Laporan farmakologi 2

58
BAB I PENDAHULUAN A. Judul Praktikum Obat Antituberkulosis dan Obat Anti Asma B. Hari dan Tanggal Praktikum Rabu, 13 Maret 2013 C. Tujuan Instruksional 1. Umum Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan obat anti asma 2. Khusus Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa mampu : a. Menjelaskam mekanisme kerja obat antituberkulosis b. Menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat antituberkulosis c. Menerapkan prinsip pengobatan tuberkulosis d. Mengetahui ESO obat antituberkulosis e. Menjelaskan mekanisme kerja obat anti asma f. Menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat anti asma g. Menerapkan prinsip pengobatan asma h. Menerapkan prinsip pengobatan status asmatikus i. Mengetahui ESO obat anti asma

description

farmako

Transcript of Laporan farmakologi 2

Page 1: Laporan farmakologi 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

Obat Antituberkulosis dan Obat Anti Asma

B. Hari dan Tanggal Praktikum

Rabu, 13 Maret 2013

C. Tujuan Instruksional

1. Umum

Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan

obat anti asma

2. Khusus

Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa mampu :

a. Menjelaskam mekanisme kerja obat antituberkulosis

b. Menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat antituberkulosis

c. Menerapkan prinsip pengobatan tuberkulosis

d. Mengetahui ESO obat antituberkulosis

e. Menjelaskan mekanisme kerja obat anti asma

f. Menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat anti asma

g. Menerapkan prinsip pengobatan asma

h. Menerapkan prinsip pengobatan status asmatikus

i. Mengetahui ESO obat anti asma

j. Membuat peresepan untuk obat antituberkulosis dan obat anti asma

D. Dasar Teori

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki sifat tahan asam dan dapat

bertahan dalam tubuh manusia selama bertahun-tahun. Penyakit ini ditularkan

melalui droplet yang berasal dari penderita penyakit tuberkulosis (Theodorus,

2008).

Page 2: Laporan farmakologi 2

Hampir sepertiga dari populasi dunia dapat terinfeksi oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, terdapat lebih kurang 9 juta

kasus baru dan 3 juta meninggal dunia. Di Indonesia sendiri, penyakit ini

merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular pada

semua umur, dan merupakan penyebab nomor 1 dari golongan infeksi

(Theodorus, 2008).

Mulai tahun 1990-an, resistensi majemuk terhadap Obat Anti

Tuberkulosis ( OAT ), atau yang biasa disebut dengan Multi Drug Resistence

( MDR ) terjadi akibat penggunaan obat yang tidak tepat, dan juga

ketidakpatuhan dari penderita. Resistensi ini terjadi paling tidak pada dua obat,

isoniazid dan rifampisin (Theodorus, 2008).

Tujuan pemberian OAT adalah untuk menyembuhkan pasien TB secara

tepat, mencegah kematian atau bahaya lanjutan, mencegah kekambuhan, dan

menurunkan transmisi tuberkulosis terhadap orang lain (Theodorus, 2008).

Asma adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan dengan adanya

hiperresponsif dari trakea dan bronki terhadap rangsangan alergen dan

bermanifestasi sebagai penyempitan saluran napas yang menyebar dan tingkat

keparahan dapat berubah secara spontan atau sebagai hasil dari terapi (Munaf,

2008).

Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1985-1986, asma

merupakan penyakit dengan morbiditas kedua setelah ISPA. Asma memiliki

fatality rate sebesar 2,5 per 100.000, dengan terapi yang tidak sempurna dan

terlambatnya memulai pengobatan dengan bronkodilator dan adrenal

kortikosteroid sebagai faktor kontribusi (Munaf, 2008).

Ada beberapa obat yang biasa digunakan untuk penyakit pada saluran

napas, antara lain antitusif, ekspektoran dan mukolitik ( Kee, 1996 ).

Antitusif digunakan untuk batuk non produktif atau batuk kering.

Antitusif dibagi menjadi dua jenis berdasarkan organ target, antitusif sentral dan

antitusif perifer. Antitusif sentral bekerja dengan cara menekan pusat batuk di

medulla oblongata. Sedangkan ekspektoran digunakan untuk batuk produktif.

Page 3: Laporan farmakologi 2

Ekspektoran bertujuan untuk menurunkan viskositas sekret bronkus dan

membantu pengeluaran sekret (Kee, 1996).

Mukolitik adalah obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas

dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida yang

terdapat pada sputum. Contoh mukolitik adalah bromheksin, asetilsistein, dan

ambroksol (Estuningtyas, 2007).

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan sangat menular.

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan

kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan

sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Penularannya sebagian besar

melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang

didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang

mengandung basil tahan asam (BTA) (Amin dan Bahar, 2009).

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis

kuman berbentuk batang dengan ukurang panjang 1-4µm dan tebal 0,3-

0,6µm. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid),

kemudian peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat

kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri

tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan fisis maupun

kimia (Amin dan Bahar, 2009).

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni di

dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang seharusnya memfagosit bakteri

tersebut kemudian menyenanginya karena mengandung banyak lipid. Sifat

lain bakteri ini adalah aerob, sehingga bakteri ini menyukai bagian apikal

paru-paru karena tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tnggi

dari bagian yang lain (Amin dan Bahar, 2009).

Page 4: Laporan farmakologi 2

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis memiliki 2 macam sifat/

aktivitas, yaitu (Amin dan Bahar, 2009):

a. Aktivitas bakterisid

Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh

(metabolismenya masih aktif). Hampir semua obat anti tuberkulosis

mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya

bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap obat.

b. Aktivitas sterilisasi

Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertubuhannya lambat

(metabolismenya kurang aktif). Rifampisin dan pirazinamid mempunyai

aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin

menempati urutan yang lebih bawah.

Obat anti tuberkulosis (OAT) digolongkan atas dua kelompok, yaitu

obat lini pertama dan obat lini kedua. Kelompok obat lini pertama yaitu

isoniazid (INH), rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid,

memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat

diterima (Istiantoro dan Setiabudy, 2009).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut (Kepmenkes, 2009):

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

b. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi

Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

c. Untuk menjamin kepatuhan pasien menlan obat, dilakukan pengawasan

langsung (Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO).

d. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan

lanjutan.

Page 5: Laporan farmakologi 2

2. Ekspektoran, Mukolitik, dan Antitusif

a. Ekspektoran

Ekspektoran adalah obat yang dapat merangsang pengeluaran

dahak dari saluran nafas. Mekanisme yang diduga berdasarkan stimulasi

mukosa lambung dan selanjutnya secara reflek merangsang sekresi

kelenjar saluran nafas lewat nervus vagus sehingga menurunkan

viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat ekspektoran

yang sering dipakai diantaranya amonium klorida dan gliseril guaikolat

(Page et al, 2006).

b. Mukolitik

Mukolitik merupakan obat yang dapat mengencerkan sekret

saluran nafas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan

mukopolisakarida. Contoh obat yang termasuk golongan mukolitik

diantaranya ambroxol, bromhexine, dan carbocystein (Page et al, 2006).

c. Antitusif

Antitusif merupakan obat yang menekan refleks batuk dengan cara

mengurangi sensitifitas reseptor batuk yaitu epitel saluran nafas atas dan

bawah, meatus auditori eksternal, membran timpani, esofagus,

perikardium, diafragma atau langsung menekan pusat batuk yaitu

medula oblongata.Obat yang mengurangi sensitifitas reseptor batuk

diantaranya adalah menthol vapor yang berfungsi melindungi mukosa

dan iritasi, anastesi lokal topikal, dan pelega. Sedangkan yang langsung

menekan pusat batuk diantaranya codein, dextromethorphan,

chlophedianol, dan levopropoxyphene (Page et al, 2006).

E. Alat dan Bahan Praktikum

1. OAT KDT Kategori 1 fase awal dan lanjutan

2. OAT KDT kategori 2 fase awal dan lanjutan

3. OAT kombipak kategori anak fase awal

4. OAT kombipak kategori anak fase lanjutan

5. Obat asma inhalasi dan tablet

Page 6: Laporan farmakologi 2

1

2

3

4

5

6

6. Obat dekongestan dan antitussive

F. Tata Urutan Kerja

1. setiap meja terdapat minimal satu asisten farmakologi

2. Praktikan dibagi menjadi beberapa kelompok dengan 1 kelompok berisi 6-7

praktikan

3. Praktikan dibagi berdasarkan stase, dari stase 1-5

4. Setiap stase praktikan di berikan waktu 15 menit

Page 7: Laporan farmakologi 2

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. STASE 1 – Peresepan

Untuk menulis sebuah Resep, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

diantaranya:

a. Nama, alamat, nomor izin paktek dari Dokter, Dokter Gigi, atau Dokter

Hewan.

b. Tanggal penulisan Resep (inscription).

c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan Resep, nama setiap obat atau

komposisi obat (Invocatio), bentuk sediaan, ukuran sediaan, dan jumlah obat

yang akan diresepkan.

d. Aturan pakai obat (signature).

e. Tanda tangan/paraf Dokter penulis Resep (Subscriptio).

f. Pro atau identitas pasien, berisi nama pasien, usia, alamat, dan berat badan

bila pasien adalah anak-anak.

Beberapa istilah pada resep yang sering digunakan adalah sebagai berikut :

a. Berhubungan dengan waktu minum obat

1. Semel : satu kali

2. Bis : dua kali

3. Ter : tiga kali

4. Quarter : empat kali

5. 1.d.d (semel de die) : satu kali sehari

6. 2.d.d (bis de die) : satu kali sehari

7. 3.d.d (ter de die) : satu kali sehari

8. p.c (post coenam) : setelah makan

9. a.c (ante coenam) : sebelum makan

10. d.c (durante coenam) : pada saat makan

11. vesp. (vespere) : malam

12. m (mane) : pagi

Page 8: Laporan farmakologi 2

13. m. et v. (mane et vespere) : pagi dan malam

14. noct. (nocte) : tengah malam

15. o.m (omne mane) : setiap pagi

16. o. n. (omne nocte) : setiap malam

17. prn (pro renata) : digunakan jika perlu

b. Berhubungan dengan tempat pemberian obat

1. In loc dol (I locus dollen) : pada tempat yang sakit

2. I.c (intra cutan) : dalam jaringan kulit

3. I. m (intra muscular) : dalam otot

4. S. c (Sub cutan) : bawah jaringan kulit

5. I.v (intra vena) : melalui pembuluh darah vena

6. Supp. Ani (suppositories ani) : melalui dubur ke rectum

7. Supp. Vag (suppositories vagina) : melalui vagina

8. U.e (usus externus) : obat luar

9. U.i (usus internus) : obat dalam

c. Berhubungan dengan bentuk sediaan obat

1. Pulv. (pulvis) : serbuk

2. Unguenta : salep

3. Cream : krim

4. Tab. : tablet

5. Caps. : kapsul

6. Capl. : kaplet

7. Sol : larutan

8. Syr. : syrup

9. Amp. : ampul

10. Flac. (flacon) : botol kecil

11. Flab. (flaboth) : botol besar

12. Gtt. (gutatae : tetes

13. Pil. (pillula) : pil

Page 9: Laporan farmakologi 2

d. Berhubungan dengan penyerahan obat epada pasien

1. Add. (adde) : tambahkan

2. Imm (im manus medicine): diserahkan pada tenaga medis

3. M.f.l.a : campur sesuai takaran

4. d.i.d : berilah setengahnya

5. dtd : berilah sekian takaran

e. Berhubungan dengan takaran obat

1. C : Sendok makan (15 ml)

2. Cth: Sendok the (5 ml)

f. Berhubungan dengan cara pemakaiannya

1. Inj. : injeksi

2. Instill. (instilla) : teteskan

dr. Novita Dewi

SIP. G1A0110000

Jl. Puteran 25 Berkoh

021577345

Purwokerto, 18 Maret 2013

R/ Bromhexin HCL syr 4mg/5ml lag 60 ml No. I

S. 2. d. d. cth 1 dc

Pro : Budi

Usia : 4 tahun

Page 10: Laporan farmakologi 2

2. STASE 2 – Jenis OAT dan regimen

a. Obat Anti Tuberkulosis kategori 1

Pada pengobatan pasien TB, kategori penyakit digolongkan menjadi

tiga kategori berdasarkan kasus dari penderita TB dan kebutuhan pengobatan

dalam program. Kasus TB kategori I merupakan suatu kasus baru TB dengan

BTA (+) yang mana kasus baru di sini bermakna bahwa pasien baru pertama

kali mengalami TB dan belum pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya atau

sudah pernah minum OAT tetapi < 1 bulan. TB kategori I ini merupakan

kasus baru pada pasien dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB

milier, perikarditis, peritonitis, pleuritif masif atau bilateral dan penderita

dengan sputum (-) tetapi kelainan parunya luas yang apabila pada gambaran

foto rontgen, terdapat infiltrat yang lebih dari spatiumintercostalis 2 (SIC 2)

(Muttaqin, 2008).

Pada pasien yang termasuk kasus baru/kategori I, maka pengobatan

yang harus diberikan adalah OAT kategori I dengan aturan sebagai berikut :

Tabel 1.Panduan OAT Kategori I (Muttaqin, 2008)

Penderita TB

Kategori I

Panduan Obat

Fase Awal (tiap hari

atau 3x seminggu)

Fase Lanjut

Kasus baru TB paru, dahak

(+)

2 RHZE (RHZS) 4HR

Kasus baru TB paru dahak (-)

dengan kerusakan parenkim

luas

2 RHZE (RHZS) 6HE

Kasus baru TB extra paru 2 RHZE (RHZS) 4 H3R3

Fase lanjutan diberikan ketika setelah pengobatan fase awal/intensif

selama 2 bulan, apabila sputum masih tetap (+). setelah fase lanjutan masih

Page 11: Laporan farmakologi 2

tetap BTA (+), maka dapat dilakukan pengobatan fase awal lagi dengan

diperpanjang 2-4 minggu (Muttaqin, 2008).

Obat anti tuberkulosis, pencantumannya menyesuaikan dengan bentuk

dan kekuatan sediaan yang digunakan dalam program Pengendalian Penyakit

Tuberkulosis Nasional. Sediaan yang berbentuk “Paduan dalam bentuk dosis

tetap atau FDC ( Fixed Dose Combination) atau “Paduan dalam bentuk

kombipak”, baik untuk dewasa maupun untuk anak.Sedangkan sediaan oral

bentuk tunggal sudah tidak dicantumkan lagi dengan pertimbangan untuk:

1. Meningkatkan kepatuhan pasien

2. Memudahkan dalam pemberian

3. Meminimalkan risiko resistensi (MDR = Multidrug Resistance)

Kecuali untuk Isoniazid tablet, masih disediakan dalam bentuk

tunggal, karena dibutuhkan untuk profilaksis TB pada anak dan HIV AIDS.

Jika dalam kondisi dimana terjadi alergi pada salah satu obat, maka dapat

digunakan sediaan kombipak, dengan mengeluarkan obat yang menyebabkan

alergi tersebut (Kemenkes, 2011).

b. Obat Anti Tuberkulosis Kategori 2

Paduan OAT kategori ini diberikan untuk pasien BTA positif yang

telah diobati sebelumnya:

1. Pasien kambuh

2. Pasien gagal

3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat

Setelah fase intensif, maka diberikan obat fase lanjutan.

Tabel 2. Panduan OAT kategori II (Kemenkes, 2009)

Page 12: Laporan farmakologi 2

Tabel

3. STASE 3 – Mekanisme kerja dan ESO OAT

a. Rifampisin

1. Mekanisme Kerja

Rifampisin terutama akan aktif pada sel yang sedang bertumbuh.

Kerjanya adalah dengan menghambat DNA-dependent RNA polymerase

dari mikobakterium dan mikroorganisme lainnya dengan cara menekan

mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA. Rifampisisn dapat

menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia namun memerlukan

kadar yang lebih tinggi dari pada kadar untuk penghambatan pada kuman

(Istiantoro et al, 2009).

2. Interaksi Obat

Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorbsi

rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin

merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga obat

OHO, kortikosteroid dan kontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya.

Mungkin akan terjadi kehamilan pada pemberian bersama kontrasepsi oral

(Istiantoro et al, 2009).

3. Efek Samping Obat

a. Yang paling sering terjadi ruam kulit, demam, mual, dan muntah

b. Pada pasien penyakit hati kronik, alkoholisme, dan lanjut usia

insidensi ikterik bertambah.

c. Beberapa keluhan yang berhubungan dengan saraf seperti rasa lelah,

mengantuk, sakit kepala, ataksia, bingung, sulit berkonsentrasi, dan

melemahnya otot juga dapat terjadi.

d. Dapat pula terjadi reaksi hipersensitifitas dan reaksi hepatologik.

(Istiantoro et al, 2009).

4. Sediaan Obat

Rifampisin terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. sealain

itu terdapat pula dalam benatuk tablet 450mg dan 600mg serta suspensi

Page 13: Laporan farmakologi 2

yang mengandung 100 mg/5 ml rifampisin. Beberapa sediaan telah

dikombinasikan dengan isoniazid (Setiabudi, 2008).

5. Dosis Obat

Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50kg ialah

450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 600 mg/hari.

Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgBB per hari dengan dosis

maksimum 600 mg/hari (Setiabudi, 2008).

6. Indikasi

Indikasi yang disebabkan E. Coli, Pseudomonas, Proteus dan

Klebsiella, serta S. Aureus, Nisseria meningitides, M. Tuberkulosis, M.

Kansasii, M. Scrofulaceum, dan M. Intracellulare (Hardjosaputra, 2008).

Rifampisisn juga di indikasikan untuk pengobatan tuberkulosis

bersama dengan antituberkulosis lainnya (Hardjosaputra, 2008).

7. Kontraindikasi

a. Hipersensitivitas terhadap rifampisin

b. Penderita dengan ikterus

(Hardjosaputra, 2008)

8. Farmakokinetik

Rifampisin memiliki kadar puncak 2-4 jam setelah pemberian secara

oral. Dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 ug/ml.

Rifampisin dalam absorbsinya sering kali dihambat oleh asam

paraaminosalisilat yang mengakibatkan tidak tercapainya kadar terapi

rifampisin dalam plasma. Jika rifampisin harus digunakan dengan asam

paraaminosalisilat, maka pemberian keduanya haruslah diberi jarak 8-12

jam. Obat ini cepat di ekskresikan melalui empedu yang kemudian

mengalami sirkulase enterohepatik. Makanan dapat pula menghambat

penyerapannya. Pada pemberian berulang, eliminasinya akan meningkat.

Masa paruh 1,5-5 jam. Obat akan berdifusi secara baik keberbagai

jaringan termasuk cairan otak. Luasnya distribusi rifampisin tercermin dari

Page 14: Laporan farmakologi 2

warna merah jingga pada urine, tinja, ludah, sputum, air mata, dan

keringat (Syarif, 2011).

b. Isoniazid

1. Mekanisme Kerja Obat

Mekanisme kerja Isoniazid belum diketahui secara pasti, tetapi ada

beberapa hipotesis yang diajukan, di antaranya efek pada lemak,

biosintesis asam nukleat, dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek

utamanya ialah menghambat biosintesis asam micolat yang merupakan

unsur penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid mencegah

perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan

bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan

asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari

mikobakterium (Istiantoro et al, 2009).

2. Efek Samping Obat

a. Reaksi hipersensitifitas dapat mengakibatkan demam dan keluhan

penyakit kulit.

b. Reaksi hepatologik dapat terjadi seperti agranulositosis, eosinofilia,

trombositopenia, dan anemia.

c. Gejala artritis dapat terjadi seperti sakit pinggang, sakit sendi, dan

atralgia.

d. Neuritis perifer, yang paling sering dan paling banyak terjadi.

e. Dapat mencetus kejang pada pasien yang memiliki riwayat kejang.

f. Dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat

terjadinya nekrosis multilobular.

g. Efek yang lain seperti mulut terasa kering, rasa tekan pada ulu hati,

methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin.

(Istiantoro et al, 2009).

3. Sediaan Obat

Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400 mg serta

sirup 10 mg/ml (Istiantoro et al, 2009).

Page 15: Laporan farmakologi 2

4. Dosis Obat

Dosis isoniazid 3-5 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300

mg/hari (Istiantoro et al, 2009).

5. Indikasi

Indikasi Isoniazid adalah untuk semua bentuk tuberkulosis dengan

kuman yang sensitif baik untuk pencegahan maupun pengobatan

(Hardjosaputra, 2008).

6. Kontraindikasi

Isoniazid dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki

hipersensitivitas berat, termasuk hepatitis akibat obat. Pasien yang telah

mengalami kerusakan hati, akan mengalami efek samping berat dengan

pemberian isoniazid seperti, demam, menggigil dan artritis

(Hardjosaputra, 2008).

7. Farmakokinetik

Isoniazid mudah diserap melalui pemberian secara oral ataupun

parenteral. Kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah

pemberian oral. Pada manusia, isoniazid akan mengalami asetilisasi dan

kecepatannya dipengaruhi faktor genetik, yang mempengaruhi kadar obat

dalam plasma dan masa paruh obatnya. Sekitar 75 – 95 % obat akan di

eksresikan melalui urine dalam 24 jam dan hampir seluruhnya dalam

bentuk metabolit, utamanya dalam bentuk Asetil Isoniazid (Syarif, 2011).

c. Pirazinamid

1. Mekanisme Kerja Obat

Mekanisme kerja obat ini belum diketahui secara pasti. Pirazinamid

dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase yang menjadi asam

pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang

bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosisdalam monosit

dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 μg/mL (Istiantoro et al,

2009).

Page 16: Laporan farmakologi 2

2. Efek Samping Obat

a. Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainann hati.

Maka dari itu tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan

fungsi hati.

b. Obat ini menghambat ekresi asam urat dan dapat menyebabkan

kambuhnya pirai.

c. Efek samping lain adalah artralgia, anoreksia, mual dan muntah,

disuria, malaise, dan demam.

(Istiantoro et al, 2009).

3. Sediaan Obat

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg

(Istiantoro et al, 2009).

4. Dosis Obat

Dosis pirazinamid adalah 20-35 mg/kgBB/hari, maksimum 3 gr

(Istiantoro et al, 2009).

5. Indikasi

Indikasi dari pirazinamid adalah untuk tuberkulosis dan

tuberkulostatik lainnya. Bersifat bakteriosidal yang hanya aktif terhadap

kuman Mikobakterium tuberkulosis yang masih membelah diri dalam sel.

Efeknya menonjol hanya dalam dua atau tiga bulan ertama pengobatan.

Khususnya sangat bermanfaat untuk meningitis tuberkulosa karena

penetrasinya sangat baik ke meningen (Hardjosaputra, 2008).

6. Kontraindikasi

Pasien dengan gangguan fungsi hati

(Hardjosaputra, 2008)

7. Farmakokinetik

Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas keseluruh tubuh.

Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 ug/ml pada 2 jam

setelah pemberian secara oral. Ekskresi pirazinamid utamanya melalui

filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian akan mengalami

Page 17: Laporan farmakologi 2

hidroksilasis menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit

utama (Syarif, 2011).

d. Etambuthol

1. Mekanisme Kerja

Etambutol efektif terhadap galur M. Tuberkulosis dan M. Kansasi.

Etambutol tidak efektif terhadap kuman lain. Etambutol akan tetap

menekan pertumbuhan dari mikobakterium tuberkulosis meskipun sudah

resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Kerja dari obat ini adalah

dengan menghambat sintesis metabolit sel. Sehingga metabolisme sel akan

terhambat dan sel akan mati. Oleh karena itu sel ini hanya efektif terhadap

sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. Resistensi terhadap

etambutol biasanya sangat lambat, namun resistensi akan timul bila

digunakan tunggal (Istiantoro et al, 2009).

2. Efek Samping Obat

a. Pada dosis harian efek sampingnya biasanya yaitu penurunan

ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.

b. Efek samping lainnya adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran

cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung,disorientasi, dan

mungkin juga halusinasi.

c. Efek samping sangat perlu diperhatikan adalah gangguan penglihatan

yang dapat timbul selama penggunaan obat.

d. Dapat menyebabkan peningkatan asam urat pada 50% pasien

(Istiantoro et al, 2009).

3. Sediaan Obat

Tablet 250 mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur

dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap (FKUI, 2007).

4. Dosis Obat

Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang

menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian

Page 18: Laporan farmakologi 2

diturunkan menjadi 15 mg/kgBB. Pengurangan dosis diperlukan pada

pasien dengan gangguan ginjal (Katzung, 2009).

5. Indikasi

Indikasi etambutol untuk pengobatan tuberkulosis ( infeksi

Mikobakterium tuberkulosis dan Mikobakterium kansasii) dalam

kombinasi dengan antituberkulosis lainnya seperti Rifampisin dan atau

Isoniazid (Hardjosaputra, 2008).

6. Kontraindikasi

a. Penderita yang diketahui menderita neuritis optikus

b. Tidak dianjurkan bagi penderita konvulsi atau epilepsi.

(Hardjosaputra, 2008)

7. Farmakokinetik

Pada pemberian secara preoral sekitar 75-80 % etambutol diserap dari

saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma akan dicapai dalam waktu 2-4

jam. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan kadar dalam plasma 5

ug/ml pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol

dalam eritrosit 1-2 kali kadar dlam plasma. Oleh karena itu, eritrosit dapat

berperan depot dari etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit

demi sedikit kedalam plasma. Dalam 24 jam, 90 % etambutol yang di

ekskresikan dalam bentuk asal melalui urine dan 10 % sebagai metabolit

berupa derivat aldehid dan asam karboksilat (Syarif, 2011).

e. Streptomisin

1. Mekanisme Kerja

Obat ini dinilai secara klinik sebagai obat antituberkulosis yang

efektif. Streptomisin memiliki sifat bakteriostatik dan bakteriosidal

terhadap kuman M. tuberculosis Obat ini bekerja secara supresi bukan

eradikasi kuman tuberkulosis (Istiantoro et al, 2009).

2. Efek Samping

a. Kadang terjadi sakit kepala atau malaise.

b. Parestesi dimuka dapat terjadi.

Page 19: Laporan farmakologi 2

c. Bersifat neurotoksin pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan dengan

dosis besar dan lama.

d. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas sangat tinggi pada kelompok usia

diatas 65 tahun.

e. Efek samping lainnya adalah reaksi anafilaktik, agranulositosis,

anemia aplastik, dan demam obat.

(Istiantoro et al, 2009).

3. Sediaan Obat

Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5

gram (Istiantoro et al, 2009).

4. Dosis Obat

Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2

sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3

kali seminggu. Dosis harus dikurangi untuk orang lansia, anak-anak, orang

dewasa yang berbadan kecil, dan pasien dengan gannguan fungsi ginjal

(Istiantoro et al, 2009).

5. Indikasi

Tuberkulosis dan infeksi lainnya yang membutuhkan streptomisin

(MIMS, 2010).

6. Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap aminoglikosida lain (MIMS, 2010).

7. Farmakokinetik

Setelah di serap melalui tempat yang di injeksikan, hampir semua

streptomisin berada dalam plasma. Streptomisin akan dieksresikan melalui

filtrasi glomerulus. Kira – kira 50-60 % dosis yang diberikan parenteral

akan diekresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama.

Sebagian besar zat ini akan dieksresikan dalam waktu 12 jam. Masa paruh

itu pada orang dewasa normal 2-3 jam. Ototoksisitas lebih sering terjadi

pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu (Syarif, 2011).

Page 20: Laporan farmakologi 2

4. STASE 4 – Obat Asma

a. Aminofilin

1. Farmakodinamik

Menghambat fosfodiesterase, menimbulkan peningkatan konsentrasi

siklik adenosin monofosfat (cAPM) dalam jaringan. Peningkatan kadar

cAMP menyebabkan : bronkodilatasi, stimulasi SSP, diuresis, sekresi

asam lambung (Deglin, 2005).

2. Farmakokinetik

Absorbsi : diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral. Absorbsi

dari bentuk dosis lepas lambat bersifat lama tetapi sempurna. Absorbsi

dari supositoria rektal tidak menentu dan tidak dapat diandalkan (Deglin,

2005).

Distribusi : didistribusi luas sebagai teofilin, dapat menembus plasma

(Deglin, 2005).

Metabolisme dan eksresi : dimetabolisme oleh hati menjadi kafein,

yang dapat terakumulasi pada neonatus. Metabolitnya dieksresikan

melalui ginjal (Deglin, 2005).

3. Sediaan

Suntikan: 1 mg/ml, 2 mg/ml, 25 mg/ml

Tablet, 100 mg, 200 mg

Tablet, pelepasan diperpanjang, 225 mg

Larutan oral, 105 mg/5ml

Larutan rektal, 60 mg/ml

Supositoria rektal, 250 mg, 500 mg

100 mg aminofilin setara dengan 78,9 mg teofilin anhidrosa

(Omoigui, 1997)

4. Dosis

Bronkospasme:

Pemuatan :

IV, 5-6 mg/kg (berikan dalam 20-30 menit) atau PO/rektal, 6mg/kg

Page 21: Laporan farmakologi 2

Pemeliharaan:

Infus IV, 0,5-1 mg/kg/jam

PO, 2-4 mg/kg setiap 6-12 jam

(Omoigui, 1997)

5. Efek samping

Kardiovaskular : palpitasi, takikardia sinus, aritmia ventrikuler

Pulmoner : takipne

SSP : kejang, sakit kepala, iritabilitas

GI : mual, muntah, nyeri epigastrik

Lain : hiperglikemia, sindrom hormon antidiuretik yang tak semestinya

(SIADH)

(Omoigui, 1997)

6. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi : bronkodilator pada obstruksi jalan napas reversibel akibat

asma atau PPOM (Deglin, Judith Hopfer. 2005).

Kontraindikasi: dikontraindikasikan pada aritmia yang tidak

terkendali, hipertiroidisme (Deglin, 2005).

Gunakan dengan hati-hati pada pasien lansia (>60 tahun), GJK, atau

penyakit hati (diperlukan pengurangan dosis), aman digunakan pada

kehamilan (Deglin, 2005).

b. Salbutamol

1. Farmakodinamik

Salbutamol merupakan sympathomimetic amine termasuk golongan

beta-adrenergic agonist yang memiliki efek secara khusus terhadap

reseptor beta(2)-adrenergic  yang terdapat didalam adenyl cyclase. Adenyl

cyclase merupakan katalis dalam proses perubahan adenosine triphosphate

(ATP) menjadi cyclic-3', 5'-adenosine monophosphate (cyclic AMP).

Mekanisme ini meningkatkan jumlah cyclic AMP yang berdampak pada

relaksasi otot polos bronkial serta menghambat pelepasan mediator

penyebab reaksi hipersensitivitas dari mast cells (Dinkestasik, 2011).

Page 22: Laporan farmakologi 2

2. Farmakokinetik

Onset : inhalasi : 5-15 menit; oral : min 30.

Durasi : Inhalasi : 3-6 jam; oral : 8 jam.

Absorbsi : Mudah diserap dari saluran pencernaan.

Metabolisme : hati dan dinding usus.

Ekskresi : diekskresi di ginjal dalam bentuk urin sebagai metabolit.

(Dinkestasik, 2011)

3. Sediaan

Sirup 2 mg/5ml, 1 mg/5ml, Easyhaler 200 mcg/dosis, 200 dosis MDI 10

ml, 0.1 mg/tiap Semprot Aerosol Inhalasi, 0.5 mg/ml Injeksi, Inhaler

Dosis 200 dan Dosis 400, 2.5 mg/2.5 ml NaCl Digunakan Dengan

Nebulizer. (5,6). Tablet 2 mg, 4 mg, dan 8 mg, Serbuk Inhalasi, Kapsul 2

mg, Kaplet 4 mg

(MIMS, 2010)

4. Dosis

a. Sediaan oral

1. Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari

2. Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari

3. Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari

4. Dewasa            : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1

kali minum sebesar 8 mg

Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif

sebesar 2 mg

b. Inhalasi aerosol

1. Anak    : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200

mcg (2 hisapan) bila perlu.

2. Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari

c. Inhalasi cair

1. Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali

sehari atau 5 kali bila perlu.

Page 23: Laporan farmakologi 2

2. Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.

d. Injeksi subkutan atau intramuscular

Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu

e. Injeksi intravena lambat

Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu

(MIMS, 2010)

5. Efek samping

Tremor ringan, palpitasi, mual, pusing,mulut kering, kram otot ,

hipokalemi.

6. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi : Salbutamol digunakan dalam kasus bronkospasme pada

pasien dengan obstruksi jalan napas reversibel : serangan ringan dan

sedang dyspnea pada pasien yang menderita asma bronkial, broncho

obstruction ringan dan sedang pada pasien dengan bronkitiskronis dan

emfisema paru (Katzung, 2001).

Kontraindikasi dari obat ini adalah untuk penderita yang hipersensitif

terhadap salbutamol maupun salah satu bahan yang terkandung di

dalamnya. Adapun efek samping yang mungkin timbul karena pamakaian

salbutamol, antara lain: gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing,

sakit kepala, kejang, insomnia); nyeri dada; mual, muntah; diare; anorexia;

mulut kering; iritasi tenggorokan; batuk; gatal; dan ruam pada kulit (skin

rush).  Untuk penderita asma yang disertai dengan penyakit lainnya

seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus, gangguan jantung termasuk

insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya pengawasan yang

lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa memperparah keadaan dan

meningkatkan resiko efek samping. Pengawasan juga perlu dilakukan

pada penderita asma yang sedang hamil dan menyusui karena salbutamol

dapat menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek samping

maka untuk wanita hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan

pertama. Penggunaan salbutamol dalam bentuk sediaan oral pada usia

Page 24: Laporan farmakologi 2

lanjut sebaiknya dihindari mengingat efek samping yang mungkin muncul

(Katzung, 2001).

c. Ipratropium Bromide

1. Jenis Obat

Ipratropium bromide adalah turunan kuartener atropine yang

bermanfaat untuk pengobatan asma bronkial dan penyakit paru obstruktif

menahun (PPOM), khususnya untuk pasien yang tidak cocok dengan

pemakaian agonis adrenergic (Staf Pengajar FK UNSRI, 2004).

2. Farmakodinamik

Ipratropium bromida adalah antikolinergik (parasympatholytic) agen

yang tampaknya menghambat vagally-dimediasi oleh refleks antagonis

aksi asetilkolin, agen pemancar dirilis di persimpangan neuromuskular di

paru-paru. Antikolinergik mencegah peningkatan konsentrasi intraselular

Ca + + yang disebabkan oleh interaksi asetilkolin dengan reseptor

muskarinik pada otot polos bronkus. Para bronkodilatasim setelah

menghirup ipratropium bromida adalah terutama lokal, sitespecific efek,

bukan yang sistemik. Studi klinis terkontrol telah menunjukkan bahwa

ipratropium bromida tidak mengubah baik mukosiliar clearance atau

volume atau viskositas sekresi pernapasan. Dalam penelitian tanpa kontrol

positif, ipratropium bromida tidak mengubah ukuran pupil, akomodasi

atau visual ketajaman Ventilasi / perfusi penelitian telah menunjukkan

tidak ada efek signifikan secara klinis pada gas paru pertukaran atau

tekanan oksigen arteri. Pada dosis yang direkomendasikan, ipratropium

bromida tidak menghasilkan perubahan yang signifikan dalam denyut nadi

atau tekanan darah (Staf Pengajar FK UNSRI, 2004).

3. Farmakokinetik

Ipraprotrium memiliki kemampuan untuk dapat menembus sawar

darah otak dan kurang baik dalam absorpsi di saluran gastrointestinal.

Ipratropium lebih baik diserap melalui inhalasi yang mungkin disebabkan

Page 25: Laporan farmakologi 2

oleh penyerapan kation organik atau carnitine transporters (OCTN) dalam

epitel saluran napas (Fryer, 2012).

4. Sediaan

Sediaan ipratropium bromide adalah dalam bentuk inhaler.

5. Dosis

Dewasa : tambahkan 0,5 mg (0,5 mL) Atrovent kedalam nebulizer

(selain untuk dosis standar albuterol) dan alirkan oksigen 6-8 L/min.

Anak : jika umur pasien < 8 tahun, berikan 0,25 mg (0,25 mL); jika

umur pasien > 8 tahun, berikan 0,5 mg (0.5 mL) Atrovent kedalam

nebulizer (selain untuk dosis standar albuterol pada anak) dan alirkan

oksigen 6-8 L/ min (Jones and Bartlett, 2010).

6. Efek samping

Efek samping yang dapat timbul dari pemakaian Ipratropium Bromide,

adalah:

a. Pada Respirasi : batuk, gejala eksaserbasi.

b. CNS : kecemasan, pusing, sakit kepala.

c. Pada Kardiovaskular : palpitasi.

d. Pada Gastro-intestinal: mual, muntah, distress GI.

e. Lainnya : tremor, mulut kering, pandangan kabur.

(Jones and Bartlett, 2010)

7. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari ipratropium bromide adalah adanya bronkospasm yang

berkaitan dengan asma dan peyakit gangguan obstruktif paru kronik,

termasuk bronchitis kronik dan emphysema yang tidak berespon terhadap

pemberian pengobatan albuterol tunggal. Sedangkan, kontraindikasi dari

ipratropium bromide adalah hipersensitif terhadap atropine atau

turunannya (Jones and Bartlett, 2010).

Page 26: Laporan farmakologi 2

d. Kromolin

1. Farmakodinamik

Farmakodinamik kromolin adalah dengan menghambat aktivitas

seluler dengan mengubah fungsi chloride channel untuk menghambat

degranulasi sel mast. Kromolin dapat menghambat respon cepat terhadap

alergen atau kerja fisik, diperkirakan bahwa obat ini menekan pembebasan

mediator dari sel mastosit. Kromolin juga mencegah respons lambat dan

hipersekresi selanjutnya, dan hal ini menunjukkan bahwa obat ini bekerja

pada sel inflamasi lain seperti makrofag atau eosinophil (Staf Pengajar FK

UNSRI, 2004).

2. Farmakokinetik

Kromolin sulit di absorpsi via oral sehingga digunakan melalui

inhalasi aerosol, nasal spray.

3. Sediaan

Sediaan obat kromolin adalah IDT 5mg/semprot.

4. Dosis

a. Dewasa : 1-2 semprot, 3-4 kali/hari.

b. Anak : 1 semprot, 3-4 kali/hari.

5. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari kromolin adalah sebagai alternative anti inflamasi.

Sedangkan, kontraindikasi adalah infiltrate eosinophil pneumonik

(inhalasi), pada kehamilan (trimester 1), dan pada anak-anak berusia

dibawah 2 bulan (kapsul) (Schmitz, 2008).

6. Efek Samping

Efek samping dari kromolin minimal serta terlokalisir. Efek samping

yang biasa terjadi adalah rekasi-reaksi hipersensitivitas. L/ainnya jarang

terjadi, seperti:

a. Neuritis perifer, vertigo, nyeri kepala, iritasi pengecapan

b. Serak, batuk darah, iritasi bronkial (inhalasi), perdarahan hidung,

ulserasi mukosa, kesulitan bernapas

Page 27: Laporan farmakologi 2

c. Mata perih, mengganjal, chemosis

(Schmitz, 2008)

d. Dexamethason

1. Jenis

Dexamethason merupakan kortikosteroid kuat dengan khasiat

immunosupresan dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati

berbagai kondisi peradangan (Samtani, 2005).

2. Farmakodinamik

Kerja utama deksametason adalah untuk menekan proses inflamasi

akut. Permulaan kerja dari deksametason memang belum ditentukan,

namun obat yang diberikan secara oral maupun IM memiliki lama kerja

yang panjang (beberapa hari). Kebanyakan glukokorticoid golongan C

untuk kehamilan. Agen-agen yang dipakai untuk mengobati insufisiensi

adrenokortikalterdiri dari glukokortikoid dan mineralokortikoid,

sedangkan obat yang dipakai untuk inflamasi atau antiinflamasi atau

imunosupresif terutama mendukung glukokortikoid (L Keke & Hayes,

1993).

3. Farmakokinetik

Farmakokinetika merupakan proses obat di dalam tubuh manusia,

yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dari

berbagai mekanisme obat di dalam tubuh manusia maka farmakokinetik

mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya

di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja,

2002).

Absorpsi Deksametason sama halnya dengan obat lain, yaitu melalui

saluran cerna yang kemudian mengalami metabolisme dihati menjadi

bentuk inaktif, Menurut Widodo 1993, ikatan protein plasma

deksametason yaitu 70% (pada dosis yang lebih tinggi lebih kecil), terikat

pada transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan pada albumin

(afinitas rendah, kapasitas besar)Informasi tentang kecepatan dan tingkat

Page 28: Laporan farmakologi 2

absorpsi obat jarang mempunyai kepentingan klinis. Namun, absorpsi

biasanya terjadi selama dua jam pertama setelah dosis obat dan bervariasi

menurut asupan makanan, posisi tubuh dan aktivitas. Oleh karena itu tidak

boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap (kira-kira 2 jam setelah

dosis oral) (Tjay dan Rahardja, 2002).

Pada distribusinya khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah

melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke

seluruh jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang

mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya didalam sel

(cairan intrasel), yaitu organ atau jaringan yang sakit. Obat yang

digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam

darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru,

dan jaringan lainnnya). Di dalam liver terdapat enzim khusus yaitu

sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya.

Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan

cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain.

Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma

dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang

bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Tjay

dan Rahardja, 2002).

Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic

Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi Fase II). Reaksi

fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi.

Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak

dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut.

Reaksi fase II berupa konjugasi (glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu

penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolit umumnya

lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Tjay dan Rahardja, 2002).

Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim

yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau

Page 29: Laporan farmakologi 2

obat lain yang dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat

menyebabkan toleransi. Selain itu, inhibisi enzim yang merupakan

kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat diperlambat,

menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi

lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh

terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh

sistem enzim yang sama. Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap

metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang

mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang

sama.Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh, terutama dilakukan

oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat di

ekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli

yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain, yaitu melalui kulit bersama

keringat, paru-paru melalui pernapasan, melalui hati dengan empedu (Tjay

dan Rahardja, 2002).

Deksametason dapat diberikan secara oral, intramuscular (IM),

intravena (IV), topical,intranasal, dan salep atau tetes mata. Bentuk oral

dan IM diabsorpsi dengan baik oleh mukosa saluran gastrointestinal dan

otot. Kemudian masuk dalam sirkulasi tubuh.presentase yang terikat

dalam protein tidak diketahui, dengan waktu paruh 2-5 jam.

Deksametason yang telah di absorpsi kemudian dimetabolisme oleh hepar

dan sebagian kecil diekskresikan di ginjal melalui urin (L Keke & Hayes,

1993).

4. Sediaan

Sediaan deksameason bias dapat berupa obar per oral dan inhalasi (L

Keke & Hayes, 1993).

5. Dosis

Pada dewasa, dosis dextamethason tablet 0,5 mg atau 0,75 mg, 2-4

kali sehari, tergantung pada parahnya penyakit. Sedangkan pada anak-

anak setara dengan 0,006 mg – 0,040 mg deksametason fosfat per kg

Page 30: Laporan farmakologi 2

bobot badan atau 0,235 mg – 1,250 mg deksametason fosfat per m2 luas

badan, 1-2 kali sehari (L Keke & Hayes, 1993).

6. Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai pada pemakaian glukokortikoid

untuk jangka lama adalah berupa: tukak lambung, osteoporosis,

kelemahan otot, moon face,mual atau muntah, glaukoma, retensi natrium

dan cairan, kelainan SSP, reaksi hipersensitif pada kulit. Dapat juga

terjadinya ekimosis, sakit kepala, takikardi (L Keke & Hayes, 1993).

7. Indikasi

Rematik artritis, shock, asma bronkhial, dermatitis dan urtikaria, serta

gejala alergik lainny (L Keke & Hayes, 1993)

8. Kontraindikasi

Penderita tukak lambung, infeksi berat, psikosis, pemakaian steroid

kronik, infeksi jamur sistemik, osteoporosis, diabetes melitus, infeksi

jamur sistemik,herpes simpleks pada mata (L Keke & Hayes, 1993).

Page 31: Laporan farmakologi 2

5. STASE 5 – Antitussif Dekongestan

a. Obat Antitussif

1. Dextrometorfan

Zat ini meningkatkan ambang rangsang refleks batuk secara sentral

dengan kekuatan hampir sama dengan codein tetapi bertahan lebih lama.

Zat ini jarang menimbulkan kantuk dan gangguan saluran cerna. Dalam

dosis terap, obat ini tidak mengganggu aktivitas silia bronkus. Dan efek

antitussifnya bertahan selama 5-6 jam. Obat ini memiliki toksisitas yang

rendah. Dalam dosis sangat tinggi bisa menyebabkan depresi pernafasan.

Pada penyalahgunaan dengan dosis tinggi dapat terjadi efek stimulasi SSP

dengan menimbulkan semacam euforia, sehingga kadang digunakan oleh

ecandu drugs (Dewoto, 2007).

Resorpsi diusus sangat cepat dan mengalami FPE luas, sehingga

terbentuk glukoronida aktif dari dextorfan. Waktu paruh di plasma

bervariasi secara individu dari 2 – 4 jam sampai 45 jam (Kirana, 2010).

Obat ini menimbulkan efek samping yang ringan terbatas pada

mengantuk, termangu-mangu, pusing, nyeri kepala, dan gangguan

lambung-usus. Efek itupun sangat jarang timbul dalam penggunaannya

(Dewoto, 2007).

Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sebagai sirup dengan

kadar 10 mg dan 15 mg/5 ml. Dosis dewasa 10 – 30 mg diberikan 3-4 kali

sehari (Dewoto, 2007).

2. Noskapin

Efek meredakan batuknya tidak sekuat codein, tetapi tidak

mengakibatkan depresi pernafasan dan obtipasi, sedang efek sedatifnya

dapat diabaikan. Risiko adiksinya sangat ringan sehingga banyak

digunakan dalam banyak sediaan obat batuk populer (Kirana, 2010).

Noskapin tidak bersifat analgetis dan merupakan pembebas histamin

yang kuat sehingga dosis besar dapat menyebabkan efek bronkokonstriksi

dan hipotensi sementara. Noskapin menghambat kontraksi otot jantung

Page 32: Laporan farmakologi 2

dan otot polos, tapi efek ini tidak timbul pada dosis antitusif. Dosis toksik

dapat menimbulkan konvulsi pada hewan coba (Dewoto, 2007).

Efek sampingnya jarang terjadi, berupa nyeri kepala, reaksi kulit dan

perasaan lelah letih tidak bersemangat (Kirana, 2010).

Dosis oral 3-4 kali sehari 15-50 mg maksimal 250 mg sehari. Dosis

tunggal 60 mg pernah digunakan untuk batuk paroksismal (Dewoto,

2007).

b. Obat Dekongestan

Dekongestan adalah anti kongesti (sumbatan) golongan

simpatomimetik dan beraksi pada reseptor adrenergik pada mukoa hidung

sehingga menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang

membengkak dan memperbaiki pernafasan. Penggunaan dekongestan dibagai

atas 2 yaitu (Suhatri, 2011):

1. Dekongestan topikal

Dekongestan topikal bekerja pada reseptor α pada permukaan otot

polos pembuluh darah sehingga menyebabkan vasokonstriksi dan

akhirnya mengurangi oedema mukosa hidung. Dekongestan topikal dinilai

efektif, namun hendaknya dibatasi maksimum 7 hari karena

kemampuannya untuk menimbulkan kongesti berulang (Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Digunakan untuk rhinitis akut yang merupakan radang untuk selaput

lendir hidung . Bentuk sedian untuk dekongestan topikal berupa inhaler,

balsem,tetes hidung atau semprot hidung. Contoh obat dekongestan

topikal adalah oxymetazolin dan tetrahidozolin (Suhatri, 2011).

2. Dekongestan sistemik

Dekongestan sistemik diberikan secara oral,meskipun efeknya tidak

secepat topikal namun kelebihannya tidak mengiritasi hidung. Sediaan

obat ini jarang dalam sediaan tunggal, kebanyakan sudah dikombinasikan

dengan kandungan obat lain (Suhatri,2011). Dekongestan oral bekerja

Page 33: Laporan farmakologi 2

dengan cara meningkatkan pelepasan noradrenalin dari ujung neuron.

Preparat ini mempunyai efek samping sistemik berupa takikardia,

palpitasi, gelisah, tremor, insomnia, serta hipertensi pada pasien yang

memiliki faktor predisposisi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik, 2005). Contoh obat dekongestan sistemik antara lain Fenil

propanolamin, Fenilefrin, Pseudoefedrin, efedrin.

Berdasarkan cara kerjanya dekongestan dibagi atas 3 golongan yaitu:

a. Antihistamin

Antihistamin menghambat reseptor dari mediator inflamasi.

Bekerja secara kompetitif reversible terhadap reseptor histamin 1.

Memiliki kesamaan struktur dengan obat yang memiliki efek

kolinoreseptor, adrenoreseptor alfa dan serotonin. Obat ini mudah

diabsorbsi dengan pemberian oral dan mencapai kadar puncak dalam

1-2 jam. Distribusinya baik sehingga bisa melewati sawar darah otak

namun tidak untuk generasi baru. Metabolisme antihistmain terjadi di

hepar (Suhatri, 2011).

Antihistamin dibagi atas 3 generasi yaitu generasi baru dan lama.

Antihistamin generasi lama diperkenalkan ke publik lebih dari 50

tahun yanglalu, dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini

sudah diperkenalkan antihistamin generasi ketiga. Klasifikasi

antihistamin tersebut dibuat berdasarkan selektivitas reseptor H1 vs

reseptor muskarinik, dan efek sampingnya terutama padasistem saraf

pusat. Durasi kerja obat antagonis kompetitif seperti antihistamin

dipengaruhi oleh (Triandriyani, 2007) :

1. Konsentrasi obat dalam plasma

2. Waktu paruh

3. Afinitas reseptor

4. Lama disosiasi obat di reseptor

Page 34: Laporan farmakologi 2

Antihistamin generasi lama dapat melewati sawar darah

otak,sehingga bersifat sedatif. Chlorpenamin, Nrompheramine dan

diphendyramin termasuk dalam gnerasi ini (Suhatri, 2011).

Generasi baru golongan ke II memiliki efek sedasi lebih kecil

daripada generasi lama. Sedangkan generasi baru gologan III memiliki

efek sedasi yang minimal dan bekerja 16x lebih efektif. Cetrizzine dan

terfenadine termasuk dalam generasi baru.

b. Vasokonstriktor

Vasokontriktor bekerja pada a1 adrenoreceptor sehingga edema

berkurang, meningkatkan drainase hidung serta sinus paranasal. Efek

samping yang dapat timbul hipertensi, hidung kering, rebound

kongestion. Obat yang sering digunakan antara lain ephedrin(short

acting, naphazolin (intermediete-acting), oxymetazolin (long acting),

xylometazolin (long acting) dan phenylephrine (short intermediete

acting) (Dewoto, 2009).

c. Antiinflamasi

Bekerja dengan menghambat lekosit dan makrofag sehingga

respon terhadap antigen berkurang. Juga menekan sintesis

prostaglandin dan leukotrin yang diaktivasi oleh fosfolipase A2 dan

mengurangi sekresi enxim siklooksigenase 2(berperan dalam sintesis

prostaglandin) (Dewoto, 2009).

Efek samping serius yang dapat ditimbulkan dari obat ini antara

lain menekan sistim imun secara berlebihan, eksaserbasi infeksi dan

menekan aksis adrenocortical. Kortikoseroid yang digunakan pada

sistim respirasi biasanya triamicinolone, beclomethason dipropionate,

budesonide dan fluticasone propionate (Dewoto, 2009).

Page 35: Laporan farmakologi 2

BAB III

KESIMPULAN

1. Obat antituberkulosis (OAT) digolongkan menjadi kategori 1, 2, dan 3

2. Obat antituberkulosis (OAT) tiap katagorinya dibagi menjadi fase intensif dan

fase lanjutan

3. Obat antituberkulosis terdapat dalam bentuk FDC (Fixed Dose Combination) dan

kombipack

4. Obat anti asma berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi Controller dan

Reliever.

5. Macam obat anti asma antara lain Simpatomimetika, Derivat Xanthine,

Kortikosteroid, Antikolinergik, dan Biskromones

Page 36: Laporan farmakologi 2

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V:

Tuberkulosis Paru. Jakarta: Interna Publishing.

Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dewoto, Hedi R. 2007. Analgesik Opioid dan Antagonis dalam Farmakologi dan

Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

Estuningtyas A, Arif A. 2007. Obat Lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,

Nafrialdi, Elysabeth ( eds ). Farmakologi dan Terapi: Edisi 5. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan

Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Hardjosaputra S. L. P., Listyawati P., Tresni K., Loecke K., Indriyantoro, dkk. 2008.

Daftar Obat Indonesia Ed.11 .Jakarta: Muliapurna Jayapenerbit.

Istiantoro, Yati H dan Rianto Setiabudy. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi V:

Tuberkulostatik dan Leprostatik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Katzung, Bertram G. 2009. Pharmacology Examination and Board Review 9th

edition. San Fransisco: McGraw-Hill.

Katzung, B.G. 2001. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi I. Salemba Medika. Jakarta:

EGC.

Kee JL, Hayes ER. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.

Diterjemahkan oleh: Anugerah, Peter. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor2500/Menkes/SK/XII/2011 Tentang Dafar Obat Esensial Nasional

2011.

Page 37: Laporan farmakologi 2

Kemenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis

(TB).

L Keke, J., & Hayes, E. R. 1993. Pendekatan Proses Keperawatan . Jakarta: EGC.

Munaf, Sjamsuir. 2008. Bronkodilator dan Obat-obat Asma. Dalam: Staf Pengajar

Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNAIR. Kumpulan Kuliah

Farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan

GangguanSistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika. hal : 81.

Omoigui, sota. 1997. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Jakarta: EGC.

Page C, Curtis M, Walker M, Hoffman B. 2006. Integrated Pharmacology, 3rd

edition. Philadelphia: Elsevier.

Rahardja, Kirana., Tjay, TH. 2010. Obat-Obat Penting Edisi ke 6. Jakarta: PT elex

Media Komputindo Kelompok Kompas – Gramedia

Setiabudi, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI

Syarif. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI

Theodorus. 2008. Obat Tuberkulosis dan Obat Lepra. Dalam: Staf Pengajar

Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNAIR. Kumpulan Kuliah

Farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tjay, T. H., Rahardja, K. 2000. Obat-obat Penting. Edisi kelima. Jakarta: PT. Elex

Media Komputindo.