LAPORAN EVIDENCED.docx

61
LAPORAN EVIDENCED-BASED PRACTICE KEPERAWATAN JIWA PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP SKIZOFRENIA DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG SAMBA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA Disusun oleh: HENZON ALDRI M. ROS MISTYCA H. P DITI ASTRIANI SUWANDI CUT MUTYA BUNSAL AGUSTINA EUFRANSIA BARA SAFITRI ANDRIANI VIVEN CORNISEN PROGAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2014/2015

Transcript of LAPORAN EVIDENCED.docx

LAPORAN EVIDENCED-BASED PRACTICE KEPERAWATAN JIWA

PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP SKIZOFRENIA

DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI

DI RUANG SAMBA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

Disusun oleh:

HENZON ALDRI

M. ROS MISTYCA H. P

DITI ASTRIANI SUWANDI

CUT MUTYA BUNSAL

AGUSTINA EUFRANSIA BARA

SAFITRI ANDRIANI

VIVEN CORNISEN

PROGAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2014/2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang

menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan

penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran

sosial (Keliat, Akemat, Helena & Nurhaeni, 2012). Gangguan jiwa

diklasifikasikan dalam bentuk penggolongan diagnosis. Penggolongan

diagnosis gangguan jiwa di Indonesia menggunakan Pedoman

Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ). Salah satu diagnosis

gangguan jiwa yang sering dijumpai adalah Skizofrenia (Keliat, Wiyono,

& Susanti, 2011).

Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang

mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berpikir dan

berkomunikasi, menerima, menginterprestasikan realitas, merasakan dan

menunjukan emosi, serta berperilaku dengan sikap yang dapat diterima

secara sosial (Williams & Wilkins, 2005). Skizofrenia merupakan penyakit

atau gangguan jiwa kronis yang dialami oleh 1% penduduk. Pasien yang

dirawat dengan gangguan skizofrenia di rumah sakit jiwa sekitar 80% dari

total keseluruhan pasien. (Keliat, Wiyono, & Susanti, 2011).

Keliat, Wiyono dan Susanti (2011) menyatakan penderita

skizofrenia akan mengalami gejala gangguan realitas seperti waham dan

halusinasi. Halusinasi adalah perasaan tanpa adanya suatu rangsangan

(objek) yang jelas dari luar diri klien terhadap panca indera pada saat klien

dalam keadaan sadar atau bangun (Azizah, 2011). Halusinasi terbagi

dalam 5 jenis, yaitu halusinasi penglihatan, halusinasi penghidu, halusinasi

pengecapan, halusinasi perabaan, dan halusinasi pendengaran (Keliat,

Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2012). Halusinasi pendengaran adalah

halusinasi yang paling sering dialami oleh penderita gangguan mental,

misalnya mendengar suara melengking, mendesir, bising, dan dalam

bentuk kata-kata atau kalimat. Individu merasa suara itu tertuju padanya,

sehingga penderita sering terlihat bertengkar atau berbicara dengan suara

yang didengarnya (Baihaqi, Sunardi, Riksma, & Euis, 2005).

Gangguan halusinasi dapat diatasi dengan terapi farmakologi dan

nonfarmakologi (Keliat, Wiyono, & Susanti, 2011). Terapi

nonfarmakologi lebih aman digunakan karena tidak menimbulkan efek

samping seperti obat-obatan, karena terapi nonfarmakologi menggunakan

proses fisiologis (Zikria, 2012). Salah satu terapi nonfarmakologi yang

efektif adalah mendengarkan musik. Musik memiliki kekuatan untuk

mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran seseorang.

Ketika musik diterapkan menjadi sebuah terapi, musik dapat

meningkatkan, memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental,

emosional, sosial dan spritual (Aldridge, 2008).

Pada zaman modern, terapi musik banyak digunakan oleh psikolog

maupun psikiater untuk mengatasi berbagai macam gangguan kejiwaan,

gangguan mental atau gangguan psikologis (Aldridge, 2008). Terapi musik

sangat mudah diterima organ pendengaran dan kemudian melalui saraf

pendengaran disalurkan ke bagian otak yang memproses emosi yaitu

sistem limbik (Aldridge, 2008). Menurut Williams dan Wilkins (2005)

pada sistem limbik di dalam otak terdapat neurotransmitter yang mengatur

mengenai stres, ansietas, dan beberapa gangguan terkait ansietas.

Penelitian O’Sullivan (1991, dalam Rusdi & Isnawati, 2009) menemukan

bahwa musik dapat mempengaruhi imajinasi, intelegensi, dan memori,

serta dapat mempengaruhi hipofisis di otak untuk melepaskan endorfin.

Musik dibagi atas 2 jenis yaitu musik “acid” (asam) dan “alkaline” (basa).

Musik yang menghasilkan acid adalah musik hard rock dan rapp yang

membuat seseorang menjadi marah, bingung, mudah terkejut dan tidak

fokus. Musik yang menghasilkan alkaline adalah musik klasik yang

lembut, musik instrumental, musik meditatif dan musik yang dapat

membuat rileks dan tenang seperti musik klasik (Mucci & Mucci, 2002).

Musik klasik (Haydn dan Mozart) mampu memperbaiki konsentrasi,

ingatan dan presepsi spasial. Pada gelombang otak, gelombang alfa

mencirikan perasaan ketenangan dan kesadaran yang gelombangnya mulai

8 hingga 13 hertz. Semakin lambat gelombang otak, semakin santai, puas,

dan damailah perasaan kita, jika seseorang melamun atau merasa dirinya

berada dalam suasana hati yang emosional atau tidak terfokus, musik

klasik dapat membantu memperkuat kesadaran dan meningkatkan

organisasi metal seseorang jika didengarkan selama sepuluh hingga lima

belas menit (Campbell, 2001).

Gold, Heldal, Dahle, dan Wigram (2005) melakukan penelitian

mengenai efektifitas terapi musik sebagai terapi tambahan pada pasien

skizofrenia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi musik yang

diberikan sebagai terapi tambahan pada perawatan standar dapat

membantu meningkatkan kondisi mental pasien skizofrenia. Penelitian lain

juga telah dilakukan oleh Ulrich, Houtmans, dan Gold (2007) yaitu

menggunakan terapi musik untuk kelompok pasien skizofrenia, didapatkan

hasil bahwa terapi musik dapat mengurangi gejala negatif dan

meningkatkan kontak interpersonal serta meningkatkan kemampuan

pasien untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial di masyarakat. Terapi

musik juga efektif dalam menurunkan tingkat depresi pada pasien isolasi

sosial.

Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup

dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 %; konsisten

dengan angka tersebut, penelitian Epidemological Catchment Area (ECA)

yang disponsori oleh National Institue of Mental Helath (NIHM)

melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3 %.2 Skizofrenia adalah

sama-sama prevalensinya antara laki-laki dan wanita. Tetapi, dua jenis

kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan perjalanan

penyakit. Laki-laki mempunyai onset lebih awal daripada wanita. Usia

puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun; untuk wanita usia

puncak adalah 25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10

tahun atau sesudah 50 tahun adalah sangat jarang.

Penelitian yang dilakukan oleh Ayu, Arief dan Ulfa (2012) dengan

judul efektifitas terapi musik terhadap tingkat depresi pasien isolasi sosial

di Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondhohutomo Semarang, didapatkan

hasil bahwa terapi musik efektif terhadap penurunan tingkat depresi pasien

isolasi sosial. Hal ini berarti terapi musik dapat membantu meningkatkan

kesehatan mental pada pasien isolasi sosial. Rumah Sakit Jiwa (RSJ)

Tampan Provinsi Riau merupakan satu-satunya rumah sakit jiwa di

Provinsi Riau yang memiliki 3 jenis ruang rawat inap. Ruang rawat inap

pertama adalah Ruang Intensif, yaitu Ruang UPIP (Unit Perawatan

Intensif Psikiatri). Ruang rawat inap kedua adalah Ruang Intermediat,

yaitu Ruang Kuantan, Siak dan Indragiri. Ruang rawat inap yang ketiga

adalah Ruang Tenang yang terdiri dari Ruang Pra Mandiri dan Ruang

Mandiri, yaitu Ruang Sebayang dan Ruang Kampar. Berdasarkan data

rekam medik RSJ Tampan pada tahun 2012, jumlah pasien yang dirawat

inap sebanyak 4.598. Masalah keperawatan jiwa pada urutan pertama

adalah gangguan persepsi sensori: halusinasi (2.479 pasien). Urutan kedua

adalah resiko perilaku kekerasan (1.218 pasien), kemudian diikuti dengan

defisit perawatan diri (335 pasien), isolasi sosial (267 pasien), harga diri

rendah kronik (183 pasien), waham (94 pasien), serta resiko bunuh diri (22

pasien) (RSJ Tampan, 2012).

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh terapi musik klasik terhadap skizofrenia

paranoid dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui halusinasi pasien sebelum diberikan terapi

musik klasik

b. Untuk mengetahui pengaruh terapi musik klasik yang diberikan

pada kelompok intervensi

c. Untuk mengetahui perbedaan halusinasi pasien setelah diberikan

terapi musik klasik pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol

BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Terapi Musik

1. Definisi Musik

Ada beberapa definisi dan pendapat mengenai musik menurut

beberapa filsuf, penulis, musikolog maupun penyair, diantaranya

adalah sebagai berikut :

a. Schopenhauer, seorang filsuf dari jerman pada abad ke-19, yang

mengatakan bahwa musik adalah melodi yang syairnya adalah alam

semesta.

b. David Ewen, mendefinisikan musik sebagai ilmu pengetahuan dan

seni tentang kombinasi titik dari nada-nada, baik vocal maupun

instrumental. Musik meliputi melodi dan harmoni sebagai ekspresi

dari segala sesuatu yang ingin diungkapkan terutama aspek

emosional.

c. Suhastjarja, seorang dosen senior Fakultas Kesenian Institut Seni

Indonesia Yogyakarta, mengemukakan pendapatnya mengenai

musik adalah ungkapan rasa indah manusia dalam bentuk konsep

pemikiran yang bulat, dalam wujud nada-nada atau bunyi lainnya

yang mengandung ritme dan harmoni serta mempunyai suatu

bentuk dalam ruang waktu yang dikenal oleh diri sendiri dan

manusia lain dalam lingkungan hidupnya sehingga dapat

dimengerti dan dinimkatinya.

d. Dello Joio, seorang komponis Amerika, memberikan pendapatnya

tentang musik yaitu bahwa mengenal musik dapat memperluas

pengetahuan dan pandangan selain juga mengenal banyak hal lain

diluar musik. Pengenalan terhadap musik akan menumbuhkan rasa

penghargaan akan nilai seni, selain menyadari akan dimensi lain

dari suatu kenyataan yang selama ini tersembunyi.

e. Adjie Esa Poetra, seorang musisi dari Indonesia, mendefinisikan

musik adalah kesenian yang bersumber dari bunyi. Menurutnya ada

empat unsur dalam musik, yaitu dinamik (kuat lemahnya bunyi),

nada (bunyi yang teratur), unsur waktu (panjang pendek suatu

bunyi yang ditentukan dari hitungan atau ketukan nada), dan timbre

(warna suara).

2. Definisi Terapi Musik

Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental

dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni,

timbre, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga

tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental.

Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan

meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik

diterapkan menjadi sebuah terapi, musik dapat meningkatkan,

memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional,

sosial dan spiritual. Halini disebabkan musik memiliki beberapa

kelebihan, yaitu karena musik bersifat nyaman, menenangkan,

membuat rileks, berstruktur, dan universal. Perlu diingat bahwa

banyak dari proses dalam hidup kita selalu ber-irama. Sebagai contoh,

nafas kita, detak jantung, dan pulsasi semuanya berulang dan

berirama. Terapi musik adalah terapi yang universal dan bisa diterima

oleh semua orang karena kita tidak membutuhkan kerja otak yang

berat untuk menginterpretasi alunan musik. Terapi musik sangat

mudah diterima organ pendengaran kita dan kemudian melalui saraf

pendengaran disalurkan ke bagian otak yang memproses emosi

(sistem limbik). Pengaruh musik sangat besar bagi pikiran dan tubuh

manusia. Contohnya, ketika seseorang mendengarkan suatu alunan

musik (meskipun tanpa lagu), maka seketika orang tersebut bisa

merasakan efek dari musik tersebut. Ada musik yang membuat

seseorang gembira, sedih, terharu, terasa sunyi, semangat,

mengingatkan masa lalu dan lain-lain.

Salah satu figur yang paling berperan dalam terapi musik di awal

abad ke-20 adalah Eva Vescelius yang banyak mempublikasikan

terapi musik lewat tulisan-tulisannya. Ia percaya bahwa objek dari

terapi musik adalah melakukan penyelarasan atau harmonisasi

terhadap seseorang melalui vibrasi. Demikian pula dengan Margaret

Anderton, seorang guru piano berkebangsaan Inggris, yang

mengemukakan tentang efek alat musik.

3. Jenis Terapi Musik

Pada dasarnya hampir semua jenis musik bisa digunakan untuk

terapi musik. Namun kita harus tahu pengaruh setiap jenis musik

terhadap pikiran. Setiap nada, melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk

dan gaya musik akan memberi pengaruh berbeda kepada pikiran dan

tubuh kita. Dalam terapi musik, komposisi musik disesuaikan dengan

masalah atau tujuan yang ingin kita capai. Musik sangat

mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki 3 bagian penting

yaitu beat, ritme, dan harmony. Beat mempengaruhi tubuh, ritme

mempengaruhi jiwa, sedangkan harmony mempengaruhi roh.Contoh

paling nyata bahwa beat sangat mempengaruhi tubuh adalah dalam

konser musik rock. Bisa dipastikan tidak ada penonton maupun pemain

dalam konser musik rock yang tubuhnya tidak bergerak. Semuanya

bergoyang dengan dahsyat, bahkan cenderung lepas kontrol. Salah satu

gerakan yang popular saat mendengarkan music rock adalah "head

banger", suatu gerakan memutar-mutar kepala mengikuti irama music

rock yang kencang. Dan tubuh itu mengikutinya seakan tanpa rasa

lelah.

Jika hati seseorang sedang susah, cobalah mendengarkan musik

yang indah, yang memiliki irama (ritme) yang teratur, maka perasaan

akan lebih terasa enak dan enteng. Bahkan di luar negeri, pihak rumah

sakit banyak memperdengarkan lagu-lagu indah untuk membantu

penyembuhan para pasiennya. Itu suatu bukti, bahwa ritme sangat

mempengaruhi jiwa manusia. Sedangkan harmoni sangat

mempengaruhi roh. Jika menonton film horor, selalu terdengar

harmony (melodi) yang menyayat hati, yang membuat bulu kuduk

berdiri. Dalam ritual-ritual keagamaan juga banyak digunakan

harmony yang membawa roh manusia masuk ke dalam alam

penyembahan. Di dalam meditasi, manusia mendengar harmony dari

suara-suara alam di sekelilingnya. Terapi Musik yang efektif

menggunakan musik dengan komposisi yang tepat antara beat, ritme

dan harmony yang disesuaikan dengan tujuan dilakukannya terapi

musik. Jadi memang terapi musik yang efektif tidak bisa menggunakan

sembarang musik. Ada dua macam metode terapi music, yaitu :

a. Terapi Musik Aktif.

Dalam terapi musik aktif pasien diajak bernyanyi, belajar main

menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan membuat

lagu singkat. Dengan kata lain pasien berinteraksi aktif dengan

duniamusik. Untuk melakukan Terapi Musik aktif tentu saja

dibutuhkan bimbingan seorang pakar terapi musik yang kompeten.

b. Terapi Musik Pasif.

Merupakan terapi musik yang murah, mudah dan efektif.

Pasien tinggal mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik

tertentu yang disesuaikan dengan masalahnya. Hal terpenting

dalam terapi musik pasif adalah pemilihan jenis musik harus tepat

dengan kebutuhan pasien. Oleh karena itu, ada banyak sekali jenis

CD terapi musik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa musik memiliki

pengaruh yang kuat pada kehidupan manusia. Para ahli

mengemukakan bahwa musik berpengaruh pada kecerdasan

manusia, kesehatan fisik, mental dan emosional.

4. Manfaat terapi musik

Ada banyak sekali manfaat terapi musik, menurut para pakar terapi

musik memiliki beberapa manfaat utama, yaitu :

a. Relaksasi, Mengistirahatkan Tubuh dan Pikiran

Manfaat yang pasti dirasakan setelah melakukan terapi

musik adalah perasaan rileks, tubuh lebih bertenaga dan pikiran

lebih fresh. Terapi musik memberikan kesempatan bagi tubuh dan

pikiran untuk mengalami relaksasi yang sempurna. Dalam kondisi

relaksasi (istirahat) yang sempurna itu, seluruh sel dalam tubuh

akan mengalami re-produksi, penyembuhan alami berlangsung,

produksi hormon tubuh diseimbangkan dan pikiran mengalami

penyegaran.

b. Meningkatkan Kecerdasan

Sebuah efek terapi musik yang bisa meningkatkan

intelegensia seseorang disebut Efek Mozart. Hal ini telah diteliti

secara ilmiah oleh Frances Rauscher et al dari Universitas

California. Penelitian lain juga membuktikan bahwa masa dalam

kandungan dan bayi adalah waktu yang paling tepat untuk

menstimulasi otak anak agar menjadi cerdas. Hal ini karena otak

anak sedang dalam masa pembentukan, sehingga sangat baik

apabila mendapatkan rangsangan yang positif. Ketika seorang ibu

yang sedang hamil sering mendengarkan terapi musik, janin di

dalam kandungannya juga ikut mendengarkan. Otak janin pun

akan terstimulasi untuk belajar sejak dalam kandungan. Hal ini

dimaksudkan agar kelak si bayi akan memiliki tingkat

intelegensiayang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang

dibesarkan tanpa diperkenalkan pada musik.

c. Meningkatkan Motivasi

Motivasi adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan

perasaan dan mood tertentu. Apabila ada motivasi, semangat pun

akan muncul dan segala kegiatan bisa dilakukan. Begitu juga

sebaliknya, jika motivasi terbelenggu, maka semangat pun

menjadi luruh, lemas, tak ada tenaga untuk beraktivitas. Dari hasil

penelitian, ternyata jenis musik tertentu bisa meningkatkan

motivasi, semangat dan meningkatkan level energi seseorang.

d. Pengembangan Diri

Musik ternyata sangat berpengaruh terhadap

pengembangan diri seseorang. Musik yang didengarkan seseorang

juga bisa menentukan kualitas pribadi seseorang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa orang yang punya masalah perasaan,

biasanya cenderung mendengarkan musik yang sesuai dengan

perasaannya. Misalnya orang yang putus cinta, mendengarkan

musik atau lagu bertema putus cinta atau sakit hati. Dan hasilnya

adalah masalahnya menjadi semakin parah. Dengan mengubah

jenis musik yang didengarkan menjadi musik yang memotivasi,

dalam beberapa hari masalah perasaan bisa hilang dengan

sendirinya atau berkurang sangat banyak. Seseorang bisa

mempunyaikepribadian yang diinginkan dengan cara

mendengarkan jenis musik yang tepat.

e. Meningkatkan Kemampuan Mengingat

Terapi musik bisa meningkatkan daya ingat dan mencegah

kepikunan. Hal ini bisa terjadi karena bagian otak yang

memproses musik terletak berdekatan dengan memori. Sehingga

ketika seseorang melatih otak dengan terapi musik, maka secara

otomatis memorinya juga ikut terlatih. Atas dasar inilah terapi

musik banyak digunakan di sekolah-sekolah modern di Amerika

dan Eropa untuk meningkatkan prestasi akademik siswa.

Sedangkan di pusat rehabilitasi, terapi musik banyak digunakan

untuk menangani masalah kepikunan dan kehilangan ingatan.

f. Kesehatan Jiwa

Seorang ilmuwan Arab, Abu Nasr al-Farabi (873-950M)

dalam bukunya ''Great Book About Music'', mengatakan bahwa

musik membuat rasa tenang, sebagai pendidikan moral,

mengendalikan emosi, pengembangan spiritual, menyembuhkan

gangguan psikologis. Pernyataannya itu tentu saja berdasarkan

pengalamannya dalam menggunakan musik sebagai terapi.

Sekarang di zaman modern, terapi musik banyak digunakan oleh

psikolog maupun psikiater untuk mengatasi berbagai macam

gangguan kejiwaan, gangguan mental atau gangguan psikologis.

g. Mengurangi Rasa Sakit

Musik bekerja pada sistem saraf otonom yaitu bagian

sistem saraf yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah,

denyut jantung dan fungsi otak, yang mengontrol perasaan dan

emosi. Menurut penelitian, kedua sistem tersebut bereaksi sensitif

terhadap musik. Ketika kita merasa sakit, kita menjadi takut,

frustasi dan marah yang membuat kita menegangkan otot-otot

tubuh, hasilnya rasa sakit menjadi semakin parah. Mendengarkan

musik secara teratur membantu tubuh relaks secara fisik dan

mental, sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah rasa

sakit. Dalam proses persalinan, terapi musik berfungsi mengatasi

kecemasan dan mengurangi rasa sakit. Sedangkan bagi para

penderita nyeri kronis akibat suatu penyakit, terapi musik terbukti

membantu mengatasi rasa sakit.

h. Menyeimbangkan Tubuh

Menurut penelitian para ahli, stimulasi musik membantu

menyeimbangkan organ keseimbangan yang terdapat di telinga

dan otak. Jika organ keseimbangan sehat, maka kerja organ tubuh

lainnya juga menjadi lebih seimbang dan lebih sehat.

i. Meningkatkan Kekebalan Tubuh

Dr John Diamond dan Dr David Nobel, telah melakukan

riset mengenai efek dari musik terhadap tubuh manusia dimana

mereka menyimpulkan bahwa: Apabila jenis musik yang kita

dengar sesuai dan dapat diterima oleh tubuh manusia, maka tubuh

akan bereaksi dengan mengeluarkan sejenis hormon (serotonin )

yang dapat menimbulkan rasa nikmat dan senang sehingga tubuh

akan menjadi lebih kuat (dengan meningkatnya sistem kekebalan

tubuh) dan membuat kita menjadi lebih sehat.

j. Meningkatkan Olahraga

Mendengarkan musik selama olahraga dapat memberikan

olahraga yang lebih baik dalam beberapa cara, di antaranya

meningkatkan daya tahan, meningkatkan mood dan mengalihkan

seseorang dari setiap pengalaman yang tidak nyaman selama

olahraga.

5. Tehnik dan Saat yang Tepat Memberi Terapi Musik

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal sebaiknya ibu memahami

apa yang harus dilakukan secara cukup terperinci. Ibu hamil yang

membutuhkan relaksasi, bisa mendengar musik kapan saja dan dimana

saja. Rangsangan berupa suara yang menenangkan tersebut juga akan

dinikmati janin. Untuk hasil yang optimal, terapi musik bagi janin

harus dilakukan secara terprogram atau tidak sembarangan. Terapi

musik paling baik mulai dilakukan pada usia kehamilan 18-20 minggu,

karena pada masa ini perlengkapan pendengaran janin sudah semakin

sempurna. Namun demikian, sejak di trimester pertama pun ibu sudah

boleh melakukannya, meski janin belum dapat bereaksi. Tetapi ini

lebih ditujukan kepada ibu untuk mengurangi kadar stress saat

menjalani masa mual-muntah.11 Untuk anak, terapi musik paling

efektif diterapkan sejak dalam kandungan hingga usianya 3 tahun,

karena selama periode itu otak anak mengalami pertumbuhan dan

kemudian perkembangan yang sangat pesat. Namun, bukan berarti di

usia selanjutnya terapi musik tidak akan membawa manfaat, hanya saja

potensi rangsangannya semakin berkurang dari tahun ke tahun. Jadi,

sampai usia berapapun tetap bermanfaat. Namun, jika tujuannya untuk

merangsang kecerdasan anak sebaiknya jangan lewat dari usia 8 tahun.

Dalam mengatur jadwal terapi musik, kita dapat menentukan

sendiri waktu terapi yang tepat, boleh pagi, siang, sore, atau malam.

Yang penting, ketika sudah memilih waktunya, maka ibu harus

konsisten dengan waktu tersebut. Jika sudah menetapkan dipagi hari,

maka selanjutnya harus dipagi hari, jangan diubah-ubah. Pilihlah

waktu sesuai kesempatan yang dimiliki. Bagi ibu yang bekerja

misalnya, mungkin pagi hari bukanlah waktu yang tepat, sehingga

dapat dilakukan pada malamhari atau sela-sela waktu kerjanya. Yang

penting adalah berkesinambungan dan konsisten, bila tidak maka

hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selain waktu ibu, waktu

janin juga perlu dipertimbangkan. Bagaimanapun juga, akan lebih baik

bila terapi dilakukan ketika janin tidak sedang tidur. Pada saat terjaga,

janin bisa menyimak rangsangan suara secara aktif. Dengan begitu,

daya ingatnya juga ikut terangsang dan bertambah kuat. Menurut

penelitian, janin akan terjaga saat ibu selesai makan, terutama makan

siang, sehingga saat tersebut bisa dimanfaatkan ibu untuk melakukan

terapi music. Namun tidak dijamin juga bahwa setelah ibu makan

siang, janin pasti terjaga, bisa saja saat pagi hari, sore hari atau bahkan

ketika ibu sedang tidur. Jadi ibu tidak perlu memaksakan diri untuk

melakukan terapi musik setelah waktu makan. Ketika bayi sudah lahir,

dengan melihat kondisinya sehari-hari, ibu bisa lebih mudah

menentukan kapan waktu yang tepat. Bila anak biasa terjaga dan

tenang dipagi hari, maka pilihlah waktu tersebut, tentu dengan

mempertimbangkan waktu ibu juga. Cara melakukan terapi musik,

sebaiknya memperhatikan tahapan – tahapan berikut ini :

a. Relaksasi fisik

Untuk mencapai relaks secara fisik, ibu dapat menggunakan

tehnik progresif relaksasi. Pada tahap ini ibu yang sedang hamil

harus mengendorkan dan mengencangkan otot – otot tubuh secara

berurutan sambil mengatur nafas. Relaksasi ini sangat dibutuhkan

agar musik bisa dicerna dengan baik dan dapat tersalurkan

keseluruh anggota tubuh. Pilihlah posisi yang nyaman, bisa sambil

tiduran atau duduk.

b. Relaksasi mental

Setelah relaksasi fisik, maka saatnya untuk masuk ke

tahapan relaksasi mental. Ditempat terapi, selama tahapan ini

awalnya ibu hamil dipandu instruktur terapis dengan kata-kata

yang bersifat sugesti. Tujuannya untuk membawa ibu ke suasana

di mana mereka bisa melupakan ketegangn dan kecemasan yang

dirasakan selama kehamilan. Agar sampai ke tujuan, ibu

dianjurkan untuk berkonsentrasi. Musik yang mengiringi akan

dapat membangkitkan perasaan relaksasi.

c. Stimulasi atau rangsangan musik pada janin

Untuk memperoleh manfaat maksimal dari terapi musik,

ibu dianjurkan untuk mendengarkan musik dengan konsentrasi dan

kesadaran penuh. Alunan suaranya mesti bisa merasuki pikiran ibu

tanpa ada gangguan berupa ketidakstabilan emosi, suara berisik,

kurang konsentrasi. Saat mendengarkan musik, ambil posisi

sekitar setengah meter dari tape atau dapat menggunakan

Walkman. Usahakan volume suaranya jangan terlalu keras

ataupun lemah, tetapi sedang-sedang saja. Intinya, volume tersebut

dapat membuat ibu merasa nyaman dan bisa berkonsentrasi penuh.

Sesekali boleh menempelkan earphone ke perut ibu agar janin bisa

mendengar lebih jelas. Dianjurkan pula untuk tidak mendengarkan

musiknya saja, disarankan ibu ikut berdendang mengikuti melodi

atau liriknya. Waktu yang diperlukan untuk terapi adalah sekitar

30 menit setiap hari. Dirumah, orangtua dapat melakukan terapi

musik semenjak anak masih dalam kandungan. Berikut ini adalah

panduan yang dapat digunakan untuk terapi musik di rumah.

B. SKIZOFRENIA

1. Definisi

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi

penyebab (banyak yang belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak

selalu bersifat kronis atau "deteriorating") yang luas, serta sejumlah akibat

yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial

budaya.

Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan

utamapada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau

emosi,kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataaan terutama

karenawaham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga

munculinkoherensi, afek dan emosi inadekuat, psikomotor

menunjukkanpenarikan diri, ambivalensi dan perilaku bizar (Maramis,

2009). Skizofrenia berasal dari dua kata “skizo” yang berarti retak atau

pecah (split), dan ”frenia” yang berarti jiwa. Dengan demikian seseorang

yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami

keretakan atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari,

2001).

Skizofrenia merupakan sebuah sindrom kompleks yang dapat

merusak pada efek kehidupan penderita maupun anggota-anggota

keluarganya atau gangguan mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis

tertentu yang sesuai dengan pengertian skizofrenia sekarang (Durand dan

H.Barlow, 2007). Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk kasus yang terjadi

pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran atau keruntuhan

fungsi intelek yang gawat, berikutnya (Kraepelin (1856-1926) dalam

Kaplan & Sadock, 2010), menjadi dementia yanc, merupakan kemerosotan

otak (dementia) yang diderita oleh orang muds (praecox) yang pada

akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Bahwa

halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia

dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu penyakit. (Eugen Bleuler

(1857-1938) dalam Kaplan & Sadock, 2010). Memperkenalkan istilah

skizofrenia atau jiwa yang terbelah, sebab gangguan ini ditandai dengan

disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan

perasaan, serta berorientasi dini kedalam danmenjauh dari realitas yang

intinya terjadi perpecahan antara intelek danemosi.

2. Etiologi Skizofrenia

a. Keterlibatan faktor keturunan

Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya

dengan pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk

menderita gangguan tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu

anak kembar dari satu telur mempunyai kemungkinan tiga sampai

enam kali lebih besar untuk sama-sama menderita gangguan

skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur.

b. Faktor lingkungan

Penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi,

hubungan perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam

pola komunikasi diantara anggota keluarga dapat menimbulkan

skizofrenia. Skizofrenia tidak diduga sebagai suatu penyakit tunggal

tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum.

Banyak teori penting telah diajukan mengenai etiologi dan ekspresi

gangguan ini, salah satunya yang diungkapkan oleh Residen Bagian

Psikiatri UCLA.

c. Teori biologik dan genetik

Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi)

sangat mendukung teori bahwa faktor genetik sangat penting dalam

transmisi mendukung skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat

kerawanan dan juga dapat menjadi penyebab peningkatan insiden dari

sindrom, yang mirip dengan skizofrenia (gangguan kepribadian

skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga.

d. Hipotesis neurotransmitter

Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor

dopaminergik dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik.

Pada hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya

memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik

yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor

dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa

temuan ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik.

e. Pencetus psikososial

Stressor sosio lingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan

awal dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai

suatuterobosan kekuatan protektif dengan tetap

mempertahankankerawanan secara psiko biologik dalam pengendalian.

Tiga tindakanemosi yang dinyatakan di lingkungan rumah : komentar

kritis,permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan

terbuktimenyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia.

3. Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan

dan Sadock (1998) sebagai berikut:

a. Model diatesis-stress

Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial

dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan

bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik

(diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang

menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala

skizofrenia.

b. Faktor biologis

Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis

untuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis

dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan

sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin

melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu

tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.

4. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi (Maramis, 2009):

a. Gangguan pada isi pikiran

Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan

gangguan pikiran yang paling umum dihubungkan dengan skizofrenia.

Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta,

kesalahan diri, kontrol, nihil atau doss dan pengkhianatan. Delusi lain

berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses

berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang

lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain

atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah

dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap

bahwa otaknya sudah dimakan rayap.

b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi

Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak

terorganisasi dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi

kehilangan logika, cara mereka mengekspresikan dalam pikiran dan

bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti, akan sangat

membingungkan jika kita berkomunikasi dengan penderita, gangguan

pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren,

kehilangan asosiasi, neologisms, blocking dan pemakaian kata-kata

yang salah.

c. Gangguan persepsi halusinasi

Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang

merupakankesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat

indera kitawalaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang

di luartetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi

tidakberada dalam kontrol individu, tetapi tejadi begitu spontan

walaupunindividu mencoba untuk menghalanginya.

d. Gangguan afeksi (perasaan)

Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara,

abnormaldibandingkan dengan orang lain. secara umum, perasaan itu

konsistendengan emosi tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai dengan

perasaannya.

e. Gangguan psikomotor

Pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara

yangberantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang

anehatau pasien skizofrenia akan memperlihatkan gangguan

katatonikstupor (suatu keadaan di mana pasien tidak lagi merespon

stimulusdari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di

sekitarnya),katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau

tidakmengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang

suatugerakan tubuh) menonjol adalah afek yang menumpul,

hilangnyadorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial.

Menurut Eugen Bleuler (1857-1938) dalam Kaplan & Sadock,

(2010) membagi gejala-gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok: gejala

positif dan negatif. Gejala positif antara lain thougt echo,

delusi,halusinasi. Gejala negatifnya seperti: sikap apatis, bicara jarang,

efektumpul, menarik diri. Gejala lain dapat bersifat non-

skizofreniameliputi kecemasan, depresi dan psikosomatik.

3. HALUSINASI

Halusinasi adalah gejala gangguan psikotik penderita skizofrenia

yang ditandai gangguan persepsi pada berbagai hal yang dianggap

dapat dilihat,

Didengar atau pun adanya perasaan dihina meskipun sebenarya tidak

realitas

Adapun ciri – ciri klinis dari penderita halusinasi yaitu :

a. Tidak memiliki insight yang jelas dan kesalahan dalam persepsi.

b. Adanya associative spilitting dan cognitive splitting.

Bentuk-bentuk halusinasi yang berkaitan dengan penderita skizofrenia

yaitu :

a. Halusinasi pendengaran (audiotory hallucination) adalah penderita

skizofrenia yang mengalami gangguan psikotik melalui adanya

pendengaran terhadap objek suara – suara tertentu. Keadaan ini

sering terjadi ketika penderita skizofrenia tidak melakukan

aktivitas. Terjadi pada bagian wernicke’s area.

b. Halusinasi pada bagian otak (brain imaging) yaitu gangguan daerah

otak terutama bagianbroca’s area adalah daerah pada bagian otak

yang selalu memberikan halusinasi pada penderita skizofrenia.

Tanda Dan GejalaHalusinasi

Tanda :

1) Kepala mengangguk-angguk seperti mendengar orang sedang

berbicara.

2) Mengerakkan bibir,tetapi suara atau bibir komat kamittanpasuara.

3) Berbicara keras seperti ada teman bicara

4) Asyik sendiri, kehilangan kemampuan untuk membedakan

halusinasi dan realita.

5) Kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain

6) Tidak mampu berespon terhadap perintah yang tidak kompleks,

serta berespon lebih dari satu orang.

7) Peningkatan tanda system saraf otonom (denyut jantung,

pernapasan dan tekanan darah)

Gejala :

1) Kurang tidur

2) Kelelahan

3) Nutrisi kurang

4) Infeksi

5) Keletihan

6) Isolasi social

7) Hilangnya kebebasan hidup

8) Hargadiri rendah

9) Putus asa

10) Kehilangan motivasi

11) Rendahnya kemampuan bersosialisasi

12) Ketidak adekuatan pengobatan

13) Ketidak adekuatan penanganan gejala

A. PENGKAJIAN

I. IDENTITAS :

Nama : Ny. I

Jenis Kelamin : perempuan

Umur : tahun

Alamat :

Agama : Islam

Tanggal Pengkajian : 20 Oktober 2015

Tanggal MRS :

Register No :

Informan : pasien

DX Medis :

II. ALASAN MRS/KELUHAN UTAMA

Klien mengatakan kalau klien pengguna narkoba, sebelum masuk

RSDJ klien adalah penghuni rutan. Klien mengatakan selama di rumah

sakit klien masih mendengar suara – suara dan melihat anak kecil di dalam

kamarnya.

FAKTOR PREDISPOSISI :

Klien mengatakan klien pernah mengalami halusinasi sebelumnya dan

3 tahun yang lalu klien juga pernah masuk di RSDJ dr. Arif Zainudin yaitu

diruang wisanggeni. Klien mengatakan halusinasinya lebih parah

sebelumnya dibandingkan sekarang. Klien menggunakan narkoba dari

klien berumur 13 tahun, klien mengatakan hal tersebut karena orang tua

klien tidak pernah memperhatikan klien dan klien menyalakan kedua

orang tuanya.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

1. Tanda vital : TD : 100/80 mm Hg, Nadi :88 x / menit

S = 36,5°C, RR : 20 x / menit

2. Ukur : TB = 165 cm, BB = 56 kg

3. Klien mengeluh badan kadang terasa lemas, pusing dan merasa malas.

V. GENOGRAM

Keterangan

= Perempuan

= Laki-laki

= Meninggal

------ = Orang yang tinggal serumah

= Klien

1. Konsep diri :

a. Gambaran diri

Klien mengatakan menyukai seluruh anggota tubuhnya,

karena lengkap dan tidak cacat.

b. Identitas diri

Klien mengaatakan bahwa dirinya seorang perempuan

berumur tahun, dan sudah menikah, klien mengatakan sudah

bercerai dengan suaminya, klien memiliki seorang anak. Selama di

rumah sakit klien tidak bekerja.

c. Peran

Klien mengatakan klien seorang istri, hubungan dengan keluarga

baik. Klien mengatakan tidak pernah mengikuti kegiatan

dimasyarakat, namun terkadang klien masih mau mengikuti

pengajian. Namun saat di rumah sakit klien rajin sholat.

d. Ideal diri

Klien mengatakan bahwa dirinya ingin cepat pulang, dan bisa

berkumpul dengan keluarga.

e. Harga diri

Klien merasa sangat kecil kalau dibandingkan dengan orang lain

karena klien merasa sebagai anak orang yang tak mampu.

3. Hubungan sosial

Klien mengatakan bahwa orang yang paling dekat adalah kakanya..

Klien mengatakan seorang istri, hubungan dengan keluarga baik.

Klien mengatakan hubungan dengan mantan suami baik – baik saja

walaupun sudah bercerai. Klien mengatakan tidak pernah

mengikuti kegiatan dimasyarakat, namun terkadang klien masih

mau mengikuti pengajian. Saat di rumah sakit klien rajin sholat.

4. Spiritual

a. Nilai dan keyakinan

Klien mengatakan bahwa sakitnya karena menggunakan narkobq dan

saat ini dirawat di Rumah Sakit Jiwa

b. Kegiatan ibadah

Klien sering melakukan sholat .

STATUS MENTAL

1. Penampilan bersih tampak ada tato di lengan kiri dan kanan

2. Pembicaraan klien : cara bicara normal.

3. Aktivitas motorik : pasien melakukan aktivitas merajut di ruangan

4. Alam perasaan : Kadang-kadang pasien merasa bosan dan minta

keluar jajan

5. Afek : pasien koperataif

6. Interaksi selama wawancara : Kontak mata ada

7. Persepsi : Kadang-kadang ia mendengar adanya suara-suara

disekitarnya.

8. Proses pikir : pada saat berbicara klien berbicara sesua dengan topik

pembicaraan.

9. Tingkat kesadaran : Kadang-kadang bingung

10. Memori : tidak ada gangguan.

11. Tingkat konsentrasi dan berhitung :

a. Mampu berkonsentrasi.

b. Mampu berhitung.

11. Kemampuan penilaian

Gangguan kemampuan penilaian ringan.

12. Daya tilik diri

Klien menyadari kalau dirinya sakit

VI. Kebutuhan Persiapan Pulang

1. Makan

Klien tidak memerlukan bantuan saat makan, klien dapat makan

secara mandiri, dan mendapat makan 3x seehari

2. BAK/BAB

Klien tidak memerlukan bantuan saat BAB/BAK dan dapat

melakukan secara mandiri

3. Mandi

Klien mengatakn mandi secara mandiri, Klien mandi 2x sehari

4. Berpakaian dan berhias

Klien mampu berhias dan mengganti pakaian/ berpakaian secara

mandiri.

5. Istirahat tidur

Tidur siang : 2 jam

Tidur malam : 8 jam

Kegiatan sebelum dan setelah tidur : klien mengatakan kegiatan

sebelum tidur berdoa.

6. Penggunaan obat

Klien tidak memerlukan bantuan saat meminum obat

7. Pemeliharaan kesehatan

Klien memerlukan perawatan lanjutan dan dukungan untuk proses

kesembuhannya.

8. Kegiatan didalam rumah

Klien mengatakan melakukan kegiatan dirumah seperti bersih-bersih

rumah dan mengurus anak

9. Kegiatan diluar rumah

Klien sering berinteraksi dengan tetangga sekitar rumah.

VII. Mekanisme Koping

Klien mengatakan jarang berbicara dengan teman-temannya.

VIII. Masalah Psikososial dan Lingkungan

Klien mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan keluarganya, klien

sering berinteraksi dengan tetangganya. Klien mengatakan sudah memiliki

suami tetapi sudah pisah.

IX. Pengetahuan kurang tentang

Klien mengatakan bahwa tidak mengetahui efek apabila tidak minum obat

secara teratur.

B. MASALAH KEPERAWATAN

Gangguan persepsi sensori : Halusinasi

C. POHON MASALAH

RPK

Halusinasi

Isolasi sosial

HDR

BAB III

DASAR PEMIKIRAN

Sebagian besar penderita gangguan jiwa adalah penderita skizofrenia.

Penderita ini mendominasi jumlah penderita gangguan jiwa, yaitu 99% dari

seluruh gangguan jiwa di rumah sakit jiwa. Prevalensi penderita skizofrenia di

Indonesia adalah 0,3-1 % dan dapat timbul pada usia 18-50 tahum, bahkan ada

yang timbul pada penderita usia 11-12 tahun. Apabila penduduk Indonesia

berjumlah 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa penduduk

menderita skizofrenia.

Angka kejadian skizoprenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD)

Surakarta menjadijumlah kasus terbanyak dengan jumlah 1.893pasien dari 2.605

pasien yang tercatat darijumlah seluruh pasien pada tahun 2004. Ituberarti 72,7 %

dari jumlah kasus yang ada. Skizofrenia hebefrenik 471, paranoid 648, tak khas

317, akut 231, katatonia 95, residual 116, dalam remisi 15.

Salah satu gejala umum skizofrenia adalah halusinasi. Halusinasi adalah

suatu keadaan dimana individu mengalami suatu perubahan dalam jumlah atau

pola rangsangan yang mendekat (baik yang simulai secara eksternal maupun

internal) disertai dengan respon yang berkurang dibesar-besarkan, distorsi atau

kerusakan rangsang tertentu. 3 Halusinasi ada beberapa macam dan salah satunya

adalah halusinasi auditori. 3 Klien dengan halusinasi auditori seringkali

mendengar suara-suara yang langsung ditunjukkan pada klien dan biasanya isi

suara tersebut tidak menyenangkan, bersifat menghina dan menuduh. Hal ini

menyebabkan klien tidak tenang, gelisah, merasa tidak aman, dan akhirnya

menimbulkan kekerasan yang berkepanjangan.

Dari pengamatan yang peniliti lakukan di rumah sakit jiwa, penanganan

halusinasi dalam keperawatan adalah dengan membuat klien mengharik suara-

suara tersebut dengan mengatakan ”pergi, saya tidak mau mendengar!”. Pada

beberapa klien caraini dapat memberikan efek yang baik, tetapi beberapa klien

yang lain cara ini kurang memberikan efek hilangnya halusinasi.

kami tertarik untuk mencobakan terapi musik terhadap halusinasi dengan

menggunakan musik klasik sebagai sarananya. Kami tertarik apakah suara

halusinasi dapat hilang ketika klien diperdengarkan musik klasik. Cara ini juga

merupakan terapi yang murah dan tidak menimbulkan efek samping kimiawi.

Atas dasar inilah penulis tertarik untuk meneliti hubungan terapi musik klasik

terhadap penurunan halusinasi pada pasien dengan skizofrenia paranoid di RSJD

Surkarta.

BAB IV

PELAKSANAAN TINDAKAN

Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimental design

berupa rancangan pretest-posttest design with control group(Nursalam, 2008).

Desain ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas terapi musik klasik terhadap

penurunan tingkat halusinasi pada pasien skizofrenia paranoid di RSJDSurakarta.

Instrumen yang digunakan berupa skala PANSS dan pengkajian di ruang

Sena RSJDSurakarta. Analisa yang digunakan adalah analisa univariat digunakan

untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristik responden, mendeskripsikan

tingkat halusinasi dengar kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum

dan sesudah dilakukan terapi musik dan analisa bivariat digunakan untuk melihat

pengaruh terapi musik klasik terhadap tingkat halusinasi pada pasien

skizofrenia(Hastono, 2007).

Pemberian terapi musik dilakukan dalam waktu dua hari dengan empat

kali pemeberian terapi musik klasik yaitu pagi hari dan setelah makan siang

dengan pasien di kumpulkan dalam satu ruang dan didengarkan musik klasik.

BAB V

PEMBAHASAN

A. ANALISA

1. Karakteristik responden

Hasil penelitian yang telah dilakukan di RSJD Surakarta

didapatkan bahwa umur responden terbanyak adalah dewasa tengah

yaitu 41-60 tahun (75%). Hasil penelitian ini sama dengan hasil

penelitian Purba (2013) mayoritas responden berumur 41-60 tahun

(dewasa tengahl) sebanyak 20 orang (76,9%). Stuart dan Laraia (2005)

menyatakan usia berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam

menghadapi berbagai macam stresor, kemampuan memanfaatkan

sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping.

Hasil penelitian yang telah dilakukan di RSJDSurakarta, dimana 6

orang responden berjenis kelamin laki-laki dengan presentase 100%

Rata-rata jenis kelamin pasien gangguan jiwa disebagian Rumah Sakit

Jiwa khususnya dengan diagnosa gangguan persepsi sensori halusinasi

adalah laki-laki. Laki-laki cenderung sering mengalami perubahan

peran dan penurunan interaksi sosial serta kehilangan pekerjaan, hal ini

yang sering menjadi penyebab laki-laki lebih rentan terhadap masalah

mental, termasuk depresi (Soejono, Setiati & Wiwie, 2000).

2. Pengaruhterapi musik klasik terhadap penurunan tingkat halusinasi pada

pasien skizofrenia

Uji wilcoxon yang dilakukan didapatkan hasil ada pengaruh

sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) dilakukan terapi musik klasik

pada kelompok eksperimen terhadap penurunan tingkat halusinasi dengar.

Nilai median pretest dan posttest pada kelompok eksperimen mengalami

penurunan dari 3 menjadi 2 dengan nilai p value = 0,003 < α (0,05)

sehingga Ho ditolak. Hasil uji pada pada kelompok kontrol didapatkan

tidak ada pengaruh sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberikan

terapi musik klasik terhadap penurunan tingkat halusinasi dengar. Nilai

median pretest dan posttest pada kelompok kontrol tidak mengalami

perubahan, yaitu 3 dengan nilai p value= 0,414 > α (0,05) sehingga Ho

diterima. Penanganan pasien dengan halusinasi bertujuan agar pasien

mampu mengontrol halusinasinya. Penanganan pada pasien ini meliputi

pemberian obat, tindakan keperawatan sesuai dengan standar asuhan

keperawatan serta tindakan nonfarmakologis lainnya. Hal ini sesuai dengan

yang disampaikan oleh Lelono (2011) bahwa salah satu tindakan

keperawatan yang dapat dilakukan yaitu dengan tindakan

nonfarmakologis. Salah satu terapi nonfarmakologi yang efektif adalah

mendengarkan musik klasik. Musik memiliki kekuatan untuk mengobati

penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik

diterapkan menjadi sebuah terapi, musik dapat meningkatkan,

memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial

dan spritual (Aldridge, 2008).

Perbedaan tingkat halusinasi posttest pada kelompok

eksperimen yang diberikan terapi musik klasik dianalisa dengan

kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi musik klasik,

menggunakan uji Mean-Whitney. Nilai median posttest untuk kelompok

eksperimen yaitu 2 dengan standar deviasi 0,332 sedangkan nilai

median posttest untuk kelompok kontrol yaitu 3 dengan standar deviasi

0,6. Hasil analisis yang didapatkan nilai p value = 0,000, maka p value

< α (0,05), yang berarti Ha diterima. Hal ini berarti ada perbedaan yang

signifikan antara rata-rata tingkat halusinasi setelah (posttest) diberikan

terapi musik klasik pada kelompok eksperimen dengan nilai median

tingkat halusinasi yang tidak diberikan terapi musik klasik pada

kelompok kontrol. Jumlah responden pada kelompok eksperimen

sebelum diberikan terapi musik klasik dengan tingkat halusinasi sedang

adalah 3 orang (75%), setelah dilakukan terapi musik klasik tingkat

halusinasi sedang menjadi 1 orang (25%). Pemberian terapi dilakukan

sebanyak 4 kali selama 2 hari dengan durasi 10-15 menit. Penelitian

Ayu, Wayan, dan Ketut (2013) melakukan penelitian dengan judul

pengaruh terapi musik klasik terhadap perubahan gejala perilaku agresif

pada klien skizofrenia di ruang Kunti RSJ Provinsi Bali dengan

pemberian terapi musik klasik sebanyak 7 kali dengan durasi selama 30

menit. Hasil penelitian ini didapatkan jumlah responden dengan tingkat

halusinasi sedang sebelum diberikan terapi musik klasik adalah 3 orang

(100%), setelah diberikan terapi musik klasik tingkat halusinasi sedang

menjadi 1 orang (25%) dengan total responden sebanyak 15 orang. Hal

ini menunjukkan semakin sering frekuensi dan semakin lama durasi

terapi musik klasik yang diberikan, maka tingkat halusinasi pasien

semakin menurun.

Penelitian Ulrich, Houtmans, dan Gold (2007) yang juga

menggunakan terapi musik untuk kelompok pasien skizofrenia,

didapatkan hasil bahwa terapi musik dapat mengurangi gejala negatif

dan meningkatkan kontak interpersonal serta meningkatkan

kemampuan pasien untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial di

masyarakat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terapi musik sangat

efektif bagi penderita skhizofrenia, penderita merasakan ketenangan,

santai, rileks, nyaman, mulai dapat berinteraksi dengan orang lain,

fokus terhadap apa yang dilakukan serta munculnya motivasi untuk

sembuh. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Campbell (2001) yaitu

pada gelombang otak, gelombang beta yang bergetar dari 14 hingga 20

hertz dalam kegiatan sehari-hari di dunia luar, maupun apabila kita

mengalami perasaan negatif yang kuat. Ketenangan dan kesadaran yang

dirasakan dicirikan oleh gelombang alfa, yang daurnya mulai 8 hingga

13 hertz. Periode-periode puncak kreativitas, meditasi, dan tidur

dicirikan dalam gelombang theta dari 4 hingga 7 hertz, dan tidur

nyenyak, meditasi napas dalam, serta keadaan tak sadar menghasilkan

gelombang delta, yang berkisar 0,5 hingga 3 hertz. Semakin lambat

gelombang otak, semakin santai, puas, dan damailah perasaan kita.

Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran dan kemudian

melalui saraf pendengaran disalurkan ke bagian otak yang memproses

emosi yaitu sistem limbik (Aldridge, 2008). Penelitian yang juga

dilakukan oleh Crithley & Hensen tentang musik dan otak mengatakan

bahwa karena sifatnya non verbal, musik bisa menjangkau sistem

limbik yang secara langsung dapat mempengaruhi reaksi emosional dan

reaksi fisik manusia seperti detak jantung, tekanan darah, dan

temperatur tubuh, hasil pengamatannya mengatakan dengan

mengaktifkan aliran ingatan yang tersimpan di wilayah corpus collosum

musik meningkatkan integrasi seluruh wilayah otak (Rachmawati,

2005).

Pasien yang mengalami halusinasi dengar akan mengalami

gejala seperti mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas

ataupun yang jelas, dimana terkadang suara-suara tersebut seperti

mengajak berbicara klien dan kadang memerintah klien untuk

melakukan sesuatu (Kusumawati & Hartono, 2010). Responden

kelompok eksperimen yang telah selesai diberikan terapi musik klasik

diberikan posttest, saat diberikan posttest responden sudah tampak bisa

fokus jika diajak berbicara, menjawab pertanyaan dengan benar, jarang

berbicara sendiri, lebih nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain,

klien juga mengatakan suara bisikan yang didengar sudah berkurang.

Peneliti juga melihat hasil data perkembangan pasien yang dilihat pada

data pendukung yaitu rekam medis.

B. HASIL

Tabel 1. Karakteristik responden

No Karakteristik responden Kelompok Experimen

Kelompok kontrol

Pv

N % N %Umur 1.00018-40 tahun (dewasa awal) 1 25 1 2541-60 tahun (dewasa tengah)

2 75 2 75

Total 3 100 3 100Jenis kelamin 1.000Laki-laki 3 100 3 100Permempuan 0 0 0 0Total 3 100 300 100

Berdasarkan tabel 1 penelitian tersebut didapatkan bahwa karakteristik umur responden kelompok eksperimen sebagian besar berumur antara 41-60 tahun yaitu 2 orang (75%), kelompok kontrol sebagian besar berumur antara 41-60 tahun yaitu 1 orang (25%). Karakteristik jenis kelamin kelompok eksperimen dan kontrol berjenis kelamin laki-laki yaitu 6 orang (100%).

Tabel 2. Distribusi tingkat halusinasi responden pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum diberikan terapi musik klasik pada kelompok

eksperimen dan uji homogenitas.

No Kelompok Me Min Max SD Pv1 2

Eksperimen Kontrol

33

22

44

0,702 0,5

0,102

Berdasarkan tabel 2 diatas kelompok eksperimen menunjukkan nilai median sebelum diberikan terapi musik klasik adalah 3 dengan standar deviasi 0,702, sedangkan kelompok kontrol adalah 3 dengan standar deviasi 0,5. Hasil uji homogenitas menggunakan uji t independent didapatkan nilai p value 0,102, yaitu nilai p value > α (0,05), maka tingkat halusinasi dengar pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum diberikan terapi musik klasik pada kelompok eksperimen adalah homogen.

Tabel 3. Distribusi tingkat halusinasi responden pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah (posttest) diberikan terapi musik klasik.

No. Kelompok Me Min Max SD1.2.

EksperimenKontrol

23

22

34

0,332 0,6

Berdasarkan tabel 3 diketahui nilai median pada kelompok eksperimen adalah 2

dan kelompok kontrol 3 dengan standar deviasi pada kelompok eksperimen adalah

0,332 dan pada kelompok kontrol 0,6.

Tabel 4. Distribusi rata-rata tingkat halusinasi kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol pada pretest dan posttest.

Kelompok Me SD SE Pveksperimen (n=3)a. Pretestb. Posttest

32

0,7020,332

0,1700,081

0,003

Kontrol (n=3)a. Pretest 3 0,5 0,121 0,414

b. Posttest 3 0,6 0,146

Berdasarkan tabel 4 diketahui nilai median kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol pada pretest adalah 3 dan 3 dengan standar deviasi 0,702 dan 0,5. Nilai

median kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada posttest adalah 2 dan 3

dengan standar deviasi 0,332 dan 0,6. Hasil uji statistik dengan nilai alpha 0,05

didapatkan nilai p value 0,003 pada kelompok eksperimen, maka dapat

disimpulkan Ho ditolak, berarti ada perbedaan yang signifikan antara pretest dan

posttest. Nilai p value 0,414 pada kelompok kontrol, maka dapat disimpulkan Ho

gagal ditolak berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara pretest dan

posttest.

Tabel 5. Distribusi rata-rata tingkat halusinasi setelah (posttest) diberikan terapi

musik klasik pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

Kelompok Me SD SE pveksperimen (n=3) kontrol (n=3)

23

0,3320,6

0,810,146

0,000

Berdasarkan tabel 5 diketahui nilai median tingkat halusinasi setelah diberikan

terapi musik klasik pada kelompok eksperimen adalah 2 dengan standar deviasi

0,332, sedangkan pada kelompok kontrol nilai median tingkat halusinasi setelah

diberikan terapi musik klasik adalah 3 dengan standar deviasi 0,6. Hasil uji

statistik didapatkan p value 0,000 dengan menggunakan nilai α (0,05), maka

diputuskan Ho ditolak berarti ada perbedaan yang signifikan tingkat halusinasi

setelah diberikan terapi musik klasik antara kelompok eksperimen dengan

kelompok kontrol.

Di dalam jurnal penelitian Mulyadi dan Devina (2009) dijelaskan bahwa

terapi musik efektif untuk penderita skizofrenia yang ditandai dengan subjek

tenang, rileks, emosi lebih stabil dan kemampuan untuk mengikuti berbagai

kegiatan meningkat.Musik klasik (Haydn dan Mozart) mampu memperbaiki

konsentrasi, ingatan dan presepsi spasial.Terapi musik klasik juga dapat

menurunkan gejala halusinasi yang dialami seseorang dan di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Surakarta telah menerapkan terapi musik sebagai salah satu cara

nonfarmakologis pada pasien dan dilakukan saat rehabilitasi satu minggu sekali

namun belum spesifik pada jenis musik dan jenis pasien.

C. KESIMPULAN

Pada kelompok eksperimen didapatkan nilai significancy (p value)

0,003 atau p value < α (0,05), maka Ho ditolak. Hal ini berarti ada perbedaan

antara pretest dan posttest dan terjadi penurunan nilai rata-rata pretest dan

posttest diberikan terapi musik klasik yaitu dari 3 menjadi 2, dapat disimpulkan

bahwa adanya penurunan tingkat halusinasi pada kelompok eksperimen yang

telah diberikan terapi musik klasik. Hasil uji pada kelompok kontrol yang tidak

diberikan terapi musik klasik didapatkan nilai significancy (p value) 0,414 atau

p value > α (0,05), maka Ha ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang

signifikan antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol. Hal ini

ditunjukkan tidak adanya perubahan nilai rata-rata antara pretest dan posttest

pada kelompok kontrol, dapat disimpulkan bahwa tidak ada penurunan tingkat

halusinasi pada kelompok kontrol. Perbedaan tingkat halusinasi posttest pada

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol didapatkan p value 0,000 < α

(0,05), maka Ho ditolak berarti ada perbedaan yang signifikan tingkat

halusinasi setelah (posttest) diberikan terapi musik klasik antara kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol.

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Usia respondensebagian besar adalah dewasa tengah 75 % (4 responden).

Jenis kelaminrespondenkeseluruhan adalah laki-lakiyaitu sebanyak 100 %

(6 responden).

Ada pengaruh terapi musik klasik terhadap skizofrenia paranoid dengan

gangguan persepsi sensori : halusinasi di ruang sena RSJD Surakarta

B. SARAN

Saran bagi peneliti lain yang akan melanjutkan penelitian ini

hendaknya menambah frekuensi, tidak ada perbedaan durasi pemberian

terapi musik klasik musik klasik pada responden, instrumen yang

digunakan teruji validitas dan reliabilitas secara keseluruhan dan mencoba

terapi musik klasik pada pasien gangguan jiwa dengan diagnosa

keperawatan lain seperti pada pasien perilaku kekerasan.