LAPORAN FISIOLOGI
-
Upload
previasari-zahra-pertiwi -
Category
Documents
-
view
121 -
download
1
Transcript of LAPORAN FISIOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan Spirometer
B. Waktu, Tanggal Praktikum
Rabu, 13 Maret 2013
C. Tujuan
Mahasiswa dapat :
a. Menjelaskan pemeriksaan spirometri
b. Melakukan pemeriksaan spirometri
c. Menganalisa hasil pemeriksaan
D. Dasar Teori
Sebagian besar jaringan di tubuh manusia membutuhkan O2 untuk
menghasilkan energi, sehingga penyediaan O2 harus tersedia agar jaringan-
jaringan tersebut dapat melakukan fungsi mereka secara normal. CO2
merupakan produk dari metabolisme aerobik, dan harus dikeluarkan dari
jaringan tubuh. Sistem pernapasan mempunyai fungsi utama yaitu
mengambil O2 dari atmosfer ke dalam sel dan untuk mengeluarkan CO2
yang dihasilkan oleh metabolisme sel (Levitzky, 2007). Proses tersebut biasa
disebut dengan proses respirasi. Menurut Ganong (2009), respirasi meliputi
dua proses, yaitu:
1. Respirasi eksternal
Proses ini berupa penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 dari tubuh.
Respirasi eksternal ini masih dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu:
a. Ventilasi pulmonari
Ventilasi pulmonari merupakan tahapan dimana udara dapat
bergerak dan mengalir di antara atmosfer dan alveoli paru. Pada
dasarnya udara mengalir masuk dan keluar dari paru-paru karena
adanya perbedaan tekanan. Dalam kondisi normal, udara atmosfir
bertekanan 760mmHg sehingga dibutuhkan mekanisme ventilasi
paru yang mencakup 2 fase. Fase-fase tersebut diperlukan agar
1
terjadi perbedaan tekanan gradien antara atmosfir dan alveolus
(Asih, 2004). Fase- fase terpenting itu adalah
1) Inspirasi
Inspirasi merupakan bagian dari proses pernapasan.
Inspirasi diprakarsai oleh kontrol pernapasan di medula
oblongata. Medula oblongata merangsang saraf- saraf pernafasan
sehingga menyebabkan kontraksi otot diafragma dan interkostal .
Hal tersebut dapat menyebabkan bertambah luasnya rongga dada
dan terjadi penurunan tekanan di rongga pleura. Diafragma
merupakan struktur berbentuk kubah yang memisahkan rongga
dada dan perut . Otot ini jga paling penting dalam proses
inspirasi. Ketika mengkontraksi, diafragma bergerak ke bawah
dan berbentuk mendatar.hal tersebut akan memperluas rongga
thoraks. Otot-otot interkostalis eksternal menghubungkan tulang
rusuk yang berdekatan sehingga ketika otot tersebut berkontraksi
maka tulang rusuk pun tertarik ke atas dan ke depan. Hal ini
menyebabkan peningkatan volume rongga thoraks. Akibatnya
tekanan di dalam rongga thoraks menjadi lebih rendah dari
tekanan di atmosfer dan udara dari atmofer pun mengalir menuju
ke alveolus (Richardson, 2003).
2) Ekspirasi
Ekspirasi secara normal tanpa memerlukan kontraksi otot
karena adanya elastic recoil pada paru-paru. Fase isi terjadi ketika
otot diafragma dan intercostalis externus mengalami relaksasi.
Namun, otot-otot interkostal internal dan otot ekspirasi lainnya
dapat berkontraksi jika terjadi ekspirasi maksimum (Richardson,
2003).
2
Gambar 1. (Faller, 2004)
b. Pertukaran gas antara alveolus dan kapiler paru
Alveolus paru berbatasan dengan kapiler. Tekanan O2 alveolus
rata-rata sebesar 104 mmHg dan tekanan O2 pada kapiler paru
40mmHg. Perbedaan tekanan tersebut akan menyebabkan oksigen
berdifusi ke dalam kapiler paru. Sedangkan didalam kapiler paru
tekanan CO2 darah yang masuk di kapiler paru sebesar 45 mmHg
sedangkan Tekanan CO2 di alveolus 40 mmHg. Perbedaan tekanan
itupun mengakibatkan CO2 dari kapiler dapat berdifusi ke dalam
alveolus (Guyton, 2009).
3
Gambar 2. (Faller, 2004)
2. Respirasi internal
Respirasi internal merupakan pertukaran O2 dan CO2 antara
kapiler sistemik dengan jaringan.ketika darah arteri sampai ke jaringan
perifer. Tekanan O2 dalam kapiler masih 95 mmHg. Sedangkan dalam
jaringan rata-rata hanya 40 mmHg. Perbedaan tekanan awal ini akan
menyebabkan O2 berdifusi secara cepat dari darah kapiler ke dalam
jaringan. O2 yang berdifusi terlalu cepat tersebut mengakibatkan tekanan
O2 kapiler turun hingga 40mmHg. CO2 pun meresap kearah yang
bertentangan karena adanya perbedaan tekanan pada arteri yang masuk
jaringan kira-kira 46mmHg dan vena yang meninggalkan jaringan
40mmHg (Guyton, 2009).
Gambar 3. (Guyton, 2009) Gambar 4. (Guyton, 2009)
Perubahan pada volume paru statik dan dinamik yang terjadi
selama pernafasan dapat diukur dengan menggunakan spirometer. Hasil
pengukuran tersebut disebut spirogram. Pada pengukuran tersebut
4
inspirasi digambarkan sebagai defleksi ke atas sedangkan ekspirasi
digambarkan sebagai defleksi ke bawah (Sheerwood, 2011).
Menurut Guyton (2009), volume dan kapasitas paru, dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Volume tidal (VT) adalah volume udara yang dapat diinspirasi atau
diekspirasi pada pernafasan normal. Pada laki-laki dewasa nilainya
berkisar 500 ml.
b. Volume cadangan inspirasi (VIC) adalah volume udara maksimal
yang dapat diinspirasikan setelah volume tidal normal bila dilakukan
dengan inspirasi maksimum. Nilainya biasanya dapat mencapai 3000
ml.
c. Volume cadangan ekspirasi (VEC) adalah volume udara maksimal
yang dapat diekspirasikan melalui ekspirasi kuat/ maksimal pada
akhir ekspirasi tidal normal.Nilai normalnya biasanya sekitar 1100
ml
d. Volume residual (VR) adalah volume udara yang tersisia dalam paru
setelah melakukan ekspirasi kuat. Volume ini besarnya kira-kira
1200 ml .
e. Kapasitas inspirasi (KI) adalah jumlah udara yang dapat dihirup
seseorang , dan dimulai dari ekspirasi normal hingga pengembangan
paru pada jumlah maksimum. Besarnya didapatkan dengan
penambahan volume tidal dan volume cadangan inspirasi
(KV=VT+VCI) dan nilai rata-ratanya 3500 ml.
f. Kapasitas residual fungsional (KFR) adalah jumlah udara yan masih
tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal. Jumlah udara ini
didapatkan dengan penambahan volume residual dan volume
cadangan ekspirasi (KFR=VR+VCE) dan nilai rata-ratanya 2300 ml.
g. Kapasitas vital (KV) adalah jumlah maksimum udara yang dapat
dikeluarkan dari paru setelah inspirasi maksimum. Jumlah tersebut
dapat dihitung dari Volume tidal + Volume cadangan ekspirasi +
Volume cadangan inspirasi dengan nilai rata-rata 4600 ml.
5
h. Kapasitas paru total (KPT) adalah volume udara maksimum yang
dapat ditampung paru dengan inspirasi sekuat mungkin . Jumlah ini
dihitung dari inspirasi dan nilai rata-ratanya 5700 ml.
Volume dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20-25% lebih
kecil jika dibandingkan dengan laik-laki (Guyton, 2009).
Gambar. 5 (Guyton, 2009)
Spirometri adalah metode untuk menilai fungsi paru-paru dengan
mengukur volume udara yang pasien mampu mengusir dari paru-paru
setelah inspirasi maksimal. Ini adalah metode yang dapat diandalkan
membedakan antara gangguan saluran napas obstruktif (misalnya PPOK,
asma) dan penyakit restriktif (dimana ukuran paru-paru berkurang,
misalnya fibrotik paru-paru penyakit).
Fungsi dilakukanya spirometri yaitu :
1. Mengetahui fungsi faal paru
2. Sebagai pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis
3. Pemeriksaan sebelum pembedahan
4. Mengetahui respon terapi
5. Mengetahui progresifitas penyakit
Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan spirometri
INDIKASI KONTRAINDIKASI
Deteksi penyakit paru Hemoptosis
Riwayat penyakit paru Pneumothorak
Sakit dada atau ortopneu Status kardiovaskular tidak stabil
Kelainan dinding dada Infark miokard
6
Sianosis Emboli paru
Clubbing finger Aneurisma serebri
Penderita batuk kronik dan
produktif
Pasca bedah mata
Evaluasi perokok > 40 tahun Aneurisma toraks
Penderajatan asma akut kecemasan
Akan menjalani pembedahan
Pemeriksaan berkala untuk
progresifitas penyakit
Pasien yang akan melakukan
reseksi paru
Syarat – syarat pemeriksaan spirometri dikatakan valid,yaitu
1. Awalan pemeriksaan harus tegas
2. Pemeriksaan sampai selesai
3. Ekspirasi minimal 6 detik
4. Cepat mencapai puncak
5. Ada 3 hasil yang repodusibel
Syarat – syarat pasien sebelum pemeriksaan spirometri :
1. Tidak boleh memakai baju ketat
2. Tidak boleh terlalu kenyang
3. Tidak boleh merokok 2 jam sebelum pemeriksaan
4. Tidak boleh memakai bronchodilator 8-24 jam
E. Alat dan Bahan
1. Spirometer
2. Tisu
3. Tinta spirometri
4. Mouth piece dispossable
5. Penjepit hidung
F. Cara Kerja
Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru
a. Siapkan alat pencatatan atau spirometri.
7
b. Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi
probandus menghadap alat.
c. Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data probandus berupa nama dan
umur.
d. Hubungkan probandus dengan alat dengan cara menyuruh probandus
memasukan mounth piece ke dalam mulutnya dan tutuplah hidung
dengan penjepit hidung.
e. Intruksikan probandus untuk bernapas tenang terlebih dahulu untuk
beradaptasi dengan alat.
f. Tekan tombol start alat spirometri untuk memulai pengukuran.
g. Mulai dengan pernapasan tenang sampai timbul perintah dari alat untuk
ekspresi maksimal (tidak terputus). Bila dilakukan secara benar akan
keluar data dan kurva di layar spirometri.
h. Bila perlu tanpa melepaskan mounth piece, ulangi pengukuran dengan
inspirasi dalam dan ekspirasi yang maksimal.
i. Setelah selesai lepaskan mounth piece, periksa data dan kurva dilanjutkan
dengan mencetak hasil perekaman (tekan tombol print).
Pemeriksaan Kapasitas Vital Paksa Paru (FVC=Force Vital Capacity)
a. Siapkan alat pencatatan atau spirometri.
b. Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi
probandus menghadap alat.
c. Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data probandus berupa nama dan
umur.
d. Intruksikan probandus untuk inspirasi dalam dari luar alat.
e. Segera setelah siap, tekan tombol start dilanjutkan dengan ekspirasi
dengan kuat melalui alat.
f. Bila perlu tanpa melepaskan mounth piece, ulangi pengukuran dengan
inspirasi dalam dan ekspirasi yang maksimal.
g. Setelah selesai lepaskan mounth piece, periksa data dan kurva dilanjutkan
dengan mencetak hasil perekaman (tekan tombol print).
8
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Praktikum
Nama Probandus : Fadlil Azka
Umur : 19 tahun
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 70 kg
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan dua kurva
pemeriksaan yaitu kurva kapasitas vital paru dan kapasitas vital paksa paru.
Pada hasil pemeriksaan kapasitas vital paru didapatkan nilai kapasitas vital
sebesar 78%. Volume total 0.85, volume cadangan inspirasi 1.59, volume
cadangan ekspirasi 1.62, kapasitas inspirasi 2.44.
9
Hasil pemeriksaan kapasitas vital paksa paru didapat angka untuk
FVC 3.61 sedangkan untuk FEV1 sebesar 2.82. Sehingga FEV1/FVC=
2.82/3.61=78.1%. Pada obstructive lung disease indikasinya adalah apabila
FEV1/FVC < 75%. Semakin rendah rasionya semakin parah osbtruksinya.
Kemudian apabila restrictive lung disease indikasinya FEV1/FVC normal
atau meningkat dari standarnya adalah 75-80%.
B. Pembahasan
Hasil percobaan didapatkan bahwa kapasitas vital paru sebesar 78%
dari kapasitas total paru sehingga diperoleh angka dibawah normal (normal
untuk kapasitas vital paru adalah 4800 cc dan 80% dari kapasitas total paru).
Dan nilai kapasitas vital paksa paru sebesar 78.1% sehingga didapatkan
diagnosa restrictive lung disease. Namun data diatas merupakan data hasil
pengamatan pada praktikum yang status fungsional probandus
diperbandingkan dengan status fungsional pada populasi Eropa.
Ketidaksesuaian dalam penggunaan pembanding (pembanding tidak sesuai
karena tidak menggambarkan karakteristik populasi rata-rata yang diamati)
hal ini dapat sangat berbeda dalam beberapa faktor seperti faktor internal dan
faktor eksternal.
Faktor internal meliputi : genetik, umur, jenis kelamin, ras, tinggi
badan dan berat badan. Faktor eksternal meliputi : lingkungan (iklim,
pekerjaan) dan gaya hidup (pola hidup, olahraga). Diketahui bahwa faktor
internal maupun faktor eksternal dari populasi Eropa dan Asia sangat
berbeda, sehingga nilai standarnya pun akan berbeda, sehingga secara tidak
langsung standar dari hasil pengukuran itu kurang tepat digunakan pada
populasi Asia. Maka akan lebih baik digunakan pembanding yang sesuai.
Hasil penelitian TIM Penumobile Project Indonesia 1992 (UNAIR, UI,
Lembaga penelitian UI, field training programe WHO, Oregon university)
yang disajikan dalam bentuk tabel berikut :
FEV1(prediksi untuk warga indonesia) FEV1(Actual) Persentasi (%)
4223 ml 2030 ml 48.07
3759 ml 660 ml 17.55
10
Nilai perbandingan probandus menurun, hal ini dapat disebabkan karena :
1. Terjadi reaksi patologi pada saluran pernapasan probandus.
2. Kesalahan teknik pada saat melakukan pengukuran.
Kesalahan prosedur yang dapat mempengaruhi hasil dari grafik spirogram
adalah
1. Inadequate saat ekspirasi.
2. Saat ekspirasi terlalu cepat berhenti.
3. Awal mula ekspirasi tidak pas/terlambat mulai sehingga grafik tidak mulai
dari nol.
4. Ketika proses ekspirasi kemudian batuk.
5. Ada napas tambahan (inspirasi) saat ekspirasi
FEV1 atau Force Expiration Volume in 1 second adalah jumlah udara
yang dihembuskan paksa saat detik pertama. Individu yang sehat dapat
mengekspirasi sekitar 80% dari kapasitas vital dalam detik pertama. Pada
penyakit paru obstruktif seperti asma dan emfisema, ekspirasi biasanya
mengalami gangguan sehingga volume udara yang dihembuskan paksa pada
detik pertama berkurang. Pada individu yang mengalami restriksi jalan napas,
FEV1 cenderung normal tetapi kapasitas vital paru berkurang (Corwin, 2009).
Rasio antara FEV1 dan FVC (Forced Vital Capacity) diinterpretasikan
dalam spirometri sebagai FEV1-0%. Rasio FEV1 dengan FVC normalnya 70-
75%. Apabila menurun, orang tersebut mengalami obstruksi saluran napas
dan jika naik orang tersebut mengalami restriksi jalan napas. Hasil tersebut
bisa berubah karena berbagai faktor, yaitu:
1. Validitas alat
2. Probandus yang ragu-ragu
Walaupun nilai normal yang diperkirakan telah ditentukan untuk
berbagai populasi, nilai tersebut perlu disesuaikan secara berkala, bergantung
dari perubahan status sosioekonomi suatu negara (Jeyaratnam & Koh, 2010).
C. Aplikasi Klinis
Kelainan Restriktif
11
1. Sarkoidosis
Sarkoidosis merupakan penyakit yang relatif sering ditemukan
dengan etiologi yang tidak diketahui. Penyakit ini ditandai dengan
pembentukan granuloma nonkaseosa. Wanita lebih sering terkena
dibandingkan dengan laki-laki. Sarkoidosis dapat sepenuhnya bersifat
asimptomatik dan hanya ditemukan secara insidental pada saat
melakukan otopsi atau ditemukan dalam bentuk adenopati bilateral di
daerah hilus pada foto rontgen toraks. Penyakit ini ditandai dengan onset
insidius gangguan respirasi atau gejala konstitusional (demam, keringat
malam, penurunan berat badan), atau dengan onset agresif yang disertai
demam, eritema nodusum, serta poliartritis (Mitchell et al, 2009).
Paru-paru merupakan lokasi lesi yang paling sering ditemukan.
Granuloma yang difus dan tersebar membentuk pola retikulonoduler
pada foto rontgen. Namun, hal ini tidak tampak secara makroskopis
kecuali jika sudah terbentuk fokus tempat menyatunya granuloma. Lesi
paru cenderung sembuh sehingga hanya terlihat sisa jaringan parut yang
mengalami hialiniasi (Mitchell et al, 2009).
2. Pneumokoniosis
Istilah pneumokoniosis berhubungan dengan penyakit paru akibat
inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis digunakan dalam menyatakan
keadaan berikut :
a. Kelainan akibat pajanan debu anorganik seperti silika, asbes, dan
timah
b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batu
bara
c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas
Oleh karena penumpukan debu tersebut, terjadilah reaksi jaringan
terhadap debu tersebut. Reaksi utama pajanan debu di paru adalah
fibrosis. Pneumokoniosis dibatasi pada kelainan non-neoplasma akibat
debu tanpa memasukkan asma dan PPOK lain, meskipun kelainan
12
tersebut dapat terjadi akibat debu dalam jangka waktu lama (Susanto,
2011).
3. Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah gangguan sistem saraf perifer yang
ditandai dengan pembentukan autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin
yang terdapat di daerah motor-end plate otot rangka. Autoantibodi IgG
secara kompetitif berikatan dengan reseptor asetilkolin, mencegah
pengikatan asetilkolin ke reseptor sehingga mencegah kontraksi otot
(Corwin, 2009).
Dengan demikian, miastenia gravis akan berpengaruh pada otot
yang berfungsi dalam pengembangan dada, seperti m. intercostalis
interna dan otot diafragma, sehingga akan mempersulit proses inspirasi.
4. Sindrom Guillain Barre
Sindrom Guillain Barre adalah penyakit sistem saraf perifer yang
ditandai dengan onset mendadak paralisis atau paresis otot. Sindrom ini
terjadi akibat serangan autoimun pada mielin yang membungkus saraf
perifer. Dengan demikian, akson dapat rusak. Gejala sindrom akan hilang
saat serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi.
Namun, disabilitas tetap dapat terjadi apabila selama serangan terdapat
kerusakan badan sel. Biasanya sindrom ini pertama kali menyerang
ekstremitas bawah dan terjadi paralisis yang berkembang ke atas tubuh.
Otot pernapasan pun dapat terkena dan akan menyebabkan kolaps
pernapasan (Corwin, 2009).
Kelainan Obstruktif
1. Asma
Asma dapat didiagnosis menggunakan spirometri, alat yang dapat
mengukur dan mengidentifikasi penurunan kapasitas vital dan penurunan
laju aliran ekspirasi puncak (maksimum). Selama serangan asmatik,
volume ekspirasi maksimum dan laju maksimum ekspirasi menurun
(Corwin, 2006).
2. Bronkietaksis
13
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi
bronkus yang bersifat patologis dan dapat berlangsung kronik. Spirometri
pada kasus ringan mungkin dapat bersifat normal tetapi pada kasus berat
ada kelainan obretuksi dengan penurunan volume ekspirasi paksa 1
menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai dengan
insufisiensi pernafasan yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi, kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri,
hipoksemia, hiperkapnia (Corwin,2006).
3. PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit
yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis
dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran
udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel
dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru
terhadap gas atau partikel yang berbahaya.
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan
ditandai dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang
persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar
di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok dihentikan.
Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari
PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel,
pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin,
umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan
komorbiditas.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi
selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan
komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko
dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap pejanan
inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada
selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja
serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu
sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,
14
bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers
itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna
pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah
pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya
perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi
lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran
pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat.
Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa
ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah
terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK
yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar
46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita
penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita
penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada
penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain.
Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya
tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%,
p<0,02).Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-
debu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts) dan bahan-bahan
kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi
penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu
organic dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANESIII
didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita
PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS)sendiri
menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan
kerusakan yang bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan,
kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan
menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain
itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas
kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan
15
bermotor. Kadar sulfur dioksida(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga
dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang
semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru. Pertumbuhan dan
perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK
pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada
saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya.
Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif
antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.
16
BAB III
KESIMPULAN
1. Respirasi terdiri dari 3 proses utama, yaitu ventilasi pulmonari, respirasi
eksternal, dan respirasi internal.
2. Volume paru terdiri dari 2, volume statis yang terdiri dari volume tidal,
volume residu, volume cadangan ekspirasi, volume cadangan inspirasi, dan
kapasitas vital, dan volume dinamis yang terdiri dari FEV1 dan FVC.
3. Spirometri adalah teknik pemeriksaan untuk mengetahui fungsi paru, dengan
menggunakan spirometer dan hasil pemeriksaan dicantumkan dalam
spirogram.
4. Interpretasi dari pemeriksaan spirometri adalah normal, obstructive,
restrictive, dan mixed.
5. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan spirometri antara
lain adalah faktor probandus, yang meliputi usia, jenis kelamin, genetik, ras,
pekerjaan, riwayat penyakit pernapasan, penyakit jantung, & merokok, faktor
praktikan, dan faktor alat pengujian.
17
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2006. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta. EGC
Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : EGC
Davis D.E., Wicks J., Powell R.M., Puddicombe S.M., Holgate S.T. 2003.
Airway Remodeling in Asthma. New Insights. J Allergy Clin Imunol
;111(2).
Faller, Adolf et al. 2004. The Human Body An Introduction to structure and
Function.New York: Thieme New York
Ganong, William F. 2009. Review of Medical Physiology Ed.23. New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Division
Guyton, Arthur dan John Hall. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC
Jeyaratnam, J., David, Koh. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta:
EGC
Levitzky, Michael G. 2007. Pulmonary Physiology Seventh Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Mitchell, Richard N., Kumar, Abbas, Fausto. 2009. Buku Saku Dasar Patologis
Penyakit. Jakarta : EGC
Niluh, Asih., Effendy Christantie. 2004. Keperawatan Medikal Bedah: Klien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC
Richardson, Marion. 2003. Physiology for Practice : the Mechanisms Controlling
Respiration. NT 14 October 2003 vol 99 no41: 48-50
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Ed. 6. Jakarta:
EGC
Susanto, Agus Dwi. 2011. Pneumokoniosis. J Indonesian Med Association, Vol :
61 No : 12, Desember 2011.
18