LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

39
LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH SWAPRAJA KERATON KASAPUHAN DALAM KONFLIK PERTANAHAN DI KOTA CIREBON Oleh Haryo Budhiawan Sardjita Akur Nurasa KEMENTRIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL 2019

Transcript of LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

Page 1: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

LAPORAN HASIL PENELITIAN

PEMAKNAAN TANAH SWAPRAJA KERATON KASAPUHAN

DALAM KONFLIK PERTANAHAN DI KOTA CIREBON

Oleh

Haryo Budhiawan Sardjita

Akur Nurasa

KEMENTRIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN

PERTANAHAN NASIONAL SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

2019

Page 2: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

Lembar Pengesahan Penelitian Srategis

PEMAKNAAN TANAH SWAPRAJA KERATON KASAPUHAN

DALAM KONFLIK PERTANAHAN DI KOTA CIREBON

Yogyakarta, NOPEMBER 2019 A.n. Ketua

Kepala PPPM STPN

(Bambang Suyudi, ST., MT.)

Page 3: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …
Page 4: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

DAFTAR ISI

halaman

Lembar Judul .i

Lembar Pengesahan ii

Daftar Isi

BAB I : 1. Latar belakang. 1

2. Rumusan Masalah . 2

3. Metode Penelitian 2

4. Manfaat dan tujuan penelitian 3

5. Sumber dan Jenis Data 3

6. Tehnik Pengumpulan. 3

7. Tehnik analisis 4

BAB II Tinjauan Pustaka dan kearangka peneilitian 5

Pengertian Tanah swapraja menurut UUD 1945 7

BAB III Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Sejarah singkat Kasultanan Cirebon 12

Perbedaan pandangan tentang Daerah tanah ex swapraja 12

Sekilas pandang sejarah Kasultanan Kasapuhan dan kedudukan

Kedudukan status tanah Hak turun temurun Sultan Sepuh 15

BAB IV Politik Hukum Pertanahan dalam Pemaknaan Tanah Swapraja 18

Indikator Penetapan Tanah swapraja di Kota Cirebon 19

BAB V Penutup

Kesimpulan 29

BAB VI Rekomendasi 30

Daftar Pustaka

Page 5: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, atas segala

petunjuk, bimbingan, dan hidayahn-Nya sehingga penyusunan Laporan

Penelitian ini Tahun 2019 yang berjudul Pemaknaan Tanah Swapraja Keraton

Kasapuhan Dalam Konflik Pertanahan Di Kota Cirebon ini dapat deselesaikan.

Penelitian ini dimaksudkan melakukan kajian hukum secara mendalam terhadap penyelesaian

mengenai pemaknaan tanah Swapraja Kasultanan Kasapuhan di Kota Cirebon.

Selanjutnya peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

2. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat STPN yang telah

memberikan kepercayaan kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian ini,

3. Sultan Sepuh Keraton Kasapuhan Cirebon. Yang memberikan ijin serta memberikan

keteranagn tentang riwatyat ksaultanan Cirebon,

4. Ibu Kepala Kantor Pertanahan Kota Cirebon dan jajarannya

Tentunya Laporan penelitian ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan

pengetahuan peneiliti, untuk itu saran dan masukan yang bersifat membangun demi

kesempurnaan Laporan ini sangat diharapkan..

Yogyakarta, 19 Desember 2019

Penyusun :

Haryo Budhiawan

Sarjita

Akur Nurasa

Page 6: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …
Page 7: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia berhubungan dengan manusia yang lain didorong oleh adanya

suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan yang diperlukan oleh manusia ini sering

menyangkut berbagai sumber daya, seperti sumber daya ekonomi, politik, alam,

kekuasaan dan sebagainya. Oleh karena kebutuhan manusia tidak selalu sama bahkan sering

bertentangan, maka diperlukan adanya pengaturan- pengaturan, agar kebutuhan manusia dapat

terpenuhi secara adil, karena penerapan dan pelaksanaan keadilan dapat dilihat dari seluruh

aspek sebagai pelaksananan kehidupan. Sumber daya alam salah satunya adalah

tanah, dimana manusia melakukan berbagai aktifitas kehidupan. Sebagai konsekuensi

logis dari negara kesatuan sesuai dengan UUD 1945, bahwa di seluruh wilayah

negara berlaku peraturan perundang – undangan yang sama. Untuk mewujudkan hal

yang demikian, tentunya tidak mudah karena memerlukan proses konstitusional

sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, terlebih apabila menyangkut kepentingan

masyarakat luas khususnya dibidang pertanahan atau keagrariaan.

Dalam bidang pertanahan karena belum bisa dibuat peraturan dengan segera setelah

proklamasi kemerdekaan. Akibat ketentuan tersebut, di Indonesia terdapat dualisme

hukum dalam bidang pertanahan, yaitu sistem hukum barat peninggalan jaman kolonial

dan sistem hukum adat yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia.

Tanah yang diatur dalam hukum barat muncul di saat datangnya Belanda di Indonesia ,

mereka membawa perangkat hukum Belanda tentang tanah yang mula mula masih

merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan pada hukum kebiasaan yang tidak

tertulis, misalnya Bataviasche Groundhuur, dan hukum tertulis seperti Overschrijvings

ordonnatie, Stbl.1834-27.Tahun 1870 mulai diberlakukannya suatu ketentuan hukum barat

yang tertulis yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai saat ini masih kita kenal

sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan hukum adat merupakan.

Page 8: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

2

hukum sejak yang berlaku di kalangan masyarakat asli Indonesia.

Dengan diberlakukannya UUPA dapat dikatakan telah tercapai suatu kodifikasi dan

unifikasi hukum agraria di Indonesia. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan masih

terdapat kendala dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan UUPA khususnya yang berkaitan

dengan tanah-tanah swapraja atau bekas swapraja. Berbicara mengenai tanah swapraja atau

bekas swapraja maka akan merujuk kepada masalah tanah di wilayah Kerajaan atau

Kesultanan. Terhadap tanah-tanah semacam ini, Diktum IV huruf A UUPA menentukan sebagai

berikut:

a. Hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih

ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.

b. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf a di atas diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

B.RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, untuk

membatasinya perlu diidentifikasi permasalahan yang hendak diteliti guna memecahkan masalah

pokok yang timbul secara jelas dan sistematis sehingga penelitian akan dicapai, maka dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana politik hukum Pertanahan dalam pemaknaan tanah swapraja?

2. Bagaimana prosedur dan indikator penetapan tanah swapraja di Pemerintah

Kota Cirebon?

C. METODE PENELITIAN

Dilihat dari bidang keilmuannya, penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang ilmu

hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum karena didasarkan pada metode sistematika

dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk menganalisanya. Di dalam usaha mencari kebenaran

yang ilmiah, metode penelitian menjadi bagian yang cukup penting dalam menyusun suatu

penelitian. Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan suatu

metode yang tepat.

Pendekatan socio-legal berangkat dari asumsi bahwa “pekerjaan teoritis tanpa konten teori

Page 9: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

3

yang mendukung sama dengan sangkal”. Dalam kajian pendekatnnya socio-legal merupakan

kajian hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial,

pendekatan yang mengarah suatu penelitian untuk menunujukan dan mengkaji sisi realitas sosial

maupun hukum yang berlaku terhadap suatu gap. Mengutip dari penjelasan Wheller dan Tomas

bahwa socio-legal merupakan suatu pendekatan alternatif yang menguji studi dokrinal terhadap

hukum. Socio-legal mempresentasikan koreksi dimana hukum berada pun dalam menelaah objek

kajiannya, studi socio-legal menggunakan satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

teori-teori sosial yang berhubungan langsung dengan masyarakat untuk menganalisa permasalahn

hukum yang terjadi.

D.Manfaat dan Tujuan Penelitian:

1. Manfaat secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemikiran

guna pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum yang

berkaitan konflik tanah eks swapraja kraton kasapuhan kota cirebon

2. Manfaat secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan jawaban atas

permasalahan yang diteliti serta memberikan masukan kepada Kantor Pertanahan Kota cirebon,

dan Pemerintah Kota Cirebon

E. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang

diperoleh secara langsung di lapangan dari responden serta narasumber dan data sekunder yang

diperoleh melalui kepustakaan dengan jalan membaca, mengkaji serta mempelajari buku-buku

yang relevan dengan obyek yang diteliti. Data sekunder dipergunakan untuk mendukung

keterangan atau menunjang kelengkapan data primer.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara mendapatkan data yang kita inginkan. Dengan ketepatan

teknik pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan sesuai dengan apa yang

diinginkan.Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni kantor pertanahan

kota cirebon,keraton kasapuhan Sistem wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah wawancara bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan

Page 10: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

4

sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan

situasi dan kondisi pada saat wawancara dilakukan.

b.Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari literatur dan peraturan

perundangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Data sekunder diperoleh melalui penelitian

kepustakaan yang dilakukan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau

tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh

informasi baik dalam bentuk-bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang

ada.

G.. Teknik Analisis

Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis secara analitis kualitatif, yaitu

dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada dilapangan kemudian dikelompokkan, dihubungkan

dan dibandingkan dengan ketentuan hukum yang berkaitan. Dalam penarikan kesimpulan,

terdapat dua buah metode penalaran yang dapat digunakan, yaitu metode penalaran deduktif dan

metode penalaran induktif. Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu

peristiwa umum, yang kebenarannya telahdiketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu

kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus

Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode deduktif, yaitu suatu metode yang

berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip

umum menuju penulisan yang bersifat khusus.

Page 11: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

5

BAB II

Tinjauan Pustaka/kerangka teori

Politik hukum Agraria dalam pemaknaan tanah swapraja masalah Agraria, sepanjang

jaman pada hakikatnya adalah masalah politik. Siapa yang menguasai pangan, atau,

menguasai saana-sarana kehidupan serta siapa yang menguasai sarana kehidupan

manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan politik agraria adalah garis besar

kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan,

memperuntukan dan mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus

dan membagikan tanah serta sumber alam lainya termasuk kepentingan

kesejahteraan rakyat dan negara . Kegagalan konsep perubahan yang tertuang dalam

UUPA, sepanjang sejarah antara lain karena sebab-sebab internal yang berorientasi

pada tarik ulur kepentingan partai-partai politik, penyeleragaran di bidang hukum yang

menggeser unikum-unikum masyarakat adat, serta berubahnya politik agraria. Gunawan

Wiradi dalam, Seluk Beluk Masalah Agraria Reforma Agraria dan Penelitian

Agraria, STPN Press, Yogyakarta, 2009. Soedikno Mertokusumo, Hukum dan

Politik Agraria, Universitas terbuka, Jakarta, 1988, ekonomi yang tidak mengedepankan

kepentingan rakyat yang bercorak agraris.

Beberapa konsep kebijakan masa lalu yang melahirkan ketimpangan struktur dan sengketa

penguasaan tanah serta sumber lainnya, acapkali bukan semata-mata kelemahan pada konsep

tersebutakan tetapi pada sisi implementasinya. Perubahan Politik ekonomi yang tidak

populis, ketidaksiapan untuk menjabarkan ide yang diidolakan dan rapuhnya penegakan

hukum di bidang hukum agraria yang sejiwa dengan UUPA. Selama lebih 59 tahun

sejak diberlakukannya UUPA terlebih mengenai hak menguasai negara dalam Pasal 33

ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA, kedua pasal tersebut menjadikan kekuasaan

negara seakan tidak terbatas. Hegemoni pemerintah dalam penguasaan tanah dengan

alasan demi kepentingan umum, tampa melihat sejarah kepemilikan tanah tersebut, hanya

slogan dengan kata-kata semua atas nama negara.

Ketidakjelasan pemaknaan tanah swapraja yang berada dalam hukum nasional tidak

menjadikan apakah hukum tersebut bisa berlaku secara adil bagi masyarakat. Bila

dikaitkan dengan eksistensi tanah swapraja atau bekas swapaja, Achmad Sodiki dalam,

Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2003, swapraja dapat dikatakan

Page 12: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

6

bagian dari politik hukum di bidang pertanahan (konsepsi agraria dalam arti sempit).

Indonesia dalam proses perjalanan menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia

mengalami dua kepemimpinan yakni Kerajaan Keraton dan Pemerintah Kolonial. Untuk

tanah bekas kolonial sudah jelas dalam UUPA langsung di nasionalisasikan, sedangkan

untuk tanah keraton diatur dalam aturan tersendiri. Tanah keraton tersebut dikenal dengan

istilah tanah Swapraja. Meskipun dalam Diktum IV huruf A UUPA telah dijelaskan

bahwa tanah swapraja dan penguasaannya beralih kepada Negara, namun hingga saat ini

aturan yang merinci mengenai hal itu belum ada . Akibatnya, seringkali dihadapkan dengan

pembahasan secara rinci mengenai tanah swapraja yang dituangkan dalam Diktum IV

huruf A UUPA, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 224 Tahun 1961.

Secara faktual yuridis aturan tersebut belum dapat diberlakukan secara maksimal di

beberapa daerah, seperti di wilayah Cirebon. Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia

tidak ada yang memberikan pengertian secara jelas mengenai apa yang menurut Bakhrul

Amal, Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Keraton Kesepuhan di Kota Cirebon

(suatu kajian terhadap putusan MA No 1825/K/PDT/2002) Dispute of

Ownership Of Land In Kesepuhan Palace Cirebon, 2016, E Journal Program MKN

UNDIP Semarang, dimaksud dengan tanah swapraja atau bekas swapraja .

Berikut juga pada UUPA tidak terdapat penjelasan secara rinci mengenai pengertian

swapraja, walaupun ada kata swaparaja hanya dalam diktum IV huruf A UUPA. Kemudian

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan

pembagian tanah pembelian ganti kerugian bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform

perlu diadakan peraturan pembagian tanah serta soal-soal yang bersangkutan dengan

itu. Memperhatikan hasil-hasil kumpulan Seminar Landerform di Pusat dan didaerah-

daerah yang terdapat pada Pada pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa: Tanah Swapraja dan

Bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV A UndangUndang Pokok Agraria

beralih kepada Negara, diberikan peruntukan, sebagaimana untuk kepentingan Pemerintah,

sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas

tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menurut

ketentuan-ketentuan dalam Pemerintah ini.

Page 13: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

7

Pengertian Tanah Swapraja Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Pada tahun 2000, melalui perubahan kedua UUD, pasal 18 asli diamandemenkan menjadi

pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat

(1) yang menjelaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintah daerah yang bersifat khusus atau

bersifat umum yang diatur dengan undang-undang, sehingga istilah swapraja yang

digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintah daerah yang bersifat istimewa “dan”

satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Dalam perjalanan politik hukum

agararia tidak ada satupun pengertian secara jelas mengenai swapraja tersebut,

sehingga menimbulkan realitas yang beragam mengenai pemaknaan Swapraja yang

bersifat subyektif berbagi pihak yaitu pemerintah maupun pihak keraton Kasepuhan

Cirebon dalam menginterprestasikan makna dari swapraja. Disini perlunya kejelasan pihak

pemerintah sebagai perwakilan dari negara dalam memaknai dari swapraja

tersebut. Dari sudut filsafat, terdapat relevansi epistemologis antara konsepsi negara

hukum baik rechtstaat maupun rule of law dengan pemikiran dua tokoh negara hukum

klasik yakni J.Locke dan JJ Rosseau yang memliki kesamaan pandang bahwa negara

hukum merupakan produk dari sebuah legitimasi yang berbasis pada kontrak sosial.

Berkaitan dengan pemaknaan swapraja atau bekas swapraja dalam pertanahan

yang menjadikan berdebatan pemaknaan swapraja sehingga berimplikasikan

konflik berkepanjangan, antara Pemerintah Kota Cirebon dengan pihak Kesultanan

Kesepuhan. Perbedaan pemaknaan dalam UUPA Diktum IV huruf A bahwa tanah-tanah eks

Kesultanan-Kesultanan itu telah diambil alih oleh Pemerintah Kota Cirebon dengan alasan

tanah tersebut dikatagorikan sebagai tanah swapraja atau bekas swapraja, yang dilakukan

oleh Panitia Landreform Kota Praja Cirebon.

Kaitannya dengan perdebatan mengenai pemaknaan swapraja atau bekas swapraja

mengungkapkan pendekatan dan pendapat yang multi tafsir. Eks Kesultanan

Kesepuhan Cirebon belum mengakui dan berpendapat bahwa tidak termasuk dalam

pemaknaan swapraja atau bekas swapraja seperti apa yang tertuang dalam Diktum IV

huruf A UUPA bahwa Hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau

bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus

dan beralih kepada Negara. Pada sisi lain Pemerintah Kota Cirebon telah melakukan

Page 14: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

8

penelitian dan penolakan terhadap klaim pihak Kesultanan Kesepuhan Cirebon tersebut.

Bahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sekarang berubah nama menjadi Kantor

Kementrian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional Kota Cirebon melului

Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Gubenur Jawa Barat, tim dalam

Wawancara, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkantoran Pertanahan Kantor Agraria

dan Tata Ruang /BPN Kota Cirebon. Barat, nomor 400-1581 tertanggal 24 Juni 2003,

menyebutkan bahwa tanah eks Kesultanan Kesepuhan Cirebon, adalah tanah swapraja.

Namun hingga saat ini pihak Pemerintah belum bisa menjelaskan makna swapraja

dengan jelas. UUPA dalam Diktum IV huruf A , masih menyebutkan adanya tanah

swapraja atau bekas swapraja , namun demikian hingga kini Peraturan Pemerintah yang

secara khusus merupakan pelaksanaan dari Diktum IV huruf A belum ada, yang ada adalah

Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai

pembagian tanah swapraja atau bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan

Landeform. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 sebagaimana juga dengan

Undang-undang lainnya, tidak memberikan pengertian mengenai pemaknaan apa

yang dimaksud dengan swapraja atau bekas swapraja. Seperti yang sudah diuraikan diawal

tidak ada pemaknaan swapraja dalam Undang-Undang terdahulu, walaupun ada

pemaknaan swapraja yang dijelaskan oleh Boedi Harsono saja. Dalam hal ini negara

dianggap person moral , sehingga tindakan dan monuver- monuver yang dilakukan oleh

negara dianggap memiliki nilai-nilai tinggi.. Pandangan klasik yang demikian tidak lagi dapat

dipertahankan dalam kondisi masyarakat yang sedemkian kompleks. Untuk itu negara harus

dipandang sebagai komponen sistem sosial yang berdiri sendiri sejak dengan komponen-

komponen sistem lain didalam masyarakat, dan kehidupan sosial dewasa ini harus dilihat

dari tiga sudut yang sama kuat yakni negara, pasar dan masyarakat sipil..Akan tetapi

lebih sesuai bila pemerintahan negara disebut pengelola atau manager dalam tatanan

masyarakat sipil (masyarakat madani). Indikator penetapan tanah swapraja di Pemerintah

Kota Cirebon Wilayah/daerah swapraja adalah wilayah yang memiliki hak pemerintahan

sendiri. Sistem administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia Belanda dikenal rumit

dan mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda.

Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan

mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian.

Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan

administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Contoh

Page 15: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

9

daerah swapraja adalah Kesunanan Surakarta. Pemerintahan pendudukan Jepang (1942-

1945) menggantikan status daerah swapraja menjadi kochi. Setelah proklamasi

kemerdekaan Indonesia, daerah-daerah di Indonesia memperoleh status daerah swapraja

oleh pemerintahan antara Hindia Belanda melalui berbagai Lembaran Negara

(Staatsblad). Pada masa Republik Indonesia Serikat, daerah- daerah swapraja menjadi

bagian dari "negara" /negara bagian. Arti swapraja , pengertian swapraja dalam Politik

swapraja : daerah kesultanan yang berdiri sendiri. Pengertian swapraja dalam pemerintahan

swapraja : daerah istimewa. Pengertian lain dari “swapraja” terpaut pada cita-cita

individualisme warga masyarakat, setiap orang harus menentukan sendiri cara hidupnya

asalkan ia melakukan secara damai dan menghormati keputusan serupa yang diambil orang

lain. Hal ini sulit dilakukan dalam masyarakat yang kompleks, meskipun demikian, inilah

yang dimaksud dengan swapraja manakala kita mempertimbangkan soal keragaman dan

tanggung jawab individu.

Berkaitan dengan swapraja yang menyebutkan bahwa negara tidak diatur oleh negara

lain, melainkan oleh dirinya sendiri, sepanjang dapat menangkal pemerintah

sewenangwenang oleh elite atau diktaktor, dari dalam atau luar. Pengertian lain

dari”swapraja” terpaut pada cita -cita individualisme, berarti kebebasan itu harus

dibatasi, dalam kaitan swapraja, cara untuk melindungi individualisme. Adapun

rujukan pemerintah kota Cirebon dalam memaknai swapraja adalah apa yang disampaikan

oleh Boedi Harsono yaitu bahwa swapraja adalah suatu wilayah pemerintahan yang

merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala wilayahnya (dengan sebutan;

Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain), berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah

Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri (dalam Indische Staatsregeling

1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing

berdasarkan perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka

ragam.

Dari uraian pemahaman mengenai makna swpraja atau bekas swapraja yang beragam

dimasyarakat khususnya di Kota Cirebon antara Pemerintah Kota Cirebon maupun pihak

Keraton Kesepuhan Cirebon sampai saat ini masih memaknai berbeda. Seperti apa

dalam pemikiran Max Weber, menilai perilaku manusia secara......

Page 16: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

10

fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang

mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna

maupun pemahaman perilaku. Menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk

kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat

dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat

bahwa Boedi Harsono, Peralihan Tanah-Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja Menjadi

Tanah Negara, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional; Pertanahan Nasional

Berkenaan Dengan Tanah-Tanah Eks Swapraja, yang diselenggarakan oleh: Universitas

Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of

Capitalisme. 1958, New York, yang mengatakan: individu akan memberikan pengaruh dalam

masyarakatnya.

. PEMBUKTIAN SEJARAH DAN HUKUM BAHWA CIREBON TIDAK PERNAH JADI

DAERAH SWAPRAJA / EX SWAPRAJA

A. ASAL USUL MASALAH

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.

Yang terkena Landeform :

1) Tanah-tanah lebih dari batas maksimum

2) Tanah-tanah yang pemiliknya bertempat tinggal di laur daerah

3) Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja

4) Tanah-tanah lainnya

2. Surat Panitia Landreform Daerah Kotapraja Cirebon Nomor : 179/Agr/8/61 tanggal 14-

12-1961, yang intinya Tanah Kasultanan Kasepuhan seluas 337 ha dikategorikan tanah

swapraja – ex swapraja sehingga beralih ke Negara.

3. Pengumuman Panitia Landeform Daerah Kotapraja Cirebon Nomor : 01/Peng/61,

tanggal 28-12-1961, dengan substansi yang sama.

4. Keputusan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat nomor 400-1581 tertanggal 24

Juni 2003 soal keberadaan tanah milik Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon yang

dinyatakan dengan keptusan tersebut sebagai milik Negara.

Page 17: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

11

B. DASAR KEPEMILIKAN TANAH KERATON KASEPUHAN DAN PEMBUKTIAN

KERATON KASEPUHAN BUKAN DAERAH SWAPRAJA

1. AKTE 20 Juli 1913 :

a. Sultan Cirebon menyerahkan administrasi pemerintahan kepada Inggris secara

sukarela

b. Sultan mendapat ganti rugi dalam bentuk uang setiap tahunnya atas tanah yang

diambil oleh pemerintah Inggris

c. Sultan tetap memiliki tanah-tanah yang dikehendaki sebagai tanah milik turun

temurun, yaitu tanah-tanah khusus (Kasepuhan)

2. RESOLUSI 19 Oktober 1819 NO.6 :

Kepada Sultan Sepuh akan diutamakan permohonannya, atas dasar tanah-tanah yang

telah diserahkan, sebagai pengganti dari pendapatan yang variatif (Wissel Vallige)

3. PENJELASAN DEMANG RAKSADIRJA ddo 2 Agustus 1871

Berkenaan dengan hal hal yang khusus mengenai timbang terima tanah di Cirebon

kepada Gubernemen (dibawah pemerintahan selingan Inggris) mencakup tentang

penguraian batas-batas tanah milik Sultan Kasepuhan diakui (in jasa).

C. APABILA KERATON KASEPUHAN TERBUKTI EX SWAPARJA :

Berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH 224 tahun 1961 bahwa tanah swapraja dan

bekas swapraja yang dengan ketentuan UUPA beralih ke Negara, diberikan peruntukannya

:Sebagai untuk kepentingan Pemerintah (bukan pejabat pemerintah)

1. Sebagai untuk masyarakat yang membutuhkan (para penggarap)

2. Sebagai untuk mereka yang langsung dirugikan (Sultan Kasepuhan)

Jadi jelas, bagaimana prosedur dan aturan main SERTA tatacara pengambilan alihan tanah

swapraja. Tidak semena-mena dan menjadi bancakan oknum penguasa.

Jika memang demikian, yang patut dipertanyakan adalah :

1. Sudahkah yang katanya Tanah Negara itu dibagikan untuk kepentingan Pemerintah ?

Siapa yang menerima ? Untuk kepentingan apa ? Berapa luasnya ? Dimana ?

2. Sudah kah yang katanya TANAH Negara itu diberikan kepada masyarakat ? Siapa

yang menerima ? Dimana ? Berapa luas ? Fiktif atau Nyata ? Atau Formalitas ?

3. Sudahkah yang katanya Tanah Negara itu diberikan sebagian kepada Pihak Keraton ?

Jawabannya BELUM ! katanya sudah habis dibagikan kepada masyarakat ?

SUDAH SANGAT JELAS PEMDA MELANGGAR PP 224/61

Page 18: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

12

BAB III

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Sejarah Singkat Kesultanan Cirebon

Sejarah Cirebon dimulai dari kampung Kebon Pesisir, pada tahun 1445 dipimpin oleh Ki

Danusela, yang selanjutnya muncul perkampungan baru yaitu Caruban Larang dengan

Pemimpinyabernama Pangeran Cakrabuana. Caruban larang terus berkembang, Pada tahun

1479 sudah disebut sebagai Nagari Cerbon yang dipimpin oleh Tumenggung Syarif

Hidayatulah bergelar Susuhunan Jati. Pada tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya

dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelarSultan Raja Syamsudin. Pangeran Kertawijaya

sebagai Sultan Anom bergelar Sultan Muhamad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Kraton

Pakungwati, dan Sultan Anom membangun Keraton di bekas rumah pangeran Cakrabuwana,

sedangkan Sultan Cerbon berkedudukan sebagai wakil Sultan sepuh, sehingga sekarang

dikenal terdapat 3 (tiga) sultan

Perbedaan Pandangan tentang Status tanah Ex. Swapraja antara Pemerintah dengan

Pihak Keraton

a. Versi Pemerintah Bahwa dengan berlakunya UUPA Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 224

tahun 1961, maka tanah Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan di wilayah Cirebon,

oleh Pemerintah dikualifikasikan sebagai Tanah bekas Swapraja dan karenanya dinyatakan

hapus dan beralih kepada Negara, hal ini oleh karena Kesultanan Kasepuhan dapat

dikategorikan sebagai bekas Pemerintahan Swaparaja, mengingat Kesultanan Kasepuhan

pernah menyelenggarakan pemerintahan dan peradilan sendiri sampai tahun 1816.

Selanjutnya, berdasarkan Laporan Hasil Kerja Tim Peneliti Tanah Kesultanan Cirebon, yang

dibentuk oleh Kementrian Dalam negeri pada tahun 1977 berdasarkan SK Mendagri Nomor

415 Tahun 1977 tentang Pembentukan Team Peneliti tanah Kesultanan Kasepuhan Cirebon

yang terkena Undang Undang Landreform tanggal 24 Desember 1977, Tanah-tanah keraton

Kasepuhan di Cirebon khususnya Tanah Kasultanan Kasepuhan ada 2 (dua) Macam, yaitu : 1.

Tanah yang dikenakan Pajak, yaitu tanah tanah yang ber letter C yangtercatat atas nama R.

Rajaningrat, artinya : Tanah-tanah yang dikenai pajak dan tercatat di letter C adalah

merupakan tanah hak milikpribadi Sultan. 2. Tanah yang tidak dikenakan pajak, yaitu tanah-

tanah yang tercatat atas nama Kesultanan, artinya : Tanah yang tidak dikankan pajak dan

Page 19: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

13

tercatatatas nama Kesultanan adalah tanah bekas swapraja sebagimana yang dimaksud dalam

Diktum keempat huruf A UUPA.

Berdasarkan Data Hasil Penelitian dari berkas tanah-tanah Keraton Cirebon dari daftar yang

dibuat oleh Residen Cirebon Cq. Kepala Bagian Agraria tanggal 21 Maret 1956, tanah milik

pribadi dan tanah Kesultanan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan Luasnya sebagai

berikut:

1. Keraton Kasepuhan , seluas..412,9900 Ha Milik Pribadi Sultan Kasepuhan seluas ...40,6034

Ha Tanah Kesultanan Kasepuhan seluas..371,9900Ha,

2. Keraton Kanoman , seluas 1.247,7742 Ha Milik Pribadi Sultan Kanoman seluas .22,8942Ha

Tanah Kesultanan Kanoman, seluas .1.224,8800Ha 3. Keraton Kacirebonan, seluas .....30,6250

Ha Milik Pribadi Kacirebonan seluas .27,6250 Ha Tanah Kesultanan seluas..3,0000 Ha

Catatan Luas tersebut berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon Pelaksanaan

LANDREFORM : Tanah-Tanah Milik Pribadi Sultan : 1. Sultan Kasepuhan, oleh karena

Sultan Kasepuhan Meninggal dunia sebelum berlakunya UUPA, maka tanah milik tersebut

telah dibagi wariskan. 2. Sultan Kanoman, oleh karena tanah Milik Sultan Kanoman terkena

ketentuan kelebihan batas maksimumkepemilikan seluas 13,0390 Ha dan telah diberikan uang

ganti kerugian sebesar Rp. 651.950,- dan telah dibayar pada tanggal 31 Oktober 1968. Untuk

Tanah-Tanah Kasultanan, baik Kasepuhan, Kanoman maupun Kacirebonan sebagian telah di

berikan hak milik kepada Masyarakat, Sebagian diberikan SIM, dan sebagian lainya telah

dipergunakan untuk kepentingan umum seperti Kuburan, Masjid-masjid, Alun Alun, Jalan,

Sungai,Bangunan Keraton, Pasardan lain-lain. b. Versi Keraton/Kasultanan (Khususnya

KASEPUHAN) Menurut Sultan Sepuh XIII (P.R.A. DR. H MAULANA PAKUNINGRAT)

memberikan sikap yang dituangkan dalam tulisan berjudul Sejarah Kasultanan Kasepuhan

Tidak Pernah menjadi daerah Swapraja, yang ditujukan untuk bahan kajian Tim Peneliti dan

Inventarisasi Masalah di Keraton Kasepuhan pada Tahun 2001, menjelaskan bahwa

Kesultanan Cirebon hanyalah sebuah Lembaga adat yang memelihara budaya, tradisi dan

agama secara turun temurun, tidak lagi mengadakan pemerintahan sendiri seperti Kerajaan

Kerajaan lain di Nusantara, pemeliharaan adat, tradisi, budaya dan agama pada waktu itu tanah

adalah merupakan hak turun temurun sultan (Tanah Wewengkon), dalam tulisanya dijelaskan

sebelum adanya Conventie London 1814, dimana Inggris menyerahkan tanah jajahan (bekas

Hindia Belanda) ditimur jauh kembali kepada Belanda, tidak termasuk tanahtanah milik

Page 20: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

14

Kesultanan Cirebon, sebab tanah tanah milik Kasultanan Cirebon tidak lagi milik Jajahan

Inggris yang diserahkan kepada Belanda, akantetapi tetap menjadi milikKesultanan Cirebon.

Kemudian dijelaskan pula Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan Kontrak Politik

dengan Kolonial, dimana Kerajaan yang mengadakan Kontrak Politik dengan Kolonial disebut

SWAPRAJA atau INDERECT BESTUURD GEBIED atau ZELFSBESTUURDLANSCHAP.

Hal tersebutjuga dibuktikan bahwa pada tahun 1932 pernah menjadi jaminan (BORG) pada

Centraal Kas Bank untuk peminjaman Sultan Sepuh Mohamad Djamaloedien Aleoda.

Kemudian berdasarkan hal Tersebut, Sultan Sepuh Kasepuhan pada tahun 2001 mengajukan

usulan penyelesaian dengan Pemerintah dengan memohon kepada Pemerintah sebagai berikut:

1. Untuk Tanah Merdika (Sunyaragi) seluas 337 Ha dan Tanah Yasa (Pegambiran) seluas

23,164 Ha untuk dikembalikan seluruhnya, untuk yang telah diterbitkan Sertipikat agar diganti

rugi dengan mengacu kekentuan Ganti Rugi menurut Keppres No. 55/1993, dengan ganti rugi

senilai 40 tahun x Luas tanah x pendapatan per tahun, karena keraton Kasepuhan tidak pernah

menerima pendapatan selama 40 tahun. 2. Untuk tanah Keramat/Adat Karena merupakan

Cagar Budaya Situs Purbakala mempunyai nilai adat dan keramat, maka sebaiknya

disertipikatkan atas nama Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan untuk kepentingankelestarian adat

istiadat.

Sebelumnya Sultan Kasepuhan juga melakukan Upaya mengajukan Permohonan Dispensasi

agar tidak dilaksanakan pelaksanaan Landreform atas tanah tanah Keraton Kasepuhan kepada

Presiden RI dengan suratnya tertanggal 7 Desember 1961, yang selanjutnya berdasarkan Surat

dari SetNeg atas nama Presiden RI tertanggal 30 Juli 1962, MENOLAK permohonan

dispensasi tersebut, dan atas tanahtanah Kesultanan tetap terkena ketentuan dan ditetapkan

sebagai tanah bekas Swapraja dan telah beralih kepada Negara sejak tanggal 24september

1960. 2. Akibat Perbedaan Pandangan Tentang Status tanah Ex Swapraja antara Pemerintah

dengan Kesultanan Cirebon

Bahwa atas kondisi tersebut selama kurun waktu sejak berlakunya UUPA sampai saat ini

belum ada penyelesaian permasalahan tersebut, seiring berjalannya waktu menjadi salah satu

pemicu adanya sengketa/konflk pertanahan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Page 21: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

15

SEKILAS PANDANG SEJARAH KASULTANAN KASEPUHAN DAN

KEDUDUKAN STATUS TANAH HAK TURUN TEMURUN SULTAN SEPUH.

1. ERA SUNAN GUNUNG JATI

Pada abad XV Pangeran Cakrabuana putra mahkota Pajajaran membangun keraton dan

memproklamirkan kemerdekaannya dari kerajaan Pajajaran. Karena putrinya bernama Ratu

Ayu Pakungwati, maka keratonnya dinamai keraton Pakungwati yang kemudian dikenal

dengan sebutan Dalem Agung Pakungwati hingga sekarang.

Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya bernama Syekh Syarif

Hidayatullah putra Ratu Mas Larasantang (adik Pngeran Cakrabuana) yang lebih dikenal

dengan sebutan Sunan Gunung Jati.

Kemudian Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai pimpinan atau Kepala Negara di Cirebon

dan bersemayam di keraton Pakungwati, semenjak itu Cirebon merupakan pusat

pengembangan agama Islam di Jawa dengan adanya Walisanga yang dipimpin yang dipimpin

oleh Sunan Gunungjati dan peninggalan-peninggalannya diantaranya Masjid Agung Sang

Cipta Rasa.

Pada abad XVI Sunan Gunung Jati wafat, kemudian Pangeran Emas Zaenul Arifin cicit dari

Sunan Gunung Jati bertahta menggantikannya, yang kemudian pada tahun candra sangkala

Tunggal Tata Gunaning Wong atau 1451 saka yaitu tahun 1529 mendirikan keratin baru di

sebelah barat daya Keraton Dalem Agung Pakungwati, Keraton ini dinamai Keraton

Pakungwati dan beliau pun bergelar Panembahan Pakungwati I.

Pada kurang lebih tahun 1679 didirikan Keraton Kanoman oleh Pangeran Kartawidjaja atau

Sultan Badidrin yang bergelar Sultan Anom, Sultan Badidrin adalah adik dari Pangeran

Martawidjaja atau Sultan sepuh Kasepuhan, mereka putra dari Panembahan Pakungwati II.

- Selanjutnya, terkait kepemilikan Tanah Wewengkon/Merdika/Hak Turun Temurun

Sultan Sepuh, ditetapkan dengan RESOLUSI 19 OKTOBER 1819 NO. 6 sebagai

berikut :

Kepada Sultan Sepuh akan diutamakan permohonannya, atas dasar tanah-tanah

yang telah diserahkan, sebagai pengganti dari pendapatan yang variatif (Wissel

Vallige)

- Dari dokumen sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Cirebon TIDAK PERNAH

menjadi daerah SWAPRAJA, tidak seperti Keraton-keraton lain di Indonesia. Karena

pada waktu berlakunya era swapraja (Belanda), Keraton Kasepuhan sudah tidak

Page 22: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

16

memiliki Pemerintahan dan Politik, dan tidak ada kontrak Politik, tetapi hanya sebagai

lemaga adat dan tradisi.

2.ERA BELANDA (1834 – 1945)

- Berkenaan dengan hal-hal yang khusus mengenai timbang terima tanah di Cirebon

kepada Gubernemen (dibawah pemerintahan selingan Inggris) mencakup tentang

penguraian batas-batas tanah milik Sultan Kasepuhan diakui (in jasa). Fakta tersebut

sesuai dengan PENJELASAN DEMANG RAKSADIRDJA ddo 2 Agustus 1871.

Gouvernement Besluit 26 April 1872

benda tidak bergerak yang merupakan BEZIT dari masing-masing ketiga cabang famili

Sultan Cirebon.

Dalam keputusan ini digaris bawahi keputusan Rahasia Gubernemen tertanggal September

1884 no 1a2 yang menyebutkan bahwa gelar “ Sultan harus beralih kepada Putra laki-laki

sulung dari pangeran Gelar.

Tanah Sultan Kasapuhan adalah tanah hak turun temurun, karena selalu disebut BEZIT

Selama krurun waktu 1834-1945, Kasultanan Kasapuhan tidak pernah mengadakan kontrak

politik dengan kolonial dimana kerajaan yang pernah mengadakan kontrak politik.

3. ERA REFORMASI

Di era reformasi, ada beberapa kemajuan proses penyelesaian yang berkeputusan tetap,

itupun harus ditempuh melalui pengadilan (jalur hukum)), dan dimenangkan oleh Sultan

Sepuh Keraton Kasapuhan. Dengan dimenangkannya proses hukum oleh Sultan Sepuh

semakin menguatkan fakta bahwa demi hukum dan keadilan tanah keraton Kasapuhan

tersebut seharusnya tidak terkena Landreform dalam kategori ewapraja/ex swapraja.

Adapun beberapa fakta hukum yang terjadi di era reformasi adalah sebagai berikut :

a. Surat Mendagri.

b. Keputusan Mahkamah Agung RI tenatng tanah Keraton No 373 K /PDT/2004 Kasus

tanah Kasapuhan di Blok satim Desa Sakur jaya Kecamatan Ujung jaya Kab

Sumedang yang dimenangkan Sultan Sepuh Keraton Kasapuhan Cirebon.

Page 23: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

17

c. Keputusan MA RI no. 311 pk/ pdt 2009 tgl 24-08-2009 tentang tanah keraton yang

digunakan kantor Dinas Pertanian di Kota Cirebon yang dimenangkan Sultan Sepuh

Keraton Kasapuhan Cirebon

d. KEPUTUSAN pk No,28 PK/TUN 2004 jo No 121/G/2001/PTUN-BDG dan

Penetapan Eksekusi No. 121 /DG 2001/PTUN jo no 02/PEN EKS/2003 PTUN BDG,

tenatng tanah Sultan Sepuh di desa Banjarwangun Kec. Mundu Kab Cirebon yang

dimenangkan Sultan Sepuh Keraton Kasapuhan Cirebon.

Page 24: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

18

BAB IV

A.Politik hukum Pertanahan dalam pemaknaan tanah swapraja

Dari penjelaskan diatas mengenai pemaknaan swapraja atau bekas swapraja dilihat

dari politik hukum, indikator yang dapat ditetapkan bahwa yang dikatakan swapraja atau

bukan swapraja yaitu: (1) merupakan daerah yang memiliki pemerintahan yang tidak

diatur oleh negara lain, melainkan oleh dirinya sendiri, (2) daerah yang berdasarkan

perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda yang dituangkan dalam perjanjian pendek

yang disebut Korte Verklaring.

Pemaknaan kata swapraja yang diawali dengan berdebatan dalam bermula untuk membahas

daerah istimewa melalui voting negara di sidang BPUPKI. Keadaan tersebut diwarnai diskusi

para bapak pendiri bangsa mengenai bentuk negara, yang kemudian istilah daerah

istimewa atau Zelfbesturen delandchappen. Daerah istimewa hanya muncul sekali

dalam konstitusi RIS tahun 1949. Itupun hanya menyangkut satu daerah yang berstatus

sebagai”Satuan Kenegaraan yang Tegak Sendiri”. Dalam konstitusi ini muncul daerah

swapraja sebagai ganti istilah dari bahasa Belanda Zelfbesturen delandchappen yaitu

daerah – daerah kerajaan atau berpemerintahan sendiri.

Daerah yang berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda yang

dituangkan dalam Korte Verklaring perjanjian pendek berisikan pernyataan setia kepada

Raja Belanda atau Gebenur jendral atau wakilnya, sehingga dalam membedakan mana

yang masuk kepada daerah swapraja atau bekas swapraja bila melihat dari makna yang

terdapat dalam beberapa pemahamanan yang ada.

Page 25: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

19

B.INDIKATOR PENETAPAN TANAH SWAPRAJA DI PEMERINTAH KOTA

CIREBON

Wilayah/daerah swapraja adalah wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri.

Istilah ini dipakai sebagai peranan bagi istilah pada masa kolonial Belanda,

zelfbestuur (jamak zelfbesturen). Sistem administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia-

Belanda dikenal rumit dan mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda.

Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan

mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan , kerajaan, dan keadipatian .

Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur

urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Contoh daerah swapraja adalah

Kesunanan Surakarta. Pemerintahan pendudukan Jepang (1942- 1945) menggantikan

status daerah swapraja menjadi kochi. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,

daerah-daerah di Indonesia memperoleh status daerah swapraja oleh pemerintahan

antara Hindia-Belanda melalui berbagai Lembaran Negara (Staatsblad).

Pada masa Republik Indonesia Serikat, daerah-daerah swapraja menjadi bagian dari

"negara" / negara bagian. Reorganisasi pemerintahan daerah semenjak berlakunya UU no. 1

tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah secara efektif menghapus status

swapraja dan membentuk "daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri ",

yang juga disebut Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa (Pasal 1).

Pengertian Tanah Swapraja

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal dari kata “Swa”

yang berarti; “sendiri ” dan “Praja” yang berarti; “kota-negeri ”, Swapraja, berarti daerah

yang berpemerintahan sendiri. Dengan demikian, daerah Swapraja berati daerah yang

memiliki Pemerintahan sendiri. Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam Undang-

Undang Dasar 1945, dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende

Landschappen. Baru di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang

Dasar Sementara 1950 di jumpai sebutan swapraja, masing-masing dalam Bab II dan Bab

IV. Di dalam II bagian III Konstitusi Republik

Page 26: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

20

Indonesia Serikat yang berjudul daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65,

bahwa; daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui.

Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan

daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa mengatur daerah itu

dilakukan dengan kontrak, yang diadakan antara daerah- daerah bagian dengan daerah-

daerah swapraja yang bersangkutan. Dalam Bab IV Undang-Undang Dasar Sementara

1950 yang berjudul; Pemerintah Daerah dan Pemerintah Swapraja, dinyatakan dalam

pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan Undang-Undang.

UUPA dalam Diktum ke IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan bekas

swapraja, namun demikian, hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara khusus

merupakan pelaksanaan dari Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang

ada adalah Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai

pembagian tanah swapraja dan bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan Landreform.

Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah- daerah yang

diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda ( Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan

daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa yang

dikenal sebagai daerah-daerah swapraja. Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja adalah

suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang

kepala wilayahnya ( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain ),

berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan

pemerintahan sendiri ( dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut;

Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian

tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka ragam.

Hapusnya Daerah Swapraja.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pemerintahan swapraja

dibanyak daerah menjadi hapus. Wilayah-wilayah bekas daerah swapraja itu kemudian

menjadi daerah yang diperintah langsung oleh negara Republik

Page 27: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

21

Indonesia, dan kemudian menjadi wilayah administrasi biasa, misalnya menjadi

Karesidenan.

Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh pemerintah swapraja dengan hak penguasaan

yang bersifat publik, menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, seperti tanah-tanah

dalam daerah pemerintahan langsung. Sedangkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak

yang bersifat Perdata, tetap dalam penguasaan bekas kepala swapraja, yang umumnya

masih menggunakan sebutan lama sebagai kepala swapraja, Sunan, Sultan atau Raja sebagai

kepala keluarga kerajaan.

Tanah-tanah yang dikuasai secara pribadi tersebut, pada hakikatnya adalah merupakan

tanah milik pribadi seperti tanah-tanah hak milik di daerah lain. Pada waktu Sunan,

Sultan atau Raja wafat, maka tanah tersebut diwarisi oleh ahli warisnya.

Eks Kasunanan Surakarta, eks Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten

Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman, adalah daerah-daerah bekas swapraja, masing-

masing mempunyai wilayah tanah dan hutan, yang merupakan wilayah tanah dan

hutan swapraja, dimana semuanya hapus sejak berlakunya Undang- Udang Pokok

Agraria.

Dalam pandangan Pemerintah, ternyata disamping daerah-daerah bekas swapraja

tersebut diatas, masih ada daerah-daerah yang merupakan daerah swapraja dengan

segala hak dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah swapraja, yaitu; Cirebon,

yang terdiri dari eks Kesultanan Kasepuhan, eks Kesultanan Kanoman dan eks

Kesultanan Kacirebonan, yang dahulunya menguasai tanah-tanah yang sangat luas.

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ), dan dengan berdasarkan

kepada Diktum Keempat huruf A Undang-Undang tersebut, maka tanah-tanah yang

dikuasai oleh eks Kesultanan-Kesultanan itu, telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah

Kota Cirebon karena tanah-tanah itu dikategorikan sebagai tanah swapraja/ bekas swapraja,

yang dilakukan melalui Panitia Landreform Kota Praja Cirebon.

Sejak adanya keputusan itu, Sultan Sepuh Kasepuhan dari Keraton eks Kesultanan

Kasepuhan Cirebon mengajukan keberatan dan menuntut agar seluruh

Page 28: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

22

tanah-tanah itu dikembalikan kepada eks Keraton Kasepuhan dengan pertimbangan bahwa, e

ks Kesultanan Kasepuhan bukan bekas swapraja sebagaimana yang dimaksud dalam

Diktum Keempat huruf A UUPA, karena eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon tidak

berstatus swapraja lagi jauh sebelum lahirnya negara Republik Indonesia.

Keberatan Sultan Sepuh Kasepuhan tersebut ditolak oleh Presiden Republik Indonesia

dengan Suratnya tanggal 30 Juli 1962 Nomor 1893/TU/62, dimana ditegaskan

bahwa, Keraton Kasepuhan adalah bekas swapraja , sebagaimana dimaksud dalam

Diktum ke IV UUPA, sehingga proses pembagian tanah-tanah tersebut dalam

rangka Landreform tetap dilanjutkan. Kenyataanya kemudian, seluruhnya habis

di- redistribusikan dan tidak ada sisa yang seharusnya dikembalikan kepada pihak eks

Kesultanan Kasepuhan Cirebon ,. Hal inilah yang merupakan awal timbulnya “konflik

pertanahan ” di Kota Cirebon, yang terus berlanjut hingga saat ini.

Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah- daerah yang

diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda ( Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan

daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa

yang dikenal sebagai daerah-daerah swapraja. Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja

adalah suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda,

yang kepala wilayahnya ( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain

), berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan

pemerintahan sendiri ( dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur

) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta

adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka ragam.

Kerajaan-kerajaan itu disebut Landschap atau Zelfbestuur, sedangkan Rajanya

disebut Zelfbestuurder. Lansdchap itu merupakan bagian dari daerah Kerajaan Hindia

Belanda, serta semua Zelfbestuurder harus mengakui Raja Belanda sebagai kekuasaan

pemerintah tertinggi yang sah. Tanah-tanah, termasuk hutan dalam wilayah Swapraja,

merupakan tanah-tanah Swapraja, yang kewenangan

Page 29: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

23

penguasaan dan pemberian haknya kepada pihak lain, ada pada Pemerintah Swapraja

yang bersangkutan. Ada tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata

oleh Kepala Swapraja secara pribadi atau dalam kedudukannya sebagai Kepala

Keluarga Kerajaan, misalnya adalah; tanah untuk istana, tempat peristirahatan dan

keperluan pribadi lainnya . Sisanya adalah tanah-tanah, termasuk hutan yang dikuasai

dengan hak yang bersifat Publik oleh pemerintah swapraja. Tanah-tanah inilah yang

oleh pemerintah swapraja diberikan kepada pihak lain dengan hak-hak yang dikenal di

swapraja yang bersangkutan.

Syarat bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri itu didapatkan

berdasarkan pemberian oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang dituangkan dalam

perjanjian-perjanjian dan disebut sebagai Korte Verklaring , adalah merupakan syarat mutlak ,

karena tanpa adanya Korte Verklaring itu tidak akan ada daerah swapraja. Hal itu adalah

karena pada masa tersebut, Pemerintah Hindia Belanda adalah penguasa atas seluruh

wilayah Indonesia, sehingga dengan demikian tanpa adanya Korte Verklaring, ia

bukan daerah swapraja, melainkan merupakan daerah pemerintahan langsung dibawah

Hindia Belanda.

Kota Cirebon menyatakan diri sebagai Kota Wali, namun ironisnya di kota yang

memproklamirkan diri sebagai kota wali ini, ternyata berlangsung “konflik pertanahan ”

berkepanjangan antara Pemerintah Kota Cirebon disatu pihak melawan eks Kesultanan

Kasepuhan Cirebon pada pihak lainnya. Konflik dan perdebatan tersebut telah

berlangsung lebih dari 50 ( lima puluh ) tahun dan belum juga menunjukan tanda-

tanda akan berakhir. Masing-masing pihak tetap bertahan dengan argumen dan

pendapatnya sendiri-sendiri. Bagi Pemerintah Kota Cirebon, dengan telah dilakukannya

Redistribusi atas tanah-tanah milik eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon tersebut, maka

permasalahan dianggap telah selesai.

Pihak eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon belum bisa menerima bila tanah- tanah milik

eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon itu dianggap sebagai tanah swapraja/bekas

swapraja. Menurut mereka, pihak Keraton hanya berusaha meluruskan

permasalahan tanah milik eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang diambil dan dikuasai

oleh pihak-pihak tertentu secara tidak benar.

Page 30: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

24

Perdebatan mengenai tanah tersebut, mengungkapkan sejumlah pendekatan dan pendapat

yang berbeda-beda. Eks Kesultanan Kanoman dan eks Kesultanan Kacirebonan menerima

pembagian tersebut, sedangkan eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon sampai saat ini masih

belum mengakui dan berpendapat bahwa tanah eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon

tersebut bukan merupakan tanah swapraja/bekas swapraja. Pada sisi lain, Pemerintah

telah melakukan penelitian dan penolakan terhadap klaim pihak Kesultanan Kasepuhan

Cirebon tersebut. Bahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), melalui Surat Kepala Badan

Pertanahan Nasional kepada Gubernur Jawa Barat, tertanggal 20 Januari 2003 No. 400-

1581, beranggapan bahwa tanah eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon itu, adalah tanah

swapraja. Namun hingga saat ini pihak Pemerintah belum bisa menjelaskan arti swapraja

dengan jelas dan disamping itu, Pemerintah juga tidak mampu membuktikan mana saja

yang termasuk kedalam tanah swapraja/bekas swapraja dan yang bukan tanah

swapraja/bekas swapraja.

Untuk menyelesaikan masalah ini, sesungguhnya telah beberapa kali dibetuk Team Peneliti,

baik Team Peneliti yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, maupun Team Peneliti yang

dibentuk bersama-sama antara Pemerintah dengan pihak eks Kesultanan Kasepuhan

Cirebon, namun demikian masalah tersebut tidak juga bisa terselesaikan.

Tanah Kesultanan Kasepuhan Cirebon.

Tahun 1813, Sultan Cirebon melakukan perjanjian dengan pihak Inggris sebagai

penguasa baru Hindia Belanda, yaitu untuk menyerahkan seluruh kekuasaan pemerintahan

yang ada kepada Inggris , yang tercantum dalam Akta tertanggal 20 Juli 1813. Berdasarkan

Akta itu dan keterangan Sultan Sepuh XI tanggal 10 September 1931 , maka

seluruh kekuasaan Pemerintahan Kesultanan Cirebon beserta wilayah

pemerintahannya, telah diserahkan sepenuhnya kepada Inggris selaku penguasa pada saat

itu, sedangkan yang tersisa hanyalah tanah milik pribadi Kesultanan Kasepuhan, sebagaimana

tercantum dalam Peta Kadaster tanggal 20 Mei 1890.

Page 31: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

25

Sejak adanya Akta 20 Juli 1813 seluruh kekuasaan pemerintahan maupun wilayah

kekuasaan Sultan Cirebon, telah berakhir, dan Cirebon menjadi wilayah yang diperintah

langsung oleh Inggris, sedangkan tanah yang tersisa adalah tanah-tanah pribadi yang tidak

diserahkan kepada Inggris, karena sifat dan nilai-nilainya yang khusus, yaitu Keraton dan

tanah peristirahatan Sunyaragi ( Sunyaragi, dahulunya adalah tanah / hutan larangan ). Hal

tersebut juga diperkuat dengan adanya bukti bahwa tanah-tanah tersebut, pernah dijadikan

jaminan/agunan untuk peminjaman uang kepada Centraal Kas oleh Sultan Sepuh Mohamad

Djamaloedin Aloeda tahun 1932.

Jadi yang dimaksud dengan tanah eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon, adalah hanya

meliputi tanah-tanah pribadi saja ( bersifat Hak Perdata ) yang tidak diserahkan

kepada Inggris , dan bukan merupakan wilayah/desa-desa yang dahulu menjadi bagian

wilayah kekuasaan pemerintahannya, karena dengan adanya penyerahan tahun 1813

tersebut, Sultan Cirebon tidak lagi mempunyai kekuasaan apapun diluar wilayah

Keratonnya.

C .Konflik Tanah Kasultanan Kasepuhan Cirebon versus Pemerintah dan

Masyrakat.

Pada tanggal 24 September 1961, berdasarkan Keputusan Menteri Agraria, dimulailah

penguasaan tanah-tanah yang dikuasai dengan melebihi batas luas maksimum oleh

negara. Pelaksanaannya dilakukan dengan berangsur-angsur, setelah ditetapkan bagian

atau bagian-bagian mana yang tetap menjadi tanah hak pemilik dan mana yang akan

dikuasai oleh Pemerintah.

Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tanah-tanah yang diambil

oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada para petani yang membutuhkan itu,

tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Pemberian ganti

kerugian ini merupakan perwujudan dari pada azas yang terdapat dalam Hukum Agraria

Nasional kita, yang mengakui adanya hak milik perorangan atas tanah.

Peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 mencantumkan ketentuan- ketentuan

mengenai ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah sebagai pelaksanaan dari

Pasal 17 UUPA. Pemberian ganti kerugian kepada para bekas

Page 32: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

26

pemilik tanah yang diambil oleh Pemerintah, baik karena melebihi luas maksimum ataupun

karena absentee, merupakan ciri pokok landreform Indonesia, demikian dikatakan oleh

Prof. Boedi Harsono. Kepada bekas pemilik dari tanah-tanah yang berdasarkan ketentuan

Pasal 1 ketentuan ini diambil oleh Pemerintah untuk dibagi- bagikan kepada yang berhak

atau dipergunakan oleh Pemerintah sendiri, diberikan ganti kerugian, yang besarnya

ditetapkan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Jadi redistribusi tanah yang menjadi objek Landreform adalah, pembagian tanah-tanah

pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah, karena terkena ketentuan larangan

pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja/bekas swapraja,

kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima distribusi tanah

tersebut. Redistribusi tanah eks Kesultanan Kasepuhan tersebut telah dan tetap

dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Cirebon, walaupun hingga saat ini, pihak eks

Kesultanan Kasepuhan tetap beranggapan bahwa tanah tersebut bukan merupakan tanah

swapraja/bekas swapraja.

Dilihat dari latarbelakang sejarah, politis maupun yuridis, Kesultanan Cirebon tidak pernah

menjadi daerah Swapraja, karena ia tidak pernah melakukan persetujuan politik

apapun dengan Pemerintah Hindia Belanda, dan telah menyerahkan kekuasaan

pemerintahannya sepenuhnya kepada Pemerintahan Inggris dibawah Gubernur Jenderal

Raffles, dengan Akta perjanjian 20 Juli 1813 . Sampai dengan saat diserahkannya

seluruh kekuasaan pemerintahan oleh Kesultanan Cirebon kepada Inggris tersebut,

Cirebon adalah suatu wilayah dengan pemerintahan yang benar-benar merdeka, terlepas

dari pengaruh dan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda.

Dengan keadaan dan posisi tersebut, Cirebon tentu tidak dapat dikategorikan sebagai

wilayah swapraja/bekas swapraja, sebab suatu wilayah swapraja/bekas swapraja harus

tunduk kepada pihak yang memberikannya kekuasaan untuk memerintah, seperti

halnya yang terjadi dengan daerah-daerah swapraja lain. Hal itu tidak berlaku untuk

Kesultanan Cirebon. Setelah Pemerintah Inggris menyerahkan kembali penguasaan

Hindia Belanda kepada Pemerintah Belanda, keadaan itu diteruskan oleh Pemerintah

Belanda, dimana Cirebon dianggap sebagai

Page 33: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

27

daerah pemerintahan langsung dibawah Belanda. Cirebon sejak saat itu, adalah

merupakan daerah kekuasaan langsung dan sepenuhnya dari pemerintahan Belanda.

Oleh karena itu, Cirebon, tidak bisa dikategorikan sebagai daerah Swapraja/ bekas

Swapraja.

Pada sisi lain, pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 telah

dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan oleh ketentuan itu

sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, terhadap tanah swapraja dan bekas

swapraja yang beralih kepada negara, diberi peruntukan; sebagian untuk kepentingan

Pemerintah, sebagian untuk kepentingan mereka yang langsung dirugikan karena

dihapuskannya hak swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat

yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini. Lebih lanjut

ditentukan bahwa tanah yang diperuntukan bagi mereka yang langsung dirugikan, letak dan

luasnya ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah.

Dengan latar belakang seperti itu, serta dengan mengacu kepada pendapat Prof. Boedi

Harsono, SH, mengenai syarat suatu daerah untuk dapat disebut sebagai daerah

swparaja/bekas swapraja, juga Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 dan kemudian

membandingkannya dengan pelaksanaan re-distribusi terhadap tanah-tanah itu adalah

wajar bila terjadi penolakan keras oleh pihak eks. Kesultanan Kasepuhan Cirebon atas

tindakan yang dilakukan Pemerintah Kota Cirebon terhadap tanahnya.

Jadi pelaksanaan ketentuan Diktum ke IV huruf A UUPA dan Pasal 4 Peraturan

Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, mengenai tanah-tanah swapraja/bekas

swapraja di wilayah Eks Kesultanan Cirebon, khususnya terhadap tanah-tanah eks

Kesultanan Kasepuhan Cirebon, telah menimbulkan “konflik pertanahan ” yang

berkepanjangan, kerena tidak adanya kejelasan mengenai status tanah tersebut.

Hingga saat ini belum juga bisa diambil suatu kesimpulan yang tegas, apakah Cirebon

merupakan daerah swapraja/bekas swapraja atau bukan. Secara historis, politis maupun

yuridis, Cirebon bukan dan tidak pernah menjadi daerah Swapraja atau bekas Swapraja,

karena sepanjang sejarah berdirinya kekuasaan Kesultanan di

Page 34: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

28

Cirebon. Cirebon merupakan suatu daerah yang merdeka dalam arti yang

sesungguhnya, karena tidak pernah disentuh oleh kekuasaan pemerintah Hindia

Belanda.

Pada sisi lain, pelaksanaan redistribusi atas tanah-tanah Eks Kesultanan Kasepuhan

Cirebon tersebut juga telah menimbulkan permasalahan, karena tidak dilakukan

sebagaimana mestinya, yaitu distribusi yang tidak terencana dengan baik, bahkan hingga

saat ini redistribusi itu belum juga selesai. Hak-hak pihak eks Kesultanan

Kasepuhan sebagai pemilik tanah itu, yang seharusnya tetap diperhatikan,

malah dikesampingkan sama sekali. Disamping itu, sebagaimana dinyatakan oleh

Sultan Sepuh Kasepuhan Cirebon, ditengarai juga terjadi pelanggaran ketentuan

mengenai larangan pemilikan tanah secara absentee. Oleh karena itu perlu dicarikan suatu

cara penyelesaian yang baik dan bermartabat, agar permasalahan ini bisa segera

diselesaikan dan sekaligus memberikan jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat

yang telah menguasai tanah tersebut dengan itikad baik.

Page 35: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

29

BAB V

KESIMPULAN

Keberadaan tanah swapraja atau bekas swapraja dilihat dari politik hukum agraria tidak ada

yang menjelaskan pemaknaan tanah swapraja.Dari penjelasan diatas mengenai pemaknaan

swapraja atau bekas swapraja dilihat dari politik hukjum, indikator yang dapat ditetapkan

bahwa atau bukan swapraja :

A. . 1. merupakan daerah yang memiliki pemerintahan yang tidak diatur oleh negara lain,

melainkan oleh dirinya sendiri.

2.Daerah yang berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Hindia belanda yang

dituangkan dalam perjanjian yang disebut Korte Verklaring

B.Indikator penetapan swapraja dalam pemerintahan Kota Cirebon, tidak melibatkan

pihak dari keraton Kasapuhan Cirebon. Pemerintah hanya memaknaai swapraja yang

tertulis dalam UUPA, tanpa melihat historis dan yuridis tanah eks Keraton Kasapuhan

Cirebon.

Page 36: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

30

BAB VI

REKOMENDASI

PENANGANAN TANAH KASAPUHAN CIREBON

Pertama, pendekatan melalui UUPA dengan menerapkan PP Nomor 38 Tahun 1963;yi

badan badan hukum yang dapat mempunyai hak milik

Permen ATR /BPN Nomor 128 Tahun 2015

. Pasal 1.: Badan-badan hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas

tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3 dan 4

peraturan ini :

a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas

Undangundang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran- Negara Tahun 1958 No. 139);

c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah

mendengar Menteri Agama;

d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Badan-Badan hukum Yg Dapat Mempunyai HM-

Pasal 4.

Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha

keagamaan dan sosial.

Pasal 5.

(1) Didalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan ini, maka badan-badan

hukum tersebut pada pasal 1 huruf-huruf a dan b, wajib memberitahukan kepada Menteri

Pertanian/Agraria tentang semua tanah yang dipunyainya, dengan menyebutkan macam

haknya, letak, luas dan penggunaannya.

(2) Mengenai badan-badan keagamaan dan sosial, kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini

berlaku pada waktu badan hukum yang dapat mempunyai hak milik, seperti termaksud pada

pasal 1 huruf c dan d.

• (3) Untuk dapat memperoleh tanah hak milik sesudah mulai berlakunya peraturan ini,

Page 37: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

31

tetap diperlu(kakan ijin Menteri Pertanian/Agraria atau penjabat lain yang

ditunjuknya, sebagai yang diatur didalam Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun

1962 (Tambahan Lembaran Negara No. 2346).

Kedua, pendekatan dengan UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 Tntang Cagar Budaya;

Penguasaan dan Kepemilikan Cagar Budaya

• Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan tetap

memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

• Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah,

Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap

memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

Setiap orang adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat, badan usaha berbadan

hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.

Cagar Budaya yang tidak diketahui kepemilikannya dikuasai oleh Negara.

Setiap orang dilarang mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat

provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali

dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya

Ketiga

pendekatan dengan memaknai Kraton Kasepuhan Cirebon sebagai Masyarakat Hukum Adat

dengan hak-hak adanya, termasuk tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan

Cirebon: dengan menerapkan Permen ATR/BPN tentang Penatausahaan Tanah Ulayat

Masyarakat Hukum Adat.

Untuk ini pihak keraton Kasapuhan bisa memilih salah satu dari 3hal tersebut diatas dengan

segala konsekwensinya.

Page 38: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

32

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmad Sodiki, 2003, Politik Hukum Agraria, Jakarta, Konstitusi Press.

Ahmad Fauzi Ridwan, 1982, Hukum Tanah Adat, Jakarta: Dewaruci Press.

Budi Hardiman, Demokrasi Delberati: Model Indonesia Pasca Soeharto, dalam basic No 11-

12 November-Desember, Yogyakarta, 2004 hlm 17. Lihat juga dalam Reza A.A Watimena,

Melampau Negara Hukum Klasik Locke-Rausseau Habermas, 2007, Yogyakarta: Kanisius.

Gunawan Wiradi, 2009, Seluk Beluk Masalah Agraria Reforma Agraria dan Penelitian

Agraria, Yogyakarta, STPN Press.

Kartini Soejendro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,

Yogyakarta: Kanisius.

Nezar Patria dan Andi Arif, 2003, Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Rob van Getstel, Hans -W Micklitz & Miquel Poiares Maduro, Meyhodology In The New

Legal World, 2012, Italy: European University Intitue Badia Fiesolana.

Sidartha, Filsafat Penelitian Hukum, 2013, Disgest Epistema Volume 3, Jakarta: Epistema

Institute.

Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Jakarta: Universitas Terbuka.

Soejono Soekamto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, 1984, Jakarta, UI-Press.

Soejono Soekamto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3, Jakarta: UI-Press.

Weber, Max. 1958, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalisme. New York.

Jurnal dan Karya Ilmiah

Bakhrul Amal, Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Keraton Kesepuhan di Kota Cirebon

(suatu kajian terhadap putusan MA No 1825/K/PDT/2002) Dispute of Owernship Of

Land In Kesepuhan Palace Cirebon, 2016, E Journal Program MKN UNDIP

Page 39: LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMAKNAAN TANAH …

33

Semarang.

Boedi Harsono, Peralihan Tanah-Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja Menjadi Tanah

Negara, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional; Pertanahan Nasional

Berkenaan Dengan Tanah-Tanah Eks Swapraja, yang diselenggarakan 15 Februari

2003: Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.

Daniel Fitzp Trick, Disputea NS Pluralism in Modern Indonesia Law, 1997, Yale Journal Of

International Law, Vol 22.

Dayanto, Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Negara Hukum Indonesia Berbasis

Pancasila,” Jurnal Dinamika Hukum Universitas Darussalam Ambon, Vol 12 No 3

September 2013.

Gunawan Wiradi, Identifikasi dan Inventarisasi Permasalahan Dalam Penguasaan dan

Penggunaan Tanah di Pedesaan Suatu Kajian Sosiologis, Makalah Seminar Nasional

Tri Dasawarsa UUPA, 1990, Yogyakarta, diselenggarakan oleh Kerjasama BPN-FH

UGM, 24 Oktober 1990.

H.A. Mattulada, Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan Indonesia: Prospek Budaya

Politik Abad 21”. April 1999 dalam jurnal Antropologi Indonesia, th XXII No. 58

Jurnal.

Julius Sebiring, Tanah Dalam Prespektif Filsafat Hukum, Jurnal Mimbar HUkum Volume 23

Nomor 2, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta