LAPORAN HASIL PENELITIAN - repositori.unud.ac.id · Ilmu Politik Universitas Udayana Komisi...
Transcript of LAPORAN HASIL PENELITIAN - repositori.unud.ac.id · Ilmu Politik Universitas Udayana Komisi...
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PEMETAAN PERSEPSI ATAS PENYELENGGARAAN SOSIALISASI
KEPEMILUAN, PARTISIPASI DAN PERILAKU PEMILIH
DI KABUPATEN BANGLI
Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli
dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana
Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Udayana Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Bangli
KOMISI PEMILIHAN UMUM
KABUPATEN BANGLI
2015
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah ingin melihat seberapa besar aspek
keberhasilan sosialisasi yang dilakukan oleh KPUD Kabupaten Bangli pada pemilu legislatif
dan pemilu presiden tahun 2014 berpengaruh terhadap peningkatan partisipasi dan perilaku
pemilih warga. Sejumlah persoalan yang terjadi seputar hubungan keduanya mendorong
dilakukannya penelitian ini. Temuan penelitian ini diharapkan menjadi dasar pertimbangan
buat KPUD Kabupanten Bangli untuk menentukan kebijakan strategis menuju persiapan
pemilukada yang akan datang.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kaulitatif
dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan menggunakan sumber-sumber data
sekunder seperti hasil tulisan mengenai analisa pemilu dan pemilukada sebelumnya.
Penelitian yang menggunakan jenis dan metode kulitatif adalah jenis penelitian yang
mengandalkan logika berpikir induktif. Memasukan dan mengandalkan banyak data untuk
dimasukan kedalam obyek kajian, kemudian dijelaskan dengan konsep-konsep dan teori
pendukung sehingga menghasilkan sebuah hasil penelitian.
Hasil akhir yang ditemukan dalam penelitian ini; ternyata perilaku memilih warga
Bangli tidak ditentukan oleh keberhasilan ataupun kegagalan sosialisasi yang dilakukan oleh
KPUD Bangli. Tanpa kedua hal itu tingkat partisipasi mereka tetap tinggi, karena perilaku
memilih mereka masih dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap figur yang dicalonkan oleh
partai politik. Demikian pula perilaku politik uang terhadap perilaku memilih mereka. Politik
uang hampir ada disemua cela, baik dari peserta pemilu maupun dari masyarakat pemilih. Hal
yang menarik keberadaan pemilih pemula yang semula tingkat partisipasinya dalam pemilu
dikhawatirkan tetapi ternyata sebaliknya sangat tinggi.
Kata Kunci : Sosialisasi Pemilu dan Aturan Main KPU, Perilaku Memilih, Politik Uang,
dan Partisipasi Politik Pemilih Pemula.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
RINGKASAN EKSEKUTIF......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 5
2.1 Kajian Awal Perilaku Pemilih ................................................................ 5
2.2 Prinsip Pilihan Rasional .......................................................................... 7
2.3 Perilaku Memilih dalam Pemilu Indonesia ............................................ 9
2.4 Kriteria Pemilih Rasional ....................................................................... 11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 13
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ........................................................ 13
3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 13
3.3 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 14
3.4 Analisis Data ............................................................................................ 14
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................. 16
4.1 Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu ....................................................... 17
4.1.1 Data Pemilih ................................................................................. 20
4.1.2 Pendistribusian Logistik .............................................................. 21
4.2 Perilaku Memilih dan Politik Uang ........................................................ 25
4.3 Pemahaman Pemilih terhadap Aturan Main Pemilu ............................. 30
4.4 Partisipasi Politik Pemilih Pemula ......................................................... 32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 35
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 35
5.2 Saran ........................................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Pendekatan-Pendekatan Teori Partisipasi Perilaku Memilih .............. 12
Gambar 2 Contoh Kartu Pemutakhiran Data Pemilih .......................................... 22
Gambar 3. Gambar Coretan Daftar Pemilih yang sudah tidak terdaftar dalam
Pemutakhiran data Pemilih. ................................................................. 22
v
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pemilukada merupakan sarana yang ditempuh
Pemerintah dalam upaya penegakan proses demokratisasi di Indonesia. Warga secara
langsung memilih dan menentukan siapa yang berhak menduduki jabatan Kepala Daerah di
wilayahnya. Pemilukadamendominasi peran atas penentuan sukses atau gagalnya proses
otonomi di suatu daerah karena pelaksanaannya adalah konsekuensi atas desentralisasi
kekuasaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.
Logika desentralisasi membangun komitmen bahwa pada setiap pelaksanaan
pemilukada, kekuasaan politik akan cenderung bergerak mendekat dengan warganya karena
kalangan inilah yang bertindak sebagai pihak pemilih langsung atas pemimpin daerahnya.
Hasil akhir dari pemilukada adalah terpilihnya Kepala Daerah dimana keberadaannya akan
bersinergi dengan lembaga dewan guna menghasilkan ragam kebijakan pemerintahan yang
berangkat dari kebutuhan rakyat sekaligus melibatkannya sebagai perencana, pelaksana, dan
pengawas pemerintahan. Asumsi penting pemilukada adalah memberi kesempatan pada
warganya untuk memilih pemimpin daerahnya secara langsung (Nuryati,2006:26), sehingga
demokrasi di tingkat lokal dapat lebih berkembang menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini
karena masyarakat dapat mengenali lebih dekat para calon pemimpinnya dan pemimpin yang
dipilih adalah yang dianggap memiliki kesesuaian dengan preferensi kebutuhannya.
Hanya saja pada tataran praktis, seringkali apa yang dipilih warga dalam pemilukada
maupun pemilu legislatif justru kontradiktif. Hasil yang diperoleh melahirkan pimpinan
daerah yang korup dan tidak berpihak pada kepentingan warga. Januari 2014 Kementerian
Dalam Negeri Republik Indonesia merilis data bahwa ada sekitar 318 kepala daerah yang
tersangkut korupsi. Pada Juli 2014 angka tersebut bertambah menjadi 330 kepala daerah yang
terseret kasus korupsi. Jika hal ini di rata-ratakan dengan jumlah wilayah Pemerintah Daerah
di seluruh Indonesia, ternyata lebih dari separuhnya kepala daerah di Indonesia melakukan
tindak korupsi (Kompas, 2 November 2014).
Pemilukada sebagai instrumen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata
masih banyak menyimpan beragam masalah, baik pada tataran teknis pelaksanaan, perolehan
hasil, maupun pasca pemilihan. Ragam problematika tersebut antara lain persaingan tidak
sehat, kecurangan pada saat pemungutan dan rekapitulasi suara dari tingkat PPS dan PPK,
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
2
politik uang (money politics) jelang pelaksanaan pemilukada hingga rentannya potensi
konflik yang terjadi pasca-penyelenggaraan pemilukada.
Bahkan pada studi yang dilakukan Iberamsyah (2007) mencatat pula bahwa praktek
pemilukada langsung selama ini telah membawa banyak resiko. Hal tersebut ditinjau
dari beberapa parameter, seperti ; praktek politik uang (vote buying) masih marak bahkan
ada kencederungan menaik; anggaran besar yang harus ditanggung negara ; ataupun resiko
terjadinya konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat.
Ragam inovasi teknik pemilukada serta pemberlakuan aturan main dalam pelaksanaan
pemilukada memang ditempuh oleh lembaga penyelenggara Pemilu. Hanya saja, kondisi ini
semuanya tidak akan berarti apa-apa apabila masih belum terdapat kesepahaman dan
kesadaran warga atas politik termasuk mengenai penyelenggaraan pemilu maupun
pemilukada. Harapannya tentu adanya situasi dimana masyarakat sudah dianggap “melek”
politik sehingga mereka benar-benar memikirkan tanggungjawabnya dalam bernegara
termasuk mendukung berjalannya proses demokrasi secara benar salah satunya melalui
keikutsertaannya dalam penentuan pimpinan pada daerahnya masing-masing. Tanggung
jawab masyarakat inilah yang seharusnya menjadikan pemilu sebagai proses demokrasi yang
melahirkan pimpinan yang berintegritas, bermoral serta betul-betul dapat memimpin
rakyatnya kedepan dengan baik.
KPU Daerah sebagai garda depan pelaksanaan pemilu pada level provinsi, kabupaten
maupun kota tentunya menjadi kunci penting bagaimana pelaksanaan pemilukada bisa
berjalan baik dan akuntabel. Kinerja KPU daerah yang minim staf penyelenggara tentunya
membutuhkan supporting dari beragam kalangan seperti salah satunya dari Perguruan Tinggi.
Hal ini mengingat upaya yang harus dibangun dan dilaksanakan KPU Daerah sangatlah
kompleks, seperti beberapa diantaranya adalah mensosialisasikan aturan main pemilukada ke
masyarakat umum sebagai pemilih, termasuk para peserta pemilukada; verifikasi pemilih dan
peserta pemilukada; hingga penetapan hasil pemilukada.Tentunya peran yang bisa didukung
oleh Perguruan Tinggi kepada KPU Daerah pada konteks ini adalah melaksanakan riset
politik terkait efektifitas sosialisasi tentang aturan main pemilukada kepada masyarakat dan
peserta pemilukada termasuk pola perilaku pemilih masyarakat yang bermuara pada strategi
peningkatan partisipasi pemilih yang ada di wilayahnya.
KPU Kabupaten Bangli termasuk salah satu lembaga yang akan melaksanakan
perhelatan pemilukada serentak 9 Desember 2015 nanti. KPU Kabupaten Bangli tentunya
merasa berkepentingan atas data-data mengenai efektifitas sosialisasi mengenai aturan main
pemilu di kalangan masyarakat maupun peserta pemilu. Perolehan data ini menjadi pondasi
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
3
penting terutama dalam menyusun strategi sosialisasi guna peningkatan partisipasi pemilih
dalam pemilukada. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana pada kapasitas
ini akan menawarkan riset politik berupa pemetaan partisipasi dan perilaku pemilih di
Kabupaten Bangli. Pada riset ini akan didalami efektifitas sosialisasi penyelenggaraan
pemilukada, dengan mengacu efektifitas kinerja KPU dalam sosialisasi pemilu legislatif
tahun 2014 lalu; perilaku memilih warga termasuk kecenderungan kesukarelaan warga dalam
menggunakan hak suaranya; sikap pemilih dan peserta pemilu atas berjalannya politik uang;
hingga pemahaman masyarakat atas instrumen dan regulasi kepemiluan, termasuk
kecenderungan kalangan pemilih pemula dalam memberikan suara pada pemilukada dan
kemungkinan terjadinya fenomena golput.
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Penggunaan tataran metodologi ilmu politik secara kualitatif ini diharapkan akan bisa
menghasilkan kesimpulan riset yang komprehensif. Marsh dan Stocker (2010:289) mencatat
riset ilmu politik yang mendasarkan pada metode ini tujuannya adalah untuk menjawab
aspek-aspek pertanyaan riset yang mendalam secara deskriptif, bahkan menambah kesahihan
hasil yang diperoleh dari satu metode. Penelitian mengenai Pemetaan Partisipasi atas
Penyelenggaraan Sosialisasi Kepemiluan, Partisipasi dan Perilaku Pemilih di Kabupaten
Bangli ini akan didahului dengan pengajuan pertanyaan riset kualititatif yang sebelumnya
sudah dibuat melalui daftar pertanyaan tertentu. Pertanyaan ini diajukan pada beberapa
kelompok dan individu sasaran yang kesemuanya merupakan narasumber terpilih.
Narasumber ini ditetapkan secara purposive sampling dan bisa bertambah sesuai dengan
perkembangan isu yang ada di lapangan (teknik snowball). Harapannya, melalui penyebaran
atas pertanyaan penelitian ini akan diperoleh gambaran pemahaman dan persepsi masyarakat
Bangli terhadap penyelenggaraan pemilukada yang akan digelar dengan mengkombinasikan
pengalaman pada pemilu legislatif dan presiden yang sudah berlangsung di tahun 2014.
Perolehan atas data ini akan dicari pula pemetaan solusi yang nantinya bisa dikembangkan
menjadi strategi KPU Bangli dalam rangka meningkatkan angka partisipasi pemilih dalam
Pemilukada Bangli serentak pada 9 Desember 2015 nanti.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini akan berangkat permasalahan bagaimana
persepsi masyarakat atas penyelenggaraan sosialisasi kepemiluan, partisipasi dan perilaku
pemilih di Kabupaten Bangli pada tahun 2015?
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
4
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui persepsi masyarakat Bangli atas langkah sosialisasi yang dilaksanakan
KPU Kabupaten Bangli pada pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2014 yang
selanjutnya akan didapatkan rekomendasi atas langkah sosialisasi lanjutan dalam
persiapan pemilukada serentak tahun 2015;
2. Melakukan pemetaan partisipasi perilaku pemilih terhadap politik uang, melek politik
serta tanggungjawab bernegara dalam proses Pemilukada di Kabupaten Bangli;
3. Mengetahui faktor apakah yang paling berpengaruh dalam perilaku pemilih, politik
uang serta pemahaman akan instrumen regulasi kepemiluan di Kabupaten Bangli.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan rekomendasi atas efektifitas
sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Bangli terutama dalam menghadapi
pemilukada 2015. Hasil penelitian sekaligus diharapkan pula dimanfaatkan oleh partai
politik beserta para calon kepala daerah yang akan berkompetisi dalam perhelatan
Pemilukada di Kabupaten Bangli terutama terkait dengan perilaku pemilih, politik uang
serta pemahaman akan instrumen regulasi kepemiluan di Kabupaten Bangli.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Studi perilaku memilih memiliki sejarah panjang. Sejarahnya berkaitan dengan
keberhasilan gerakan demokrasi pada abad ke-19. Menyebarnya demokrasi juga berarti
menyebarnya pemilu ke berbagai negara. Sejak itu pula hasil pemilu dapat dilihat dalam
statistik resmi.
2.1. Kajian Awal Perilaku Pemilih
Statistik resmi hasil pemilu ini menjadi dasar analisa studi pemilu pertama. Beberapa
kajian di Jerman yang dianggap sebagai tonggak awal dari studi perilaku memilih, antara lain
hasil studi Eugen Wuzburger (1907) yang meneliti secara mendalam alasan-alasan golput
(Roth,2008:11). Ia menemukan bahwa penyebab utama golput yaitu pemegang hak suara
yang berhalangan hadir pada saat hari pemilu. Selain itu, ada pula studi Alois Klockner
(1913) yang berusaha melihat hubungan antara agama dan kepercayaan dengan para pemilih
Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa
pemeluk agama non-Katolik jauh lebih sering memilih SPD dibandingkan mereka yang
beragama Katolik.
Di luar Jerman, studi perilaku memilih juga berkembang. Beberapa ahli mencoba untuk
memadukan studi ini dengan menggunakan pendekatan ilmu lain seperti ekonomi dan
geografi. Contohnya adalah Andre Sigfried (1949) berusaha untuk mengaitkan antara
perilaku pemilu dengan keadaan geografis di Prancis Barat. Menurutnya ada zona geografis
yang berkaitan dengan zona politik. Misalnya dataran rendah dan pegunungan membentuk
dua ekstrim yang berbeda baik secara geografis maupun politis. Di daerah pegunungan,
masyarakatnya terpencar, lebih religius dan hanya sedikit terpengaruh perubahan sosial
ekonomi. Karena itu mereka cenderung memilih parta-partai “kanan”. Sebaliknya, di dataran
rendah, kepdatan penduduk lebih tinggi, jalur lalu lintas dan komunikasi lebih berkembang,
perubahan sosial ekonomi lebih banyak terjadi, sehingga mereka cenderung memilih partai-
partai “kiri”.
Perkembangan studi ini terus terjadi karena adanya ketertarikan banyak ahli terhadap
kajian ini. Di Amerika pada dekade 1920-an analisis statistik korelasi yang biasa digunakan
sebagai alat dalam studi ekonomi mulai digunakan dalam studi perilaku memilih
(Roth,2008:16). Stuart A Rice tercatat sebagai orang pertama yang menggunakan analisis
korelasi dalam studi pemilu. Ia melakukan penelitian di 102 conties di negara bagian Illinois
dengan memisahkan perhitungan suara laki-laki dan perempuan. Hasil dari studi ini adalah
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
6
pemilih perempuan lebih sering memilih kandidat dari partai Republik dibandingkan laki-
laki, dimana selisih yang diamati hampir identis di semua daerah.
Di Jerman, studi pemilu masih terus berkembang. Heberle disebut sebagai peneliti yang
meneliti pemilu di Jerman dengan menggunakan analisis statistik yang disempurnakan pada
masanya. Ia menemukan ada korelasi antara lapisan sosial dengan pilihan partai. Data yang
diperolehnya menunjukan bahwa pemilih NADP kebanyakan berasal dari kelas menengah
desa ataupun kota, sedangkan pemilih SPD dan KPD mayoritas berasal dari golongan buruh
industri. Itulah masa awal munculnya studi pemilu dan beberapa ilmuan yang mengawalinya.
Pada masa berikutnya, studi pemilu yang menggunakan data-data statistik resmi hasil pemilu
itu dirasa tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai perilaku individu, maka
muncul terobosan baru dalam studi pemilu yang mulai berkembang pesat pada tahun 1940an
sampai 1950-an, yaitu jajak pendapat individu yang masih sering digunakan hingga sekarang.
Beberapa studi mengenai perilaku memilih juga dilakukan banyak ilmuan politik di
berbagai belahan dunia. Sebagai contoh ada penelitian mengenai perilaku memilih pada
pemilihan presiden langsung di Brazil tahun 1989. Hasil penelitian tersebut menemukan
bahwa partai politik bukanlah prediktor yang baik untuk melihat kemenangan kandidat.
Dalam pemilihan presiden langsung, faktor figur menjadi sangat sentral(Kinzo,1993:321).
Pada dekade 1990an dilakukan sebuah penelitian di Jepang dan New Zeland mengenai
perilaku memilih di dua negara yang pada saat itu sedang mengalami perubahan politik
tersebut. hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa identifikasi partai politik dan
lingkungan politik interpersonal saling mempengaruhi dan berkontribusi pada konsistensi
pilihan para pemilih di dua negara itu (Ikeda,2005:521). Sementara perilaku memilih partai
politik di Inggris dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor kepemimpinan parpol,
perubahan ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap isu (Clarke,2004:315).
Di Indonesia, tonggak awal studi perilaku memilih dilakukan oleh Cliford Gertz yang
melihat pola orientasi sosio religius individu (Gaffar,1992:4). Studi politik aliran yang
dikemukakan Geertz itu kemudian menjadi landasan penting bagi studi-studi perilaku
memilih berikutnya di Indonesia seperti studi Afan Gaffar yang mengulas tentang perilaku
memilih masyarakat pedalaman Jawa pada masa Orde Baru. Gaffar menggunakan hasil
penelitian Geertz sebagai kerangka dalam penelitiannya. Hasil penelitian Gaffar menjelaskan
perilaku memilih masyarakat Jawa.
Berbeda dengan hasil studi perilaku memilih pada masa Orde Baru, studi-studi sejenis
pasca Orde Baru yang dilakukan oleh Saiful Mujani dan Liddle memperlihatkan besarnya
pengaruh Leadership dan identifikasi partai politik terhadap perilaku memilih masyarakat
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
7
Indonesia pada tahun 1999 dan 2004 (Liddle dan Mujani,2010:37). Tinjauan lain atas
perilaku memilih di Indonesia pada pemilu 1999 menemukan bahwa faktor agama dan
etnisitas tidak mempengaruhi perilaku memilih di Indonesia (Ananta,2004:376).
Perkembangan berikutnya dari studi perilaku memilih di Indonesia cukup menggembirakan,
beberapa hasil penelitian mengenai perilaku memilih di luar Jawa kian bermunculan terutama
ketika fenomena pilkada atau pemilukada mulai hadir pada tahun 2005 di berbagai wilayah di
Indonesia.
Fenomena tersebut memang dapat digolongkan baru di Indonesia. Topik ini mendapat
perhatian dari berbagai kalangan termasuk akademisi. Hasil dari perhatian para akademisi
atau ilmuan politik terhadap fenomena itu adalah lahirnya beberapa studi yang terkait dengan
pemilukada dan perilaku memilih di beberapa wilayah Indonesia. Misalnya, hasil penelitian
Ambo Upe (2008:257) di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Pada kesimpulan
penelitiannya Upe menyebutkan bahwa perilaku memilih sangat berkaitan dengan stimulus
dan pertimbangan subjektif dalam merespon faktor stimulus yang diperolehnya.
2.2. Prinsip Pilihan Rasional
Studi lainnya adalah hasil penelitian Jhonsar L. Toruan (2006:155) mengenai perilaku
politik pemilih di Sumatra Utara menyertakan faktor primordial, marga sebagai salah satu
faktor yang mempengaruhi pilihan politik masyarakat Sumatra Utara, namun di
kesimpulannya disebutkan bahwa marga bukanlah faktor yang paling dominan dalam
menentukan pilihan politik masyarakat.Penelitian yang juga terkait dengan tema pemilukada
dan perilaku memilih adalah karya Yudistira Adnyana (2006:104) yang mengkaji perilaku
memilih masyarakat Badung saat pilkada Badung tahun 2005. Penelitian Adnyana
menyebutkan faktor kasta sebagai salah satu variabel bebas, namun hasil penelitian ini
menyatakan bahwa masyarakat Badung memilih Anak Agung Gede Agung sebagai bupati
bukan karena beliau berasal dari kasta ksatria, melainkan karena faktor kepemimpinan yang
dimilikinya.
Hasil penelitian lainnya yang dipublikasikan pada tahun 2008 mengenai pilkada
langsung adalah hasil penelitian dari Lingkaran Survei Indonesia melalui kajian bulanan yang
dikeluarkan lembaga tersebut. Dalam hasil penelitian yang dipublikasikan itu,
diperbandingkan dua pemilukadaProvinsi, yaitu pemilihan Gubernur Jawa Barat dan
Gubernur Sumatra Utara pada tahun 2008. Hasil penelitian ini melihat bahwa dua wilayah itu
tergolong unik jika dibandingkan dengan wilayah lain yang telah melakukan pemilukada
yang pada umumnya mengedepankan figur dibandingkan partai. Pada dua provinsi tersebut
terbukti bahwa mesin partai justru berhasil mengangkat figur yang tidak terlalu populer
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
8
hingga berhasil memenangkan pilkada di daerah itu. Di luar pemilukada, studi terbaru
mengenai perilaku memilih juga dilakukan dalam konteks Masyarakat Adat Ternate saat
pemilu 2009. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa faktor sosiologis sangat
mempengaruhi perilaku memilih di wilayah itu saat pemilu 2009 dilaksanakan
(Agusmawanda,2011:28).
Selain studi perilaku memilih dalam pilkada di Indonesia, studi mengenai pemilu dan
perilaku memilih di berbagai negara juga harus di lihat karena topik utama dalam penelitian
ini adalah perilaku memilih. Perilaku memilih masyarakat di negara-negara yang sedang
mengalami transisi menuju demokrasi tidak sepenuhnya dapat dianalisis dengan teori-teori
yang dilahirkan di negara-negara maju. Ada kekhasan sosial masyarakat di negara yang
sedang mengalami transisi yang harus diperhatikan dalam menganalisis perilaku pemilih di
negara yang bersangkutan (Kaspin,1995:595).
Penelitian tentang perilaku memilih di negara yang mengalami transisi dilakukan di
Filipina, dan di salah satu negara di kawasan Afrika, yaitu Malawi. Dari hasil penelitian yang
berbeda tersebut dapat ditarik satu kesimpulan yang memiliki kemiripan. Perilaku memilih di
negara yang sedang mengalami transisi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh isu kebijakan
dan orientasi partai, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor isu yang berhubungan
dengan kandidat dan juga ikatan-ikatan seperti etnis, daerah asal dan hubungan klientalisme
dalam struktur sosial masyarakatnya.
Dalam pemilihan kandidat perorangan di Filipina, seperti pemilihan presiden, faktor
yang paling kuat mempengaruhi pilihan politik warganya adalah faktor kandidat. Faktor lain
yang harus dilihat adalah etnis dari kandidat yang bersangkutan dan struktur patron klien
yang masih kental dalam masyarakatnya. Masyarakat lebih suka memilih kandidat yang
berasal dari etnis yang sama dengan mereka dan dapat berkomunikasi dengan bahasa etnis
yang bersangkutan (Rood,1991:105).
Sedangkan di Malawi ditemukan fakta bahwa masyarakat menentukan pilihan
politiknya berdasarkan faktor etnis dan daerah asal mereka karena masyarakat
mengidentifikasi diri mereka sesuai dengan kekuatan politik masa lalu yang mereka hadirkan
kembali dalam perebutan kekuasaan melalui Pemilu (Kaspin,1995:617). Dengan begitu dapat
dikatakan bahwa di negara-negara yang mengalami transisi menuju demokrasi ada faktor-
faktor yang dominan mempengaruhi perilaku memilih dalam masyarakat, yaitu faktor ikatan
sosial seperti etnis dan daerah asal, serta faktor kandidat.
Melihat studi-studi yang telah ada mengenai perilaku memilih, melek huruf serta
partisipasi berdemokrasi dalam negara baik dalam pilkada di beberapa daerah seperti Sumatra
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
9
Utara, Sulawesi, dan kabupaten Badung-Bali, serta Jawa Barat, maupun di beberapa negara
lain, maka riset ini diharapkan dapat melengkapi studi tentang perilaku memilih dengan
mengkaji partisipasi pemilih, melek huruf pada masyarakat di Kabupaten-Kabupaten di Bali.
Sebelum membahas mengenai perilaku memilih, terlebih dahulu harus dipahami
mengenai voting itu sendiri.Kegiatan votingpada dasarnya tidak jauh berbeda dengan
kegiatan memilih yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya
memilih barang (Evans,2004:3). Tetapi ada satu hal yang harus dicatat dari pilihan tersebut,
Ia tidak hanya berimbas pada individu, melainkan memiliki efek kolektif. Inilah menjadi
pembeda dasar antara voting dan choice. Jika kita memilih barang di pasar untuk kita beli dan
bawa pulang, lalu kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan, maka efeknya akan kita nikmati
sendiri. Hal yang demikian tidak terjadi dalam voting.Di dalam teori perilaku memilih
terdapat tiga pendekatanyaitu pendekatan sosiologis atau sosial struktural; pendekatan
psikologis dan pendekatan pilihan rasional. Penjelasan mengenai masing-masing faktor
tersebut akan dijabarkan berikut ini.
Pendekatan sosiologis dalam perilaku memilih menyebutkan bahwa faktor yang
paling mempengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu adalah karakteristik dan
pengelompokan sosial. Perilaku pemilih seseorang berkenaan dengan kelompok sosial dari
mana individu itu berasal (Roth,2008:25). Hal itu berarti karakteristik sosial menentukan
kecenderungan politik seseorang. Pengelompokan sosial yang dimaksud disini adalah usia,
jenis kelamin, agama, pekerjaan, kelas sosial ekonomi, kedaerahan, latar belakang keluarga,
kegiatan-kegiatan dalam kelompok-kelompok formal dan informal. Kelompok-kelompok
sosial ini dipandang berpengaruh besar dalam keputusan memilih karena kelompok-
kelompok tersebut berperan dalam pembentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
Penerapan pendekatan sosiologis dalam perilaku memilih di Indonesia pernah dilakukan oleh
Afan Gaffar. Hasil studinya menekankan karakteristik sosial, khususnya orientasi sosio-
religius dalam melihat perilaku pemilih di pulau Jawa (Gaffar,1992:120-121).
2.3. Perilaku Memilih dalam Pemilu Indonesia
Penelitian lainnya mengenai perilaku memilih di Indonesia dilakukan dengan melihat
pemilu 1999. Hasilnya menyebutkan bahwa ikatan sosial terutama faktor etnis penting untuk
diperhatikan saat kita ingin mengamati perilaku memilih masyarakat Indonesia
(King,2003:149). Pentingnya ikatan sosial seperti etnis dalam mempengaruhi pilihan politik
rakyat juga dikemukakan oleh Benny Subianto yang meneliti Pilkada di enam kabupaten di
Kalimantan Barat. Faktor ini berpengaruh karena loyalitas masyarakat terhadap etnisnya
masih tinggi, dan mereka memandang bahwa etnis yang sama berarti memiliki nilai budaya
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
10
yang sama, karenanya perilaku sosial politik dipandang sebagai cermin identitas (Erb dan
Sulistiono,2009:335).
Pendekatan psikologis dalam teori perilaku memilih dipelopori oleh August Campbell
dari Universitas Michigan Amerika Serikat. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya
identifikasi partai dalam mempengaruhi keputusan memilih masyarakat (Cambell,1966:133).
Dengan adanya teori identifikasi partai ini seolah-olah perilaku memilih itu tetap. Pemilih
dianggap akan selalu memilih kandidat atau partai yang sama tiap kali pemilu dilaksanakan.
Makna lainnya bahwa pemilih memiliki pilihan yang menetap tanpa dipengaruhi oleh
sosialisasi dan komunikasi politik. Kavanagh menjelaskan konsep identifikasi partai sebagai
semacam kedekatan psikologis seseorang dengan satu partai tertentu. Ia menambahkan,
konsep identifikasi partai ini mirip dengan loyalitas partai atau kesetiaan seorang pemilih
terhadap partai tertentu (Kavagh,1983:88). Seiring bertambahnya usia, identifikasi partai
menjadi bertambah stabil dan intensif. Identifikasi partai merupakan orientasi yang permanen
dan tidak berubah dari pemilu ke pemilu. Identifikasi partai hanya dapat berubah jika
seseorang mengalami perubahan pribadi yang besar atau situasi politik yang luar biasa
(Roth,2008:38). Dari hasil penelitiannya itu, Campbell menemukan bahwa ada hubungan
yang erat antara identifikasi partai dengan kehendak untuk memilih kandidat dari partai
dimana sang individu mengidentifikasi dirinya. Misalnya kaum Demokrat yang memiliki
identifikasi partai yang kuat cenderung memilih calon presiden AS yang diusung partai
Demokrat. Demikian juga dengan kaum Republik.
Mengenai orientasi isu dan kandidat, logika yang digunakan hampir mirip. Pada
orientasi isu, semakin sang pemilih menganggap penting isu-isu tertentu, maka kemungkinan
ia akan berpartisipasi dalam pemilu akan lebih besar. Apabila solusi yang diberikan oleh
sebuah partai lebih mendekati cara pandang pemilih tersebut, semakin besar pula
kemungkinan ia akan memilih partai yang bersangkutan. Dalam orientasi kandidat berlaku
hal yang serupa. Semakin sering pemilih mengambil posisi terhadap kandidat-kandidat yang
ada, semakin besar pula kemungkinan bahwa ia akan berpartisipasi dalam pemilu. Bila
pandangan pemilih semakin dekat dengan kandidat dari partai tertentu, maka semakin besar
pula kemungkinan ia akan memilih kandidat tersebut.
Kesimpulan dari pendekatan psikologi ini adalah preferensi kandidat dan orientasi isu
lebih tergantung pada perubahan dan fluktuasi dibandingkan identifikasi partai. Oleh karena
itu, peneliti Michigan (Campbell dkk) sejak tahun 1960 memandang identifikasi partai
sebagai ikatan partai psikologis dan stabil, yang tidak lagi dipengaruhi oleh faktor pengaruh
jangka pendek. Oleh sebab itu, banyak peneliti berikutnya yang mengidentikan pendekatan
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
11
psikologis dengan identifikasi partai, padahal pada mulanya pendekatan psikologis memuat
tiga faktor yaitu identifikasi partai, orientasi kandidat dan isu. Belakangan oleh beberapa
penulis dan peneliti, orientasi isu dan kandidat dimasukan ke dalam pendekatan pilihan
rasional.
Terakhir adalah pendekatan pilihan rasional. Pendekatan pilihan rasional seperti yang
telah disinggung di atas, menurut sekelompok ilmuan, pendekatan ini terutama berkaitan
dengan dua orientasi utama yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat (Nursal,2004:64).
Orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa
mempedulikan label partai. Pendekatan rasional berorientasi kandidat bisa didasarkan pada
kedudukan, informasi, prestasi, dan popularitas pribadi bersangkutan dalam berbagai bidang
kehidupan. Bone dan Ranney mengatakan bahwa orientasi kandidat berarti orang memilih
calon pemimpin bedasarkan kualitas instrumental dan kualitas simbolik dari calon yang
bersangkutan. Kualitas instrumental adalah keyakinan pemilih terhadap kemampuan pribadi
kandidat dalam mewujudkan kebaikan bagi masyarakat yang akan dipimpin. Sedangkan
kualitas simbolik mengacu pada kepribadian kandidat yang seharusnya dimiliki oleh seorang
pemimpin (Bone dan Ranney,1981:9). Nursal menegaskan, kualitas figur sering kali
menentukan keputusan pilihan dibanding isu karena orang lebih mudah terinformasi oleh
fakta mengenai manusia dibandingkan fakta tentang isu.
2.4. Kriteria Pemilih Rasional
Sementara sebagian lagi memandang bahwa dua orientasi tersebut dapat dimasukan
kependekatan psikologis. Kelompok ini lebih setuju bahwa titik tekan dalam pendekatan
pilihan rasional adalah pada pertimbangan untung rugi dari individu pemilih
(Evans,2004:69). Terkait dengan itu, Evans menyebutkan adanya beberapa kriteria seorang
pemilih untuk dapat dikatakan sebagai pemilih rasional. Setidaknya ada lima kriteria yang ia
kemukakan, seperti di bawah ini:
1. Membuat keputusan jika disodorkan beberapa alternatif;
2. Mampu membuat urutan preferensi;
3. Urutan preferensi individu tidak selalu sama antara individu satu dengan yang lainnya;
4. Menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang berada di urutan pertama preferensinya;
5. Ketika dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama atau seimbang sehingga ia tak
mungkin membuat urutan preferensi, maka individu itu akan cenderung menjatuhkan
pilihan pada alternatif yang pernah ia pilih sebelumnya.
Berdasarkan paparan di atas, orientasi isu dan orientasi kandidat dapat dilihat sebagai
bagian dari dua pendekatan berbeda dalam perilaku memilih. Jika pemilih memilih
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
12
berdasarkan orientasi isu atau kandidat berdasarkan informasi-informasi yang diperolehnya
dan kemudian mempertimbangkan untung rugi dari pilihannya maka dalam hal ini orientasi
isu dan kandidat dapat dimasukan ke dalam pendekatan pilihan rasional. Jadi perbedaan
utama dari pemilih rasional dan yang bukan terletak pada informasi yang dikumpulkan oleh
pemilih untuk kemudian dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetukan pilihan.
Di akhir dari rangkaian itu, pemilih rasional biasanya mempertimbangkan untung rugi dari
pilihannya itu. Pada kriteria tersebut, ada juga penulis yang mengatakan bahwa pemilih
rasional itu sejatinya tidak pernah ada karena pemilih cenderung menerima informasi secara
pasif dan lebih mudah mencerna informasi mengenai personal kandidat dibandingkan fakta
mengenai isu tertentu (Shenkman,2008:43). Sehingga informasi yang dikumpulkan pemilih
tidak ada yang sepenuhnya lengkap.
Secara singkat, pendekatan-pendekatan dalam teori perilaku memilih dapat
digambarkan dengan bagan berikut ini:
Gambar 1.
Pendekatan-Pendekatan Teori Partisipasi Perilaku Memilih
Partisipasi Pemilih Dalam Pemilukada
D
Sosialisasi Penyelenggara
Pemilu
Perilaku Memilih dan Politik Uang
Pemahaman Aturan Main
penyelenggara Pemilu
Partisipasi Pemilih Pemula
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Dalam memutuskan bagaimana meneliti sebuah fenomena, seorang ilmuwan politik
sebagaimana ilmuwan sosial yang lain dihadapkan dengan sejumlah besar strategi dan
metode riset. Dalam ilmu politik, tidak ada metode yang lebih unggul dan lebih baik
dibanding metode lain, karena metode-metode tersebut memiliki karakteristik tertentu dan
keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, permasalahannya bukan pada memilih metode yang
terbaik, namun pada pemilihan metode yang paling tepat dan sesuai dengan jenis dan sifat
penelitian yang dilakukan. Ada beberapa metode yang sering dipergunakan dalam ilmu
politik. metode-metode tersebut antara lain metode kualitatif, metode kuantitatif, serta
metode komparatif.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif, karena sebagaimana dikemukakan oleh Atmaja (2005), metode penelitian yang
paling tepat untuk penelitian yang menekankan pada aspek pemahaman adalah metode
penelitian kualitatif. Selain itu, metode penelitian kualitatif dirasakan paling tepat untuk
mengumpulkan data mengenai permasalahan yang diangkat pada fenomena sosial politik.
Kekuatan metode kualitatif terletak pada pemilihan narasumber yang didasarkan pada
kemampuannya dalam menjelaskan permasalahan yang ada. Selain itu, metode kualitatif
memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam mengenai permasalahan yang diangkat
(Harrison, 2009:104).
Dalam penelitian ini, akan dianalisa mengenai persepsi masyarakat atas
penyelenggaraan sosialisasi kepemiluan, partisipasi dan perilaku pemilih di Kabupaten
Bangli pada tahun 2015. Penelitian ini juga akan memanfaatkan sumber tertulis yang berasal
dari dokumen, majalah, surat kabar, maupun jurnal, sedangkan sumber lisan didapatkan dari
hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, perbekel, kelian desa adat dan desa dinas, partai
politik, anggota dewan, CSO, serta warga masyarakat Bangli yang sempat menjalankan
fungsinya sebagai penyelenggara pemilu, seperti PPS, PPK dan sebagainya.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil lokasi di Kabupaten Bangli. Kabupaten ini akan
menyelenggarakan perhelatan pemilukada serentak pada tanggal 9 Desember 2015
mendatang. Objek pengamatan yang menjadi fokus kajian dalam riset ini adalahpersepsi
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
14
masyarakat atas penyelenggaraan sosialisasi kepemiluan, partisipasi dan perilaku pemilih di
Kabupaten Bangli pada tahun 2015.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lengkap dan komprehensif, pengumpulan data untuk
maka riset studi kasus ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu : wawancara mendalam
(depth interview), dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu
seputar kegiatan di lapangan. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci (key informan)
yang dianggap mengerti dan memahami berbagai isu dan masalah yang menjadi fokus
perhatian dari penelitian ini, sepertitokoh masyarakat, perbekel, kelian desa adat dan desa
dinas, partai politik, anggota dewan, CSO, serta warga masyarakat Bangli yang sempat
menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pemilu.
Narasumber diperoleh dengan metode purposive sampling yaitu mewawancarai
tokoh yang dianggap kompeten dengan permasalahan. Selanjutnya untuk melengkapi data
yang ada ditemui pula narasumber lain yang diperoleh dengan metode snow ball yang
diberikan oleh narasumber utama (narasumber kunci). Pada kalangan ini, akan diberikan
pertanyaan yang telah dibuat peneliti dengan kajian persepsi terhadap penyelenggaraan
sosialisasi kepemiluan oleh KPUD, perilaku memilih terkait dengan praktek politik uang,
melek politik dan partisipasi dalam memilih khususnya yang diarahkan pada persiapan
pemilukada di Bangli.
3.4. Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun sekunder yang diperoleh
dari hasil wawancara, studi dokumen maupun observasi, kemudian disusun secara sistematis
sesuai dengan kategori atau tema-tema tertentu setelah dilakukan reduksi padanya. Hasil
reduksi tersebut kemudian didisplay sesuai dengan kategori atau tema tertentu agar mudah
difahami, sehingga akhirnya dapat diambil pemahaman-pemahaman darinya sebagai bahan
untuk membuat kesimpulan. Proses pengumpulan data, reduksi, display data dan penarikan
kesimpulan bukanlah sesuatu yang berlangsung linear melainkan sebuah siklus interaktif atau
bersifat timbal balik yang tidak terpisahkan, sebagaimana diagram berikut :
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
15
Proses analisis data sampai dengan pengambilan kesimpulan dilakukan melalui
tahapan sebagai berikut :
a. deskripsi, yaitu merentang karakteristik baik persamaan maupun perbedaan dari
masing-masing data dalam kategori tertentu.
b. formulasi, yaitu menemukan tendensi-tendensi atau pola-pola hubungan antar elemen
atau variabel dari tiap kategori.
c. interpretasi, yaitu analisis mengenai mengapa dan bagaimana karakteristik atau
tendensi-tendensi tersebut dapat terjadi, yang dalam hal ini akan dibantu dengan
penggunaan teori-teori yang relevan.
Reduksi Data
Pengumpulan Data
Penggambaran/Kesimpulan
Display Data
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
16
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Partisipasi politik adalah salah satu mekanisme pembagian kekuasaan secara vertikal
antara negara dengan warganya. Namun bukan dalam arti pembagian kekuasaan antara
eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang menjalankan kekuasaan, partisipasi politik disini
merujuk kepada aktifitas politik warga negara dengan tujuan mengawasi dan mengontrol para
penguasanya. Oleh karena itu, partisipasi politik sangat dibutuhkan karena merupakan
penanda ada tidaknya legitimasi kekuasaan negara.
Perkembangan partisipasi politik di Indonesia sangat berbeda dari periode ke periode.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda, partisipasi politik mengambil berbagai bentuk
organisasi masa, baik serikat buruh, organisasi berbasis agama, etnisitas, kelas sosial,
ideologi, maupun profesi. Ketertutupan negara kolonial terhadap partisipasi politik membuat
gerak organisasi-organisasi tersebut terbatas dan mereka yang berupaya mengkritik
pemerintah dipenjarakan.
Namun dalam periode kepartaian selama sepuluh tahun pasca kemerdekaan,
partisipasi politik mewujud penuh, kedalam partiapasi terbuka, seperti partai politik berperan
dominan, kompetisi politik terbuka, masyarakat sangat leluasa berorganisasi, dan dapat
menggunakan prasarana sosial seperti media secara bebas. Namun, pada dua dekade
kemerdekaan, partisipasi politik dibatasi. Kekuasaan terpusat pada presiden sehingga
menyempitkan area partisipasi politik warga dari pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
negara.
Orde Baru menjalankan mekanisme politik reperesif dan otoriter. Mulai dari
pengerdilan partai politik hingga mencabut landasan organisasi terhadap bentuk-bentuk
partisipasi politik warga. Politik masa mengambang menjadi dasar mekanisme partisipasi
politik warga. Mekanisme ini mencerabut individu dari kelompok yang mewarnai diri dengan
berbagai nilai dan pandangan hidup. Agama, etnisistas, ataupun kelas sosial dilarang dipakai
sebagai basis partiaipasi politik. Dalam periode pemerintahannya rejim ini hanya
membolehkan basis profesi sebagai pilihan politik warga.
Namun diera demokrasi sekarang ternyata pengalaman partisipasi politik dipandang dari
kesejarahan diatas perlahan mulai ditinggalkan. Partisipasi politik sekarang telah mewujud
kedalam beberapa faktor yang menjadi penanda meningkatnya partisipasi warga dalam
pemilihan umum.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
17
Salah satu yang menjadi penanda tersebut adalah seberapa besar kesiapan dan
kemampuan para penyelenggara pemilihan umum (KPU) mempersiapkan pelaksanaan suatu
pemilihan umum dapat meningkatkan partisipasi politik warga negara. Bukan rahasia umum
lagi bahwa selama ini anggapan minimnya kemampuan pihak-pihak penyelenggara pemilu
menjadi penghalang terbesar bagi terciptanya pemilu dan pemilukada yang berkualitas.
Secara nasional menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu dan pemilukada selama ini
terkesan dijalankan secara acak-acakan, penuh dengan mobilisasi, politik uang, keruh dengan
intimidasi dan konflik kepentingan. Selain itu, KPU yang sejatinya mampu menjaga
independensi, tegas menjalankan aturan main, malah ikut menjadi bagian dari persoalan
tersebut.
Sejumlah persoalan tersebut ternyata tidak sepenuhnya terjadi di Kabupaten Bangli,
Provinsi Bali. Pelaksanaan pemilihan umum tahun 2014 oleh pihak KPU Kabupaten
Banglirelatif telah berjalan dengan baik. KPU Kabupaten Bangli telah melakukan tugas dan
kewajibannya sebagai penyelenggara sesuai amanat dalam undang-undang, namun ada pula
fakta yang tidak terbantahkan adanya pendapat lain, semuanya akan menjadi kajian dalam
penelitian ini sebagaimana dijelaskan kedalam beberapa kategori berikut ini.
4.1. Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu.
Secara umum, kinerja KPU Kabupaten Bangli terkait sosialisasi yang dilakukan
selama pemilu tahun 2014 sudah berjalan dengan cukup baik. Salah seorang informan
menganggap bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh pihak penyelenggara menjelang
pemilihan umum berupa pemasangan baliho, spanduk, stiker dan lain-lain, adanya bimbingan
teknis (bimtek) ke petugas-petugas lapangan atau panitia pemilu dan pemilukada. Usaha KPU
Kabupaten Bangli melakukan bimtek sebagai langkah awal untuk meningkatkan pengetahuan
yang lebih baik kepada pelaksana dibawah supaya mempermudah pelaksanaan pemilu atau
pemilukada.Bimtek ini diberikan selama kurang lebih dua minggu baru kemudian hasil
bimtek ini disosialisasikan kepada pihak lain.
Demikian pula sosialisasi di tingkat pedesaan, lembaga ini telah melakukan
semacam pelatihan-pelatihan ke petugas-petugas lapangan desa (PPS dan PPK).Langkah ini
dinilainya sebagai koordinasi awal antara penyelenggara dan pemilih sebelum atau menjelang
pemilu dilaksanakan (Wawancara Senin 1 Juli 2015. Wayan Rajen petugas PSS dan Kepala
Banjar Desa Pengodan Kabupaten Bangli).
Fakta lain yang menyatakan sosialisasi cukup bagus dan sudah jelas di mata pemilih
ditandai dengan metode penyampaian, sebagaimana penilaian yang berasal dari kalangan
orang tua (bapak ataupun ibu), mereka dipanggil oleh KPU Kabupaten Banglike desa untuk
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
18
ikut praktek memilih seperti, mencoblos, melipat dan memasukan kartu suara. KPU
Kabupaten Banglimendatangi mereka ketika mereka sedang melakukan arisan.
Demikian pula dikalangan bapak-bapak, mereka menerima metode penyampaian
sosialisasi lewat rapat adat (paruman) di balai banjar.Paruman ini diadakan sebanyak dua
kali, yaitu penyiaran hakikat pemilu dan bentuk pencoblosan, sehinggamasyarakat bisa
langsung mengetahui baik di tingkat kecamatan hingga sampai ke dusun(Wawancara, Selasa
12 Juli 2015. Wayan Sujana, Warga Desa Penatahan Kecamatan Susut).
Namun ada pula fakta yang berasal di Kecamatan Kintamani. Di daerah ini
sosialisasi yang disampaikan tidak seluruhnya dapat dilakukan secara langsung oleh aparat
KPU Kabupaten Bangli, akan tetapi diteruskan kepada masyarakat melalui aparat desa,
seperti desa pakraman dan banjar dinas. Aparat inilah yang memberikan penjelasan tentang
bagaimana pelaksanaan pemilihan umum tersebut, baik pemilihan umum kepala daerah
maupun pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2014. Sosialisasi yang
dilakukan aparat desa setelah mendapatkan pengarahan dari KPU itu meliputi tentang tata
cara pemilihan, partai yang ikut dalam pemilu serta calon presiden yang akan berkompetisi di
pemilu (Wawancara Rabu 8 Juli 2015, I Nyoman Karang, Nyoman Bilawan, Dewa Gde
Adiputra, Ketut Rimpin, Warga Kintamani).
Pengakuan lain yang menguatkan pernyataan diatas, bahwa KPU Kabupaten Bangli
telah melakukan sosialisasi terkait dengan pelaksanaan pemilu yang sesuai dengan jadwal.
Pernyataan tersebut berasal dari salah seorang kepala dusun yang juga PPS dan PPK. Dia
menyatakan bahwa sebelum mereka memperbaiki data, KPU Kabupaten Bangli telah
mengirimkan data valid sementara kepada mereka baru kemudian mereka melakukan
pengecekan. Pengiriman data satu bulan sebelum pengesahan data valid disahkan, cara
seperti ini mereka anggap sebagai cara KPU Kabupaten Bangli memberikan waktu kepada
mereka leluasa untuk memperbaiki data.
Demikian pula dengan sosialisasi tahapan pemilu. Menurutnya peran KPU
Kabupaten Bangli dalam sosialisasi tahapan pemilukada (tahapan pemilu, pendaftaran calon,
penetapan calon, kampanye, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi
penetapan calon terpilih, penyelesaian sengketa, pengusulan pengangkatan calon) sudah
berjalan baik.Diantara sekian tahapan diatas, tahapan penetapan dan kampanye menjadi pusat
perhatian dan evaluasi masyarakat. Dua tahapan ini menurut sebagian besar narasumber
penelitian, KPU Kabupaten Banglitelah melakukan upaya sosialisasi dengan maksimal,
karena selama proses pelaksanaan kedua tahapan itu di masyarakat tidak merasakan
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
19
terjadinya kericuhan atau kekacauan (WawancaraSabtu, 11 Juli 2015, I Wayan RajenKepala
Banjar Padpahan Desa pengodan, Kecamatan Bangli).
Namun ada pula pemilih yang memiliki pendapat lain terhadap sosialisasi yang
dilaksanakan oleh pihak KPU Kabupaten Bangli. Mereka menilai KPU Kabupaten Bangli
belum sepenuhnya melakukan sosialisasi karena lembaga tersebut belum melakukan
sosialisasi sampai ke tingkat dusun terutama persiapan dalam rangka pemilihan kepala daerah
mendatang. Sosialisasi hanya sebatas pemasangan spanduk dan baliho, tentang pemilukada
serentak.
Bahkan terdapat pengakuan lain dari narasumber penelitian yang menyatakan bahwa
sosialisasi justru banyak dijalankan sendiri oleh para calon. Pernyataan ini didasari
pengalaman beberapa warga selama pelaksanaan pemilu legislatif 2014.Mereka melihat
bahwa para calon mendatangi mereka saat selesai persembahyangan di Pura. Pemahaman
kami sosialisasi dari para calon dilakukan saat usai persembahyangan di Pura. Memang yang
datang adalah para bapak-bapak. Kalangan istri perbekel hanya diundang satu kali ke kantor
bupati. Pada kegiatan tersebut kami diberikan sosialisasi cara untuk memilih yang
benar(Wawancara, Senin 20 Juli 2015,Ni Wayan Suniasih, warga desa Tembuku Kecamatan
Tembuku).
Pendapat narasumber lain yang kontradiktif dengan pernyataan diatas, justru berasal
dari pedagang yang berjualan di Pasar Umum Daerah Kabupaten Bangli. Menurut dia,
sosialisasi yang dilakukan oleh KPU tidak pernah sampai ke mereka. Dirinya lebih mengerti
dan memahami sosialisasi berasal dari televisi dari pada pemasangan spanduk dan baliho.
Tidak ada upaya KPU Kabupaten Bangliyang masuk ke pedagang-pedagang pasar.
Mereka justru mendapatkan informasi pelaksanaan pemilu berasal dari pecalang yang datang
ke pasar dan membagi-bagikan uang. Pecalang mendatangi mereka memberi tahu informasi
mengenai pelaksanaan pemilu sambil membagi-bagikan uang atau stiker dari calon-calon
tertentu (Wawancara Senin 11 Juli 2015. Samroni, pedagang pasar Kabupaten Bangli).
Pernyataan yang sama sebagaimana dikatakan oleh seorang penyandang disabilitas
Kabupaten Bangli. Baginya justru mendapatkan sosialisasi dari media televisi dan radio.
Menurutnya penyelenggara tidak berpihak kepada penyandang disabilitas dalam pemungutan
suara seperti kertas suara dengan huruf braile, atau bilik suara khusus.Pada saat pemilihan
dirinya lebih memilih diantar anaknya termasuk dicobloskan dan ikut masuk ke bilik suara,
(Wawancara Senin11Juli 2015. Wayan Suhartika, penyandang disabilitas Desa Temuku).
Variabel lain yang menjadi pusat perhatian masyarakat dalam sosialisasi terkait
dengan model penyampaian sosialisasi yang paling efektif kepada masyarakat. Sebagian
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
20
besar pemilih menyampaikan pendapatnya bahwa media penyampaian sosialisasi pemilu
yang paling mereka sukai adalah melalui spanduk, baliho, atau stiker.
Alasannya karena media spanduk, baliho dan lain-lain yang dipasang di tempat-
tempat strategis lebih muda dipahami dan lebih lama dibandingkan dengan penyampaian
melalui televisi. Model penyampaian seperti itu menurut mereka mudah mengerti dan
memahami apa yang disampaikan oleh KPU Kabupaten Bangli dalam sosialisasi pemilihan
umum(Wawancara Senin 11 Juli 2015. I Wayan Rata Warga Desa Demulih Kecamatan
Susut).
Namun ada pula yang paling dikehendaki oleh warga yaitu model penyampaian lewat
hiburan tradisional misalnya bondres dan gerak jalan sehat dimana didalamnya ada unsur
hiburan dan door prize atau undian sehingga gebyarnya terasa di masyarakat. Langkah ini
bisa melibatkan massa dengan cukup besar sehingga target sosialisasi bisa sampai,
(Wawancara, Sabtu 11 Juli 2005, Nengah Pasti dan Nengah Dharma warga kecamatan
Bangli).
Pilihan lain dalam model penyampaian sosialisasi agar tepat sasaran adalah dengan
mengadakan sosialisasi lewat panggung hiburan dengan menampilkan wayang. Alasannya,
wayang lebih menarik perhatian banyak orang karena sebagian besar warga merupakan
masyarakat petani yang berusia tua dan minim pendidikan, sehingga sosialisasi melalui media
tontonan wayang ini dianggap efektif(Wawancara Selasa 12 Juli 2015. Putu Windu Eka
Suryantini dan Sang Kompyang Mangku, warga Desa Taman Kecamatan Bangli).
Dari segi sosialisasi atau penyampaian informasi saat perhelatan pemilu legislatif
tahun 2014 lalu dianggap sebagian besar narasumber penelitian ini tidak begitu banyak
persoalan. Hanya saja dari segi teknispelaksanaan justru tidak pernah sepi dari persoalan,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
4.1.1. Data Pemilih
Persoalan klasik yang selalu dihadapi penyelenggara pemilu dalam setiap kali
pelaksanaan pemilu adalah persoalan data pemilih tetap atau DPT. Persoalannya KPU
Kabupaten Bangli tidak mampu menyiapkan data pemilih yang akurat. Data pemilih justru
menjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan dari ke pemilu ke pemilu. Sejumlah
persoalan tersebut misalnya, munculnya peserta pemilu ganda (misalnya pemilih dengan
alamat dan tanggal lahir sama, tetapi mempunyai dua sampai lima nomor induk (NIK) juga
adanya pemilih yang diduga fiktif.
Persoalan ini selalu menjadi sumber persoalan yang seringkali dipersoalkan oleh
peserta pemilu (Parpol) karena dianggap sebagai pintu masuk pihak tertentu untuk melakukan
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
21
kejahatan dalam pemilu. Kekhawatiran seperti ini seringkali muncul dari penyelenggara di
daerah karena daerah dianggap tidak mampu bekerja sesuai prosedur penetapan daftar
pemilih di daerahnya masing-masing. Beberapa problem tersebut diantaranya fasilitas
tahapan penentuan DPT yang tidak tepat waktu. Ketidaktepatan waktu bisa terjadi karena
anggaran yang terlambat, juga bisa pula faktor alam. Jika itu terjadi, maka kemungkinan
besar data-data tidak bisa terkirim.
Fakta tersebut ternyata dihadapi pula oleh KPU Kabupaten Bangli. Menurut beberapa
narasumber penelitian, masih ada sejumlah persoalan terkait data pemilih. Persoalannya pada
pemutakhiran data pemilih seperti persoalan nama, daftar nama ganda daftar pemilih
meninggal,masih mewarnai usaha KPU Kabupaten Bangli mengatasi persoalan data
pemilih.Bahkan masih terkait persoalan data pemilih bagi orang yang sudah meninggal
menurut pengakuan salah seorang perbekel merupakan persoalan yang sulit diatasi, karena
selalu muncul dalam data basedKPU Kabupaten Banglidan Dinas Catatan Sipil dan
Kependudukan walaupun sudah beberapa kali dilakukan pemutakhiran data.Kendala
pemutakhiran data pemilih datang dari daftar pemilih yang sudah meninggal selalu muncul
kembali dalam data KPU dan catatan sipil, padahal kami sudah melakukan validasi data
(Wawancara dengan Perbekel Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Senin 20 Juli 2015). Hal
tersebut dikuatkan dengan pengakuan sumber lain, yang mengatakan persoalan data pemilih
untuk orang meninggal selalu tidak tuntas, bahkan orang yang sudah pindah pun menjadi
bagian dari persoalan ini. Bahkan orang yang sudah pindah domisili pun, ternyata tetap
muncul kembali pada saat pengesahan daftar pemilih tetap.
Berikut dibawah ini adalah contoh gambar pemutakhiran data pemilih yang
diperlihatkan oleh Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) kepada peneliti. Gambar
diambil pada waktu peneliti melakukan wawancara di rumahnya.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
22
Gambar 2.
Contoh Kartu Pemutakhiran Data Pemilih
Sementara itu, terdapat pula form A3-KWK.KPU yang sering dikeluhkan oleh
petugas-petugas diatas terkait data pemilih yang meninggal maupun yang pindah
domisili. Hal ini seperti yang tampak pada foto di bawah ini.
Gambar 3.
Gambar coretan daftar pemilih yang sudah tidak terdaftar dalam pemutakhiran
data pemilih.
Memang diakui bahwa persoalan Daftar Pemilih Tetap(DPT) masih tidak
sinkron. Seringkali kami sudah mencoret data penduduk yang pindah atau meninggal
ternyata masih muncul kembali. Kami tidak tahu bagaimana proses yang berjalan
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
23
sehingga data seperti ini (Wawancara dengan Ketua KPPS Dusun Antugan, Desa Jehem
Kecamatan Tembuku, senin 20 Juli 2015).
Bahkan ada salah satu petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibuat kesal
dengan persoalan pemutahiran data pemilih. Mereka seolah tidak dihargai hasil kerja
selama mereka melakukan pendataan di lapangan. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan
baik, menurut narasumber ini berpotensi pada munculnya kecurangan.
Mengenai pemutakhiran data pemilih diakui sudah ada PPS dan PPDS.
Kendalanya kami seringkali dibuat kesal. Kami yang ada di desa sudah pontang-panting
mendata penduduk satu per satu termasuk yang meninggal atau pindah tempat. Namun
saat data disetor, nama-nama yang sudah meninggal atau dicoret ternyata ditampilkan
kembali.Kami menjadi kesan seolah tidak ada penghargaan kerja kerasa kami di
lapangan. Seolah kami para kelian tidak ada kerjaannya. Padahal kami mendata satu
persatu. Ini apabila tidak diantisipasi maka akan berpotensi adanya kecurangan,
(Wawancara, Selasa 12 Juli 2014. Sang Kompyang Mangku, Guru Warga Desa Taman
Kecamatan Bangli).
Namun ada pula narasumber penelitian yang mengapresiasi kinerja KPU
Kabupaten Bangli dalam hal pemutakhiran data pemilih. Menurutnya KPU Kabupaten
Bangli menetapkan data pemilih sudah dilakukan sesuai dengan prosedur pemutakhiran,
karena sebelum data valid diumumkan terlebih dahulu telah ada beberapa petugas yang
berusaha melakukan pemutakhiran data dengan masuk ke rumah-rumah.
Pada pendataan pemutakhiran data pemilih memang sekarang sudah ada PPDP
yang diangkat dari PPS atau PPK. PPDP ini selanjutnya mengadakan pendataan dan
kemudian memasang sticker pada setiap rumah yang sudah di data. Data inilah yang
kemudian di-update menjadi data pemilih yang mutakhir, (Wawancara, Senin 11 Juli
2015, Nengah Pasti dan Nengah Dharma warga Kecamatan Bangli).
Pemutakhiran data pemilih sudah bisa terjamin karena ada peran dari PPDP
yang datang dari PPS. PPDP ini yang akan melakukan cross check data pemilih langsung
ke rumah-rumah warga termasuk para kelian (Wawancara Selasa 12 Juli 2015, Anak
Agung Ketut Anggradiguna Perbekel Desa Susut Kecamatan Susut).Ketidakberesan DPT
menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu menyelesaikan masalah tersebut.
Keterbukaan KPU untuk terus memperbaiki DPT, termasuk membuka DPT adalah
bentuk keinginan KPU melibatkan partisipasi publik.Munculnya masalah DPT bisa jadi
disebabkan oleh KPU sendiri karena ada pandangan praktis penyelenggara untuk
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
24
memasukan semua data pemilih wilayah terkait, karena mereka berpikir yang terpenting
memasukan semua daftar pemilih dulu baru dilakukan verifikasi.
Hanya saja persoalan muncul justru dari Panitia Pendaftar Pemilih (pantarlih)
terutama yang terjadi disejumlah daerah yang tidak bekerja maksimal. Tidak sedikit pula
KPU Kabupaten maupun Kotayang hanya sekedar mencocokan data diatas kertas,
padahal, daftar pemilih seharusnya merupakan data sesungguhnya yang merupakan hasil
pemutakhiran riil di masyarakat.
4.1.2. Pendistribusian Logistik
Menjelang pemilu dilaksanakan seringkali publik mengkhawatirkan
ketidakmampuan penyelenggara mempersiapkan kelengkapan pemilihan umum berupa
pendistribusian alat-alat logistik menjelang pemilu. Publik lebih sering pesimis dengan
kemampuan KPU dapat mendistribusikan logistik pemilu yang sesuai jadwal karena
terkait dengan beberapa kendala alam yang sering dihadapi penyelenggara yang
mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pemilu.
Permasalahan lain menyangkut pendistribusian surat suara. Pengalaman
pemilu 2014 persiapan pengadaan logistik khususnya surat, biasanyaKPUmelakukan
tender pengadaan logistik Pemilu 2014 yang dilakukan secara terdesentralisasi ke KPU
Kabupaten dan Provinsi. Desentralisasi tender pengadaan logistik dilakukan untuk
meminimalisasi penyimpangan dan memudahkan pengontrolan, efisiensi, dan efektifitas.
Namun kenyataannya sering terjadi persoalan distribusi yang menyebabkan surat suara
tertukar. Pihak KPU sendiri mencatat sedikitnya 770 TPS yang tersebar di 107
kabupaten/kota di 30 provinsi harus menggelar pemungutan suara ulang karena surat
suara pada pemilihan anggota legislatif tertukar. Sebagian dari 770 TPS itu telah
menggelar pemilu ulang (Kompas.com, 15/4/14).
Ternyata berdasarkan keterangan para narasumber penelitian, kondisi ini tidak
terjadi di Kabupaten Bangli. Pendapat pemilih terkait pendistribusin alat-alat logistik
pemilu seperti kotak suara, kertas suara, kertas dan tinta selama pemilihan umum
legislatif dan pemilihan presiden tahun 2014 dianggap sudah tidak ada masalah. Jika
dibandingkan dengan pemilu sebelumnya pendistribusian logistik pemilu 2014sudah ada
kemajuan. Pendistribusian logistik dibandingkan dengan pemilu tahun 2009 pemilu
tahun 2014 sudah ada kemajuan (wawancara, Senin 27 Juli 2015 Nyoman Basma,
Komang Charles,Madya Yani, Nyoman Gede, anggota DPRD Kabupaten Bangli).
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
25
Pendapat tersebut dibuktikan dengan pendistribusian logistik pemilu di tingkat
desa yang dianggap sudah berjalan baik. Kalau di daerah saya belum pernah terjadi apa-
apa, terkait kinerja KPU Kabupaten Bangli dalam pendistribusian logistik. KPU
Kabupaten Bangli sudah melaksanakanan tugasnya dengan baik (Wawancara Senin
11Juli 2015 I Wayan Rata Warga Desa Demulih Kec. Susut, Bangli).Demikian pula yang
terjadi di Desa Jehem pendistribusian logistik, semua berjalan aman dan tidak ada lagi
hambatan (Wawancara senin 20 Juli 2015. Made Rencana Perbekel Desa Jehem
Kecamatan Tembuku).
Kinerja KPU dalam distribus logistik pemilu 2014 sudah sangat baik dan
berjalan lancar. Menurut salah seorang informan karenaKPU Kabupaten Bangli sudah
dipersiapkan alat-alat logistik pemilu sehari sebelum pencoblosan (H-1). Selain itu KPU
sudah mempersipkan tenaga-tenaga yang cukup kompoten dibidangnya, (Wawancara
Wayan Suniasih, Senin 20 Juli 2014).
Terkait distribusi logistik pemilu yang cukup baik ini, diakui pula seorang
narasumber penelitian. Persiapan KPU Kabupaten Banglimengenai pendistribusian
logistik pemilu cukup matang. Hal ini dinilai dari peran KPU Kabupaten Bangliuntuk
mengecek dengan membuka terlebih dahulu dan dilakukan cross check oleh masing-
masing petugas PPS, dan kalau selesai digembok kembali dan didrop di masing-masing
desa. Hal ini tujuannya adalah untuk mengecek agar tidak terjadi kerusakan atau
kekurangan logistik yang bisa menghambat proses pemilihan (Wawancara, Senin 11 juli
2015. Nengah Dharma Warga Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli).
4.2. Perilaku Memilih dan Politik Uang
Antara perilaku memilih dan tingkat partisipasi memilih seseorang dalam
pemilihan umum memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh karena itu, salah satu
indikator dari tingginya perilaku memilih warga dapat diukur dari tingginya tingkat
partisipasi politik pada saat pemilihan umum diselenggarakan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku memilih warga pertama, sikap
penyelenggara pemilu yang bersih dan profesional. Kedua, sikap para peserta pemilu
yang bisa menampilkan wajah pemilu yang lebih ramah jauh dari konflik kepentingan.
Ketiga kemasan kampanye politik untuk menarik minat pemilih. Ketiga faktor tersebut
diharapkan dapat menciptakan iklim demokrasi yang kondusif, sehat dan dinamis.
Sikap penyelenggara pemilu yang bersih dan profesional dapat diukur dari
seberapa besar usaha penyelenggara pemilu membuka akses ke masyarakat, seperti
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
26
efektifitas pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu. Sementara bagi peserta
pemilu (partai politik dan calon) seberapa besar tingkat kepercayaan dan elektabilitas
mereka dihadapan masyarakat.
Kampanye politik dapat mendorong sikap dan perilaku politik warga karena
kampanye dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan yang dilakukan organisasi politik atau
calon yang bersaing untuk meraih dukungan massa dalam pemungutan suara. Pada
umumnya, penyampaian pesan politik dalam kampanye menjadi perhatian warga.
Selain itu pilihan kampanye yang menggunakan media rapat akbar,
penyebaran brosur, pemasangan spanduk, hingga memanfaatkan jasa internet, jejaring
media sosial, dan bertatap muka langsung dengan publik untuk menyampaikan
gagasanmasih dianggap menjadi daya tarik bagi pemilih untuk menentukan pilihan.
Artinya, efektifitas pilihan kampanye dengan masyarakat turut memberikan kontribusi
besar bagi perilaku memilih warga. Pada saat kampanye digelar, biasanya warga juga
menentukan pilihan politiknya, karena pada forum ini warga dapat langsung melihat
harapan maupun janji-janji dari masing-masing calon.
Kampanye memang sejak dari dulu menarik perhatian dalam pemilu. Hal ini
mengingat kampanyemasih dipandang bermanfaat dari beberapa aspek. Pertama, dalam
terminologi komunikasi tatap muka, kampanye bersifat dinamis karena terjadi interaksi
langsung. Kedua, adalah adanya umpan balik secara langsung. Kelebihan lainnya adalah
menghilangkan jarak atau batas antara kontestan dengan masyarakat.
Selain faktor kampanye,faktor figur juga merupakan salah satu pertimbangan
yang sangat menentukan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan
politiknya.Beberapa program yang diusung figurcalon biasanya menjadi pertimbangan
(referensi) bagi masyarakat untuk menentukan pilihan saat pemilu dilaksanakan.
Pertimbangan lain yang juga menguat menjadi pertimbangan pilihan warga adalah asal
tempat tinggal (domisili), partai politik dan agama.
Sikap politik pemilih di Kabupaten Bangli didominasi oleh beberapa faktor
tersebut diatas.Sebagian besar perilaku pemilih di Kabupaten Bangli masih dipengaruhi
perilaku pemilih yang mudah termobilisasi. Hal tersebut ditunjukkan oleh sikap
fanatisme mereka terhadap salah satu partai politik. Sikap fanatisme mereka masih
banyak,dan sangat resisten terhadap partai atau calon lain ketika ada yang mencoba
mengacaukan pilihan politik mereka.
Narasumber lain menyatakan selain fanatisme terhadap partai politik tertentu
perilaku memilih masyarakat Bangli juga termasuk perilaku pemilih yang menyandarkan
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
27
pilihan politiknya pada hati nurani. Hanya saja yang patut dicatat bahwa Bangli masih
pemilih yang mendasadarkan pada partai politiknya masih kuat bahkan militan
(Wawancara 20 Juli 2015. I.B Made Rencana, Perbekel Desa Jehem Kecamatan
Tembuku).
Preferensi lain sikap memilih masyarakat Bangli ternyata lebih kepada
ketokohanatau kader partai politik dengan penguasaan ideologinya yang baik. Definisi
ketokohan disini bisa saja merujuk pada figur. Figur disini adalah tokoh masyarakat –
ataupun pejabat-- yang selalu datang aktif ke masyarakat.(Wawancara, Selasa 12 Juli
2015. Anak Agung Ketut Anggradiguna Perbekel Desa Susut Kecamatan Susut).
Bahkan ada pemilih yang memilih figur yang mempunyai kepedulian pada
revitalisasi pasar modern. Figur yang kami pilih adalah figur yang dekat dan sering
mengunjungi masyarakatnya. Beberapa hal yang kami direkomendasi adalah figur yang
mampu merevitalisasi pasar tradisional kami yang baru habis kebakaran. Diharapkan
dengan perbaikan pasar ini menjadi daya tarik buat pertumbuhan ekonomi warga
(Wawancara, Senin 11 Juli 2015, Nengah Dharma Warga Kelurahan Kawan,
Kecamatan Bangli).
Hal yang tidak kalah penting adalah perilaku memilih dari golongan
disabilitas, baginya memilih pemimpin lebih baik memilih program bukan partai.
Terutama program pada kepala daerah yang akan memberikan fasilitas kepada kepada
mereka. Bukan memilih calon pemimpin yang akan memberikan uang tetapi pemimpin
yang akan memberikan mereka fasilitas seperti tempat untuk pijat tuna netra, pelatihan
pembuatan dupa wangi dan keterampilan lainnya.Ada pula preferensi untuk memilih
berdasarkan tempat tinggal yang sama atau se-daerah. Alasannya memilih orang seperti
ini karena mereka tahu persoalan yang dihadapi masyarakatnya. (Wawancara Selasa 12
Juli 2015, Wayan Sujana Warga Desa Penatahan, Kecamatan Susut).
Berdasarkan sejumlah preferensi perilaku memilih, ternyata ada beberapa
pertimbangan yang dipakai masyarakat untuk menjatuhkan pilihan, baik terhadap calon
legislatif maupun calon pemimpin (bupati). Pertama, adalah asal partainya. Ini
disebabkan karena masyarakat pemilih berasal dari partai tersebut dan merupakan
pendukung dari partai itu. Kandidat dipandang sebagai orang terbaik yang ada di partai
itu sehingga wajib didukung dalam pemilihan umum. Akan tetapi, dia tidak memaksakan
masyarakat lain untuk memilihnya.
Kedua, adalah berdasarkan kedekatan dengan masyarakat. Kedekatan ini
memberikan harapan akan kebijakan-kebijakan yang dilakukannya setelah menduduki
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
28
posisi dan menduduki jabatan, sesuai dengan apa yang ada di masyarakat. Dalam
pandangan masyarakat, kedekatan juga dipandang akan mampu dipakai untuk
menyampaikan keluhan dan usulan yang ada sehingga dapat mengetahui bagaimana
sesungguhnya kondisi di masyarakat. Semakin dekat dengan masyarakat akan semakin
tahu dengan kondisi sosial yang sesungguhnya.
Ketiga agama dan gender cenderung juga diungkapkan sebagai bahan
pertimbangan. Pertimbangan ini seperti yang terjadi perilaku memilih warga di
Kecamatan Kintamani.Pertimbangan memilih selain disandarkan pada alasan asal tempat
tinggal, juga lebih banyak didasarkan pada pilihan atas kesamaan gender dan agama.
Hanya saja faktor ini harus ada pada figur yang menonjol dalam pergaulannya.
Hal yang menarik dalam perhelatan pemilu dan pemilukada terkait dengan
permasalahan politik uang. Hasil temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat
praktek politik uang pada pemilu legislatif 2014 sebanyak 313 kasus. Angka ini
melonjak 100 persen dari pemilu legislatif 2009. Catatan ICW lainnya menjelaskan
terdapat empat isu yang menjadi fokus pemantauannya selama masa kampanye terbuka,
masa tenang, dan hari pencoblosan Pemilihan Legislatif Tahun 2014. Keempat hal
tersebut adalah pemberian barang, jasa, uang, dan penggunaan sumber daya negara
(Suaramerdeka.com, 21/4).
Tanggapan warga Kabupaten Bangli terhadap politik uang sangat variatif.
Salah satunya seperti yang diungkapkan salah satu narasumber, Ida Bagus
Artha.Menurutnya,politik uang bisa masuk segala celah, tetapi pembuktiannya susah,
seringkali saya mengamati politik uang terjadi pada saat warga yang diundang
simakrama di Balai Banjar. Warga diundangdan diajak mengajukan proposal.
Terkadang, calon meminta warga membuat proposal terkait dengan perbaikan
pura.jika proposal dibuat warga biasanya calon memberikan bantuan lewat sesari dan
dana punia. Karena dana punia menurut mereka bukan bagian dari politik uang, karena
siapa pun yang menyumbang dengan dana punia dianggap sebagai keikhlasan
penyumbang. Penyalahgunaan dana punia oleh calon sempat terjadi ketika menjelang
pemilihan gubernur. Ada pula pengakuan narasumber yang melihat kandidat
tertentuberbicara dengan kelihan di banjar adat tertentu, sambil memberikan bantuan
sebanyak 2,5 juta.Kondisi tersebut terus berlanjut sampai pada pemilu legislatif tahun
2014 laludimana pelaku-pelakunya kebanyakan adalah para calonincumbent. Selain dana
punia, forum simakrama,pelaksanaan festival ogoh-ogoh, sering pula digunakan sebagai
media calon peserta politik untuk merangkul simpati wargatertentu dalam memilih.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
29
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut di atas, perilaku memilih dalam
konteks politik uang di Kabupaten Bangli selalu memang ada. Hanya saja
pembuktiannya susah diungkapkan kebenarannya karena tidak bisa didukung oleh data
yang akurat. Politik uang berjalan tataran rumor saja,hanya saja tidak menutup terjadinya
peluang-peluang yang bisa memunculkan politik uang, seperti pada forum simakrama,
dimana para calon biasanya menawarkan proposal pembangunanfasilitas tertentu pada
warga (Wawancara Selasa 12 Juli2015, Ketut Andrawiguna, Warga Desa Jehem,
Kabupaten Bangli).
Pada penelitian ini, terdapat pula narasumber yang menyatakan bahwa politik
uang terjadi secara terang-terangan. Hal ini seperti diungkapkan pedagangdi Pasar
Daerah Bangli. Menurutnya politik uang terjadi di pasar-pasar melalui perantara
perangkat keamanan lokal dengan cara membagi-bagikan amplop berisikan uang kepada
para pedagang. Amplop tersebut biasanya disertai dengan gambar partai tertentu. Melalui
simbol partai politik tersebut pedagang mengerti akan memberikan suaranya pada calon
dari partai politik bersangkutan. Bahkan ironisnya, pedagang pasar telah menganggap
pemberian uang semacam ini adalah sebagai kompensasi kedatangan mereka ke TPS.
Kompensasi berupa imbal jasa berupa uang yang diterima sebagai pengganti waktu
bekerja mereka yang tersita karena aktifitas memberikan pilihan dalam pemilu ataupun
pemilukada.
Narasumber lain menyatakan bahwa pembuatan proposal tidak hanya
perbaikan sarana umum melainkan juga kebutuhan bagi persembahyangan keluarga,
seperti perbaikan sanggah atau pemerajan. Karena proposal sudah terlanjur dianggap
selalu berisi bantuan berupa uang, maka masyarakat yang mengajukan proposal selalu
mengharapkan adanya uang dari calon bersangkutan(Wayan Santiasih,Warga Desa
Demulih Kecamatan Susut).
Fakta lain yang terungkap dari penelitian ini bahwa saat setiap narasumber
penelitian ditanyakan terkait politik uang, hampir semua narasumber tidak bersedia
menjawab.Hal ini memperkuat asumsi bahwa politik uang memang lumrah terjadi
meskipun sulit dibuktikan.Menurut pernyataan beberapa anggota dewan, politik uang
selalu sulit dibuktikan karena hampir semua transaksi tidak dilakukan secara terbuka.
Masing-masing calon mempunyai cara untuk melakukan politik uang. Hanya saja setelah
pemilu berakhir muncul pengakuan sendiri dari anggota dewan bahwaongkos politiknya
ada yang memakan biaya dengan kisaran sebesar 1 hingga 2 miliyar rupiah.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
30
Hal ini merupakan bukti bahwa politik uang benar-benar terjadi dalam pemilu.
Selain itu menurut para narasumber penelitian, persoalan maraknya praktik politik uang
merupakan konsekuensi atas berjalannya sistem proporsional terbuka dimana
menyertakan proses pemilihan yang sangat ketat diantara para calon(Wawancara, senin
27 Juli 2015. Nyoman Basma, Komang Charles, Madya Yani, Nyoman Gede, anggota
DPRD Kabupaten Bangli).
Persoalan perilaku politik uang selama pemilu maupun pemilukada memang
tidak terlepas dari lemahnya fungsi kontrol KPU,baik di level pusat maupun daerah. Hal
ini sejalan pula dengan lemahnya pencegahan, pengawasan dan penindakan dari Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain itu minimnya kesadaran dari partai politik untuk
mendisiplinkan para calonnya agar tidak melakukan pelanggaran menjadi catatan
dominan dari penyelenggaraan pemilihan umum legislatif maupun pemilihan kepala
daerah tahun lalu.
4.3. Pemahaman Pemilih terhadap Aturan Main Pemilu
Kekhawatiran lain yang diungkapkan para narasumber penelitian terhadap keberadaan
KPU Kabupaten Bangli pada saat pemilihan umum tahun 2014 adalah lemahnya kemampuan
lembaga tersebut menegakan aturan main dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Jaminan
independensi, sikap non-partisan yang ditunjukkan dan sikap profesionalitas para
personelnya, selalu menjadi pusat perhatian masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa aturan main yang dicoba diimplementasikan KPU selama pemilu tahun
2014 dan pemilu presiden misalnya terkait dengan aturan integritas kandidat seperti;
a. Aturan yang mewajibkan kandidat melaporkan harta kekayaannya sebelum pemilu
diadakan;
b. Aturan yang melarang seseorang yang pernah dihukum karena pidana di atas lima tahun
untuk mencalonkan diri dalam pemilu;
c. Aturan yang mewajibkan kandidat untuk melaporkan dana kampanye;
d. Aturan yang membatasi jumlah sumbangan kampanye baik perorangan maupun
korporasi;
e. Aturan yang melarang kandidat, parpol dan atau tim kampanye menjanjikan dan atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih;
f. Aturan yang dapat membatalkan seseorang sebagai kandidat karena diketahui
menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi
pemilih.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
31
Ketika semua aturan main tersebut ditanyakan, hampir semua responden menyatakan
persetujuannya, kecuali aturan yang dapat membatalkan seseorang sebagai kandidat karena
diketahui menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi
pemilih. Alasan ketidaksetujuan terhadap aturan ini karena biaya pemilu sangat mahal, maka
disayangkan apabila benar-benar pembatalan dilakukan sama saja dengan membuang-buang
anggaran.Menurut salah seorang narasumber,solusi bijak untuk menyelesaikan terjadinya
kasus seperti ini adalah pelantikan tetap dilaksanakan sembari menunggu hasil proses hukum
yang berjalan(Wawancara Senin 27 Juli 2015, Nyoman Basma Anggota Legislatif Kabupaten
Bangli Periode 2014-2019).
Di antara beberapa aturan main tersebut, terdapat satu hal aturan main yang saat ini
sedang dipersiapkan oleh KPU pada pemilu dan pemilukada mendatang,yaitu terkait aturan
main penyelenggraan pemilu yang akan dipusatkan di KPU/KPUD. Misalnya aturan main
pemasangan atribut kampanye seperti baliho, spanduk, stiker, serta media lain yang ditangani
langsung oleh KPU.
Aturan seperti ini mendapatkan apresiasi positif dari warga karena pengaturan satu
pintu dianggap lebih efisien dan semua akan mendapatkan akses yang sama. Harapan dari
para narasumber penelitian menyatakan bahwa dengan adanya aturan pemasangan atribut
kampanye maka prinsip keadilan dapat tercipta, karena tidak semua peserta pemilu (partai
politik maupun calon) memiliki kemampuan finansial yang sama.
Selain itu aturan pemasangan atribut kampanye yang dipusatkan di tangan KPU ini
akan menghindari zona larangan pemasangan baliho termasuk kemungkinan terjadinya
pemasangan baliho di zona yang salah. Seperti pemasangan di fasilitas umum, antara lain
sekolah,Pura,maupun rumah sakit.
Bahkan pada kasus ini, beberapa narasumber penelitian mengaitkan dengan kasus
pemasanganbaliho calon pada tempat yang berbeda pilihan politiknya. Akibat keberadaan
baliho ini akhirnya memancing kemarahan warga setempatdan terjadi pengrusakan baliho.
Hal ini sebagaimana diungkapkan salah satu narasumber A.A Anggara Wiguna (Perbekel
Desa Susut) yang menyatakan bahwa di wilayahnya pernah terjadi aksi ini yang berujung
kepada kemarahan warga.
Hal yang sama dikemukakan seorang perbekelselaku narasumber penelitian ini.
Menurutnya jika semua aturan main seperti pemasangan baliho dipusatkan di KPU akan
menghindari gesekan di bawah. Pada waktu pemilihan legislatif sempat terjadi gesekan antar
pendukung dari Partai Demokrat dan Partai PDI-Perjuangan di kawasan PDI-P. Sumber
pertikaian dipicu pemasangan baliho dari calon dari Partai Demokrat ditebang dan disobek
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
32
dengan parang oleh pendukung partai PDI-Perjuangan. Pelakunya tidak dapat ditelusuri dan
tidak berani mengusutnya (Wawancara Senin 20 Juli 2015,Made Rencana Perbekel Desa
Jehem Kecamatan Tembuku).
Terkait aturan main dengan uji publik dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU) yang saat ini dihapuskan, semua narasumber penelitian ini menyesalkankondisi ini.
Aturan main mengenai uji publik ini masih dipandang penting karena melalui sistem suara
terbanyak seharusnya pemilih tidak lagi melihat calonberdasarkan kehebatan atau nomor
urut, melainkan harus dipastikan apakah mereka adalah orang-orang yang dipandang cerdas
yang secara kebetulan mendominasi pencalonan.Menurut para narasumber, kondisi perlu
pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang tentang Partai Politik yang menetapkan calon
legislatif (Wawancara senin 27 Juli 2015, Nyoman Basman, Komang Charles, Madya Yani,
dan Nyoman Gede, anggota DPRD Kabupaten Bangliperiode 2014-2019).
4.4. Partisipasi Politik Pemilih Pemula
Terdapat lima kelompok masyarakat atau segmen yang menjadi target utama dalam
sosialisasi yang diselengggarakan oleh penyelenggara pemilihan umum (KPU). Pertama,
segmen pemilih pemula dan pemuda. Kedua, pemilih penyandang disabilitas. Ketiga, pemilih
perempuan. Keempat,pemilih golongan keagamaan. Kelima, pemilih dari golongan/kaum
marginal.
Pada segmen pertama, saat ini jumlah pemilih realitasnya masih menjadi pusat
perhatian pemerhati pemilu. Hal ini karenajumlah mereka yang secara terus menerus
meningkat dari pemilu ke pemilu. Berangkat dari kondisi inilah maka diyakini bahwa
kapasitas suara pemilih pemula memiliki pengaruh siginifikan bagi perolehan suara dalam
pemilu. Pemilih pemula dan pemuda di Indonesia diperkirakan mencapai 51 juta pemilih dan
mereka berusia sekitar 17 hingga 23 tahun.
Jumlah ini signifikan dari segi politik pemungutan suara (electoral politics).
Berdasarkan Jajak Pendapat Kompas 18 November 2014, bila jumlah pemilih pemula
digabung dengan jumlah pemilih muda lain yang berusia dibawah 30 tahun besarannya
mencapai dua kali lipat atau seebsar 34%.
Fakta ini menyiratkan dua hal pokok dan perlu mendapatkan pusat perhatian. Pertama
pemilih pemula dewasa ini banyak memandang sinis atas istilah politik. Bagi kalangan ini
politik merupakan permainan kotor. Politik menurut mereka hanyalah ajang para elit politik
untuk memperebutkan (bagi-bagi/dan mempertahankan) kekuasaan tanpa memperhatikan
nasib rakyat.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
33
Sejalan dengan pandangan tersebut, para pemilih pemula menganggap partai politik
yang seharusnya melahirkan kader politisi yang mengabdi pada kepentingan masyarakat,
justru menghasilkan kader politisi yang justru terjerat dalam berbagai kasus korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Isu keterlibatan sejumlah kader partai politik dalam kasus korupsi
berdampak lebih jauh kepada masyarakat. Selain penurunan citra politik, berbagai identitas
positif yang dilekatkan publik kepada partai politik turut terpengaruh.Kenyataan ini
menegaskan kegelisahan tentang rendahnya minat mereka terhadap pemilu semakin berada
dititik nadir.
Kedua, kewaspadaan jumlah mereka yang besar apabila tidak diantisipasi dengan
pendidikan politik yang benar, justru hanya menjadi rebutan partai politik maupun para
politisi untuk mendongkrak perolehan suara. Artinya partisipasi mereka hanya sebatas
partisipasi parokial tanpa kontribusi untuk proses demokratisasi.
Partisipasi memilih dari kalangan ini masih hanya sekedar mencoba-coba disamping
melihat momentumbahwa pemilu hanya sebagai ajang partisipasi dengan memberikan suara
mereka kepada partai atau tokoh yang mereka sukai/gandrungi. Antusiasme mereka datang ke
TPS tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran politik mereka sudah tinggi.
Kesadaran politik di kalangan pemilih pemula diatas, ternyata ditemukan pula di
Kabupaten Bangli. Walaupun tidak semua kategori diatas terjadi, pemilih pemula yang ikut
serta dalam pemilihan umum cukup variatif. Hal ini terjadi karena faktor pendidikan dan
pengalaman di luar karakter mereka masing-masing. Sebagian besar kalangan pemilih
pemula di Kabupaten Bangli masuk kategori pemilih pemula yang partisan.
Pemilih pemula di Kabupaten Bangli masih banyak yang memilih berdasarkan
panutan. Ketika orang tua sempat berbicara dirumahnya, baik karena alasan obyektif maupun
pragmatis, akan cenderung menurut pada orang tuanya.
Dilihat dari tingkat partisipasi pada pemilu, pemilih pemula di Bangli tergolong
tinggi. Menurut beberapa narasumber pemilih pemula pada penelitian, terdapat beberapa
catatan khusus yang perlu dipertimbangkan terkait kesadaran mereka ikut memilih pada
pemilihan umum. Temuan penelitian ini menyatakan keikutsertaan pemilih pemula pada
pemilu rata-rata menginginkan perubahan, meskipun mereka tidak memiliki pengalaman
yang matang tentang apa yang dimaksud dengan perubahan itu sendiri. Dorongan ini lebih
banyak karena interaksi kalangan pemilih pemula sendiri dengan faktor-faktor pendorong
dari luar dirinya, seperti kelompok pergaulan dan media sosial (Wawancara senin 27 Juli
2015. Nyoman Basma wakil ketuad DPRD Bangli periode 2015-2019).
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
34
Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa kesukarelaan mereka dalam memilih masih
sangat tinggi. Hanya saja kondisi ini masih seringkali terbatasi oleh adanya kendala-kendala
teknis yang menyebabkan mereka tidak bisa ikut dalam pemilihan umum. Hal tersebut terjadi
karena sebagian besar dari pemilih pemula ini sudah banyak yang bekerja atau studi di luar
Bangli atau alasan tidak memiliki kartu suara dari penyelenggara pemilihan umum.
Para pemilih pemula ini rata-rata masih aktif dan punya semangat untuk ikut
mencoblos, hanya saja karena rata-rata mereka diluar Bangli sehingga mereka enggan ikut
memilih. Seharusnya mereka ikut memilih tetapi kondisi seperti itu membuat mereka enggan
untuk ikut memilih (Wawancara Senin 27 Juli 2015, Nyoman Basma, Komang Charles,
Madya Yani, dan Komang Gede, anggota legislatif Bangli periode 2014-2019).
Satu hal yang tidak dapat ditinggalkan dari tingginya semangat pemilih pemula di
Kabupaten Bangli ternyata memiliki kontribusi besar bagi perkembangan demokrasi. Hal itu
tersebut ditunjukkan dengan sumbangan mereka menjadi relawan bagi pemilih usia lanjut
yang belum paham dengan prosedur (tata cara) pemilihan.Semangat yang tinggi mendorong
mereka menjadi relawanuntuk menjelaskan tata cara pemilihan karena pemilihan umum yang
diselenggarakan pada pemilu 2014 tergolong rumit dari pemilu sebelumnya.
Rata-rata lebih 90 % pemilih pemula lebih cerdas dan berpengalaman. Karena
rumitnya pemilu yang diselenggarakan tahun 2014 pemilih pemula justru banyak menjadi
relawan, mengajarkan ke orang tua pada saat pencoblosan,hal itu sangat membantu kerja
KPUD(Wawancara, Senin 27 Juli 2015, Komang Charles anggota DPRD Bangli periode
2015-2019).
Kondisi ini tentunya menjadi sangat penting dan memberikan manfaat bagi
penyelenggara pemilihan umum terutama dalam mensosialisasikan prosedur dan tata cara
pemilihan. Kenyataan ini tentu memiliki nilai yang sangat berarti karena KPU Kabupaten
Bangli bisa lebih mendorong masyarakat untuk menggunakan hak politiknya dalam pemilu.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, antara lain sebagai berikut :
1. Sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Bangli sudah berjalan baik. Hanya saja
ada sebagian warga menginginkan adanya relawan yang dipersiapkan bekerja bisa masuk
sampai ke rumah-rumah warga, sehingga warga memiliki informasi lengkap mengenai
pelaksanaan pemilu. Sosialisasi menurut kalangan pemilih pemula masih perlu diperluas
dan ditingkatkan medianya. Bagi kalangan ini, sosialisasi pemilu tidak hanya cukup
dengan pemasangan melalui media baliho,pamflet, leaflet atau stiker, melainkan
diperlukan pula penambahan pemanfaatan melalui media online. Media ini bagi mereka
lebih cepat diakses dan sejalan dengan kondisi saat ini.
2. Pelaksanaan sosialisasi KPU Kabupaten Banglibelum sampai kepada kelompok-kelompok
marginal, seperti penyandang disabilitas maupun kalangan khalayak yang berada di tempat
fasilitas umum, seperti pasar. Hal itu terbukti dari beberapa narasumber penelitian yang
menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai pemilu.
Narasumber ini mendapatkan sosialisasi mengenai pemilu justru berasal dari pihak lain.
Pedagang mendapat informasi dari pecalang, sementara penyandang disabilitas
mendapatkan informasi pemilu berasal dari televisi dan keluarganya.
3. Strategi sosialisasi yang diharapkan oleh pemilih sangat bervariasi. Pertama, bagi
kalangan pemilih masyarakat umum (awam), sosialisasi disampaikan dengan menyertakan
media hidburan seperti pertunjukkan bondres, wayang atau jalan sehat yang disertai
undian doorprize.Terdapat pula upaya sosialisasi yang disampaikan melalui media
spanduk, baliho, iklan radio, dan televisi. Kedua, bagi kalangan pemilih pemula strategi
sosialisasi lebih banyak yang tersampaikan melalui media massa, koran, iklan radio dan
televisi, bahkan media online KPU Kabupaten Bangli.
4. Secara keseluruhan, terkait dengan semua aturan main penyelenggaraan pemilu seperti
aturan main integritas calon, semua narasumber penelitian setuju. Hanya saja, aturan main
yang memenangkan pemilihan tetapi dibatalkan karena ketahuan memberikan sesuatu
kepada pemilih lebih banyak narasumber yang menyatakan keberatan.Sementara aturan
main yang akan dipersiapkan pada pemilu dan pemilukada yang akan datang, semuanya
akan dikembalikan/dipusatkan ditangan KPU semua narasumber menyatakan setuju. Hal
ini karena menjamin adanya prinsip keadilan.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
36
Perilaku memilih masyarakat Kabupaten Bangli sangat variatif. Preferensi dalam memilih
lebih banyak disandarkan pada figur, partai politik, kesamaan tempat tinggal, gender dan
agama.Pilihan atas partai politik lebih banyak disandarkan pada figur calon bersangkutan,
tidak hanya ideologis melainkan lebih kepada kredibilitas figur yang peka terhadap
tuntutan perubahan. Khusus untuk pertimbangan kesamaan tempat tinggal karena
mayoritas pemilih masih menganggap bahwa figur yang berasal dari daerahnya paham
akan persoalan yang dihadapi oleh daerahnya.
5. Partisipasi politik pemilih pemula di Kabupaten Bangli masih tergolong tinggi. Karena
kebanyakan dari mereka baru pertama kali ikut mencoblos. Selain itu mereka terlihat lebih
banyak menjadi relawan yang memberitahu cara memilih kepada orang tua. Hal ini
tentunya dapat membantu kinerja KPU Kabupaten Banglidalam memberikan pemahaman
kepada kelompok pemilih lanjut usia untuk terlibat dalam pemilihan umum.
6. Pada penelitian ini terungkap pula mengenai perilaku politik uang yang terdapat pada
kalangan pemilih pemula. Hal tersebut seperti pada adanya preferensi pilihan suara
mereka kepada figur yang berasal dari wilayah asal dengan beragam usulan program
perbaikan yang dilontarkan pada saat aktifitas adat dan keagamaan berlangsung. Pada
konteks ini biasanya figur tersebut diharapkan dapat menyumbang atau menjanjikan
sesuatu kepada mereka.
5.2. Saran
Berdasarkan temuan penelitian diatas terdapat beberapa saran yang diajukan pada
penelitian ini. Saran tersebut antara lainsebagai berikut:
1. Pada pemilukada mendatang, sebaiknya KPU Kabupaten Bangli bersinergi dengan
relawan yang akan membantu aktifitas sosialisasi hingga ke tingkat dusun, terutama
sosialisasi tahapan pemilukada, penjadwalan sampai pelaksanaan.
2. Pada pemilukada mendatang, KPU Kabupaten Bangli lebih memperhatikan kalangan
pemilih kelompok marginal, seperti penyandang disabilitas dan kelompok pedagang kecil
di pasar, agar hak politiknya masih tetap bisa terjamin sebagaimana tercantum dalam
amanat konstitusi.
3. Terkait perilaku pemilih yang diwakilkan sangat penting untuk diperhatikan oleh KPU
Kabupaten Bangli karena hal ini akan menimbulkan maraknya praktek jual beli suara.
KPU Kabupaten Bangli harus lebih tegas menegakkan aturan main dalam penyelengaraan
pemilihan umum. Salah satunya adalah melalui peningkatan pendidikan politik pemilih
supaya lebih sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Laporan Hasil Penelitian Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli & FISIP Universitas Udayana
37
4. Aturan main kepemiluan terkait sosialisasi calon khususnya pemasangan atribut yang
terpusat di KPU pada pemilukada mendatang benar-benar bisa ditegakan. Hal ini karena
terkait dengan prinsip keadilan bagi peserta pemilihan. Penghindaran zona-zona larangan
pemasangan baliho, spanduk termasuk kemungkinan zona-zona yang salah, seperti di
tempat fasilitas umum, seperti, sekolah, tempat ibadah dan sarana kesehatan perlu
diantisipasi dengan aturan baru tersebut. Hal ini sekaligus bisa mereduksi tingkat
kesalahan terkait pemasangan atribut calon yang pernah terjadi sebelumnya di Kabupaten
Bangli.
5. KPU Kabupaten Bangli harus bisa mengambil tindakan tegas dan jelas terhadap potensi
terjadinya peraturan yang salingkontradiktif, seperti antara aturan KPU dengan Peraturan
Bupati, maupun kesepakatan wargasetempat terutama dalam pemanfaatan zona-zona
pemasangan alat peraga kampanye.
6. Terkait perilaku politik uang yang berpotensi dengan beragam media, menuntut upaya
yang lebih tegas dari pihak penyelenggara mengklasifikasikan jenis-jenis pelanggaran
politik uang dalam pemilu maupun pemilukada. Hal ini seperti terdapatnya indikasi
penggunaan dana punia sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan politik uang yang
sebagian besar ditolak oleh calon dalam pemilu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ananta, Aris et.al., 2004 Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective,
Singapore: ISEAS
Bone, Hugh A dan Austin Ranney, 1981, Politics and Voters, USA: McGraw-Hill
Cambell, Angus et. al., 1966 The American Voter USA: Jhon Wiley and Sons, Inc
Clarke, Harold D. et.al., 2004Political Choice in Britain, New York: Oxford University Press
Erb, Maribeth dan Priyambudi Sulistiyanto (Ed.), 2009 Deepening Democracy in Indonesia:
Direct Election for Local Leaders, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies
Evans, Jocelyn A. J., 2004, Voting and Voters: An Introduction, London: SAGE Publications
Fitriyah, 2005, “Menggagas Akuntabilitas Politik Lokal Menuju Kepengelolaan yang Baik di
Daerah,” dalam Jamil Gunawan, et. al. (Eds.), Desentralisasi, Globalisasi dan
Demokrasi LokalJakarta: LP3ES
Gaffar, Afan, 1992 Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party
System, Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Harison, Lisa, 2009, Metode Penelitian Politik, terj. Jakarta: Kencana
Kavanagh, Denis, 1983, Political Science and Political Behaviour, London: George Allen &
Unwin
King, Dwight Y., 2003, Half Harted Reform: Electoral Institution and Strugle for Democracy
in Indonesia, USA: Praeger Publishers
Henk Schulte Nordholt, 2010,Bali: Benteng Terbuka 1995-2005 (terj.), Jakarta: KITLV
Nursal, Adman, 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta Gramedia
Nuryanti, Sri, 2006, “Pilkada Langsung Memperkuat Demokrasi Lokal?,” Pusat Penelitian
Politik: Year Book 2006
Roth, Dieter, 2008, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode, terj.
Jakarta: Friedrich-Naumann Stiftung fur die Freiheit
Shenkman, Rick, 2008, Just How Stupid Are We?: Facing the Truth about American Voter,
New Yosrk: Basic Book
Upe, Ambo, 2008, Sosiologi Politik Kontemporer: Kajian Tentang Rasionalitas Perilaku
Politik Pemilih diEra Otonomi Daerah, Jakarta: Prestasi Pustaka
Jurnal
Eriyanto et.al., “Mesin Partai atau Popularitas Kandidat?”, dalam Kajian Bulanan Lingkaran
Survei Indonesia, No 12, (April 2008)
Ikeda, Ken’ichi et.al, “Dynamics of interpersonal Political Environment and Party
Identificatin: Longitudinal Studies of Voting in Japan and New Zeland”, dalam
Political Psycology, Vol 26 No 4, (Aug. 2005)
Kaspin, Deborah, “The Politics of Ethnicity in Malawi’s Democratic Transition”, dalam
Journal of Modern Afrikan Studies, Vol. 33 No. 4 (Desember, 1995)
Kinzo,Maria D’Alva Gin, “The 1989 Presidential Election: Electoral Behaviour in Brazilian
City”, dalam Journal of Latin American Studies, Vol. 25 No. 3 (May, 1993)
Liddle, R.William dan Saiful Mujani,“Leaderships, Party,and Religion: Explaining Voting
Behavior In Indonesia” dalam Journal Of Democrcy,Vol. 21 No. 2 (April 2010)
Rood, Steven, “Perspective on the Electorals Behaviour of Baguio City (Philipines) Voters in
Transition Era”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 22 No. 1, (Maret 1991)
Tesis
Agusmawanda, Perilaku Memilih Masyarakat Adat Ternate dalam Pemilihan Legislatif Kota
Ternate 2009, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2011)
Adnyana, Yudistira, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Memilih dalam Pilkada
Badung 2005, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006)
Toruan, Jhonsar L., Perilaku Memilih Pada Pemilihan Kepala Daerah 2005: Studi Kasus
Kemenangan Mardin Sihombing/Marganti Manullang Sebagai Bupati/Wakil Bupati
Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatra Utara, Tesis Magister, (Jakarta:
FISIP UI, 2006)
Dokumen
Berita Acara Nomor 900/1569/KPU tentang Rapat Pleno Penetapan Pasangan Calon Terpilih
dalam Pilkada Provinsi Bali Tahun 2008
Artikel
Kompas, Kamis 16 Mei 2013, Puspayoga dan Pastika Imbang: Setiap Kubu Klaim
Kemenangan”
http://jogja.okezone.com/read/2013/03/27/340/782195/dikeroyok-banyak-partai-pdip-pede-
di-pilgub-bali
Nama Narasumber Penelitian
No Nama Narasumber, Usia dan
Foto
Jabatan dan No
HP
Alamat Tanggal
Wawancara
1. Nengah Pasti (Usia 47 tahun)
Petugas
Pemutakhiran
Data Pemilih
(PPDP), Mantan
Panitia
Pemilihan Suara
(PPS) No HP.
081338549521
Desa Landih,
Kecamatan
Bangli
11 Juli 2015
2. Nengah Darma (Usia 50
tahun)
Petugas
Pemutakhiran
Data Pemilih
(PPDP) HP.
081338078743
Kelurahan
Kawan,
Kecamatan
Bangli
11 Juli 2015
3. I Wayan Rajen (Usia 48 tahun) Petugas
Pemutakhiran
Data Pemilih
(PPDP) Desa
Pengotan
Kecamatan
Bangli
Kecamatan
Bangli
11 Juli 2015
4. Samroni (Usia 52 tahun) Pedagang di
Pasar Bangli
Kecamatan
Bangli
11 Juli 2015
5. I Wayan Suartika (Usia 34
tahun)
Pengurus
Yayasan Bunga
Bali Cabang
Bangli . HP.
085738255008
Desa Tembuku,
Kecamatan
Tembuku
11 Juli 2015
6. I Wayan Rata (Usia 43 tahun) PNS Pemkab
Bangli
Kecamatan Susut 11 Juli 2015
7. I Ketut Carem Kepala Dusun
Pengotan,
Bangli. No HP.
08123960058
Desa Pengotan,
Kecamatan
Bangli
11 Juli 2015
8.. Wayan Sujana (Usia 50) Warga Desa
Penatahan. HP.
082340322232
Desa Penatahan,
Kecamatan Susut
12 Juli 2015
9. Anak Agung Ketut
Anggradiguna (Usia 57 tahun)
Perbekel Desa
Susut. HP.
081337797672
Desa Susut,
Kecamatan Susut
12 Juli 2015
10. Putu Windu Eka Suryantini
(Usia 30 tahun)
Sekretaris
Perbekel Desa
Taman,
Kecamatan
Bangli. HP.
082340322181
Desa Taman Bali,
Kecamatan
Bangli
12 Juli 2015
11. Sang Kompyang Mangku
(Usia 65 tahun)
Pensiunan Guru.
Hp.
085238169989
Desa Taman Bali,
Kecamatan
Bangli
12 Juli 2015
12. Wayan Suniasih (Usia 43
tahun)
Istri Perbekel
Desa Tembuku,
Kecamatan
Tembuku
Desa Tembuku,
Kecamatan
Tembuku
20 Juli 2015
13. I.B Made Rencana (Usia 51
tahun)
Perbekel Desa
Jehem
Kecamatan
Tembuku
HP.
081337030722
Desa Jehem,
Kecamatan
Tembuku
20 Juli 2015
14. I Nengah Darmada (Usia 40
tahun)
Ketua KPPS dan
Ketua Dusun
Antugan, Desa
Jehem
Kecamatan
Tembuku.
HP.
08124603544
Desa Jehem,
Kecamatan
Tembuku
20 Juli 2015
15. Ni Wayan Santiasih (Usia 19
tahun)
Pemilih Pemula
Warga Demulih,
Kecamatan
Susut. HP.
085738221971
Desa Demulih,
Kecamatan Susut
29 Juli 2015
16. Manggala (Usia 21 tahun) Pemilih Pemula
Warga Desa
Bebalang,
Kecamatan
Bangli.
Desa Bebalang,
Kecamatan
Bangli
29 Juli 2015
17. Nama : Ida Bagus Restu Surya
(Usia 19 tahun)
Pemilih Pemula
Warga Desa
Kubu,
Kecamatan
Bangli. No. HP
081937781770
Desa Kubu,
Kecamatan
Bangli
29 Juli 2015
18. I Nyoman Basma, S.H Wakil Ketua
DPRD Bangli,
DPC Partai
Golkar. No HP.
081938383430
Kecamatan
Kintamani
27 Juli 2015
19. I Komang Charles, S.E Wakil Ketua
DPRD Bangli,
Ketua DPC
Partai Demokrat
Bangli. No HP.
08123960058
Kecamatan
Kintamani
27 Juli 2015
20. Ni Nengah Dwi Madya Yani DPRD Bangli,
DPC PDI-P. No.
HP.
085237488999
Kecamatan
Bangli
27 Juli 2015
21. I Dewa Gede Oka, S.H DPRD Bangli,
DPC Partai
Gerindra Bangli
Kecamatan Susut,
Bangli
27 Juli 2015
22. I Nyoman Karang Guru Kecamatan
Kintamani
Desa Katung,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
23. Nyoman Bilawan Kelian Adat
Desa Katung
Desa Katung,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
24. Dewa Gde Adiputra Kelian Dinas
Desa Katung
Desa Katung,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
25. Ketut Rimpin Pedagang Toko Desa Belancan,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
26. Putu Sepi Pedagang Bakso Br. Desa Kuta
Dalem, Desa
Sukawana,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
27. Wayan Serana Petani dan
Bebotoh
Br. Desa Kuta
Dalem, Desa
Sukawana,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
28. Made Sukradani Pedagang Br. Desa Kuta
Dalem, Desa
Sukawana,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
29. Wayan Dirka Pedagang, Caleg
DPRD Bangli
2014
Banjar Pangkung,
Desa Belantih,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
30. Ni Made Ratni Petani Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
31. Luh Gde Ardhani Mahasiswi Desa Belancan,
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015
32. Ketut Belawan Petani Banjar
Kintamani, Desa
Kintamani
Kecamatan
Kintamani
8 Juli 2015