laporan farmakologi daster
-
Upload
saiiarhenty -
Category
Documents
-
view
822 -
download
5
Transcript of laporan farmakologi daster
B AB I
PRNDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan berkaitan
dengan ancaman kerusakan jaringan. Nyeri dapat diakibatkan oleh berbagai
rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis (benturan, tusukan, dan
lain-lain), kimiawi (oleh zat-zat kimia), dan fisika (panas, listrik, dan lain-lain)
sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan-rangsangan
tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut dengan mediator nyeri
seperti bradikinin dan prostaglandin. Reseptor-reseptor nyeri tersebut kemudian
mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf perifer dan diteruskan ke otak melalui
sum-sum tulang belakang dan talamus.
Penggunaan obat analgetik mampu meringankan atau menghilangkan rasa \
nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak
menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan
antiradang. Oleh karena itu, obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat
antinyeri melainkan juga pada gangguan demam dan peradangan seperti rema
dan encok. Obat analgetik banyak digunakan pada nyeri kepala, gigi, otot, perut,
nyeri haid, nyeri akibat benturan atau kecelakaan.
1.2. Tujuan Praktikum
Mengenal, mempraktikkan, dan membandingkan daya analgetik asetosal,
asetaminofen, asam mefenamat, dan tramadol menggunakan metode
rangsangan kimia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri adalah
perasaan sensors dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dngan
(ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat memengaruhi nyeri,
misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi
dapat pulamenghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu
perasaa pribadi dan ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap
orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan (Tjay, 2002).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang
berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya
tentangadanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau
kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis
dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu
pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara
lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi
reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain.
Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari
sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron
dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan
otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak
besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2002).
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetik dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu:
Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
Analgetik narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada fractura dan kanker.
Sensasi nyeri, tak perduli apa penyebabnya, terdiri dari masukan isyarat
bahaya ditambah reaksi organisme ini terhadap stimulus. Sifat analgesik opiat
berhubungan dengan kesanggupannya merubah persepsi nyeri dan reaksi pasien
terhadap nyeri. Penelitian klinik dan percobaan menunjukkan bahwa analgesik
narkotika dapat meningkatkan secara efektif ambang rangsang bagi nyeri tetapi
efeknya atas komponen reaktif hanya dapat diduga dari efek subjektif pasien.
Bila ada analgesia efektif, nyeri mungkin masih terlihat atau dapat diterima oleh
pasien, tetapi nyeri yang sangat parah pun tidak lagi merupakan masukan
sensorik destruktif atau yang satu-satunya dirasakan saat itu (Katzung, 1986).
Efek utama analgesik opioid dengan afinitas untuk resetor μ terjadi pada
susunan saraf pusat; yang lebih penting meliputi analgesia, euforia, sedasi, dan
depresi pernapasan. Dengan penggunaan berulang, timbul toleransi tingkat
tinggi bagi semua efek (Katzung, 1986).
Penanganan rasa nyeri
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,
yakni:
a. Merintang penyaluran rangsangan disaraf-saraf sensoris, misalnya dengan
anesteika local.
b. Merinangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dengan
analgetika perifer.
c. Blokade pusat nyeri di ssp dengan analgetika sentral (narkotika) atau dengan
anastetika umum (Tjay, 2002).
Pada pengobatan nyeri dengan analgetika, factor-faktor psikis turut
memegang peranan seperti sudah diuraikan di atas, misalnya kesabaran individu
dan daya mencekal nyerinya. Obat-obat dibawah ini dapat digunakan sesuai jenis
nyerinya. Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer, seperti parasetamol,
asetosal, mefenaminat, propifenazon, atau aminofenazon, begitu pula rasa nyeri
dengan demam. Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein dan kodein. Nyeri
yang disertai pembengkakan atau akibat trauma sebaiknya di obati dengan suatu
analgetikum antiradang, seperti aminofenazon dan NSAID (mefenamiat,
nifluminat). Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin atau opiate lain.
Analgetika perifer
Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok,
yakni:
a. Parasetamol
b. salisilat : asetosal, salisilamida, dan benzorilat
c. penghambat prostaglandin
d. derivate-derivat antranilat : mefenamiat, asam niflumat glafenin, floktafenin.
e. Derivate-derivat pirazolinon : aminofenazon, isoprofilfenazon,
isopropilaminofenazon, dan metamizol
f. Lainnya : benzidamin (Tjay, 2002).
Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi non steroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan babarap obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Sebagian besar efek
sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin.
Prostaglandin hanya berperan pada rasa nyeri yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa prostaglandin
menyebabkan sentisisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi.
Prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi
seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang
nyata (Anonim, 2005).
Berdasarkan kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu:
1. Obat Analgetik Narkotik
Obat Analgetik Narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat
opium atau morfin. Analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa
nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker. Meskipun memperlihatkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan
untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang hebat. Meskipun terbilang
ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada
pemakai.
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifatsifat
seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetap semua analgesic opioid
menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka usaha untuk mendapatkan suatu
analgesic yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan
analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Ada 3 golongan
obat ini yaitu :
Obat yang berasal dari opium-morfin
Senyawa semisintetik morfin, dan
Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Mekanisme kerja: menduduki reseptor opioid (agonis opioid), bertindak seperti
opioid endogen. Yang termasuk opioid endongen adalah: endorfin dan
enkephalin.
Efek dari opioid:
Respiratory paralisis: hati-hati dalam penggunaan karena dapat
menyebabkan kematian karena respirasi dapat tertekan.
Menginduksi pusat muntah (emesis).
Supresi pusat batuk (antitusif): kodein
Menurunkan motilitas GI tract: sebagai obat antidiare, yaitu loperamid.
Meningkatkan efek miosis pada mata .
Menimbulkan reaksi alergi: urtikaria (jarang terjadi).
Mempengaruhi mood.
Menimbulkan ketergantungan: karena reseptor dapat berkembang.
Hal penting dari opioid:
Dapat diberikan berbagai rute obat: oral, injeksi, inhalasi, dermal.
Antagonis morfin (misalnya nalokson dan naltrekson): digunakan apabila
terjadi keracunan morfin.
Rawan penyalahgunaan, sehingga regulatory obat diatur.
Obat selain morfin:
Meperidin dan petidin: struktur berbeda dengan morfin, diperoleh dari
sintetik.
Methadon: potensi analgesik mirip dengan morfin, tetapi sedikitmenginduksi
euforia.
Fentanil: struktur mirip meperidin, efek analgesik 100x morfin, diberikan jika
memerlukan anastesi kerja cepat, dan digunakan secara parenteral.
Heroin: merupakan turunan morfin, diperoleh dari proses diasetilasi morfin,
potensi 3x morfin, bukan merupakan obat,sering terjadi penyalahgunaan.
Kodein: efek analgesik ringan, berfungsi sebagai antitusif.
Oksikodon, propoksiten.
Buprenorfin: parsial agonis, mempunyai efek seperti morfin tetapi efek
ketergantungannya kurang, sering digunakan untuk penderita kecanduan
morfin
Tramadol: analgesik sentral dan efek depresi pernapasan kurang.
2. Obat Analgetik Non-Narkotik
Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal
dengan istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-
narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak
bekerja sentral. Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik
Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa
berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek
menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik
Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda
halnya dengan penggunaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Penggunaan analgetika perifer mampu meringankan atau menghilangkan
rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak
menimbulkan ketagihan. Kombinasi dari dua atau lebih analgetika sering kali
digunakan, karena terjadi efek potensiasi (Tjay, 2002).
1. Tramadol
Tramadol merupakan analgetika yang bekerja sedang sampai kuat, yang
kekuatan kerjanya setara dengan kira-kira 1/10 sampai 1/5 dari kerja morfin.
Walaupun kerjanya paling kurang sebagian melalui reseptor opiate, senyawa ini
bekerja hampir tidak menekan pernapasan. Juga tampaknya, menurut
pengalaman sampai sekarang, bahaya ketergantungan relative rendah.
Walaupun demikian kerja analgetika (maksimum) yang dapat dicapai jelas lebih
kecil dibandingkan pada opiat klasik. Tramadol diabsorpsi sekitar 90% pada
pemberian secara oral, kerja bertahan 4-6 jam. Senyawa ini didealkilasi secara
oksidatif dan kemudian mengalami glukuronidasi dan sulfatasi. Dosis tunggal
sebesar 50-100mg secara oral atau parenteral.(Ernst Mutschler ed. V,1999)
2. Parasetamol
Sekarang yang masih mempunyai makna dari golongan ini hanya fenasetin
dan metabolit utamanya yaitu parasetamol. Mempunyai ciri khusus karena kerja
analgetika dan antiperitikanya yang baik. Walaupun demikian berbeda dengan
analgetika dan antiperitikanya yang baik. Walaupun demikian berbeda dengan
analgetika lemah lainnya, kerja antiflogistikanya sangat rendah. Diduga hal ini
disebabkan oleh tidak adanya afinitas terhadap siklooksigenase jaringan ikat.
Pada efek analgetika, selain komponen sentral ikut berperan juga. Setelah
pemberian oral , fenasetin dan parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan
sempura dari usus. Reaksi biotransformasi terpenting dari kedua senyawa ini.
Jalan biotransformasi utama adalah dealkilasi fenasetin menjadi parasetamol,
yang selanjutnya terutama mengalami glukuronidasi atau sulfatasi. Disamping itu
terjadi fenetidin akibat deasetilsi fenasetin. Setelah gugus aminonya dioksidasi
fenetedin membentuk hidroksilamina yang sesuai dan juga senyawa nitroso,
yang menimbulkan pembentukkan methemoglobin. Pada orang dewasa ini tidak
berarti karena methemoglobin segera diuraikan kembali menjadi hemoglobin
oleh enzim pereduksi. Pada terapi keracunan parasetamoltelah berhasil dengan
pemberian donor-SH yang menstimulasi pembentukkan glutation. Disamping
metionin, juga digunakan sisteamin dan N-asetil-sistein. Sebagai efek samping
paling berarti pada pemberian kronik fenasetin dapat terjadi anemia hemolitik,
yang khusus menonjol pada defisiensi glucose-6-fosfat dehidrigenase.
Selanjutnya, khusus pada pasien yang menggunakan sejumlah besar sediaa
kombinasi yang mengandung fenasetin dalam waktu yang lama, harus
diperhitungkan terjadinya kerusakan ginjal yang parah (nefritis interstisial,
nekrosis papilla, insufisiensi ginjal) serta nisbah terjadinya karsinoma pelvis renal
yang tinggi. Berdasarkan ini fenasetin telah diganti dengan parsetamol dalam
banyak sediaan. Walaupun demikian sampai sekarang tidak menjamin sempurna
bahwa pemberian parasetamol dalam waktu lama lebih kurang toksin terhadap
ginjal dibandingkan dengan fenasetin.(Ernst Mutschler ed. V,1999)
3. AsamMefenamat
Asam mefenamat merupakan obat golongan AINS yang bersifat asam
lemah, memilki berat molekul 241, 29 , dengan rumus molekul C15H15NO2
Nama lain asam mefenamat : asam N-2,3-xililantranilat, mengandung tidak
kurang 98, 0 % dan tidak lebih dari 102, 0 % C15H15NO2 , dihitung terhadap zat
yang telah dikeringkan. Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang. Asam mefenamat
merupakan golongan obat antiinflamasi, tempat aksi utama dari antiinflamasi
adalah enzim siklooksigenase ( Cox ), yang mengkatalis perubahan asam
arakhidonat menjadi prostaglandin dan ednoperoksida. Prostagladin memodulasi
komponen dari inflamasi. Prostagladin juga terlibat dalam mengontrol suhu,
transmitter nyeri, agregasi platetlet dan efek yang lainnya. Prostagladin ini tidak
dismpan di dalam sel, tetapi disintesis dan dibebaskan sesuai dengan kebutuhan
sel tubuh. Ketika mengkonsumsi asam mefenamat kerja dari enzim
siklooksigenase akan dihambat, sehingga perubahan asam arakhidonat untu
menjadi prostaglandin akan terhambat sehingga nyeri yang terjadi akan
berkurang.
4. Na-CMC
Na-CMC adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri
pangan, atau digunakan dalam bahanmakanan untuk mencegah terjadinya
retrogradasi. Pembuatan CMC adalah dengan cara mereaksikan NaOH dengan
selulosa murni, kemudian ditambahkan Na-kloro asetat (Fennema, Karen and
Lund, 1996) .
R OH + NaOH R Na + NaOH
R ONa + ClCH2COONa R O CH2COONa + NaCl
Na-CMC merupakan zat dengan warna putih atau sedikit kekuningan, tidak
berbau dan tidak berasa, berbentuk granula yang halus atau bubuk yang bersifat
higroskopis (Inchem, 2002). Menurut Tranggono dkk. (1991), CMC ini mudah
larut dalam air panas maupun air dingin. Pada pemanasan dapat terjadi
pengurangan viskositas yang bersifat dapat balik (reversible). Viskositas larutan
CMC dipengaruhi oleh pH larutan, kisaran pH Na-CMC adalah 5-11 sedangkan pH
optimum adalah 5, dan jika pH terlalu rendah (<3), Na-CMC akan mengendap
(Anonymous. 2004).
Na-CMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir Na-CMC yang
bersifat hidrofilik akan menyerap air dan terjadi pembengkakan. Air yang
sebelumnya ada di luar granula dan bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi
dengan bebas sehingga keadaan larutan lebih mantap dan terjadi peningkatan
viskositas (Fennema, Karen andLund, 1996). Hal ini akan menyebabkan partikel-
partikel terperangkap dalam sistem tersebut dan memperlambat proses
pengendapan karena adanya pengaruh gaya gravitasi. Menurut Fardiaz, dkk.
(1987), ada empat sifat fungsional yang penting dari Na-CMC yaitu untuk
pengental, stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi.
Didalam sistem emulsi hidrokoloid (Na-CMC) tidak berfungsi sebagai pengemulsi
tetapi lebih sebagai senyawa yang memberikan kestabilan. Penambahan Na-CMC
pada sari wortel berfungsi sebagai bahan pengental, dengan tujuan untuk
membentuk sistem dispersi koloid dan meningkatkan viskositas. Dengan adanya
Na-CMC ini maka partikel-partikel yang tersuspensi akan terperangkap dalam
sistem tersebut atau tetap tinggal ditempatnya dan tidak mengendap oleh
pengaruh gaya gravitasi (Potter, 1986).
Mekanisme bahan pengental dari Na-CMC mengikuti bentuk konformasi
extended atau streched Ribbon (tipe pita). Tipe tersebut terbentuk dari 1,4 –D
glukopiranosil yaitu dari rantai selulosa. Bentuk konformasi pita tersebut karena
bergabungnya ikatan geometri zig-zag monomer denga jembatan hydrogen
dengan 1,4 -Dglukopiranosil lain, sehingga menyebabkan susunannya menjadi
stabil. Na-CMC yang merupakan derivat dari selulosa memberikan kestabilan
pada produk dengan memerangkap air dengan membentuk jembatan hydrogen
dengan molekul Na-CMC yang lain (Belitz and Grosch, 1986)
5. Asam Asetat
Menurut Lay,B.W:1992, Pembentukan asam asetat melibatkan 2 perubahan
kimiawi yaitu:
1. Fermentasi alcohol dari karbohidrat
2. Oksidasi alcohol menjadi asam asetat
perbedaan asam cuka yang dihasilkan tergantung pada substrat yang
digunakan. Untuk produksi asam asetat digunakan fermentasi ragi. Konsentrasi
alcohol diatur sehingga mencapai sekitar 10-13%, baru kemudian ditambahkan
bakteri pembentuk asam asetat. Peralatan yang digunakan ditujukan agar bakteri
dapat melaksanakan proses oksidasi menjadi alcohol. Salah satu metode yaitu
metode Frigs digambarkan sebagai berikut: Campuran yang terdiri dari cairan
yang tertentu konsentrasi alkoholnya diasamkan dengan asam asetat dan zat
hara tertentu yang diperlukan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk asam
asetat. Bakteri dalam genus Acetobakter dimasukkan ke dalam “beeachwood
shavings” (gergajian kayu) campuran dimasukkan melalui suatu celah kecil
(trough) dibagian atas alat ini. Sewaktu alcohol melewati gergajian kayu ini maka
bakteri akan mengubah sebagian alcohol menjadi asam asetat. Campuran yang
terkumpul dibagian dasar dituangkan kembali ke atas gergajian kayu, sehingga
dihasilkan lebih banyak asam asetat. Proses ini merupakan proses aerobic
sehingga oksigen diperlukan untuk pembentukan asam asetat.
Bahan Bacaan : Lay,B.W.1992.Mikrobiologi. Rajawali Press: Jakarta.
6. Asetosal
Aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan dari
salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit
atau nyeri minor), antipirentik (terhadap demam), dan anti-inflamasi
(peradangan). Aspirin juga memiliki efekanti koogulan dan dapat digunakan
dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah serangan jantung.
Kepopuleran penggunaan aspirin sebagai obat dimulai pada tahun 1918 ketika
terjadi pandemik flu di berbagai wilayah dunia. (Schror K, 2009). Awal mula
penggunaan aspirin sebagai obat diprakarsai oleh hippocrates yang
menggunakan ekstrak tumbuhan willow untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Kemudian senyawa ini dikembangkan oleh perusahaan bayer menjadi
senyawa asam asetilsalisilat yang dikenal saat ini sebagai obat komersial yang
terdapat banyak dipasaran dengan nama aspirin.
Sintesis aspirin merupakan suatu proses dari esterifikasi. Esterifikasi
merupakan reaksi antara asam karboksilat dengan suatu alkohol membentuk
suatu ester. Aspirin merupakan salisilat ester yang dapat disintesis dengan
menggunakan asam asetat (memiliki gugus COOH) dan asam salisilat (memiliki
gugus OH). Asam salisilat dicampur dengan anhidrin asetat, menyebabkan reaksi
kimia yang mengubah grup alkanol asam salisilat menjadi grup asetil. Proses ini
menghasilkan aspirin dan asam asetat, yang merupakan produk sampingan.
Sejumlah kecil asam sulfat umumnya digunakan sebagai katalis (Anonim, 2010).
Aspirin berbentuk kristal berwarna putih, bersifat asam lemah (pH 3,5)
dengan titik lebur 135°C. Aspirin mudah larut dalam cairan ammonium asetat,
karbonat, sitrat atau hidroksida dari logam alkali. Aspirin stabil dalam udara
kering, tetapi terhidrolisis perlahan menjadi asetat dan asam salisilat bila kontak
dengan udara lembab. Dalam campuran basa, proses hidrolisis ini terjadi secara
cepat dan sempurna.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.ALAT
Spuit injeksi
Jarum oral ( ujung tumpul)
Beker gelas
Stop wacth
3.2.BAHAN
Paracetamol
Acetosal
Tramadol
Asam metenamat
Na.cmc
Aquadest
3.3.HEWAN UJI
Mencit betina berat 20-25
3.4. Persiapan Bahan
1. Larutan Na. CMC 1 % b/v
Timbang = 1 gr Na. CMC
Aquades 100ml
2. Larutan Uji
a. Parasetamol 0,6 % b / v dalam larutan Na. CMC
Timbang = 600 mg PCT
Larutan Na. CMC 1% 100 ml
b. Asetosal 0,5 % b/v dalam larutan Na. CMC
Timbang = 500 mg asetosal
Larutan Na. CMC 1 % 100 ml
c. Tramadol 0,05 % b/v dalam larutan Na. CMC
Timbang = 50 mg tramadol
Larutan Na. CMC 1 % 100 ml
d. Asam mefenamat 05 % dalam larutan Na. CMC
Timbang= 500 mg asam mefenamat
Larutan Na. CMC 1% 100 ml
3. Larutan penginduksi, asam asetat 1 % v/v
Timbang = asam asetat 1 ml
Aquadest ad 100 ml
3.4. Perhitungan Dosis
1. Larutan Uji
a. Paracetamol
Dosis 500 mg untuk 50 kg BB manusia :
untuk 70 kg →70kg50kg
x 500 mg = 700 mg
Konversi mencit = 700 mg x 0,0026 = 1,82 mg
Untuk mencit 20 g = 1,82mg6mg /ml = 0,303 ml
b. Asetosal
Dosis 500 mg untuk 50 kg BB manusia :
untuk 70 kg →70kg50kg
x 500 mg = 700 mg
Konversi mencit = 700 mg x 0,0026 = 1,82 mg
Untuk mencit 20 g = 1,82mg5mg /ml = 0,364 ml
c. Asam Mefenamat
Dosis 500 mg untuk 50 kg BB manusia :
untuk 70 kg →70kg50kg
x 500 mg = 700 mg
Konversi mencit = 700 mg x 0,0026 = 1,82 mg
Untuk mencit 25 g = 1,82mg5mg /ml x
25g20g
= 0,455 ml (2,275 mg)
d. Tramadol
Dosis 50 mg untuk 50 kg BB manusia :
untuk 70 kg →70kg50kg
x 500 mg = 70 mg
Konversi mencit = 70 mg x 0,0026 = 0,182 mg
Untuk mencit 25 g = 0,182mg0,5mg /ml x
25g20g
= 0,364 ml x 1,25 = 0,455 ml (2,275
mg)
2. Larutan Penginduksi
Asam Asetat 1 %
Dosis untuk mencit 262,5 mg/kg BB
Untuk 20 g → 201000
x 262,5 mg = 5,25 mg
Bj asam asetat → 1,050 g/ml
Kadar asetat → 1,050 g/100 ml = 0,01050 g/ml = 10,5 mg/ml
1. Mencit 25 g
Larutan asam asetat = 5,25mg10,5mg /ml x
25g20g
= 0,625 ml
2. Mencit 20 g
Larutan asam asetat = 5,25mg10,5mg /ml x
20g20g
= 0,5 ml
3. Larutan kontrol
Larutan Na. CMC 1 % untuk 20 g = 0,5 ml
Untuk 25 g = 25g20g
x 0,5 ml = 0,625 ml
Hasil Percobaan
Perlakuan
(Lar.Uji)
BB
Mencit
no.
mencit
(g)
Dosis
vol.
pemberi
an (ml)
Vol.
Asam
aseta
t (ml)
Jumlah geliat Total
5 10 15 20 25 30
Na. CMC 25 ; 1 0,625 0,625 8 42 38 44 24 35 191
Perhitungan % daya analgetik
Rumus :
Dimana :
P = Jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi obat analgetika
K = Jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi Na. CMC (kontrol)
1. Asam Mefenamat
% = 100 – ( (11/191) x 100 )
= 100 – 5,76
= 94,24 %
2. Paracetamol
% = 100 – ( (56/191) x 100 )
= 100 – 29,32
= 70,68 %
3. Tramadol
% = 100 – ( (5/191) x 100 )
= 100 – 2,62
= 97,38 %
4. Asetosal
% = 100 – ( (151/191) x 100 )
= 100 – 79,06
= 20,94 %
% Daya Analgetik = 100 – ( (P/K) x 100 )
Tabel % Daya Analgetika
Perlakuan (Lar. Uji) % Daya Analgetika
Asam Mefenamat 94,24 %
Paracetamol 70,68 %
Tramadol 97,38 %
Asetosal 20,94 %
BAB IV
PEMBAHASAN
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri. Tujuan dari percobaan kali ini adalah
mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan daya analgetik parasetamol,
asetosal, asam mefenamat, dan tramadol menggunakan
metode rangsang kimia. Metode rangsang kimia digunakan karena berdasarkan
atas rangsang nyeri yang berupa zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan
daya analgetika.
Mencit putih jantan lebih baik digunakan dengan alasan kondisi
biologisnya stabil bila dibandingkan dengan mencit betina yang kondisi
biologisnya dipengaruhi masa siklus estrus. Disamping keseragaman jenis
kelamin, hewan uji digunakan juga mempunyai keseragaman berat badan
(antara 20-30 gram), dan umur (3-4 bulan). Hal ini bertujuan untuk memperkecil
variabilitas biologis antar hewan uji yang digunakan, sehingga dapat memberikan
respon yang relatif lebih seragam terhadap rangsang kimia yang digunakan
dalam penelitian ini. Pengelompokan hewan uji dilakukan secara acak,
maksudnya adalah setiap anggota dari masing-masing kelompok perlakuan
memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. FKUI. Jakarta.
Katzung, G. Bertram. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting.
Elek Media Komputindo. Jakarta.
Lay,B.W.1992.Mikrobiologi. Rajawali Press: Jakarta
Mutschler, Ernst. ed. V. Dinamika Obat , ITB 1999 Press : Jakarta