waktu penangkapan petani dengan tuduhan perambahan atau okupasi illegal. Keempat, beberapa langkah konkrit penguasaan adalah dengan melakukan penanaman jenis komoditi unggulan. Contohnya, di sagara. Di bawah bayang-bayang tuduhan PKI mereka mengelolah 1500 Ha yang kemudian ditanami dan berhasil lalu disertifikat. Sekarang 70% sudah ditanami pohon karet yang dimiliki masyarakat. Dari usaha ini, masyarakat bisa mendapatkan hasil 5 juta per keluarga. Upaya ini menjadi percontohan agroforestry di Kab, Garut. Masyarakat secara mandiri melalukan model pengelolaan sendiri. Kalau melakukan penebangan maka dilakukan tebang pilih.

Usulan Masyarakat

Berkaca pada sejumlah persoalan dan dinamika penyelesaiannya yang dilakukan secara parsial, maka perwakilan masyarakat di dalam dan sekitar hutan Jawa yang hadir pada pertemuan konsolidasi dengan Kamar Masyarakat DKN 19 – 20 April di Yogyakarta, mengajukan usulan berdasarkan karakter persoalan di masing-masing wilayah, sebagai berikut. Lihat box 1 dan box 2.

Box 1: Usulan YogyakartaUsulan Masyrakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Yogyakarta untuk Pembaruan Kebijakan

Kehutanan Mendesak adanya dukungan kebijakan secara penuh dari pemerintah (Kementerian

Kehutanan lewat DKN) atas upaya kehutanan masyarakat di Yogyakarta Segera diterbitkan IUPHHK HKM sebagai pedoman dan jaminan kepastian hukum

melalui cara yang murah dan proses yang cepat. Ada jalinan kemitraan/kerjasama antara Kelompok Tani HKM DIY dengan DKN (Kamar

Masyarakat) Mendorong agar hutan di Jawa dikelolah oleh Daerah, bukan oleh PERHUTANI

Box 2: Usulan Jawa Barat, Jawa Tengah, BantenUsulan Masyrakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Jabar-Jateng-Banten untuk Pembaruan Kebijakan Kehutanan Untuk sengketa lahan : segera menyelesaikan penataan ulang kawasan hutan (tata batas,

zonasi, dsb) dan menginventarisasi kawasan hutan. sesegera mungkin membentuk aturan main, agar pelaksanaan industri kehutanan berjalan sesuai dengan keingingnan rakyat. Dalam hal ini, kebijakan FPIC harus menjadi landasan. FPIC juga digunakan untuk sektor-sektor lain;

Revisi Undang-undang Kehutanan; Membangun Solidaritas Petani; Membangun Model resolusi konflik kehutanan (penanganan secara lokal). Berkaitan dengan tumpang tindih kebijakan dan penguasaan hutan, dua usulan

masyarakat adalah a. Hutan diserahkan kepada daerah. Belajar dari Jogjakarta, fakta menunjukan

bahwa Pemda masih lebih bertanggung jawab kepada rakyat dibandingkan Perhutani.

b. Konsep HTR, HKM dan Hutan Desa perlu didorong dengan didahului kajian untuk melihat peluangnya bagi masyarakat. Menggugat PP 72 tentang Perhutani untuk mengurangi dan atau membubarkan Perhutani.

Kehutanan Kalimantan

Page 15: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Jaman KolonialKalimantan pada awalnya sepi dari panggung sejarah, selain cerita kerajaan-kerajaan tua pra-kolonial. Catatan-catatan sejarah menunjukan bahwa perdagangan yang melibatkan kalimantan dimulai oleh orang-orang China yang menggalakkan transaksi hasil hutan seperti rotan dan karet perca atau karet liar yang tumbuh secara alamiah di hutan-hutan kalimantan maupun sumatera. Setelah kilang minyak Kalimantan Timur mulai berjalan tahun 1898, bisnis pengerukan sumber daya alam kalimantan mulai digalakkan. Pantai Timur diwarnai oleh eksploitasi minyak dan batu bara. Sentra kalimantan, Banjarmasin, menjadi penampung hasil ekstraksi dan selanjutnya diangkut ke Singapura. Di pantai barat, Pontianak, pengumpulan karet menjadi primadona antara 1910 – 1925, kemudian merosot drastis pada masa depresi ekonomi, 1930 – 1936. Karena itu, pada tahun 1930-an, dimulailah rencana yang lebih sistematis lewat pembukaan perkebunan di sejumlah tempat, antara lain perkebunan karet, sawit, gambir dan kopi.8

Di Kalimantan Tengah, bisnis pembalakan dimulai pada 1947 ketika konsesi monopoli pengelola hutan diberikan oleh Dewan Dayak Besar kepada sebuah perusahaan swasta NV Bryuenzil Dajak Hoodbredijeven (BDH). Perusahaan itu baru beroperasi pada 1949 di wilayah konsesi yang sangat luas yakni mencakup tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni Seruyan, Mentaya, Katingan. BDH dianggap sebagai perusahaan kayu terbesar di Asia Tenggara mengingat kayu yang diekspor pada masa itu mencapai ratusan ribu meter kubik per tahun. Untuk menjamin pasokan kayu, BDH menerapkan sistem penebangan kayu oleh masyarakat. Sistem inilah yang memperkenalkan masyarakat di Kalteng dengan pembalakan dan penjualan kayu secara komersial. Pergolakan politik membuat BDH dinasionalisasi menjadi PT Dayak Sampit dan setelah itu menjadi PT Perhutani dan kemudian menjadi PT Inhutani III. Meskipun secara fisik berganti wajah, namun watak dan perilaku eksploitatif BDH masih diwariskan secara telaten oleh Inhutani.9 Masa KemerdekaanDi Kalimantan sekitar 64% desa yang seluruh atau sebagian wilayahnya berada dikawasan hutan. Jadi lebih dari separuh desa berada di dalam atau beririsan dengan kawasan hutan. Prosentase terbanyak adalah di Kalimantan Tengah yakni 99% seluruh wilayahnya adalah hutan. Sebagian Palangkaraya (ibukota Propinsi) pun dikategorikan sebagai kawasan hutan.

Dalam diskusi konsolidasi Kamar Masyarakat DKN, perwakilan masyarakat di dalam dan sekitar hutan Kalimantan melihat bahwa hingga saat ini masyarakat di dalam dan sekitar hutan Kalimantan mengalami sejumlah persoalan. Pertama, ekspansi perkebunan kelapa sawit. Kedua ekspansi pertambangan. Ketiga IUPHHK, dan keempat Hutan Lindung dan Tata Batas. Ekspansi batu bara dan sawit di hutan-hutan yang diklaim sebagai hutan adat menjadi dua persoalan utama yang dihadapi di masing-masing wilayah dari hampir semua peserta Kalimantan. Di Kalimantan Barat, warga Dusun Gurung Permai, Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai Kabupaten Sintantang menolak survey batu bara yang akan mencukur habis hutan adat yang tersisa. Penolakan tersebut berbuah kriminalisasi bagi warga. Sejumlah orang didakwa melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena menolak batu bara. Di Kalimantan Tengah, kehadiran bisnis baru, REDD, menjadi ajang perdebatan baru di tengah ekspansi sawit yang tidak berhenti, dan persis bertentangan dengan misi REDD untuk menyelamatkan hutan. REDD akhir-akhir ini menjadi sumbu konflik baru yang potensial mengadu antara kelompok masyarakat yang setuju dan tidak setuju pilot project REDD. Di Kalimantan Timur, orang Muluy dikepung oleh kelapa sawit dan logging di tengah upaya mereka untuk tetap mempertahankan satu-satunya cadangan hutan yang tersisa di Paser, Kaltim.

Menjawab persoalan-persoalan ini maka langkah-langkah yang sudah dilakukan antara lain membentuk jaringan kerja antarkampung. Di Melawi, Kalbar dibentuk JAKA (Jaringan Antar Kampung) yang menjadi wadah konsolidasi dan sharing informasi antara masing-masing kampung

8 Marwati Djoened Poesponegoro,Nugroho Notosusanto, 2008, Sejarah nasional Indonesia: Jaman Kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka, hal. 2489 Herry Yogaswara, 2011, Perizinan Hutan Kemasyarakatan di Kalimantan Tengah, dalam Akses pada Keadilan Tenurial di Kawasan Hutan Indonesia: Perizinan Hutan Kemasyarakatan di Kalimantan Tengah, Lampung dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: van Vollenhoven Institute Universitas Leiden dan Bappenas, hal. 20-21

Page 16: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

terutama menghadapi persoalan tambang dan perkebunan sawit. Selain itu, dilakukan juga pemetaan partisipatif, inventarisasi tanah adat, audit yang didukung oleh demonstrasi, sosialisasi dan negosiasi dengan berbagai pihak. Di beberapa tempat lobi dengan bupati berhasil. Bupati Melawi Kalbar, misalnya, melalui surat ke Camat Menukung No 540/200/Ekbang, 14 Maret 2011 mengeluarkan moratorium tambang di Desa Pelaik Keruap, Laman Mumbung dan Landau Leban, Kecamatan Menukung. Perusahaan yang beroperasi di wilayah adat tanpa sepengetahuan masyarakat adat juga dikeluarkan dan membayar denda adat.

Berkaitan dengan peluang ke depan, di seluruh wilayah Kalimantan, peluang yang tersedia adalah adanya hak-hak adat yang dikuasai oleh masyarakat adat. Meskipun sebagian besarnya belum ada pengakuan formal, kecuali di Kalteng, tanah-tanah adat dikuasai secara langsung oleh komunitas.

Di sisi lain, hambatan dan ancaman yang terus berlangsung adalah konflik antarmasyarakat akibat kehadiran investor, perkebunan skala besar dan bentuk-bentuk penguasaan skala besar lainnya oleh pihak luar.

Box 3: Usulan Kalimantan Pemda harus melibatkan masyarakat secara aktif dalam pembuatan kebijakan, seperti :

Perkebunan, Pertambangan, REDD plus. Mengadopsi FPIC dalam setiap bentuk proyek apapun, terutama yang berkaitan dengan

hutan dan wilayah adat lainnya

Kehutanan SulawesiJaman KolonialPada akhir abad XVII, musuh utama yang menentang hegemoni militer dan perdagangan VOC di timur adalah kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan. Seperti umumnya di tempat lain, VOC baru dapat menang setelah menjalin aliansi taktis dengan kelompok yang cukup berpengaruh di negara musuh, dikenal dalam sejarah Indonesia dengan devide et impera. Dalam kasus Gowa, pihak Belanda menjalin persekutuan dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenritatta to Unru’, lebih dikenal dengan nama Arung Palakka (Ricklefs, 2008: 132). Penaklukan Gowa dari 1666 – 1669 yang diikut Manado, Gorontalo, Limboto dan lembah Palu, menurut Ricklefs tidak hanya merupakan kepentingan perdagangan tetapi VOC sedang dalam perjalanan menjadi kekuasaan imperial (Ricklefs, 2008: 136).

Apa yang direbut dari Sulawesi Selatan pada awalnya adalah jalur perdagangan maritim. Menguasai jalur tersebut adalah kanal menuju penguasa sesungguhnya. Sulawesi sendiri kaya dengan hasil hutan terutama kayu besi dan kayu hitam yang menjadi salah satu ekspor andalan pra-kolonial maupun ketika Belanda mulai masuk (Lapian, 2008: 88). Bersamaan dengan itu, upaya mengontrol sumber daya alam mulai masuk ke pedalaman. Karena itu, penaklukan masyarakat pedalaman di dataran tinggi terjadi di berbagai wilayah. Di dataran tinggi Sulawesi Tengah, Belanda masuk pada 1905 sebagai respons surat seorang misionaris sekaligus etnografer Albert Kruyt dan seorang misionaris ahli bahasa, Nicolaus Adriani. Setelah tinggal cukup lama, selama dekade sebelum penaklukan, kedua misionaris tersebut yakin bahwa penaklukan militer diperlukan untuk mempermudah kontrol terhadap pribumi. Mereka merekomendasikan perlunya serbuan militer ke penguasa Hindia Belanda. Tiga belas kapal Belanda menepi dengan 3000 pasukan dan mulai melakukan penaklukan wilayah pedalaman poso yang diikuti dengan pemukiman kembali penduduk dari dataran tinggi ke Poso (Li, 2007: 66-67). Agenda ini dilanjutkan secara meluas oleh Pemerintah Orde Baru pada tahun 1970an.

Pedalaman sulawesi sejak lama sudah sangat kaya dengan hasil-hasil hutan. Kehadiran Belanda pertama-tama membawa misi mengeruk kekayaan alam. Meski demikian, kontrol atas sumber daya alam tidak serta merta merupakan kontrol dalam arti hukum. Di Gorontalo, sebagaimana dicatat B.J. Haga, seluruh Agrarisch Reglement hanya berada di atas kertas saja. Hampir semua pembukaan tanah dilakukan berdasarkan izin kepala dusun yang diberikan dengan lisan. Hanya dalam hal-hal khusus, misalnya bilamana dibuka kompleks luas atau diadakan pembukaan hutan oleh orang pribumi dari daerah lain maka orang mohon izin Hoofd van Palaatselijk Bestuur (kepala Pemerintahaan Setempat)

Page 17: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 (1) sub c Agrarisch Reglemement Manado (B.J. Haga, 1981: 26). Tidak banyaknya campur tangan kolonial pada pemerintahan lokal dan kewenangannya juga ditemukan dalam kajian desentralisasi era kolonial yang ditelaah dengan apik oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. Menteri Kolonial masa itu, J. Th. Cremer adalah anti-sentralisasi pemerintahan. Menurut dia, sentralisasi dalam Pemerintahan Hindia Belanda benar-benar merupakan sisi gelap dalam pengelolaan Tanah Hindia (Wignjosoebroto, 2004: 9-10). Karena itu, banyak kewenangan sistem adat maupun lokal atas pengaturan sumber daya alam dipertahankan pada masa kolonial. Ironisnya, kehancuran dalam pengertian yang sistematis baru dimulai pada era kemerdekaan.

Dipertahankannya kewenangan sistem lokal nampak dalam penghargaan pemerintah kolonial atas peran lembaga-lembaga adat dalam menjamin kawasan konservasi. Menurut cerita, Sombolinggi, tokoh adat Toraja, pada zaman pemerintahan Belanda, tahun 1930an sudah ada perjanjian tata batas kawasan hutan antara masyarakat adat dan pemerintah Belanda. Setelah proses tata batas selesai maka semua perwakilan masyarakat diundang dan diadakan acara makan bersama dengan menyelembelih babi atau kerbau dan kemudian mengangkat sumpah adat untuk menyepakati tata batas antara hutan dengan masyarakat. Sumpah itu adalah sumpah bertaruh nyawa yang membuat orang patuh pada kesepakatan tata batas. Di batas itulah harga diri dipertaruhkan. Menurut Sombolinggi, barangkali peristiwa itu adalah FPIC pertama yang berkaitan dengan kawasan hutan.10

Indonesia MerdekaSetelah merdeka, banyak persoalan dihadapi masyarakat terutama akibat klaim pemerintah yang berkaitan dengan hak menguasai negara (HMN). Melalui klaim tersebut, sejumlah kawasan ditetapkan sebagai wilayah konservasi dan membatasi bahkan melarang orang untuk masuk ke dalamnya tanpa didahului oleh suatu proses partisipasi yang memadai. Di Ngata Toro, Sulawesi Tengah wilayah desa yang masuk Taman Nasional seluas 18.250 ha dari 22.950 ha. Di Provinsi yang sama, tepatnya di Desa Tuva, orang Sinduru mengalami bahwa ketika penunjukan Taman Nasional Lore Lindu dilakukan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Donggala mempekerjakan warga Tuva untuk mengangkut patok-patok yang dicor dari semen agar ditanam mengikuti instruksi petugas Dinas Kehutanan. Tidak ada informasi mengenai fungsi patok-patok tersebut. Masyarakat diberi upah untuk memikul patok hingga ke atas bukit. Sebagian patok tersebut ditancapkan begitu saja di kebun orang atau bahkan kebun sendiri karena warga tidak sanggup memikul patok hingga ke bukit yang medannya berat. Alhasil, di kemudian hari patok-patok tersebut menjadi acuan bagi petugas Taman Nasional untuk memastikan tata batas kawasan, tapi juga sekaligus membatasi bahkan memutuskan akses para pemilik kebun atas kebunnya sendiri (Steni, 2011: 80-81). Status penguasaan hutan yang tidak pasti membuat masyarakat seringkali dituduh sebagai pelaku illegal logging atau penghuni illegal yang berhadap-hadapan dengan aparat keamanan. Sementara banyak pelaku yang disebut “legal” karena memiliki izin justru menjadi perusak hutan dalam arti yang sebenarnya. Di atas wilayah yang masih “abu-abu” tersebut, saat ini hadir proyek REDD yang merupakan kerja sama dengan UN-REDD. Masyarakat bingung karena informasi mengenai proyek ini sama sekali tidak sampai ke telinga mereka. Hanya samar-samar terdengar bahwa proyek ini mendatangkan manfaat.

Di Gorontalo, menurut peserta yang hadir dalam konsolidasi kamar Masyarakat DKN regio Sulawesi 4-5 Juli 2011, pemerintah membagi-bagikan bibit jagung gratis dan mendorong masyarakat untuk menanam, tapi tidak menentukan wilayahnya sehingga masyarakat menanam di gunung. Ketika terjadi banjir, masyarakatlah yang disalahkan dan dituduh sebagai peladang berpindah, padahal pemerintah yang membagi-bagikan bibit jagung. Ada permasalahan kepemilikan lahan di mana sebagian besar masyarakat bukan pemilik lahan, tapi hanya penggarap. Pembagian bibit itu sendiri merusak sistem pertanian tradisional dan ekosistem lainnya karena bibit yang dibagikan adalah bibit transgenik. Pada saat yang sama, Menhut mengeluarkan SK menhut 324 dan 325 tahun 2009 yang mengalihfungsikan Taman Nasional menjadi hutan produksi seluas 14.000 hektar bukan untuk masyarakat, melainkan untuk tambang emas Bakri. Sebaliknya, status masyarakat justru terancam karena saat ini ada 7 kelurahan di Gorontalo masih berstatus kawasan hutan sehingga kapan saja bisa

10 Sombolinggi, sharing dalam diskusi konsolidasi kamar masyarakat DKN regio sulawesi, 4-5 Juli 2011, Hotel Menara Kenari Makassar

Page 18: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

diusir. Tuduhan illegal logging juga masih identik dengan wajah masyarakat. Yang kerap ditangkap adalah yang mengambil 1-2 kubik untuk membangun mesjid. Untuk merespons persoalan-persoalan tersebut sekarang, ada Pemantau Independen Kehutanan dari kalangan LSM tapi tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memantau.

Di Sulbar, Gubernur secara sadar membangun kantor di atas kawasan hutan untuk kompleks gedung pemerintah, DPR, dan instansi lainnya. Mereka mengajukan revisi tata ruang wilayah untuk kantor dan tambang, tapi kawasan masyarakat tidak dimasukkan ke dalam usulan revisi tersebut. Di Palopo, Ada tumpang tindih klaim di Desa Uraso dsk, dengan PTPN dan masyarakat Dephut. Di Bulu Kumba, Bukan masyarakat yang menjadi pelaku deforestasi utama, tapi pemerintah, contohnya di Bulukumba, mengatasnamakan Menhut. Bagi masyarakat adat, hutan adalah ibu, sakral, sebelum Indonesia merdeka. Sejak zaman Soeharto, terjadi pembabatan hutan dan pengkaplingan oleh PT Lonsum

Dalam diskusi kelompok terungkap bahwa secara garis besar permasalah di sulawesi saat ini adalah pembatasan askses dan kontrol masyarakat adat/lokal oleh UU No. 41 Tahun 99 tentang Kehutanan, tuduhan perambahan kawasan hutan secara ilegal dan perusakan hutan oleh pelaku yang disebut pemerintah sebagai legal, konflik akibat penataan ruang kehutanan dan kebijakan lokal yang tidak mendukung keberadaan masyarakat adat/lokal. Di samping itu, beberapa skema akses terhadap hutan yang ditawarkan pemerintah bermasalah. Di Sulawesi Tengah, hutan desa yang berbasiskan sistem kontrak dan jangka waktu menghilangkan esensi dasar hak-hak ulayat adat. Sementara Hkm, terjebak dalam prosedur yang berbelit-belit sehingga kurang direspons masyarakat. Program lain dari Kehutanan, GERHAN, dianggap oleh peserta yang hadir sebagai kegiatan yang tidak berbasis pada kebutuhan nyata komunitas dan partisipasinya semu, target sering tidak tercapai, dan sering ada rekayasa laporan.

Beberapa inisiatif sudah dilakuan oleh masyarakat dan NGOs, antara lain pemetaan partisipatif, mengawal kebijakan yang pro terhadap wilayah kelola masyarakat lokal/adat yang tinggal di wilayah kawasan hutan: seperti Sekko, Tahura Nipa-Nipa dsb sekaligus mendorong tata ruang kampung masuk ke RTRW Kabupaten. Berbagai aksi dan kampanye media juga dilakukan. Selain itu, sejumlah NGOs juga melakukan mediasi konflik dan penguatan kelembagaan masyarakat adat/lokal. Di beberapa tempat, masyarakat melakukan reklaiming untuk mendapatkan kembali hak mereka yang telah diambil alih oleh pihak lain. Sementara pada level lobi, berbagai jaringan seperti di Palopo aktif membangun diskusi reguler dengan pemerintah. Berbagai peraturan nasional yang ada saat ini seperti hak asasi manusia dan peluang revisi UU Kehutanan, UU Konservasi, RUU Desa, RUU Masyarakat adat merupakan pintu masuk untuk mendorong inisiatif di level kampung masuk ke ruang lingkung nasional. Peserta juga melihat bahwa beberapa perkembangan terakhir bisa jadi peluang baru, seperti kebijakan moratorium perizinan hutan yang bisa dijadikan alat untuk menghentikan laju kerusakan hutan dan menghentikan ekspansi kebun dan tambang. Namun pada saat yang sama, moratorium harus memperjelas posisinya terhadap hak masyarakat atas hutan, jangan sampai ikut di-moratorium.

Hasil yang sudah dicapai saat ini adalah beberapa konflik mereda dan terbentuknya sejumlah peraturan yang secara perlahan mulai mengakui hak-hak masyarakat adat/lokal. Misalnya, lahirnya SK pengakuan wilayah kelola sumber daya alam masyarakat adat Seko, SK pelarangan perburuan liar dalam kawasan hutan di Seko, Perda DAS(Lamasi Kab. Luwu), Komite DAS Lamasi, terbukanya ruang komunikasi dengan dinas kehutanan di Luwu dan adanya SK Menhut tentang HKM Manggala. Dukungan politik dari legislatif lokal juga sudah mulai muncul dan pintu-pintu dialog semakin terbuka.

Namun, di tengah capain dan peluang tersebut, peserta mencatat masih terdapat sejumlah tantangan antara lain keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan modal demi melayani pertumbuhan ekonomi, masih terbatasnya akses masyarakat sipil ke informasi yang relevan, kebijakan nasional maupun lokal yang pro terhadap eksploitasi sumber daya alam dan mengabaikan hak masyarakat adat/lokal. Pada saat yang sama, masyarakat dan NGOs belum cukup siap dan solid untuk membangun strategi kerja sama yang efektif mendorong perubahan yang realistis. Masih banyak pekerjaan NGOs berbasis jargon ideologis yang tidak membumi dan pada kenyataannya jauh dari

Page 19: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

tuntutan masyarakat. Singkatnya, apa yang diperjuangkan NGOs seringkali berbeda dengan apa yang diinginkan masyarakat. Di samping itu, persoalan sumber daya finansial juga membatasi ruang geraka masyarakat dan pendukungnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan advokasi.

Peserta menyepakati untuk mendorong agar masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan terus menerus membangun komunikasi yang lebih intensif dan memperkuat kapasitas melalui jaringan yang ada maupun bantuan dari NGOs.

Usulan MasyarakatRekomendasi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan regio sulawesi untuk kebijakan kehutanan dibagi berdasarkan beberapa topik, sebagaimana tercantum dalam box 4.

Box 4: Usulan regio SulawesiUSULAN REKOMENDASI

DKN Kepastian hukum tentang kewenangan DKN dalam bentuk Keppres, utk merekomendasikan tiap gubernur untuk membentuk Dewak Kehutanan Daerah pada tiap provinsi

Membentuk Dewan Kehutanan Daerah (DKD) di tiap provinsi,yang sifatnya otonom dalama bentuk SK Gubernur

PENATAAN RUANG

Penataan ulang batas-batas kawasan hutan, terkait registrasi dan pemetaan wilayah berbasis kampung/desa (Pendokumentasian)

Pengakuan hak masyarakat lokal/adat terkait wilayah kelola (kepastian hak) Peta-peta wilayah kelola barbais kampung/desa harus menjadi rujukan utama

dalam penyusunan RTRW Kab/kota/Provinsi Menumbuhkan inisiatif desa untuk melakukan penataan batas wilayah desa dan

kawasan hutan

REDD Skema REDD Harus berdasarkan prinsip-prinsip FPIC (Free Prior and Inform Concern ) Persetujuan bebas tanpa paksaan dengan didahului informasi awal yg lengkap (hak masyarakat)

KAMAR MASYARAKAT DKN

Pilar utama DKN untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak dan kepentingan masyarakat

Keterwakilan anggota dalam kamar masyarakat harus memiliki kriteria-kriteria:1. Memahami substansi hukum2. Memahami substansi sosial politik dan budaya3. Memahami substansi kehutanan4. Memiliki komitmen yang tegas keberpihakkan kepada rakyat

Mengubah jumlah anggota KM dari 3 orang menjadi 7 orang, mewakili regio Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Papua

PENGUATAN INSTITUSI

Membentuk wadah koordinasi masyarakat (pola relasi antar OR) dalam kawasan dan sekitar hutan

Penguatan institusi kelembagaan desa dalam pengelolaan hutanKEBIJAKAN Mendukung rekomendasi DKN dalam melakukan revisi UU Kehutanan, UU

Konservasi, dan UU lainnya yang bertentangan dengan konstitusi negara

Kehutanan Maluku Jaman KolonialMaluku dari kata Jazirata Al Mulk atau pusat rempah-rempah dunia telah masuk dalam pengetahuan wajib perdagangan di Tumur Tengah sekitar tahun 500 SM. Ketenaran cengkeh dan pala dari hutan-hutan Maluku mengangkat pulau kecil itu ke tengah gelanggang perdagangan dunia. Pohon Cengkeh sendiri merupakan tanaman asli kepulauan Maluku (Ternate dan Tidore), yang dahulu dikenal oleh

Page 20: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

para penjelajah sebagai Spice Islands. Menanam pohon cengkeh saat seorang anak dilahirkan adalah tradisi penduduk asli Maluku. Secara psikologis ada pertalian antara pertumbuhan pohon cengkeh dan anak tersebut sehingga pohon cengkeh benar-benar dijaga dan dirawat oleh orang Maluku. Pada abad pertengahan, sekitar 1600 Masehi, cengkeh pernah menjadi salah satu rempah yang paling popular dan mahal di Eropa, melebihi harga emas. Perjalanan cengkeh dari daerah asalnya di Maluku sampai menjadi rempah yang dikenal dan digunakan di seluruh dunia bergulir seiring dengan garis sejarah perdagangan rempah-rempah (spice trade). Perdagangan itu pula yang mengundang Portugis, Spanyol dan Belanda ke Maluku yang pada akhirnya dimonopoli Belanda. Di bawah kekuasaan Belanda, pola perdagangan rempah-rempah secara total berubah.

Pertama-tama, tidak ada sejarah monopoli perdagangan penuh kekerasan yang paling dekil selain apa yang dikerjakan oleh VOC pada abad ke-17 dan 18 di Maluku. Kebijakan itu dikerjakan dengan banjir darah oleh Arnold de Vlaming van Outshoorn yang menjadi Gubernur Ambon dari 1647 – 1650 dan Inspektur atas Ambon, Banda dan Ternate pada 1652 – 1656 dan Jan Pieter Zoen Coen di Banda. Coen membasmi penduduk lokal di Banda dari berjumlah 15.000 menjadi 600 orang. Pemusnahan cengkih pun dilakukan di berbagai tempat dan hanya mempertahankan Ambon sebagai basis Cengkih. Pada saat itu, Ambon mampu menghasilkan cengkih dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk konsumsi seluruh dunia (Ricklefs, 126-127). Karena itu, untuk mempertahankan harga pasar dan stabilitas jumlah penawaran, VOC dengan sekuat tenaga menjalankan monopoli, termasuk dengan mengontrol jumlah produksi cengkih. Tanaman itu pada akhirnya tidak lagi menjadi tradisi tetapi semata-mata dibatasi di bawah kontrol komoditas perdagangan kolonial Belanda. Dari situ, kas VOC menangguk banyak untung, meskipun akhirnya rontok karena dijejali pembusukan korupsi yang merajalela.

VOC menggunakan segala cara untuk menaklukan Maluku. Seperti lawan mereka terdahulu, Portugis, Belanda juga menggunakan taktik agama untuk memecah kesatuan penduduk. Pengelompokan sosial yang baru pasca masuknya Kristen berujung pada konflik horizontal yang memudahkan penaklukan oleh Belanda. Kekerasan sosial ini terus berlanjut bahkan beberapa tahun silam kembali muncul dalam wajah yang sangat brutal dan kejam. Sejarah penguasaan sumber daya alam, terutama hasil-hasil hutan Maluku yang diwarnai konflik berdarah nampaknya digunakan dengan sangat efektif oleh setiap regim yang hendak menaklukan Maluku, termasuk setelah Indonesia merdeka.11

Indonesia Merdeka

Berbagai laporan menunjukan bahwa banyak konflik di Maluku terjadi karena dipicu oleh eksploitasi berbagai industri kehutanan dan tambang.12 Di Era orde Baru, ketidakpuasan ditekan sedemikian rupa sehingga konflik dibungkam. Disimpan bertahun-tahun, konflik tersebut pecah berantakan menjadi tak terkendali dalam letupan konflik horizontal yang mewarnai Maluku pada era awal jatuhnya Soeharto. Guratan luka konflik tersebut masih terasa hingga kini.

Dalam diskusi yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dari Maluku dan Nusa Tenggara pada 24-26 Mei 2001 di Lombok, peserta dari Maluku mengakui bahwa beberapa tahun belakangan, sejumlah perubahan memang telah berhasil digulirkan. Dalam kaitannya dengan tenure, beberapa tempat di Maluku sudah lebih maju dengan adanya Perda Negeri yang didalamnya memuat pengakuan terhadap masyarakat adat. Namun dalam implementasinya soal tata batas antarnegeri masih sering menjadi sumber konflik horisontal. Karena hingga saat ini, girik yang dipegang masyarakat sejak jaman Belanda, masih dianggap berlaku dan menjadi dasar klaim antar komunitas. Hal ini menyebabkan proses penguatan hak-hak masyarakat adat (hak-hak ketuanan di masing-masing wilayah) tidak bisa berjalan efektif, terutama dalam akses dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat.

11 Smith Alhadar, 2001, Kekerasan di Maluku: Produk Sejarah Kolonial dalam “Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, Zairin Salampessy dan Thamrin Husain,eds, Ambon: Sekretariat Tapak Ambon, hal. 11-1712 George Junus Aditjondro, Gajah Lawan Gajah Berlaga Orang Maluku Mati di Tengah-Tengah, dalam dalam “Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu”, Zairin Salampessy dan Thamrin Husain, eds, Ambon: Sekretariat Tapak Ambon, hal. 42-47

Page 21: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Khusus di Tanimbar, Maluku Tenggara, masalah yang dihadapi masih berkutat pada ijin HPH yang masuk dan ditolak oleh masyarakat karena memang berada di wilayah masyarakat. Pernah masyarakat menggugat perusahaan HPH yang wilayah kerjanya ada diatas tanah masyarakat. Kasus tersebut kemudian dimenangi oleh masyarakat dan perusahaan tersebut terusir dari wilayah itu. Namun selang beberapa tahun kemudian, pemerintah kembali memberi ijin baru HPH di Tanimbar. Tidak hanya itu, ijin pertambangan pun menyusul di kawasan hutan. Saat ini masyarakat kembali mengajukan gugatan terhadap perusahaan HPH tersebut.

Persoalan lain adalah kehadiran sejumlah program pemerintah yang nampaknya tidak memperkuat kekuatan sosial masyarakat tetapi justru bikin manja dan membuat mereka terjebak dalam siklus korupsi program bantuan. Program GERHAN, Reboisasi, misalnya, menggiring masyarakat untuk ikut korupsi. Belajar dari pengalaman program serupa dan perilaku birokrat, program GERHAN atau reboisasi mengajak mereka untuk menanam, tapi tidak perlu melakukan pemeliharaan. Lalu setelah pohonnya besar, mereka bisa curi pohonnya bersama-sama aparat. Program-program kehutanan tersebut juga buta terhadap fakta lapangan. Karena iming-iming imbalan penanaman, pola pengembangan program pemberdaayaan seringkali tidak memperhitungkan wilayah untuk menanam tanaman pangan. Areal pangan mengecil dan ketahanan pangan menjadi rentan untuk memberi ruang bagi program reboisasi. Karena itu, konsep penanaman hutan saat ini juga potensial mengacam ketahanan pangan masyarakat. Konsep-konsep baru ini sama sekali tidak melirik konsep pengelolaan hutan beserta sumberdaya versi masyarakat yang mendukung kelestarian hutan sekaligus ketahanan pangan di dalamnya.

Pada saat yang sama, konsep kemitraan dalam arti yang sebenarnya tidak dijalankan secara utuh. Sehingga masyarakat lebih sering sebagai obyek yang menjalankan program tanpa pernah berkembang kapasitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh peserta diskusi

Konsep pemerintah tentang pengelolaan hutan bersama masyarakat juga dimaknai bukan sebagai upaya partisipatif yang sebenarnya oleh masyarakat. Karena semua datang kepada masyarakat dalam bentuk konsep jadi, masyarakat hanya diminta untuk menjalankan. Yang masyarakat inginkan adalah ada dialog sejak awal untuk menyusun konsep pengelolaan hutan/ SDA lain secara bersama-sama, untuk dijalankan bersama, untuk capaian bersama, untuk kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.

Sebagai bagian dari gugus wilayah pulau-pulau kecil Maluku juga menghadapi persoalan perubahan iklim yang serius. Hutan mangrove yang diandalkan untuk menghadang abrasi tidak mendapat perhatian serius pemerintah. Masyarakat memang merasakan pentingnya mengembangkan hutan mangrove untuk mengatasi abrasi laut. Namun sejauh ini pengaturan mengenai manajemen tata kelola hutan mangrove masih tidak jelas. Baru-baru ini, gelombang pasang yang tidak pernah terjadi dalam sejarah menghantam pulau-pulau kecil Maluku. Akibat perubahan iklim semakin nyata dan akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.

Dari segi kelembagaan, sebagian besar masyarakat yang belum bisa terkonsolidasi dengan baik akibat hambatan pendanaan. Kalaupun ada dukungan sumber daya, kelompok-kelompok masyarakat dan juga lembaga pendampingnya justru jatuh dalam jebakan “donor driven”. Saat ini ada upaya untuk mulai mempertimbangkan jaringan pengusaha untuk menunjang supporting logistik konsolidasi. Beberapa pintu pemerintah seperti DKN sudah pernah didengar tetapi menurut pengakuan peserta diskusi sebagian besar masyarakat belum mengetahui mekanisme dan cara kerja DKN sebagai pintu yang dapat dimanfaatkan masyarakat bagi penyelesaian konflik pengelolaan SDA, khususnya kehutanan. Secara umum, masyarakat masih merasa bahwa political will dan komitmen pemerintah dalam penyelesaian konflik kehutanan di Indonesia kurang serius.

Dari segi kebijakan, dari 11 kabupaten yang ada, sudah ada dua kabupaten di Maluku yang berhasil menyusun dan menerbitkan Perda tentang pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak-hak

Page 22: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

pengelolaan sumberdaya alamnya. Namun masih perlu didorong untuk memunculkan Perda yang sama ditingkat propinsi.

Rekomendasi Maluku disatukan dengan Nusa Tenggara karena konsolidasi kedua wilayah tersebut disatukan (lihat di bawah).

Kehutanan Nusa TenggaraJaman KolonialVOC sudah aktif di Nusa Tenggara pada abad XVII. Pulau Timor masih tetap menjadi sumber kayu cendana, tetapi Flores, Sumba, Sawu dan Rote hanya memiliki arti perdagangan kecil (Ricklefs, 136). Sumbawa sebagai wilayah taklukan Gowa juga ikut jatuh ketika Gowa diluluhlantakan VOC pada abad XVII, namun tidak memiliki banyak potensi sumber hutan yang digali. Karena itu sumber kekayaan hutan yang paling banyak dicari dari wilayah ini adalah cendana yang menurut catatan sejarah sudah mulai diburu sejak abad ke-4 Masehi (Kompas, 2011: 167).

Cendana pada mulanya dipersepsikan sebagai pohon keramat dan hau meni. Hau meni adalah gadis sumber keharuman; sebuah mitologi lokal yang menggambarkan bahwa konon cendana merupakan gadis cantik yang memancarkan keharuman bagi keluarga, masyarakat dan tanah Timor. “Sang gadis” dijaga kelestariannya. Perusak cendana diyakini akan mengalami musibah, tertimpa kesulitan hingga menemui ajal. Pada abad ke-14, China dan India melukiskan Timor sebagai penghasil cendana berkualitas istimewa. Namun, pada masa kolonial Belanda, cendana yang semula merupakan pohon keramat dan hau meni dalam perkembangannya dianggap sebagai hau plenat (kayu milik pemerintah) atau hau lasi (kayu perkara), suatu periode ketika cendana mulai diklaim sebagai milik pemerintah. Masyarakat diharuskan menjaga dan memelihara, namun tidak berhak memanen. Warga yang menebang pohon cendana tanpa izin dikenai sanksi. Pada masa itu, seluruh pohon cendana diberi cap sebagai milik pemerintah Belanda (Kompas, 2011: 168-170). Praktek monopoli dan klaim ini diteruskan oleh pemerintah Indonesia merdeka tidak hanya ke cendana tetapi juga hasil hutan lainnya.

Indonesia MerdekaDi zaman kemerdekaan, monopoli pemerintah atas cendana dilakukan lewat Perda NTT No 11/1966 dilanjutkan Perda No 16/1986. Kedua perda itu menegaskan kepemilikan cendana ada pada pemerintah. Perda 1986 memicu protes karena menurunnya jatah bagi hasil untuk rakyat. Kalau pada 1966, rakyat mendapat 50% hasil cendana di atas tanah miliknya, tahun 1986 hanya menyisakan 15%. Akibatnya, warga enggan menanam cendana sehingga kayu itu nyaris punah setelah dieksploitasi pemerintah dan dijadikan sumber penghasilan daerah selama bertahun-tahun (Kompas, 2011: 170).

Klaim pemerintah atas cendana adalah tipikal penguasaan sepihak pemerintah atas hasil hutan di NTT, dan barangkali juga di wilayah lain Indonesia. Saat ini, masalah yang mirip namun dengan pola yang berbeda juga terjadi, yakni pemanfaatan atau penguasaan kembali oleh masyarakat atas tanah terlantar (bekas HGU, HPH, dan proyek pengusahaan hutan lainnya). Di sisi lain, masih terjadi perebutan klaim antara Negara (dalam hal ini pemerintah setempat) untuk mengambil alih lahan dengan masyarakat, khususnya untuk tambang. Di Kecamatan Reo, kabupaten Manggarai, sebuah perusahaan yang dimodali oleh pengusaha asal Tiongkok membombardir hutan lindung untuk mengeruk biji mangan. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, para pemburu mangan merangsek masuk hutan, membabat habis hutan yang tersisa dan meninggalkan resiko banjir yang terus menunggu di musim hujan. Mereka dibayar Rp 700 per kg bongkahan mangan. Namun yang diterima pekerja hanya Rp. 600 per kg karena Rp. 100 disisihkan untuk gereja dan pemerintah desa setempat. Pekerjaan itu bukan tanpa resiko. Sejak awal 2010, setidaknya ada 34 warga Timor tewas tertimbun lubang galian mangan. Ancaman yang lebih besar adalah konflik penguasaan hutan yang sarat mangan. Tetua adat setempat terkejut ketika tiba-tiba ada sekelompok orang mengaku sebagai tuan tanah dari kawasan hutan seluas 115 hektar yang berisi mangan. Hutan tersebut menurut para tetua adat telah diserahkan oleh adat ke Pemerintah Daerah Kupang untuk menjadi Kawasan Hutan Pemerintah (Kompas, 2011: 174-176). Namun, sangat jelas bahwa keterlibatan pemerintah lokal dan

Page 23: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

institusi agama dalam mendukung proyek penghancuran hutan untuk tambang di Timor membuat daerah itu rentan terhadap konflik dan bencana alam.

Klaim sepihak pemerintah seringkali memicu konflik. Karena itu, masyarakat masih terus menerus mempertanyakan soal dasar legitimasi pemberian ijin pengelolaan hutan oleh pemerintah untuk perusahaan, tata batas hutan yang diklaim oleh negara, dan pelibatan masyarakat dalam pemberian ijin tersebut. Memang saat ini ada peluang untuk melibatkan masyarakat sebagai pihak yang turut mengontrol dan mengakses hutan melalui konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat. Namun, menurut peserta diskusi, konsep itu dimaknai bukan sebagai upaya partisipatif yang sebenarnya oleh masyarakat. Karena semua konsep datang kepada masyarakat dalam rupa konsep jadi, masyarakat hanya diminta untuk menjalankan. Yang masyarakat inginkan adalah ada dialog sejak awal untuk menyusun konsep pengelolaan hutan/ SDA lain secara bersama-sama, untuk dijalankan bersama, untuk capaian bersama, untuk kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.

Sama seperti Maluku, Nusa Tenggara adalah gugus pulau-pulau kecil yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim. Peserta konsolidasi kamar masyarakat DKN 24-26 Mei 2001 di Lombok merasakan pentingnya mengembangkan hutan mangrove untuk mengatasi abrasi laut. Namun sejauh ini pengaturan mengenai manajemen tata kelola hutan mangrove masih tidak jelas.

Beberapa inisiatif yang sudah dikerjakan nampak dalam box berikut.

Box 5: inisiatif yang sudah dilakukan di Nusa Tenggara

Di NTT, ada upaya untuk mendorong penyusunan perda tentang legalitas masyarakat desa hutan. Di Kabupaten Sikka, saat ini statusnya dikeluarkan dari dalam kawasan hutan.

Masyarakat di Kab. Sikka NTT juga sedang mendorong Ranperda Otonomi Desa Di NTB sedang didorong munculnya Perda Kabupaten tentang tata kelola kawasan pesisir

berbasis masyarakat adat. Namun inisiatif ini terhambat akibat pemekaran wilayah. Di Kabupaten Lombok Barat juga sedang diinisiasi penyusunan Perda tentang jasa

lingkungan. Masyarakat juga menyadari pentingnya mendorong penyelesaian konflik dalam inisiatif

perda.

Rekomendasi Bersama dengan Nusa Tenggara dan MalukuBerkaitan dengan persoalan yang sedang dan potensial dihadapi masyarakat, rekomendasi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dari Nusa Tenggara dan Maluku adalah sebagai berikut: Box 5: Rekomendasi bersama Nusa Tenggara dan Maluku Mendorong pemerintah untuk menyusun roadmap penyelesaian konflik kehutanan Mendorong lahirnya Keppres tentang FPIC untuk semua program pembangunan

kehutanan. Sebaiknya istilah FPIC diterjemahkan ke Indonesia, barangkali dengan istilah “Demokratisasi Pembangunan”

Mutlak perlu dilakukan pemetaan partisipatif sebagai basis klaim kewilayahan masyarakat, sekaligus dasar pengembangan program pengelolaan kehutanan, salah satu metode yang mendukung penyelesaian konflik, pendukung dalam penyusunan rencana tata ruang daerah

Mendorong pengakuan dan pengembangan konsep pengelolaan hutan oleh masyarakat beserta sumberdaya yang mendukung ketahanan pangan didalamnya untuk meng-counter konsep pengelolaan hutan yang disediakan pemerintah saat ini mengamcam ketahanan pangan masyarakat.

Mendorong tata kelola wilayah pesisir berbasis pengetahuan lokal. Termasuk didalamnya soal pengembangan dan manajemen mangrove.

Page 24: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Khusus tentang FPIC, peserta yang hadir menyepakati dua hal berikut: Box 6: FPIC menurut regio Maluku dan Nusa Tenggara Prinsip FPIC harus diterapkan dalam setiap proyek pembangunan yang akan masuk. FPIC diakui sebagai mekanisme pengambilan keputusan yang secara tradisional sudah

berlaku turun temurun – di NTT namanya KUlababong (dialog yang demokratis – saya omong kamu dengar, kamu omong saya dengar) – prosesnya di daerah bisa jadi dengan penggalian nilai local yang terkait dengan mekanisme ini dan kemudian mencarikan cantelah hukumnya untuk implementasinya secara lebih luas

Dalam kaitannya dengan perubahan maupun perumusan peraturan perundang-undangan, antara lain UU Kehutanan, RUU Masyarakat Adat, RUU Desa, peserta menyepakati rekomendasi sebagai berikut.

Box 7: Rekomendasi Kebijakan Maluku dan Nusa TenggaraPertama, pada tingkat nasional: Masyarakat terlibat, mengawal, memantau proses inisiatif perubahan peraturan

perundang-undangan nasional : Revisi UU Kehutanan, Penyusunan RUU Desa, RUU Masyarakat Adat

Mendesak dimasukannya mekanisme penyelesaian konflik (termasuk konflik horizontal masyarakat) dalam semua inisiasi kebijakan tersebut

Mendorong pengakuan terhadap ruang hidup masyarakat adat beserta hak-haknya dalam pengelolaan hutan dan pendekatan yang lebih integratif dan komprehensif dalam pengaturan Sumber Daya Alam. Karena itu, antara pesisir dan daratan tidak boleh dipisahkan

Kedua, di tingkat lokal: Mendorong perda pengakuan terhadap masyarakat adat, sampai ke tingkat Kabupaten Mendorong adanya Ranperda Otonomi Desa Mendorong perda ttg tata kelola kawasan pesisir berbasis masyarakat adat (tingkat

Kabupaten) – lintas desa, lintas kecamatan. Tetap mewaspadai agar tidak terjadi pengaturan/ penyusunan perda yang justru

melemahkan ataupun mematikan konsepsi-konsepsi local yang sebenarnya sudah berlaku efektif

Memasukkan mekanisme penyelesaian konflik dalam inisiatif perda Pengembangan jasa lingkungan/ kerjasama hulu-hilir

Khusus untuk DKNMasyarakat menganggap KKI tahun 2006 sebagai satu proses yang gagal, karena tindak lanjut dari forum tersebut pada akhirnya hanya komitmen tanpa realisasi dari orang-orang yang terpilih dan masuk dalam jajaran presidium DKN. Mereka juga berpendapat banyak konflik internal di dalam DKN yang membuat DKN tidak mungkin menjadi wadah yang tepat untuk membawa aspirasi masyarakat. Untuk itu, rekomendasi masyarakat adalah mendorong agar pemerintah cukup berposisi sebagai fasilitator dalam DKN dan tidak dalam kamar tersendiri, karena DKN terbentuk untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Karena itu, kamar yang ada di DKN seharusnya berada di luar pemerintah. Selain itu, tidak perlu ada anggota presidium yang berbasis kompetensi

Kehutanan PapuaJaman BelandaMenurut peserta Diskusi Kamar Masyarakat DKN wilayah Papua pada 13-14 Mei 2011 di Kaimana, secara garis besar akses masyarakat terhadap hutan di Jaman sebelum Indonesia, jauh lebih baik. Beberapa catatan diskusi menyebut situasi sumber daya alam khususnya kehutanan pada jaman Belanda sebagai berikut: Pada masa pemerintahan Belanda kehidupan masayarakat Papua, khususnya Kaimana, terkait

dengan hutan, tanah dan SDA lainnya tidak terlalu sulit. Kayu yang dipakai untuk membangun rumah saat itu tidak memakai kayu merbau, hanya kayu pohon biasa yang tidak bernilai ekonomi

Page 25: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

tinggai. Dinding juga hanya bambu dan atap rumbia. Tidak ada kerusakan hutan saat itu, orang buka kebun hanya dipinggir pantai, tidak menguras dan meremukan hutan di gunung.

Sebelum mengenal pemerintahan, masyarakat Papua, khususnya di Kaimana selalu membuat pondok sebagai tempat bernaung di kebun yang lokasinya berpindah-pindah. Ketika mereka berpindah-pindah tidak ada satu jenis tumbuhan yang dianggap lebih komersial dari jenis tanaman lain. Semasa Indonesia merdeka hingga reformasi, banyak hal baru muncul. Masyarakat mulai saling klaim wilayah. Sesuai dengan perkembangan yang ada, sering terjadi ketidakcocokan dalam lingkup masyarakat itu sendiri. Sengketa lahan terjadi diantara komunitas itu sendiri.

Pembangunan yang dilakukan di jaman Belanda dulu selalu difokuskan untuk mendorong masyarakat mengumpulkan hasil hutan, sementara eksploitasi kayu di hutan-hutan tidak sembarangan. Mereka tidak semata-mata memperhitungkan keuntungan ekonomi semata, tapi pertimbangan nilai ekonomis berjalan seiring dengan pertimbangan nilai ekologi, dan social masyarakat. Pada masa pemerintahan Indonesia tidak demikian. Semua dibabat habis, hutan-hutan yang ada demi kepentingan ekonomis semata dan bagi sebagian golongan saja, karena masyarakat tidak mendapat apa-apa dari program pembangunan yang dilakukan, selain kerusakan hutan tempat masyarakat mencari pencarian hidup.

Kepemimpinan di setiap kampung ada, formatnya bertingkat dan saling berkoordinasi. Pembagian wewenang dan informasi diantara warga ada pada jalur yang jelas. Pertimbangan ekologis sangat dominan dalam pengamilan keputusan bagi program pembangungan di masa lalu oleh pemerintah kolonial. Dan mereka sangat menghargai masyarakat adat dan keagamaan. Dimasa kini pertimbangan ekologis tidak lagi diperhitungkan. Mental masyarakat dimasa kini juga justru menggerus pola kekebaratan sosial masyarakat. Karena keinginan untuk jadi lebih baik, menjadi egois dan tidak memikirkan saudara yang harus ‘tergilas’ karena egonya itu.

Indonesia Papua menandai babak awal kemerdekaan lewat investasi besar-besaran pertambangan Freeport di wilayah hutan hujan milik masyarakat adat Amungme. Wilayah tersebut sebagaimana halnya dengan kawasan hutan lain di luar Jawa, belum memiliki tata batas yang jelas. Apalagi untuk kasus Papua, batas teritorial seringkali tidak banyak gunanya karena hampir semua wilayah berada di bawah kontrol aparat keamanan. Perlawanan terhadap Freeport berdarah-darah sekaligus menggerakan semua kekuatan sosial masyarakat, termasuk seorang perempuan hebat dalam sejarah Papua, Yosepha Alomang.13 Papua menjadi contoh terkini perebutan kekayaan alam oleh para rentenir dan broker yang serta merta mendefinisikan alam Papua sebagai nilai ekonomi. Faktanya, bagi orang Papua, alam lebih besar dari sekedar sebuah komoditi.14 Menurut peserta Diskusi Konsolidasi Kamar Masyarakat DKN, pola eksploitasi yang diikuti pendekatan militeristik untuk Papua sejak mula-jaman Suharto- menjadi titik mula kehancuran alam Papua.

Dalam diskusi konsolidasi yang disebutkan di atas, peserta yang merupakan perwakilan dari masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan Papua menguraikan sejumlah persoalan yang terus dihadapi masyarakat saat ini adalah sebagai berikut.

Pertama, masalah kebijakan pemerintah. Semua peserta sepakat bahwa perundang-undangan nasional yang kacau balau juga banyak berkontribusi pada kerusakan hutan. Penebangan hutan, perkebunan maupun tambang yang menghabisi hutan Papua memperlihatkan ketidaksinkronan antara misi penyelamatan hutan dengan spirit kebijakan. Karena itu, political will dari pemerintah daerah maupun nasional menjadi penentu untuk penyelesaian konflik yuridis pengaturan kehutanan. Kebijakan yang menyokong konservasi pada berbagai kesempatan juga sarat dengan kriminalisasi. Sebagaimana diakui oleh Kepala Dinas Kehutanan Kaimana bahwa kebijakan daerah untuk pengelolaan hutan di Kaimana mengacu pada aturan nasional, tidak jauh berbeda dengan wilayah lain di Papua. Tidak banyak yang berubah kecuali pada IUPHHK yang dulu HPH, sekarang ini pemberian ijinnya ada di Bupati. Dalam implementasinya, pemberian ijin IUPHHK dari Bupati ini terkendala 13 Cerita perlawanan Mama Yosepha dapat dilihat di buku Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, Benny Giay & Yafet Kambai, 2003, Papua: Elsham Papua dan European Commission14 Owen J. Lynch and Emilly Harwell 2002, Whose Natural Resources? Whose Common Good, Jakarta: HuMa, Elsam, ICEL and ICRAF, pgl 43

Page 26: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

akibat tumpang tindihnya pengaturan kehutanan oleh pemerintah, terutama soal pemanfaatan kayu hasil tebangan dari ijin yang telah dikantongi masyarakat untuk kemudian dijual. Hal ini dikarenakan adanya pengaturan yang menyatakan bahwa kayu hasil tebangan IUPHHK hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan non-komersil dan melarang kayu hasil tebangan IUPHHK untuk diperdagangkan. Akhirnya banyak anggota masyarakat yang kemudian ditangkap karena kedapatan memperdagangkan kayu tebangan meskipun telah memegang ijin IUPHHK. Padahal, menurut Kadishut, kalau kita menengok kembali pada UU Kehutanan, yang dapat ditangkap adalah orang-orang yang menebang kayu tanpa ijin. Tapi Disitulah kesenjangan hukum dalam implementasi aturan pusat dan daerah.

Selanjutnya, untuk akses terhadap hutan. Menurut Kadishut, sudah ada skema hutan desa yang implementasinya sama seperti daerah lain. Pengusulan dari masyarakat untuk kemudian dimohonkan untuk turun ijin dan penunjukkan dari Kementerian Kehutanan kepada BUpati setempat. Bupati setempat kemudian mendorong adanya koperasi di desa setempat. Koperasi ini yang kemudian didampingi oleh BUMD setempat. Hutan Desa ini mirip dengan HPH tapi untuk masyarakat. Pengaturan untuk Hutan Rakyat juga sama dengan daerah lain di Indonesia. Namun peserta diskusi menilai agar perlu menginventarisasi wilayah yang diberikan untuk hutan desa, terutama terkait kepemilikan hutan, ada pada marga siapa dan di wilayah adat siapa.

Di samping itu, Otsus juga menjadi satu hal yang menyebabkan kondisi politik tidak menentu di Papua dan menjadi salah satu faktor pemicu perusakan hutan di Papua. Lewat Otsus, Grup Sinar Mas bisa masuk ke daerah Nimborang dan mengeruk kekayaan hutan Papua. Peserta membandingkan, pengelolaan hutan Papua semasa Belanda masih lebih baik. Saat ini, aparat pemerintah menggunakan Otsus sebagai legitimasi untuk menghancurkan hutan. Otsus lebih mengatur soal teknis pemanfaatan hutan, padahal seharusnya dia cukup mengatur soal penguasaan. Sebaiknya Otsus ditinjau ulang dan kembalikan hutan ke komunitasnya. Seperti dikatakan oleh seorang peserta:

Kami di Papua sangat berharap apa yang terjadi di wilayah hutan di Kalimantan dan Sumatera tidak terjadi di Papua. Hutan di Papua tidak ada hutan kosong, semua ada pemiliknya, yaitu masyarakat adat.

UU Otsus perlu untuk dilihat kembali poin-poin pengaturannya, khususnya terkait dengan pengelolaan hutan. Bila semua situasi yang perlu dibenahi sudah termuat didalamnya, mungkin yang diperlukan saat ini hanyalah penguatan saja lewat Perdasus. Sejauh ini memang Otsus dirasa tidak membawa perubahan sedikit pun terhadap situasi pengelolaan hutan di Papua. Meski demikian, ada peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki situasi lewat penerbitan perdasus-perdasus, seperti melalui pasal peralihan UU Otsus. Tapi perlu refleksi juga dari masyarakat Papua sendiri, termasuk kalangan pengambil kebijakan lokal Papua, untuk melihat betul peluang dan tantangan Otsus ini. Karena ada ‘kekhawatiran’ tersendiri bahwa pemanfaatan peluang itu nantinya dimaknai oleh Jakarta sebagai “keinginan untuk merdeka”.

Kedua, faktor Program Pembangunan/Investasi (baik dari Pemerintah, Investor, maupun pihak lain). Merespons atau mengundang investasi di tanah Papua, visi pemerintah terkait hutan juga tidak jelas. Disatu sisi ingin mengedepankan pembangunan berkelanjutan, tapi di sisi lain juga tidak mampu menolak tawaran investasi yang masuk dan mengorbankan kelestarian hutan. Pola-pola pembangunan yang dikembangkan saat ini juga masih sama seperti di masa lalu. Pembangunan tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, malah semakin memarjinalkan masyarakat. Peserta sepakat dengan berbagai tesis yang menyatakan bahwa yang banyak merusak hutan di daerah adalah pembangunan, khususnya perkebunan, dan masyarakat pendatang. Dasar ini juga yang menyebabkan Dewan Adat menolak proyek transmigrasi pemerintah.

Ketiga, masalah kelembagaan. Kementerian Kehutanan sudah membingungkan masyarakat dengan perijinan-perijinan yang mereka buat. Tapi masyarakat tidak dapat bertindak lebih selain menerima begitu saja kompensasi yang diberikan dalam jumlah kecil untuk besaran lahan yang diambil atas nama pembangunan (perkebunan). Apa yang terjadi di wilayah lain, sama dengan yang terjadi di Papua. Tapi di Papua terasa lebih jahat karena eksploitasi juga disertai dengan represi dimana pihak

Page 27: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

aparat keamanan sipil dan militer membackingi pihak-pihak tertentu dalam sebuah konflik yang terjadi. Misalnya saja di daerah Papua Barat, pengusaha yang mencaplok tanah disana di-back-up oleh Brimob. Masyarakat hanya diberi ganti rugi sebesar Rp 46/m2, sementara tanah dan hasil hutan diatas tanah tersebut, tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dari Merauke juga terjadi, malah 40 investor mendapat ijin untuk sebuah luasan lahan. Dan para pihak yang berkepentingan terhadap kasus ini mendapat backing dari brimob.

Masyarakat melihat bahwa DKN merupakan wadah yang sangat baik untuk memfasilitasi suara masyarakt dalam isu kehutanan nasional. Karena itu ada usulan agar keanggotaan di DKN mungkin bisa diperluas sampai ke tingkat suku supaya pengontrolan dapat dilakukan. Perlu dilakukan penguatan pengetahuan hukum bagi masyarakat agar tidak lagi lemah dan tidak mudah dipengaruhi oleh stakeholder lain yang berlandaskan kepentingan komersial atas hutan.

Keempat, masalah Sosial Masyarakat. Ada dua hal yang menyebabkan degradasi hutan yakni pemerintah (dengan alasan pembangunan) dan masyarakat sendiri yang sudah berkontrak dengan pengusaha-pengusaha logging. Di Kaimana pemegang hak ulayat ini yang banyak menjual tanah adat kepada dinas kehutanan. Selain itu, perbedaan pandangan terhadap proses pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat juga berdampak pada kerusakan hutan. Proses pembangunan juga banyak berkontribusi pada degradasi hutan. Misalnya saja pembukaan jalan menembus hutan diartikan bukan sebagai pemanfaatan jalan untuk akses mobilitas, tetapi juga dimaknai sebagai peningkatan ‘harga’ sebuah lahan. Tanah disana kemudian menjadi bernilai dengan rencana pembangunan. Sehingga yang terjadi adalah kemudian pelepasan tanah.

Inisiatif yang telah dilakukanPemerintah Daerah Kaimana. Sebagian besar inisiatif yang terkait kehutanan dipaparkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kaimana. Lihat box

Berkaitan dengan kasus illegal logging. Dishut telah melakukan upaya pendekatan dengan pihak aparat kepolisian. Diskusi sudah dilakukan dengan Kapolres setempat dan sepakat peran masing-masing. Pada dasarnya, polisi adalah alat Negara untuk mem-back up penegakan hukum. Khusus untuk kehutanan, wewenang mereka didasarkan pada inpres 4 tahun 2005 dengan tugas membantu dinas kehutanan dalam pemberantasan illegal logging. Meski dalam operasionalnya di lapangan, seringkali mereka ada di depan Dinas Kehutanan. Mereka tangkap dulu baru disampaikan ke dinas. Untuk itu, di Kab. Kaimana upaya yang dilakukan adalah melalui pendekatan berbasis wewenang. Dimulai dengan menjelaskan ke kepolisian tentang peran dan kewenangannya dalam berkoordinasi dengan Dishut agar mereka memahami benar posisi IUPHHK masyarakat. Dan upaya ini berhasil. Dishut dan Polres sepakat bahwa masyarakat pemegang IUPHHK dapat menjual hasil tebangannya di dalam Kaimana saja karena memang hasil penjualan kayu itu dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup Namun menurut Kadishut, upaya ini perlu dilakukan terus menerus mengikuti pergantian kepemimpinan di kepolisian setempat, karena berbeda-beda orang pasti berbeda pemahamannya, dan saling pengertian ini mesti terus dikawal. Upaya lain yang dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah mengusulkan untuk disusunnya perda kabupaten untuk melegalkan kayu hasil tebangan IUPHHK oleh masyarakat.

Inisiatif lain adalah mengurangi tekanan pada masyarakat dan mengakomodir pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah dengan hutan desa dan hutan rakyat. Untuk hutan desa, implementasinya sama seperti daerah lain. Pengusulan dari masyarakat untuk kemudian dimohonkan untuk turun ijin dan penunjukkan dari Kementerian Kehutanan kepada BUpati setempat. Bupati setempat kemudian mendorong adanya koperasi di desa setempat. Koperasi ini yang kemudian didampingi oleh BUMD setempat. Hutan Desa ini mirip dengan HPH tapi untuk masyarakat. Pengaturan untuk Hutan Rakyat juga sama dengan daerah lain di Indonesia.

Terkait perkembangan kebun kelapa sawit. Saat ini sudah masuk 21 permohonan ijin perkebunan kelapa sawit kepada Dinas Kehutanan Kab. Kaimana. Namun tidak ada

Page 28: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

satupun yang direkomendasikan. Menurut Kadishut, mereka memperhitungkan betul berbagai aspek, baik ekologis maupun sosial masyarakat dan ekonomis, terhadap permohonan tersebut. Bupati juga menimbang hal ini. Sejauh ini, Pemda berpendapat bahwa pala masih lebih menguntungkan ketimbang sawit. Selain itu, Pemda juga masih mempertimbangkan pola investasi lain, di anataranya tebu dan tapioka.

Terkait dengan status hutan rakyat dan hutan desa, kami tetap mengakui hak ulayat masyarakat. Oleh karenanya kami selalu masuk ke masyarakat dan meminta persetujuan dari pemilik hak ulayat untuk kemudian baru implementasi HTR maupun hutan desa. Jadi posisinya hutan adat itu selalu ditempatkan diatas.

Inisiatif masyarakat terutama dikembangkan melalui Dewan Adat. lihat box

Dewan Adat Kaimana dan juga Dewan Adat Papu sedang menginventarisasi ulang luasan tanah adat di Kaimana maupun Papua secara keseluruhan. Masyarakat adat di Kaimana sekarang ini sudah sepakat untuk membicarakan terlebih dulu kepada Dewan Adat terkait apapun yang akan dilakukan terhadap sebuah kawasan/wilayah masyarakat.

Pemetaan aktor lokal (horizontal masyarakat adat) juga dilakukan untuk menegaskan klaim hak dan posisi masing-masing masyarakat. Pengambilan keputusan atas apa yang akan dilakukan terhadap sebuah lahan dikembalikan pada masyarakat itu sendiri. Posisi Dewan Adat nantinya hanya akan berfungsi sebagai dewan penasihat bagi masyarakat yang membutuhkan pengambilan keputusan atas wilayahnya.

Usulan Papua:

Desakan masyarakat terkait kebijakan pengelolaan hutan di tanah Papua adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan dan/atu pemanfaatan hutan di Tanah Papua wajib dilakukan atas persetujuan Masy Adat Papua dengan terlebih dulu memberikan informasi/ sosialisasi yang benar kepada masy adat pemilik hak atas atas tanah.

2. Pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan dilakukan dengan menghormati adat istiadat (hukum adat) dan kearifan local di masin-masing komunitas adat di Papua. - Pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan wajib melibatkan semua komunitas

masyarakat adat (marga, suku) yang memiliki hak atas wilayah adat. Untuk penerapan pengelolaan berbasis Hutan Desa, sebelumnya perlu dilakukan inventaris marga pemilik hak atas hutan di kampung.

3. Pengelolaan dan/atu pemanfaatan hutan di Tanah Papua tidak boleh terjadi diwilayah adat yang menjadi tumpang tindih hak (klaim) oleh masy adat

4. dan/atu pemanfaatan hutan di Tanah Papua dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan adat dalam forum resmi adat

5. Masy adat papua berhak menolak investasi dibidang kehutanan melalui upaya hukum apabila pelaksanaan pengelolaan dan/atau pemanfaatan hutan dinilai akan dan/atau telah menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar dan terpinggirnya masy adat dari wilayah hutannya

6. Masyarakat adat papua berhak melakukan upaya hukum dalam hal pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan dinilai telah menyebabkan dampak buruk, baik terhadap kehidupan social maupun lingkungan hidup

7. Masyarakat adat papua berhak memanfaatkan potensi sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk untuk diperdagangkan dengan mendapatkan legalitas pemerintah

8. Pengelolaan dan/atu pemanfaatan hutan di Tanah Papua wajib memperhatikankelestarian dan keberlanjutan untuk anak cucu

Page 29: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

9. Pengelolaan dan/atu pemanfaatan hutan oleh investor tidak serta merta menghilangkan hak masyarakat atas tanahnya

10. Pengelolaan dan/atu pemanfaatan hutan wajib menempatkan masyarakat adat papua dalam posisi yang setara dalam pengambilan keputusan dan pemilikan saham bersama-sama dengan pihak investor

11. Setiap investor yang menanamkan modalnya dibidang pemanfaatan hutan, dilarang melakukan aktivitas penebangan hutan di wilayah masyarakat adat sebelum mendapatkan ijin resmi dari pemerintah

Dalam kaitannya dengan program pemberdayaan, usulan Papua adalah sebagai berikut

Posisi Masyarakat Adat Papua terhadap Proyek Pemberdayaan: “Semua program pemberdayaan yang masuk untuk Papua harus berdasarkan pada adat

yang berlaku di Papua” Setiap rencana pembangunan maupun proyek pemberdayaan yang akan dilakukan

(pemerintah, donor, atau pihak lain) harus melalui proses FPIC. FPIC ini memuat didalamnya mulai dari perencanaan, implementasi & monitoring

proyek. Setiap dukungan/ proyek pemberdayaan pihak luar (pemerintah, donor, dan pihak lain)

untuk masyarakat di Papua wajib memenuhi standar persetujuan masyarakat Setiap proyek pemberdayaan harus mendapat persetujuan dari pemilik hak melalui

fasilitasi Dewan Adat. (Dewan Adat berfungsi sebagai filter) Harus ada akuntabilitas publik dalam perencanaan, praktek, dan evaluasi proyek yang

berjalan kepada masyarakat.

Rekomendasi internal masyarakat Masyarakat adat berkewajiban untuik mendokumentasikan peraturan adat sehingga

mengikat bagi anggota-anggotanya. Masyarakat adat berkewajiban untuk melakukan rehabilitasi lingkungan/ hutan dengan

kesadaran sendiri. Membangun dan memperkuat kelembagaan adat untuk memperkuat daya berlaku hukum

adat setempat Pentingnya mengembangkan cara penyelesaian konflik kehutanan yang berdasarkan perspektif TAP XI tahun 2001.

Masyarakat adat untuk lebih meningkatkan kapasitas kelembagaannya bebas berkolaborasi dengan berbagai LSM dan lembaga keagamaan (gereja).

Rekomendasi Papua untuk Kongres Kehutanan Indonesia V:

a. Mendorong FPIC sebagai standar pengelolaan hutan di Papua yang harus didorong dalam KKI V, dan mendorong pemerintah pusat untuk menerbitkan sebuah kebijakan tentang penerapan FPIC sesuai dengan kertas posisi Kamar masyarakat DKN.

b. Mendorong adanya pendampingan hukum bagi masyarakat dalam menghadapi konflik.c. Terkait representasi dalamKKI V untuk region Papua:d. Berharap bisa 20 orang yang mengikuti forum konsolidasi Kamar Masyarakat ini bisa

ikut seluruhnya menjadi representasi Masyarakat Adat Papua dalam KKI V.e. Menyusun kertas posisi bersama masyarakat Papua untuk dibawa dalam KKI V, dan

pertemuan multistakeholder pra KKI V.f. Untuk menyiapkan kertas posisi ini perlu dilakukan konsolidasi ke komunitas dengan

membawa rekomendasi pertemuan ini untuk diberi masukan oleh komunitas.g. Untuk dukungan logistic, rekomendasi dari pertemuan ini bisa dibawa ke Bupati

Page 30: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

daerah masing-masing melaluai dishut setempat, untuk dibawa sebagai usulan dukungan logistic dari masing-masing pemda untuk kehadiran dalam KKI V.

h. Membentuk tim kerja dibawah Dewan Adat yang bertugas untuk :i. Merumuskan kertas posisi

ii. Memastikan diskusi komunitas menyiapakan pertanyaan kunci iii. Melakukan konsolidasi peserta kongres (persiapan teknis, logistic, substansi,

agenda konsolidasi/ roadshow di Jakarta nantinya)i. Memastikan Kamar Masyarakat DKN untuk bisa member penjelasan logis tentang

alasan tentang quota perwakilan masyarakat adat Papua yang akan hadir dalam KKI V (20 orang).

j. Memastikan agar DKN bisa mengurus soal administrative pengundangan dari Kementrian Kehutanan untuk peserta Papua untuk KKI V lewat surat yang ditujukan kepada Gubernur, dengan tembusan ke masing-masing Bupati bersisi nama-nama lengkap peserta yang direkomendasikan lewat pertemuan ini untuk dating sebagai perwakilan masyarakat adat Papua. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari penunjukkan tim yang berbeda dari yang telah direkomendasikan saat ini. Untuk itu hasil pertemuan ini perlu juga di-share kepada Gubernur untuk diketahui.

SumateraJaman Kolonial Belanda Situasi Sumatera di jaman Kolonial dipotret dengan sangat jelas dalam catatan harian Laslo Szekely seorang Hungaria terpelajar yang bertualang di Timur pada usia 22 tahun, kemungkinan sekitar 1902. Ia tinggal di kawasan perkebunan tembakau di dekat Medan hingga akhir Perang Dunia I.15 Sebagian catatan tersebut ditulis ulang oleh Anthony Rheid. Beberapa bagiannya adalah sebagai berikut:

Ketika akan mulai bekerja di tengah kegelapan, kami hanya membawa tongkat besar yang bengkok, tidak ada senjata lain. Membawa pistol di saku adalah tindakan dianggap memalukan dan pengecut. Pemilik perkebunan di Deli bukanlah penakut dan tidak akan pernah terlihat takut. Walaupun demikian, pemilik perkebunan berkebangsaan Eropa memiliki 500 – 600 kuli; 500 – 600 kuli pekerja kontrak dengan kontrak yang berlaku seumur hidup. Meraka tidak dapat melarikan diri dari pekerjaan karean dilarang oleh kontrak; kontrak yang ditandatangani di Jawa atau Cina oleh kuli – kuli yang telah ditipu atau kurang informasi.

Mereka dipaksa kerja, atau istilah kasarnya, mereka adalah budak. Para kuli tersebut harus bekerja tanpa henti sejak pagi hingga malam, terus bekerja dan berjalan terbungkuk – bungkuk. Mereka juga harus bertahan di rawa – rawa yang bau, sementara lintah – lintah rakus menghisap darah dan nyamuk – nyamuk malaria meracuni darah badan mereka yang lemah. Namun, mereka tidak dapat melarikan diri karena kontrak mengikat mereka. Centeng, pengawas, dan pegawai rendahan di perkebunan, yang umumnya berbadan kekar dan sangat bengis, akan mencari jejak kuli yang melarikan diri. Ketika berhasil menangkap si kuli, mereka memukulinya hingga babak belur dan mengurungnya, karena kontrak mengikat hidup orang itu.

Gambaran ini menunjukan dengan jelas persoalan eksploitasi sumber daya alam di Sumatera. Meskipun tidak secara spesifik menggambarkan situasi hutan saat itu, namun laporan ini menggambarkan pembukaan hutan untuk perkebunan dengan mengorbankan masyarakat lokal sebagai biaya pembangunan. Menjadikan mereka budak di rumahnya sendiri.

Indonesia Merdeka

15 Anthony Reid, 2010, Sumatera Tempo Doeloe, Jakarta: Komunitas Bambu, hal. 302-349

Page 31: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Menjelang akhir bulan Juli tahun 1979, Jakarta sempat dibuat heboh oleh pemberitaan berbagai media massa tentang kasus penahanan dan penyiksaan terhadap 17 orang warga Desa Siria-ria Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara. Hingga Pangkopkamtib Sudomo memutuskan mengirim tim khusus ke sana. Kisah penahanan dan penyiksaan ke 17 warga desa itu bermula dari penangkapan dan penahanan dua orang warga desa oleh Kodim Tapanuli Utara karena dituduh melakukan pungutan liar (pungli). Sehari setelah penangkapan itu, sekitar 225 para ibu Siria-ria berjalan kaki ke Dolok Sanggul (kedudukan Camat) untuk menuntut dibebaskannya kedua orang ini. Ternyata mereka tidak ditahan di sini. Esoknya para ibu meneruskan perjalanan ke Tarutung, langsung ke kantor Kodim. Ketika dijelaskan oleh para pejabat alasan penahanan kedua warga desa itu - yaitu karena dianggap memungut pungli - para ibu itu berteriak-teriak mengatakan bahwa tidak benar kedua warga itu melakukan pungli. Merasa diperlakukan sewenang-wenang, ibu-ibu itu marah dan beberapa hari kemudian, mereka mengamuk di Dolok Sanggul. Dengan senjata pentung dan parang, mereka menyerbu kantor Camat dan Koramil, memecah kaca, merusak pintu dan mengoyak arsip. Ketika polisi berusaha membubarkan mereka dengan menembak ke atas, para ibu makin marah bahkan merebut sebuah senjata api milik Polri. Itulah sebabnya sehingga beberapa diantara ibu-ibu itu ditangkap dan ditahan oleh Kodim.16

Kisah tersebut di atas bermula pada 1963 ketika Dinas Kehutanan setempat meminta tanah yang tidak diusahakan masyarakat untuk dijadikan areal reboisasi. Masyarakat Siria-ria, Parsingguran dan Pollung waktu itu setuju menyerahkan tanah yang disebut "Ramba Na Lungunan". Ketika pada 1971 Dinas Kehutanan meminta lagi 794 Ha tanah milik adat penduduk Siria-ria, mereka menolak karena tanah ini telah lama dijadikan kebun kopi mereka. Sekitar 300 keluarga Siria-ria menggantungkan hidup pada kebun ini. Pada 1972, tanpa musyawarah lebih dulu Dinas Kehutanan setempat secara mendadak menanam pohon pinus di tanah penduduk yang kosong di sekitar kebun kopi. Rupanya Dinas Kehutanan belum puas. Pada 1977 Dinas Kehutanan sekali lagi mencoba melaksanakan penghijauan ini yang mengakibatkan bentrokan fisik dengan rakyat setempat. Merasa kewalahan menghadapi penyerobotan oleh Dinas Kehutanan dengan “cara-cara tradisional”, masyarakat menempuh jalur hukum dengan menggunakan jasa dua orang pengacara. Untuk membayar jasa pengacara tersebut, warga mengumpul uang. Nah, peristiwa mengumpul uang untuk membayar pengacara inilah yang disebut pungli.17

Bagi masyarakat setempat, tanah yang diserobot oleh pemerintah tersebut adalah tanah adat yang dihaki secara turun-temurun dan merupakan sumber penghidupan. Sejarah penguasaan berikut tanaman-tanaman yang tumbuh di atasnya adalah bukti yang tak terbantahkan. IItulah sebabnya mereka mati-matian mempertahankannya. Sebaliknya bagi pemerintah, tanah tersebut adalah tanah negara, karena tak ada dokumen yang menunjukkan bahwa pemerintah pernah memberikan hak atas tanah tersebut kepada masyarakat yang bertani di tempat itu. Dan, karena itu pula keberadaan masyarakat setempat di atas tanah tersebut tidak dilindungi oleh hukum. Maka, pemerintah berhak mengambil alih tanah tersebut tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari masyarakat tersebut. Dalam hal ini, cara berpikir dan tindakan pemerintah sangat dipengaruhi oleh Agrarische Besluit 1870 (hukum kolonial), sebaliknya cara berpikir dan tindakan masyarakat Desa Siria-ria (entah sadar atau tidak) merujuk pada UUPA 1960 yang merupakan salah satu “monument” untuk menumbangkan hukum kolonial.

Tiga puluh tahun kemudian (Senin, 2 Juni 2009) warga tetangga Desa Pandumaan & Sipituhta (tetangga dengan Desa Siria-ria) dikejutkan oleh penebangan di areal Tombak Haminjon (Agroforestry K emenyan) milik warga oleh PT. Toba Pulp Lestari.18 Sehari kemudian, ratusan warga desa Pandumaan dan Sipituhuta berjalan kaki menuju Tombak Haminjon. untuk menghentikan penebangan tersebut. Mereka meminta para pekerja PT. TPL untuk menghentikan penebangan dan meninggalkan lokasi Tombak Haminjon. Empat belah buah chainsaw disita oleh masyarakat dan dibawa ke desa, dengan pesan agar pimpinan PT. TPL datang ke desa untuk berbicara dengan

16 Tempo 11 Agustus 1979. Setelah pemekaran, Desa Siria-ria masuk Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan.17 Tempo 18 Agustus 197918 Informasi mengenai kasus ini diperoleh dari laporan KSPPM dan interviu dengan masyarakat Desa Pandumaan.

Page 32: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

masyarakat. Senin, 29 Juni 2009, ribuan warga melakukan aksi protes ke Pemkab dan DPRD setempat atas penebangan hutan kemenyan tersebut.

Selasa, 14 Juli 2009, pagi hari, ratusan warga (tua muda) dari 2 desa Sipitu Huta dan Pandumaan berangkat ke hutan, sepanjang jalan mereka menanami kembali areal yang sudah sempat ditebang TPL dengan berbagai tanaman yang mereka bawa dari kampung: Membuat plakat-plakat yang isinya menyatakan bahwa hutan tersebut milik warga Sipitu Huta dan Pandumaan, melarang TPL memasuki areal dan menebangi pohon di areal tersebut. Kemarahan warga tak terbendung lagi melihat tumpukan kayu yang ditebangi TPL, bukan hanya kayu alam tetapi juga pohon kemenyan. Sehingga mereka membakar tumpukan kayu tersebut. Menurut mereka, tumpukan kayu tersebut adalah milik mereka, dan bisa saja menjadi alasan TPL untuk memasuki areal tersebut kembali dengan dalih mengangkut kayu yang sudah sempat ditebang.

Menyikapi hak tersebut, 5 unit truck polisi dan 3 mobil patroli (sekitar 200 orang) datang ke desa Pandumaan. Suasana menjadi mencekam dan menakutkan. Selanjutnya mulai terjadi keributan, polisi mulai mengobrak-abrik rumah dan menciduk warga. Dengan disaksikan oleh Camat dan Kepala Desa, Rumah Ama Junjung Sihite diobrak-abrik oleh polisi untuk mengambil chainsaw milik PT.TPL yang disita oleh masyarakat. Rumah Op.Rikki Nainggolan, digeledah secara paksa, pemilik rumah dipaksa membuka lemari dan lumbung padi. Kemudian polisi masuk ke kamar dan menginjak-injak tempat tidur, kebetulan ada ibu (orang tua berumur 95 thn yang sedang sakit) berada di kamar tersebut terinjak oleh polisi. Katanya Polisi mencari sesuatu di rumah ini. Salah seorang warga (Biner Lumbangaol) 56 tahun, diciduk polisi ketika membunyikan lonceng gereja di gereja HKBP, sebagai tanda agar warga berkumpul karena terjadi penangkapan atas warga. Ama Posma (James Sinambela) 50 tahun, diciduk dari ladangnya secara paksa, karena dianggap pemimpin warga. Mausin Lumban Batu 60 tahun, diciduk di jalan sepulang dari acara pesta. Atas tindakan aparat mengobrak abrik rumah dan pencidukan 3 warga, sekitar 200 warga (bapak, ibu, tua, muda) sepakat melakukan aksi ke kantor Polres. Dalam aksi ini ada beberapa warga khususnya kaum ibu yang mengalami luka-luka ringan dan 2 orang ibu terjatuh ke parit, dan pingsan karena terinjak aparat. Dalam bentrok ini 3 orang lagi warga (Sartono Lumban Gaol, Nusantara Lumban Batu, Laham Lumbangaol) diciduk oleh polisi.

Tiga puluh tahun sudah berlalu, rezim pemerintah silih berganti memegang tampuk kekuasaan. Tetapi, akar-akar pikiran yang bersumber dari hukum kolonial begitu kuat bercokol di kalangan aparatur Negara. Apa yang terjadi dalam kasus Pandumaan-Sipituhuta ini, secara substansial tidak berbeda dengan praktik pemerintah Orde Baru di Desa Siria-ria, tetangga Desa Pandumaan & Sipituhuta.

Pemerintah merasa berwewenang memberikan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada PT. TPL, termasuk di areal Tombak Haminjon (Agroforestry Kemenyan) masyarakat Desa Pandumaan-Sipiituhuta. Karena, areal itu adalah bagian dari kawasan hutan yang ditunjuk oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005, tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera. Sebagaimana pemerintahan colonial di masa lalu, penunjukan itu berarti sekaligus pengingkaran terhadap keberadaan hak-hak adat masyarakat setempat (domein verklaring). Dan, karena itu keberadaan masyarakat yang mengelola Tombak Haminjon bukan hanya tidak diakui tetapi juga merupakan perbuatan criminal. Maka dalam kasus ini, masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dipandang melakukan sejumlah perbuatan pidana, mulai dari mengambil getah kemenyan dari kawasan hutan, membakar kayu tebangan PT.TPL, sampai mengambil chainsaw milik PT. TPL. Karena itu – demi tertib hukum- mereka harus ditangkap.

Sebaliknya bagi masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta. Tombak Haminjon itu adalah hak adat yang diwarisi secara turun-temurun yang sudah dipunyai jauh sebelum adanya Negara Republik Indonesia. Dalam ungkapan seorang warga Desa Pandumaan : “Mana lebih dulu ada, Raja Batak atau Pemerintah Indonesia ? “. Selain itu, kemenyan adalah adalah salah satu sumber utama penunjang ekonomi masyarakat desa ini. Lebih dari itu, Tombak Haminjon adalah sesuatu yang sacral bagi masyarakat di desa ini. Bagi masyarakat setempat, negara seharusnya melindungi dan menghormati keberadaan hak dan kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UUPA

Page 33: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

1960. Oleh karena itu tindakan aparatur Negara dalam kasus ini terasa begitu dalam mengoyak perasaan keadilan. Kasus Siria Ria dan Pandumaan adalah salah satu contoh terbaik untuk menjelaskan bagaimana hukum colonial bekerja di Negara merdeka. Siria Ria dan Pandumaan adalah nama dua desa yang terletak di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara.19

19 Dulu termasuk Kabupaten Tapanuli Utara.

Page 34: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Bagian IVMenuju Pembaruan Hukum

Kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, diharapkan membawa angin perubahan. MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, mengeluarkan sejumlah dokumen yang reflektif, menggambarkan masa lalu yang kelam dan arah meletakkan dasar-dasar arah kebijakan masa depan yang lebih baik. Dalam Ketetapan MPR nomor IV/1999 tentang Garis-garis Haluan Negara (GBHN), antara lain disebutkan, bahwa krisis nasional yang berkelanjutan sampai sekarang diakibatkan oleh dua hal. Pertama: Pembangunan yang sentralistik dan tidak merata, hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, tidak demokratis dan tidak berkeadilan. Kedua: Penyelenggaraan negara yang korup, tidak demokratis dan sangat birokratis. Disebutkan pula, bahwa terjadinya krisis di bidang hukum antara lain disebabkan oleh adanya tumpang tindih dan kerancuan hukum.Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan. Berkaitan dengan itu, maka kebijakan negara antara lain diarahkan untuk menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Selanjutnya, dalam Ketetapan MPR nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria & Pengelolaan Sumber Daya Alam, antara lain disebutkan, bahwa pengelolaan sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Selain itu dinyatakan pula, bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam saling tumpang-tindih dan bertentangan. Pemikiran yang reflektif dalam kedua Tap MPR tersebut hendaknya menjadi pijakan untuk memahami konflik tenurial di kawasan hutan serta untuk melakukan pembaruan hukum di bidang di bidang kehutanan.

Ada sejumlah perdebatan penting ketika para pendiri Negara RI menyusun UUD 1945, salah satunya adalah perdebatan mengenai perlu-tidaknya Hakhak Asasi Manusia diatur dalam konstitusi. Sebagian diantara mereka berpendapat bahwa Hak-hak Asasi Manusia harus diatur dalam konstitusi guna menjamin hak-hak dasar warga Negara dari kesewenang-wenangan penguasa. Sebagian lainnya berpendapat bahwa hal itu tidak perlu diatur, karena dalam sebuah Negara integralistik, tidak pada tempatnya melindungi kepentingan individu dan kepentingan Negara tidak mungkin bertentangan dengan kepentingan individu. Pandangan pihak yang kedua pada akhirnya menjadi keputusan rapat, sehingga UUD 1945 tidak memuat Hak-hak Asasi Manusia. 20

Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga Negara yang terjadi sepanjang kekuasaan Orba, membuat MPR mengamandemen UUD 1945 dengan menambahkan satu bab khusus tentang Hak-hak Asasi Manusia. Ini adalah suatu keputusan yang mendasar dan akan mengubah karakter hukum di Indonesia, dari rezim hukum yang berkarakter otoriter dan represif menjadi hukum yang berkrakter populis dan demokratis.21

Ketetapan MPR nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria & Pengelolaan Sumber Daya Alam, adalah monumen yang kedua dalam sejarah pembaruan hukum agrarian di Indonesia, setelah UUPA 1960. Dalam melakukan pembaruan hukum serta penyelesaian konflik kehutanan, hendaknya merujuk pada perspektif, prinsip-prinsip serta arah kebijakan dalam Tap MPR ini. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, Tap MPR ini berpendapat bahwa berbagai problem yang berkaitan dengan sumber daya alam bersumber dari kontradiksi dan tumpang-tindih perundang-undangan. Dalam pasal

20 ….Risalah Sidang BPUPKI21 Tentang karakter hokum tersebut, antara lain dapat dilihat dalam buku berjudul Politik Hukum karangan Machfud MD.

Page 35: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

5 dinyatakan, bahwa pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi

hukum;d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia

Indonesia;e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi

rakyat;f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan

pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi

sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;

h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;

j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;

k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (1) dinyatakan, arah kebijakan pembaruan agrarian adalah :a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.

f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

Lebih lanjut dalam pasal 6 ayat (2) dinyatakan, arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam adalah: a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.

Page 36: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.

d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.

e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.

Melalui pasal 7, MPR menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti. Permasalahan sudah jelas. Pijakan hukum sudah ada. Yang belum tampak jelas adalah kemauan politik untuk melakukan perubahan.

Page 37: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Bagian VRekomendasi untuk KKI V

1. KKI mendorong Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Kehutanan & UU Konservasi , dengan secara sungguh-sungguh memperimbangkan keberadaan serta hak-hak dasar masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

2. KKI mendorong Pemerintah untuk membentuk suatu badan independen untuk menyelesaikan konflik tenurial di dalam kawasan hutan.

3. KKI menerapkan prinsip-prinsip FPIC dalam segala bentuk program dan kegiatan yang berkaitan dengan kawasan hutan, termasuk dalam penunjukan dan pengukuhan kawasan hutan.

Page 38: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

Bahan BacaanAditjondro, George Junus,2001 Gajah Lawan Gajah Berlaga Orang Maluku Mati di Tengah-Tengah, dalam dalam “Ketika

Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu”, Zairin Salampessy dan Thamrin Husain, eds, Ambon: Sekretariat Tapak Ambon, hal. 42-47

Alhadar, Smith, 2001 Kekerasan di Maluku: Produk Sejarah Kolonial dalam “Ketika Semerbak Cengkih Tergusur

Asap Mesiu, Zairin Salampessy dan Thamrin Husain,eds, Ambon: Sekretariat Tapak Ambon, hal. 11-17

ARD Inc: 2004 Meningkatnya Konflik dan Keresahan di Kawasan Hutan Indonesia (Ringkasan Makalah)

USAID

Benny Giay & Yafet Kambai, 2003 Yosepha Alomang, Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, Papua:

Elsham Papua dan European Commission

Haga, B.J.1981 Lima Pahala Susunan Masyarakat, Hukum Adat dan Kebijaksanaan Pemerintah di Gorontalo,

Jakarta: Djambatan dan Incultra Foundation Inc

Harwell, Emilly and Lynch, Owen J.2002 Whose Natural Resources? Whose Common Good, Jakarta: HuMa, Elsam, ICEL and ICRAF

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia2010 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor: P. 51/Menhut-II/2010 tentang

Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014

Kompas,2011 Ekspedisi Jejak Peradaban NTT, Laporan Jurnalistik Kompas, Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara

Lapian, Adrian B., 2008 Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17, Jakarta: Komunitas Bambu

Li, Tania Murray2007 The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics, London:

Duke University Press

Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro, Marwati Djoened,2008 Sejarah nasional Indonesia: Jaman Kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Jilid V.

Jakarta: Balai Pustaka

Peluco, Nancy Lee2006 Hutan Kaya Rakyat Melarat, Jakarta: KONPHALINDO dan FORD FOUNDATION

Purba, Christian, Wuland, Yuliana Cahya, Yasmi, Yurdi, dan Wollenberg, Eva,

Page 39: Laporan kamar masyarakat DKN Konferensi Kehutanan Indonesia 2011

2004 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003, Bogor: CIFOR. Hal 47

Reid, Anthony,2010 Sumatera Tempo Doeloe: dari Marco Polo Sampai Tan Malaka, Jakarta: Komunitas Bambu

Ricklefs, M.C. 2008 Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2004 Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda Kebijakan dan Upaya

Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial Indonesia (1900-1940), Malang: Bayumedia Publishing

Wollenberg, Eva, et all,2004 Mengapa Hutan Penting Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia (Governance Brief),

Bogor: CIFOR, Desember 2004

Yogaswara, Herry 2011 Perizinan Hutan Kemasyarakatan di Kalimantan Tengah, dalam Akses pada Keadilan

Tenurial di Kawasan Hutan Indonesia: Perizinan Hutan Kemasyarakatan di Kalimantan Tengah, Lampung dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: van Vollenhoven Institute Universitas Leiden dan Bappenas, hal. 20-21

Koran

Suara Karya, Selasa, 11 Maret 2008

Tempo Interaktif, 16 Oktober 2011

Tempo 11 Agustus 1979

Tempo 18 Agustus 1979

Notulensi Konsolidasi Kamar Masyarakat DKN

Notulensi konsolidasi regio Sumatera, 13-14 April 2011

Notulensi konsolidasi regio Jawa dan Kalimantan, 19 – 20 April 2011

Notulensi konsolidasi regio Sunda Kecil dan Maluku, 24-26 Mei 2011

Notulensi konsolidasi regio Papua, 13-14 Mei

Notulensi konsolidasi regio Sulawesi 4-5 Juli 2011