laporan fermentasi tpp
-
Upload
nadyafirst -
Category
Documents
-
view
2.964 -
download
11
Transcript of laporan fermentasi tpp
Nama : Nadya Firstyani Mihayudhathie
NPM : 240210090059
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Pengawetan pengan sudah dilakukan sejak jaman dahulu. Salah satu teknik
pengawetan pangan yang paling tua yaitu dengan cara fermentasi. Fermentasi
menurut Louis Pasteur (Ilmuwan Perancis) yaitu proses penguraian gula menjadi
alcohol dan CO2 yang ditimbulkan oleh aktivitas mikroorganisme (khamir) dan
berlangsung tanpa suplai udara atau oksigen. Pengertian ini kemudian
disempurnakan oleh Buchner (ilmuwan dari Jerman) yang berhasil menjelaskan
bahwa fermentasi sebenarnya diakibatkan oleh sekeresi dari ragi yang ia sebut
sebagai zymase.
Persiapan atau pengawetan bahan pangan dengan proses fermentasi
tergantung pada produksi oleh mikroorganisme tertentu, untuk mengubah sifat
kimia, fisik, dan inderawi (penampakan, tekstur dan flavor) dari bahan pangan
aslinya (Buckle, 1985). Dalam aktivitasnya, mikroorganisme membutuhkan
oksigen guna mencerna glukosa menjadi air, karbondikoksida dan sejumlah besar
energy(ATP) untuk tumbuh. Karena dalam prosesnya membutuhkan oksigen,
maka proses ini disebut metabolisme tipe aerobic.
Pada zaman dahulu, metode fermentasi hanya digunakan sebagai metode
pengawetan pangan. Seiring dengan perkembangan zaman, muncul cara-cara
pengawetan pangan yang lebih unggul dari fermentasi sehingga saat ini,
fermentasi tidak hanya sebagai metode pengawetan pangan tetapi juga sebagai
cara untuk menghasilkan produk pangan dengan cita-rasa khas, atau dapat juga
dikatakan dapat ditujukan untuk penganekaragaman pangan.
Definisi modern dari fermentasi untuk saat ini adalah :
a. Proses disimilasi anaerobic senyawa-senyawa organic oleh aktivitas
mikroorganisme atau ekstrak dari sel-sel tersebut
b. Reaksi oksidasi-reduksi di dalam system biologi yang menghasilkan energy
dengan senyawa-senyawa organic berperan sebagai donor dan akseptor
electron
Tidak hanya sebagai metode pengawetan saja, fermentasi memiliki berbagai
manfaat pada makanan, yaitu :
Penganekaragaman pangan
Menginhibisi pertumbuhan mikroorganisme pathogen
Meningkatkan nilai gizi makanan
Dalam makanan fermentasi, nilai gizi dapat meningkat karena 3 alasan yaitu :
1. Mikroorganisme juga menghasilkan vitamin
2. Daya cerna makanan meningkat karena penguraian selulosa sehingga lebih
permeable terhadap air
3. Penguraian hemiselulosa yang tidak dapat dicerna oleh manusia menjadi gula-
gula sederhana
Selain memiliki kelebihan (manfaat) pada makanan, proses pengawetan
pangan dengan cara fermentasi juga memiliki kekurangan. Kekurangan yang
ditimbulkan adalah kandungan energy makanan turun akibat oksidasi menjadi
alcohol, asam organic, aldehid, keton, Co2 dan air.
Kebanyakan metode pengawetan pangan seperti pengeringan, pembekuan,
proses termal, refrigerasi, dll bertujuan untuk mengurangi jumlah populasi dan
atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada makanan. Yang terjadi pada
fermentasi justru sebaliknya. Tujuan dari pengawetan pangan dengan cara
fermentasi adalah memperbanyak populasi mikroorganisme secara selektif dan
menggiatkan metabolisme mikroorganisme tersebut.
Pengawetan pangan secara fermentasi dapat mengendalikan pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk dan menumbuhkan mikroorganisme yang berguna
secara selektif. Hai itu dapat dicapai dengan menciptakn kondisi yang cocok bagi
pertumbuhan mikroorganisme tersebut, dengan mengatur kondisi lingkungan
seperti suhu, oksigen dan pH.
Fermentasi dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara yang berbeda. Ada
yang mengkasifikasikan fermentasi berdasarkan mikroorganisme yang digunakan.
Klasifikasi lain berdasarkan komoditi yang digunakan. Di Indonesia, klasifikasi
yang lazim digunakan adalah berdasarkan sumber mikroorganisme yang
digunakan. Berdasarkan sumber mikroorganisme yang digunakan, fermentasi
pangan dibedakan menjadi fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan.
A. FERMENTASI SPONTAN
Fermentasi sayuran berlangsung secara selektif dan spontan. Dalam
fermentasi spontan perlu diperhatikan kondisi lingkungan yang memungkinkan
pertumbuhan mikroba pada bahan organik yang sesuai (Potter, 1980). Fermentasi
spontan adalah fermentasi yang terjadi tanpa penambahan mikroba dari luar
(starter), mikroba yang tumbuh terdapat secara alami pada medium (yang dalam
hal ini tentu sebagai mediumnya adalah sayuran) dan medium tersebut
dikondisikan sehingga mikroba tertentu yang melakukan fermentasinya yang
dapat tumbuh dengan baik.
Pada produk fermentasi sayuran, mikroba yang melakukan fermentasi
adalah dari jenis bakteri penghasil asam laktat seperti Leuconostoc mesentroides,
Lactobacillus plantarum, dan Lactobacillus brevis. Bakteri penghasil asam laktat
ini dapat dirangsang pertumbuhannya ecara selektif dengan cara penambahan
garam sebelum proses berlangsung. Dalam pembuatannya, sayuran direndam
dalam larutan garam berkadar 5-15% atau diberi garam secara kering sebanyak
2,5% berat sayuran. Adanya garam menjadikan air dan zat gizi seperti gula
tertarik keluar secara osmosis dari sel-sel sayuran. Gula-gula dalam cairan
tersebut merupakan makanan bagi bakteri asam laktat, yang selanjutnya diubah
menjadi asam laktat. Asam laktat inilah yang berfungsi sebagai pengawet produk
tersebut.
Pada awal fermentasi asam laktat, bakteri yang tumbuh pertama adalah
Leuconostoc mesenteroides yang akan menghambat pertumbuhan bakteri awalnya
dan meningkatkan produksi asam dan karbondioksida sehingga menurunkan pH
dan tercipta kondisi yang anaerobic. Nilai pH ini akan menghambat pertumbuhan
dari beberapa jenis mikroorganisme lainnya (Buckle, 1985). Fermentasi
dilanjutkan oleh jenis-jenis bakteri yang lebih tahan terhadap pH rendah, yaitu
Lactobacilus brevis, Pediococcus cereviceae, dan Lactobacillus plantarum
Leuconostoc mesenteroides adalah bakteri gram positif berbentuk bulat
yang terdapat secara berpasangan atau rantai pendek. Bakteri ini berperan dalam
perusakan lendir larutan gula dengan produksi pertumbuhan dekstran berlendir.
Sedangkan Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang paling tahan
terhadap asam dan pH rendah sehingga merupakan mikroba akhir yang dapat
tumbuh. Bakteri ini juga penghasil asam laktat terbanyak.
Jika pada fermentasi spontan ini kadar garam yang ada terlalu rendah,
akan menyebabkan tumbuhnya bakteri penguri protein (bakteri proteolitik),
sedangkan kadar garam yang terlalu tinggi (lebih dari 15%) menyebabkan
tumbuhnya bakteri pembusuk berjenis halofilik (menyenangi kadar garam tinggi).
Oleh karena itu, kadar garam yang terdapat dalam proses fermentasi spontan harus
dipertahankan konstan sekitar 10%. Garam menarik air dari jaringan sayuran,
sehingga menyebabkan kadar garam berubah-ubah. Cara untuk mempertahankan
agar kadar garam tetap konstan adalah dengan penambahan garam secara periodic
pada medium fermentasi.
Cara penambahan garam pada proses fermentasi spontan ada dua yaitu
dengan cara kering yaitu dengan penambahan bubuk garam pada sayuran, dan
dengan cara basah yang menggunakan larutan garam. Umumnya, kadar garam
medium dinaikkan sampai tingkat tertentu agar diperoleh produk yang baik.
Proses fermentasi spontan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti suhu
ruang dan kadar garam medium. Syarat suhu ruang agar fermentasi dapat
berlangsung dengan baik adalah sekitar 30oC. Jika suhunya lebih rendah dari itu,
akan menyebabkan produk menjadi busuk karena pertumbuhan bakteri asam
laktat menjadi lambat sehingga asam yang dihasilkan tidak cukup banyak.
Kadar garam medium merupakan salah satu factor laju fermentasi spontan.
Makin tinggi konsentrasi garam, makin lambat proses fermentasi. Laju fermentasi
pendek yang berkisar sehari, membutuhkan 5-10% larutan garam. Laju fermentasi
lambat berada pada titik konsentrasi garam sebesar 15%.
Produk hasil fermentasi spontan yang dikenal di Indonesia adalah sayur
asin dan kubis asam yang lebih dikenal dengan sauerkraut. Berikut pembahasan
mengenai Sayur asin.
1. Sayur Asin
Sayur asin adalah suatu produk yang memiliki cita rasa khas yang
dihasilkan dari fermentasi bakteri asam laktat. Dalam proses fermentasi ini, jenis
bakteri asam laktat yang dibiarkan aktif adalah Leuconostoc mesenteroides,
Lacobacillus cucumeris, L.plantarum, dan L.pentoaceticus. Pada awal fermentasi,
bakteri yang aktif dalam jumlah banyak adalah bakteri colioform seperti
Acetobacter cloacer yang menghasilkan gas dan asam yang mudahh menguap,
dan pada kondisi tersebut tumbuh juga bakteri Flavo-bacterinum rhenanus yang
membentuk cita rasa yaitu kombinasi dari asam dan alcohol pembentuk ester.
Sayur asin merupakan produk hasil fermentasi dari sawi. Umumnya, sawi
yang digunakan adalahsawi hijau/sawi pahit/jabung. Sayur asin merupakan
produk olahan dari sayuran (sawi) yang mempunyai rasa khas. Sayur asin
dihasilkan dari proses peragian dengan menggunakan air tajin sebagai bahan
untuk pertumbuhan bakteri. Penggaraman pada sawi asin dilakukan dengan cara
kering yaitu dengan penaburan garma senanyak 2-3% dari berat sawi hijau layu.
Sawi hijau yang telah ditaburi garam digilas agar cairan keluar. Tujuan dari
pengeluaran air ini adalah untuk mengeluarkan nutrisi makanan tersebut yang ada
di dalam sel. Nutrisi tersebut akan digunakan untuk nutrisi bagi mikroorganisme.
Setelah proses penggilasan, sawi diikat dengan tali raffia kemudian
domasukkan kedalam toples lalu tuangkan bubur tajin yang dibuat dari 2 sendok
makan beras dalam 5 liter air. Pemberian bubur tajin ini ditujukan untuk medium
pertumbuhan bakteri asam laktat. Jiak sawi terapung, tindih dengan plastic yang
berisi larutan garam agar sawi tidak menyembul keluar yang mengakibatkan
proses fermentasi tidak merata. Setelah sawi terendam oleh bubur tajin toples
ditutup rapat karena proses fermentasi sayur ini harus berlangsung secara an-
aerob. Apabila di dalam toples terdapat udara, akan menyebabkan pembusukan
karena bakteri pembusuk akan aktif kembali. Setelah semua selesai, toples
disimpan pada tempat yang gelap.
Selama proses fermentasi tampak tumbuh selaput keputih-putihan
Mycoderma diatas larutan garam. Selaput ini harus dibuang secara hati-hati
karena mikroorganisme tersebut menggunakan asam yang dihasilkan dalam
proses fermentasi untuk keperluannya sendiri, dan akibatnya mikroorganisme
pembusuk tumbuh. Untuk mencegahnya tong-tong fermentasi harus disimpan
dalam udara terbuka agar disinari matahari atau diberi lapisan minyak mineral
yang netral diatas larutan garam. Lapisan ini menghambat tumbuhnya ragi
pembentuk selaput tersebut, karena medium menjadi kekurangan oksigen.
Sebaiknya karena bakteri asam laktat bersifat anaerob fakultatif maka
pertumbuhannya menjadi lebih baik.
Berikut merupakan tabel hasil pengamatan sawi asin yang telah disimpan selama
beberapa hari :
Tabel 1. Hasil Pengamatan sawi asinKriteria Setelah pemberian garam Setelah 5 hariWarna Hijau tua kuningAroma Segar berbau menyengatTekstur Agak keras lembek dan halusRasa Pahit busuk
Berat sawi = 150 grBerat garam = 4,5x10−3 gram
Perubahan warna sawi dari hijau tua menjadi kuning setelah penyimpanan
selama 5 hari mungkin disebabkan karena klorofil yang ada didalam sawi terurai
sehingga menyebabkan pemucatan warna pada sawi. Bau busuk yang timbul pada
sawi dikarenakan tumbuhnya organism proteolitik dapat memecah protein dan
komponen nitrogen lainnya, sehingga menghasilkan bau busuk yang tidak
diinginkan. Sedangkan mikroba lipolotik akan menghidrolisa lemak, fosfolipid
dan turunannya dengan menghasilkan bau tengik. Teksur yang lembek dan halus
tibul karena nutrisi-nitrisi di dalam sawi sudah keluar dan digunakan oleh
mikroorganisme asam laktat untuk tumbuh.
2. Sauerkraut ( Kubis asam)
Kubis (Brassica oleracea var. capitata "alba") merupakan salah satu jenis
sayuran komersial yang memiliki sifat mudah layu, rusak dan busuk. Untuk
memperpanjang umur simpan, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
pengawetan dengan cara fermentasi. Kubis yang telah difermentasi sering disebut
sauerkraut. (SOW-uhr-kraut) juga dikenal dengan nama Zeuerkol (Bahasa
Belanda) yang berarti kubis asam.
Kubis sebelum diproses, harus sudah layu agar waktu proses pengirisan,
kubis tidak hancur. Kubis yang akan difermentasi hanya bagian daun (tidak
termasuk empulurnya) dan dopotong setipis mungkin (1-2 mm). Setelah kubis
berbentuk kecil-kecil, dilakukan penggaraman dengan cara kering yaitu dengan
penaburan garam 35gram untuk setiap kg kubis lalu diaduk hingga merata.
Pemberian garam ini mempunyai dua tujuan utama,. Yang pertama adalah
dengan penggaraman, menyebabkan keseimbangan osmotic yang menyebabkan
air dan nutrisi dari dalam daun kubis keluar. Air dan nutrisi tersebut sangat baik
untuk pertumbuhan bakteri asam laktat karena kaya akan gula dan faktor
pertumbuhan. Kedua, konsentrasi garam dapat mengahmbat pertumbuhan bakteri
patogen dan bakteri pembusuk. Penambahan terlalu banyak garam dapat
menghambat bakteri yang diinginkan sehingga menyebabkan tertundanya
fermentasi alamiah dan menyebabkan warna menjadi gelap. Umumnya garam
diberikan pada konsentrasi 2-2.5%. Sedangkan jumlah garam yang kurang akan
mengakibatkan pelunakan jaringan, dan kurangnya flavor sauerkraut.
Organisme pembusuk masih dapat tumbuh hingga konsentrasi garam
mencapai 5-7%, namun Lactobacillus menciptakan suasana asam untuk
menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Pengisian kubis ke dalam jar juga
harus padat, karena adanya oksigen akan memungkinkan pertumbuhan bakteri
pembusuk. Cara lain yang digunakan untuk mengurangi udara dalam irisan kubis
adalah dengan menutupi permukaan jar dengan lembaran plastic dan meletakkan
pemberat diatas irisan kubis.
Sebenarnya, fermentasi sauerkraut di dalam jar tidak dianjurkan karena
proses fermentasi akan menjadi kurang konsisten dan sulit untuk menjaga kubis
agar tetap berada dibawah cairan didalam jar.
Pada awal proses fermentasi, Leuconostoc mesenteroides memulai
fermentasi, kemudian dilanjutkan oleh jenis bakteri yang lebih tahan asam yaitu
Lactobacillus bevis, Lactobacillus plantarum dan Pediococcus cerevisiae. Suhu
mempeengaruhikecepatan fermentasi, perkembangan jenis-jenis mikroorganisme
yang berbeda dan mutu produk. Oleh karena itu, sauerkraut disimpan di tempat
gelap pada suhu ±25oC.
Berikut merupakan hasil pengamatan dari sauerkraut yang telah disimpan
selama 5 hari
Tabel 2. Hasil pengamatan sauerkraut
Kriteria Sebelum Setelah 2 hari Setelah 5 hari
Warna Hijau keputihan hijau muda agak
keputihan
Hijau muda kekuningan
Tekstur Gelombang, berlapis Empuk Empuk
Keasaman - Asam Asam
Rasa Hambar,sedikit
manis
Asin Asin, sedikit pedas
merica
Berat kubis layu = 700gr = 0,7 kg
Berat setelah diiris = 170gr =0,17kg
Jumlah garam yang dipakai = 5,950
Dari hari ke hari, warna sauerkraut menjadi lebih pekat yaitu dari hijau
keputihan menjadi hijau muda dan selanjutnya menjadi hijau kekuningan. Hal ini
disebabkan karena tidak tercelupnya kubis dalam larutan garam selama fermentasi
sehingga khamir dan kapang tumbuh yang pada akhirnya menimbulkan flavor
yang tidak diinginkan yang dapat masuk ke dalam seluruh sauerkraut
menghasilkan produk yang lunak dan berwarna gelap (Buckle, 1985). Rasa asam
yang timbul disebabkan karena aktifitas bakteri asam laktat yang menghasilkan
asam. Setelah sauerkraut jadi, dapat dikonsumsi langsung atau diawetkan dengan
cara pasteurisasi
Produk akhir dari fermentasi Kraut normal adalah asam laktat bersama
dengan sedikit asam asetat dan asam propionat, campuran gas karbon dioksida
yang merupakan gas utama, alkohol dalam jumlah kecil dan campuran ester
aromatik.
B. FERMENTASI TIDAK SPONTAN
Berkebalikan dengan fermentasi spontan, fermentasi tidak spontan selalu
ditambahkan mikroorganisme dari luar (starter). Dengan dilakukannya
penambahan starter pada proses fermentasi ini, maka jumlah dan aktivitas starter
sangat berpangaruh terhadap proses fermentasi dan produknya.
Komposisi starter dalam fermentasi makanan dapat berupa kapang,
khamir, bakteri, dan campuran yang terdiri kapang dan khamir atau campuran
kapang dan bakteri atau campuran kapang, bakteri, dan khamir. Ada 3
karakteristik penting yang harus dimiliki oleh mikroorganisme agar dapat menjadi
starter, yaitu :
a. Harus mampu tumbuh dengan cepat dalam substrat dan lingkungan yang cocok
serta mudah dibudidayakan dalam jumlah besar
b. Harus memiliki ketahanan fisiologis,dan menghasilkan enzim essensial dengan
mudah dan dalam jumlah besar agar terjadi perubahan kimia yang dikehendaki
c. Kondisi lingkungan yang diperlukan bagi pertumbuhan mikroorganisme dan
produksi zat metabolit yang diinginkan harus sederhana
Makanan tradisional yang dibuat dengan cara fermentasi umumnya tidak
menggunakan starter murni sehingga perlu pemurnian melelui ciran induk atau
stock culture. Cairan induk ini dibuat dengan menumbuhkan mikroorganisme
pada media yang sesuai hingga pertumbuhannya pesat. Stock culture ini
kemudian diperbanyak. Misalnya pada pembuatan tempe atau oncom digunakan
bubuk tempe atau oncom kering. Berikut merupakan pembahasan lebih lanjut
tentang produk hasil fementasi tidak spontan seperti Tempe dan Tape.
1. Tempe
Tempe adalah produk hasil fermentasi kedelai oleh kapang Rhizopus
seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh.
arrhizus. Kapang berperan dalam perombakan struktur polimer-polimer kompleks
seperti selulosa, hemiselulosa, pati dengan pertolongan enzim yang dihasilkannya.
Kandungan protein di dalam tempe berbeda dengan kandungan protein
dalam kacang kedele (sumber bahan bakunya), terutama dalam proses penyerapan
nya oleh tubuh. Hal ini terjadi karena pada tempe telah melalui proses fermentasi
(oleh jamur Rhizopus oligosporus) sehingga protein yang terkandung di dalamnya
telah mengalami proses degradasi oleh jamur hingga memudahkan penyerapan
nya di dalam tubuh. Kedelai menjadi lebih mudah dicerna sebagai hasil aktivitas
lipase dan protease dari Rhizopus
Spesies-spesies Rhizopus yang cocok untuk pembuatan tempe adalah :
•R. oligosporus:
–Aktivitas protease & lipase paling kuat
–Aktivitas amilase paling lemah
–Baik untuk tempe dari serealia atau campuran kedelai -serealia
•R. oryzae
–Aktivitas amilase paling kuat
–Tidak baik untuk tempe serealia
–Aktivitas protease di bawah R. oligospporus
–Digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Tempe dapat dibuat dengan berbagai cara seperti :
1. Cara Sederhana
Cara sederhana adalah cara pembuatan tempe yang biasa dilakukan oleh
para pengrajin tempe di Indonesia. Kedelai setelah dilakukan sortasi (untuk
memilih kedelai yang baik dan bersih) dicuci sampai bersih, kemudian direbus
yang waktu perebusannya berbeda-beda tergantung dari banyaknya kedelai dan
biasanya berkisar antara 60-90 menit.
Kedelai yang telah direbus tadi kemudian direndam semalam. Tujuan
tahap perendaman ialah untuk hidrasi biji kedelai dan membiarkan terjadinya
fermentasi asam laktat secara alami agar diperoleh keasaman yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan fungi. Setelah perendaman, kulit kedelai dikupas dan dicuci
sampai bersih. Proses pencucian akhir dilakukan untuk menghilangkan kotoran
yang mungkin dibentuk oleh bakteri asam laktat dan agar biji kedelai tidak terlalu
asam. Bakteri dan kotorannya dapat menghambat pertumbuhan fungi.
Untuk tahap selanjutnya kedelai dapat direbus atau dikukus lagi selama
45-60 menit, tetapi pada umumnya perebusan yang kedua ini jarang dilakukan
oleh para pengrajin tempe. Kedelai setelah didinginkan dan ditiriskan diberi laru
tempe(inokulasi). Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) penebaran
inokulum pada permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan dikeringkan,
lalu dicampur merata sebelum pembungkusan; atau (2) inokulum dapat
dicampurkan langsung pada saat perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu
dikeringkan. Setelah merata, kemudian dibungkus dan dilakukan pemeraman
selama 36-48 jam.
2. Cara Baru
Pada prinsipnya cara pembuatan tempe dengan cara baru sama dengan
cara yang lama atau tradisional dan perbedaannya adalah terletak pada tahap
pengupasan kulit kedelai. Dimana pada cara lama (tradisional) kedelai direbus dan
direndam bersama kulitnya atau masih utuh sedangkan pada cara yang baru
sebelumnya kedelai telah dikupas kulitnya (kupas kering) dengan menggunakan
alat pengupasan kedelai. Tahap-tahap selanjutnya sama dengan cara tradisional.
Pada praktikum ini, cara yang dilakukan adalah dengan cara tradisional.
Setelah tempe laru dan diaduk, tempe dibungkus dengan daun atau plastic tetapi
yang memungkinkan agar udara dapat masuk karena kapang tempe membutuhkan
oksigen untuk tumbuh.
Biji kedelai yang sudah dibungkus akan mengalami proses fermentasi.
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan baik fisik maupun
kimianya. Protein kedelai dengan adanya aktivitas proteolitik kapang akan
diuraikan menjadi asan-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan
mengalami peningkatan. Dengan adanya peningkatan dari nitrogen terlarut maka
pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang baik berkisar
antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih
mudah dicerna. Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein akan dipecah
oleh kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan
ternyata bau langu dari kedelai juga akan hilang.
Selama fermentasi, asam amino bebas akan mengalami peningkatan.
Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama fermentasi
kecuali vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin karena pada
prinsipnya thiamin berperan sebagai koenzim dalam reaksi-reaksi yang
menghasilkan energy dari karbohidrat dan memindahkan bentuk senyawa kaya
energy atau ATP (Winarno, 1992).
Selain itu selama proses fermentasi, asam palmitat dan asam linoleat
sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan
linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh
mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat
menetralkan efek negatif kolesterol di dalam tubuh.
Berikut merupakan tabel hasil pengamatan pembuatan tempe yang
disimpan selama 2 hari:
Tabel 3. Hasil Pengamatan Tempe
Kriteria Setelah direndam Setelah dikukus Setelah 2 hari
Warna Kuning Kuning terang Kuning
Aroma Kedelai Segar Berkurang Aroma tempe
Tekstur Keras Agak lunak Padat
Berat - 165gr -
Aroma kedelai lama-kelamaan berubah menjadi aroma tempe matang, hal
ini disebabkan karena kedelai mengalami degradasi komponen-komponen karena
fermentasi. Selain itu, dengan adanya perendaman menyebabkan pH turun.
Tekstur keselai berubah menjadi padat karena miselia kapang telah tumbuh
sehingga merekatkan biji-biji kedelai.
Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas dengan ekstrak
minyak dari tempe yang mengandung zat antioksidan. Antioksidan dalam tempe
diidentifikasikan sebagai 3-hydroxyanthranilic acid (HAA) & Isoflavone. HAA
ini bisa mengeliminasi radikal bebas dan menghambat formasi dari asam lemak
hydropeorxide, selain itu bereaksi dalam sistem oksidasi lemak. Penangkal radikal
bebas ini dapat menghambat proses penuaan. Tempe juga dapat mencegah
terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus,
kanker, dan lain-lain) karena memiliki genistein. Selain itu tempe juga
mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah
penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain.
2. TapeTape adalah produk fermentasi yang berbentuk pasta atau kompak
tergantung dari jenis bahan bakunya. Tape dibuat dengan menggunakan starter
yang berisi campuran mikroba. Produk ini mempunyai cita rasa dan aroma yang
khas, yaitu gabungan antara rasa manis, sedikit asam, dan citarasa alkohol. Tape
dapat dibuat denagn bahan dasar ketan atau singkong. Pada praktikum kali ini,
pembuatan tape dilakukan dengan bahan dasar ketan. Tape merupakan makanan
tradisional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Proses pembuatan tape melibatkan proses fermentasi yang dilakukan oleh
jamur Saccharomyces cerivisiae. Jamur ini memiliki kemampuan dalam
mengubah karbohidrat (fruktosa dan glukosa) menjadi alcohol dan
karbondioksida. Selain Saccharomyces cerivisiae, dalam proses pembuatan tape
ini terlibat pula mikrorganisme lainnya, yaitu Mucor chlamidosporus dan
Endomycopsis fibuligera. Kedua mikroorganisme ini turut membantu dalam
mengubah pati menjadi gula sederhana (glukosa). Perubahan biokimia yang
penting pada fermentasi tape adalah hidrolisis pati menajdi glukosa dan maltosa
yang akan memberikan rasa manis serta perubahan gula menjadi alcohol dan asam
organic.
Mikroba yang diduga paling berperanan dalam fermentasi tape adalah
Amylomyces rouxii, Endomycopsis burtonii dan Saccharomyces serevisiae. Selain
itu dijumpai pula bakteri asam laktat (Pediococcus) dan bakteri amilolitik
(Bacillus). Kapang A. Rouxii dapat menghidrolisis pati menjadi gula. Semua gula
yang ada adalah gula reduksi. A. rouxii juga menghasilkan alkohol sampai 0,92%
setelah 45 jam fermentasi. Penggunaan kultur campuran A. rouxii dan S. fibuliger
menghasilkan tape dengan kadar alkohol lebih tinggi tetapi kadar gulanya lebih
rendah dan tidak memiliki aroma tape yang kuat. Pada bagian lain campuran tiga
organisme yaitu A. rouxii, S. fibuliger dan H. anomala menghasilkan aroma yang
diharapkan.
Tape ketan mempunya tekstur yang baik karena kadar amilopektinnya
tinggi terutama pada jenis tape dari ketan pulen. Sedangkan cairan tape dan tape
ketan diketahui juga mengandung bakteri asam laktat sekitar satu juta per mililiter
atau gramnya. Pangan tersebut diyakini dapat memberikan efek menyehatkan.
Berikut merupakan tabel hasil pengamatan terhadap tape :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Tape
Kriteria Setalah direndam Setelah dikukus Setelah 3 hariWarna Putih Putih PutihAroma Agak lunak Lunak Berair, lunakTekstur Segar Lebih terasa AsamBerat 110gr - -
Tape menjadi berair karena aktivitas mikroba yang mengeluarkan cairan
tersebut. Sebenarnya cairan tersebut bukan air melainkan etanol yang merupakan
hasil dari fermentasi asam laktat. Adanya gula menyebabkan mikrobia yang
mengunakan sumber karbon gula mampu tumbuh dan menghasilkan alcohol. Rasa
asam timbul karena perlakuan-perlakuan (proses) yang kurang teliti seperti
penambahan ragi yang berlebihan dan penutupan yang kurang rapat pada saat
fermentasi. Selain itu, rasa asam pada tape dapat terjadi bila fermentasi
berlangsung terlalu lanjut.